Filsafat Islam
Filsafat Islam
tentang
Oleh:
Kelompok 2
No. NAMA NIM
1. MAISYAH AFRIYANI 2120030001
2. ATIKA NADYA YUSIANNISA 2120030007
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Duski Samad, M.Ag
Nelmawarni, S.Hum, P.hD
Dr. Elfia, M.Ag
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam arti yang luas, kata filsafat memiliki keinginan yang mendalam untuk
mendapat kebijakan untuk mendapat kebijakan atau keinginan yang mendalam
untuk menjadi bijak. Filsafat merupakan jenis pengetahuan yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka. Dalam pengertian lainnya, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta,
dan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, filsafat dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal
manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan tersebut.
Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini cakupan filsafat Islam diperluas
kepada segala aspek ilmu yang terdapat dalam khazanah pemikiran keislaman.
Bukan saja meliputi hal-hal yang diperbincangkan oleh para filsuf dalam wilayah
kekuasaan Islam, melainkan lebih luas lagi yang mencakup ilmu kalam, ushul
fiqh, dan tasawuf. Filsafat Islam secara khusus dapat diartikan sebagai pokok-
pokok atau dasar-dasar pemikiran yang dikemukakan oleh para filsuf Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian filsafat dan filsafat Islam?
2. Bagaimanakah esensi dan eksistensi filsafat Islam?
3. Bagaimanakah latar belakang lahirnya filsafat Islam?
4. Bagaimana Urgensi Filsafat Islam ?
5. Apa saja pokok-pokok masalah yang dibahas dalam filsafat Islam?
6. Bagaimanakah cara menyikapi perbedaan pemikiran para filusuf muslim,
dan apa saja manfaat mempelajari filsafat Islam dalam kehidupan?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari filsafat dan filsafat Islam.
2. Untuk mengetahui esensi dan eksistensi filsafat Islam.
3. Untuk mengetahui sejarah lahirnya filsafat Islam.
4. Untuk mengetahui urgensi filsafat Islam
5. Untuk mengetahui pokok-pokok masalah yang dibahas dalam filsafat
Islam.
6. Untuk mengetahui cara menyikapi perbedaan para filusuf muslim dan
manfaatnya bagi kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, Bandung: Yrama Widya, 2016, hlm. 3-4.
2
Murtadha Muthahhari, Pengantar Filsafat Islam, Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis:
Struktur Pandangan Dunia dalam Memandang Keberadaan Sebagaimana Hakikatnya dan
Tindakan Manusia Sebagaimana Seharusnya, Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2003, hlm. 7.
3
Asep Sulaiman, ibid., hlm. 5.
B. ESENSI DAN EKSISTENSI FILSAFAT ISLAM
G.T. Tennemann (wafat 1719) mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan
untuk mempelajari filsafat di kalangan bangsa Arab mengalami berbagai
rintangan sehingga karya mereka tidak dapat diperhitungkan sebagai hasil karya
sendiri. Ada empat faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat
sendiri, yakni: (1) kitab suci al-Qur’an menghalang-halangi kebebasan berpikir,
(2) kefanatikan golongan Ahlu-Sunnah, (3) keterpakuan pada pikiran-pikiran
Aristoteles padahal sesungguhnya pikiran-pikiran Aristoteles itu tidak dapat
dipahaminya dengan tepat, (4) tabiat mereka yang condong kepada angan-angan.
Demikian Tennemann menjelaskan.4 Dengan alasan tersebut, beliau
menyimpulkan bahwa karya kaum muslimin hanyalah sekedar ulasan terhadap
filsafat Aristoteles yang diterapkan atas ajaran-ajaran Islam yang menghendaki
kepercayaan yang buta.
Rasa fanatik rasial yang dirintis oleh Tennemann tersebut, dikembangkan
oleh Ernes Renan. Ia mengamati keadaan bahasa-bahasa Semit lalu didapatinya
beberapa kelemahan bangsa itu seperti yang diungkapkan oleh Tennemann tadi.
Selanjutnya Renan memberikan alasan-alasan yang nampaknya secara ilmiah,
seperti yang dikemukakan dalam bukunya “Averroes et 1’Averroisme”, bahwa
bangsa Semit di mana umatnya yang paling maju adalah umat Arab, tidak mampu
berfilsafat karena faktor kecenderungan mereka berangan-angan seperti yang
nampak dalam syair-syairnya. Oleh karena itu, menurutnya bahwa filsafat yang
ada pada mereka tidak lain hanyalah kutipan tandus semata-mata dari filsafat
Yunani.5
E. Renan mengakui adanya filsafat Islam yang berupa ilmu kalam. Rupanya
E. Renan bersikap lunak dalam menghadapi Islam sebagai agama yang bernilai
tinggi, yang membuka kemungkinan bangsa Semit dapat berpikir seperti halnya
dengan bangsa Ariamaka pernyataan Emile Brehier tadi menjelaskan lebih jauh
lagimengenai unsur-unsur filsafat Arab, yang menurutnya bukan semata-mata dari
4
Abu Ahmadi, Filsafat Islam (cetakan I, Semarang: Toha Putra, 1982), hlm.. 30.
5
A. Hanafi, Penqantar Filsafat Islam (cetakan III, Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 25-
27.
filsafat Yunani saja, akan tetapi juga dari unsur-unsur lain seperti peninggalan
budaya orang-orang Mazdak di Persia serta pikiran-pikiran India.
Max Horten melangkah lebih jauh lagi. Ia tidak mengikutsertakan persoalan
Semit dan Aria. Dikatakannya bahwa, berbicara tentang filsafat Islam tidak
sewajarnya bila dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal
sebagai kelompok filosof saja, melainkan harus pula diikutsertakan karya-karya
Mutakallimin. Pikiran-pikiran mereka, terutama menyangkut pembahasan-
pembahasan mengenai keadaan wujud dan pengenalan terhadap alam telah
mendahului pandangan kelompok filosof tersebut.6Horten mengakui bahwa Para
filosof Islam telah melengkapi kekurangan-kekurangan Aristoteles, suatu hal yang
menunjukkan kreativitas yang patut dihargai. Dari segi lain ia melihat keorisinilan
filsafat Islam karena keimanan yang teguh dimiliki oleh tokoh-tokohnya, yakni
bahwa Islam adalah agama wahyu yang mutlak kebenarannya.
Lain halnya dengan penilaian orientalist abad ke-20. L. Gauthier maupun
Emile Brehier keduanya mengakui adanya filsafat Arab. L. Gauthier menekankan
adanya kemungkinan bagi orang Arab berpikir seperti halnya pada bangsa-bangsa
Aria, sedangkan Emile Brehier melihat filosof Islam kebanyakan dari bangsa Aria
sendiri yang telah memeluk agama Islam dan menulis filsafatnya dalam bahasa
Arab.
Kedua tokoh di atas ini walaupun telah terbuka menilai eksistensi filsafat
Arab tetapi belum melihat Islam sebagai faktor yang menopang perwujudannya.
Max Horten justru melihat Islam sebagai faktor yang ikut menentukan corak
filsafat itu, sehingga ia lebih senang memakai istilah filsafat Islam ketimbang
dengan sebutan filsafat Arab. Rupanya beliau telah menyaksikan dalam sejarah
bahwa dengan Islam, bangsa Arab memperoleh kemajuan yang gemilang seperti
yang terlihat pada masa kejayaan Daulat Abbasiyah. Lagi pula pada umumnya
filosof Islam bukan dari kalangan bangsa Arab sebagaimana halnya pengakuan
Emile Brehier tadi. Lebih jelas lagi bahwa filsafat Islam tumbuh dan berkembang
di negeri-negeri Islam, di bawah naungan khalifah-khalifah Islam.
Dengan demikian, pandangan yang menyatakan Islam sebagai faktor
penghalang, secara berangsur-angsur hilang. Terutama karena al-Qur’an sendiri
Ibrahim Madkur, FilFalsafati Islamiyati, jilid I (cetakan III, Qairo: Darul 1-Ma’arif, 1976),
6
hlm. 212.
telah membangkitkan semangat berpikir di kalangan umatnya sebagaimana
terlihat dalam sejarah. Sehingga dalam tempo yang singkat, Islam telah
mewujudkan revolusi berpikir yang tidak ada tandingannya dalam sejarah umat
manusia. Pendapat yang dikemukakan oleh Max Horten tersebut diperkuat oleh
Maurice de Wulf dalam bukunya “Histoire de la Philosophie” bahwa filosof-
filosof Islam dalam penyelidikannya tentang wujud, lebih senang berpikir sendiri
dan tidak latah dalam menghadapi pemikiran filosof-filosof Yunani, karena
berpegang teguh pada prinsip al-Qur’an.7
Adanya keaslian filsafat Islam lebih tegas lagi dikemukakan oleh Montet
dalam bukunya “Al Islam”: Sesungguhnya filsafat Islam meskipun prinsip dan
dasardasarnya bersifat pikiran-pikiran Aristoteles, namun demikian ia bukanlah
suatu bentuk perulangan dari pikiran-pikiran Yunani. Karena orang-orang Islam
meskipun bersikap hormat terhadap orang-orang Yunani karena dianggap sebagai
guru besar mereka, namun pada batas-batas tertentu mereka dari betapa
pentingnya mempertahankan kemurnian dan identitas mereka, sebagaimana yang
tercermin pada buku buku hasil karya mereka.8
Muhammad Al Bahiy, al-Janibu l-Ilahiy mina t-Taf- kiri lIslamiy, jilid I (cetakan IV,
8
10
Ibid., hlm 22
menyebut kedua golongan itu sebagai golongan “ortodoks” dan “rasionalis,” yang
dimaksudkan Gibb dengan golongan ortodoks termasuk kaum Asy’ariyah yang
berhadapan dengan kaum Mu’tazilah.11
Sejak awal perkembangan Islam, para ulama telah menggunakan akal
pikiran dalam membicarakan persoalanpersoalan keagamaan. Akan tetapi, hal ini
masih terbatas sekali terutama pada persoalan-persoalan syariat Islam, mengingat
situasi dan kondisi belum mengizinkan untuk hal itu. Ketika itu juga, telah ada
berlaku di kalangan ulama prinsip berpegang teguh pada nash yang ada, tanpa
mengikut sertakan akal pikiran, khususnya dalam menghadapi persoalan-
persoalan aqidah. Lalu, setelah meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti
yang telah disebutkan, di antara ulama mulai menggunakan akal secara luas dalam
rangka pembelaan terhadap serangan pemeluk agama-agama lain.
Kalau kaum Mu’tazilah terkenal sebagai peletak batu pertama bagi lahirnya
filsafat Islam di kemudian hari, maka oleh sebagian penulis sejarah menganggap
Asy’ari dan pengikut-pengikutnya sebagai anti akal atau filsafat, tetapi hendaknya
dimaklumi bahwa kaum Ahlu As-Sunnah ini juga tetap menggunakan akal
walaupun terbatas, sepanjang tidak menyalahi ketentuan-ketentuan nash-nash
agama. Karena itu, berbeda dengan kelompok yang fanatik terhadap makna
lahiriah nash al-Qur’an dan al-Hadits dan pantang sekali menggunakan akal.
Kelompok terakhir ini terkenal sebagai “Ahlu dz Dzahir” atau golongan
tekstualis. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Tennemann.12
Baik Mu’tazilah maupun Asy’ari dan pengikut- pengikutnya memandang
perlu menggunakan akal, hanya saja otoritasnya berbeda. Kaum Mu’tazilah
berusaha menyesuaikan makna nash dengan akal, sedangkan kelompok Asy’ari
hanya menggunakan akal untuk memberikan argumentasi tentang kebenaran yang
terkandung pada nash-nash tersebut. Dengan demikian, sikap Asy’ari dalam
menghadapi golongan Mu’tazilah, walaupun oleh beberapa penulis
menganggapnya sebagai penolakan secara tidak langsung terhadap filsafat, namun
tidak benar sepenuhnya bila dikaitkan dengan pendapat Tennemann tersebut.
11
H.A.R. Gibb, Mohammedanism, diterjemahkan oleh Abu Salamah dengan judul “Islam
dalam Lintasan Dunia” (cetakan IV, Jakarta: Barata Karya Aksara), hlm. 87.
12
Syekh Muhammad Abduh, Risalatu t-Tauhid (cetakan Qairo: Maktabah wa Muthba’ah
Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1965), hlm. 12 dan 13.
Al-Gazali sendiri yang terkenal sebagai tokoh ulama yang telah mengkritik
pemikiran para filosof secara terang-terangan, tidak serta merta menggunakan
nash-nash agama, melainkan menggunakan senjata akal, tidak heran kalau ia
digolongkan juga sebagai filosof Islam, apalagi melihat beberapa karyanya yang
menunjukkan keahliannya
dalam bidang itu.
Kalau diperhatikan secara seksama, karya-karya al-Gazali mengenai
kritikannya terhadap pemikiran para filosof, bukannya mengingkari filsafat, akan
tetapi pada hakekatnya ia ingin meluruskan pemikiran itu ke arah yang lebih baik,
lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. AlGazali tidak mengkafirkan para
filosof karena filsafat itu sendiri, melainkan karena pemikiran-pemikirannya yang
tertentu. Juga perlu diperhatikan bahwa ia bukan saja menkritik para filosof, akan
tetapi menyeluruh pada semua golongan yang ada pada masanya, termasuk
kalangan sufi yang kemudian menjadi temannya dalam berkhalwat dan
bertafakkur.
Sebenarnya sikap yang menolak filsafat dalam dunia pikir Islam datang
sesudah masa al-Gazali, terutama setelah wafatnya Ibnu Rusyd, yang ketika itu
tidak ada lagi orang-orang yang mampu berpikir kreatif seperti dia. Atau, karena
filsafat telah jauh berpisah dengan ilmu pengetahuan, seperti pendapat al-Ahwani.
Apalagi ketika itu, sikap latah telah menyelimuti kemerdekaan berpikir di
kalangan umat. Lalu, timbullah sikap apriori yang menolaksecara total pemikiran
filosofis, mencemohkan logika dan menganggapnya sebagai kegiatan kekafiran.
Ibnu sh-Shalah (wafat 643 H) ketika diminta pendapatnya mengenai filsafat
dan ilmu mantik antara lain ia berkata,
“Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan
kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan
syari’ah yang suci yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti
yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka ia berteman kehinaan,
tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih
hina daripada ilmu yang membutakan dari orang yang memilikinya dan
menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita.”13
13
Hanafi, Op.cit, hlm. 33
Dikatakan lebih lanjut,
“Ilmu mantik adalah jalan menuju filsafat, sedang jalan kepada keburukan tentu
keburukan pula. Mempelajari mantik dan mengajarkannya tidak termasuk perkara
yang diperbolehkan oleh syara. Juga tidak direstui seorangpun dari kalangan
sahabat, tabiin, imam-imam mujtahidin, salafu shshalih dan semua yang
mengikutinya.”14
Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), seorang tokoh aliran seorang tokoh aliran
Salaf yang telah memerangi fungsi akal dalam membicarakan persoalan-persoalan
keagamaan, termasuk filsafat Islam yang dimaksudkan sebagai usaha singkretisasi
antara filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, segala unsur
pemikiran asing tidak pada tempatnya dicampuradukkan dengan ajaran Islam.
Kitabnya yang berjudul “Muwafaqatu Shahihi 1-Manquli sh-Sharihi 1Ma’qul”
dikhususkan untuk menolak segala bentuk pemikiran asing yang masuk ke dalam
Islam, terutama filsafat. Ia menegaskan hasil pemikiran kaum muslimin yang
berupa filsafat pada hakekatnya tidak lain dari persangkaan-persangkaan atau
khayalan yang diduga oleh mereka sebagai kebenaran.
Para pengkhayal (filosof) itu, kata Ibnu Taimiyah, telah melewati jalan di
sana dengan cara yang simpang siur. Mereka sering melontarkan kata-kata yang
tidak terbatas maknanya dan ketentuan-ketentuan yang diklaimnya penting,
padahal mereka sebenarnya memalsukan kebenaran. Sampai-sampai orang
menyangka kebatilan mereka sebagai petunjuk.15
Serangan Ibnu Taimiyah dilanjutkan kemudian oleh tokoh-tokoh aliran
Salaf lainnya seperti Ibnu 1-Qayyim, Muhammad bin Abdul 1-Wahhab dan
sebagainya.
Selain pandangan ulama yang menolak pemikiran filsafat, juga banyak
lainnya yang menganggap sangat penting adanya filsafat itu, terutama sangat
membantu dalam menjelaskan isi kandungan al-Qur’an dengan keterangan-
keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia. Al-Gazali sendiri walaupun
14
Ali Samiy an-Nasysyar, Manahiju l-Bahts ‘Inda Mufakkiri lIslam (cetakan I, Qairo: Daru
l-Fikri l-Arabiy, 1947), hlm. 142.
15
Bandingkan dengan keterangan Muhammad al-Bahiy, alFikru fi Tathawwurihi,
diterjemahkan oleh Bambang Saiful Ma’arif dengan judul “Pemikiran Islam” (cetakan II,
Bandung: Risalah, 1985), hlm.116.
secara eksplisit mengkritik para filosof, namun banyak juga menggunakan uraian-
uraian filosofis dalam karya-karyanya termasuk
dalam bidang tasawufnya.
Terlepas dari semua pandangan tersebut di atas para filosof Islam telah
membentuk kubu tersendiri dalam mempertahankan eksistensi mereka. Mereka
telah bertekad bulat dan menyatakan bahwa filsafat sama sekali tidak
bertentangan dengan agama. Sedemikian jauhnya itu, seakan-akan mereka
meyakini bahwa antara filsafat dan agama adalah dua saudara kembar yang harus
dipertemukan dalam segala halnya.
Al-Kindi, sebagai filosof Islam yang pertama, menyatakan bahwa antara
filsafat dan agama, keduanya adalah kebenaran. Selanjutnya al-Farabi
menambahkan bahwa kebenaran yang dibawa oleh wahyu dan dihasilkan oleh
filsafat hakekatnya hanya satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Pendapat al-
Farabi kemudian diteruskan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu Sina, hal ini lebih
jelas ketika membaca teori kenabian mereka.
Ibnu Tufail dalam karyanya “Hayy Ibn Yakzan” menunjukkan
keharmonisan antara filsafat dan agama. Ia mengangkat sebuah kisah petualangan
antara Hayy yang pada mulanya diasuh oleh seekor rusa yang kematian anak, lalu
menemukan hakekat lewat akalnya setelah ia dewasa; dan Absal, sebagai tokoh
yang dibesarkan oleh agama Wahyu; keduanya bertemu di sebuah pulau terpencil,
tempat Hayy dibesarkan. Lalu berdialoglah keduanya berdasarkan pengetahuan
masing-masing, dan ternyata Keduanya menemukan titik persamaan yaitu
kebenaran yang hakiki.16
Ibnu Rusyd sebagai pembela filosof kelas wahid, meninjaunya dari segi
lain. Ia bertolak dari pendapat umum, mengenai bolehnya menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih. Ibnu Rusyd menuturkan bahwa kalau ulama fiqhi dan kalam boleh
menakwilkan ayat-ayat itu, maka tidak ada salahnya bagi filosof untuk
melakukannya, bahkan filosof lebih berhak untuk itu karena merekalah yang lebih
banyak menekuni bidang pemikiran. Dengan demikian, filsafat mempunyai
tempat yang sangat mulia dalam Islam.17
16
Bandingkan dengan keterangan Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (cetakan
II, Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 82.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, penulis tidak ber maksud mendukung
pandangan yang anti kepada filsafat atau meyakini sepenuhnya pendirian filosof,
yang penting bahwa kedua pernyataan itu perlu dipertimbangkan untuk
menciptakan filsafat Islam yang lebih matang. Bagi penulis, tanpa mengurangi
penghargaan kita pada filosof-filosof klasik Islam, ada baiknya
mempertimbangkan penilaian dan kritikan tersebut sebab mungkin sekali terjadi
bahwa hakekat filsafat Islam terletak di antara dua ujung yang berlawanan itu,
mengingat bahwa filsafat Islam bukanlah suatu cara berpikir yang konstan,
melainkan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sebagaimana halnya
proses yang dialami oleh filsafat sebelumnya.
Filosof-filosof Islam klasik telah berhasil membuka cakrawala berpikir di
kalangan umat pada masanya dengan jalan memperkenalkan cara berpikir bangsa-
bangsa yang telah maju ketika itu, khususnya cara berpikir orang-orang Yunani.
Kini tugas pemikir-pemikir muslim lebih berat lagi, yaitu bagaimana
menyelamatkan agama di tengah-tengah perkembangan sains dan teknologi yang
serba materialistis atau mengendalikan kebudayaan itu dari geraknya yang
kehilangan arah dan tujuan hakiki.
2. Tentang Kejadian Alam (Timbulnya yang Banyak Dari yang Maha Satu)
18
Amsal Bakhtiar, Tema-TemaFilsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006, cet I, hlm.
120-121
19
Natta Abuddin, Studi Islam Komprehensif, Jakarta:KENCANA, 2011.hlm.304.
20
Natta Abuddin, ibid., hlm. 305.
Dalam membahas Tuhan, para filsuf itu ingin menjelaskan keesaan
mutlak Tuhan. Menurut al-Kindi, misalnya bahwa Tuhan adalah unik, tidak
mengandung arti juz’i (particular) dan tidak pula mengandung arti kulli
(universal). Ia adalah semata-mata satu. Hanya ialah yang satu, selain-Nya
mengandung arti banyak.Untuk menjauhkan Tuhan dari arti banyak al-Farabi
sebagaimana Plotinus berpendapat, bahwa alam ini memancar dari Tuhan
dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh.Antara alam materi dan
Tuhan terdapat pengantara.Tuhan berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran
ini timbullah tama.Akal pertaman berpikir tentang Tuhan, dan dari prmikiran
ini tibullah akal kedua. Akal kedua ini berpikir tentang Tuhan, dna timbullah
akal ketiga denhgan demikian seterusnya sehingga terwujud akal kesepuluh.
Akal pertama selanjutnya berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran
kedua inilah timbul langit pertama. Akal-akal lainnya juga berpikir tentang
dirinya masing-masing, dan dari pemikiran ini timbullah bintang-bintang,
Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, Mercurius, bulan, dan bumi serta
semua yang ada di dalamnya. Dengan demiian Tuhan Yang Maha Esa tidak
mempunyai hubungan langsung malahan jauh dari alam materi yang
mengandung arti banyak ini.Demikianlah pendapat al-Farabi.
Ibn Sina mempunyai filsafat emanasi yang sama dengan al-Farabi. Bagi
Ibn Sina akal-akal itu ialah malaikat, dan Akal Kesepuluh yang mengatur Bumi
adalah Jibril.Menurut mereka kejadian alam adalah kejadian dalam bentuk
pancaran yang tidak mempunyai permulaan waktu.Dapat dipahami bahwa
materi asal yang menjadi dasar alam bagi mereka bersifatqodim, dalam arti
tidak mempunyai permulaan dalam waktu.21
21
Natta Abuddin, ibid., hlm. 305.
yang lahir saja dan dalam halini manusia dan binatang sama.22 Pengetahuan
akal menggambarkan hakikat, dan hanya dapat diperoleh manusia, dengan
syarat ia harus melepaskan dirinya terlebih dahulu dari sifat kebinatangan yang
terdapat dalam tubuhnya.
Jika roh telah meninggalkan keinginan badan, bersih dari segala noda
kematerian dan senantiasa berpikir tentang hakikat wujud, ia akan menjadi suci
dan ketika itu dapatlah ia menangkap gambaran segala hakikat. Adapun fungsi
roh tak ubahnya seperti cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-
benda yang ada di depannya. Karena roh adalah cahaya dari Tuhan, roh dapat
menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan.Tetapi kalau roh kotor, maka
sebagai cermin yang kotor, ia tak dapat menerima pengetahuan yang
dipancarkanTuhan itu.
Keberadaan roh bersifat kekal dan tidak akan hancur dengan hancurnya
badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan.
Selama roh berada dalam badan, ia tidak memperoleh kesenangan dan
pengetahuan yang sebenarnya. Kesenangan ini hanya diperoleh setelah roh
bercerai dengan badan. Setelah terlepas dari ikatan badan, roh akan pergi ke
Alam al-Haqq (dunia kebenaran) atau Alam Al’Aql (Alam akal) di atas bintang-
bintang di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat
melihat Tuhan. Disinilah terletak kesenangan abadi dari roh.
Gambaran tentang pembagian roh secara lebih terang dan lebih baik
kedalam beberapa bagian tentang daya yang ada padanya, diberikan oleh Ibn
Sinase bagai berikut:
22
Natta Abuddin, ibid.,hlm. 306.
b. Representasi (al-khayal) yang menyimpan segala apa yang diterima
indra bersama.
c. Imajinasi (al-mutakhayyilah) yang menyusun apa yang tersimpan
dalam representasi.
d. Estimasi (al-wahmiyah) yang dapat menangkap hal-hal yang
abstrak yang terlepas dari materinya, umpamanya keharusan lari
bagi kambing yang melihat serigala; dan
e. Rekoleksi (al-hafidzah) yang menyimpan hal-hal abstrak yang
disusun oleh estimasi.
c. Roh manusia dengan dua daya, yaitu:
a. Praktis (al-alamiah) yang hubungannya dengan badan dan materi;
dan
b. Teoritis (al-alamiah atau al–nadzariyah) yang hubungannya
dengan hal-hal yang abstrak.
d. Daya ini mempunyai tingkatan-tingkatan:
a. Akal materiil(al-‘aqalal-hayulaniy) yang baru mempunyai
potensialitas untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit;
b. Intellectus in habitu (al-‘aql bi al-malakah) yang telah mulai dilatih
untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak;
c. Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berpikir tentang hal-
hal abstrak; dan
d. Acquired intellect (al-mustafad) yang telah sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu lagi pada adanya upaya.23
Akal dalam tingkatan ini telah dilatih begitu rupa sehingga hal-hal yang
abstrak selamanya terdapat di dalamnya; akal dalam tingkatan ini lah yang
dapat menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal-akal (al-aql al-Fa’al)
yang berada diluar diri manusia.24
25
Natta Abuddin,ibid.,hlm. 308.
kita dalam melakukan penalaran, hal ini sejalan dengan berkembangnya cara
pikiran yang lebih kritis, sehingga kita memiliki sudut pandang yang lebih luas
dan berbeda. Kelima, belajar dari para filusuf lewat karya-karya besar mereka,
sehingga kita akan semakin tahu betapa besarnya pengaruh filsafat dalam
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, karya seni,
pemerintahan, serta bidang-bidang lainnya. Keenam, filsafat akan membukan
cakrawala berpikir yang baru, sehingga akan diperoleh ide-ide yang lebih kreatif
dalam memecahkan suatu persoalan atau inovasi pemecahan masalah. Ketujuh,
filsafat membantu kita menjadi diri sendiri, maksudnya lewat cara berpikir yang
sistematis, holistik dan radikal yang diajarkan tanpa terpengaruh oleh pendapat
dan pandangan umum terhadap suatu hal. Kedelapan, filsafat dapat membangun
semangat toleransi, maksudnya keharmonisan hidup akan meningkatditengah
perbedaan pandangan atau pluralitas.26
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filsafat Islam artinya berpikir secara bebas dan radikal namun masih di
bawah koridor Islam. Salah satu hal utama yang membedakan filsafat Islam
dengan filsafat Yunani atau filsafat Barat adalah pada segi pemahamannya. Pada
filsafat Barat memiliki paham sekularisme yang memisahkan antara agama
dengan filsafat sedangkan filsafat Islam bersifat universal namun berlandaskan
agama.Latar belakang lahirnya filsafat Islam adalah karena pada ke 16 umat Islam
menjalankan ibadah hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Pokok-pokok
26
Tim redaksi manfaat, https://manfaat.co.id. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2021 pukul
12.19.
masalah yang dibahas dalam filsafat Islam adalah hubungan filsafat (akal) dan
agama, tentang kejadian alam, dan tentang roh serta kelangsungan hidup.
Cara menyikapi perbedaan pendapat para filusuf mengenai filsafat Islam
adalah dengan cara sikap terbuka dan toleran. Dengan mempelajari filsafat Islam
kita dapat melihat segala sesuatu tidak hanya yang tampak dipermukaan saja tapi
lebih jauh dan luas. Selain itu manfaat mempelajari filsafat membuat kita
memahami diri dan sekeliling dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar filsafat
mengasah pikiran untuk lebih kritis. Hal ini membuat kita tidak begitu saja
menerima sesuatu tanpa mengetahui maksudnya.
B. SARAN
Diharapkan perkembangan ilmu yang pesat di zaman modern ini tidak luput
dari nilai-nilai agama dan agama dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya.Tanpa adanya bimbingan terhadap ilmu
dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin menyejahterakan
manusia, tetapi justru merusak bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA