Siang hari berganti malam. Gelap menggeser terang. Dari hiruk menjadi sunyi. Pada remang-remang,
persis momen pergantian, waktu magrib, sosok Sanekala dihadirkan. Sosok setan penculik anak kecil
yang berkeliaran pada wanci transisi. Lengkap sudah, bagi saya di masa kecil, malam adalah kondisi
mencekam. Dan lebih kurang 5 abad lampau, kondisi mencekam itu, lebih kuat dan berasa nyata.
Untuk itulah penjagaan dipanjatkan. Panjatan doa dilantunkan, dengan irama dan metrum vokal
baku. Dan disebut kidung.
Kidung Suluk Kawedar buah karya Sunan Kalijogo, atau sebutan lainnya Kidung Rumekso Ing Wengi,
diyakini ampuh untuk menjaga sekeluarga dari kejahatan di kala malam. Saya membayangkan 3
hingga 5 abad silam, para ibu dengan nada cemas menimang bayi dan menjaga anak. Malam gulita,
rumah bambu yang rapuh, penerangan hampir tak ada, rasa cemas meraja, hewan-hewan buas
berkeliaran, dan kejahatan orang-orang tak terduga datang. Sambil menimang bayi dan menidurkan
anak, para ibu melantunkan kidung ini.
Beda dengan kakawin, yang terangkai dari bahasa Jawa Kuno bermuatan sastra tinggi, formasi
bahasa kidung adalah bahasa keseharian, basa jawa menengahan. Agar pengetahuan yang
terkandung di dalamnya bersenyawa dalam tindak dan laku sehari-hari, itulah tujuan utama kidung
digubah. Kidung dinyanyikan tanpa ritual dan upacara. Ia dinyanyikan kapan saja, dan oleh siapa
saja. Ia melekat dalam rutinitas: sambil menimang bayi, sembari mencangkul dan ngewuluku atau
sambil menunggu waktu di kala luang, kidung bisa didendangkan dengan nada ringan.
Dulu kidung demikian lekat dengan keseharian. Di era kini, ia diubah petandanya. Dari syahdu dan
hormat menjadi horor dan kuno. Saya punya kegeraman tersendiri, tatkala kidung Rumekso ing
wengi dengan nada yang pelan dan syahdu ini, diberi lekatan kebalikannya: sebagai pemanggil
syetan. Kejadiannya saat booming film horror, tembang Kidung Rumekso ing Wengi dibuat sebagai
backsound dengan nuansa hantu dan syetan. Mungkin ini yang disebut zaman kewolak-walik.
Kidung Suluk Kawedar, kawedar punya makna mewedar, atau menggelar dan mewartakan. Kidung
yang mewedarkan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, mencari perlindungan dan keselamatan
kepada-Nya. Kidung ini sering juga disebut Kidung Sarira Ayu, kidung doa agar diri sehat wal afiat.
Tolak bala dengan laku dan jalan mengaitkan diri, memanunggalkan diri dengan yang lain. Kepada
malaikat, kepada para rasul, Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai
nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian,
Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad (saw)
sebagai mata/penglihatan. Tak lupa kepada para ahlul bait (sahabat dan keluarga Nabi) Patimah
(Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah,
Ngumar (Umar) daging dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.
Mencari keselamatan adalah mencari wasilah, perantara dan keterkaitan antara satu dengan yang
lain. Manusia diikat oleh sebuah hukum: kelebihan dan kekurangan. Ada takaran masing-masing
yang harus diisi satu dengan yang lainnya. Wedaran Suluk Eyang kalijogo ini secara benderang bicara
diri yang diikat dan terkait diri yang lain, saudara sekeliling: sedulur papat kalima pancer. Begitu
lahir, kita terikat secara jasmani, yang tanpa mereka, para saudara diri ini, kehidupan akan punah,
nafas hidup sang bayi merah tak pernah berdenyut. Begitu lahir, sang bayi merah sudah punya
empat saudara sehidup senyawa : ari-ari (adi ari-ari), darah (getih), puser (tali plasenta), air ketuban
(kakang kawah) dan diri jasmani.
Pola posisi pusat dan elemennya bicara jamaah, nafsul wahidah, kebersatuan. Tak ada yang
sendirian. Tak ada yang hanya jadi sebagai pelengkap semata. Semua menjadi utama dalam posisi
dan kadarnya sendiri. Masing-masing bermakmum, melengkapi dan mengikuti sebuah pusat. Dan
dirinya pun menjadi pusat, imam terhadap yang lain. Seorang yang paling sudra pun, ia menjadi
ayah (pusat) bagi keluarga batihnya. Seorang istri pun menjadi pusat anak-anaknya. Bahkan tanpa
keluarga dan sanak, seorang manusia tetap harus menjadi pusat bagi elemen-elemen ragawinya,
panca-driyanya. Aql-nya harus jadi pancer, pusat kendali, semua kedirian ragawi, indra dan
pikirannya. Malah ‘aql yang sehat ini, jauh lebih penting, sebelum formasi pancer-sedulur dalam
formasi sosial.
Keselamatan ada pada jamaah, bukan pencilan, ketersendirian. Ahlu Sunnah Wal jamaah, hemat
saya, rumusan sejatinya jauh sekadar perkara Asy-ariyah, Maturidiyyah atau sekadar masalah fiqih
imam mazhab. Apalagi jika hanya disempitkan menjadi organisasi semata. Karena konsep aswaja
utamanya pada konteks jamaah-nya, kesisteman dharma, di mana Rasulullah terkait dengan empat
sahabat utamanya, juga Rasulullah Saw sebagai salah satu batu-bata terhadap rangkaian utusan-
Nya, para nabi dan rasul sebelumnya. Aswaja adalah pengakuan adanya sistem kejamaahan yang
dibangun oleh konfigurasi Rasulullah Saw dan empat sahabat utamanya, dan juga para Nabi dan
Rasul sebelumnya, serta para wali setelahnya.
Ini adalah rumusan krusial. Hingga hampir semua tradisi hikmah menempatkannya sebagai konsep
utama dalam dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Tujuan pendidikan, merujuk kepada
rumusan tradisi hikmah, adalah pada sejauh mana kita bisa menemukan kesejatian diri, mengenal
diri, mengenal ketepatan diri dalam penempatan terhadap keseluruhan. Diri manusia berada di
depan terhadap yang lain, juga berada di tengah terhadap yang lain, atau di belakang terhadap yang
lain. Saat di tengah dan di belakang, ia tidak memaksakan diri untuk ke depan. Tatakala di depan, tak
hendak surut ke belakang. Rumusan pendidikan ini dirangkum elok oleh ki Hajar dalam semboyan :
Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani, di depan memberi teladan,
di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik.
Demikianlah, suluk Kidung Kawedar adalah wedaran perihal mendekatkan diri kepada-Nya dan
mencari jalan keselamatan lewat jamaah. Lewat jalan kasih-sayang. Keselamatan dari segala
gangguan lahir dan bathin selama perjalanan raga maupun jiwa (suluk). Dari marabahaya luar dan
dari dalam diri. Dengan jalan dan laku mengukur ketepatan diri: kita sebagai pusat (pancer) bagi
sedulur kita. Dan kita juga menjadi elemen (sedulur), bermakmun terhadap pancer ([pusat). Suatu
jalan yang mewajibkan pengendalian ego dan melapangkan shudr. Itulah ke-sisteman dharma.
#RisalahAkhirPekan #himawijayaNotes