Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

PNEUMOTHORAKS SPONTAN SEKUNDER EC. TB MILIER

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Kota Banda Aceh Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Oleh
Fani Sholeha
18174081
Nadya Ananda Sari
18174071

Pembimbing
dr. Nurfitriani, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA KOTA BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izinnya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Pneumothoraks spontan
sekunder ec TB Paru. Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit
Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh.
Pada kesempatan ini saya ucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing dr.
Nurfiriani, Sp. P yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan.
Besar harapan penulis agar Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk
meningkatkan keilmuannya.

Banda Aceh, 29 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................v

DAFTAR TABEL ..........................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II STATUS PASIEN.............................................................................. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 15

3.1 PNEUMOTHORAX.............................................................................. 15
3.1.1 Definisi.................................................................................................... 15
3.1.2 Epidemiologi............................................................................................ 15
3.1.3 Patogenesis.............................................................................................. 16
3.1.4 Manifestasi Klinis.................................................................................... 22
3.1.5 Diagnosis................................................................................................. 22
3.1.6 Penghitungan Luas Pneumothorax.......................................................... 24
3.1.7 Penatalaksanaan....................................................................................... 25
3.1.8 Komplikasi............................................................................................... 27
3.1.9 Prognosis ................................................................................................. 27
3.2 TB MILIER............................................................................................. 27
3.2.1 Definisi.................................................................................................... 27
3.2.2 Etiologi.................................................................................................... 28
3.2.3 Patogenesis.............................................................................................. 28
3.2.4 Manifestasi Klinis.................................................................................... 30
3.2.5 Diagnosis................................................................................................. 31
3.2.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 32
3.2.7 Diagnosa Banding ................................................................................... 35
3.2.8 Penatalaksanaan....................................................................................... 36

iii
3.2.9 Prognosis.................................................................................................. 39
BAB IV ANALISA KASUS........................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 43

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil Foto Thorax PA/Lat 23/04/2021........................................ 9


Gambar 2.2 Hasil Foto Thorax PA/Lat 27/04/2021........................................ 14
Gambar 3.1 Pneumothorax.............................................................................. 16
Gambar 3.2 Bagan Patogenesis Tuberkulosis ................................................ 30

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hasil Laboratorium tanggal 23/04/2021.......................................... 8


Tabel 3.1 Dosis obat yang dianjurkan..............................................................37
Tabel 3.2 Efek samping OAT..........................................................................37

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pneumothoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura dari dada
antara paru-paru dan dinding dada. Pneumothoraks dapat terjadi spontan ataupun akibat
trauma. Pneumothoraks spontan bisa terjadi secara primer yaitu tanpa ada riwayat
penyakit paru yang mendasari sebelumnya atau Pneumothoraks Spontan Primer (PSP)
maupun secara sekunder yaitu disebabkan penyakit paru yang mendasarinya atau
Pneumothoraks Spontan Sekunder (PSS) seperti Tuberkulosis paru, Penyakit Paru
Obstuktif Kronik, Pneumonia dan sebagainya. Insidens pneumothoraks sulit diketahui
karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak daripada wanita
dengan perbandingan 5:1.1

Negara Inggris melaporkan jumlah kematian akibat pneumothoraks 1,26 per


1.000.000 orang per tahun pada laki-laki dan 0,62 pada wanita. Angka kematian lebih
tinggi pada lansia dan PSS. Pneumothoraks dapat terjadi akibat pecahnya permukaan
paru-paru yang memungkinkan udara keluar ke rongga pleura, biasanya akibat luka
tusukan pada dinding dada sehingga udara masuk ke rongga pleura. Namun tanpa trauma
dada, pneumothoraks juga dapat terjadi secara spontan. Pada PSP penyebabnya belum
diketahui, sedangkan pada PSS paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) sebanyak 70% kasus.1

Penyebab lain bisa juga infeksi pada paru seperti TB paru, asma bronkhial,
pneumonia dan sebagainya. Pneumothoraks spontan sekunder terjadi akibat pecahnya
bleb viseralis atau bulla subpleura yang berhubungan dengan penyakit dasarnya.
Pneumothoraks yang terjadi akibat TB paru sudah banyak ditemukan, walaupun belum
banyak penelitian yang membahas hal ini. Probabilitas terjadinya pneumothoraks pada
pasien TB paru mencapai 0,6-1,4%, sehingga dapat diestimasikan ±1% pasien dengan TB
paru akan mengalami pneumothoraks. Penanganan pneumothoraks tergantung dari
luasnya.2

Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen sistemik akibat


penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks primer, yang biasanya
terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal. TB milier dapat mengenai 1
organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi pada beberapa organ (seluruh

1
tubuh, >90%), termasuk otak. Tujuan dari penanganan yang diberikan adalah
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh
lagi. Prinsip penanganan meliputi observasi dan pemberian tambahan oksigen, aspirasi
sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa pleurodesis,
torakoskopi dan torakotomi. Komplikasi yang dapat terjadi ialah tension pneumothoraks
(3-5% pasien), kegagalan respirasi akut, pio-pneumothoraks, hidro/hemo-pneumothoraks,
henti jantung paru dan kematian. Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir
separuhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien yang dilakukan
torakotomi terbuka. Pasien yang sudah ditangani dengan baik umumnya jarang
mengalami komplikasi, kecuali pada PSS yang tergantung penyakit yang mendasari.3

2
1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Nanang Budianto


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 06/11/1980
Umur : 30 Tahun
Alamat : Darul Imarah
Agama : Muslim
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Rawatan : 22/04/2021
No. RM :143037

A. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama:
Sesak napas sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
2. Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, nyeri dada dan mual
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Meuraxa dengan keluhan sesak napas sejak 4
hari yang lalu. Sesak di rasakan terus menerus dalam 4 hari terakhir tetapi sesak tiba-
tiba memberat sejak 3 jam SMRS. Sesak memberat dengan aktivitas terutama saat
berjalan dan pasien lebih nyaman jika berbaring dengan 1 bantal. Pasien juga
mengatakan bahwa jika menarik napas dalam pasien merasakan nyeri dada kanan
bagian atas. Sesak tidak di pengaruhi oleh cuaca, debu dan makanan. Selain itu pasien
mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu tetapi sulit untuk dikeluarkan.
Riwayat batuk darah disangkal oleh pasien. Saat ini tidak ada demam, tidak ada

3
keringat malam dan tidak ada penurunan berat badan. Nafsu makan pasien baik, tidak
ada keluhan muntah tetapi pasien merasa mual, BAB dan BAK tidak ada kelainan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat sakit serupa : Pada bulan Februari 2021 pasien di
rawat di RSUD Meuraxa dengan
keluhan serupa yaitu dengan diagnosa
Pneumothorax spontan sekunder
sinistra
 Riwayat TB : Pasien menderita TB pada bulan
Januari 2021
 Riwayat Covid 19 : Pasien terkonfirmasi positif Covid 19
pada Februari 2021
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat OAT : Menggunakan OAT pada bulan
Januari 2021 sampai dengan sekarang
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat sakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat trauma dada : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi : ada
 Riwayat sakit jantung : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat TB : disangkal

4
 Riwayat tumor dalam keluarga : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
 Pasien sudah berhenti merokok sejak 4 bulan yang lalu. Sebelumnya
pasien perokok aktif selama 15 tahun yang lalu.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien bekerja sebagai buruh
 Pasien memiliki 3 anak
 Status sosioekonomi pasien menengah

8. Riwayat Penggunaan Obat


 Pasien mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sejak Januari 2021
sampai dengan sekarang

B. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan : 22 April 2021
Tempat pemeriksaan : Ruang Senarai RSUD Meuraxa
A. Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
IMT : 18,38 (Normal)
Tanda vital
- TD : 148/90 mmHg
- HR : 69x/menit
- RR : 22 x/menit
- SpO2 : 97%
- Suhu : 36,0°C (per axilla)
B. Status Internus
- Kepala/Leher : Normosefali, jejas (-), bengkak (-)

5
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Refleks cahaya (+/+)
: Konjungtiva anemis (-/-)
: Sklera Ikterik (-/-)
: Pupil isokor, 3 mm/3 mm
- Hidung : Deviasi septum (-), nyeri (-). Sekret (-)
: Septum nasi di tengah, napas cuping hidung (-)
- Telinga : Nyeri tekan tragus (-), Sekret (-)
: penurunan fungsi pendengaran (-/-)
- Mulut/faring : Sianosis (-), hiperemis (-), Pursed lip breating (+)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorak
 Paru (Anterior)
Inspeksi Statis : Pergerakan dinding dada asimetris kanan dan kiri
Inspeksi Dinamis : Pengembangan dada asimetris antara kanan dan kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan melemah
Perkusi : Hipersonor pada lapangan paru kanan atas
Auskultasi : Bronkial (↓/+), ronkhi basah kasar di lapangan paru
kanan atas, wheezing (-/-)
 Paru (Posterior)
Inspeksi Statis : Pergerakan dinding dada asimetris kanan dan kiri
Inspeksi Dinamis : Pengembangan dada asimetris antara kanan dan kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan melemah
Perkusi : Hipersonor pada lapangan paru kanan atas
Auskultasi : Bronkial (↓/+), ronkhi basah kasar di lapangan paru
kanan atas, wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

6
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)

Perkusi : Redup, batas jantung normal

Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop

 Abdomen
Inspeksi : Datar, bekas luka (-)

Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)

: Hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan suprapubik


(-), nyeri ketok CVA dextra et sinistra (-)

 Ekstremitas

- - - -

- - - -
Oedem Akral dingin

 Genitalia : Tidak dilakukan Pemeriksaan

7
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 2.1 Hasil Laboratorium tanggal 23/04/2021


Darah Rutin :

 Leukosit : 7,1 (N: 4,0 – 10,0)


 Eritrosit : 4,86x106 (N: 4,4-5,9x106)
 Hemoglobin : 14,4 (N: 13-18)
 Hematokrit : 40,4 (N: 42-52)
 MCV : 83,1 (N: 79-99)
 MCH : 29,8 (N: 28-33)
 MCHC : 35,9 (N: 33-36)
 Eosinophil : 10,4 (N: 2.0-4.0)
 Basophil : 1.0 (N: 0-1)
 Neutrofil: 52,6 (N: 40.0-70.0)
 Limfosit : 25.0 (N: 20,0-40.0)
 Monosit: 11,0 (N: 2.0-8.0)
 Trombosit : 462.000 (N: 150.000-450.000)
Kimia Klinik :

 Glukosa ad Random : 92 mg/dl (70-160)


 SGOT : 26 (N: 0-37 U/L)
 SGPT: 17 (N: 0-42 U/L)
 Ureum : 15(N: 10-50 mg/dL)
 Creatinin : 0,9 (N:0,6-1,1 mg/dL)
Elektrolit :
 Natrium : 139 mmol/ L(N: 135-145 )
 Kalium : 3,8 mmol/L(N: 3,6-5,1)
 Chlorida: 103 mmol/L (N:95-108)

8
Kimia Lemak :
 Asam Urat: 2,9 mg/dL (N: 3,4-7,0)
 Kolesterol total : 171 mg/dL (N: <200)
 HDL: 41 mg/dL (N >45)
 LDL: 106 mg/dL (N: <160)
 Trigliserida: 118 mg/dL (N: 0,0-150)
Imunoserologi
 Rapid Antigen SARS CoV Negatif

Gambar 2.1. Hasil Foto Rongent Tanggal 23/04/2021

D. DIAGNOSA BANDING :
 Pnemothorax spontan sekunder

9
 Pnemomediastium
 Efusi pleura

E. DIAGNOSA KERJA : Pneumothoraks Spontan Sekunder Dextra ec TB


Milier on Terapi

F. PENATALAKSANAAN

: - Oksigen continue 6 L/i

: - IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i

: - Inj Ceftazidime 1 g/12 jam

: - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam

: - Inj Vit C 1000 mg/hari

: - OAT 2 FDC 1x3 tab

: - Acetyl Cystein 3x200 mg

: - Curcuma 1x1 tab

: - Vit B Complex 2x1

10
G. FOLLOW UP

Tanggal Follow up Terapi


23/04/2021 S : Sesak napas (+), batuk berdahak Oksigen kanul 6 L/i
(+), mual (+), muntah (-), demam (-) IVFD Nacl 0.9% 20 ggt/i
Inj. Ceftazidime 1 gr/12 jam
O : KU : Baik
Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam
TD : 109/89 mmHg
Inj. Vit C 1000 mg/hari
HR : 84x/menit
OAT 2 FDC 1x3 tab
RR : 24x/menit
Acety cysteine 3x200 mg
T : 36,70C
Curcuma 1x1 tab
SPO2: 97%
Vit B complex 2x1 tab
PF :
 Cor: S1-S2 reguler, gallop
Terapi tambahan:
(-), murmur (-)
Nebul Nacl 3%
 Pulmo: Bronkial (↓/+), Ronki
basah kasar di paru kanan
atas, Wheezing (-/-)
A:

Pneumothoraks spontan sekunder


dextra ec TB paru

P/
Cek BTA
24/04/2021 S : Sesak napas (↓), batuk berdahak Oksigen kanul 6 L/I
(+), mual (+), muntah (+), demam (-) Nebul Nacl 3%
O : KU : Baik IVFD Nacl 0,9% 20 ggt/i
TD : 89/67 mmHg Inj. Ceftazidime 1 gr/12 jam
HR : 76x/menit Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam
RR : 22x/menit Inj. Vit C 1000 mg/hari
SPO2: 97% OAT 2 FDC 1x3 tab
10
PF: Acetyl cysteine 3x200 mg
 Cor: S1-S2 reguler, gallop Curcuma 1x1 tab
(-), murmur (-) Vit B complex 2x1 tab
 Pulmo: Bronkial (↓/+), Ronki
basah kasar di lapangan paru
atas kanan, Wheezing (-/-)

A:
Pneumothoraks spontan sekunder
dextra ec TB milier

Sputum tidak keluar, BTA (-)


25/04/2021 S : Sesak napas (+), batuk berdahak Oksigen kanul 6 L/i
(+), mual (+), muntah (-), demam (-) IVFD Nacl 0.9% 20 ggt/i
O : KU: Inj. Ceftazidime 1 gr/12 jam
TD : 100/77 mmHg Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam
HR : 89x/menit Inj. Vit C 1000 mg/hari
RR : 20x/menit OAT 2 FDC 1x3 tab
SPO2: 97% Acety cysteine 3x200 mg
PF : Curcuma 1x1 tab
 Cor: S1-S2 reguler, gallop Vit B complex 2x1 tab
(-), murmur (-)
 Pulmo: Bronkial (↓/+), Ronki
basah kasar di lapangan paru
atas kanan, Wheezing (-/-)

A:
Pneumothoraks spontan sekunder
dextra ec TB milier

11
P/
Foto thoraks ulang tanggal
27/04/2021
26/02/2021 S : Sesak napas (-), pasien sudah Oksigen kanul 6 L/I → STOP
tidak menggunakan Oksigen, batuk IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
berdahak (↓), mual (-), muntah (-), Inj. Ceftazidime 1 gr/12 jam
demam (-) Inj. Vit C 1000 mg/hari
OAT 2 FDC 1x3 tab
O : KU : Baik Acetyl cysteine 3x200 mg
TD : 103/71 Curcuma 1x1 tab
HR : 69x/menit Vit B complex 2x1 tab
RR : 22x/menit
SPO2: 97% Rencana PBJ tanggal
PF : 27/04/2021
 Cor: S1-S2 reguler, gallop
(-), murmur (-)
 Pulmo: Bronkial (↓/+), Ronki
basah kasar dilapangan paru
kanan atas, Wheezing (-/-)

A:
Pneumothoraks spontan sekunder
dextra ec TB milier

P/
Foto thoraks ulang tanggal
27/04/2021
27/02/2021 S : Sesak napas (-), batuk berdahak
(↓), mual (-), muntah (-), demam (-) IVFD Nacl 0.9% 20 ggt/i
O : KU : Baik Inj. Ceftazidime 1 gr/12 jam

12
TD : 110/82 Inj. Vit C 1000 mg/hari
HR : 100x/menit OAT 2 FDC 1x 3 tab
RR : 22x/menit Acetyl cysteine 3x200 mg
SPO2 : 98% Curcuma 1x1 tab
PF: Vit B complex 2x1 tab
 Cor: S1-S2 reguler, gallop
(-), murmur (-) ACC PBJ dengan obat pulang:
 Pulmo: Bronkial (↓/+), Ronki - OAT 2 FDC 1x 3 tab
basah kasar dilapangan paru - Curcuma 2x1
kanan atas, Wheezing (-/-) - Vit B compleks 1x1
- Sucralfat syr 3 x 1 C
A:
Pneumothoraks spontan sekunder
dextra ec TB milier

13
Gambar 2.2. Gambar Foto Rongent tanggal 27/04/2021

BAB III
14
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PNEUMOTHORAX

3.1.1 Definisi

Pneumothorax adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura antara
pleura viseralis dan parietalis. Hal ini dapat terjadi akibat pecahnya permukaan paru-
paru sehingga udara dapat keluar menuju rongga pleura dan dapat terjadi secara
spontan yaitu terjadi tanpa adanya trauma atau sebab lainnya, pada orang tanpa
kondisi paru-paru kronis (primer) serta pada mereka dengan penyakit paru-paru
(sekunder), banyak pneumotoraks terjadi langsung atau tidak langsung terhadap dada,
cedera ledakan, atau sebagai komplikasi perawatan medis. Meskipun tekanan intra-
pleura negatif sepanjang siklus pernapasan, udara tidak dapat masuk ke dalam ruang
pleura karena jumlah seluruh tekanan partial gas di kapiler darah rata-rata hanya 706
mmHg. Pergerakan gas bersih dari kapiler darah menuju ruang pleura akan
membutuhkan kurang dari -54 mmHg yang sangat jarang terjadi pada keadaan
normal.4

15
Gambar 3.1 Pneumothorax.4

3.1.2 Etiologi dan Klasifikasi

Pneumothorax dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru yang pecah,


memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke ruang pleura. Hal ini dapat terjadi
ketika luka beberapa tusukan dinding dada, yang memungkinkan udara luar masuk
ruang pleura. Sebuah pneumothorax spontan terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya
disebabkan oleh pecahnya kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut dapat
terjadi tanpa penyakit paru-paru yang berhubungan atau mereka dapat berkembang
karena berbagai gangguan paru-paru yang mendasari emfisema yang paling umum.1

1. Pneumothorax Spontan
a. Pneumothorax Spontan Primer (PSP)

Pneumothorax spontan primer terjadi tanpa adanya penyakit paru-paru karena


robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis
membuktikan bahwa pasien pneumothorax spontan yang parunya direseksi tampak
adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bulla yang dibatasi pleura
fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh

16
jaringan paru emphiematous. Proses terbentuknya bulla belum diketahui. Banyak
pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan
iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di daerah apeks paru akibat tekanan
pleura yang lebih negatif. Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-
valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi ruang udara bagian
distalnya.1,5

Pneumothorax cenderung terjadi pada usia muda tanpa masalah paru-paru yang
mendasari dan tidak berhubungan dengan aktifitas fisik yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala. Nyeri dada dan kadang-kadang sesak napas ringan adalah gejala
dominan. Setengah dari mereka dengan pneumotoraks spontan primer menunggu
beberapa hari untuk mencari bantuan medis. Gejala biasanya mulai saat istirahat.
Laki-laki tinggi, terutama perokok adalah khas pada risiko yang lebih tinggi dari PSP.
Telah ditemukan bahwa PSP terjadi lebih sering selama perubahan tekanan atmosfer
dan saat terpapar musik keras, dan ini menjelaskan mengapa episode pneumotoraks
dapat terjadi dalam kelompok.1

b. Pneumothorax Spontan Sekunder (PSS)


Pneumothorax Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis dan
sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului. Patogenesis
Pneumothoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya terjadi akibat
komplikasi penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), tuberkulosis, asma dan penyakit
paru lain. PSS umumnya lebih berat daripada pneumothorax spontan primer karena
pada pneumothorax spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya
mendahuluinya. Gejala cenderung lebih parah, sebagian paru-paru tidak terpengaruh
pada umumnya tidak mampu menggantikan hilangnya fungsi dari sisi yang terkena.
Hipoksia (penurunan kadar oksigen dalam darah) biasanya hadir dan dapat diamati
sebagai sianosis (warna biru pada bibir dan kulit). Hiperkapnia (akumulasi karbon
dioksida dalam darah) kadang-kadang didapati. Hal ini dapat menyebabkan
kebingungan dan koma.1

17
c. Trauma Pneumothorax
Pneumothorak sebagai terjadi akibat adanya trauma karena lubang di dinding dada
yang memungkinkan udara masuk ruang pleura atau karena cedera pada paru-paru.
Baik trauma tumpul maupun trauma tajam di dinding dada. Ditemukan pada setengah
dari semua kasus cedera pada dada, datang kedua setelah patah tulang rusuk dalam
komplikasi setelah trauma. Pneumothorax ini dapat kecil dalam setengah dari kasus
ini tetapi mereka bisa membesar jika orang tersebut membutuhkan ventilasi mekanis
dan kehadiran mereka karena itu masih relevan. Hal ini juga sering ditemui pada
mereka yang sudah menerima ventilisi mekanis.1

Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi 2 jenis yaitu:1,6

1. Pneumothorax traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraxs yang terjadi


karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
2. Pneumothorax traumatik iatrogenik yaitu pneumothorax yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumothorax jenis masih dibedakan menjadi
dua, yaitu: Pneumothorax traumatik iatrogenik aksidental adalah suatu
pneumothorax yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau
komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi
pleura. Sedangkan Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
adalah suatu pneumothorax yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan
udara ke dalam rongga pleura. Tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik maupun untuk
menilai permukaan paru.

Berdasarkan jenis fistulanya maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke


dalam tiga jenis, yaitu:6

1. Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax). Pada tipe ini, pleura dalam


keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada) sehingga tidak
ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya

18
mungkin positif namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap
oleh jaringan paru disekitarnya. Kondisi tersebut, paru belum mengalami re-
ekspansi sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya
sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
dirongga pleura tetap negatif.
2. Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax). Yaitu pneumotoraks dimana
terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan
bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pneumothorax terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan
yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Saat inspirasi tekanan menjadi
negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu saat
inspirasi mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound).
3. Pneumothorax Ventil (Tension Pneumothorax) adalah pneumothorax dengan
tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena
ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara
masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus
menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam
rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas.

3.1.3 Patogenesis dan Fisiologi


Rongga dada adalah ruang kosong yang berisi paru-paru. Paru-paru secara
fisik terhubung pada hila di mana saluran udara dan pembuluh darah memasuki
paru. Mereka tetap meningkat di dalam rongga dada karena tekanan di dalam ruang
pleura (ruang antara dinding dada dan paru-paru) adalah hampir konsisten negatif
sepanjang siklus pernapasan, efektif mengisap paru-paru ke dinding dada. Dalam

19
keadaan normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif. Tekanan negatif tersebut
menyebabkan paru dapat mengembang mengikuti pergerakan dinding dada pada
saat inspirasi dan mengempis sesuai dengan gaya lenting paru pada saat ekspirasi.
Apabila rongga pleura terisi udara, maka tekanan negatif akan hilang sehingga paru
tidak dapat mengembang mengikuti dinding dada dan cenderung mengecil (recoil)
mengikuti gaya lenting yang sesuai dengan sifat jaringan paru. Semakin luas
pneumotoraks, semakin kecil ukuran paru sehingga menurunkan kapasitas vital
paru.6

Baik paru-paru dan dinding dada ditutupi oleh lapisan sel yang dikenal
sebagai pleura (pleura viseral dan parietal) dan sejumlah kecil cairan serosa biasanya
hadir. Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesothelial, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh darah dan kapiler serta saluran limfatikus. Rongga pleura
dibatasi oleh dua lapisan tipis mesothelial, terdiri dari pleura parietalis yang melapisi
otot-otot, dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum. Dan
pleura viseralis yang melapisi paru, dan menyusup ke semua fisura. Rongga pleura
yang normal terisi cairan (10-20 mL) dan berfungsi sebagai pelumas di antara kedua
lapisan pleura.5

Tekanan negatif biasanya tidak memungkinkan udara masuk ruang pleura


karena tidak ada koneksi alami untuk ruang yang berisi udara, dan tekanan gas
dalam aliran darah terlalu rendah untuk mereka yang akan dirilis ke ruang pleura.
Pneumothorax karena itu hanya bisa berkembang jika udara diizinkan masuk, baik
melalui kerusakan pada dinding dada atau kerusakan pada paru-paru itu sendiri atau
kadang-kadang karena mikroorganisme dalam ruang menghasilkan gas. Cacat
dinding dada biasanya terlihat dalam kasus-kasus cedera pada dinding dada seperti
luka peluru (pneumothorax terbuka). Pada pnemothorax spontan sekunder,
kerentanan dalam jaringan paru-paru disebabkan oleh berbagai proses penyakit
seperti bullae (besar udara yang mengandung lesi) di emphysema.1

Wilayah nekrosis (kematian jaringan) dapat memicu episode pneumothorax,


walaupun mekanisme yang tepat tidak jelas. Pneumothorax spontan primer telah
20
bertahun-tahun telah dianggap disebabkan, “blebs” oleh lesi kecil tepat di bawah
permukaan pleura yang diduga menjadi lebih umum pada mereka klasik berisiko
pneumothorax. Tension pneumotoraks terjadi karena pembukaan yang
memungkinkan udara untuk memasukkan fungsi ruang pleura seperti katup, dan
dengan setiap napas lebih banyak udara masuk dan tidak dapat melarikan diri.
Hipoksia berat dengan penurunan resultan tekanan darah dan tingkat kesadaran.
Sebuah sebelumnya mengucapkan teori bahwa paru-paru runtuh kompres pembuluh
darah besar seperti aorta mungkin salah.1

3.3. 1 Pneumothorax spontan primer (PSP)


PSP terjadi karena robeknya suatu kantung udara dekat pleura viseralis.
Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan
yang parunya di reseksi tampak adanya satu atau dua ruang beriri udara dalam
bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh
pleura fibrotic yang menebal, sebgaian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan
sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematos. Bleb terbentuk dari suatu alveoli
yang pecah melalu jaringan intersisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis
yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terbentuknya bulla atau
bleb belum jelas, banyak pendapat mengatakan terjadi kerusakan bagian apeks paru
berhubungan dengan iskemi atau peningkatan distensi pada alveolus bagian apeks
paru karena akibat tekanan pleura yang lebih negatif. Pecahnya alveoli berhubungan
dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil sehingga timbul distensi
tuang udara bagian distalnya.1,5

3.3. 2 Pneumothorax spontan sekunder (PSS)


PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pathogenesis PSS
multifactorial, umumnya terjadi akibat komplikasi PPOK, asma, fibrosis kistik,
tuberculosis paru, penyakit-penyakit paru infiltrative lainnya (misalnya pneumonia
supuratif). Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumothorax sekunder
karena terbentuknya nodul rheumatoid paru. Pneumothorax spontan Sekunder

21
umumnya lebih berat daripada pneumothorax spontan primer karena pada
pneumothorax spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya
mendahuluinya.1

3. 1.4 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala dari pneumothorax yang termasuk nyeri dada yang biasanya


mendadak. Nyeri dada yang dirasakan bersifat tajam seperti ditusuk dan sangat sakit.
Nyeri biasanya menjalar ke pundak ipsilateral dan memberat pada saat inspirasi. Rasa
sakit ini tajam dan dapat menyebabkan perasaan sesak napas. Pasien biasanya
mengalami sesak napas dengan riwayat nyeri dada sebelumnya, denyut jantung yang
cepat, pernafasan cepat, batuk, kelelahan gejala dari pneumothorax. Kulit dapat
mengembangkan warna kebiru-biruan karena kadar oksigen darah dan batuk-batuk.1

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang.1,6

Anamnesis

- Pneumothorax spontan biasanya muncul saat istirahat


- Tanyakan dan periksa faktor risiko: perokok, usia 18-40 tahun, bertubuh tinggi
dan kurus, atau kehamilam
- Riwayat penyakit paru, baik akut maupun kronis. Tanyakan juga mengenai
trauma, jenis trauma, mekanisme, waktu terjadi, dan sebagainya.
- Tanyakan riwayat pneumothorax sebelumnya untuk kemungkinan rekurensi
- Eksplorasi gejala dan tanda yang telah dijabarkan dalam bagian manifestasi
klinis

Pemeriksaan Fisik Paru:1,6

22
- Inspeksi: rongga dada lebih besar daripada biasa atau normal, bagian dada yang
terkena tertinggal dalam gerak pernapasan (pada saat ekspirasi)
- Palpasi: fremitus taktil berkurang di sisi yang tertinggal, krepitasi akibat
emfisema subkutis bila ada hubungan ke subkutis
- Perkusi: hipersonor
- Auskultasi: suara pernapasan berkurang atau menghilang pada daerah yang
terkena, dapat terdengar rhonki atau wheezing

Pemeriksaan Penunjang:1,6

- Pada foto toraks posterioanterior atau PA dapat terlihat bagian toraks yang
avaskular paru yang kolaps dan apabila besar tampak pergeseran trakea dan
mediastinum ke sisi yang sehat.
- Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dikerjakan adalah analisa gas darah
(untuk mengetahui adanya hipoksemia dan hiperkarbia)
- Computed tomography scan (CT Scan) dapat berguna dalam situasi tertentu.
Pada beberapa penyakit paru-paru, terutama emfisema adalah mungkin untuk
wilayah paru-paru tidak normal seperti bullae (kantung udara penuh besar)
untuk penampilan yang sama seperti pneumothorax dan ini mungkin tidak aman
menerapkan perlakuan apapun sebelum perbedaan tersebut dibuat dan sebelum
lokasi yang tepat dan ukuran pneumothorax ditentukan. Pada trauma dimana
tidak mungkin melakukan film tegak, radiografi dada dapat kehilangan sampai
sepertiga dari pneumotoraks sedangkan CT masih sangat sensitif
- Bronkoskopi adalah pemeriksaan visual langsung dari laring dan saluran udara
melalui tabung fleksibel melihat. Bronkoskop memiliki cahaya diujung yang
memungkinkan dokter untuk melihat ke bawah melalui saluran udara yang
lebih besar ke dalam paru-paru. Bronkoskop dapat digunakan untuk
menyelidiki sumber perdarahan di paru-paru. Jika dokter mencurigai kanker
paru-paru, saluran udara bisa diperiksa dan spesimen dapat diambil dari setiap
daerah yang terlihat kanker. Bronkoskopi dapat digunakan untuk

23
mengumpulkan organisme yang menyebabkan pneumonia yang sulit untuk
mengumpulkan dan mengidentifikasi dengan cara lain.

3.1.6 Penghitungan Luas Pneumothorax


Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps,
apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam
menentukan luasnya kolaps paru, antara lain:1
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10 cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8 cm, maka rasio
diameter kubus adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
3
10 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.

24
% Luas Pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.

(L) Hemitorak – (L) Kolaps paru

(A x B) - (a x b)
x 100 %
AxB

3.1.6 Penatalaksanaan
Tata laksana diruang emergensi meliputi:6
- Periksa kondisi ABC (airway, breathing, circulation) dari pasien. Periksa
saturasi oksigen dan vital sign.
- Berikan oksigen 3-4L dengan nasal kanal
- Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui luas paru yang mengalami
pneumotoraks

25
Perlakuan pneumotoraks tergantung pada sejumlah faktor, dan mungkin berada
dari awal tindak lanjut. Pengobatan ditentukan oleh keparahan gejala dan indikator
penyakit akut, kehadiran penyakit paru-paru yang mendasari, perkiraan ukuran
pneumotoraks pada foto. Apabila pneumotoraks <20% dan pasien asimtomatis, maka
terapi pilihan adalah dengan observasi disertai pemberian oksigen. Apabila
pneumotoraks >20% (atau diperkirakan luas), udara perlu dikeluarkan dengan water
sealed drainage (WSD). Pada pasien pneumotoraks sekunder dengan penyakit dasar
yang berat perlu dilakukan torakostomi. Pleurodesis dilakukan setelah paru
mengalami reinflasi untuk mencegah rekurensi.1
Pneumotoraks terbuka yang perlu segera dilakukan adalah penutupan luka
terbuka dengan lapisan penutup steril yang cukup lebar menutupi tepi defek dan
diplester pada tiga sisi membentuk efek flutter type valve. Saat inspirasi, kassa akan
menutup defek dan mencegah udara luar masuk sedangkan saat ekspirasi bagian
terbuka kassa akan membuka sehngga udara keluar dari rongga pleura. Tataklana
berikutnya adalah pemasangan WSD yang tidak berdekatan dengan lokasi defek.
Lokasi ideal pemasangan WSD adalah setingkat puting payudara, yakni sela iga V
sebelah anterior dari linea midaksilaris ipsilateral.1,6
Tension pneumotoraks pada kasus ini tergolong sebagai kegawatdaruratan. Tata
laksana tidak dapat menunggu konfirmasi radiologis. Tindakan dekompresi harus
segera dilakukan dengan cara insersi jarum pada sela iga ke II linea midklavikula
hemitoraks ipsilateral. Setelah keadaan tenang, dilanjutkan dengan pemasangan
WSD. WSD merupakan sebuah tabung fleksibel yang dimasukkan melalui bagian
samping dada ke ruang pleura. Hal ini digunakan untuk memnhilangkan udara
(pneumotoraks) atau cairan (efusi pleura, darah), atau nanah (empiema) dari ruang
intrathoracic.1

3.1.7 Komplikasi
1. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai ke apeks.

26
2. Emfiesema subkutan, biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun
akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar
leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut, bahkan sampai ke daerah dada dan belakang.
3. Piopneumothorax: Berarti terdapatnya pneumothorax disertai emfiesema secara
bersamaan pada satu sisi paru.
4. Pneumothorax kronik: menetap selama lebih dari 3bulan. Terjadi bila fistula
bronkopleura tetap membuka.
5. Hidro-pneumothorax: ditemukan adanya cairan dalam pleuranya. Cairan ini
biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah).1

3.1.8 Prognosis
Prognosis pneumotoraks tergantung pada tingkat dan jenis pneumotoraks.
Sebuah pneumotoraks spontan kecil umumnya akan hilang dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Sebuah pneumotoraks sekunder yang terkait dengan penyakit yang
mendasarinya, bahkan ketika kecil, jauh lebih serius dan membawa tingkat kematian
15%. Pneumotoraks sekunder membutuhkan perawatan mendesak dan segera.
Apabila sebelumnya sudah pernah mengalami pneumotoraks akan meningkatkan
kejadian berulang kembali. Tingkat kekambuhan untuk kedua pneumotoraks primer
dan sekunder adalah sekitar 40%. Kambuh paling banyak terjadi dalam waktu 1,5
sampai dua tahun.1

3.2 TB MILLIER
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen
sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks
primer, yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi awal.
TB milier dapat mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim terjadi

27
pada beberapa organ (seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier klasik
diartikan sebagai kuman basil TB berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm,
lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 % kasus TB.
Dahulu TB milier terjadi paling sering pada anak-anak. Akan tetapi, telah dilaporkan
saat ini lebih sering pada orang dewasa sebagai akibat dari terjadinya reaksi endogen
dan invasi melalui aliran darah.7

3.2.2 Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis


pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm.
Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik
pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap efek
bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24
jam.7

3.2.3 Patogenesis

Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran kuman
TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik (droplet
nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di hancurkan. Sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut yang di namakan fokus primer Ghon. Penyebaran
selanjutnya, kuman TB dari fokus primer Ghon menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe
ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

28
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara
fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis di namakan kompleks primer (primary
complex). Waktu yang di perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.8

Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan jumlah kuman yang
besar dari fokus infeksinya yaitu di paru ataupun ekstraparu. Kuman ini akan
menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh darah akan
tersangkut di ujung kapiler dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Tempat yang
paling sering adalah hati, limpa, bone marrow, paru dan meningen karena organ
organ tersebut memiliki banyak sel fagosit di dalam dinding sinosoid. Istilah milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB.8

29

Gambar 1. Bagan Patogenesis Tuberkulosis


Gambar 3.2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis.8

3.2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya
kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang paling sering dialami oleh orang
yang menderita TB milier adalah penurunan nafsu makan, demam, penurunan berat
badan, batuk berdahak, keringat malam, mengiggil, nyeri dada, sakit perut, saki
kepala, batuk darah, mual dan diare. TB milier juga dapat di awali dengan serangan
akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), biasanya mulai
meningkat pada sore hari. Menggigil dan badan terasa kaku biasanya sering terjadi
pada penyakit malaria, sepsis, namun pada TB milier sering juga ditemukan gejala
tersebut. Lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan
hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah
tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau
disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal. Gejala klinis biasanya
timbul akibat gangguan pada paru yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak
nafas di sertai ronki atau mengi.9
30
Gejala sistemik yang sering muncul karena TB milier merupakan penyakit
yang melibatkan banyak organ kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik,
eritema. Tuberkel koroid di temukan pada pasien, dan jika di temukan dini dapat
menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier,
sehingga pada TB milier perlu di lakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel
koroid. Tuberkel koroid biasnya bersifat bilateral, pucat, lesinya berwarna abu atau
kuning yang berukuran kurang dari seperempat optic disc dan teletak 2 cm dari optic
disc. TB meningitis juga sering ditemukan pada 10-30% orang dengan Tuberkulosis
milier.9

Sebaliknya sepertiga dari pasien dengan meningitis TB memiliki penyakit


yang mendasarinya yaitu TB milier, dalam penelitian juga ditemukan bahwa
keterlibatan neorologis pada pasien dengan TB milier yaitu meningitis atau
meningoensfalitis TB dengan atau tanpa tuberkuloma. Lesi milier dapat terlihat pada
foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen.
Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata
diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam
(1-3mm).9

3.2.5 Diagnosis

Menentukan diagnosis Tuberkolusis milier pada orang dewasa cukup sulit


karena manifestasi klinik pada TB milier yang tidak spesifik untuk mendiagnosis
seseorang menderita TB milier. Pemeriksaan foto thorax tidak selalu memberikan
gambaran tipikal TB milier, gambaran tipikal pada TB milier biasanya ditemukan
pada stadium lanjut dan biasanya pasien datang dengan berbagai komplikasi.
Pemeriksaan HRCT relatif sensitif dan menunjukan gambaran nodul milier yang
terdistribusi acak berguna. Pemeriksaan ultrasonografi, CT-scan dan magnetic
resonance berguna untuk menentukan keterlibatan organ lain (TB ekstraparu). Pada
TB milier. Tuberkulosis milier yang tidak diobati dalam 1 tahun akan berakibat fatal.
Diagnosis serta pemberian obat anitituberkulosis dapat menyelamatkan nyawa.9

31
Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis TB milier seperti:9

1. Gambaran klinis seperti demam yang biasanya akan meningkat waktu malam
hari, penurunan berat badan, panurunan nafsu makan, tahikardi, keringat
malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu

2. Gambaran klasik pada pemeriksaan foto thorax yaitu berupa tuberkel halus
(millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang
khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm).

3. Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang


bayangan milier yang dapat dilihat pada foto toraks meupun HRCT

4. Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi yang menunjukan tuberkulosis.

3.2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin banyak dipake untuk membantu menegakan diagnosis pada
Tuberkulosis terutama pada ank-anak. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah
seseorang sedang atau pernah menglami infeksi Tuberkulosis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat.
Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak, tubuh
manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler
pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang
dalam perannya akan menekan antibodi seluler. Setelah 48-72 jam tuberkulin
disuntikan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri atas infiltran
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi mantoux positif
( 99,8 % ). Negatif palsu juga sering ditemukan pada tes tuberkulin, hal-hal yang
menyebabkan tes tuberkulin menjadi negatif palsu adalah pasien yang berada dalam
masa inkubasi, anergi penyakit sistemik berat, menderita TB luas dan berat Tes
tuberkulin yang anergi biasanya ditemukan pada Tuberkulosis milier dibandingkan
dengan TB paru atau TB ekstraparu.8

32
1) Indurasi 0-5 mm : Mantoux negative = golongan no sensitivity. Disini peran
antibodi humoral paling menonjol.

2) Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini


peran antibodi humoral masih menonjol.

3) Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini


peran kedua antibody seimbang.

4) Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Disini


peran antibody selular paling menonjol.

2. Pemeriksaan sputum

Tidak semua pasien dengan TB milier akan memberikan menifestasi batuk yang
produktif. Tetapi ketika terdapat menifestasi klinik batuk yang produktif maka
pemeriksaan sputum harus dilakukan. Diagnosis tuberkulosis masih banyak
ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis
dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang
sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru
sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis dan
kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru.

Pasien dengan sputum BTA positif:

 Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,


sekurang – kurangnya pada 2 x pemeriksaan, atau
 Satu sediaan sputumnya positif deisertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambatan TB aktif, atau Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan positif.

Pasien dengan sputum BTA negatif:

33
 Pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai TB aktif,
atau
 Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tidak ditemukan kuman BTA sama
sekali, tetapi pada biakannya positif.
3. Pemeriksaan laboratorium darah

Hasil pada pemriksaan darah biasanya tidak sensitif dan spsifik. Pada saat
Tubekulosis baru mulai atau aktif maka akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. LED meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh maka leukosit akan kembali ke normal, LED mulai menurun ke awal.
Hasil pemriksaan darah lain juga dapat ditemukan anemia ringan dengan gambaran
normositik normokrom, peningkatan gama globulin dan penurunan kadar natrium
darah. Terjadi supresi sumsum tulang akibat mekanisme imun pada TB milier
sehingga dapat menyebabkan pansitopenia.10

4. Pemeriksan radiologi

Gambaran klasik TB milier pada pemeriksaan radiologi merupakan salah satu


petunjuk sesorang menderita TB milier.11

5. Pungsi lumbal

34
Pungsi lumbal harus dipikirkan untuk dilakukan, meskipun ditemukan
gambaran MRI otak yang normal. Pada pemeriksaan lumbal pungsi orang yang
menderita Tuberkulosis milier adalah :10

- Leukosit : kira kira 65 % pasien mempunyai white blood count, dengan


100-500 mononuklear
- Predominan limfosit ( 70 %)
- Kenaikan asam laktat di CSF
- Penurunan level glukosa

3.2.6 Diagnosa Banding

Gambaran klasik pada pemeriksaan foto thorax yaitu berupa tuberkel halus
(millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan
ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Ada beberapa kondisi penyakit yang
memberikan gambaran radiologi seperti pada Tuberkulosis milier diantarnya: 10

1. Penyakit infeksi

Histoplasmosis, Blastomycosis, Coccidiodomycosis, Mycoplasma pneumonia,


Nocardiosis

2. Immunoinflammatory disorder

Sarkoidosis

3. Keganasan

Karsinoma bronkoalveolar, korsinoma paru dengan limfangitis karsinomatosa,


karsinoa mestastasis.

4. Pneomonitis hipersensitivitas

Obat yang menginduksi penyakit paru interstisial seperti methotrxae

3.2.7 Penatalaksanaan

35
Tujuan utama pengobatan TB adalah mengobati penyakit TB itu sendiri,
mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB mencegah TB relaps mencegah
resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat mengurangi (menurunkan)
penularan TB terhadap orang lain. Pengobatan anti tuberkulosis di kelompokkan
menjadi dua fase: fase yang pertama adalah fase intensif (awal) selama 2 bulan yang
bertujuan membunuh dengan cepat sebagian besar kuman dan mencegah resistensi
obat, dan fase yang kedua adalah fase lanjutan, yang bertujuan membunuh kuman
yang dormant (tidak aktif). Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan adalah:10

 Jenis obat utama ( lini 1 ) yang dugunakan adalah:


- INH
- Rifampisin
- Pirazinamid
- Streptomisisi
- Etambutol
 Jenis obat tambahan ( lini 2 )
- Kanamisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Obat ini masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksisilin +
asam klavulanat
- Beberapa obat berikut ini yang belum tersedia di Indonesia antara
lain : Kapreomisin, Sikloserin, PAS, derivat rifampisin dan INH,
Tioamid

Tabel 3.1. Dosis obat yang dianjurkan.1

36
FASE INTENSIF FASE LANJUTAN

2 BULAN 4 BULAN
HARIAN
BB HARIAN 3X/MINGGU HARIAN 3X/MINGGU
RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/75


30-37 2 2 2 2 2

38-54 3 3 3 3 3

55-70 4 4 4 4 4

>71 5 5 5 5 5

Tabel 3.2 Efek samping obat anti tuberkulosis.1

Pedoman tatalaksana pengobatan TB berdasarkan WHO dibagai atas kasus


baru dan kasus yang pernah diobati, pada pedoman ini. TB milier diklasifikasikan

37
sebagai TB paru karena ditemukan adanya lesi di paru. Pasien baru yang menderita
TB milier akan mendapatkan pengobatan selama 6 bulan sepeti yang sudah
disebutkan sebelumnya. Pedoman tatalaksan pada TB milier yang sudah menyebar
menjadi TB meningitis maka direkomendasikan untuk di beri tatalaksana selama 9
sampai 12 bulan. Apabila sendi dan tulang sudah terlibat maka perawatan yang
diberikan selama 9 bulan. Observasi yang optimal baik dari klinis pasien ataupun
gambaran radiologi sangat penting untuk menentukan diagnosis. Jika seorang TB
meningitis yang tidak terdiagnosis pada penderita TB milier maka pengobatan
menggunakan obat anti tuberkulosis hanya diberikan 6 bulan yang normalnya harus
diberikan 9 bulan, sehingga efek pengobatnnya sendiri tidak optimal.10

Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus seperti TB milier: 10


1. Rawat inap
2. Panduan obat 2 RHZE / 4 RH Pada keadaan khusus ( sakit berat ), tergantung
keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan
dapat diperpanjang.
3. Pemberian kortikosteroid tidak rutin hanya di berikan pada keadaan :
- Tanda/ gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda/ gejala toksik
- Demam tinggi

3.2.8 Evaluasi pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan obat 4. Evaluasi yang penting adalah:10

 Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap bulan.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya penyakit komplikasi.

38
- Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain.
 Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
-   Sebelum pengobatan
-    Setelah 2 bulan
-    Pada akhir pengobatan
- Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-10
minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan

 Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


Evaluasi bakteriologik ·  Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
          -    Sebelum pengobatan dimulai
          -    Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
          -    Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

3.2.9 Prognosis
Tuberkulosis memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi jika tidak
ditangani dengan baik. Keterlambatan diagnosis dan kurangnya pengobatan anti
tuberculosis tampak menjadi faktor terpenting yang bertanggung jawab atas
meningkatnya angka kematian. Kematian terkait TB milier pada anak berkisar antara
15-20% dan sedikit lebih tinggi pada orang dewasa yaitu 25-30%. Berdasarkan Skor
Acute Physiology and Chronic Health Evaluatin (APCHE II) pada pasien dengan

39
ARDS akibat TB Milier >18 atau <18 dengan adanya hyponatremia dan rasion PaO2
terhadap FIO2 ≤108,5 telah diidentifikasi sebagai faktor penting pada angka
mortalitas pada TB milier.10

40
BAB IV
ANALISA KASUS

Tabel 4.1 Pembahasan Teori dan Temuan pada Pasien


MASALAH ANALISA
Sesak Napas dan Rongga dada adalah ruang kosong yang berisi paru-paru.
Nyeri dada Paru-paru secara fisik terhubung pada hila di mana saluran
udara dan pembuluh darah memasuki paru. Mereka tetap
meningkat di dalam rongga dada karena tekanan di dalam
ruang pleura (ruang antara dinding dada dan paru-paru)
adalah hampir konsisten negatif sepanjang siklus pernapasan,
efektif mengisap paru-paru ke dinding dada. Dalam keadaan
normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif. Tekanan
negatif tersebut menyebabkan paru dapat mengembang
mengikuti pergerakan dinding dada pada saat inspirasi dan
mengempis sesuai dengan gaya lenting paru pada saat
ekspirasi. Apabila rongga pleura terisi udara, maka tekanan
negatif akan hilang sehingga paru tidak dapat mengembang
mengikuti dinding dada dan cenderung mengecil (recoil)
mengikuti gaya lenting yang sesuai dengan sifat jaringan
paru. Semakin luas pneumotoraks, semakin kecil ukuran paru
sehingga menurunkan kapasitas vital paru.6

Batuk Kering Batuk akan mengakibatkan apabila ada rangsangan pada


reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan
implus ke pusat batuk yaitu medulla untuk diteruskan ke
efektor melalui saraf eferen.11
Mual Pasien sedang menjalani pengobatan dengan OAT kategori I.
Kejadian efek samping OAT yang dapat dikeluhkan oleh
pasien adalah mual, lemas, muntah, gangguan pencernaan,
nyeri sendi, pusing, gatal pada kulit, ngantuk dan kesemutan. 12

41
Mual adalah yang dikeluhkan oleh pasien. Adapun jenis OAT
yang dapat menimbulkan mual adalah Rifampicin.

Hubungan Mekanisme pneumothorax dengan TB milier adalah


Pneumothorax terbentuknya fistula bronkopleural ke subpleural. Di
dengan TB milier subpleural terbentuknya lesi kaseosa yang menyebabkan
terjadinya empyema kronis lalu menyebarkan infeksi pleura
dan biasanya juga disertai dengan terbentuknya kavitas.
Bakteri penyebab TB akan menivasi pleura yang
menyebabkan terbentuknya nekrosis cair yang mungkin pecah
jika terjadi peningkatan tekanan intraalveolar, seperti saat
batuksehingga mudah terjadinya rupture pleura.13

BAB V
KESIMPULAN

42
Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan pneumothorax adalah tuberkulosis.
Pneumothorax sering terjadi pada tuberkulosis dengan kavitas namun pneumothorax
jarang terjadi pada tuberkulosis milier. Mekanismenya terjadinya pneumothorax pada
tuberculosis milier belum diketahui secara pasti. Beberapa kemungkinan penyeybab
adalah pembentukan nodul milier subpleura yang mengalami perkejuan dan nekrosis
yang selanjutnya akan pecah ke rongga pleura, terjadinya peningkatan intraalveolar
akibat batuk yang sering menyebabkan septa antara alveoli pecah berakibat terjadinya
pneumomediastinum atau pecahnya bula atau lesi emfisematu. Gejala nyeri dada,
sesak napas, adanya sianosis dan hipotensi, perkusi yang hiperesonan serta bunyi
napas dan vocal fremitus yang menurun, serta garis pleura pada foto polos toraks
dapat menunjukkan adanya pneumothorax. Penatalaksanaan pada tuberculosis milier
adalah tube thoracostomy serta pemberian OAT.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014
2. Frrexinet JR, Caminero JA, Marchena J, Rodroguez PM, Casimiro JM,
Hussein M. Spontaneous Pneumothorax and tuberculoasis: Longterm
Follow-Up. Eur Respir J. 2011;38. P. 126-131
3. Gupta et al. The Different Treatment Modalities of Pyopneumothorax A
Study of 50 cases. International Journal of Medical science and Public
Health. 2013: 2(3): p. 609-612
4. Simamora RP, Rasyidah R. Radiografi Thorax pada Pasien Tb Paru dengan
Pneumothorax Spontan Sekunder. Departemen Radiologi RSUD DR H.
Abdul Moeloek Lampung. 2020. vol.9
5. Suharta MT. Pneumothorax Sekunder Ec Tb Paru. Rumah Sakit Tk. II
02.05.01 dr. AK Gani Palembang. 2019.
6. Arifputera A, Tanto C, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014. Jilid 2. hal. 271-74.
7. Robbins SL, Kumar V. Paru dan saluran nafas atas. Dalam: Anindita AY,
penerjemah. Buku Ajar Pulmonologi Vol 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2015
8. Sharma SK, Mohan A, Sharma A. Milliary tuberculosis: A new look at and
old foe. J Clin Tuberc. 2016; 3(1): p. 13-27
9. Denega T, Griffith D. Milliary tuberculosis in a healthy adult. Southwest
Respir Crit Care Chronicles. 2014; 2(5): 39-44
10. Vohra S, Dhaliwal H. Milliary Tuberculosis. STATPEARLS. April 2020.
11. Ganong W.F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta. EGC. 2014
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2015
13. Amanda PS, Wijayanti O. Pneumothorax pada TB milier: Sebuah Laporan
Kasus. Indonesian Journal of Chest. 2015; 2(4): p. 191-194

44

Anda mungkin juga menyukai