Anda di halaman 1dari 4

𝗦𝗲𝗱𝘂𝗹𝘂𝗿 𝗣𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗞𝗮𝗹𝗶𝗺𝗮 𝗣𝗮𝗻𝗰𝗲𝗿

𝘈𝘯𝘢 𝘬𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘳𝘶𝘮𝘦𝘬𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘦𝘯𝘨𝘪


𝘵𝘦𝘨𝘶𝘩 𝘢𝘺𝘶 𝘭𝘶𝘱𝘶𝘵𝘢 𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘳𝘢,
𝘭𝘶𝘱𝘶𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘭𝘢𝘩𝘪 𝘬𝘢𝘣𝘦𝘩,
𝘫𝘪𝘮 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯,
𝘱𝘢𝘯𝘦𝘭𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢 𝘸𝘢𝘯𝘪,
𝘮𝘪𝘸𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘸𝘦 𝘢𝘭𝘢,
𝘨𝘶𝘯𝘢 𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘭𝘶𝘱𝘶𝘵,
𝘨𝘦𝘯𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘳𝘵𝘢,
𝘮𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘰𝘩 𝘵𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘯𝘪 𝘯𝘨𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘮𝘪,
𝘵𝘶𝘫𝘶 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘱𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘳𝘯𝘢.

𝘈𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮,


𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘬𝘪𝘵,
𝘵𝘦𝘳𝘣𝘦𝘣𝘢𝘴 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢,
𝘫𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪,
𝘨𝘶𝘯𝘢-𝘨𝘶𝘯𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘶𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘢𝘯,
𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬,
𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵,
𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘥𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘪𝘳,
𝘱𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘶𝘩 𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘤𝘢𝘳 𝘴𝘢𝘺𝘢,
𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢 𝘴𝘪𝘳𝘯𝘢.

𝘒𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘙𝘶𝘮𝘦𝘬𝘴𝘰 𝘪𝘯𝘨 𝘞𝘦𝘯𝘨𝘪

Siang hari berganti malam. Gelap menggeser terang. Dari hiruk menjadi sunyi. Pada remang-remang,
persis momen pergantian, waktu magrib, sosok Sanekala dihadirkan. Sosok setan penculik anak kecil
yang berkeliaran pada wanci transisi. Lengkap sudah, bagi saya di masa kecil, malam adalah kondisi
mencekam. Dan lebih kurang 5 abad lampau, kondisi mencekam itu, lebih kuat dan berasa nyata.
Untuk itulah penjagaan dipanjatkan. Panjatan doa dilantunkan, dengan irama dan metrum vokal
baku. Dan disebut kidung.

Kidung Suluk Kawedar buah karya Sunan Kalijogo, atau sebutan lainnya Kidung Rumekso Ing Wengi,
diyakini ampuh untuk menjaga sekeluarga dari kejahatan di kala malam. Saya membayangkan 3
hingga 5 abad silam, para ibu dengan nada cemas menimang bayi dan menjaga anak. Malam gulita,
rumah bambu yang rapuh, penerangan hampir tak ada, rasa cemas meraja, hewan-hewan buas
berkeliaran, dan kejahatan orang-orang tak terduga datang. Sambil menimang bayi dan menidurkan
anak, para ibu melantunkan kidung ini.

Beda dengan kakawin, yang terangkai dari bahasa Jawa Kuno bermuatan sastra tinggi, formasi
bahasa kidung adalah bahasa keseharian, basa jawa menengahan. Agar pengetahuan yang
terkandung di dalamnya bersenyawa dalam tindak dan laku sehari-hari, itulah tujuan utama kidung
digubah. Kidung dinyanyikan tanpa ritual dan upacara. Ia dinyanyikan kapan saja, dan oleh siapa
saja. Ia melekat dalam rutinitas: sambil menimang bayi, sembari mencangkul dan ngewuluku atau
sambil menunggu waktu di kala luang, kidung bisa didendangkan dengan nada ringan.
Dulu kidung demikian lekat dengan keseharian. Di era kini, ia diubah petandanya. Dari syahdu dan
hormat menjadi horor dan kuno. Saya punya kegeraman tersendiri, tatkala kidung Rumekso ing
wengi dengan nada yang pelan dan syahdu ini, diberi lekatan kebalikannya: sebagai pemanggil
syetan. Kejadiannya saat booming film horror, tembang Kidung Rumekso ing Wengi dibuat sebagai
backsound dengan nuansa hantu dan syetan. Mungkin ini yang disebut zaman kewolak-walik.

Kidung Suluk Kawedar, kawedar punya makna mewedar, atau menggelar dan mewartakan. Kidung
yang mewedarkan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, mencari perlindungan dan keselamatan
kepada-Nya. Kidung ini sering juga disebut Kidung Sarira Ayu, kidung doa agar diri sehat wal afiat.
Tolak bala dengan laku dan jalan mengaitkan diri, memanunggalkan diri dengan yang lain. Kepada
malaikat, kepada para rasul, Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai
nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian,
Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad (saw)
sebagai mata/penglihatan. Tak lupa kepada para ahlul bait (sahabat dan keluarga Nabi) Patimah
(Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah,
Ngumar (Umar) daging dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.

Mencari keselamatan adalah mencari wasilah, perantara dan keterkaitan antara satu dengan yang
lain. Manusia diikat oleh sebuah hukum: kelebihan dan kekurangan. Ada takaran masing-masing
yang harus diisi satu dengan yang lainnya. Wedaran Suluk Eyang kalijogo ini secara benderang bicara
diri yang diikat dan terkait diri yang lain, saudara sekeliling: sedulur papat kalima pancer. Begitu
lahir, kita terikat secara jasmani, yang tanpa mereka, para saudara diri ini, kehidupan akan punah,
nafas hidup sang bayi merah tak pernah berdenyut. Begitu lahir, sang bayi merah sudah punya
empat saudara sehidup senyawa : ari-ari (adi ari-ari), darah (getih), puser (tali plasenta), air ketuban
(kakang kawah) dan diri jasmani.

𝘈𝘯𝘢 𝘬𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘢𝘥𝘪,


𝘈𝘮𝘰𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘸𝘶𝘩 𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘪𝘳𝘢,
𝘕𝘨𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘬𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘬𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘯𝘦,
𝘒𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘱𝘶𝘯𝘪𝘬𝘢,
𝘒𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘶𝘮𝘦𝘬𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘮𝘪,
𝘈𝘯𝘦𝘬𝘢𝘢𝘬𝘦𝘯 𝘴𝘦𝘥𝘺𝘢,
𝘐𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘪𝘱𝘶𝘯,
𝘈𝘥𝘩𝘪 𝘢𝘳𝘪-𝘢𝘳𝘪,
𝘒𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘺𝘶𝘯𝘨𝘪 𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘢𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘦𝘬𝘪,
𝘈𝘯𝘦𝘬𝘢𝘢𝘬𝘦𝘯 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘢𝘳𝘢𝘩

𝘗𝘶𝘯𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘦𝘵𝘪𝘩 𝘪𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘪𝘯𝘢,


𝘕𝘨𝘳𝘦𝘳𝘦𝘸𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘸𝘢𝘴𝘢,
𝘈𝘯𝘥𝘢𝘥𝘦𝘢𝘬𝘦𝘯 𝘬𝘦𝘳𝘴𝘢𝘯𝘦,
𝘗𝘶𝘴𝘦𝘳 𝘬𝘢𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘪𝘱𝘶𝘯,
𝘕𝘨𝘶𝘺𝘶-𝘶𝘺𝘶 𝘴𝘢𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘮𝘢𝘮𝘪,
𝘕𝘶𝘳𝘶𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘯𝘦𝘥𝘩𝘢
𝘒𝘢𝘸𝘢𝘴𝘢𝘯𝘪 𝘳𝘦𝘬𝘶,
𝘑𝘢𝘯𝘨𝘬𝘦𝘱 𝘬𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯 𝘱𝘢𝘱𝘢𝘵,
𝘒𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢𝘯𝘦 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘦𝘳 𝘸𝘶𝘴 𝘥𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘸𝘪𝘫𝘪,
𝘛𝘶𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘴𝘢𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘯𝘨.
𝘚𝘦𝘥𝘶𝘭𝘶𝘳 𝘗𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘒𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘗𝘢𝘯𝘤𝘦𝘳
Struktur satu pusat yang dilengkapi dengan elemen-elemen saudaranya, sedulur papat kalima
pancer, adalah pola baku. Ia tergelar dalam struktur makrokosmos, mikrokosmos, lahir dan bathin.
Fraktal istilah saintifiknya. Hierarki dan struktur pusat dan diwedarkan dengan elemen saudaranya,
ini terbahasakan dalam ragam istilah. Juga variasi hitungan elemennya. Pola ini mulai dari diri jasad
dalam bentuk jari jemari, lima indra (panca driya), konsep mandala di alam semesta, walisangga,
rumusan Ibnu Arabi perihal 1 quthb dan 7 badal dalam hagiografi. Juga bisa ditemukan dalam tata
surya, matahari dan elemen planetnya, pandawa lima dalam dunia pewayangan, sebagai konfigurasi
karakter utama manusia. Yudistira sebagai puat yang dikelilingi oleh keempat saudaranya. Di sisi lain
Arjuna sebagai Pusat bagi Kerajaan Madukara yang dikelilingi oleh Sumbadra, Ulupi,Ratna
Gandawati, Dewi Manohara dan Srikandi. Pola-pola ini juga tergambarkan dalam ragam hias, konsep
geoetri islam Islam dan pola-pola batik sebagai buah karya Walisanga.

Pola posisi pusat dan elemennya bicara jamaah, nafsul wahidah, kebersatuan. Tak ada yang
sendirian. Tak ada yang hanya jadi sebagai pelengkap semata. Semua menjadi utama dalam posisi
dan kadarnya sendiri. Masing-masing bermakmum, melengkapi dan mengikuti sebuah pusat. Dan
dirinya pun menjadi pusat, imam terhadap yang lain. Seorang yang paling sudra pun, ia menjadi
ayah (pusat) bagi keluarga batihnya. Seorang istri pun menjadi pusat anak-anaknya. Bahkan tanpa
keluarga dan sanak, seorang manusia tetap harus menjadi pusat bagi elemen-elemen ragawinya,
panca-driyanya. Aql-nya harus jadi pancer, pusat kendali, semua kedirian ragawi, indra dan
pikirannya. Malah ‘aql yang sehat ini, jauh lebih penting, sebelum formasi pancer-sedulur dalam
formasi sosial.

Keselamatan ada pada jamaah, bukan pencilan, ketersendirian. Ahlu Sunnah Wal jamaah, hemat
saya, rumusan sejatinya jauh sekadar perkara Asy-ariyah, Maturidiyyah atau sekadar masalah fiqih
imam mazhab. Apalagi jika hanya disempitkan menjadi organisasi semata. Karena konsep aswaja
utamanya pada konteks jamaah-nya, kesisteman dharma, di mana Rasulullah terkait dengan empat
sahabat utamanya, juga Rasulullah Saw sebagai salah satu batu-bata terhadap rangkaian utusan-
Nya, para nabi dan rasul sebelumnya. Aswaja adalah pengakuan adanya sistem kejamaahan yang
dibangun oleh konfigurasi Rasulullah Saw dan empat sahabat utamanya, dan juga para Nabi dan
Rasul sebelumnya, serta para wali setelahnya.

Ini adalah rumusan krusial. Hingga hampir semua tradisi hikmah menempatkannya sebagai konsep
utama dalam dunia pendidikan dan sosial-kemasyarakatan. Tujuan pendidikan, merujuk kepada
rumusan tradisi hikmah, adalah pada sejauh mana kita bisa menemukan kesejatian diri, mengenal
diri, mengenal ketepatan diri dalam penempatan terhadap keseluruhan. Diri manusia berada di
depan terhadap yang lain, juga berada di tengah terhadap yang lain, atau di belakang terhadap yang
lain. Saat di tengah dan di belakang, ia tidak memaksakan diri untuk ke depan. Tatakala di depan, tak
hendak surut ke belakang. Rumusan pendidikan ini dirangkum elok oleh ki Hajar dalam semboyan :
Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani, di depan memberi teladan,
di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik.

Demikianlah, suluk Kidung Kawedar adalah wedaran perihal mendekatkan diri kepada-Nya dan
mencari jalan keselamatan lewat jamaah. Lewat jalan kasih-sayang. Keselamatan dari segala
gangguan lahir dan bathin selama perjalanan raga maupun jiwa (suluk). Dari marabahaya luar dan
dari dalam diri. Dengan jalan dan laku mengukur ketepatan diri: kita sebagai pusat (pancer) bagi
sedulur kita. Dan kita juga menjadi elemen (sedulur), bermakmun terhadap pancer ([pusat). Suatu
jalan yang mewajibkan pengendalian ego dan melapangkan shudr. Itulah ke-sisteman dharma.
#RisalahAkhirPekan #himawijayaNotes

Anda mungkin juga menyukai