Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN KITOSAN TERHADAP MUTU

DAN LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU RENDAH SURIMI IKAN


KURISI (NEMIPTERUS Spp.)

Anggita Tiara Pebriyanti


230110200065

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2022
PENGARUH PENAMBAHAN LARUTAN KITOSAN TERHADAP MUTU
DAN LAMA PENYIMPANAN DALAM SUHU RENDAH PADA SURIMI
IKAN KURISI (NEMIPTERUS Spp.)

Diajukan untuk memenuhi tugas Metodologi Riset dan Penulisan Ilmiah

Oleh

Anggita Tiara Pebriyanti


230110200065

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Dzat yang hanya
kepada-Nya memohon pertolongan. Alhamdulillah atas segala pertolongan,
rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
proposal penelitian Metodolgi Riset dan Penulisan Ilmiah yang berjudul
“Pengaruh Penambahan Larutan Kitosan Terhadap Mutu dan Lama
Penyimpanan dalam Suhu Rendah pada Surimi Ikan Kurisi (Nemipterus Spp.)”.
Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang senantiasa menjadi sumber
inspirasi dan teladan terbaik bagi umat manusia.
Proposal penelitian yang berjudul “Pengaruh Penambahan Larutan
Kitosan Terhadap Mutu dan Lama Penyimpanan dalam Suhu Rendah pada
Surimi Ikan Kurisi (Nemipterus Spp.)” dibuat untuk memenuhi tugas Ujian
Tengah Semester mata kuliah Metodologi Riset dan Penulisan Ilmiah pada
Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan
batuan selama penulis menyelesaikan tugas proposal penelitian ini. Oleh karena
itu, dengan penuh hormat penulis mengucapkan terimakasih dan mendoakan
semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik kepada :
1. Dr.Asep Agus Handaka Suryana, S.Pi., selaku dosen pengampu
mata kuliah Metodologi Riset dan Penulisan Ilmiah.
2. Teman-teman Pondok Harmoni yang telah memberikan dukungan
dan semangat selama proses penyusunan proposal ini.
3. Vira Lestari yang telah menjadi teman bertukar pikiran dan
pendapat dalam proses penyusunan proposal penelitian.
Akhir kata, penyusun berharap semoga proposal penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan dapat dijadikan referensi demi pengembangan ke
arah yang lebih baik.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Kegunaan Penelitian
1.5 Kerangka Pemikiran
IIKAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Ikan Kurisi (Nemipterus Spp.)
2.2 Surimi
2.3 Kitosan
2.4 Penyimpanan Beku
IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2 Metode Pengambilan Data
3.3 Metode Analisis data
3.3.1 Analisi Penyimpanan Beku
3.3.2 Kadar Air
3.3.3 pH
3.3.4 Uji lipat
3.3.5 Kekuatan Gel
3.3.6 Keelmbapan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri surimi merupakan salah satu industri pengolahan perikanan yang
memiliki peluang besar untuk berkembang di Indonesia. Beberapa Negara Asia
seperti Indonesia, China, Thailand, Vietnam, dan India menghasilkan surimi yang
berasal dari ikan tropis sebesar 58,5% dari produksi surimi dunia yang mencapai
820.000 MT pada tahun 2017.
Menurut pendapat Babji et al. 1995, ketersediaan bahan untuk pembuatan
surimi semakin menipis. Salah satu bahan yang selalu digunakan untuk membuat
surimi adalah Pollock Alaska telah mengalami penyusutan panen. Pada akhir
tahun 1980 penyustan panen Pollock Alaska lebh dari 6,5 juta ton. Sejak tahun
2000 penyusutan ikan Pollock Alaska menjadi kurang dari 3 juta ton.
Jika dibandingkan dengan daging ayam atau daging merah, produk
makanan laut lebih mudah rusak. Ini dikarenakan di dalam makanan laut
terkandung asam amino bebas dan basa nitrogen yang sangat mudah menguap
dalam jumlah yang besar (Sallam 2007).
Kualitas makanan laut, dalam proses penyimpanan akan lebih cepat
menurun dan menyebabkan hilangnya kesegaran dari makanan laut tersebut dan
akan memicu terjadinya pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba. Adanya peningkatan permintaan makanan laut yang segar dan
berkualitas membuat penulis mencari dan metode baru untuk pengawetan surimi
ikan yang lebih baik yaitu dengan penambahan larutan kitosan dalam surimi Ikan
Kurisi (Nemipterus Spp).

1.2 Identifikasi Masalah


Dalam beberapa tahun terakhir, lingkungan laut telah menyumbangkan
senyawa aktif biologis dengan sangat melimpah. Salah satunya adalah kitosan.
Kitosan merupakan senyawa bioaktif yang berasal dari laut dan telah terbukti
memiliki banyak aktivitas biologis. Proses ekstraksi kitin yang berasal dari limbah
kulit dan kepala udang dan di konversikan menjadi kitosan masih harus dilakukan
penelitian yang lebih lanjut terutama dalam kondisi proses untuk mendapatkan
kitosan dengan kualitas yang tinggi.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pengaplikasian larutan kitosan terhadap mutu dan lama waktu penyimpanan di
suhu rendah pada surimi Ikan Kurisi (Nemipterus Spp.) serta menentukan
efektifitas penggunaan larutan kitosan dalam pengawetan surimi.

1.4 Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengusaha olahan produk
ikan terutama surimi sebagai solusi atau alternative untuk mengawetkan surimi
agar tidak mudah busuk dan menghasilkan surimi dengan kekuatan gel yang
tinggi juga kualitas yang baik.

1.5 Kerangka Pemikiran


Sudah banyak penelitian yang mencoba mempelajari sifat fungsional dari
surimi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya selama proses pembuatan surimi
diantaranya seperti selama perawatan pencucian, penambahan fosfat dan
penyimpanan beku.
Pembentukan gel merupakan salah satu kriteria yang penting dalam
evaluasi kualitas surimi. Tujuan dari beberapa siklus pencucian dalam pengolahan
surimi adalah untuk mendapatkan konsentrasi protein larut garam yang tinggi dan
warna yang hambar, yang kemudian akan tercampur dengan baik dengan bahan
lainnya untuk dapat mengahsilkan produk yang memiliki nilai tambah (Babji et
al. 1995).
Pembuatan surimi secara konvensional dilalui dengan proses pencucian
air. Akan tetapi, ada pula proses pencucian lanjutan dengan menggunakan asam-
basa yang banyak dipelajari. Menurut Campo-Deano et al. 2009 menyatakan
bahwa metode pencucian dengan larutan asam-basa akan mempertahankan sifat
fungsional dari protein myofibrillar lebih baik jika dibandingkan dengan metode
pencucian berdasarkan pengendapan protein pada titik isoelektrik. Sebuah
penelitian biokimia dilakukan oleh Rawdkuen et al. 2009 didapatkan hasil bahwa
surimi yang dibuat secara konvensional menunjukkan kekuatan gel yang lebih
tinggi.
Udang adalah salah satu produk dalam bidang perikanan yang penting.
Sebagian produk udang diekspor dalam keadaan beku dan telah dipisahkan dari
kepala dan juga kulitnya (Budiyanto 1993). Menurut Lertsutthiwong et al. 2002
industri udang menghasilkan limbah dalam jumlah besar yaitu sekitar 45-55%
dari berat udang mentah. Akan tetapi limbah kulit dan kepala udang ini dapat
dimanfaatkan sebagai produk yang memiliki niali tambah yang bernama kitosan.
Selama beberapa tahun terakhir dalam industri farmasi banyak sekali
publikasi atau literature tentang kitosan dan juga turunannya. Kitosan adalah
polisakarida linier yang terdiri dari ÿ-(1ÿ4)-2-asetamido-d-glukosa dan ÿ-(1ÿ4)-2-
amino-d-glukosa yang berasal dari deasetilasi parsial kitin. Kitosan ini
memungkinkan sebagai pelapis untuk memperpanjang masa simpan surimi.
Kitosan akan dengan sendirinya bertindak sebagai pembawa zat aditif
makanan yaitu antioksidan dan antimikroba. Kitosan sudah dipertimbangkan
dengan seksama dalama pengawetan makanan untuk memperpanjang umur masa
simpannya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Ikan Kurisi


Industri surimi di Indonesia sudah memanfaatkan ikan demersal sebagai
pengganti bahan baku pembuatan surimi. Ikan tropis yang dapat digunakan dalam
memproduksi surimi di Asia Tenggara salah satunya adalah Ikan Kurisi
(Nemipterus Spp.).
Ikan kurisi (Nemipteru Spp.) memiliki nama internasional Threadfin
Bream yang merupakan hasil tangkapan sampingan. Ikan ini masih jarang
dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, harga dari Ikan Kurisi ini masih
relatif murah. Menurut Wira 2007, Ikan Kurisi ini memiliki kandungan protein
yang tinggi yaitu berkisar 16,58%.
Ikan Kurisi merupakan ikan demersal dengan habitat meliputi perairan
estuari dan perairan laut.  Habitat tempat tinggal ikan kurisi sangant
mempengaruhi perkembangan ikan kurisi tersebut, tipe substrat pada habitat
tempat tinggal ikan kurisi sangat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup
di dalamnya dimana organisme-organisme itu adalah makanan bagi ikan
kurisi.  Habitat ikan kirisi boasanya hidup di didasar laut dengan jenis substrat
berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar
1997).  Ikan kurisi tidak melakukan migrasi dan berasosiasi dengan karang
(Fishbase 2011), ikan ini di temukan pada kedalaman 10-100 m.  Ikan kurisi
hidup di dasar pada substrat berlumpur atau pun yang berkarang dan lumpur pasir
pada kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in
Sulistiyawati 2012).  Selain itu, ikan kurisi ditemukan di kedalaman lebih dari 100
m (Masuda 1984 in Harhap et al. 2008).
Ikan Kurisi memilki banyak manfaat untuk kesehatan. Dalam tubuhnya,
terdapat kandungan protein dan mineral yang melimpah. Selain itu, Ikan Kurisi
mengandung vitamin K, meningkatkan fungsi tiroid, menjaga keshatan gigi,
mempercepat penyembuhan luka, mengurangi pembengkakan, mengatasi stroke
ringan, membantu pembentukan otot, dan sebagai sumber protein.
2.2 Surimi
Surimi merupakan konsentrat protein basah yang terbuat dari otot ikan
yang berasal dari daging ikan yang dipotong tulangnya (Okada 1992). Surimi
adalah daging ikan yang sudah dicuci bersih yang mengandung protein
myobfibrillar yang terkonsentrasi.
Jenis ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan
surimi salah satunya adalah Ikan Kurisi (Nemipterus Spp.). Olahan produk surimi
dapat dijadikan bahan baku potensial dalam berbagai produk olahan seperti crab
stick, kamaboko, chikwa, ataupun sosis ikan. Karena sifat unik dari tekstur surimi
dan juga nilai gizi yang tinggi menjadikan surimi semakin dikenal di kalangan
masyarakat (Park 2005).
Menurut Catarci 2007, sejak lama surimi sudah menjadi bahan makanan
yang penting bagi masyarakat Jepang. Dan saat ini produk dengan bahan dasar
surimi juga mulai disukai dan populer di Negara lain. Banyak penelitian yang
telah dilakukan pada proses pembuatan surimi (Phatcarat et al. 2006).
Ada beberapa sifat fungsional yang penting dalam surimi seperti
kemampuan membentuk gel dan kapasitas untuk menaha air (Water Holding
Capacity) ini dikarenakan kandungan protein myofibrillar yang terdapat dalam
surimi memainkan peran penting selama proses pembuatan surimi. Kandungan
protein bertanggung jawab untuk membentuk gel dan mengemulsi zat-zat yang
penting untuk stabilitas produk daging yang telah dihaluskan dan telah
direstrukturisasi (Zhou et al. 2005). Menurut Li dan Wick 2001, keadaan fisika-
kimia protein myofibrillar mempengaruhi fungsi sistem daging dan memainkan
peran langsung untuk menentukan kualitas dan juga nilai olahan daging.

2.3 Kitosan
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi
kitin dan turunannya. Kitonase yang diproduksi secara lokal dapat memungkinkan
negara bersaing untuk memproduksi turunan kitin yang memiliki nilai dan
kualitas tinggi. Kitonase dapat dikalsifikasikan kedalam tiga kelas jika
dikelompokkan berdasar spesefisitas enzim. Kelas pertama adalah enzim yang
memisahkan ikatan ÿ-1,4 antara N-acetyl glu cosamine (GlcNAc) dan glukosamin
(GlcN) dan antara GlcN–GlcN. Kelas kedua adalah enzim yang hanya membagi
GlcN–GlcN. Dan kelas terakhir adalah enzim yang memisahkan GlcN–GlcNAc
dan GlcN–GlcN.
Kitosan merupaka polimer karbohidrat alami yang telah dimodifikasi dan
berasal dari kitin (Tolamite et al. 2000). Menurut Knorr 1984, kitosan umumnya
berasal dari cangkang krustasea yang terdiri dari 30-40% protein, 30-50% kalsium
karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Kitin merupakan biopolimer alami
terbanyak kedua yang ada di alam setelah selulosa (No dan Meyers 1989).
Kitosan merupakan zat menyerupai serat dan homopolimer dari ß-(1ÿ4)-
linked N-acetyl-D-glucosamine. Kitin terdiri atas rantai linier gugus
asetilglukosamin sedangkan kitosan berasal dari proses menghilangkan gugus
asetil (CH3-CO) secukupnya untuk mendapatkan molekuk yang larut dalam
sebagian besar asam encer.
Kitosan merupakan polimer biodegradable yang tidak beracun dan sangat
mirip dengan selulosa. Perbedaan antara kiotsan dan selulosan adalah gugus
amina (-NH2). Kitosan memiliki ionik positif yang mampu mengikat lemak, lipid,
kolesterol, ion logam, protein dan makromolekul bermuatan negatif secara
kimiawi (Li et al. 1992). Kitosan sudah terbukti sebagai agen kaogulasi yang
efektif untuk menghilangkan padatan tersuspensi dari berbagai limbah pengolahan
makanan yang telah dipelajari potensi penggunaannya dalam aplikasi pengolahan
makanan.
Kitosan memiliki manfaat yang luas dalam pengaplikasiannya di berbagai
bidang seperti farmasi, biokimia, bioteknologi, kosmetik dan lain-lain (Muzzarelli
1985). Menurut Shahidi et al. 1999 pengaplikasian kitosan dapat digunakan untuk
produksi makanan yang memiliki nilai tambah, sebagai pengawet alami akbiat
mikroba dalam makanan, pembentukkan film biodegradable, dan untuk
pemurnian air.
Kitosan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kulit udang yang
sudah di proses sesuai dengan prosedur yang dijelaskan oleh Almeida dan
Arancibia 2005. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merendam bahan
baku di dalam larutan NaOH 0,5% dalam suhu 8oC selama 10 menit. Tujuan dari
perendaman ini adalah untuk menghilangkan protein yang terkandung di dalam
kulit udang. Padatan endapan ini merupakan immersed dalam laritan HCl 7,3%
pada suhu kamar selama 60 menit dengan tujuan untuk menghilangkan mineral
yang menjadikan kitin sebagai produk utama. Untuk langkah terakhir terdiri dari
deasetilasi alkali yang dilakukan dengan perendaman dalam larutan NaOH 50%
pada 100 CC dalam waktu 60 menit, yang selanjutnya diikuti dengan pencucian
air yang banyak dan pengeringan dilakukan pada suhu 5oC dilakukan selama 6
jam.

2.4 Penyimpanan Beku


Penyimpanan beku merupakan teknik atau tindakan yang frekuensi
kegunaannya banyak digunakan dalam industri surimi untuk pengawetan jangka
panjang. Akan tetapi, selama masa penyimpanan beku akan terjadi perubahan
biokimia yang berkaitan dengan penurunan sifat gel asli surimi yang disebabkan
karena adanya denaturasi protein myofibrillar.
Pembekuan biasanya dilakukan pada suhu -12oC sampai -24oC. bahan
yang dibekukan akan tahan hingga beberapa bulan, bahkan kadang hingga
bertahun-tahun. Jumlah mikroba yang terdapat dalamproduk yang didinginkan
atau dibekukan sangat tergantung pada penanganan atau perlakuan yang diberikan
sebelum produk didinginkan atau dibekukan.
Dalam pengawetan suhu rendah, dapat di bedakan antara pendinginan dan
pembekuan. Pendinginan adalah penyimpanan dengan rata-rata suhu yang
digunakan berkisar antara -1oC sampai +4oC. pada suhu tersebut, pertumbuhan
bakteri dan mikroba akan terhambat. Lama waktu penyimpanan selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Tergantung jenis bahan yang diawetkan.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan tidak dapat mematikan
bakteri, sehingga ketika bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan mencair,
pertumbuhan mikroba akan sangat cepat. Penyimpanan dingin juga dapat
menyebabkan beberapa bahan tertentu kehilangan bau dan rasa.
Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses penyimpanan beku
diantaranya adalah suhu, kualitas bahan mentah, perlakuan sebelum pendinginan
yang tepat, kelmbapan, dan aliran udara yang optimum. Adapun keuntungan
dalam penyimpanan beku adalah dapat menahan reaksi kimia enzimatis dan
pertumbuhan mikroba, mengurangi perubahan flavor dan mempermudah
pemotongan daging.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan,
Universitas Padjadjaran mulai dari Juni 2022 – November 2022.

3.2 Metode Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan percobaan dalam dua kali ulangan.
Setiap replikasi dilakukan dalam rangkap tiga menggunakan Analisis Varians
(ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 5%. Perbandingan rata-rata dilakukan
denan uji Duncan untuk menentukan perbedaan yang signifikan antara setiap
perlakuan.

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Analisis Penyimpanan Beku


Setiap bulan sampel dikeluarkan dari freezer dan dicairkan
semalaman pada chiller di suhu 40oC sebelum dianalisis selama enam bulan
beturut-turut. Karakteristik yang akan dianalisis diantaranya adalah kadar air,
pH, uji lipat, kekuatan gel dan kelembapan.

3.3.2 Kadar Air


Pengujian kadar air mengikuti ketentuan metode AOAC 2000.
Sebanyak 5 gram surimi ditimbang dan dimasukkan kedalan moisture disk
yang sebelumnya sudah dikeringkan pada suhu 1050oC. sampel kemudian
didinginkan dalam desikator dan segera ditimbang ketika mencapai suhu
kamar.
3.3.3 pH
Menurut Lanier 1992, pH surimi ditentukan dalam rangkap tiga.
Sampel ditimbang sebanyak 5 gr, ditambahkan akuades 45 ml, dan
dihomgenkan dengan homogenizer dengan kecepatan 7.000 rpm.

3.3.4 Uji Lipat


Sesuai dengan ketetapan menurut Lanier 1992, gel surimi diiris
dengan ketebalan 2 mm. Untuk melihat dan mengamati kekenyalan surimi,
irisan dilipat perlahan. Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kekuatan
lipat adalah sebagai berikut :
1) Pecah dengan tekanan jari.
2) Retak saat dilipat menjadi dua bagian.
3) Retak sedikit demi sedikit.
4) Tidak ada retakan yang terlihat.
5) Tidak ada retakan setelah dilipat 2 kali.

3.3.5 Kekuatan Gel


Kekuatan gel dapat diukur dengan uji standar sesuai dengan
ketetapan menurut Lanier 1992, selubung polivinilidin dilepas dan gel akan
dipotong menjadi 3 bagian dengan panjang 2,6 cm. gel akan dibuat rangkap 3
dan 2 pengukuran dilakukan pada setiap gel, masing-masing di atas dan di
bawah.

3.3.6 Kelembapan
Kelembapan dapat diukur dalam rangkap tiga sesuai dengan metode
yang ditetapkan oleh Park dan Lin 2005, gel surimi diiris dengan ketebalan 5
mm dan berat (Z). Kemudian sampel akan disimpan di antara 2 lembar kertas
Whatman No.1 yang sudah ditumbang sebelumnya. Irisan gel ditekan
menggunakan berat standar 5 kg selama 2 menit. Kertas akan dikeluarkan dan
ditimbang kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Almeida, A., & Arancibia, M. (2005). Desarrollo de tecnología para la obtención


de quitina y quitosano a partir del caparazón del camarón (Penaeus
vannamei). Tésis de grado para optar por el Título de Ingeniero en
Alimentos. Facultad de Ciencia e Ingeniería en Alimentos, Universidad
Técnica de Ambato, Ambato, Ecuador.

AOAC. 2000. Official methods of analysis (17th ed.). Gaithersburg, Maryland,


USA: Association of Official Analytical Chemist.

Babji, A.S., Mukhlis, I., Gna, S.K.,Seri Chempaka, M.Y., Norhaliza, M. and
Eraou, B. 1995. Processing efficiency and physico-chemical properties of
surimi type materials. Malaysian Journal of Animal Science 1: 52-58.

Budiyanto, D. 1993. Teknologi Khitin dan Khitosan. Direktorat Jenderal


Perikanan, Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Perikanan, Jakarta.

Burhanuddin et al. 1984. Suku Scombriadeae : Tinjauan Mengenai Ikan Tuna,


Cakalang, dan Tongkol. Jakarta : LIPI.

Campo-Deano, L. and Tovar, C. 2009. The effect of egg albumen on the


viscoelasticity of crab sticks made from Alaska pollock and Pacific
whiting surimi. Journal of Food Hydrocolloids 23: 1641-1646.

Campo-Deano, L.C., Tovar, C.A., Pombo, M.J., Solas, M.T. and Borderias, A.J.
2009. Rheological study of giant squid surimi (Dosicus gigas) made by
two methods with different cryoprotectants added. Journal of Food
Engineering 94: 26-33.

Catarci, C 2007. Surimi market report - December 2007. Downloaded from


http://www.globefish.org/ dynamisk.php4?id=4356 on 18/10/2009.
Ekowati, C., et al.. 2006. Biochemical Characteristics of Chitosanase From the
Indonesian Bacillus licheniformis MB-2. MOLECULAR
BIOTECHNOLOGY. Vol. 33.

Erdawati. 2010. Development of chitosan-nanoparticle film based materials for


controlled quality of minced beef during refrigerated storage.

Erlina. 2021. Aplikasi kitosan sebagai pengawet pada produk bakso ikan
kambing-kambing (Abalistes stellaris) [Application of chitosan as a
preservative in goat-goat fish meatball products (Abalistes stellaris)].
Arwana Jurnal Ilmiah Program Studi Perairan. Vol. 3(1), 52-59.

Hossain, M.S., and Iqbal, A. 2014. Production and characterization of chitosan


from shrimp waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160.

Knorr, D. 1984. Use of chitinous polymers in food- A challenge for food research
and development. Food Technol. 38(1):85-97.

Lanier, T. C. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties.


In Lanier, T.C. and C.M. Lee (Eds). Surimi Technology, p. 123-163. New
York: Marcel Dekker.

Li, C.-T and Wick, M. 2001. Improvement of the physicochemical properties of


pale soft and exudative (PSE) pork meat products with an extract from
mechanically deboned turkey meat (MDTM). Journal of Meat Science 58:
189-195.

Li, Q., Dunn, E.T., Grandmaison, E.W. and Goosen, M.F.A. 1992. Applications
and properties of chitosan. J. Bioactive and Compatible Polym. 7:370-397.

Lertsutthiwong, P., How, N.C., Chandrkrachang, S. and Stevens, W.F. 2002.


Effect of Chemical Treatment on the Characteristics of Shrimp Chitosan.
Journal of Metals, Materials and Minerals. 12(1):11-18.

Martien, R., et al.. 2007. InterScience Wiley.


Muzzarelli, R.A.A. 1985. Chitin. In: The polysaccharides. Aspinall G. O. (ed.), p.
417– 450, Academic Press, New York.

Nurkhoeyati, N., et al.. 2011. Gelation Properties of Spent Duck Meat Surimi-
Like Material Produced Using Acid–Alkaline Solubilization Methods.
Vol. 76.

No, H.K., Meyers, S.P. 1989. Crawfish Chitosan as a Coagulant in Recovery of


Organic Compounds from Seafood Processing Streams. J. Agric. Food
Chem. 37(3): 580-583.

Nopianti, R., et al.. 2012. Effect of different types of low sweetness sugar on
physicochemical properties of threadfin bream surimi (Nemipterus spp.)
during frozen storage. International Food Research Journal. Vol. 19 (3):
1011-1021.

Okada, M. 1992. History of surimi technology in Japan. In Lanier, T.C and Lee,
C.M. (Eds). Surimi Technology, p. 3-21. New York: Marcel Dekker Inc.

Pangestuti, R., and Se-kwon Kim. 2010. Neuroprotective Properties of Chitosan


and Its Derivatives. Marine Drugs.

Park, J. W. and Lin, T. M. J. 2005. Surimi: Manufacturing and evaluation. In


Park, J.W. (Ed). Surimi and Surimi Seafood. 2nd edition, p. 33-106, Boca
Raton: Taylor and Francis Group.

Phatcharat, S., Benjakul, S., Visessanguan, W. 2006. Effects of washing with


oxidising agents on the gelforming ability and physicochemical properties
of surimi produced from bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Journal of
Food Chemistry 98: 431-439.

Rawdkuen, S., Sai-Ut, S., Khamsorn, S., Chaijan, M. and Benjakul, S. 2009.
Biochemical and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered
using an acidalkaline process. Journal of Food Chemistry 112: 112- 119.
Sallam, K. I. 2007. Antimicrobial and antioxidant effects of sodium acetate,
sodium lactate and sodium citrate in refrigerated sliced salmon. Food
Control, 18, 566–575.

Shahidi, F., Arachchi, J. and Jeon, Y. -J. 1999. Food applications of chitin and
chitosans. Trends in Food Science and Technology. 10:37–51.

Tina, N., et al.. 2010. Surimi-like material: challenges and prospects. International
Food Research Journal 17: 509-517.

Tolaimate, A., Desbrières, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero,
P. 2000. The influence of deacetylation process on the physicochemical
characteristics of chitosan from squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.

Toynbe, S.J, et al.. 2015. Pengaruh Aplikasi Kitosan sebagai Coating Terhadap
Mutu dan Umur Simpan Daging Giling Ikan Gabus (Channa striata).
Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 4, No.1: 67-74.

Vasconez, M.B., et al.. 2009. Antimicrobial activity and physical properties of


chitosan–tapioca starch based edible films and coatings. Food Research
International. Vol.42.

Vate, N.K., et al.. 2014. Application of melanin-free ink as a new antioxidative


gel enhancer in sardine surimi gel. J Sci Food Agric.

Wibowo, S., et al.. 2021. Current (2021) status of surimi industry in Indonesia and
possible solutions: A review. Conf. Series: Earth and Environmental
Science.

Wijayanti, I., et al.. 2021. Textural, Sensory, and Chemical Characteristic of


Threadfin Bream (Nemipterus sp.) Surimi Gel Fortified with Bio-Calcium
from Bone of Asian Sea Bass (Lates calcarifer). Foods. Vol 10,976.

Wibowo, S., et al.. 2007. Effect of chitosan type on protein and water recovery
efficiency from surimi wash water treated with chitosan–alginate
complexes. Bioresource Technology. Vol. 98,539-545.
Wibowo, S., et al.. 2005. Evaluation as a Peed Ingredient of Surimi Wash Water
Protein Recovered Using. a Chitosan- Alginate Complex. Journal of
Aquatic Food Product Technology.

Wibowo, S., et al.. 2005. Surimi wash water treatment for protein recovery: effect
of chitosan–alginate complex concentration and treatment time on protein
adsorption. Bioresource Technology 96, 665-671.

Zhou, A., Benjakul, S., Pan, K., Gong, J. and Liu, X. 2006. Cryoprotective effects
of trehalose and sodium lactate of tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi
during frozen storage. Journal of Food Chemistry 96:96-103.

Anda mungkin juga menyukai