Anda di halaman 1dari 110

DASAR-DASAR FILSAFAT

STFK LEDALERO 2019

1. INTRODUKSI

Kursus ini bertujuan untuk mengantar mahasiswa dan


mahasiswi ke dalam dunia filsafat. Sebagai pengantar,
kursus ini dimulai dari hal yang dasariah dalam filsafat itu.
Boleh dikatakan bahwa yang dasariah adalah yang asali,
yang awal mula, yang darinya orang berfilsafat.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang paling


dasariah dalam filsafat? Apa yang menjadi awal dari
filsafat? Apakah filsafat memiliki asal dalam dirinya
sendiri, atau pada sesuatu yang lain? Bagaimana filsafat
dimulai? Sejumlah pertanyaan ini akan menghantar kita ke
persoalan tentang apa itu filsafat atau apa artinya
berfilsafat.

Dalam usaha untuk menjawab persoalan di atas, baiklah


sejak awal kita menyadari bahwa ada hal yang paling asali,
yang harus diperhatikan ketika kita berfilsafat. Hal itu
berhubungan dengan prinsip dari mana filsafat itu dimulai.
Di sini, kalau kita berpikir secara serius, prinsip adalah
dasar yang memungkinkan sesuatu yang lain. Prinsip
adalah fundamen untuk menegaskan apa yang ada di dalam
prinsip itu. Dengan perkataan lain, prinsip adalah dasar
bagi sesuatu untuk berada sebagaimana adanya. Baiklah
kita menyebutnya in principio - pada awal mula.

1
Dalam keyakinan iman kristiani, hal yang diimani sebagai
awal mula dapat dirunut ke sumber asali, yaitu Firman.
“Pada awal mulanya adalah Firman; dan Firman itu
bersama-sama dengan Allah. Firman itu adalah Allah”
(Yoh.1;1). Kalau kita mengikuti penginjil Yohanes, kita
diberi petunjuk, dan petunjuk itu jelas bahwa sebagai orang
kristiani, apa yang disebut in principio, berasal dari suatu
sumber asali. In principio, pada awal mulanya adalah
Allah. Allah bersabda, maka segala sesuatu terjadi, dan
sabda itu adalah Allah yang merevelasikan diri-Nya kepada
manusia.

Namun, bagi orang-orang Yunani, segala sesuatu tidak


terjadi begitu saja. Segala sesuatu tidak juga terjadi melalui
suatu revelasi. Atas dasar kesanggupan untuk berpikir,
mereka memiliki kayakinan dasar bahwa nihil est sine
ratione. Segala sesuatu memiliki dasar tertentu. Tak ada
yang tanpa dasar. Orang-orang Yunani, sebagaimana
banyak orang lain di dunia ini, tidak mencari dasar segala
sesuatu lewat revelasi Allah. Mereka bahkan tidak
mempunyai Kitab yang berbicara tentang revelasi. Mereka
juga belum mendengarkan apa yang menjadi dasar dari
segala sesuatu. Mereka bahkan tidak mengerti apa yang
disebut in principio.

Yang ada pada mereka hanya epos - sejenis karya sastra


klasik yang berbicara tentang kisah tertentu - dan hal itu
diwariskan oleh Homeros dalam epos Illiad dan Odyssey.
Epos itu berbicara tentang genealogi, asal usul segala
sesuatu. Namun genealogi bukanlah suatu revelasi.
Genealogi berkisah tentang kehidupan dewa-dewi di suatu

2
tempat dan pada suatu saat tertentu. 1 Atas dasar itu, orang
Yunani bisa saja percaya, tetapi bisa juga mereka tidak
percaya.

Selain itu, kebudayaan Yunani pada awal mulanya,


diwariskan melalui apa yang disebut Enrico Berti, oralità
mimetico-poetica,2 semacam tradisi lisan yang diulang
terus-menerus dalam komunitas mereka. Tradisi itu kaya
dengan imajinasi kreatif demi pengembangan kehidupan
bersama. Atas tradisi lisan itu, mereka mempunyai
imajinasi kolektif yang dibangun lewat diskursus naratif
tentang kehidupan dan asal usul segala sesuatu.

Kekuatan imajinasi bersama disalurkan lewat bentuk-


bentuk komunikasi yang didasarkan pada memorasi bagian
warisan sastra yang menyentuh sari pati kehidupan mereka.
Memorasi itu ada dalam bentuk repetisi dalam tingkatan
yang berbeda. Setiap repetisi mengandaikan partisipasi dan
identifikasi emosi dan isi warisan sastra itu. Demikianlah
terjadi semacam imitasi kreatif dan asimilasi subjek dengan
dunia yang ditawarkan oleh warisan sastra itu.

Dalam berfilsafat, kita belajar dari warisan atau tradisi


berpikir tertentu. Kita belajar dari warisan agar kita
memiliki suatu dasar, dan mempunyai perspektif tertentu.
Namun belajar dari suatu tradisi harus pula didukung oleh
daya kreasi untuk mentrasformasi suatu warisan berpikir
1
Enrico Berti, In Principio era la Meraviglia, le grandi questioni della filosofia antica,
Roma: Laterza, 2007., v.
2
Giovanni Reale “La Ragione Scientifica Come Conoscenza del Particolare”, dalam
Giovanni Reale dan Dario Antiseri (eds.): Quale Ragione?, Roma: Rafaello Cortina
Editore, 2001., 20.

3
agar sesuai konteks. Kita berfilsafat dengan kekuatan
tradisi, namun kita perlu selalu terbuka terhadap konteks.
Tentu di sini, tuntuntan filsafat terhadap konteks selalu
disertai dengan kemampuan interpretasi teks dan realitas
secara baik dan benar. Berpegang pada tradisi, terbuka
terhadap konteks dan interpretasi yang benar adalah
prasyarat penting agar filsafat selalu tetap memilik prospek.
Singkatnya kita harus berfilsafat dari banyak perspektif
agar cara kita berfilsafat tetap memiliki prospek. Kita perlu
belajar dari banyak perspektif sambil terbuka terhadap
konteks agar identitas filsafat yang prospektif tetap terjaga.

Identitas filsafat yang prospektif lahir dari kekayaan


metafora dan narasi-narasi tentang kehidupan yang baik.
Identitas ini dijaga oleh kekuatan imajinasi dan diskursus
rasional yang memiliki ekspetasi. Filsafat tetap hidup untuk
masa depan karena filsafat memiliki perspektif, kontekstual
dan dan bersifat prospektif. Filsafat yang demikian
memiliki semacam plus-value karena kekuatan referensinya
yang produktif. Ia produktif karena ia datang kekayaan
warisan masa lampau, kekuatan inisiatif masa sekarang dan
propsek masa depan. Warisan masa lampau, kalau
direfleksikan dengan bijaksana, ia dapat dijadikan semacam
interupsi untuk suatu inisiatip masa sekarang, dan juga
sebagai prospek untuk yang akan datang. Di sini, kejelian
menangkap pengertian konsep-konsep dasar sebagai
warisan berpikir dalam tradisi filsafat adalah penting untuk
diperhatikan.

2. KONSEP-KONSEP DASAR

4
Kita mulai dengan konsep-konsep dasar (basic concepts).3
Tentu, pertanyaan yang muncul adalah konsep-konsep
dasar tentang apa? Apa itu konsep dasar? Pertanyaan ini
mengundang kita untuk mengartikan konsep dalam terang
kekuatan makna untuk menghadirkan sesuatu. Suatu
konsep berbicara tentang suatu realitas. Konsep adalah
representasi sesuatu yang melaluinya kita memiliki akses
kepada realitas tertentu. Misalnya ketika kita berbicara
tentang konsep ‘alam’, ‘negara,’ ‘kemanusiaan,’ ‘Tuhan,’
atau apa saja, kita dihantar kepada realitas yang diwakili
konsep-konsep itu.

Kalau subyek pembahasan kita adalah ‘dasar filsafat,’ maka


hal penting yang harus kita cari adalah konsep-konsep
dasar yang mendasari filsafat. Melalui konsep-konsep itu
kita diharapkan bisa dihantar kepada suatu persoalan yang
fundamental dalam filsafat, dan tentu, persoalan itu ada
hubungan dengan yang mendasari segala sesuatu.
Heidegger berkata “whatever grounds everything and gives
ground to everything is itself ground.”4 Dasar yang
mendasari segala sesuatu adalah dasar itu sendiri.
Panggilan kita dalam berfilsafat adalah mencari dasar dari
segala dasar. Itu berarti kita harus berpikir dari dasar yang
benar. Hal ini juga berarti kita harus berpikir tentang apa
yang mendasari pikiran itu sendiri.

Dalam hubugan dengan konsep, kita tidak hanya bergelut


dengan pengertian suatu konsep. Kita harus mencari dasar

3
Martin Heidegger, Basic Concepts, translated by Gary E. Aylesworth, Indiana:
Indiana University Press,1998.
4
Ibid., 2.

5
yang mendasari konsep itu. Kita dipanggil untuk memulai
dari yang paling dasariah. Kita harus menyelam lebih
dalam dan menukik lebih jauh. Panggilan ini datang dari
sesuatu yang mendalam, yaitu dari kedalaman itu sendiri.
Kedalaman sedang memanggil kita untuk berpijak padanya.
Kedalaman menundang kita untuk menukik lebih jauh.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa itu suatu


kedalaman? Apa yang paling dasariah dari suatu
kedalaman? Dalam berfilsafat kita diharapkan sanggup
menyelam ke sumber yang terdalam dan sanggup berpijak
pada kedalaman itu. Kita berharap agar setiap sikap,
pertimbangan, keputusan, persaaan, semua cara kita
berbahasa, dan bahkan cara kita menjalani kehidupan ini,
lahir dari suatu kedalaman. Sekali lagi Heidegger berkata

Grasping the ground means reaching the ground of


everything in an understanding that not only takes
notice of something but is, as a knowing, a standing
and a stance. Knowing the ground is more
originary, that is, more far-reaching than common
understanding. But more ogirinary also means more
decisive than every usual ‘willing’ and more intimate
than every familiar ‘feeling’.5

Sikap yang baik dalam berfilsafat adalah selalu mencari


‘dasar’ dari segala sesuatu. Sikap ini bukanlah hal yang
ditambahkan ke dalam diri kita. Ia harus dilihat sebagai
sesuatu yang melekat di dalam diri kita. Bahkan ia adalah
karakter dari diri kita sebagai manusia. Kita, sejak awal,
5
Ibid. 3

6
harus memiliki karakter dasar, dan karakter itu adalah
kerinduan untuk mengetahui sesuatu dari dasar yang
terdalam. Kerinduan ini menyadarkan kita bahwa kita
selalu tak pernah cukup.

Kalau toh, kita pernah merasa cukup, kita tetap menyadari


bahwa merasa cukup selalu berarti ‘belum cukup.’ Suatu
kecukupan adalah suatu pembatasan karena kita berhenti
pada titik kecukupan itu. Kesadaran tentang keterbatasan
diri adalah awal yang baik dan kesadaran itu menimbulkan
semacam ‘rasa heran’ tentang diri kita sendiri.

Mengapa kita belum cukup? Mengapa demikian? Ya, kita


selalu merasa heran, dan karena itu kita bertanya dan kita
mencari. Kita mencari pengertian yang mendalam dari
setiap pertanyaan yang muncul. Yang menarik bahwa
ketika kita berusaha menjelaskan setiap pertanyaan, kita
menemukan jawaban dan kita merumuskan menjadi
konsep-konsep dasar.

Dalam sejarah filsafat, banyak konsep dasar telah


dirumuskan para pemikir terdahulu. Mereka berusaha
menjelaskan realitas dengan mencari sumber yang paling
dalam dari segala sesuatu, misalnya lewat konsep logos
(), ontologi, metafisika, epistemologi, fenomenologi,
eksistensialisme, hermeneutika, dialektika, dll.

Logos (): Ia dapat berarti speech, membuat


pernyataan atau statetment. Ketika kita membuat
pernyataan, kita mengatakan sesuatu untuk menjelaskan
maksud tertentu. Kita lalu belajar silogisme untuk membuat

7
suatu determinasi. Kita menyebutnya ‘determinasi pikiran.’
Berpikir selalu berarti berpikir tentang sesuatu sebagai
‘sesuatu yang tertentu.’ Ilmu logika berhubungan dengan
ilmu berpikir, ilmu yang menuntut kita membuat
determinasi tentang sesuatu. Di sini, Logos berarti ratio,
akal budi, kekuatan pikiran untuk menentukan sesuatu.
Tetapi logos, lebih jauh berhubungan dengan Firman,
Sabda, yang datang dari sumber segala sesuatu. Ia adalah
awal dari segala sesuatu. Sumber yang mendeterminasi
segala sesuatu, karena ia sendiri adalah akal budi ilahi.

Ontologi: Ontologi adalah fundasi pergumulan metafisika


sejak Parmenides sampai Heidegger. Lazimnya, persoalan
tentang ontologi dikembangkan oleh para filsuf tradisi
kontinental untuk mengatasi semua spekulasi tentang dasar
terdalam dari realitas. Dalam terang ontologi, realitas ini
dapat dijelaskan dan dimengerti dari konsep dasar seperti
to on, einai, l’être, Sein, atau ada. Prinsip kebenaran
ontologi adalah sebagai berikut: segala sesuatu tidak dapat
dipikirkan atau dimengerti di luar dari domain ada. Ada
adalah dasar terdalam dari segala sesatu. Berpikir dan
menyatakan hal yang ada sebagai ada, adalah suatu
afirmasi yang murni positif. Sebaliknya berpikir dan
menyatakan hal yang tidak sebagai tidak ada, adalah suatu
negasi yang murni negatif. Ini adalah kebenaran absolut. 6
Aristoteles berbicara tentang ontologi sebagai filosofia
prima dalam empat pengertian dasar. Pertama, ontologi
sebagai teori tentang ada dan dijelaskan dalam pengertian
sebagai sebab-sebab dan prinsip-prinsip utama dan terakhir
dari realitas. Kedua, ontologi sebagai teori tentang ada
6
Giovanni Reale, Storia della Filosofia, vol. 1. Milan: Vita e Pensiero, 1997., 120-121.

8
sebagai ada dalam pengertian yang paling universal.
Ketiga, ontologi sebagai teori tentang ada dalam pengertian
sebagai substansi. Keempat, ontologi sebagai teori tentang
ada sebagai yang supra-indrawi.7 Pandangan ini dianggap
lebih maju karena Aristoteles menukik lebih dalam ketika
ia berpikir tentang realitas dalam pengertian yang lebih
jauh.

Metafisika: ini adalah cabang filsafat yang telah lama


menjadi pokok pembahasan paling penting, khususnya
sejak ditemukan karya Metafisika dari Aristoteles. Term
metafisika diturunkan dari metà tà physikà. Metà berarti
sesudah. Dalam tradisi berpikir Aristoteles, karya
metafisika ditulis sesudah karya fisika. Ini berarti semua
pandangan dalam metafisika dibangun setelah lahirnya
karya fisika.Dengan perkataan lain, ada ilmu yang
dibicarakan setelah ilmu fisika. Selain itu metafisika berarti
juga ilmu yang berbicara tentang sesuatu yang melampaui
dunia fisik. Metà berarti di seberang realitas fisik. Realitas
supra-indrawi.8 Kalau ontologi berbicara tentang ‘ada
sebagai ada’ tanpa implikasi transenden, maka metafisika
melampaui ontologi karena ia berbicara juga tentang ada
yang transenden. Milsanya, kita berbicara tentang Tuhan
secara metafisis, dan bukannya secara ontologis. Namun
kita dapat membuktikan keberadaan Tuhan lewat jalan
ontologis.

7
Giovanni Reale, Il Concetto di Filosofia Prima, L’unitá della Metafisica di Aristotele,
Milano: Vite et Pensiero, 1993., xxvii.
8
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques, Dictionnaire 1.,
(PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1616.

9
Epistemologi: Ilmu yang berbicara tentang pengetahuan
atau studi tentang pengetahuan manusia. Karena ia
memperhatikan dimensi pengetahuan manusia maka studi
epistemologi sering disebut étude del la connaissance.
Dalam tradisi Anglo-Saxon studi ini disebut the philosophy
of science. Namun dalam tradisi continental, khsususnya
Prancis, studi ini lebih diperhatikan dari perspektif teoretis;
dan karena itu ia disebut théorie de la connaissance atau
gnoséologie.9 Sebenarnya yang diperhatikan dalam
epistemologi adalah analisa pelbagai bentuk pengetahuan
dan kritik filosofis tentang pengetahuan manusia. Namun,
analisa dan kritik ini perlu dilihat lebih dari perspektif
refleksif-rasional. Pada umumnya, epistemologi lahir
sebagai reaksi terhadap beberapa persoalan ini: Pertama,
persoalan tentang dasar matematis, formalisme logis, dan
prinsip-prinsip fisika, yang semuanya diperbaharui dalam
filsafat ilmu pengetahuan. Kedua, persoalan matematisasi
logika lewat analisa bahasa. Hal ini dibuat sambil
memperhatikan proposisi-proposisi yang membentuk
pengetahuan ilmiah. Analisa ini lebih dipusatkan pada
analisa formal bahasa untuk sampai pada kondisi validitas
dan verifikasi kebenaran. Ketiga, diversifikasi atau distinksi
ilmu dalam kategori ilmiah dan rasional atas dasar prinsip,
metode dan konsep-konsep pengetahuan partikular. 10

Fenomenologi: cabang filsafat yang berbicara tentang


realitas yang tampak dalam pengalaman hidup manusia
(lived experience). Prinsip fenomenologi terletak pada
pengalaman hidup. Pengalaman itu didasarkan pada intuisi
9
Ibid., 813.
10
Ibid.

10
atas kehadiran realitas. Sesuai maknanya, term
‘fenomenon’ (to phainóménon) dipahami dari verba ϕαινϵσθαι ,
yang berarti ‘yang memperlihatkan dirinya’ (to show itself).
Ini dapat juga berarti suatu manifestasi. Sesuatu memberi
diri dari dirinya sendiri. Heidegger berkata, phenomenon,’
the showing-itself-in-itself, signifies a distinctive way in
which something can encountered.11 Pengertian seperti ini,
telah dilihat oleh Husserl sebagai the principle of
principles. Everything that presents itself… originarily in
‘intuition’ is to be taken simply … as it gives itself.12
Heidegger kemudian membelokan fenomenologi ke
ontologi. Menurutnya studi fenomenologi berhubungan
dengan sikap to let that which show itself be seen from
itself in the very way in which it shows itself from itself.13
Pengertian ini tentu lebih sesuai dengan moto
fenomenologi “back to the things themselves”- kembali ke
realitas apa adanya. Artinya melalui fenomenologi kita
dihantar untuk menyelami realitas apa adanya, dan hal itu
dilakukan dengan memahami struktur esensial pengalaman
kita tentang kenyataan hidup ini.

Eksistensialisme: cabang filsafat yang berbicara tentang


keberadaan (eksistensi) dan pengalaman hidup manusia
lewat metode fenomenologi. Ia berbicara tentang cara
manusia berada di tengah dunia atas dasar pengalamannya
yang sangat partikular. Dalam dunia filsafat,
eksistensialisme berkembang pada pertengahan abad ke 20
di Prancis melalui tokoh-tokoh seperti Jean Paul Sartre,

11
Heidegger, Being and Time, 51,54.
12
Edmund Husserl, Ideen, Vol. p 43.
13
Heidegger, Being and Time, 58.

11
Simone de Bouvoir, Merleau-Ponty, dan Albert Camus.
Mereka semua adalah para pemikir yang memperjuangkan
kebebasan dari persoalan eksistensial tentang absurditas
dalam konfrontasinya dengan tanggungjawab manusia atas
kebaikan hidup. Tanggungjawab ini kemudian dilihat oleh
Sartre sebagai bagian esensial dari humanisme. Ia
kemudian mencetuskan pandangan l’existentialism est un
humanisme. Pencarian makna dan perjuangan untuk
humanisme harus dimulai dari persoalan yang paling
eksistensial dalam kehidupan manusia dan persoalan itu
adalah kebebasan fundamental.

Hermeneutika. Pada awal mulanya, pengertian


hermeneutika terbatas pada seni menginterpretasi teks
sakral seperti Kitab Suci atau teks-teks tertentu.
Pembatasan ini lebih terpusat pada eksegese lewat refleksi
metodologis atas cara-cara menafsir suatu teks. Dalam
perkembangan selanjutnya, pengertian hermeneutika
diperluas sebagai teori interpretasi dalam dunia filsafat
secara umum. Dari turunan verba hermēneúô, hermeneutika
dimengerti sebagai kesanggupan untuk menjelaskan,
menerjemahkan, menafsir, menginterpretasi. Pengertian ini
pada mulanya ditempatkan dalam konteks mediasi atau
transimisi, yang menurut mitologi Yunani, Hermès, adalah
utusan atau pembawa berita dari para dewa yang bertugas
untuk menjelaskan, menjelaskan atau menafsir pesan-pesan
ilahi bagi manusia di muka bumi. Instrumen dari pesan-
pesan itu dapat berupa bahasa lisan atau tulisan-tulisan.

Kalau dilihat dari pengertian ajektiva hermēneutikē,


khususnya dalam filsafat Plato, misalnya dalam karyanya

12
Politic, 260 d, hermeneutika lebih dilihat sebagai tékhnē
hermēneutikē, atau seni interpretasi tentang orakel suci dan
tanda-tanda ilahi bagi dunia profan sebagai sesuatu yang
bermakna. Dalam arti yang lebih luas, khususnya dari
perspektif filsafat Aristoteles, kita temukan konsep
hermēneía, yang kalau dilihat dari konteks Perí
hermēneías, suatu pengertian yang lebih terpusat pada
elemen-elemen dasar yang membentuk proposisi-proposisi
yang berkenaan dengan interpretasi. Tradisi Latin
kemudian menyebutnya de interpretatione yang menurut
Aristoteles hal ini berhubungan dengan persoalan bahasa,
proposisi, pikiran dan kata. Tradisi Latin yang sama
berbicara tentang hermeneutica sebagai ars interpretandi
atau seni interpretasi, bagian penting dari tradisi kristiani. 14

Dalam perkembangannya, khususnya dalam filsafat modern


abad ke 20, pengertian hermenutika selalu dikaitkan dengan
‘giants of hermeneutic philosophy’ seperti Martin
Heidegger, Hans-Geor Gadamer dan Paul Ricoeur. Dari
perspektif mereka, hermeneutika dibicarakan dalam terang
fenomenologi sebagai usaha untuk menjelaskan fenomen
understanding (Verstehen) sebagai bagian esensial dari
eksistensi manusia di tengah dunia. Gamader misalnya, ia
mengartikan hermenetika sebagai the phenomenon of
understanding and of the correct interpretation of what has
been understood.15 Di sini, fenomen, interpretasi yang tepat
14
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques, Dictionnaire 1.,
(PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1129.
15
Hans-Geor Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G.
Marshall, New York: Continuun, 1989. xxi.

13
dari apa yang telah kita pahami adalah bagian dari
pengalaman manusia di tengah dunia pada umumnya. Ia
berhubungan dengan pengetahuan dan kebenaran. Ia
menuntut suatu insight dan kebenaran. Pusat perhatian
hermeneutika di sini adalah penelitian yang mendalam
tentang fenomen pengertian. Namun fenomen ini selalu
menyejarah dan ada hubungan kesadaran kita yang
menyejarah. Efektivitas kejadian dari pengertian selalu ada
hubungan dengan sejarah.

Oleh karena itu, peranan bahasa sangatlah penting karena


peranan ini mengkondisikan semua fenomen pengertian itu.
Bahasa, sebagaimana dilihat oleh Gadamer sebagai
jembatan menuju dunia maka hermeneutika menekankan
peranan esensial dari bahasa. Peranan ini dipertegas oleh
Heidegger yang melihat “bahasa sebagai rumah sang ada
karena di dalamnya manusia tinggal.”16 Tentu hal ini
dijelaskan Heidegger dalam usahanya untuk mendekatkan
fenomenologi dengan hermeneutika tentang eksistensi
manusia sebagai Dasein. Paul Ricoeur kemudian secara
lebih kritis, mengambil semacam long route untuk
menjelaskan hermeneutika dari perspektif interdispliner
dan dalam dialog dengan pelbagai dimensi kehidupan
manusia dalam bentuk konflik interpretasi, dan penjelasan
waktu dan narasi. Semunya dibacarakan Ricoeur sebagai
usaha untuk kembali ke apa yang ia sebut the archeology of
meaning for a possible hermeneutics.17

16
Martin Heidegger, Basic Writings., 193.
17
Paul Ricoeur, “Reply to Don Ihde,” dalam The Philosophy of Paul Ricoeur, Chicago:
Chiago and La Salle Illinois.,1994. 73

14
Dari semua konsep dasar di atas, kita dihantar untuk
menyelami rahasia kesanggupan manusia. Rahasia itu
adalah bagaimana manusia mencintai pengetahuan bertolak
dari dasar kerinduan yang terdalam.

3. THAUMAZEIN

Pada permulaan karya Metafisika, tepatnya pada kalimat


pertama buku I dari Metafisika, Aritoteles melukiskan hal
yang menarik perhatian kita. Menarik karena dia memberi
gambaran tentang kodrat universal manusia. Dia berkata,
“semua manusia - hoi anthrôpoi, (laki-laki dan perempuan,
Yunani dan bukan Yunani, yang bebas maupun yang
tertindas) dari kodratnya rindu untuk mengetahui.”18 Dia
kemudian menambahkan “semua manusia, baik sekarang
maupun pada awal mula (kai nun kai to prôton), mulai
berfilsafat (philosophein), mencintai kebijaksanaan, dengan
cara mencari pengetahuan; dan tentu, pencarian ini
disebabkan oleh rasa heran (dia to thaumazein).”19

Sebenarnya sebelum Aristoteles, dalam hubungan dengan


rasa heran, meskipun dalam pandangan yang lebih spesifik,
Plato melukiskan hal itu lewat pernyataan Sokrates yang
ditujukan kepada Tetetus. “Sesungguhnya adalah filsuf,
yang sedang engkau bicarakan, penuh dengan rasa heran
berfilsafat, dan hal ini, yaitu dia yang berkata bahwa Iridea
datang dari Taumante; hal ini tidak salah, dan saya kira, ini
adalah asal usulnya.”20 Iridea adalah pembawa khabar dari

18
Aristoteles, Metafisica, I, 1, 980a, 1
19
Ibid., 2, 982b,12-13.
20
Palto, Teteus, 155,d.

15
para dewa untuk umat manusia, dan ia diidentikkan dengan
filsafat. Iridea adalah juga puteri dari Taumante, nama yang
menurut asal usul Yunani dikaitkan dengan verba
thaumazein, merasa heran. Jadi, baik Aristoteles maupun
Plato, sama-sama menegaskan pengakuan mereka bahwa
‘kerinduan untuk mengetahui’ selalu berawal dari
‘keheranan’ atau ‘kekaguman’ akan hal-hal yang berada
dan terjadi di dunia ini.

Semua kita mempunyai kerinduan untuk mengetahui. Kita


sering memiliki rasa heran, dan hal ini, yaitu rasa heran
adalah awal dari filsafat. Kita pada dasarnya memiliki
tendensi alamiah (keheranan) untuk mengarahkan perhatian
kita pada suatu tujuan tertentu. Max Scheler berkata,
“agama lahir dari kerinduan manusia untuk menyelamatkan
dirinya dari kematian, semetara filsafat lahir dari kerinduan
manusia untuk mengetahui, dan ilmu pengetahuan lahir dari
kerinduan manusia untuk menguasai alam dan segala
isinya.”21 Namun, sementara agama berasal dari revelasi,
yang melaluinya manusia diberi jalan untuk mencapai
keselamatan, sedangkan filsafat, lewat kapasitas indrawi
dan rasio, melahirkan rasa heran, yang melaluinya manusia
memiliki kerinduan untuk mengetahui. Karena itu,
kerinduan untuk mengetahui di sini, didasarkan pada
persepsi dan kapasitas akal budi. Kerinduan ini didasarkan
pada dorongan kodrati untuk menjawab setiap pertanyaan
yang muncul.

Kita menggarisbawahi keheranan sebagai dasar pencarian


filosofis. Namun, pertanyaan yang penting adalah apa itu
21
bdk. Max Scheler, Sosiologia del Sapere, Roma: Abete, 1966, 65-67.

16
keheranan? Bagaimana keheranan menggerakkan
kerinduan manusia untuk mengetahui? Unutk pertanyaan
ini, Aristoteles memberi kita jawaban:

Barangsiapa yang berada dalam ketidakpastian dan


keheranan (ho d’aporôn kai thaumzôn), ia berpikir
bahwa ia tidak tahu (ignoransia). Demikian juga
barangsiapa yang cenderung ke hal-hal mitos (ho
philomuthos), dalam keadaan tertentu, ia adalah filsuf,
karena mitos mengandung di dalamnya unsur-unsur
yang menimbulkan rasa heran. Karena itu, seandainya
benar bahwa manusia memiliki kerinduan untuk
berfilsafat dan agar membebaskan dirinya dari
ignoransia, maka ia harus mengambil sikap dan berada
pada jalan pengetahuan (to episthai) yang murni tanpa
terpengaruh oleh keinginan praktis.22

Keheranan adalah awal dari kesadaran akan ketidaktahuan


(ignorantia) dan awal dari kerinduan untuk keluar dari
ketidaktahuan itu. Pengetahuan dan pengertian tentang
segala sesuatu dimulai ketika manusia menyadari
ketidaktahuannya,dan ia pun merasa heran atas dirinya dan
atas realitas. Selain itu, usaha manusia untuk keluar dari
ketidaktahuan berawal dari kesadarannya tentang mitos,
yang dalam keadaan tertentu, telah membuat manusia
percaya pada kisah sebagai dasar dan jawaban atas semua
persoalan hidupnya. Mitos harus ditanggapi dengan kaca
mata rasionalitas dan justifikasi tertentu. Ini dilakukan agar
rasa heran, rasa kagum atas semua kisah tidak sekedar
tinggal dalam tatanan perasaan belaka. Manusia perlu
22
Metafisica, I, 2, 982 b, 17-21.

17
membebaskan diri dari mitos menuju filsafat atau atau dari
ignorantia menuju pengetahuan. Pada awal mula, orang-
orang Yunani belum mempunyai distingsi yang jelas antara
filsafat dan pengetahuan.

Aristoteles kemudian berhasil meyakinkan kita bahwa


tujuan kerinduan manusia untuk mengetahui adalah
pengetahuan itu sendiri. Tujuan ini dapat menjawabi
seluruh kebutuhan hidup manusia. Agar hidupnya lebih
baik secara moril, lebih maju secara ekonomis, lebih
berkembang secara teknologis, lebih sosial secara komunal,
lebih memiliki keyakinan secara spiritual, manusia perlu
mengembangkan semua dimensi pengetahuannya secara
baik. Ia harus masuk dalam petualangan pengetahuan itu
dengan cara menyiapkan waktu untuk selalu ‘mencari.’ Di
sini, kekuatan pencarian harus datang dari passion
pencarian itu sendiri. Kerinduan akan pengetahuan harus
lahir dari gairah akan pengetahuan itu sendiri. Alasannya,
pengetahuan eksis hanya untuk pengetahuan itu sendiri.

Kita menggarisbawahi di sini bahwa keheranan atau


kekaguman adalah awal mula filsafat. Ia adalah dasar yang
menggerakkan manusia untuk merindukan pengetahuan,
membebaskan diri dari mitos, serta memajukan
kehidupannya secara rasional. Keheranan adalah prinsip
yang memuaskan jiwa serta dasar yang menunjukkan
dimensi kebebasan di dalam diri manusia. Keheranan
adalah kondisi pikiran dan jiwa manusia yang melahirkan
kebebasan yang sesungguhnya. Keheranan bukan suatu
keinginan sesaat yang segera dikabulkan. Ia adalah prinsip
dasar eksistensial yang melekat pada manusia. Ia jarang

18
muncul, namun ia sangat mahal dan berharga. Ia lahir dari
akar kedalaman jiwa yang haus untuk menciptakan diri. Ia
tidak mengekspresikan kebebasan. Ia ada di dalam
kebebasan untuk mencari. Karena itu, ia melampaui dari
sekedar keinginan atau kebutuhan (the need).

Persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana kita


memahami esensi keheranan? Bagaimana keheranan itu
eksis, bebas dan tanpa terkontaminasi oleh suatu
keinginan? Di dalam tradisi filsafat barat, setelah mendapat
pengaruh dari tradisi kristiani, makna tentang keheranan
sering disalahtafsir dan dibingungkan dengan pengertian
tentang kekaguman (admiratio). Besar kemungkinan,
dalam perkembangannya, pemahaman tentang arti verba
refleksif thaumazein atau merasa heran di dalam diri, sering
dimengerti sebagaimana arti verba dalam tradisi Latin
admirari, sikap mengagumi. Tomas Aquinas adalah
pemikir yang sering melihat dua pengertian ini dalam satu
kesatuan makna. Admiratio adalah perasaan estetis yang
timbul setelah disentuh oleh kindahan objek yang ada di
depan kita. Bagi orang Kristen, Sang Pencipta
menanamkan admiratio di dalam diri kita agar melauinya,
kita digerakkan oleh rasa kagum untuk
mengkontemplasikan keindahan ciptaan-Nya. Dalam
hubungan dengan ini, santo Fransiskus dari Asisi memuji
Pencipta lewat kekagumannya atas keindahan dan kebaikan
seluruh ciptaan Tuhan dalam madah ciptaan, il cantico
delle creature: Laudato sii, il mio Signore, per tutte le
creature - Terpujiilah Engkau, Tuhanku, untuk semua
ciptaan.

19
Sebaliknya, keheranan yang dimaksudkan Plato dan
Aristoteles tidak sedikitpun berintensi estetis religius. Ia
adalah murni suatu sikap teoretis-filosofis yang senantiasa
terarah kepada kerinduan akan pengetahuan. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa kerinduan? Dan
mengapa pengetahuan?

4. BERFILSAFAT: BERTANYA

Pada prinsipnya manusia ingin menjelaskan segala sesuatu


ketika dia belum sampai pada pengetahuan tentang sebab
dari sesuatu itu. Keinginan ini berawal dari rasa heran, dan
setiap rasa heran menimbulkan pertanyaan. Kita
menyebutnya sebagai keheranan filosofis. Keheranan
filosofis secara esensial lahir dari pertanyaan mengapa.
Misalnya kita merasa heran dengan kejadian dalam dunia di
sekitar kita. Mengapa terjadi gempa bumi, tanah longsor,
tsunami, letusan gunung berapi, dan typhoon yang
menyebabkan kematian banyak orang?

Menurut Aristoteles, pencarian jawaban atas semua


kejadian, membawa kita ke persoalan tentang sebab
motoris, sebab efisien. Namun, di balik dari semuanya, ada
satu pertanyaan yang menjelaskan sebab final dari segala
sesuatu.

Untuk menemukan jawaban yang substansial dari segala


sesuatu, kita harus bertanya agar kita dihantar masuk,
menyelam lebih dalam ke esensi sesuatu. Misalnya, ketika
kita ingin menjelaskan suatu objek, kita harus bertanya

20
mengapa suatu objek berada sebagai yang ini, dan bukan
sebagai yang itu? Mengapa sesuatu berada demikian?
Mengapa kerbau berada sebagai kerbau dan bukan sebagai
manusia? Apa yang membuat manusia seperti manusia dan
bukannya seperti malekat? Setiap rasa heran, kalau disadari
dengan baik, akan menimbulkan pertanyaan. Barangsiapa
yang merasa heran, ia akan selalu ingin bertanya. Ia berada
dalam situasi sedang mencaritahu. Ia ingin mendapatkan
jawaban atas setiap pertanyaan yang muncul.

Siapapun di antara kita yang sering menyadari realitas


dengan keheranan, ia akan ingin bertanya. Ia bertanya baik
tentang dirinya, tentang yang lain maupun tentang realitas
yang sedang terjadi. Kalau ia menyadari setiap pertanyaan
dengan baik, pertanyaan akan menjadi bagian dari
keseluruhan pengalaman hidupnya. Heidegger berkata

To question is to will to know. He who wills, he who


puts his whole existence into a will, is resolved.
Resolve means acts from out of the moment and never
stops. Resolve is no mere decision to act, but the
crucial beginning of action that anticipates and reaches
through all action… the essence of resolve lies in the
opening, the coming-out-of-cover of human being-
there into clearing of being.23

Plato telah mengembangkan model pertanyaan dialektis


sebagai usaha untuk menafsir pengalaman hidupnya dengan
Sokrates. Kita tidak akan menyadari setiap pengalaman
hidup kita, kalau kita tidak sering bertanya dan tidak
23
Heidegger, An Introduction to Metaphysics, 20

21
berusaha menjelaskan setiap pertanyaan kita dengan baik.
Gadamer berkata “we cannot have experiences without
asking questions.”24 Kesadaran akan pertanyaan atas setiap
situasi dan pengalaman kita berawal dari apa yang pernah
Sokrates wariskan sebagai docta ignorantia, yaitu
menyadari diri sebagai pihak yang belum mengetahui apa-
apa. Dalam konteks ini, kesadaran akan ketidaktahuan di
dalam diri adalah dasar negativitas radikal “the knowledge
of not knowing.”25 Hal ini membuka ruang untuk selalu
bertanya dan selalu bertanya. Mengapa?

Secara filosofis, pertanyaan lebih penting dari jawaban,


karena esensi filsafat terletak pada usaha untuk selalu mau
bertanya. Ketika kita bertanya, kesadaran kita akan
pertanyaan akan membawa kita ke suatu ruang terbuka.
Kesadaran akan pertanyaan memberi kita suatu direksi
menuju ruang terbuka, dan di dalam ruang itu, kita
berusaha untuk menemukan sesuatu. Esensi pertanyaan
terletak pada sesuatu yang dipertanyakan. Pertanyaan
menempatkan sesuatu yang sedang dipertanyakan dalam
persepektif tertentu. Ketika suatu pertanyaan diajukan,
pertanyaan itu membawa kita ke suatu medan makna yang
terbubuka. Ada sesuatu yang hendak dicari di dalam medan
yang terbuka itu.

Namun, agar kita sanggup bertanya, pertama-tama kita


harus memillik gairah, passion akan pengetahuan. Gairah
ini berawal dari kesadaran diri bahwa kita belum tahu apa-
apa. “In order to be able to ask, one must want to know,
24
Gadamer, Truth and Method. 362.
25
“Dem Wissen des Nichtwissens”. Ibid.

22
and that means knowing that one does not know.” 26
Prioritas dalam filsafat adalah pertanyaan dan bukannya
jawaban. Filsafat tidak bertujuan untuk menyiapkan
jawaban komprehensif. Kegagalan filsafat akan terjadi
kalau filsafat itu menyajikan sejumlah jawaban yang fixed
sebagai doktrin kebenaran yang harus ditaati. Sekali lagi,
prioritas filsafat adalah pertanyaan. Ketika kita bertanya,
kita siap untuk membuka suatu ruang yang bar. Di dalam
ruang itu, kita harus berani mencari sendiri jawabannya.
Berani bertanya berarti berani menemukan sendiri jalan
tertentu. Berani membuka suatu kedok. Berani
membongkar. Berani menggonggong. “To ask a question
means to bring into the open. The openness of what is in
question consists in the fact that the answer is not settled.” 27
Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang selalu
mengusik kesadaran kita. Ia mengusik karena ia datang
sebagai pengganggu. Esensi pertanyaan adalah
mengganggu. Ia mengganggu dengan cara membongkar.

Selain itu, kalau esensi pertanyaan adalah membuka suatu


jalan, maka setiap pertanyaan dibatasi oleh horizon yang
ada di dalam pertanyaan itu. Mengajukan suatu pertanyaan
berarti membuka suatu horizon melalui maksud yang
disampaikan lewat pertanyaan itu. Namun, hal yang
menarik bahwa horizon ini serentak menjadi suatu batasan.
Ada paradoks pertanyaan: ia membuka serentak memberi
batasan. Ia memulai tetapi serentak memberi awasan.
«Posing a question implies openness but also limitations.” 28

26
Ibid.
27
Ibid. 363.
28
Ibid.

23
Suatu pertanyaan dapat memberi peringatan, tetapi
peringatan itu bisa saja menghadirkan sesuatu di luar dari
presuposisi awal.

Orang bisa bertanya secara tepat, namun bisa juga ia gagal


bertanya dengan baik. Orang tidak bertanya dengan baik
ketika ia gagal fokus pada suatu persoalan. Dengan
perkataan lain, orang gagal bertanya karena ia gagal
memiliki dasar yang baik untuk bertanya. Bisa juga hal ini
disebabkan karena ia belum terlatih untuk bertanya, atau
karena ia juga tidak memiliki dasar yang cukup untuk
mengajukan suatu pertanyaan. Selain itu, orang gagal
bertanya karena ia menganggap pertanyaan itu sebagai hal
yang sepele, atau karena ia tidak terbiasa berpikir secara
serius.

Sejauh pertanyaan bersifat terbuka, keterbukaan itu bisa


mengandung suatu pernyataan yang positif dan negatif.
Boleh jadi hal ini merupakan “the basis of the essential
relation between question and knowledge.”29 Esensi
pengetahuan tidak saja untuk membuat justifikasi sesuatu
secara tepat, tetapi ia juga, dengan alasan yang valid,
bertujuan untuk menghindari apa yang tidak baik.

Bagi Gadamer, “only a person who has questions can have


knowledge,”30 artinya hanya orang yang mempunyai
pertanyaan, dia memiliki pengetahuan. Orang yang suka
bertanya, ia memiliki akses terhadap pengetahuan. Namun
kita perlu menyadari bahwa setiap pertanyaan mengandung
29
Ibid. 364.
30
Ibid. 365.

24
di dalamnya antitesis jawaban antara yang ‘positif’ dan
yang ‘negatif.’

Tidak ada metode khusus untuk bertanya. Yang ada


hanyalah gairah yang lahir dari kerinduan akan
pengetahuan. Gairah itu membakar semangat kita untuk
bertanya. Gairah itu mendorong kita untuk mencari banyak
kemungkinan. Kita digerakkan, seperti Sokrates, oleh
kesadaran diri bahwa kita belum tahu apa-apa. Karena itu,
kita ingin mencari pengetahuan agar kita bebas dari
ignorantia, yaitu the knowledge of not knowing. Sadar diri
bahwa kita sesungguhnya belum tahu semua.

Bagaimana pertanyaan itu datang ke hadapan kita?


Pertanyaan dapat terjadi, atau ia dapat hadir dalam pikiran
kita tanpa kita rencanakan. Kenyataannya, kita memiliki
pengalaman ketika kita dikejutkan oleh banyak hal baru
yang tidak sesuai dengan ekspetasi kita. Dalam situasi
seperti ini, pertanyaan dapat muncul sebagai suatu giarah
yang membangunkan kita. Kita tidak dapat
menghindarinya. Kita harus bertanya.

Seni bertanya adalah seni untuk terus tetap dan setia dalam
bertanya. Karena itu, seni untuk bertanya tidak
berhubungan dengan suatu techne, sesuatu yang artifisial
hasil dari suatu rekayasa. Seni bertanya lahir dari
‘kerinduan’ akan pengetahuan, yaitu kerinduan untuk
bertanya dan selalu mau pergi jauh dari setiap pertanyaan
yang diajukan. Di sini, tentu, seorang penanya adalah
seorang yang suka berpikir karena dengan bertanya, ia
berpikir. Bertanya berarti berpikir. Ini tidak berarti bahwa

25
orang yang tidak bertanya, ia tidak berpikir. Ia berpikir
namun ia tidak memiliki gairah untuk pergi lebih jauh atau
keinginan untuk mengetahui lebih mendalam. “The art of
questioning is the art of questioning ever further, i.e., the
art of thinking.”31 Bertanya berarti selalu tetap berada
dalam keadaan terbuka. Orang yang suka bertanya adalah
dia yang suka tinggal dalam ruang terbuka, dan dalam
ruang itu, dia ingin selalu berpikir.

Dalam bertanya, si penanya yang adalah juga sebagai


‘pembicara’ (speaker), ingin mencari jalan atau membuka
segala kemungkinkan sampai kebenaran atas apa yang
dipertanyakan memperlihatkan dirinya. Bertanya berarti
usaha untuk mencari suatu kebenaran. Bertanya berarti
membuka jalan agar kebenaran memperlihatkan diri.
Dalam tradisi, kehadiran kebenaran selalu berkaitan dengan
apa yang disebut logos. Logos bukan milik si penanya. Ia
juga bukan hak dari pihak yang memberikan jawaban atas
pertanyaan. Logos melampaui si penanya dan ia lebih dari
apa yang dibicarakan oleh rekan dialog si penanya. Logos
adalah transendensi kebenaran yang menghadirkan diri
dalam dialog antara si penanya dan interlokutornya.

Persoalan yang paling mendasar dari pertanyaan adalah


apakah setiap pertanyaan dapat membawa kita kepada
suatu pengertian (understanding)? Persoalan ini, dalam
ranah filsafat, hanya mungkin kalau kita sungguh masuk
dalam “the logic of question and answer,”32 yaitu logika

31
Ibid. 367.
32
Ibid. 369.

26
dasar pengetahuan manusia. Manusia bertanya dan manusia
harus menemukan jawaban atas setiap pertanyaannya.

Mengerti suatu pertanyaan berarti mengerti apa yang ada di


balik pertanyaan itu. Namun pengertian seperti ini hanya
mungkin lewat mediasi bahasa dan teks. Kita mengerti
suatu pertanyaan lewat proposisi atau lewat suatu teks. Si
penanya yang baik adalah dia yang mengerti dengan baik
setiap proposisi dan teks. Namun, suatu pengertian yang
baik tidak selalu berakhir pada suatu jawaban. Pengertian
yang baik selalu diterangi oleh kekuatan pertanyaan yang
diajukan terus-menerus. Hal semacam ini akan membawa
kita lebih jauh ke persoalan tentang hermeneutika sebagai
bagian penting dari filsafat.

5. BERTANYA: MENCARI DASAR YANG


TERDALAM

Kita sudah berbicara tentang thaumazein - merasa heran


sebagai sikap awal untuk berfilsafat. Tentu, sikap ini dilihat
juga sebagai esensi dari filsafat itu sendiri. Berfilsafat harus
dimulai dari kerinduan yang paling mendalam. Kedalaman
filsafat adalah kedalaman suatu kerinduan. Intensinya ada
di dalam filsafat itu sendiri. Kita juga telah melihat bahwa
untuk sampai kepada pengertian yang benar tentang
filsafat, kita harus bergulat dengan persoalan-persoalan
yang mendasar di dalam filsafat. Tentu, persoalan yang
paling utama adalah pencarian dasar yang terdalam dari
segala sesuatu.

27
Tradisi berpikir Yunani telah mewariskan refleksi dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang
segala sesuatu. Mereka bertanya sambil berusaha untuk
mencari jawaban lewat penjelasan-penjelasan yang
memadai. Namun, semunya berawal dari rasa heran tentang
kejadian di dunia ini. Kejadian itu membuat manusia
merasa heran dan bertanya mengapa segala sesuatu berada
demikian?

Keheranan menggerakkan manusia untuk mencari dasar


yang terdalam dari segala sesuatu. Pencarian itu, tentu
berhubungan dengan sebab terdalam dari realitas ini. “For
all men begin, as we said, by wondering that the matter is
so, … the better state, as is the case in these instances when
men learn the cause.”33 Mencari sebab terdalam dari realitas
adalah intensi filsafat. Kita tidak boleh tinggal dalam rasa
heran atau merasa nyaman dengan kerinduan belaka.
Aristoteles mengajak kita untuk selalu berpikir dan mencari
dasar yang terdalam dari segala sesuatu.

Mencari dasar terdalam harus dituntun melalui pertanyaan,


misalnya mengapa segala seuatu berada demikian?
Mengapa pertanyaan harus dimulai dengan sesuatu yang
berada, dan bukannya yang tidak ada? Seperti yang kita
ketahui, bahwa dalam tradisi berpikir barat, persoalan
tentang ‘ada’ (to on) masih meninggalkan problem besar
yang tidak dijawab sampai tuntas.

Pertanyaan mengapa adalah pertanyaan besar dalam tradisi


berpikir. Pertanyaan ini membawa kita ke sumber yang
33
Metaphysics, I,2, 983 a, 11-21.

28
paling terakhir (causa prima), ke dasar yang terdalam.
Boleh jadi, ia adalah pertanyaan yang paling fundamental
dari segala pertanyaan. Mengapa sesuatu itu berada
demikian? Mengapa ada sesuatu? Apa yang mendasari
sesuatu sehingga sesuatu itu berada demikian?

Aristoteles misalnya berbicara tentang empat sebab.


Pertama, sebab substansial atau sebab formal. Sering
disebut ousia atau esensi. Plato menyebutnya paradigma,
model, eidos. Kedua, sebab material. Sebab yang darinya
sesuatu dihasilkan. Id ex quo. Misalnya kayu untuk patung.
Ketiga, sebab efisien. Sebab yang darinya gerak dihasilkan.
Sumber gerak. Misalnya kehendak adalah sumber dari
suatu tindakan atau perbuatan. Keempat, sebab akhir. Id
cuius gratia aliquid fit. Dilihat sebagai telos. Sebab yang
dilihat sebagai tujuan atau akhir dari sesuatu. Aristoteles
mengidentikan telos dengan kebaikan.

Kalau kita bertanya mengapa? kita menyadari bahwa arah


dari pertanyaan ini membawa kita ke sebab yang terdalam.
Dengan perkataan lain, pertanyaan mengapa? membawa
kita untuk mencari suatu dasar agar kita memiliki pijakan.
Persoalannya, dasar yang mana? Persoalan ini tidak
berhubungan dengan hal-hal tertentu. Ia lebih berkaitan
dengan sumber yang menjadi arah terakhir dari pertanyaan
itu. Heidegger berkata “to seek the ground is to try to get to
the bottom; what is put in the question is thus related to the
ground.”34 Namun, sejak pertanyaan tinggal tetap sebagai
pertanyaan, kita akan tetap melihat apakah pertanyaan
mendasar itu sungguh membawa kita ke suatu dasar
34
Heidegger, An Introduction to Metaphysics. , 3.

29
terdalam, dan apakah itu adalah suatu kebenaran? Apakah
dasar yang terdalam yang dicari oleh pertanyaan itu
adalah: 1) dasar yang memang sesungguhnya paling
pertama (a primal ground/Ur-grund); atau, 2) apakah
pertanyaan itu membawa kita bukan ke dasar yang
sesungguhnya, sehingga pertanyaan itu menjerumuskan
kita ke dalam jurang tanpa dasar (abyss/Ab-grund)?; atau
3) boleh jadi, apakah pertanyaan itu tampaknya menggiring
kita ke sesuatu yang tampak seolah-olah sebagai dasar,
namun sebenarnya, ia bukanlah dasar yang sesungguhnya
(it is a non-ground/Un-grund)? 35 Jadi, di sini, kita perlu
berwaspada ketika kita ingin berfilsafat untuk mencari
suatu dasar yang terdalam.

Dalam metafisika, Aristoteles berbicara tentang ,


sofia, sebagai ilmu yang mencari dasar terdalam dan sebab
utama dari segala sesuatu.36 Ia yakin bahwa manusia,
dalam kerinduannya untuk mengetahui, selalu ingin
mencari dasar terdalam bagi pengetahuannya. Pencarian itu
dimulai dari usaha untuk mengetahui sebab dari segala
sesuatu. Sebab dari segala sesuatu, boleh jadi, seperti kata
Heidegger adalah Ur-grund, sumber asali dan dasar yang
paling dasariah.

Apa yang paling dasariah dari segala sesuatu? Apa yang


menjadi sumber dari segala sumber? Dalam konteks ini,
Heidegger juga berbicara tentang Ur-sprung, sumber asali.
“The original source… the finding of one’s own ground.” 37
35
Ibid.
36
Aristoteles, Metafisica., 734
37
Heidegger, An Introduction to Metaphysics., 7.

30
Di sini, pertanyaan apa yang mendasari sesuatu sehingga
sesuatu itu berada dengan cara tertentu, menjadi pertanyaan
yang paling luas/umum (the broadest) dan paling
mendalam (the deepest). Ia adalah pertanyaan yang paling
otentik dari semua pertanyaan.

Pencarian tentang causa prima adalah pencarian tentang


sebab utama untuk menjelaskan realitas. Pencarian ini
akan membawa kita kembali ke principum rationis: nihil
est sine ratione. Tak ada yang tanpa dasar. Segala sesuatu
memilik alasan keberadaannya. Melalui Descartes, filsafat
modern menemukan dasar keberadaan segala sesuatu di
dalam res cogitans atau ratio.

Namun yang menjadi persoalan adalah apa itu ratio?


Dengan merunut kembali ke terminus Latin reor, ratio
berarti ‘menimbang sesuatu sebagai…’ Saya menimbang
sesuatu sebagai sesuatu, dan karena itu, saya memutuskan
sesuatu sebagai yang tertentu. Dalam konteks ini, ratio
berarti dasar dari suatu pertimbangan, dan dalam filsafat
pengetahuan, ratio dilihat sebagai prinsip epistemological
ground.

Prinsip ini, dalam terang filsafat Aristoteles akan menjadi


jelas bila dilihat dari konteks pengertian (understanding).
Mengerti berarti mengetahui dasar dari sesuatu. Mengerti
berarti mengetahui mengapa sesuatu itu berada demikian.
Mengetahui dasar sesuatu berarti mengerti alasan atau
sebab mengapa sesuatu itu berada. Aristoteles menyebut
, atau Ur-sache sebagai sebab utama, dasar segala
sesuatu. Pencarian tentang sebab utama adalah pencarian

31
dari mana sesuatu itu berada. Pencarian ini membawa kita
ke arche, the beginning, titik awal dari mana pengetahuan
dimulai.

Dalam Metafisika buku ke lima, 1013 a 17, Aristoteles


berbicara tentang arche.

1). That part of a thing from which one would start


first. E.g. a line or a road has an origin in either of the
contrary directions. 2). That from which each thing
would best be originated, e.g. we must sometimes
begin to learn not form the first point and the origin of
the thing, but from the point from which we should
learn most easily. 3). That from which (as an
immanent part) a thing first arises. 4). That from
which (not as an immanent part) a thing first arise, and
from which the movement or the change naturally first
proceeds, as a child comes from the father and the
mother.

Jadi, pertama, arche adalah esensi. Kedua, arche adalah


sebab keberadaan sesuatu. Ketiga, arche adalah dasar untuk
suatu kebenaran. Dasar suatu argumen. Dasar untuk
justifikasi suatu proposisi. Misalnya kalau kita berbicara
tentang ekistensi manusia kita akan sampai pada persoalan
apa itu esensi manusia? Apa dasar keberadaannya?
Argumen apa yang dipakai sebagai dasar untuk
menjelaskan esensi manusia?

Dalam terang pemikiran yang sama, Leibniz kemudian


mencari dasar terdalam pengetahuan manusia lewat

32
principium rationis sufficientis. Prinsip ini, dalam terang
pemikiran modern dilihat prinsip berfilsafat. Berfilsafat
berarti bertanya tentang dasar terdalam dari segala sesuatu.
Mengapa kita sering bertanya, dan mengapa setiap
pertanyaan kita selalu tentang realitas yang ada, dan
bukannya? Kita perlu menyadari bahwa berfilsafat tidak
membatasi kita hanya pada persoalan ontologis atau
persoalan metafisis. Ada hal yang lebih jauh dan lebih luas
untuk dipertanyakan. Seperti Nietzsche, kita tentu
menyadari panggilan kita untuk selalu bertanya, dan
sebagaimana panggilan seorang filsuf untuk selalu
bertanya, kesadaran ini selalu menjadi bagian dari hidup
kita untuk selalu mencari hal-hal yang luar biasa, luhur dan
mulia. A philosopher is a man who never stops experience,
see, hear, suspects, hope and dream extra-ordinary. To
philosophize, … is an extraordinary inquiry into extra-
ordinary.38 Untuk sampai pada pencarian yang sungguh
luhur, luar biasa dan mulia, kita tentu harus dibekali dengan
pengertian yang benar tentang filsafat.

6. 

Dari akar verba philein - mencintai dan nomina sophia -


kebijaksanaan, arti  di sini membawa kita ke
suatu tradisi pemahaman intelektual yang khas dari dunia
kontinental, lebih khusus dunia pemikiran Yunani.
Penyebutan nama  atau filsafat, pada awalnya
selalu bereferensi pada suatu aktivitas pengetahuan
spesifik yang berkenaan dengan suatu dunia yang

38
Ibid. 12

33
disebut le plus haut ideal atau ideal tingkat tinggi.39
Dunia ini sejak masa klasik digadang-gadang sebagai un
ideal de vie40 atau acuan kehidupan. Acuan itu bisa juga
dilihat sebagai petunjuk, atau akses menuju ke
pengetahuan. Sebagai petunjuk, ia di dalam dirinya
memiliki kualitas; dan kualitas itu dapat dirunut dari
pengertan  yang memiliki makna sebagai terang.
 adalah cahaya yang darinya, sesuatu yang lain dapat
dikenal.  adalah terang yang darinya lahir hal yang
lain.  adalah sumber yang memungkinkan sesuatu
yang lain dapat dilihat. Ini berarti  adalah pembawa
terang dalam kegelapan. Dengan perkataan lain, melalui
 kita dimungkinkan untuk mengerti suatu hal. 41
Menurut Aristotels,  mengandung di dalamnya hal
yang dapat dimengerti (inteligible) dan hal yang sakral
(divine). Ia, di dalam dirinya, jelas menurut esensinya.
Mungkin terkadang manusia tidak sanggup mengertinya
karena kekurangan di dalam diri manusia, namun, ,
di dalam dirinya, menurut esensinya, adalah terang. 42
Esensinya adalah terang dan ia adalah sumber yang
memancarkan terang.

Dari pengertian tersebut,  adalah jalan yang


membimbing kita menuju dunia pengetahuan. Atas dasar
itu, Aristoteles melihat makna  dalam artian ekuivok
dengan , orang yang memiliki pengetahuan universal
39
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques, Dictionnaire 2.,
(PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1936.
40
Ibid.
41
Bdk. Enrico Berti, La Filosofia del Primo Aristotele, Milano: Vita e Pensiero.,1997.,
263.
42
Ibid., 264.

34
dan mempunyai panggilan untuk membawa terang. 43 Figur-
figur seperti Prometheus, Sokrates, dan Yesus sering dilihat
sebagai , mereka yang membawa terang bagi yang
lain.

Dalam pandangan klasik, ada beberapa kemungkinan untuk


mengerti arti . Pertama, ia berarti causa prima.
Pengetahuan tentang yang pertama dan tentang sebab-sebab
yang terdalam. Kedua,  berarti pengetahuan tentang
hal-hal yang supra-indrawi. Boleh jadi dalam konteks ini, ia
berkenaan dengan yang ilahi, pengetahuan tentang yang di
atas atau sering disebut sebagai scienza divina karena ia
berbicara tentang hal-hal yang ilahi. Kebijaksanaan adalah
pengetahuan tentang sebab-sebab dan tentang prinsip-
prinsip pertama. Tuhan adalah sebab dan prinsip utama
itu.44

Dari etimologinya, filsafat dapat secara harafiah dimengerti


sebagai cinta akan kebijaksanaan. Namun di sini, mencintai
adalah suatu pencarian, suatu aktivitas, suatu cara hidup.
 adalah orang yang mengambil cara hidup dan
memilih untuk mencintai kebijaksanaan dan hidup setia
padanya.

Jadi, makna filsafat hanya bisa dipahami oleh orang yang


‘mengerti’ tentang penggunaan ‘konsep’ itu dengan baik.
Orang yang belajar filsafat pertama-tama, dia harus
bersedia menjadi akrab dengan konsep filsafat itu. Ia tidak
boleh merasa bosan atau asing dengan konsep filsafat. Ia
43
Ibid., 265.
44
Metafisica, A, 2. 983 a 8-9.

35
harus menjadi bagian dari filsafat. Bahkan lebih dari itu, ia
harus merasa yakin dan pasti bahwa filsafat adalah
hidupnya. Filsafat adalah panggilannya. Filsafat adalah
makanannya setiap hari.

Filsafat membutuhkan orang yang mengerti tentangnya


secara baik. Gilles Deleuze dan Felix Guattari berbicara
tentang personnages conceptuels.45 Barangsiapa ingin
mengerti filsafat, dia harus pertama-tama bersedia menjadi
sahabat kebijaksanaan. Les amis de la saggess.46 Tugas
utama seorang sahabat kebijaksanaan adalah selalu rindu
dan bahka ingin dekat dengan kebijaksanaan. Ia harus
kreatif, dinamis dan tetap menjaga api agar ia selalu baru
dan tetap hidup dan semangat kebijaksanaan. Oleh karena
itu, ia harus selalu akrab dengan konsep-konsep, argumen
dan setiap ide yang berhubungan dengan filsafat. Le
philosophe est l’ami du concept. Il est en puissance de
concept.47 Filsuf adalah penemu dan pencipta yang baru. Ia
adalah pemberi nama. Ia hidup dalam kedisiplinan karena
kedisiplinan itu akan memberi dia jalan untuk mencipta.
Filsafat ada hubungan dengan kedisiplinan untuk mencipta,
dan mencipta ada hubungan dengan kesanggupan untuk
menghadirkan yang baru.

Kesanggupan ini ada hubungan dengan kehidupan manusia


di dunia. Filsafat berkenaan dengan karakter hidup dan
pengalaman konkret. Filsafat bukan suatu doktrin. Ia
berkenaan dengan horison pengertian dalam tindakan, sikap

45
Gilles Deleuze et Felix Guattari, Qu’est-ce que la Philosophie ? p.8
46
Ibid.
47
Ibid. 10.

36
analitis terhadap dunia dan terhadap diri sendiri. Untuk
sampai pada horison seperti ini, kita perlu membangun
komunitas berpikir bersama dalam dimensi dialog kritis,
deliberatif dan penuh tanggungjawab. Komunitas ini
mengingatkan kita kembali tentang apa yang sejak awal
Aristoteles sebut sumphilosophein

7. SUMPHILOSOPHEIN
Berawal dari kesadaran tentang diri kita yang sosial, kita
selalu menjalani hidup ini secara komunal. Kita
membentuk komunitas dan institusi bersama. Kita ingin
belajar bersama dalam rumah akademis yang hidup dan
dinamis. Kita membangun persaudaraan akademis dengan
jiwa intelektual yang tinggi. Sejak zaman klasik, khususnya
pada masa Plato dan Aristoteles, kesadaran tentang
kebersamaan ini sudah amat kuat. Kesadaran itu dimulai
dari kenyataan yang paling sederhana misalnya, bermain
bersama, makan bersama, berdiskusi bersama, berolahraga
dan bekerja sama dalam kelompok. Semuanya dijalankan
dengan suasana persaudaraan di dalam suatu komunitas
akademis yang baik.Dalam karya Nicomachean Ethics,
Aristoteles menulis,
and whatever existence means for each class of men,
whatever it is for whose sake they value life, in that
they wish to occupy themselves with their friends; and
so some drink together, others dice together, others
join in athletic exercise and hunting, or in the study of
philosophy, each class spending their days together in
whatever they love most in life; for since they wish to

37
live their friends, they do and share in those things as
far as they can.48

Aristoteles menulis hal ini dalam usahanya


mengembangkan semacam traktat etika yang menjadi dasar
hidup bersama. Ia bertolak dari kenangannya selama 20
tahun ketika dia masih belajar di Akademi Plato. Ada
kenangan indah membekas di dalam dirinya. Kenangan
yang paling kuat adalah berfilsafat bersama-sama.
Sumphilosophein. 

Berfilsafat bersama hendaknya dimulai dengan belajar akan


hal-hal praktis secara bersama. Belajar mencintai
perjuangan hidup Bersama dalam dunia akademis. Sejak
dari usia 17 hingga 37 Aritoteles selalu berfilsafat
bersama dengan teman-teman dalam akademia Plato.
Berdasarkan catatan historis, pada masa itu ia sendiri
menyaksikan kematian Plato dan teman-temannya di
akademia. Ingatannya pada teman-teman di Akademi
sangat kuat membekas di dalam dirinya. Kenangan itu
membuat dia menulis semacam kitab suci etika
Nicomachean Ethics dengan menyapa teman-teman (philoi
andres) sebagai bagian yang tak terlupakan ketika ia belajar
filsafat bersama di akademia itu. Dia menyadari bahwa
pencarian atas kebenaran sebaiknya dijalankan dalam
persaudaraan dan bukan mengabaikannya. “Especially as
we are philosophers; for, while both are dear, piety requires
us to honour truth above our friends.”49 Untuk pertama
48
Aristotle, Nicomachean Ethics, IX 12, 1172 a 1-7, dalam The Complete works of
Aristotle, vol. 2. Princeton: Princeton University Press1995., ,1852
49
Ibid., 1732. I 4, 1096 a 12-16.

38
kali, Aristoteles menggunakan verba sumphilosophein
sebagai acuan kolektif dalam dunia akademia, dan acuan
itu, boleh jadi merupakan akses kerinduan bersama untuk
mencapai kebahagiaan.

Kebahagiaan tertinggi dalam dunia akademik, karena itu,


bukanlah philosophein atau berfilsafat, melainkan bersama-
sama berfilsafat (sumphilosophein) dengan teman-teman
dalam suatu komunitas akademik. Hal ini dialami
Aristoteles dalam kenangan yang penuh keindahan di
Akademia Plato. Dia melewati hari-hari hidupnya dalam
ingatan tak terlupakan. Melakukan banyak hal yang
menarik perhatian bersama, terlebih hal-hal yang
menyentuk kehidupan mereka. Kehidupan akademis adalah
kehidupan yang dibangun bersama, direncanakan dan
dipikirkan bersama, serta berdiksusi, berdebat, tukar
pikiran dan melakukan penelitian secara bersama.50

Pada waktu itu, atmosfir yang dibangun dalam akademi


Plato berjalan sesuai situasi, dituntun oleh persoalan dan
kondisi yang ada. Aristoteles sebagai salah satu maestro di
kalangan akademisi, mengenal dengan saksama semua
sahabat, pokok persoalan, situasi dan kondisi yang terjadi
pada masa itu. Persahabatan dalam dunia akademia
dibangun atas dasar passion untuk bertanya, keberanian
dalam berdikusi, kebebasan dalam memberikan
argumentasi, ketelitian dalam melihat suatu persoalan,
kebenaran dan objektivitas dalam menjelaskan suatu
persoalan, kejujuran dalam memberikan jawaban.
Semuanya berjalan dalam suasana persahabatan dan
50
Bdk. Enrico Berti, Sumphilosophein, la vita nell;academia Platone, viii

39
suasana ini dijaga agar kekuatan kolektif dalam akademia
Plato tetap menjadi sumber utama.

Hal ini rupanya yang selalu diperhatikan Plato sebagai


pendiri Akademia itu. Dalam Surat ke 7, semacam
autobiografi yang ditulis beberapa saat sebelum ia
meninggal, yang kemudian dilengkapi oleh pengikutnya,
Plato menggambarkan atmosfer akademia itu sebagai lokus
di mana setiap pertanyaan, diskusi, dan debat yang hidup
dibangun dengan argumentasi kritis sambil tetap dalam
nuansa dialektika dan atas dasar pengalaman hidup
bersama dalam komunitas akademia itu.51 Beberapa
pemikir seperti Speusipus, Xenokrates dan Aristoteles
adalah jebolan dari akademia itu.

8. FILSAFAT DAN PANDANGAN DUNIA


Kita mengerti apa itu filsafat hanya kalau kita hidup di
dalamnya. Di sini, ada dua hal penting yang perlu kita
perhatikan yaitu pengertian (understanding) dan kehidupan
(life). Dalam berfilsafat, keduanya saling mengandaikan.
Proses untuk sampai pada pengertian adalah proses yang
berhubungan dengan kehidupan itu sendiri. Kehidupan
memberi kita jalan untuk sampai pada suatu pengertian:
pengertian tentang dunia dan pengertian tentang diri kita
sendiri.

Labih jauh, kalau kita merefleksikan secara baik pengertian


kita tentang dunia dan tentang diri sendiri, maka refleksi ini

51
Plato, Surat ke 7 dalam Platone, Tutti I Scritti, ed. Giovanni Reale, Milan: Bompiani,
2000., 1820.

40
harus ditempatkan dalam terang Weltanschauungen,
Weltbilder atau pandangan dunia. Pandangan dunia
memberi kita orientasi tentang kehidupan kita di dunia.
Kita mengerti kehidupan kita ini dari pengalaman hidup
dan dari cara kita berada di tengah dunia. Karl Jaspers
berkata, philosophy cannot be perfected in the entirety of a
world orientation. It is not only a knowledge of the limits; it
is a sense of being, derived from elsewhere.52 Kita
berfilsafat di tengah dunia. Kita berfilsafat sambil tetap
menyadari di mana kita hidup. Kita mengerti apa artinya
berfilsafat melalui cara kita berpikir, menjalani hidup di
dunia ini.

Apa yang hendak kita lakukan dengan orientasi filsafat


adalah membuka diri kita terhadap dunia. Ada kesediaan
untuk memandang dunia dengan optik kerohanian tertentu.
Kita memandang dunia dengan suatu pengertian yang
memungkinkan kita memiliki worldview. Heidegger
menjelaskan bahwa worldview is a spiritual concern of
everyone,53dan ini menjadi semacam kekuatan kerohanian
tertentu.

Kekuatan ini mengalir dari kesanggupan manusia untuk


mengolah pengalaman hidup di tengah dunia secara baik.
Demikian, Heidegger berkata, they experience and view the
world with heightened inner vitality, penetrating to its final
sense or origin.54 Makna kehidupan dalam arti yang
sesungguhnya dibangun dari pengalaman relasi yang intens

52
Karl Jaspers, Philosophy vol. 1. p. 250.
53
Heidegger, Towards the Definition of philosophy., p. 6.
54
Ibid.

41
dengan sesama dan dengan dunia. Pengalaman itu datang
dari sumber makna yang terdalam.

Filsafat dan pandangan dunia secara esensial tidak bertolak


belakang. Pandangan dunia senantiasa membuka kesadaran
kita untuk berfilsafat. Kita dapat mengerti apa itu filsafat
lewat pandangan kita terhadap dunia. Filsafat memiliki
relasi dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
pandangan dunia. Relasi ini membuka keniscayaan tentang
kehidupan, bahwa pandangan dunia adalah juga bagian
esensial dari pandangan tentang kehidupan itu sendiri.
Karena itu, dalam berfilsafat, kita sering menemukan relasi
yang mendasar antara pandangan dunia dan pandangan
tentang kehidupan ini.

Pandangan dunia secara imanen adalah bagian dari


pandangan tentang kehidupan ini. Merefleksikan kehidupan
dengan baik dan bertanggungjawab adalah tujuan filsafat.
Kita berfilsafat sambil tetap terbuka terhadap dunia
kehidupan yang kita jalani.

Namun, di pihak lain, tidak semua pandangan dunia


memberi gambaran komprehensif tentang filsafat.
Alasannya, suatu pandangan dunia boleh jadi memiliki
batasan tertentu, dan filsafat sebagai suatu diskursus yang
bersifat kritis tidak identik begitu saja dengan batasan itu.
Manusia hidup dalam suatu dunia. Husserl berkata ,‘live-
in-certain-of-the-world’.55 Kesadaran manusia tentang
hidup adalah bagian esensial dari kesadarannya tentang
55
Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology.,p.
142.

42
dunia. Kesadaran tentang dunia dan kesadaran tentang diri
berjalan bersamaan dengan horizon dunia. 56 Dunia adalah
ruang universal yang di dalamnya semua persepsi kita,
pengalaman, pengetahuan, atau tindakan kita terarah.
Keterarahan ini membentuk horison kita tentang dunia.

Husserl berbicara tentang life-horizon world,57 sebagai


mata rantai kehidupan yang terbentuk dari dunia kesadaran
dan dunia realitas. Kita hidup dengan suatu horizon dunia.
Horizon itu menjadi bagian dari hidup kita. Horizon itu
adalah kehidupan kita. Ia memperkaya kita dan ia adalah
bagian dari dunia kehidupan kita.

Tentu, yang dimaksudkan dengan dunia kehidupan di sini


adalah sistim kehidupan yang terbentuk karena tindakan
komunikasi yang dibangun bersama. Sistim itu terdiri dari
tiga komponen penting: hasil kebudayaan (reproduksi
kultural), integrasi sosial (dimensi ruang sosial) dan
sosialisasi (dimensi waktu historis). Setiap bentuk
komunikasi kita selalu terjadi bersamaan dengan horizon
dunia kehidupan kita. Horizon itu adalah hasil sistim
referensi dari semua tindakan komunikasi yang kita bangun
bersama.58

Jika kita berbicara tentang filsafat dalam terang pandangan


dunia, kita harus melihat cara kita berada di tengah dunia.
Ini berkenaan dengan historisitas yang kita bangun
56
Ibid., 143.
57
Ibid., 144
58
Marcelo Neves, “System and Lifeworld” dalam The Haberms Handbook, Hauke
Brunkhorst, Regina Kriede, dan Cristina Lafont, (Eds.) Niew York: Columbia
University Press. 2018. pp. 632-636

43
bersama. Kita berfilsafat di tengah dunia. Cara kita
berfilsafat selalu bersentuhan dengan historisitas kita.
“Philosophzing is man’s way to touch being historically, in
his time.”59 Dalam berfilsafat, kita boleh belajar dari
sejarah, menerima dari warisan masa lampau, terbuka
terhadap tradisi berpikir tertentu.

Namun satu hal yang penting yaitu bahwa cara kita


berfilsafat harus tetap selalu bersentuhan dengan situasi
konkret sekarang. “Philosophizing always needs a present
source.”60 Kita harus sanggup berfilsafat dari perspektif
kebaruan. Kebaruan adalah hasil temuan dari refleksi
bersama dalam suatu komunitas ilmiah. Refleksi itu
mengalir dari relasi interpersonal sebagai realitas
kehidupan yang benar.

Berfilsafat dan berkomunikasi adalah dua hal yang saling


mengandaikan. Kita berfilsafat dalam suatu bentuk
komunikasi yang baik. Sebelum Habermas berbicara
tentang rasionalitas komunikatif, Jaspers terlebih dahulu
menggarisbawahi betapa pentingnya aspek komunikasi.
“We ourselves philosophize in communication, not in
isolation… Communication leads to our brightest moments
and lends weight to our life.”61 Komunikasi memberi bobot
pada cara kita berpikir dan cara kita menjalani hidup ini.

Filsafat yang kontekstual lahir dari konteks relasi yang kita


hayati bersama dengan sesama yang lain. Relasi itu

59
Karl Jaspers, Philosophy vol. 1., p. 1.
60
Ibid. 2.
61
Ibid.

44
memberi makna dan kualitas dalam cara kita berfilsafat.
Meskipun kita akan tetap belajar dari tradisi Yunani Klasik
(Thales yang mereduksi dunia materi ke satu unsur tunggal:
air, Anaximandros yang mengkalim bumi sebagai suatu
lempengan datar, Heraklitus yang melihat segala sesuatu
dalam bentuk aliran yang terjadi sepanjang waktu,
Phytagoras penemu matematika, Sokrates, Plato,
Aristoteles), tradisi modern seperti Descartes, Nieztsche,
Kant, Hegel, Husserl, Gadamer, Heidegger, Spinoza, Marx,
Levinas, Sartre, Ricoeur, Derrida dan lain-lain, cara kita
berfilsafat harus tetap terbuka dengan situasi konkret masa
kini. Kesadaran kita tidak pernah tanpa intensi. Ia selalu
terarah pada kenyataan. Tentang hal ini, Jaspers
mengingatkan kita bahwa “the point of philosophizing is a
single thought, ineffable as such: the consciousness of
being.”62 Kesadaran yang konkret dan keterbukaan terhadap
realitas adalah dasar berfilsafat. Kesadaran ini mendukung
cara kita berada dalam dunia. Ia menerangi kita di dalam
dunia. Ia menuntun tindakan kita baik secara personal
maupun secara bersama.

Banyak perkembangan dalam filsafat disebabkan karena


perkembangan dalam cara berpikir. Oleh karena itu, kita
juga perlu melihat betapa pentingnya memahami arti
‘berpikir’ dari perspektif filsafat. Apakah berfilsafat identik
dengan berpikir? Apa artinya berpikir secara filosofis?

9. BERFILSAFAT: BERPIKIR

62
Ibid., p.3.

45
Di sini, kita coba berbicara tentang apa artinya ‘berpikir’
dalam terang filsafat. Secara sederhana, orang sering
mengaitkan filsafat dengan berpikir. Namun yang menjadi
persoalan adalah apa kekhasan berpikir dalam dunia
filsafat? Apa artinya berpikir secara filosofis? Tentu,
filsafat sebagai suatu kedisiplinan memiliki corak berpikir
tersendiri. Untuk itu baiklah kita bertolah dari asumsi
umum bahwa hanya manusia yang berpikir. Ia berpikir
karena berpikir adalah kodratnya.

Namun, yang menjadi persoalan apakah manusia sungguh


mengerti apa artinya berpikir? Heidegger berkata “we come
to know what it means to think when we ourselves try to
think”. 63 Kita tidak perlu bertanya apa artinya berpikir
tentang pikiran. Yang perlu kita lakukan adalah belajar
untuk berpikir. Ini tidak berarti kita menolak logika karena
logika mengajarkan cara berpikir. Yang hendak kita
pelajari adalah bagaimana membuka diri terhadap suatu
panggilan, dan panggilan itu adalah panggilan untuk
berpikir. Berpikir bukan suatu aktivitas. Berpikir adalah
esensi manusia.

Dalam tradisi filsafat barat, seringkali makna tentang


‘berpikir’ direduksi ke dalam corak berpikir yang
dipengaruhi oleh tendensi metafisika, pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tendensi ini harus dilihat
kembali sebagai kritik.

9.1. Kritik Terhadap Tradisi Berpikir Barat

63
Heidegger. What Is Called Thinking? p., 3

46
Tradisi berpikir barat sering diidentikan dengan berpikir
metafisis di satu pihak, dan berpikir kalkuklatif di pihak
lain. Berpikir metafisis berarti berpikir dari prespektif
metafisika. Heidegger berbicara tentang Seinsdenken, atau
berpikir tentang ada. Para pemikir barat menyadari apa
artinya berpikir ketika mereka mengetahui alasan untuk
berpikir. Alasan itu ada pada hal yang paling dasariah,
yaitu berpikir tentang. Thinking of being.

Kalau kita berpikir secara serius, kita sesungguhnya belum


berpikir. Kita masih terperangkap dalam cara berpikir lama.
Kita bahkan masih sering terpengaruh oleh cara berpikir
orang lain. Kita belajar berpikir dari pikiran orang lain.
Pikiran kita masih dibimbing oleh pikiran orang lain. “Our
own manner of thinking still feeds on the traditional nature
of thinking.”64 Kita menerima warisan dari pikiran yang
lain. Ada dua aspek yang perlu kita pertimbangkan secara
kritis tentang hal ini.

8.1.1 Berpikir Representasional: Metafisika

Tradisi filsafat barat yang berawal dari tradisi klasik


Yunani, selalu sibuk dengan persoalan filosofis tentang
logos, ide, rasio sebagai lokus kebenaran. Selain itu, semua
pernyataan dan argumentasi tentang metafisika selalu
dimulai dari persoalan ontologis tentang ‘ada.’

Secara fundamental, struktur metafisika barat menekankan


berpikir monolitik melalui ide-ide yang representasional
(Vorstellen). Cara berpikir seperti ini paling jelas dalam
64
Ibid. 45.

47
dunia logika. Kita menjelaskan sesuatu melalui struktur
logika. Suatu ide, pikiran dan realitas, entitas, selalu saling
mengandaikan dan corak berpikir ini dihadirkan melalui
suatu gambaran (Bild).

Dalam berpikir, kita menghadirkan sesuatu dalam pikiran


kita. Gambaran tentang objek direpresentasi ke dalam
pikiran kita. Objek, realitas atau entitias dihadirkan dalam
bentuk gambaran. Apa yang digambarkan adalah ide.
Lewat berpikir, dunia dihadirkan sebagai ide atau
gambaran. Manusia menjadi subjek yang berada di tengah
gambar itu.

Misalnya Hegel berbicara tentang ide absolut. Filsafat


sebagai pengetahuan absolut hanya mungkin dimengerti
lewat logika. Hegel mengklaim filsafatnya dalam bentuk
roh absolut yang merepresentasi realitas, sebagai puncak
berpikir metafisis.

Namun dengan kedatangan Nietzsche, tradisi berpikir barat


dibongkar sampai ke akar. Tradisi berpikir yang metafisis
itu harus ditinggalkan. Kita harus mencari sendiri dasar
terdalam dari dunia dan dari hidup ini. Kita harus sanggup
berdiri sendiri tanpa melalui suatu warisan berpikir yang
representasional. Kita harus menyeberang ke dunia baru
dan dunia itu adalah ciptaan sendiri.

Persoalannya, kita kembali ke diri sendiri. Kita kembali


prinsip rasionalitas barat yang sama, yaitu prinsip rationis
sufficientis: nihil est sine ratione. Prinsip ini lebih menjadi
bagian dari kondrat manusia sebagai mahluk yang berpikir.

48
Berpikir adalah dasar, ground dan pengertian yang
reasonable adalah hasil yang mengalir dari dasar itu.
Puncak pemikiran ini dapat kita telurusi dalam filsafat
Descartes yang mencari kepastian absolut pengetahuan
manusia lewat cogito. Semuanya bermuara pada hal yang
sama, yaitu rationem reddere, artinya kembali ke rasio
sebagai dasar yang terdalam.

Mengapa harus kembali ke rasio? Alasannya, kita harus


menyatakan sesuatu sebagai benar hanya ketika ada
hubungan dengan rasio. Kebenaran, misalnya bagi Leibniz
hanya berkatian dengan kebenaran suatu proposisi atau
keputusan yang benar. Dalam kebenaran seperti ini, rasio
memberikan pendasaran atas proposisi atau keputusan itu.
Kita mengerti apa itu keputusan hanya dengan melihat
hubungan antara predikat dan subjek. Hubungan itu hanya
mungkin dimengerti apabila sebagai suatu kebenaran kalau
didukung oleh rasio. Jadi, dasar yang terdalam di sini
direpresentasi sebagai rasio karena rasio memberi
pertimbangan tentang kebenaran dari suatu keputusan.

Berpikir selalu berarti berpikir tentang sesuatu dengan cara


merepresentasi sesuatu sebagia objek. Merepresentasi
berarti menghadirkan sesuatu ke dalam pikiran. To make
something present to man. Hanya sesuatu yang sungguh
hadir di dalam pikiran, sesuatu itu adalah objek pikiran. Ia
hadir sebagai sesuatu dan kehadirannya memungkinkan
kita berkata, ‘ia ada’ sebagai objek. Karena itu, sesuatu
dikatakan sungguh berada, sejauh sesuatu itu di bawah ke
suatu kondisi di mana ia berada sesuai dasar tertentu.
Dasar itu menjelaskan kehadirannya sebagai ‘objek.’ Ini

49
yang menjadi basis pertimbangan relasi subjek-objek, suatu
relasi yang lahir dari dikotomi filsafat modern tentang
hubungan antara ‘aku’ dan ‘dunia,’ yang secara luas
kemudian diafirmasi sebagai ciri epistemologi dalam dunia
ilmu pengetahuan.

Term ‘Grund’ dimengerti baik sebagai ‘rasio’ maupun


sebagai ‘sebab.’ Jika dirunut pengertian ‘ratio’ ke dalam
verba Latin reor, maka makna tentang rasio harus
dimengerti sebagai suatu aktivitas untuk
mempertimbangkan sesuatu sebagai sesuatu yang tertentu.
Hal ini sesuai dengan pengertian verba ‘rechnen’ yang
dalam bahasa Jerman berarti ‘menghitung atau
mengkalkulasi.’ Ketika kita menghitung atau membuat
suatu kalkulasi, kita menghadirkan sesuatu di dalam pikiran
kita. Ini adalah prinsip rasio yang diafirmasi sebagai ciri
pengetahuan modern. Tuntutan kalkulasi yang ketat adalah
tuntutan pengetahuan dan teknologi yang didasarkan pada
principium rationis sufficientis. Rasio harus menjadi dasar
jelas untuk segala sesuatu yang diprepresentasi sebagai
objek di depan subjek.

8.1.2. Berpikir Kalkulatif : Teknologi

Corak berpikir ini hanya dapat dimengerti dari


pengkembangan dunia teknologi yang menekankan cara
berpikir kalkulatif (das rechnende Denken). Perkembangan
teknologi yang berawal dari barat, kini dapat diidentifikasi
sebagai salah satu ciri perkembangan yang sangat dashyat.
Seperti metafisika yang menekankan pemikiran

50
representatif, perkembangan dunia teknologi dipengaruhi
oleh cara berpikir yang didominasi oleh peranan subjek.

Ilmu pengetahuan dan teknologi pada prinsipnya tidak


berhubungan dengan corak berpikir yang otentik. Ilmu
pengetahun dan teknologi membawa manusia ke dunia
subjek kalkulasi. Salah satu ciri modernitas adalah
pembebasan manusia, dan pembebasan ini tampak dalam
usaha manusia untuk membuat kalkulasi dari perspektif
keuntungan diri. Subjektuvisme adalah penyakit modenitas.
Manusia menikmati dominasi pengetahuan atas realitas.
Kehausan manusia akan suatu dominasi atau kehendak
untuk berkuasa dapat dilihat dari tendensi kalkulasi yang
manipulatif atas realitas. Hal ini amat jelas ketika kita
memperhatikan metode ilmu pengetahun dan teknologi
modern.

Penekanan metode pengetahuan modern terfokus pada


penelitian (research) yang amat ketat dengan, pertama,
prosedur yang kaku, kedua, eksperimentasi dan ketiga,
institusionalisasi. Prosedur dimulai dengan rencana projek
yang berusaha untuk mendeskripsi wilayah investigasi
dalam realitas. Projek ini bersifat jelas, dan penuh dengan
perhitungan. Kemajuan ilmu eksakta melalu perhitungan
yang pasti adalah ciri pemikiran yang kalkulatif. Selain itu,
eksperimentasi adalah bagian dari implemetasi dari
prosedur yang ketat. Ini dimulai dengan hipotese. Fakta
diobjektifikasi, dan aturan-aturan dirumuskan demi
mencapai kepastian-kepastian yang sesuai dengan fakta.
Eksperimentasi mengandung baik rencana suatu hipotese
dan verifikasi tentangya melalui perhitungan yang

51
terkontrol dan penuh kalkulasi. Pada akhirnya metode
ilmiah memiliki ciri yang berkelanjutan atau
institusionalisasi. Ciri ini berkenaan dengan peningkatan
spesialisasi dan penelitian yang khusus dalam suatu bidang
penelitian.

Dari gambaran singkat ciri penelitian ini, kita dapat melihat


tendensi berpikir barat yang mengarah kepada objektivikasi
realitas oleh representasi subjek dan verifikasi yang
kalkulatif. Sikap teknologis adalah ekpresi yang konkret
dan agresif dari pemikiran ilmiah. Bagi seorang ilmuwan,
alam adalah objek penelitian yang harus didekati dengan
kepastian matematis. Bagi seorang teknokrat, alam hanya
bermakna sejauh ia menjadi sumber energi yang harus
dieksplorasi dan dimanfaatkan. Industrialisasi sebagai
bagian dari budaya teknologi muncul hanya dalam suatu
masyarakat yang melihat alam sebagai objek yang dapat
diketahui dan dapat dimanipulasi untuk kepentingan
manusia. Teknologi adalah ekspresi kehendak untuk
berkuasa dan mesin-mesin adalah simbol kehendak yang
berkuasa itu. Teknologi modern ditandai oleh dominasi
manusia atas realitas.

Dunia adalah gambar untuk subjek manusia. Manusia


merasa bahagia untuk kesanggupannya menciptakan
gambar yang sesuai dengan keinginannya. Dari sini,
munculah perjuangan untuk gambaran dunia dari perspektif
nilai yang berbeda-beda, yang tidak lain merupakan suatu
objektifikasi sesuai kebutuhan dan tujuan mereka.
Kehausan akan dominasi alam ini tampak dalam kompetisi

52
antar negara dalam mencari pemasaran baru dan
menciptakan strategi untuk menguasai planet bumi ini.

Ada semacam imperialisme planetarium. Oleh karena dunia


tidak lagi diperlakukan sebagai dunia yang sesungguhnya
(Unwelt/unworld). Adalah profit ekonomi yang pada
dasarnya merupakan motivasi dari imperialisme
planetarium teknologi manusia. Seluruh dunia telah
menjadi suatu dunia pasar (a wrold-market) yang di
dalamnya segala sesuatu termasuk manusia digiring ke
dalam suatu komoditi kalkulasi nilai pasar. Kehidupan
harian manusia bergerak ke ruang pasar.

Terpengaruhi oleh pandangan Marx, kehendak manusia


merambat ke dunia objek dan manusia mengidentifikasi
dirinya dengan materi. Ia berkembang sesuai
perkembangan dunia teknologi. Ia berubah searah dengan
perubahan tilmu. Ia bergerak sesuai dengan pergerakan
bisnis dan pertukaran nilai. Keyakinan diri bertumbuh
sesuai pertumbuhan keinginannya. Manusia hidup dengan
tunduk pada naluri uang dan nilai kebutuhan. Manusia
menjadi dealer, penjual dan pembeli. Ia mengukur diri dari
apa yang ia inginkan.

Pemikiran kalkulatif dalam budaya teknologi menggiring


manusia ke alam ilusi untuk suatu kebahagiaan hidup.
Kehidupan harian ditentukan oleh tuntutan sistim ekonomi
yang tinggi. Manusia tercabut dan teralienasi. Sungai, hutan
terpolusi dan rusak. Udara menjadi kotor. Bukit menjadi
gundul. Gunung-gunung diratakan demi emas dan tembaga.
Ruang hijau dieksplorasi untuk jalan tol. Pertanian berumah

53
agro-bisnis. Humus tanah tercampur dengan pestisida.
Studi biokimia berkembang ke arah usaha untuk
memanipulasi struktur genetika manusia. Semuanya terjadi
di bawah ujud: perkembangan diri, emansipasi diri, dan
kemajuan.

Sebagai akibatnya, manusia sendiri menjadi korban, dan ia


terkontrol oleh teknologi. Rasionalitas metafisis
berkembang ke arah rasionalitas teknologis. Rasionalitas
seperti ini berkembang sebagai hasil dari logika dominasi
yang melihat segala sesuatu khususnya manusia dari satu
dimensi.65

Kita telah melihat gambaran umum tentang tradisi metafisi-


saintis barat yang ditandai oleh corak berpikir yang
representasional-kalkulatif. Kita harus melihat disposisi
lain yang berbeda dari cara berpikir seperti ini. Kita perlu
beralih dan melihat kemungkinan lain sebagai suatu usaha
untuk mengatasi tradisi berpikir barat. Tidak berlebihan
kalau di sini, kita setuju dengan pernyataan Heidegger
tentang ovecoming of metaphysics, mengatasi corak
berpikir yang metafisis sambil terarah ke cara berpikir yang
sesungguhnya menggambarkan keberadaan kita bahwa
berpikir dari suatu keberadaan (Seinsdenken).

8.1.3. Berpikir Otentik

65
Herbert Marcuse, One Dimensional Man (London: Abacus, 1974)

54
Heidegger sering menggunakan ekspresi ‘berpikir otentik’
dalam hubungannya dengan berpikir meditative
(besinnliches Denken/meditative thinking), berpikir esensial
(wesentliches Denken/essential thinking), berpikir
primordial atau berpikir dari yang paling asali
(anfängliches Denken/primordial thinking), berani berpikir
atau berpikir heroik (herzhaftes Denken/courageous
thinking), berpikir rekolektif (andenkendes
66
Denken/recollective thinking). Dengan tanpa
mengabaikan perbedaan maknanya, kita memahami
semuanya dari perspektif yang sama, meskipun
persoalannya terletak pada kesulitan bagaimana
membahasakannya. Sejak tradisi berpikir barat sudah
terjerat dalam corak bahasa yang penuh dengan nuansa
metafisis dan ciri onto-teologis yang ketat, kita hampir
mengalami kesulitan untuk membahsakan suatu cara
berpikir yang bebas pengaruh dari cara berpikir barat.

Selain itu, berpikir bukanlah objek penelitian dan kita


belum pernah menemukan suatu studi dan penelitian yang
benar-benar terpusat pada persoalan tentang apa artinya
berpikir. Seperti awasan dari Heidegger, “kita tidak harus
berpikir apa itu pikiran,” tetapi “kita harus mulai berusaha
untuk belajar berpikir.”67 Heidegger hanya ingin berpikir di
luar dari kebiasaan termasuk di luar dari logika itu sendiri.
Namun ini tidak berarti bahwa ia berpikir tidak logis
(unlogisch).

66
Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through Authentic Totality to Total
Authenticity, Louvain Philosophical Studies 2, 1987.,p.131-132.
67
Heidegger, What is called Thinking, p., 86.

55
Bagaimana seharusnya kita menyatakan cara berpikir yang
otentik? Heidegger berbicara tentang Denken des Seins,
berpikir yang dimulai dari ‘ada’. Thinking of being. Di sini,
ekspresi genitif, berpikir dari ada, sangatlah penting untuk
dianalisa.

The genitive says something twofold. Thinking is of


Being inasmuch as thinking coming to pass from
Being, belongs to Being. At the same time thinking is
of Being insofar as thinking, belonging to Being,
listens to Being. As the belonging to Being that
listens, thinking is what it is according to its essential
origin.68

Dari dua aspek ginitif di atas, Kita harus menggarisbawahi


persoalan tentang berpikir sebagai suatu panggilan (a call)
yang menjadi bagian dari ‘sang Ada’ dan sebagai jawaban
untuk mendengarkan ‘sang Ada.’69

8.1.4. Panggilan Untuk Berpikir

Kita tidak pernah datang ke pikiran. Pikiran itu datang


kepada kita. Berpikir bukan suatu aktivitas yang manusia
cari sesuai keinginan atau kehendaknya. Berpikir adalah
esensi manusia. Manusia secara esensial berpikir sejauh ia
berada di dalam terang Sang Ada. In the lighting of Being.
Di sini, kita bisa berbicara tentang kerjasama yang saling
mengandaikan antara sang Ada dan manusia, atau sebagai
68
Heidegger, Basic Writings, p., 96.
69
Amat penting di sini untuk menggarisbawahi suatu panggilan (a call) yang menjadi
milik Sang Ada (belongs to Being) dan jawaban untuk mendengarkan Sang Ada ( a
respons to listens to Being).

56
bagian yang saling mendukung antara sang Ada dan
manusia. Namun dalam hal ini, sang Ada menjaga dan
menjadi dasar dari relasi itu. Jadi kita harus mencari
pengertian tentang berpikir mulai dari relasi antara sang
Ada dan manusia.

Pertama, Sang Ada mengundang, mengevokasi untuk


berpikir. Berpikir adalah milik sang Ada. Ia menjadi bagian
dari sang Ada sejauh sang Ada membimbing kita berpikir.
Manusia sanggup berpikir karena ia dilisensi, diautorisasi,
dikualifikasi, diberdaya untuk berpikir. Man is able to think
because he is enabled to think. Di sini, makna
sesungguhnya dari ‘enabling’ harus dilihat sebagai suatu
kebaikan, berkat, pemberian. Heidegger berkata,

From this favouring (Mögen) Being enables (vermag)


thinking. The former makes the later possible
(ermöglicht). Being is the enabling-favouring (das
Vermögend-Mögende), the may be (das Mö-gliche).
As the element, Being is the quit-power (stille Kraft)
of the favouring-enabling, that is, of the possible (das
Möglichen).70

Heidegger ingin membawa kita kembali ke dunia yang


sebenarnya. Sang Ada memberi prioritas dan memampukan
manusia berpikir. Sang Ada menggerakkan manusia untuk
berpikir. Ada kerinduan untuk berpikir. Ada kebutuhan
untuk berpikir. Bentuk impersonal ‘ada kebutuhan
berpikir’, ada kerinduan berpikir, datang dari sang Ada itu
sendiri. Sang Ada adalah pemberi dan ia juga ada
70
Heidegger, Basic Writing, p. 196.

57
pemberian. Ia memberi dirinya. Ia memberi diri dalam
keterbukaan dan sejauh bersamaan dengan dimensi
keterbukaan itu, sang Ada hadir. Ia memberi serentak
mempertahankan atau menjaga. Ini adalah kesukaannya.
Sang Ada yang memberi dan ia sendiri yang hadir sebagai
pemberian. Ia yang memanggil dan ia juga yang menjadi
jawabannya. Ia yang mengundang dan ia sendiri yang
menjadi tujuan dari undangan itu. Ia tetap konstan karena ia
memberi dirinya untuk dipikirkan dan ingin untuk
dipikirkan.

Apa yang Heidegger maksudkan dengan pertanyaan ‘what


is called thinking?’ tidak semata berhubungan dengan
pencarian makna ‘berpikir’ (Denken). Apa yang
memanggil kita untuk berpikir? Apa yang mengarahkan
kita ke jalan untuk berpikir? Apa yang memberi kita arah
ke berpikir? Berpikir bukan sekedar suatu kesempatan
(occasion). Berpikir adalah hal yang esensial dalam diri
manusia. Manusia adalah pemikir hanya sejauh ia dipanggil
untuk berpikir.

Verba ‘memanggil’ (heißen) membuka banyak


kemungkinan bagi kita untuk mengerti makna berpikir
sebagai instruksi, permintaan, tuntutan, arah, dan lain
sebagainya. Heidegger berkata,

That which calls us to think in this way presumably


can do so only insofar as the calling itself on its own,
needs thought. What calls us to think, and thus
commands, that is, brings our essential nature into the
keeping of thought, needs thinking because what calls

58
us wants itself to be thought about according to its
nature. What calls us to think, demands for itself that it
be tended, care for, husbanded in its own essential
nature by thought. What calls us to think, gives us
food for thought.71

Menjadi jelas bahwa apa yang memanggil kita untuk


berpikir tidak lain dari dia yang memberi dirinya dalam
berpikir. Dia secara tetap memberi kita makanan untuk
berpikir dan hal ini secara internal adalah apa yang selalu
menggerakkan kita untuk berpikir. Apa yang memberi kita
untuk berpikir adalah pemberian itu sendiri. Pemberian
yang diberikan kepada kita tidak lain dari apa yang
memanggil kita untuk masuk ke dalam pikiran. Heidegger
menggunakan eskpresi Es gibt dan hal ini membuka hal
yang baru. Yang yang memanggil untuk berpikir, dialah
yang memberi dirinya dalam berpikir itu. Sejak ia secara
tetap memberi dirinya dan pemberian itu datang dari
kodratnya, inilah hal paling jelas dalam gerakan berpikir.

Pada zaman kita sekarang, hal yang paling serius


diperhatikan yaitu bahwa kita masih belum berpikir. Most
thought-provoking in our thought-provoking time is that we
are still not thinking.72 Ada sesuatu yang menggerakkan
kita untuk berpikir. Sesuatu itu seperti suplemen, makanan
untuk berpikir. Ia memanggil untuk berpikir dan ia
memberi makanan untuk berpikir.

71
Heidegger What is called Thinking? P., 121.
72
Ibid., p. 6.

59
Kita masih belum berpikir. Ini bukan suatu pesimisme.
Ekspresi ‘masih belum’ menunjukkan bahwa kita memang
sudah berpikir, kita sedang berpikir, dan kita sudah berada
di tengah jalan menuju tujuan: berpikir. Namun, kita hanya
berada pada jalan untuk berpikir. Dalam panggilan untuk
berpikir, sang Ada memberi diri untuk dipikirkan. Berpikir
adalah bagian dari Ada, dan Ada membimbing dan bahkan
ia menjadi rumah untuk berpikir.

8.1.5. Berpikir: Cara-Berada-di-Dunia

Sang Ada memberi dirinya dalam berpikir. Ia hadir dan


menyatakan dirinya pada manusia. Manusia sudah
senantiasa berada di dunia: Dasein. Keberadaanya di dunia
memungkinkan dia untuk berpikir. Berpikir terjadi dalam
keberadaan manusia di tengah dunia. Ada dan berpikir
selalu bersama-sama. Namun dalam kebersamaan itu, sang
Ada hadir sebagai yang lebih utama. Manusia berada
sejauh manusia menjadi bagian dari sang Ada. Manusia
secara esensial adalah bagian dari proses ini.

Dasein bukan sekedar animal rationale dalam pengertian


kalsik. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Berada di dalam
dunia bukan sekedar sebagai mahluk rasional. Dasein
adalah otentisitas manusia di tengah dunia. Kodrat manusia
bukan sekedar berpikir tetapi melampaui berpikir, yaitu
berpikir yang disertai dengan pengertian, understanding
dan melibatkan bahasa.

Kita dipanggil untuk berpikir. Namun, hal yang menarik


yaitu bahwa “we are capable of thinking only insofar as we

60
are endowed with what is most thought-provoking, gifted
with whatever and always wants to be thought about”. 73
Artinya kita berpikir hanya sejauh kita digerakkan oleh apa
yang memprovokasi kita untuk berpikir. Yang memanggil
untuk berpikir, ia memberi diri dan pemberian itu datang
dan menarik kita ke hadapannya. Momen ini terjadi di
dunia dan manusia mengalaminya. Heidegger berbicara
tentang Das ereignis des Entzugs, semacam the event of
withdrawal,74 panggilan untuk berpikir sebagai bagaian
esensial dari keberadaan manusia di tengah dunia. Apa
yang menggerakkan pikiran kita adalah panggilan untuk
berpikir. Kita ditarik ke suatu jalan, dan di jalan itu kita
berpikir.

Kita sering tidak sadar bahwa kita berada di jalan untuk


berpikir. Hal ini membuat kita bahwa kita sesungguhnya
belum berpikir. Ini tidak berarti bahwa kita pesimistik
dengan diri kita. Dalam pandangan Heidegger, ekspresi
‘belum,’ (noch nicht), menunjukkan bahwa kita sudah
berada di tengah jalan (unterwegs) dan kita sedang menuju
ke suatu proses bahwa kita berada di jalan untuk berpikir.
We are “on our way within thinking, on the way of
thinking.”75 Kita berada di jalan untuk berpikir karena kita
ditarik ke jalan itu. Keberadaan kita di jalan itu selalu
bersamaan dengan apa yang menarik kita untuk berpikir.
Apakah kita menyadari atau tidak, kita sudah dan
senantiasa berada di jalan itu. Kita sedang ditarik dan apa

73
Heidegger, What is Called Thinking, 126.
74
Ibid.,9
75
Ibid., 30.

61
yang menarik kita, ia memprovokasi kita melalui daya tarik
itu.

Jadi sebagai kesimpulan, apa yang menarik untuk berpikir


adalah Sang Ada. Penarikan itu menarik kita menuju ke
dunianya: berpikir. Dalam panggilan untuk berpikir, Sang
Ada memberi dirinya untuk dipikirkan. Ia menarik kita
untuk berpikir. Kita menjadi bagian darinya dan bahkan Ia
membimbing kita. Ia menghantar kita selama kita berada di
dunia.

Lewat pengertian eksistensi menusia sebagai Dasein, Sang


Ada membimbing kita ke tengah dunia untuk berpikir.
Berpikir selalu terjadi di tengah proses di mana manusia
berada di dunia. Ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dalam hubungan dengan eksistensi manusia.
Berpikir dan berada. Thinking and being. Adalah keliru
kalau kita melihat arti ‘brepikir’ sebagai aktivitas subjek,
dan ‘ada’ sebagai objek.

Dalam tradisi Yunani, term ‘ada’  harus dimengerti


dari konteks , yang berarti berada sebagai yang
nyata, konkret sejauh bersamaan dengan kualitas yang
tetap. Heidegger berbicara tentang sum Stand kommen, atau
comimg to stand, bersamaan dengan kualitas yang
permanen.76 Hal ini dimengerti dalam konteks suatu
keberadaan yang terbatas dan nyata di tengah dunia.
Dengan mengacu pada pemikiran Parmenides tentang
, receptive bringing to stand,77 Heidegger menegaskan
76
Heidegger, Introduction to Metaphysics, 60-61.
77
Ibid.

62
dua hal ini: Berada dan berpikir (being and thinking)
sebagai dua hal yang harus dilihat dalam satu kesatuan.
Namun, meskipun demikian, ‘sang Ada’ tetaplah menjadi
inisiator yang memanggil untuk berpikir.

Manusia, sejauh ia berada di dunia, ia dipanggil untuk


mengambil bagian dalam proses: berada dan berpikir.
Namun, manusia hanya dapat mengerti dirinya sebagai
bagian dari ‘berada’ dan ‘berpikir’ ketika ia
mengekspresikan kedua hal itu dalam aktivitas ‘berbicara,’
‘berbahasa.’ Ketika kita berbicara, kita mengatakan
sesuatu. Kita menghadirkan sesuatu di hadapan kita lewat
berbicara. “When we lay something down, or out, we make
it lie. Then it lies before us.” 78 Sesuatu itu hadir. Ia datang
ke pikiran kita. Kita membiarkan dia datang. Ia hadir di
hadapan kita. Ketika berbicara tentang sesuatu, kita
menghadirkan sesuatu. Kita membuat sesuatu hadir lewat
berbicara.

Tentu, di sini, dalam pengertinya yang paling orisinal, kita


diminta untuk kembali ke esensi pemikiran Yunani tentang
 dan ,79 berkata, berbicara dan rasio, Bahasa,
dan argumentasi sebagai dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Ketika kita berbicara, kita menggunakan akal
budi dan kemampuan bahasa untuk menyatakan sesuatu.
Kita menghadirkan sesuatu lewat tindakan berbicara, cara
kita berbahasa dan karena itu lewat kapasitas kita
berargumentasi. Ketiga hal ini membawa kita atau
membuat kita untuk ‘mengerti’ (). Kita berbicara
78
Heidegger, What is Called Thinking, 200.
79
Ibid., 202.

63
dengan menggunakan bahasa dan akal budi untuk
mengungkapkan pengertian kita tentang sesuatu. Apa yang
dimaksudkan dengan ‘mengerti’ atau ‘pengertian’ di sini,
harus dilihat dalam terang tindakan membuka diri dan
mengambil sesuatu, membiarkan ia masuk ke dalam diri.
Kita mengambil dan menjaga, merawat, memahaminya
dengan sikap yang waspada.

 dan , berbicara dan mengerti, keduanya


berkorelasi dan saling mengandaikan karena keduanya
adalah begian esensial dari berpikir. Semuanya adalah
bagian dari keberadaan kita di tengah dunia. Kita berpikir,
kita berbicara, kita mengerti, dan semuanya terjadi di
dunia. Semuanya adalah bagian dari keberadaan kita di
dunia. Oleh karena itu, kerberadaan ini harus diperjelas
yaitu bahwa semua cara kita berada harus memperlihatkan
bagaimana kita mengambil bagian dengan Sang Ada.
Identifikasi Manusia dan ada, dijelaskan Heidegger dalam
ekspresi Dasein, kerbadaan-manusia-selalu-sudah-
senantiasa-di-tengah-dunia. Oleh karena itu, identifikasi ini
harus dilihat dalam pengertian yang timbalik-balik. “Man
and Being are appropriated to each other. They belong to
each other”80 dan hanya melaluinya kita mengerti apa
artinya ‘berpikir.’ Berpikir terjadi ketika manusia mengerti
keberadaanya sebagai suatu panggilan dan panggilan itu
secara eksistensial adalah suatu partisipasi melalui cara-
berada-di-dalam-dunia (Dasein). Namun, partisipasi ini
hanya mungkin, kalau kita sungguh mengerti perbedaan
ontologis antara cara-berada-di-tengah- dunia dan
keberadaan pada umumnya.
80
Heidegger, Identity and Difference., 31-32.

64
9. PERBEDAAN ONTOLOGIS (die Ontologische
Differenz)

Heidegger adalah filsuf yang secara khusus berbicara


tentang perbedaan ontologis sebagai jalan untuk
menjelaskan perbedaan antara bentuk infinitif ‘berada’
(esse, das Sein) dan ‘ada’ (ens, das Seiende, entitas). Untuk
memperjelas, dalam ekspresi bahasa Inggris, perbedaan
ontologis ini dilukiskan sebagai perbedaan antara ‘Being
and beings,’ atau antara ‘berada’ dan ‘keberadaan secara
umum.’ Dengan perkataan lain, perbedaan ontologis
dijelaskan secara literer antara ‘berada’ sebagai bentuk
infinitif to be dan ‘yang berada’ secara umum, that which
is.

Tentu, hal yang harus kita perhatikan di sini yaitu bahwa


frase ‘perbedaan ontologis’ (die Ontologische Differenz)
harus membawa kita ke dasar pemikiran yang sebenarnya
tentang ‘onto-logical,’ yaitu pengertian dasar tentang
perbedaan yang selalu menjadi prinsip fundamental dalam
berpikir antara realitas (on) dan rasio (logos). Rasionalitas
manusia dan panggilannya untuk berpikir dituntut untuk
selalu mempertimbangkan perbedaan ontologis ini secara
jelas dan baik.

Lebih lanjut, ekspresi ‘perbedaan ontologis,’ menunjukkan


bukan dalam arti suatu pemisahan dua hal dalam realitas.
Perbedaan ini berbicara tentang suatu kejadian, moment,
an event, atau ereignis, yang datang dari sumber yang
sebenarnya. Kejadian ini harus dilihat sebagai peristiwa

65
penting yang berkenaan dengan keterbukaan untuk
mengerti sesuatu dalam realitas, “enactment of an openness
to being in things.”81 Secara metafisis, dan bahkan dalalam
pengertian iman yang paling mendalam, manusia secara
eksistensial harus menyadari perbedaan ontologis, yaitu
dengan kembali menerima dirinya dan seluruh
kerberadaanya sebagai suatu pemberian (gift), kesadaran
yang secara tetap membawa dia ke suatu keterbukaan
terhadap seluruh realitas, dan pada akhirnya keterbukaan
terhadap sumber yang paling asali, yaitu sumber dari segala
sumber, the origin of all.

Perbedaan ini harus menjadi pertimbangan dasar dalam


berpikir. “What differs shows itself as the Being of beings
in general, and as the Being of beings in the highest.” 82
Berpikir tentang Sang Ada berbeda dengan berpikir tentang
entitas-entitas, semua keberadaan pada umumnya. Berpikir
tentang Sang ada (Being) berarti “to think of it in its
difference with beings, and of beings in their difference
with Being.”83 Ini berarti kita harus berhati-hati dalam
berpikir tentang perbedaan antara Sang Ada dan
keberadaan pada umumnya sebagai entitas. “Being is
always ‘Being of beings’ (objective genitive); beings are
always ‘beings of Being’ (subjective genitive).”84 Di sini,
persoalan tentang ‘kepemilikan/genitivus dan perbedaan
‘difference’ menjadi amat penting karena ruang perbedaan
itu berada di antara Sang Ada dan keberadaan pada
umumnya. Di dalam ruang itu terjadi sesuatu yang selalu
81
Ferdinand Ulrich, Homo Abyssus, The Drama of The Question of Being, 502.
82
Heidegger, Identity and Difference, 47.
83
Ibid., 62.
84
Ibid., 61-62.

66
tetap (perdurance), yaitu saling memperkaya antara Sang
Ada dan keberadaan pada umumnya. Sang Ada datang,
memberi diri dan membuka ruang secara historis dalam
bentuk kehadiran yang tidak hadir (in the mode of
presencing-absencing).

kehadiaran
yg
berlimpah

antara
entitas-
SANG ADA (perdurance entitas
)

kedatangan

Dalam proses kejadian (event), manusia dan Sang Ada


saling mengandaikan. Mereka saling memilik. Dalam
situasi saling mengandaikan, terjadilah apa yang disebut
‘berpikir.’ Sejauh berpikir terjadi dalam situasi di mana
manusia dan Sang Ada saling mengandaikan, sejauh itu
Sang Ada hadir, berada dalam kesadaran manusia. Ia
menggerakkan. Bagaimana caranya?

10. Berpikir dan Poetic-Imagination85

85
Pengertian literer tentang term ini perlu dirunut kembali ke akar bahasa  Prancis, poétique, bahasa
Latin poeticus  dan bahasa Yunani po(i)ētikos, po(i)ētēs, yang semuanya merujuk pada kekuatan imajinasi
kreatif untuk mencipta.

67
Kita pada akhirnya harus mempertimbangkan satu dimensi
penting dalam berpikir, dan dimensi itu adalah imajinasi
kreatif berpikir. Heidegger berbicara tentang relasi antara
‘thinking’ (Denken) dan ‘poetizing’ (Dichten). Ada
kekuatan berpikir yang mengalir dari daya imajinasi kreatif.
Daya ini yang memungkinkan kita untuk mengerti makna
tentang ‘berpikir’ yang sesungguhnya dari dimensi yang
melampaui distinksi berpikir rasional dan irasional. di sini
harus dilihat dalam terang disposisi manusia sebagai
jawaban atas kehadiran Sang Ada. Namun, jawaban itu
belum tuntas karena cara manusia berpikir belum sampai ke
sana. “The poetic character of thinking is still veiled
over.”86 Berpikir dengan ciri poetic-imagination masih
jauh dari harapan. Manusia belum terbiasa denganya.

Manusia, dengan kekuatan poetic-imagination dapat


berpikir hanya kalau Sang Ada datang dan memberi dirinya
dalam terang poetic-imagination itu sendiri. Alasannya
poetic-imagination dapat membuka kemungkinan bagi kita
untuk mengerti cara kita berada di dunia, memahami yang
lain dan dunia ini secara lebih intens. Kita mengerti cara
kita berada di tengah dunia dengan hati, bukan dengan
rasio. Sang Ada mengundang kita untuk berpikir. Ia datang
dan menggerakkan kita untuk berpikir. Ia mengundang
bukan dengan suatu kepasatian, certitudo, bukan juga
dengan keraguan, dubio. Ia datang dan menimbulkan
kekaguman, wonder. Yang paling mengagumkan dari
semua kekaguman yaitu bahwa ‘ada sesuatu’.87 Ada sesuatu
yang sederhana. Heidegger berbicara tentang ‘the splendor
86
Heidegger, Poetry, Language, Thought., 12.
87
“… das Wunder aller Wunder: Da Seiendes ist.” Bdk. Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through
Authentic Totality to Total Authenticity., 145.

68
of simple.’88 Sang Ada tidak hadir sebagai sesuatu yang
secara logis dapat diartikan, secara matematis dapat
dikalkulasi, dan secara metafisis dapat dikonsepkan.

Hanya pemikir yang mendalam dan seorang sastrawan


yang benar dapat menangkap misteri kehadiran,
kekaguman yang simpel. Kekaguman itu mengundang
sunyi, menimbulkan tanya, dan menjadi sumber kreativitas.
Sumber itu tidak dapat didalami dengan cara berpikir yang
kalkulatif. Sumber itu hanya dapat diresapi dengan
kekuatan poetic-imagination untuk menangkap kejadian
dari waktu ke waktu di mana Sang Ada hadir. Heidegger
berbicara tentang Anwesen des Anwesenden, the presencing
of the present, yaitu kenyataan kehadiran lewat imajinasi,
symbol dan metafora yang datang dari dunia puisi, mitos
dan hal-hal yang mistik.89 Hal ini tidak hanya dapat
dijelaskan dengan ekpsresi metafisika. Semakin sederhana
sesuatu, semakin sulit untuk dijelaskan. Yang paling
sederhana, yang sangat intim, dekat, dan yang selalu hadir
dalam pikiran adalah Sang Ada.

Oleh karena itu, kehadirannya adalah kehadiran yang


membuka selubung kegelapan. Ia hadir seperti kedatangan
cahaya. Suatu kedatangan yang menghalau kegelapan.
Lebih tepat kalau kedatangan ini dilihat sebagai ‘a process
of coming into the light, or the lighting process.’ 90 Kita
harus sanggup menangkap kedatangan itu dan juga harus
mampu pula memberi kesaksian tentang kedatangan itu.

88
Heidegger, Poetry, Language, Thought., 7.
89
Heidegger, Basic Writings, 391.
90
Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through Authentic Totality to Total Authenticity. 146.

69
Kedatangan cahaya adalah kedatangan yang membuka dan
sekaligus membersihkan suatu wilayah tempat di mana
pikiran bertumbuh dengan subur. Wilayah itu adalah
wilayah kesatuan antara langit, bumi, kematian dan
keilahian. Di dalam wilayah kesatuan itu, Sang Ada hadir.
Dia hadir dalam dunia dengan segala keduniawinnya. Dia
hadir dalam keilahian dengan segala keilahiannya.
Kehadiran seperti ini harus dilihat ‘the event of truth.’ Sang
Ada hadir dalam kesatuan antara keduniawian dan
keilahian. Kehadiran itu tanpa mediasi. Ia hadir dan dialami
tanpa pengantara. Ini adalah pengalaman langsung yang
bersifat intuitif atas kedatangan itu.

Namun kedatangan itu, bukanlah hasil dari pencarian


intelek. Ia datang sebagai pemberian. Ia memberi diri. Es
gibt, demikian kata Heidegger. Terhadap kedatangan itu,
tidak ada pertanyaan ‘mengapa’? Ia hanya memberi diri.
Berpikir berarti mendengar dan menangkap kedatangan itu
dengan saksama. Kedatangan yang menurut Heidegger,
seperti dilansir oleh Puthenpurckal, harus ditanggapi
sebagai yang sakral (das Heilige), yang asali (der
Ursprung), rahmat (die Huld), pemberian (das Geschenk),
keselamatan (die Rettung).91 Ini adalah gema Sang Ada.
Gema yang menimbulkan kekaguman ketika manusia
berpikir. Namun ia berpikir hanya sejauh ia dipanggil oleh
Sang Ada. Panggilan itu ada hadir dalam bentuk gema.
Gema itu kaya dengan metafora dan inovasi semantik.
“Being is the primordial poetizing, the poetic presencing;
and human poetic response is only an ‘echo’ to the
91
Ibid., 148

70
primordially poetic evocation of Being in man for authentic
thinking”.92 Ada kelimpahan makna dalam gema Sang Ada.
Kelimpahan itu menggema tanpa batas, memancar tanpa
ujung, mengalir tanpa henti. Dalam kelimpahan ini, kita
dipanggil untuk berpikir, untuk selalu mendengar dan
menjawab dengan saksama.

Tanggapan atas kedatanga, jawaban atas panggilan, reaksi


atas pemberian hanya mungkin dalam nada syukur.
Berterima kasih. Berpikir hanya mungkin dimengerti dalam
kebersamaan dengan ‘Sang Ada’ dan ‘manusia.’ Berpikir
adalah panggilan yang melaluinya Sang Ada memberi diri.
Dan kita hanya bisa mengerti arti suatu pemberian ketika
pemberian itu dimaknai dalam penerimaan atau jawaban.
Suatu pemberian hanya berarti kalau disertai dengan
penerimaan. Di dalam konteks ini, kita berbicara tentang
syukur atau terima kasih. Berpikir, dilihat dari posisi
manusia, adalah suatu cara untuk bersyukur. Thinking is
thanking.

Kembali ke persoalan tentang imajinasi kreatif, filsafat


dalam pengertian sebagai refleksi atas dunia kehidupan
yang dijalani, perlu dipertimbangkan dari dimensi analisa
tentang productive imagination. Ini adalah bagian sentral
dari aktus berpikir pada segala situasi. Imajinasi produktif
adalah esensi berpikir. Paul Ricoeur misalnya memberikan
empat domain tempat imajinasi produktif bekerja. 93
Pertama, ia bekerja pada level sosial dan kebudayaan

92
Ibid.
93
Paul Ricoeur, “Lectures On Imagination, 1975. See George Taylor Ricoeur’s
Philosophy of Imagination. 94.

71
(social and cultural imagination); Kedua, pada level
epistemologi (epistemological imagination); ketiga, pada
level kreativitas (poetic imagination) dan keempat pada
level simbol-simbol keagamaan. Keempat level kerja
imajinasi produktif ini sangat kuat berkaitan dengan
persepsi yang terbentuk baik dari aspek psikologi maupun
dari aspek proses imajinasi itu sendiri.

Lebih lanjut, Ricoeur berkata “Imagination is not at all an


alternative to perception… but is an ingredient of
perception. It’s encapsulated within the framework of
perception.” Dia juga berkata “we can no longer oppose …
imagining to seeing, if seeing is itself a way of imagining,
interpreting, or thinking.”94 Mengacu pada peranan Bahasa
dalam hermeneutika, imajinasi kreatif hanya dapat
dimengerti lewat relasi timbal balik antara bahasa dan cara
kita melihat realitas.

Bahasa manusia pada dasarnya berkembanga dalam relasi


dengan objek atau realitas, namun hal itu tidak dengan
sendirinya menggambarkan bagaimana pikiran atau akal
budi melihat gambar-gambar yang datang dari realitas itu.
Pengalaman kita akan hal ini membentuk usaha bagaimana
kita menggambarkan realitas melalui kata-kata. Hal ini
amat tergantung bagaimana kita memodifikasi masukan
dari realitas dalam pikiran kita.

Selanjutnya, kerja imajinasi kreatif ini menentukan


bagaimana kita memiliki gambaran tentang realitas baru.
Misalnya dalam hubungan realitas sosial dan kebudayaan
94
Ibid.

72
kita, imajinasi kreatif selalu membawa kita realitas sosial
yang baru, yang Ricoeur namakan ‘social utotia.’ Secara
literer, utopia berarti ‘tanpa tempat’, tanpa waktu. Tampa
referensi. Nowhere. Utopia adalah kemungkinan tentang
situasi tanpa referensi dalam hubungan dengan gambaran
kita tentang realitas baru itu. Utopia tidak sekedar
memisahkan kita dari realiltas hidup yang sebenarnya. Ia
lebih jauh mengorientasikan kita ke realitas baru. Ia
memperluas pengertian kita tentang dunia dan tentang
dunia baru sebagai suatu kemungkinan. Utopia berfungsi
untuk memperluas, menambah dan memperkaya referensi
kita tentang realitas dunia baru itu.

Fungsi ini hanya mungkin kalau kita sanggup membuat


konfigurasi baru tentang pelbagai elemen hidup kita yang
berbeda meskipun elemen itu lahir dari temporalitas dan
identitas kita di dunia ini. Tentu, di sini, imajinasi kreatif
membutuhkan tanggungajwab untuk mengolah kekayaan
dimensi hidup. Tanggungjawab ini hanya terjadi dalam
dialektika antara imajinasi produktif dan etika kebajikan.
Hubungan keduanya, imajinasi dan etika kebajikan, adalah
esensial. Imajinasi kreatif memperkaya tindakan kita dalam
relasi dengan sesama yang lain. Demikianlah Richard
Kearney berkata, “poetic imagination has the capacity to
make us better human, while ethical action has the task of
soliciting imaginative sympathy with others”. 95 Kualitas
relasi dengan sesama yang lain memperkaya kekuatan
imajinasi kreatif. Dengan demikian, lewat kreativitas
mencipta dan melalui daya imajinasi kreatif, masing-
95
Richard Kearney, On Paul Ricoeur, The Owl of Minerva, Hampshire, Ashgate
Publishing Limited,2004. 174.

73
masing kita dapat mengerti diri kita dalam relasi dengan
yang lain. Relasi ini dapat membebaskan kita dari ilusi diri
yang narsistik.

Dengan demikian, imajinasi kreatif adalah dasar tindakan


empati di mana pengertian tentang diri kita mengalir dari
interelasi dengan yang lain dalam kekayaan imajinatif yang
kreatif. Masing-masing kita, lewat daya imajinasi kreatif,
menjadi terbuka, lebih sanggup mendengarkan kisah
tentang yang lain. Transfigurasi diri kita diperkaya. Cara
berpikir dan hidup kita menjadi produktif. Pandangan kita
lebih luas. Bersama Kearney, kita yakin bahwa “thinking
poetically, acting poetically, dwelling poetically are all
modalities of imagining poetically. They are ways of
realizing the fundamental possibilities of what we are.” 96
Semuanya adalah kemungkinan dari segala yang ada.
Dengan perkataan, segala yang ada, adalah mungkin ketika
imajinasi kreatif dan tindakan kebajikan berjalan dalam
gandengan hidup yang mesrah.

11. BERPIKIR: MENCARI MAKNA TENTANG NILAI

Dalam pembicaraan sebelumnya, kita telah melihat


persoalan filsafat dalam hubungannya dengan pandangan
dunia. Persoalan ini hanya dapat dimengerti dari konteks
dunia kehidupan (lifeworld) sebagai ruang perwujudan
simbolis rasionalitas manusia. Ruang itu terbentuk dari
bangunan komunikasi bersama dan sharing dunia

96
Ibid., 175.

74
kehidupan yang intersubjektif, demikian kalau kita
melihatnya dari perspektif Habermas.97

Namun, dalam dunia institusi pendidikan, komunikasi dan


sharing dunia kehidupan ini terjadi dalam aktivitas
akademik, yaitu lewat pendidikan dan pengajaran, suatu
kemungkinan di mana kita dibimbing untuk mengenal
konsep-konsep dan persoalan-persoalan filosofis secara
baik demi pembentukan diri. Secara khusus, dan tentu
bersifat niscaya, bahwa dalam berfilsafat, kita harus banyak
belajar dari tradisi barat, khususnya dari kultur refleksi
mereka sambal tetap terbuka terhadap tradisi berpikir dari
Cina, India dan secara khusus dari Indonesia.

Selain itu, kita menyadari bahwa konsep-konsep dan


persoalan filofosis filsafat lahir dan berkembang bersamaan
dengan seluruh konsep dan persoalannya dalam konteks
historis masyarakat pra industri, dalam format politik,
sosial ekonomi, yang melaluinya ilmu dan teknologi belum
mencapai titik klimaksnya. Pada masa itu, seluruh
perkembangan pikiran, konsep dan persoalan filosofis
banyak terpengaruh oleh pandangan dari dunia agama, dan
dalam arti tertentu juga pengaruh oleh seni dan sastra
waktu itu. Situasi ini terjadi juga pada abad pertengahan di
bawah pengaruh tradisi agama khususnya tradisi yudaisme
dan kristianisme.

Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan


perkembangan yang terjadi sebagai akibat dari revolusi
97
Kita tidak berkeberatan dengan pandangan Habermas dalam Postmetaphysical
Thinking II tentang The Lifeworld as a Space of Symbolically Embodied Reasons.

75
ilmu pengetahuan yang berdampak pada modernisme.
Revolusi ini berawal dari kelahiran ilmu-ilmu baru (nuove
scienze), aplikasi ilmu melalui kontrol manusia terhadap
alam, munculnya bentuk-bentuk baru organisasi politik
(kekuatan negara di atas segalanya), perkembangan
kehidupan sosial dan ekonomi sebagai akibat dari
kapitalisme dan revolusi industri.

Pada masa sekarang, ketika memasuki era baru, era post,


era milenial, suatu era dengan banyak konsekuensi yang
terjadi sebagai perkembangan era modernisme, kita
mengalami banyak hal telah berubah. Kita telah memasuki
revolusi industri keempat dengan tuntutan kehidupan yang
serba rumit. Perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi
merasuki pikiran kita. Krisis kehidupan sosial, ekonomi
dan politik sangat kuat mengguncang eksistensi suatu
negara sebagai dampak dari perkembangan ruang publik
yang telah berubah menjadi ruang virtual.

Perkembangan ini menuntut refleksi filosofis untuk lebih


adekuat. Konsep-konsp dan persoalan filosofis perlu
disesuikan dengan perkembangan situasi terakhir. Tuntutan
kreativias dalam berpikir dan merefeleksikan dunia
kehidupan menjadi lebih tinggi. Tuntutan ini searah dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Teks
dan bacaan tentang dunia kehidupan menjadi lebih
bervariasi.

Oleh karena itu, kita membutuhkan pengertian dasar,


konsep dan pengetahuan tentang persoalan realitas hidup
dari dimensi yang kronologis, misalnya dimensi hubungan

76
yang diakronis (a process of historical transformation) dan
sinkronis (a set of simultaneous institutions) tentang
masyarakat dan seluruh situasi hidup yang terjadi di
dalamnya. Refleksi filosofis harus terbuka terhadap
interaksi dimensi kehidupan untuk menangkap pesan-pesan
yang datang dari dunia kehidupan ini. Dengan demikian,
interaksi dalam proses belajar dan berpikir adalah penting.
Interaksi ini dimulai dari proses belajar untuk mengenal
warisan sejarah, sastra, seni, ilmu pengetahuan dan tradisi
kerohanian dari agama-agama tertentu.

Belajar berfilsafat sebaiknya ditempuh melalui keterbukaan


terhadap warisan tradisi berpikir yang baik. Warisan itu
perlu disimak dari perspektif yang kritis dalam konteks
persoalan-persoalan yang lebih adekuat, sesuai dengan
situasi terkini. Perspektif kritis ini sebaiknya
dipertimbangkan dalam terang nilai ‘intellectual virtue’,
meminjam kata-kata Julia Annas. Sejak dari awal mula,
filsafat telah hadir sebagai pencerah. Filsafat adalah disiplin
pencerahan, meskipun terminologi ‘pencerahan’ baru
menuncul kemudian. Ia adalah disiplin pencerahan yang
bertugas membedah pelbagai persoalan nyata (problemi
reali) dari perspektif yang berbeda-beda. Setiap persoalan
filosofis lahir dari persoalan hidup yang dijalani manusia.

Oleh karena itu, ketika kita belajar filsafat, kita diharapkan


untuk masuk ke dunia filsafat bersamaan dengan dunia
pengalaman hidup kita. Setiap konsep dan persoalan yang
direfleksikan lahir dari relasi timbal balik antara persoalan
historis dan pengalaman hidup. Pengalaman nyata tentang
persoalan hidup direfleksikan dalam terang persoalan

77
historis yang diwariskan dalam refleksi filosofis. Konsep-
konsep filosofis lahir dari interaksi refleksi pengalaman
hidup dan warisan tradisi berpikir dalam filsafat.

Di sini, kita perlu belajar dari warisan berpikir tertentu,


mengenal metode dan karya-karya bersar yang berpengaruh
dalam sejarah filsafat. Kita banyak belajar dari tradisi
berpikir (forme classiche) dalam dunia filsafat seperti
tradisi analisa logika, cara berpikir dialektis, interpretasi
dan retorika sebagai dasar untuk memperkaya pencarian
makna kehidupan secara filosofis.

Persoalan Tentang Nilai

Berfilsafat secara nyata harus bersentuhan dengan


persoalan tentang nilai-nilai dalam dunia kehidupan ini.
Nilai-nilai kebaikan (bonum), kebenaran (verum),
keindahan (pulchrum), dan keadilan (Justitia) adalah nilai-
nilai dasar yang selalu berkembang dan direflekesikan dari
waktu ke waktu dalam filsafat. Dalam tradisi berpikir
kristiani, refleksi tentang nilai-nilai tersebut mendapat
kepenuhannya dalam refleksi tentang kasih, yang secara
teologis merujuk pada kasih Ilahi yang sempurna, agape.

11.1. Kebaikan

Mari kita melihat nilai kebaikan sebagai salah satu nilai


penting bukan saja dalam filsafat tetapi dalam kehidupan
manusia. Sejak jaman klasik, para filsuf telah banyak
berkecimpung dengan persoalan tentang kebaikan. Sokrates
adalah filsuf pertama yang bertanya tentang apa artinya

78
kebaikan. Dalam seluruh dialognya, ia memiliki intensi
untuk mengantar rekan bicaranya untuk melihat bahwa
kebaikan adalah tujuan dan kesempurnaan hidup manusia.
Menjaga diri sendiri dan senantiasa berusaha untuk menjadi
lebih baik adalah intensi dari dialog Sokrates. Intensi ini
hanya mungkin dijalani bila semua orang, siapapun dia,
laki-laki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, harus
pertama-tama ‘mengenal diri sendiri’ secara baik. Di sini,
kita berhadapan dengan imperatif Sokrates, Kenalilah
dirimu! Mengenal diri adalah tanda awal untuk menjadi
lebih baik dan lebih bijaksana. Mengenal diri adalah tanda
kebijaksanaan (wisdom), akses menuju kebaikan
(goodness) dan tanda kebajikan (virtue).

Dalam tradisi berpikir Yunani, kebajikan, aretè, dimengerti


sebagai kesempurnaan. Kesempurnaan ini hanya mungkin
ditempuh melalui jalan kebaikan. Kebaikan senantiasa
berjalan bersama dengan kebahagiaan dan kesempurnaan
intelek. Keduanya hanya bisa dicapai dalam kondisi di
mana manusia sungguh merasa bebas dari perbudakan
hidup. Dari perspektif filsafat Aristoteles, konsep tentang
kebaikan dibicarakan dalam banyak kemungkinkan.
Sebagaimana ada banyak cara berbicara tentang ‘ada’
dalam kategori-kategori, demikian tentang kebaikan. Tidak
ada konsep tentang kebaikan yang bersifat univok.
Misalnya, ada kebaikan sebagai substansi tertinggi yang
dinamakan intelek murni (nous). Ada kebaikan dalam
pengertian dapat di praktekan, misalnya kebaikan sebagai
kualitas keadilan. Ada pula kebaikan dalam arti kuantitas,
misalnya tentang ukuran yang tepat, kebaikan sesuai waktu
sebagai suatu kesempatan. Ada kebaikan sebagai tujuan

79
terakhir (ariston) dari suatu kegiatan yang dikejar oleh
semua manusia. Aristoteles menamainya kebahagiaan.

Kita berbicara tentang kebaikan di sini bukan dalam


pengertian metafisis, kebaikan sebagai suatu idea seperti
yang dibicarakan Plato, atau dalam pengertian motor
immobile, kebaikan sebagai penggerak yang tak digerakkan
dari pandangan Aristoteles, tetapi dari pengertian yang
praktis, yaitu kebaikan yang bisa diusahakan oleh manusia
dengan segala kemampuannya. Kebaikan seperti ini
menjadi cita-cita semua manusia. “Aiming at the good
life…”98 sebagai tujuan hidup manusia. Tujuan ini bukan
suatu idealisme. Ia adalah cita-cita praksis semua umat
manusia. Cita-cita ini memiliki standar, yang oleh Mcntyre
disebut sebagai “standard of excellence” yang hanya
diwujudkan melalui kerjasama yang baik dalam komunitas.
Ketika John Rawls menulis karya Teori Keadilan, ia
merumuskan standar cita-cita kebaikan lewat perjuangan
akan nilai keadilan di dalam suatu masyarakat. Perjuangan
itu tampak dalam rencana hidup (life plan) bersama.
rencana hidup ini diwujudkan dalam kesatuan naratif
tentang kehidupan antara praktis/rencana hidup dan apa
yang disebut ‘hidup baik’ (good life). Manusia memiliki
cita-cita untuk hidup baik bersama dengan dan untuk yang
lain dalam institusi-institusi yang adil. Demikian Ricoeur,
diinspirasi oleh etika Aristoteles, merumuskan cita-cita ini
dalam sekelumit etika: “Aiming at good life with and for
others in just institutions.”99

98
Paul Ricoeur, Oneself as Another, 171.
99
Ibid. 172.

80
Namun, perlu disadari bahwa kebaikan yang menjadi cita-
cita manusia amat rapuh. Ada semacam “the fragility of
goodness.”100 Hal ini disebabkan karena pengertina tentang
kebaikan itu bersifat ekuivok dan manusia itu rapuh.
Sebagai jalan keluar, perlu ada kesadaran di dalam diri
manusia untuk melihat kerapuhan diri serta aspek
kesanggupan diri sebagai disposisi penting untuk mengatasi
kerapuhan itu.

Kesadaran ini menggerakkan manusia untuk membangun


persekutuan hidup,  , polis dalam tradisi Yunani, atau
civitas dalam tradisi Latin. Namun Polis dalam tradisi
Yunani bukan saja berarti kota, suatu bagian kecil dari
suatu wilayah, melainkan harus dimengerti dalam arti yang
lebih modern sebagai ‘state’ atau negara. Dari sini, muncul
pengertian tentang res publica, hal-hal umum yang
berkenaan dengan kepentingan negara (kebaikan umum);
dan res privata, hal-hal privat yang berhubungan dengan
urusan pribadi atau keluarga (kebaikan privat).101

Dalam karyanya Politik, Aristoteles mengartikan sebagai


koinonia (), yang kemudian sering diartikan
sebagai komunitas, karena koinon berarti yang umum atau
yang bersifat publik. Dewasa ini, kita sering keliru antara
dua hal ini: komunitas dan masyarakat. Menurut
Aristoteles, polis berarti masyarakat dalam arti yang
sempurna, teleios (), karena ia sempruna di dalam
dirinya (autàrches/). Self-sufficient. Masyarakat
100
Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness, luck and ethics in Greek tragedy and
philosophy, Cambridge: Cambridge University Press,2005.
101
Bdk. Enrico Berti, Il Bene di Chi? Bene publico e bene privato nella storia, Rombi,
Marietti, 1820. 23-25.

81
seperti ini menjadi model segalam bentuk persekutan,
misalnya persekutuan dalam keluarga (oikia/). Antara
oikia dan polis terdapat perbedaan mendasar. Yang
pertama memiliki corak dan struktur hidup yang lebih
sederhana sedangkan yang kedua memiliki jangkauan
kebutuhan yang lebih luas dan berkenaan dengan nilai
hidup yang lebih tinggi, yaitu ‘hidup baik’ atau eu zen/
. Eu zen berarti menjalani hidup yang baik secara
optimal dengan kesanggupan manusia untuk mencapai
kabahagiaan.102

Persoalan tentang kebaikan, khususnya kebaikan publik


telah masuk dalam kosa kata filsafat politik modern.
Konsep ini sering dipergunjingkan dalam hubungan dengan
kebaikan privat khusus ketika orang mempersoalkan
penyalagunaan kepentingan publik demi keuntungan
pribadi. Namun hal yang jauh lebih utama adalah
bagaimana kita menerapak pengertian kebaikan dalam
pelbagai konteks yang berbeda sesuai dengan basis
argumentasi yang baik. Di sini, aplikasi etika seperti
bioetika, etika situasi, atau etika ekonomi, etika lingkungan
dan lain sebagainya, sangatlah penting untuk
dikembangkan demi meningkatkan tanggungjawab bersama
dalam ruang publik.

11.2. Kebenaran

102
Ibid. Hemat saya, karya Aristoteles, Nichomachean Ethics harus dipertimbangkan
sebagai karya maha penting dalam diskursus tentang etika politik. Kalau tidak
berlebihan, karya ini boleh disebut sebagai kitab suci etika yang tidak boleh
diabaikan oleh mahasiswa atau siapa saja yang ingin berkecimpung dengan etika
politik pada umumnya.

82
Dari kebaikan menuju kebenaran. Kebenaran adalah salah
satu nilai fundamental dalam kehidupan manusia.
Kebenaran menjadi fundamental karena esensi kebenaran
adalah kebenaran esensi itu. “The question of the essence
of truth arises from the question of the truth of essence.” 103
Di sini, esensi dimengerti sebagai quidditas, ke-apa-an dari
sesuatu. Dengan perkataan lain, esensi adalah isi material
dari sesuatu. Sedangkan kebenaran adalah ciri dari suatu
pengetahuan. Dan sebagai ciri dari suatu pengetahuan, nilai
kebenaran dapat dibicarakan secara filosofis, teologis dan
secara ilmiah-empiris.

Secara khusus dalam dunia filsafat, persoalan tentang


kebenaran tidak selalu mendapat konsensus. Makna term
‘kebenaran’ atau arti predikat ‘adalah benar’ perlu
diperiksa secara saksama baik dari elemen-elemen dasar
logika, teori argumentasi, dan prinsip-prinsip epistemologi.

Dari perspektif logika atau teori tentang argumentasi,


konsep tentang kebenaran perlu dipertimbangkan dari
hukum berpikir yang dirancangbangun lewat aturan main
berbahasa. Di sini, persoalan tentang ‘konsep, term,’
‘keputusan, argumentasi,’ menjadi sangat penting karena
semuanya berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar logika.
Dari prinsip dasar logika, kita mengetahui bahwa: pertama,
setiap ilmu bersifat demonstratif karena dibangun melalui
jalan pembuktian atau demonstrasi. Pembuktian dalam
logika disebut silogisme karena ia harus dibentuk
berdasarkan proposisi-proposisi utama dan proposisi itu
harus dilihat sebagai dasar pertimbangan kebenaran logis.
103
Hedegger, Basic Writings, 140.

83
Kedua, semua proposisi yang dibangun dalam setiap teori
pengetahuan memiliki prinsip dasar yang berbeda.
Perbedaan prinsip dasar ini menentukan perbedaan
pembukitannya tentang kebenaran. Ketiga, apa yang
disebut ‘prinsip dasar,’ pada dasarnya harus benar. Ia harus
eviden di dalam dirinya. Sesuatu dikatakan benar karena
pada dirinya tidak ada kemungkinan untuk dipersalahkan.
Sesuatu dikatakan salah karena pada dirinya masih ada
kemungkinan untuk dijelaskan dengan menggunakan
prinsip yang lain. Benar kalau, ia eviden di dalam dirinya,
dan tidak membutuhkan penjelasan tambahan dari luar
dirinya. Sebaliknya ia salah kalau ia tidak eviden di dalam
dirinya dan membutuhkan penjelasan dari luar. Keempat,
prinsip suatu pembuktian harus tanpa pengantara. Prinsip
pembuktian itu harus bersifat langsung. Suatu pembuktian
dikatakan langsung jika tidak ada proposisi lain yang
mendahului pembuktian itu. Kelima, prinsip suatu
pengetahuan bergantung pada hukum pengetahuan itu.
Setiap ilmu memiliki prinsip dan hukum tersendiri.104

Dari perspektif epistemologi, kita berhadapan dengan


persoalan apakah kita secara konkret dan nyata dapat
mengetahui kebenaran? Apakah kita dapat membedakan
kebenaran dan kepalsuan? Kalau dapat, bagaimana
caranya? selain itu kita sering dihadapkan dengan persoalan
apakah yang sering kita ketahuai sebagai yang benar,
adalah sungguh-sungguh benar?

Selain itu, dari dimensi praktis, kita selalu berhadapan


dengan penggunaan term ‘kebenaran’ dalam ruang publik
104
Bdk. Carlo Cellucci, Le Ragioni Della Logica, Roma, La Terza, 2000., 117-118.

84
dan dalam kehidupan pribadi. Kini, kita hidup dalam era
hiper-komunikasi dan hiper-informasi. Kita dihadapkan
dengan seribu satu macam informasi yang menyerbu
kesadaran kita. Serbuan arus informasi lewat media sosial,
pengaruah kekuasaan politik dan kekuatan kapitalisme
global, permainan bahasa, gaya dan pola hidup yang
semakin konsumeristik, semuanya sangat mempengaruhi
pandangan kita tentang kebenaran. Ada kemungkinan kita
menjadi ambigu dengan kebenaran. Kebenaran menjadi
tidak penting. Pembicaraan tentang kebenaran bukan lagi
menjadi hal yang mendesak. Kalau ada pembahasan
tentang kebenaran, atau kalau ada interpretasi tentang
kebenaran, maka hal itu menjadi tugas sekelompok
ilmuwan atau para pemikir tertentu.

Kita juga pernah dikejutkan oleh nihilisme Nietzsche.


Nihilisme itu mengajarkan kita bahwa “kita tidak memiliki
kebenaran” karena memang tidak ada yang benar.
Semuanya nihil. Semuanya menjadi suatu irioni. Kita
hanyalah mahluk yang kontingen, seperti yang dikatakan
Richard Rorty.105 Kita juga tidak bisa melawan Nietzsche,
misalnya dengan secara sederhana berkata bahwa
“semuanya benar.’ Kalau kita berkata demikian, maka kita
akan jatuh ke dalam sikap yang trivialistik. Sikap yang
beranggapan bahwa semuanya benar sambil tidak
memberikan pembuktian apa-apa.

Hal lain yang perlu kita perhatikan yaitu bahwa ada


kesalahpahaman dalam hubungan dengan kebenaran.
105
Richard Rorty, Contingency, Ironi, and Solidarity, Cambridge: Cambridge
University Press, 1999.

85
Sering kali kita beranggapan bahwa ide atau konsep tentang
kebenaran itu bersifat prerogatif dan bersifat komprehensif
dari kaum dogmatis, misalnya dari gereja, agama, partai
politik, juga oleh sekelompok ilmuwan tertentu. Ada
semacam garansi kebenaran dari suatu otoritas, kekuasaan
atau kekuatan pihak tertentu. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kebiasaan orang atau kelompok tertentu yang
berkecimpung dalam dunia kekuasaan tertentu, dan mereka
mengklaim kebenaran dari dunia mereka. Mereka
berasumsi bahwa dunia mereka adalah pusat kebenaran.
Mereka menetapkan prinsip dan hukum-hukum kebenaran
menurut versi mereka. Sebagai konsekuensi, konsep
kebenaran menjadi semacam doktrin komprehensif dari
perspektif tertentu. Dengan demikian, konsep kebenaran
menjadi extraordinary word.

Cara di mana kita memberi jawaban atas persoalan


kebenaran bergantung dari intensi kita ketika kita bertanya
tentang apa itu kebenaran. Kebenaran dalam suatu
proposisi tergantung dari predikat yang digunakan dalam
proposisi itu. Kita menggunakan predikat dalam setiap
proposisi karena predikat adalah bagian esensial dari
struktur linguistik untuk menujukkan keadaan subjek.
Kebenaran adalah bagian dari realitas yang kita katakan
sebagai yang benar. Sama seperti keindahan adalah bagian
dari realitas yang kita sebut sebagai yang indah.

Kalau kita berbicara tentang kebenaran berdasarkan


kenyataan, maka setiap pembicaraan harus sepadan dengan
atau sesuai dengan kenyataan. Kebenaran berkenaan
dengan koherensi (adequatio) antara proposisi (diskursus)

86
dengan realitas yang dikatakan (ens). Kaum skolastik
berbicara tentang ens et verum convertuntur. Term
kebenaran di sini, harus dipertimbangakan sebagai doktrin
tentang koeksistensi kebenaran dan realitas.

Hal yang penting adalah bagaimana kita sampai pada


kebenaran ketika kita berbicara tentang relasi kebenaran
dengan realitas. Sikap apa yang kita miliki ketika kita
berhadapan dengan kebenaran? Tentu, lebih khusus lagi
sikap yang menunjukkan bahwa kebenaran itu memang ada
atau tidak ada. Apakah ia dapat diketahui secara langsung
atau butuh proses yang panjang? Apakah kebenaran dapat
dikenal secara sempurna atau hanya sebagian saja?

Plato, dalam karya Karya Sophist, berdialog dengan


Tetetus tentang kebenaran. Yang benar adalah dia yang
berkata sesuai apa adanya. Sedangkan yang salah adalah
dia yang berkata tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan.106 Dialog dalam konteks Plato harus
ditempatkan dalam pengertian ‘diskursus,’ (logos), yaitu
kesatuan makna dari subjek bersamaan dengan verba yang
mendukung subjek itu. Subjek menunnjukkan apa yang
dibicarakan, sedangkan verba mempertegas atau
mendukung apa yang dibicarakan dalam subjek. Diskursus
adalah suatu pernyataan terbuka (enunsiasi) yang dibentuk
dari subjek dan predikat. Di sini, kebenaran dilihat sebagai
kualitas diskursus, dan kualitas itu ditunjukkan dengan cara
‘mengatakan sesuatu sesuai apa ada.’ Ini berarti kita harus
berkata dan perkataan itu harus digambarkan dalam dalam
106
“… the true one says those that are, as they are,… and the false one says things
different from those that are…” Plato, Sophist, 263, a-b.

87
pikiran sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Pikiran
berbicara di dalam dirinya tentang realitas sesuai apa
adanya. Ini berarti antara pikiran, perkataan dan realitas
harus ada koherensi atau kesesuaian. Namu, Plato juga
berbicara tentang ajektiva ‘benar’ dalam hubungan dengan
idea (eidos), sebagai model yang abadi dari segala sesuatu
di dunia ini. Idea adalah hal yang paling sempurna dari
segala sesuatu. Menurut plato, ‘idea’ adalah objek dari
pengetahuan (epistème) dan diskursus yang benar. Idea
adalah sumber kebenara karena objek dari suatu diskursus
adalah sesuatu yang selalu benar. Benar sebagai suatu
keniscayaan. Realitas atau entitas adalah hal-hal yang
kurang benar karena mereka adalah objek diskursus yang
bisa menimbulkan kekeliruan atau kesalahan; dan karena
itu, berbicara tentang realitas, kita hanya berbicara sebagai
suatu opini, pendapat (doxa) atau sebagai suatu keyakinan
tertentu (pistis).

Lebih jauh, Aristoteles berbicara tentang kebenaran melalui


proposisi. Lewat proposisi kita dapat mendeskripsi atau
menyatakan sesuatu sebagai yang tertentu. Kalau kita
katakan ‘Sokrates’, atau ‘mati’ sebagai term yang berdiri
sendiri, maka semuanya menjadi tidak bermakna. Namun,
kalau kita berkata ‘Sokrates telah mati’, maka proposisi ini
memiliki arti tertentu; yaitu bahwa ia telah dibunuh. Suatu
diskursus tidak hanya bersifat enunsiatif tetpai juga bersifat
deskriptif atau suatu suatu menifestasi. Mengatakan sesuatu
berarti menyatakan kehadiran sesuatu lewat proposisi.
Menyatakan kehdiaran berarti ‘memanifestasi’
(apophainesthai) sesuatu seperti apa adanya. Selain itu, ada
juga proposisi yang memiliki makna dan referensi makna

88
itu serta merta menunjukan sesuatu sebagai benar atau
salah, tetapi sebagai suatu perintah, misalnya ‘tutup pintu!’

Aristoteles juga berbicara tentang kebenaran praktis.


Kebenaran ini berkenaan dengan keputusan yang benar dan
tindakan sebagai konsekuensi atas keputusan itu.
Kerinduan untuk hidup bahagia harus dituntun oleh praksis
menjalani hidup secara benar dan baik.

Lebih jauh, Aristoteles juga melihat persoalan tentang


‘yang benar’ dan ‘yang salah’ sebagai kualitas pikiran,
diskursus atau keputusan. Jika kita melihat sesuatu sebagai
sesuatu yang tertentu, lalu kita mengatakan sesuatu lewat
proposisi bahwa sesuatu itu sebagai yang tertentu, maka
kebenaran proposisi kita tergantung dari realitas sesuatu itu.
Bukan karena kita yang berkata bahwa sesuatu berada
sebagai sesuatu yang tertentu dan perkataan kita adalah
benar, melainkan karena realitas sesuatu itu memungkinkan
kita untuk membuat proposisi tentang sesuatu sebagai yang
benar. Di sini kita berbicara tentang esensi. Berbicara
tentang esensi sesuatu berarti mencari makna dari sesuatu
serta esensi itu menjelaskan sesuatu sebagai yang tertentu.
Mencari makna esensi berarti mencari pengertian yang
membuat sesuatu sebagai yang tertentu. Mencari esensi
berarti mencari keapaan dari sesuatu (to ti esti zéteita). Kita
mengerti esensi sesuatu ketika kita memberi batasan atau
definsi dari sesuatu. Memberi batasan berarti memberi
pengertian tentang ‘sesuatu sebagai sesuatu yang tertentu’
(to ti en einai).107 Di sini, kita membangun diskursus
107
Bdk Felix Baghi, IL Concetto di To Ti En Einai Nella Metafisica di Aristotele, Libro Z
(Tesis), Universitas Gregoriana, Roma, 2003.

89
tentang sesuatu berdasarkan esensi sesuatu, yaitu kodrat
sesuatu yang membuat sesuatu sebagai yang tertentu.
Mencari kebenaran sesuatu sebagai ‘sesuatu yang tertentu’
tidak lain adalah pencarian tentang esensi sesuatu.
Pencarian ini boleh jadi, sesuai dengan apa yang Lonergan
katakan sebagai insight.

Dalam De Veritate, q. 21. a.1, Tomas Aquinas berbicara


tentang kebenaran sebagai adequatio intellectus et rei.
Tentu, kebenaran seperti ini tidak dalam pengertian
kesesuaian antara intelek dan realitas atau tentang
pengetahuan intelektual yang adekuat dengan realitas. Ia
lebih merupakan suatu identifikasi (adequatio) yang timbul
dari aequalis, keserupaan. Identifikasi ini disebabkan
karena konformitas, alusi terhadap identitas isi antara
intelek dan realitas. Intelek manusia tidak mengenal secara
langsung realitas. Yang dikenal adalah idea. Namun idea di
sini bukan dalam pengertian Plato, tetapi sebagai gambaran
mental atau representasi realitas dalam proposisi. Suatu
proposisi P dikatakan benar, jika dan hanya jika sesuai
dengan realitas yang digambarkan dalam proposisi itu.
Proposisi ‘salju berwarna putih, dikatakan benar jika sesuai
dengan realitas salju yang berwarna putih.

Lebih jauh, kita melihat pengertian ‘kebenaran sebagai


alétheia,’ suatu keberadaan yang tidak tertutup, atau tidak
tersembunyi (Un-verbogenheit, un-concealment).108 Esensi
kebenaran ada hubungan dengan suatu kondisi atau suatu
keberadaan yang tidak tersembunyi. Kebenaran berkaitan
dengan suatu keterbukaan. Tentu, Heidengger berbicara
108
Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through Authentic Totality to Total Authenticity. 203.

90
tentang kebenaran sebagai alétheia dengan rujukan pada
eksistensi manusia sebagai Dasein, cara-berada-di-tengah-
dunia; dan cara berada itu ada hubungan dengan kondisi
das Anwesende, berada hic et nunc. Ini adalah suatu
keterbukaan di tengah dunia. Suatu keterbukaan yang selalu
dan tetap berpijak pada bumi. Manusia selalu mengerti
dirinya terbuka terhadap suatu dunia (world) dengan tetap
berpijak pada bumi (earth). Dengan perkataan lain,
manusia berpijak pada bumi namun dengan oritentasi pada
suatu dunia. Namun yang menarik, bahwa dunia di sini,
dicirikan oleh keterbukaan, yaitu keterbukaan yang selalu
dibatasi. Dibatasi oleh pijakan di bumi. Dunia dan bumi,
pada dasarnya berbeda satu sama lain. Namun, dunia
didasarkan pada bumi dan bumi selalu dilihat dari
persepketif dunia.109

Di sini, kita melihat kebenaran dalam terang keterbukaan


terhadap suatu dunia dan keterbatasan pada bumi. Ada
semacam konflik dalam keterbukaan dan keterbatasan.
Heidegger berkata, ‘truth is present only as the conflict
between lighting and concealing in the opposition of world
and earth.’110 Konflik itu terjadi dalam kedatangan terang
dan halangan atas kedatangan itu. Di dunia ini, kita
mengerti suatu kebenaran lewat mediasi, yaitu dunia.
Namun seringkali, mediasi itu tidak selamanya
menghadirkan kebenaran yang sesungguhnya.

Manusia mempunyai tanggungjawab atas kebenaran di


dunia ini. Tanggungjawab itu diperlihatkan secara nyata
109
Ibid.
110
Heidegger, Poetry, Language, Thought, 62.

91
lewat cara berpikir, cara berbahasa, cara bertindak dan cara
menjalani hidup di tengah dunia. Semuanya ada hubungan
dengan kesanggupan manusia untuk mendengarkan
kedatangan atau kehadiran kebenaran dalam kehidupannya.
Ia harus mendengar dengan saksama agar ia sanggup
menangkap gema (echo) dari kedatangan itu.

Lebih jauh, kita sering berhadapan dengan persoalan


kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran dalam
iman. Tampaknya kalau kita bertolak dari konsep klasik
tentang kebenaran, ens et verum convertuntur, atau konsep
skolastik sebagai adequatio intellectus et rei, kita tidak
mengalami kesulitan berbicara tentang kebenaran filosofis
sebagai sesuatu yang berbeda dari kebenaran dalam ilmu
pengetahuan, atau kebenaran dalam teologi. Perbedaan
pengertian boleh jadi disebabkan oleh perbedaan metode
dan pendekatan dalam filsafat, ilmu pengetahuan dan
teologi. Kebenaran selalu tetap yang sama. Jalan untuk
menemuinya selalu bermacam-macam, karena kebenaran
adalah sesuatu yang bersentuhan dengan kehidupan. Ia
berkaitan dengan manusia dan segala realitas yang
kehidupannya.

Pengertian tentang kebenaran bersifat esoterik. Ia tidak


terikat pada disiplin tertentu. Ia tidak bersifat teknis. Ia
bergantung pada penggunaan publik, pada pandangan
umum. Kebenaran bukan milik seseorang. Ia secara
sederhana adalah suatu kualitas dari suatu diskursus, suatu
pandangan, suatu pemikiran atau suatu cara hidup tertentu.
Ini amat bergantung pada siapa yang menghidupinya.
Dewasa ini ilmu-ilmu, seperti positivisme, tidak lagi

92
memformulasikan teori secara definitip dan absolut sebagai
yang benar. Yang ada hanyalah hipotese, teori, yang secara
tentatif dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Kemungkinan
ini hanya terjadi pada bidang pengetahuan tertentu, dan
tidak begitu muda disamakan dengan bidang pengetahuan
yang lain. Karl Popper berbicara tentang tiga hal penting
dalam usaha untuk mengembangkan pengetahuan yang
rasional: problem-teori-kritik. Ilmu pengetahuan
menempuh proses trial and error, berproses dari suatu
persoalan menuju persoalan yang lebih dalam. Ilmu-ilmu
seperti fisika, sejarah, biologi, kimia, ekonomi, sosiologi,
geologi; semuanya menempuh jalan trial and error.
Mereka memiliki metode, interpretasi, dan ujian validitas.
Semua hipotese dapat dikontrol demi mencapai suatu teori
yang tentatif. Setiap hipotese tidak dapat diverifikasi kalau
tidak menempuh jalan falsifikasi. Para ilmuwan harus
sanggup menemukan kekeliruan dan bahkan kesalahan
sebagai jalan untuk sampai pada teori yang tentatif.
Menurut Popper, suatu hipotese tidak diverifikasi. Ia
difalsifikasi.111

Dalam proses falsifikasi, sikap ilmiah yang baik adalah


tidak boleh lari dari kesalahan. Siapapun tidak bisa
menghindari kesalahan. Sikap yang baik adalah belajar dari
kesalahan. Tidak ada justifikasi tanpa melalui suatu
kekeliruan. Tidak ada kebenaran tanpa melewati suatu
kesalahan. Dengan demikian, teori pengetahuan terjadi
karena berawal dari persoalan-persoalan pengetahuan.
Demikian, teori filsafat berkembang karena ada persoalan
111
Dario Antiseri, Didatica della Filosofia, Il mestiere del filosofo, Roma: Armando
Editore, 2000., 9.

93
filsafat. Persoalan seperti apakah Tuhan eksis atau tidak
eksis? Apah sejarah. Manusia bergerak menurut hokum
tertentu? Apakah manusia bebas atau terhukum? Apakah
manusia hanya tubuh? Jiwa? Atau keduanya? Apakah
semua realitas ini hanya realitas empiris? Apa itu
demokrasi? Apakah pengetahuan manusia dapat
menemukan kebenaran? Apakah hokum kodrat secara
rasional dapat memiliki pendasaran tertentu? Apakah
proses pengetahuan menempuh hanya melalui metode
induktif? Apakah dalam ilmu pengetahuan hanya berlaku
satu metode atau lebih? Apakah rasionalitas adalah bagian
dari realisme atau idealisme?

Semua persoalan ini didalami dari perspektif filsafat dan


memungkinkan lahirnya teori filsafat tertentu seperti,
teodicea, antropologi filsafat, filsafat sejarah, filsafat
hukum, filsafat moral, kosmologi, gnoseologi, teori tentang
pengetahuan. Jadi teori filsafat pada umumnya memiliki
radiks ekstra-filsafat. Filsafat membuka diri terhadap
realitas di luar filsafat dengan demikian filsafat bersifat
criticable. Pandangan filsafat bersifat rasional karena
pandangan itu criticable. Rasionalitas filsafat, demikian
juga rasionalitas teori pengetahun, adalah rasionalitas yang
criticable. Karena ia criticable maka ia juga falsifiable. Jadi
falsifikasi pengetahuan diukur berdasar kekuatan kritik
yang ada di dalamnya.

Ada banyak persoalan filsafat dan persolan itu bersifat


terbuka. Persoalan tentang Tuhan, sejarah, negara, hukum,
seni, bahasa, moral, etika, lingkungan hidup, dan lain-lain.

94
Persoalan filsafat memiliki radiks ekstra-filsafat: radiks
moral, agama, ilmu, politik, dan seterusnya.

Dalam hubungan dengan iman, kita berbicara tentang


kepercayaan atau keyakinan. Semua dapat benar atau salah
bergantung pada suatu testimoni atau kesaksian dalam
hidup. Iman hanya bisa dimengerti lewat kesaksian; dan
kesaksian itu memberi bukti tentang kebenaran. Kalau
dikatakan “Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di
antara kita,” hal ini adalah kebenaran revelasi dan
kebenaran ini hanya dapat dialami lewat kenyataan atau
kesaksian. Namun, di lain pihak, persoalan iman adalah
juga persoalan visione mistica. Ia memiliki kebenaran
tersendiri. Kebenaran ini hanya bisa dimengerti melalui
instuisi yang melampaui rasionalitas. Selain itu, kebenaran
dalam iman atau dalam revelasi kristiani dapat juga
dimengerti secara metaforis. Misalnya ketika Yesus
memberi jawaban atas pertanyaan rasul Tomas “Tuhan,
kami tidak tahu ke mana Engkau pergi, bagaimana kami
dapat mengenal jalan?” Yesus menjawab “Akulah jalan,
kebenaran dan hidup. Tak seorangpun yang datang ke
Bapak kalau tidak melalui aku.” (Yoh. 14; 5-6). Di sini,
kebenaran dimengerti sebagai jalan dan hidup yang
membimbing setiap orang menuju Bapak, yaitu menuju
kehidupan kekal. Demikian juga ‘jalan’ dan ‘hidup,
memiliki makna metaforis karena bereferensi pada jalan
keselamatan dan hidup kekal. Yesus berbicara lewat
banyak perumpanaan, dan Ia meminta banyak pengikutnya
untuk mendegerkan dengan saksama. “Siapa yang
mempunyai telinga, hendaklah ia mendegar.”

95
Nah, di sini, untuk sampai kepada pengertian yang
sesungguhnya, kita membutuhkan interpretasi, penafsiran
yang benar. Kita harus sanggup melihat teks, diskursus
dalam terang relasi antara kebenaran dan hermeneutika.
Dewasa ini, khususnya pada masa kontemporer, dalam
konteks filsafat dan teologi modern, hubungan antara
kebenaran dan hermeneutika menjadi amat penting.
Nietzsche pernah memberi kritikan bahwa sesungguhanya
tidak ada kebenaran, yang ada hanya interpretasi. Apa yang
disebut diskursus, atau suatu diskursus yang benar, selalu
membutuhkan interpretasi. Setiap dikursus selalu
dimengerti dalam terang relasi dengan realitas, dan karena
itu, realitas juga tidak bebas dari interpretasi. Pencarian
makna tentang kebenaran harus terbuka terhadap dialog,
percakapan dan deliberasi. Pemikiran tentang kebenaran
hanya dapat diterima dalam terang dialog. Hal ini tidak
dimaksudkan bahwa kita memiliki konsensus karena kita
telah menemukan kebenaran, tetapi lebih dari itu, kita
menemukan kebenaran ketika kita berbincang-bincag dan
membuat delibarasi yang baik. Ada pluralitas interpretasi
kebenaran yang bisa saja menimbulkan kesepakatan atau
sebaliknya pertentangan.

Bertolak dari pandangan Gadamer tentang fusion of


horizon,112 yang ia tempatkan dalam terang hermeneutika
dialog, kita tentu masih memiliki harapan tentang
kemungkinan yang terbaik untuk sampai pada kebenaran
tertentu. Kemungkinan ini terjadi misalnya dengan
keterbukaan terhadap suatu tradisi sebagai warisan
kebenaran. Kita tidak dapat memahami suatu horison tanpa
112
Gadamer, Truth and Method, NewYork: Continuum, 1998.,306.

96
masa lampau. Misalnya horison iman tidak dapat dibentuk
hanya dari satu perspektif. Ada horison tradisi yang harus
dibaca, direfleksikan dan dikembangkan bersama dalam
suatu komunitas iman. Pengertian dan kebenaran tentang
iman selalu terjadi dalam pembauran horison. Pembauran
ini terjadi sepanjang masa. Yang lama dan yang baru
selalu membaur demi suatu nilai yang lebih relevan.

Cinta akan kebenaran harus dilandasi oleh sikap hormat


terhadap kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak direkayasa.
Ia dihadiahkan kepada manusia. Oleh karena itu, kebenaran
tidak terbatas pada domain pengetahuan. Ia juga bukan
bagian dari pencarian intelek manusia. Kebenaran lebih
berhubungan dengan imperatif iman dan tuntutan moral
untuk menghidupi dan melakukannya. Kebenaran adalah
soal praktek hidup. Karena itu, perjalanan hidup ini harus
bermuara pada usaha untuk mengabdi kebenaran.113

11.3. Keadilan

Dari kebenaran menuju keadilan. Itulah ziarah hidup


manusia yang baik. Ziarah ini tentu harus diperkuat oleh
semangat iman cinta akan keadilan. Di sini, kita berbicara
tentang keadilan: Pertama, dari perspektif praksis sosial
sebagai ciri struktur suatu masyarakat yang dilegitimasi
sebagai negara dari segi hukum; dan Kedua, nilai keadilan
sebagai prinsip-prinsip yang menentukan eksistensi negara
sebagai institusi yang adil.

113
Bdk. Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.). Mengabdi Kebenaran, Maumere:
Penerbit Ledalero,2005.

97
Keadilan sebagai praksis sosial mengandaikan suatu situasi,
lingkungan atau kemungkinan di dimana keadilan itu hidup
dan bertumbuh. Setiap situasi atau lingkungan membangun
praksis hidup bersama. Dalam praksis itu, nilai keadilan
dilegitimasi melalui struktur yudisial yang dilegitimasi
melalui sejumlah aspek seperti; hukum tertulis, lembaga
pengadilan, dan para hakim. Mereka adalah pihak-pihak
yang diharapkan bersifat indepen dan memiliki integritas
dalam membela nilai keadilan. Dalam arti tertentu, nilai
keadilan selalu dapat dipertimbangkan sesuai situasi dan
lingkungan tertentu. Karena itu, seperti Ricoeur, untuk
mencari nilai keadilan yang sesungguhnya, keadilan masih
selalu dapat diperbincangkan atau didiskusi secara
bijaksana dan sesuai norma hukum yang ada. Justice does
argue.114 Keadilan dapat diperbincangkan karena untuk
sampai pada keadilan yang sesungguhnya, perlbagai
argumentasi harus diperlihatkan secara reasonable dan
bijaksana dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat.
Sebelum sampai pada tahapan tribunal misalnya, banyak
pihak harus dapat dilibatkan untuk membangun dikursus
rasional melalui mediasi bahasa dialogal yang baik. Bentuk
komunikasi seperti ini mengandung nilai etika: audi
alteram partem. Untuk sampai kepada pengertian dan
keputusan tentang keadilan, semua pihak perlu saling
mendengarkan.

Sering terjadi konflik pengertian tentang keadilan dalam


pelbagai situasi dan level yang berbeda. Karena itu,
pencarian makna tentang keadilan bukan saja soal dalil-
114
Paul Riceur, “Love and Justice,” dalam Paul Ricoeur, The Hermeneutics of Action,
Richard Jearney ed. London: Sage Publication, 1996. 29.

98
dalil yang dibangun (argumentation), melainkan juga soal
keputusan (decision) yang diberikan dari pihak pengambil
keputusan. Para hakim dan jaksa memikul tanggungjawab
atas keputusan yang ditempuh. Tanggungjawab ini
ditunjukkan melalui mata rantai prosedur yang mereka
ambil secara baik dan benar. Kata-kata mereka menentukan
keputusan final yang benar-benar adil. Karena itu sebagai
simbol keadilan, mereka, seperti dewi keadilan, harus
membawa serta tanggungjawab besar pada pundak mereka.
Mereka membawa satu pedang keberanian dan alat timbang
kebijaksanaan. Ini adalah tanda praksis judisial yang
memungkinkan kita untuk mengerti secara formal tentang
nilai keadilan.

Namun, pada sisi yang lain, praksis judisial tentang


keadilan itu perlu juga dipertimbangkan secara ideal. Ideal
ini membawa kita ke pengertian keadilan sebagai suatu
distribusi. Sejak karya Etika Nikomakea dari Aristoteles
sampai pada Teori Keadilan John Rawls, pandangan
tentang keadilan distributif telah menjadi pokok persoalan
yang penting. Di sini, kita mempertimbangkan ide tentang
‘keadilan distributif’ tidak sekedar dalam terang dunia
kehidupan ekonomi, melainkan dari perspektif kehidupan
masyarakat secara umum, peranan anggotanya, tujuan
hidup, hak-hak dan kewajiban mereka, keuntungan dan
kerugian, semuanya dipandang dari konteks keadilan
distributif.

Yang menjadi perhatian utama adalah masyarakat sebagai


sistim distribusi. Namun, kita perlu memahami masyarakat
di sini bukan sebagai suatu entitas yang membedakannya

99
dari anggota-anggota yang membentuk masyarakat itu.
Demikian pula, masyarakat di sini bukan suatu kumpulan
individu. Sejak Aristoteles, persoalan tentang keadilan
dicari dalam hubungan dengan kesetaraan (justice and
equality). Pada level yudisial misalnya, kesetaraan
dimengerti sebagai sikap memperlakukan seseorang dalam
hal yang sama dan dengan cara yang sama di depan hukum.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika konsep
kesetaraan ini dilihat dari aspek yang proporsional dan dari
aspek jumlah. Katakanlah semacam proportional equality
dan mathematical equality dari perspektif Ricoeur.115 Untuk
mencari pengertian keadilan, tampaknya kita perlu
memperhatikan keduanya, yaitu keadilan sebagai distribusi
dan keadilan sebagai kesetaraan (distribution and equality).
Dalam arti yang luas, konsep tentang distribusi
mempertimbangkan nilai moral atas dasar praksis sosial.
Maksudnya perlu ada regulasi yang mengatur konflik
dalam masyarakat. Sedangkan dalam hubungan dengan
kesetaraan (equality), kita berbicara tentang keadilan dalam
terang hak-hak dan kesempatan yang berdampak pada
kohesi sosial di dalam masyarakat. Rawls melihat hal
seperti ini dalam terang kerjasama secara sosial (social
cooperation). Tentu, hal yang paling utama adalah melihat
masyarakat sebagai sistim di mana lewat kerja sama itu,
nilai saling kebergantungan menjadi perhatian utama.

Keadilan adalah kebajikan utama dari semua institusi


sosial, sebagaimana kebenaran adalah kebajikan dari
pengetahuan. Struktur dasar masyarakat dibangun atas
dasar kebajikan keadilan. Ikatan sosial dalam masyarakat
115
Ibid. 31.

100
dibangun atas dasar kerjasana secara sosial, dan bukannya
berdasarkan suatu dominasi. Di sini, struktur dasar identik
dengan kerjasama sosial. Kerjsama adalah benih untuk
keadilan. Dalam teori politik modern, kerja sama sosial
terjadi ketika adalah social agreement yang dilegitimasi
lewat suatu institusi. Selain itu, kerjasama terjadi jika
kebebasan dasar seperti kebebasan kesadaran, kebebasan
pikiran, kebebasan asosiasi, dan jaminan atas hak-hak dasar
seperti hak atas pergerakan, hak atas kedudukan, hak atas
pilihan karier, hak atas milik pribadi, dan hak partisipasi
politik.

Keadilan sebagai kebajikan utama diharapkan dapat


membentuk masyarakat sebagai sistim kerjasama yang fair
(society as a fair system of cooperation). Ini adalah dasar
dari budaya politik publik dari masyarakat yang
demokratis. Budaya ini perlu memilik ideal tentang
kewarganegaraan sebagai orang-orang yang bebas dan
setara. Memiliki ideal tentang masyarakat yang tertata
dengan baik, yang dihidupkan oleh nilai keadilan yang
bersifat publik.

Keadilan diharapkan dapat membentuk suatu masyarakat


yang tertata dengan baik (well-ordered society).
Masyarakat ini diatur secara efektif oleh konsepsi keadilan
publik. Maysarakat yang tertata dengan baik identik dengan
masyarakat sebagai sistim koperasi sosial yang fair. Dari
keadilan, kita berbicara tentang kasih. Kasih dan keadilan.
Kasih berbicara, keadilan bertindak. Kasih menuntut,
keadilan menjalankan. Kalau kasih berbicara melalui
bahasa kasih, maka keadilan memperlihatkan praksis hidup.

101
12. METODE

Term ‘metode’ sebagaimana etimologi Yunani, ,


diturunkan dari kata metá-odós, yaitu ‘jalan menuju suatu
pencarian.’ Jalan ini harus diikuti agar sampai pada suatu
tujuan.116 Dalam filsafat klasik, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan berkenaan dengan metode. Pertama, Plato
berbicara tentang pencarian yang didasarkan pada sesuatu
yang ideal. Yang ideal bisa dikatakan sebagai suatu
determinasi. Akses untuk mencapai yang ideal membawa
kita kepada suatu determinasi. Kedua, filsuf Aristoteles
menjelaskan metode sebagai jalan yang ditempuh sebelum
seseorang sampai pada pengetahuan. Bagi Aristoteles,
metode mendahului pengetahuan. Metode adalah akses
menuju pengetahuan. “Therefore one must be already
trained to know how to take each sort of argument, since it
is absurd to seek at the same time knowledge the way of
attaining knowledge…”.117 Ketiga, metode harus
berhubungan dengan objek pengetahuan. Suatu metode
dikatakan valid jika berhubungan dengan pengetahuan
tertentu. Ia dibatasi oleh objek pengetahuan itu. Misalnya
yang eksata hanya untuk matematika. Keempat, sebagai
konsekuensi, banyak pemikir bertumbuh dari variasi
metode yang mereka kembangkan berdasarkan objek
penelitian mereka.

116
Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, vol. v. Milano: Vita e
Pensiero,1997.,173.
117
Aristotle, The Complete Works of Aristotle, edited by Jonathan Barnes, vol. 2.,
Princeton: Bollingen, Series LXXI., 1995., 1527.

102
Dengan demikian, metode adalah suatu proses yang dilalui
jika seseorang ingin mencapai suatu pengetahuan. Untuk
mencapai esensi sesuatu, maka pengetahuan itu harus
ditempuh melalui suatu proses, dan proses itu terletak pada
sesuatu yang lain, dan bukan pada pengetahuan
itu.118Dalam ilmu pengetahuan, suatu metode dibicarakan
dalam konteks prosedur penemuan suatu konsep, dan teori
bersamaan dengan hasil dan evaluasinya. Prinsip utama
untuk mengaplikasi metode dalam dunia pencarian ilmu
pengetahuan adalah formulasi persoalan, elaborasi konsep
dan hipotese, struktur teoretis, konstruksi model empiris
sebagai bentuk ujian yang dihasilkan dari rumusan teoretis,
evaluasi kesetiaan dan validitas prosedur empiris,
konfrontasi hipotese dengan isu-isu terkait, interpretasi
hasil-hasil yang dicapai, reformulasi persoalan-persoalan
baru. Metode ilmu pengetahuan perlu mempertimbangkan
fakta, aturan main metode, teori, dan prosedur. Metode
ilmu pengetahuan terbuka terhadap kritk, realis, koheren,
sebagai hasil dari formalisme logis-matematis, sistimatis
dan eksperimental.119

Mari kita lihat beberapa metode dasar dalam perkembangan


filsafat dari waktu ke waktu. Metode ini didasarkan pada
pencarian para filsuf sesuai minat mereka.

12.1. Metode Geometri

118
Hegel, Scienza della Logica, vol. 2. Roma: Editori Laterza, 1999.,433
119
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques,
Dictionnaire 2., (PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1627-8.

103
Metode pertama yang bisa diaplikasi ke dalam pencarian
filosofis dan ilmu pengetahuan adalah metode klasik yang
dikembangkan Descartes dalam Discours de la Methode,
atau Diskursus tentang Metode. Sejak masa muda,
Descartes tertarik pada dunia matematika. Dunia ini
membawa dia ke usaha untuk mengembangkan teori
geometri. Tujuannya adalah untuk mendekati kebenaran.
Bagi Descartes, sesuatu dikatakan benar jika ia eviden bagi
pikiran. Yang eviden bagi pikiran adalah ide-ide yang
jelas dan distinktif (clara et distincta). Tidak ada lagi
keraguan di dalamnya. Yang beum jelas dan distinktif
dianggap sebagai persoalan dan karena itu ia harus
dianalisa. Analisa itu dimulai dari hal-hal yang sederhana,
gampang dan terus menuju ke hal-hal yang rumit atau sulit.
Sesudah itu kita perlu membuat suatu evaluasi secara
keseluruhan.120 Ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan
untuk mencapai suatu kebenaran.

Pertama: Aturan dasar: evidensi (yang benar hanya yang


eviden bagi rasio), analisa (menguji setiap persoalan
sampai pada elemen terakhir), sintese (bergerak dari hal-hal
sederhana, gampang sampai kepada yang hal-hal yang
rumit), dan kontrol (memperhatikan kembali semua elemen
yang dianalisa dan memerika semua sintese untuk lebih
mendapatkan evidensinya.121Kedua, aturan aplikasi. Untuk
menguji dan memeriksa prinsip-prinsip pengetahuan yang
ada, kita perlu megeliminasi segala aspek yang salah atau
tidak benar sejauh semaunya masih dapat diragukan. Hal

120
Cartesio, Discorso sul Metodo, Milano: Bompiani,2002.,19-28.
121
Giovanni Reale dan Dario Antiseri, Storia della Filosofia, vol. 2, Roma: Editrice la
Scuola,1998., 306.

104
ini dibuat agar kita bisa mengurangi keragu-raguan. 122
Ketiga, prinsip pengetahuan yang baik: cogito, ergo sum
(eksistensi pikiran): dari keraguan berpikir, kita
menegaskan satu hal yang jelas, eviden dan pasti, yaitu
bahwa saya ada, dan karena itu saya eksis. Hal ini
berkenaan dengan bagian khusus dari pikiran yaitu bagian
rasional/imajinasi intelek dan bagian kehendak atau
kebebasan. Bagian rasional/imajinasi merupakan sumber
ide. Sumber ini bersifat bawaan/innate, berasal dari luar
dan dimasukkan ke dalam pikiran. Ide atau pikiran ini
berasal dari Tuhan, yang mahasempurna, substansi tak
berhingga, dan abadi. Sedangkan kehendak dan kebebasan
bagian dari kodrat manusia. Dan Keempat Tuhan adalah
dasar terakhir dari segala-galanya.123

Hal yang perlu kita perhatikan secara serius dalam


hubungan dengan Descartes adalah perhatiannya pada
usaha untuk mencari kebenaran lewat dubbium metodicum.
Proses pengetahuan harus ditempuh melalui Analisa yang
cermat sebelum kita sampai pada tahap membuat suatu
sintese. Sebelum Descrates, Aristoteles telah beribcara
tentang Analitici Primi sebagai dasar deduksi lewat terori
silogisme secara umum dan Analitici Secondi, dasar
deduksi lewat demonstrasi, yang tidak lain merupakan
bagian dari geometri. Boleh jadi dalam perkembangannya,
metode geomatri dipakai dalam aplikasi ilmu matematika,
fisika dan biologi.

122
Ibid.
123
Ibid.

105
Namun yang penting bagi Descartes, agar sampai pada
evidensi pengetahuan, adalah ‘dubbio’ atau keraguan
sebagai tahap yang penting. dubbium metodicum adalah
metode filsafat yang khas dan boleh jadi amat filosofis
lewat Analisa dan sintese. Kita melihat tiga hal pentingi di
sini: keraguan, analisa dan sintese. Ketiganya penting
untuk mencari jalan pengetahuan yang benar. Filsafat harus
bertolak keragua-raguan, bergerak menuju Analisa dan
sintese. Semuanya tentu membutuhkan analisa dan
kalkulasi logika yang tepat sebelum sampai kepada sintese.

12.2. Metode Eksperimen: Berawal dari Problem

Salah satu metode yang khas dalam dunia ilmu


pengetahuan adalah metode eksperimen. Metode lahir pada
awal abad modern bersamaan dengan munculnya beberapa
pemikir eksperimental seperti misalnya Francis Bacon,
Galiei dan Newton.

Lewat karyanya Novum Organum, Bacon mengembangkan


pandangannya tentang Prinsi- Prinsip Interpretasi Alam.
Prinsip ini bertujuan untuk merestorasi ilmu pengetahuan
dan seni. Bagaimana prosesnya? Ada tiga hal penting:
Cikal bakal/awal, Metode Pembuktian dan Tujuan
Pengetahuan Manusia. Pertama: Cikal Bakal/awal: Manusia
sering mengalami kebingungan atas hal-hal yang
berhubungan dengan alam, dan karena itu, sering muncul
berhala-berhala. Untuk mengatasi hal itu, Pertama, perlu
ada pembuktian yang berasal dari aksioma-aksioma
pengalaman, yaitu melalui klasifikasi atas data-data yang
ada, memeriksa data-data yang tidak tampak,

106
memperhatikan tingkatan-tingkatan data yang berbeda.
Lebih jauh, perlu dibuat induksi untuk mengeliminasi
hipotese yang keliru ketika kita menjelaskan femonen alam.
Selain itu, perlu bersikap objektif terhadap hipotese yang
terkait sesuai data yang diberikan. Kedua, memperhatikan
juga fenomen-fenomen baru atas dasar eksperimen. Tujuan
akhir dari pengetahun menurut Bacon, secara konstitutif,
memahami data-data dari alam melalui interpretasi secara
lengkap atas fenomen-fenomen, yaitu mengerti struktur
fenomen (skema laten) dan hukum-hukum yang mengatur
femonen alam (proses laten). Secara operatif,
memperhatikan generasi baru data-data alam khusus
transformasi materi pada alam.124

Galilei mengembangkan metode eksperimental dengan cara


mengobservasi femonen-fenomen sederhana namun sambil
memperhatikan keseluruhannya secara kuantitatif. Hal ini
dibuat melalui analisa geometris yaitu lewat formulasi
suatu hipotese tentang sebab terjadinya suatu fenomeni,
lalu membuat deduksi sebagai konsekuensi eksperimen.
Deduksi ini dilihat sebagai hasil dari hipotese. Namun
hipotese ini harus berangkat dari observasi. Observasi ini
kemudian menjadi dasar petimbangan untuk laboratorium.
Metode ini dilihat sebagai dasar pembuktian ilmiah untuk
mendeteksi sebab-sebab fenomen yang terjadi. Metode
eksperimen hanya cocok untuk hal-hal mekanis seperti
dalam ilmu fisika. Hal ini kemudian dikembangkan oleh
Newton dalam teori fisikanya, Secara umum, metode
eksperimen kemudian berkembang menjadi dasar
positivisme bagi para filsuf empiris seperti Stuart Mill.
124
Ibid.

107
Dalam perkembangan lanjut, metode ini tetap menjadi
dasar utama bagi ilmu pengetahuan modern khususnya bagi
kamu neopositivisme dan positivisme logis.

Filsuf yang secara serius memperhatikan postivisme logis


dalam filsafat, secara khusus dalam ilmu pengetahuan
adalah Karl Popper. Menurut Popper, pengetahuan yang
sungguh rasional harus berkembang dari tiga tahap penting:
problem-teori-kritik. Kemajuan pengetahuan hanya
mungkin bila bergerak dari persoalan menuju afirmasi teori
dan dari teori yang selalu terbuka terhadap kritik. Kritik
hanya mungkin dimengerti dalam terang falsifikasi.
Semakin dikritik, semakin difalsifikasi, maka ada
kemungkinan kita semakin mendekati suatu kebenaran
rasionalitas pengetahuan tertentu. Pada batas di mana tidak
ada lagi kemungkinan untuk falsifikasi, suatu teori
pengetahuan dapat diterima sebagai yang benar. Namun,
kebenaran di sini tetap dalam taraf tentatif.

Kriteraria keabsahan teori suatu pengetahuan ditentukan


oleh keterbukaan pengetahuan itu terhadap falsifikasi dan
kritik. Keterbukaan seperti ini seharusnya terjadi juga
dalam verifikasi eksperimental. Verifikasi eksperimental
terbuka terhadap hipotese yang selalu dikonfirmasi dengan
situasi empiris. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada
metode ilmu pengetahuan dalam arti sesungguhnya. Yang
ada hanyalah problem dan usaha untuk memecahkan
problem. Penemuan kebenaran pengetahuan dibangun dari
persoalan tertentu dan usaha tentatif untuk memecahkan
persoalan itu melalui suatu teori yang baru. Namun,
berangkat dari kemungkinkan manusia untuk selalu jatuh

108
dalam kesalahan dan kekeliruan, setiap teori baru selalu
terbuka juga terhadap suatu kritik. Dengan demikian,
penemuan kebenaran pengetahuan berkembang dari suatu
persoalan menuju persoalan lain yang lebih dalam.
Perkembangan ini boleh dikatakan sebagai bagian dari ciri
kebenaran pengetahaun yang bersifat tentatif.

Perlu disadari di sini, bahwa suatu problem tidak lahir dari


suatu kekosongan. Setiap problem memiliki prosuposisi.
Presuposisi itu datang dari ketidaksesuaian antara pikiran
dan fakta, antara ide dan realitas. Ketidaksesuaian ini
menimbulkan persoalan dan usaha untuk mencari
pemecahan atas persoalan itu.

12.3. Metode Transendental

Dari tradisi skolastik, terminologi transendental bermuara


pada atribut-atribut yang menurut kategori Aristoteles
diaplikasikan ke dalam sejumlah konsep transendentalia
seperti unum (kesatuan), verum (kebenaran), bonum
(kebaikan), dan pulchrum (keindahan). Dalam
perkembangan selanjutnya, khususnya dalam filsafat
Immanuel Kant, sejumlah kategori transendentalia ini tidak
lagi menjadi perhatian utama. Kant merubah paradigma
dalam filsafat dan bahkan perubahan ini boleh dikatakan
sebagai suatu transformasi atau suatu revolusi dalam
berpikir. Revolusi itu dimulai dengan sikap skeptik, yang
tentu menurut Kant, sikap ini tidak lain adalah kritik. Kalau
kita meneliti secara lebih cermat, terminologi kritik, kita
sepertinya dihantar untuk kembali ke dubbium
methodicum Descartes. Setiap usaha untuk menyangkal

109
atau mempersoalkan sesuatu, usaha itu berawal dari
dialektika antara kesadaran dan objek kesadaran. Pada
prinsipnya, dialektika ini terbentuk dari relasi subyek -
obyek.125 Lebih jauh, relasi ini hanya dapat dimengerti
melalui mécanisme de la connaissance,126 atau mekanisme
pengetahuan. Struktur mekanisme ini dilihat sebagai hal
yang sangat fundamental dalam metode transendental.
Mangapa transendental?

Menurut Kant, transedental adalh semua kondisi apriori


yang memungkinkan pengetahuan. Kondisi apriori berarti
kondisi non-empiris. Dengan perkataan lain, transendental
berhubungan dengan isi abstraksi pengetahuan dalam
bentuk formal logis. Pengetahuan apriori berarti
pengetahuan yang secara logis mendahului (anterior) atau
independen dari setiap pengalaman.127

125
Bdk. Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques,
Dictionnaire 2., (PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 2636-2639
126
Ibid.
127
Frank O’Farrel s.j. Per Leggere la Critica della Ragione pura di Kant, Roma:
Editrice Pontifica Universitá Gregoriana, 1989, 13,21.

110

Anda mungkin juga menyukai