1. INTRODUKSI
1
Dalam keyakinan iman kristiani, hal yang diimani sebagai
awal mula dapat dirunut ke sumber asali, yaitu Firman.
“Pada awal mulanya adalah Firman; dan Firman itu
bersama-sama dengan Allah. Firman itu adalah Allah”
(Yoh.1;1). Kalau kita mengikuti penginjil Yohanes, kita
diberi petunjuk, dan petunjuk itu jelas bahwa sebagai orang
kristiani, apa yang disebut in principio, berasal dari suatu
sumber asali. In principio, pada awal mulanya adalah
Allah. Allah bersabda, maka segala sesuatu terjadi, dan
sabda itu adalah Allah yang merevelasikan diri-Nya kepada
manusia.
2
tempat dan pada suatu saat tertentu. 1 Atas dasar itu, orang
Yunani bisa saja percaya, tetapi bisa juga mereka tidak
percaya.
3
agar sesuai konteks. Kita berfilsafat dengan kekuatan
tradisi, namun kita perlu selalu terbuka terhadap konteks.
Tentu di sini, tuntuntan filsafat terhadap konteks selalu
disertai dengan kemampuan interpretasi teks dan realitas
secara baik dan benar. Berpegang pada tradisi, terbuka
terhadap konteks dan interpretasi yang benar adalah
prasyarat penting agar filsafat selalu tetap memilik prospek.
Singkatnya kita harus berfilsafat dari banyak perspektif
agar cara kita berfilsafat tetap memiliki prospek. Kita perlu
belajar dari banyak perspektif sambil terbuka terhadap
konteks agar identitas filsafat yang prospektif tetap terjaga.
2. KONSEP-KONSEP DASAR
4
Kita mulai dengan konsep-konsep dasar (basic concepts).3
Tentu, pertanyaan yang muncul adalah konsep-konsep
dasar tentang apa? Apa itu konsep dasar? Pertanyaan ini
mengundang kita untuk mengartikan konsep dalam terang
kekuatan makna untuk menghadirkan sesuatu. Suatu
konsep berbicara tentang suatu realitas. Konsep adalah
representasi sesuatu yang melaluinya kita memiliki akses
kepada realitas tertentu. Misalnya ketika kita berbicara
tentang konsep ‘alam’, ‘negara,’ ‘kemanusiaan,’ ‘Tuhan,’
atau apa saja, kita dihantar kepada realitas yang diwakili
konsep-konsep itu.
3
Martin Heidegger, Basic Concepts, translated by Gary E. Aylesworth, Indiana:
Indiana University Press,1998.
4
Ibid., 2.
5
yang mendasari konsep itu. Kita dipanggil untuk memulai
dari yang paling dasariah. Kita harus menyelam lebih
dalam dan menukik lebih jauh. Panggilan ini datang dari
sesuatu yang mendalam, yaitu dari kedalaman itu sendiri.
Kedalaman sedang memanggil kita untuk berpijak padanya.
Kedalaman menundang kita untuk menukik lebih jauh.
6
harus memiliki karakter dasar, dan karakter itu adalah
kerinduan untuk mengetahui sesuatu dari dasar yang
terdalam. Kerinduan ini menyadarkan kita bahwa kita
selalu tak pernah cukup.
7
suatu determinasi. Kita menyebutnya ‘determinasi pikiran.’
Berpikir selalu berarti berpikir tentang sesuatu sebagai
‘sesuatu yang tertentu.’ Ilmu logika berhubungan dengan
ilmu berpikir, ilmu yang menuntut kita membuat
determinasi tentang sesuatu. Di sini, Logos berarti ratio,
akal budi, kekuatan pikiran untuk menentukan sesuatu.
Tetapi logos, lebih jauh berhubungan dengan Firman,
Sabda, yang datang dari sumber segala sesuatu. Ia adalah
awal dari segala sesuatu. Sumber yang mendeterminasi
segala sesuatu, karena ia sendiri adalah akal budi ilahi.
8
sebagai ada dalam pengertian yang paling universal.
Ketiga, ontologi sebagai teori tentang ada dalam pengertian
sebagai substansi. Keempat, ontologi sebagai teori tentang
ada sebagai yang supra-indrawi.7 Pandangan ini dianggap
lebih maju karena Aristoteles menukik lebih dalam ketika
ia berpikir tentang realitas dalam pengertian yang lebih
jauh.
7
Giovanni Reale, Il Concetto di Filosofia Prima, L’unitá della Metafisica di Aristotele,
Milano: Vite et Pensiero, 1993., xxvii.
8
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques, Dictionnaire 1.,
(PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1616.
9
Epistemologi: Ilmu yang berbicara tentang pengetahuan
atau studi tentang pengetahuan manusia. Karena ia
memperhatikan dimensi pengetahuan manusia maka studi
epistemologi sering disebut étude del la connaissance.
Dalam tradisi Anglo-Saxon studi ini disebut the philosophy
of science. Namun dalam tradisi continental, khsususnya
Prancis, studi ini lebih diperhatikan dari perspektif teoretis;
dan karena itu ia disebut théorie de la connaissance atau
gnoséologie.9 Sebenarnya yang diperhatikan dalam
epistemologi adalah analisa pelbagai bentuk pengetahuan
dan kritik filosofis tentang pengetahuan manusia. Namun,
analisa dan kritik ini perlu dilihat lebih dari perspektif
refleksif-rasional. Pada umumnya, epistemologi lahir
sebagai reaksi terhadap beberapa persoalan ini: Pertama,
persoalan tentang dasar matematis, formalisme logis, dan
prinsip-prinsip fisika, yang semuanya diperbaharui dalam
filsafat ilmu pengetahuan. Kedua, persoalan matematisasi
logika lewat analisa bahasa. Hal ini dibuat sambil
memperhatikan proposisi-proposisi yang membentuk
pengetahuan ilmiah. Analisa ini lebih dipusatkan pada
analisa formal bahasa untuk sampai pada kondisi validitas
dan verifikasi kebenaran. Ketiga, diversifikasi atau distinksi
ilmu dalam kategori ilmiah dan rasional atas dasar prinsip,
metode dan konsep-konsep pengetahuan partikular. 10
10
atas kehadiran realitas. Sesuai maknanya, term
‘fenomenon’ (to phainóménon) dipahami dari verba ϕαινϵσθαι ,
yang berarti ‘yang memperlihatkan dirinya’ (to show itself).
Ini dapat juga berarti suatu manifestasi. Sesuatu memberi
diri dari dirinya sendiri. Heidegger berkata, phenomenon,’
the showing-itself-in-itself, signifies a distinctive way in
which something can encountered.11 Pengertian seperti ini,
telah dilihat oleh Husserl sebagai the principle of
principles. Everything that presents itself… originarily in
‘intuition’ is to be taken simply … as it gives itself.12
Heidegger kemudian membelokan fenomenologi ke
ontologi. Menurutnya studi fenomenologi berhubungan
dengan sikap to let that which show itself be seen from
itself in the very way in which it shows itself from itself.13
Pengertian ini tentu lebih sesuai dengan moto
fenomenologi “back to the things themselves”- kembali ke
realitas apa adanya. Artinya melalui fenomenologi kita
dihantar untuk menyelami realitas apa adanya, dan hal itu
dilakukan dengan memahami struktur esensial pengalaman
kita tentang kenyataan hidup ini.
11
Heidegger, Being and Time, 51,54.
12
Edmund Husserl, Ideen, Vol. p 43.
13
Heidegger, Being and Time, 58.
11
Simone de Bouvoir, Merleau-Ponty, dan Albert Camus.
Mereka semua adalah para pemikir yang memperjuangkan
kebebasan dari persoalan eksistensial tentang absurditas
dalam konfrontasinya dengan tanggungjawab manusia atas
kebaikan hidup. Tanggungjawab ini kemudian dilihat oleh
Sartre sebagai bagian esensial dari humanisme. Ia
kemudian mencetuskan pandangan l’existentialism est un
humanisme. Pencarian makna dan perjuangan untuk
humanisme harus dimulai dari persoalan yang paling
eksistensial dalam kehidupan manusia dan persoalan itu
adalah kebebasan fundamental.
12
Politic, 260 d, hermeneutika lebih dilihat sebagai tékhnē
hermēneutikē, atau seni interpretasi tentang orakel suci dan
tanda-tanda ilahi bagi dunia profan sebagai sesuatu yang
bermakna. Dalam arti yang lebih luas, khususnya dari
perspektif filsafat Aristoteles, kita temukan konsep
hermēneía, yang kalau dilihat dari konteks Perí
hermēneías, suatu pengertian yang lebih terpusat pada
elemen-elemen dasar yang membentuk proposisi-proposisi
yang berkenaan dengan interpretasi. Tradisi Latin
kemudian menyebutnya de interpretatione yang menurut
Aristoteles hal ini berhubungan dengan persoalan bahasa,
proposisi, pikiran dan kata. Tradisi Latin yang sama
berbicara tentang hermeneutica sebagai ars interpretandi
atau seni interpretasi, bagian penting dari tradisi kristiani. 14
13
dari apa yang telah kita pahami adalah bagian dari
pengalaman manusia di tengah dunia pada umumnya. Ia
berhubungan dengan pengetahuan dan kebenaran. Ia
menuntut suatu insight dan kebenaran. Pusat perhatian
hermeneutika di sini adalah penelitian yang mendalam
tentang fenomen pengertian. Namun fenomen ini selalu
menyejarah dan ada hubungan kesadaran kita yang
menyejarah. Efektivitas kejadian dari pengertian selalu ada
hubungan dengan sejarah.
16
Martin Heidegger, Basic Writings., 193.
17
Paul Ricoeur, “Reply to Don Ihde,” dalam The Philosophy of Paul Ricoeur, Chicago:
Chiago and La Salle Illinois.,1994. 73
14
Dari semua konsep dasar di atas, kita dihantar untuk
menyelami rahasia kesanggupan manusia. Rahasia itu
adalah bagaimana manusia mencintai pengetahuan bertolak
dari dasar kerinduan yang terdalam.
3. THAUMAZEIN
18
Aristoteles, Metafisica, I, 1, 980a, 1
19
Ibid., 2, 982b,12-13.
20
Palto, Teteus, 155,d.
15
para dewa untuk umat manusia, dan ia diidentikkan dengan
filsafat. Iridea adalah juga puteri dari Taumante, nama yang
menurut asal usul Yunani dikaitkan dengan verba
thaumazein, merasa heran. Jadi, baik Aristoteles maupun
Plato, sama-sama menegaskan pengakuan mereka bahwa
‘kerinduan untuk mengetahui’ selalu berawal dari
‘keheranan’ atau ‘kekaguman’ akan hal-hal yang berada
dan terjadi di dunia ini.
16
keheranan? Bagaimana keheranan menggerakkan
kerinduan manusia untuk mengetahui? Unutk pertanyaan
ini, Aristoteles memberi kita jawaban:
17
membebaskan diri dari mitos menuju filsafat atau atau dari
ignorantia menuju pengetahuan. Pada awal mula, orang-
orang Yunani belum mempunyai distingsi yang jelas antara
filsafat dan pengetahuan.
18
muncul, namun ia sangat mahal dan berharga. Ia lahir dari
akar kedalaman jiwa yang haus untuk menciptakan diri. Ia
tidak mengekspresikan kebebasan. Ia ada di dalam
kebebasan untuk mencari. Karena itu, ia melampaui dari
sekedar keinginan atau kebutuhan (the need).
19
Sebaliknya, keheranan yang dimaksudkan Plato dan
Aristoteles tidak sedikitpun berintensi estetis religius. Ia
adalah murni suatu sikap teoretis-filosofis yang senantiasa
terarah kepada kerinduan akan pengetahuan. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa kerinduan? Dan
mengapa pengetahuan?
4. BERFILSAFAT: BERTANYA
20
mengapa suatu objek berada sebagai yang ini, dan bukan
sebagai yang itu? Mengapa sesuatu berada demikian?
Mengapa kerbau berada sebagai kerbau dan bukan sebagai
manusia? Apa yang membuat manusia seperti manusia dan
bukannya seperti malekat? Setiap rasa heran, kalau disadari
dengan baik, akan menimbulkan pertanyaan. Barangsiapa
yang merasa heran, ia akan selalu ingin bertanya. Ia berada
dalam situasi sedang mencaritahu. Ia ingin mendapatkan
jawaban atas setiap pertanyaan yang muncul.
21
berusaha menjelaskan setiap pertanyaan kita dengan baik.
Gadamer berkata “we cannot have experiences without
asking questions.”24 Kesadaran akan pertanyaan atas setiap
situasi dan pengalaman kita berawal dari apa yang pernah
Sokrates wariskan sebagai docta ignorantia, yaitu
menyadari diri sebagai pihak yang belum mengetahui apa-
apa. Dalam konteks ini, kesadaran akan ketidaktahuan di
dalam diri adalah dasar negativitas radikal “the knowledge
of not knowing.”25 Hal ini membuka ruang untuk selalu
bertanya dan selalu bertanya. Mengapa?
22
and that means knowing that one does not know.” 26
Prioritas dalam filsafat adalah pertanyaan dan bukannya
jawaban. Filsafat tidak bertujuan untuk menyiapkan
jawaban komprehensif. Kegagalan filsafat akan terjadi
kalau filsafat itu menyajikan sejumlah jawaban yang fixed
sebagai doktrin kebenaran yang harus ditaati. Sekali lagi,
prioritas filsafat adalah pertanyaan. Ketika kita bertanya,
kita siap untuk membuka suatu ruang yang bar. Di dalam
ruang itu, kita harus berani mencari sendiri jawabannya.
Berani bertanya berarti berani menemukan sendiri jalan
tertentu. Berani membuka suatu kedok. Berani
membongkar. Berani menggonggong. “To ask a question
means to bring into the open. The openness of what is in
question consists in the fact that the answer is not settled.” 27
Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang selalu
mengusik kesadaran kita. Ia mengusik karena ia datang
sebagai pengganggu. Esensi pertanyaan adalah
mengganggu. Ia mengganggu dengan cara membongkar.
26
Ibid.
27
Ibid. 363.
28
Ibid.
23
Suatu pertanyaan dapat memberi peringatan, tetapi
peringatan itu bisa saja menghadirkan sesuatu di luar dari
presuposisi awal.
24
di dalamnya antitesis jawaban antara yang ‘positif’ dan
yang ‘negatif.’
Seni bertanya adalah seni untuk terus tetap dan setia dalam
bertanya. Karena itu, seni untuk bertanya tidak
berhubungan dengan suatu techne, sesuatu yang artifisial
hasil dari suatu rekayasa. Seni bertanya lahir dari
‘kerinduan’ akan pengetahuan, yaitu kerinduan untuk
bertanya dan selalu mau pergi jauh dari setiap pertanyaan
yang diajukan. Di sini, tentu, seorang penanya adalah
seorang yang suka berpikir karena dengan bertanya, ia
berpikir. Bertanya berarti berpikir. Ini tidak berarti bahwa
25
orang yang tidak bertanya, ia tidak berpikir. Ia berpikir
namun ia tidak memiliki gairah untuk pergi lebih jauh atau
keinginan untuk mengetahui lebih mendalam. “The art of
questioning is the art of questioning ever further, i.e., the
art of thinking.”31 Bertanya berarti selalu tetap berada
dalam keadaan terbuka. Orang yang suka bertanya adalah
dia yang suka tinggal dalam ruang terbuka, dan dalam
ruang itu, dia ingin selalu berpikir.
31
Ibid. 367.
32
Ibid. 369.
26
dasar pengetahuan manusia. Manusia bertanya dan manusia
harus menemukan jawaban atas setiap pertanyaannya.
27
Tradisi berpikir Yunani telah mewariskan refleksi dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang
segala sesuatu. Mereka bertanya sambil berusaha untuk
mencari jawaban lewat penjelasan-penjelasan yang
memadai. Namun, semunya berawal dari rasa heran tentang
kejadian di dunia ini. Kejadian itu membuat manusia
merasa heran dan bertanya mengapa segala sesuatu berada
demikian?
28
paling terakhir (causa prima), ke dasar yang terdalam.
Boleh jadi, ia adalah pertanyaan yang paling fundamental
dari segala pertanyaan. Mengapa sesuatu itu berada
demikian? Mengapa ada sesuatu? Apa yang mendasari
sesuatu sehingga sesuatu itu berada demikian?
29
terdalam, dan apakah itu adalah suatu kebenaran? Apakah
dasar yang terdalam yang dicari oleh pertanyaan itu
adalah: 1) dasar yang memang sesungguhnya paling
pertama (a primal ground/Ur-grund); atau, 2) apakah
pertanyaan itu membawa kita bukan ke dasar yang
sesungguhnya, sehingga pertanyaan itu menjerumuskan
kita ke dalam jurang tanpa dasar (abyss/Ab-grund)?; atau
3) boleh jadi, apakah pertanyaan itu tampaknya menggiring
kita ke sesuatu yang tampak seolah-olah sebagai dasar,
namun sebenarnya, ia bukanlah dasar yang sesungguhnya
(it is a non-ground/Un-grund)? 35 Jadi, di sini, kita perlu
berwaspada ketika kita ingin berfilsafat untuk mencari
suatu dasar yang terdalam.
30
Di sini, pertanyaan apa yang mendasari sesuatu sehingga
sesuatu itu berada dengan cara tertentu, menjadi pertanyaan
yang paling luas/umum (the broadest) dan paling
mendalam (the deepest). Ia adalah pertanyaan yang paling
otentik dari semua pertanyaan.
31
dari mana sesuatu itu berada. Pencarian ini membawa kita
ke arche, the beginning, titik awal dari mana pengetahuan
dimulai.
32
principium rationis sufficientis. Prinsip ini, dalam terang
pemikiran modern dilihat prinsip berfilsafat. Berfilsafat
berarti bertanya tentang dasar terdalam dari segala sesuatu.
Mengapa kita sering bertanya, dan mengapa setiap
pertanyaan kita selalu tentang realitas yang ada, dan
bukannya? Kita perlu menyadari bahwa berfilsafat tidak
membatasi kita hanya pada persoalan ontologis atau
persoalan metafisis. Ada hal yang lebih jauh dan lebih luas
untuk dipertanyakan. Seperti Nietzsche, kita tentu
menyadari panggilan kita untuk selalu bertanya, dan
sebagaimana panggilan seorang filsuf untuk selalu
bertanya, kesadaran ini selalu menjadi bagian dari hidup
kita untuk selalu mencari hal-hal yang luar biasa, luhur dan
mulia. A philosopher is a man who never stops experience,
see, hear, suspects, hope and dream extra-ordinary. To
philosophize, … is an extraordinary inquiry into extra-
ordinary.38 Untuk sampai pada pencarian yang sungguh
luhur, luar biasa dan mulia, kita tentu harus dibekali dengan
pengertian yang benar tentang filsafat.
6.
38
Ibid. 12
33
disebut le plus haut ideal atau ideal tingkat tinggi.39
Dunia ini sejak masa klasik digadang-gadang sebagai un
ideal de vie40 atau acuan kehidupan. Acuan itu bisa juga
dilihat sebagai petunjuk, atau akses menuju ke
pengetahuan. Sebagai petunjuk, ia di dalam dirinya
memiliki kualitas; dan kualitas itu dapat dirunut dari
pengertan yang memiliki makna sebagai terang.
adalah cahaya yang darinya, sesuatu yang lain dapat
dikenal. adalah terang yang darinya lahir hal yang
lain. adalah sumber yang memungkinkan sesuatu
yang lain dapat dilihat. Ini berarti adalah pembawa
terang dalam kegelapan. Dengan perkataan lain, melalui
kita dimungkinkan untuk mengerti suatu hal. 41
Menurut Aristotels, mengandung di dalamnya hal
yang dapat dimengerti (inteligible) dan hal yang sakral
(divine). Ia, di dalam dirinya, jelas menurut esensinya.
Mungkin terkadang manusia tidak sanggup mengertinya
karena kekurangan di dalam diri manusia, namun, ,
di dalam dirinya, menurut esensinya, adalah terang. 42
Esensinya adalah terang dan ia adalah sumber yang
memancarkan terang.
34
dan mempunyai panggilan untuk membawa terang. 43 Figur-
figur seperti Prometheus, Sokrates, dan Yesus sering dilihat
sebagai , mereka yang membawa terang bagi yang
lain.
35
harus menjadi bagian dari filsafat. Bahkan lebih dari itu, ia
harus merasa yakin dan pasti bahwa filsafat adalah
hidupnya. Filsafat adalah panggilannya. Filsafat adalah
makanannya setiap hari.
45
Gilles Deleuze et Felix Guattari, Qu’est-ce que la Philosophie ? p.8
46
Ibid.
47
Ibid. 10.
36
analitis terhadap dunia dan terhadap diri sendiri. Untuk
sampai pada horison seperti ini, kita perlu membangun
komunitas berpikir bersama dalam dimensi dialog kritis,
deliberatif dan penuh tanggungjawab. Komunitas ini
mengingatkan kita kembali tentang apa yang sejak awal
Aristoteles sebut sumphilosophein
7. SUMPHILOSOPHEIN
Berawal dari kesadaran tentang diri kita yang sosial, kita
selalu menjalani hidup ini secara komunal. Kita
membentuk komunitas dan institusi bersama. Kita ingin
belajar bersama dalam rumah akademis yang hidup dan
dinamis. Kita membangun persaudaraan akademis dengan
jiwa intelektual yang tinggi. Sejak zaman klasik, khususnya
pada masa Plato dan Aristoteles, kesadaran tentang
kebersamaan ini sudah amat kuat. Kesadaran itu dimulai
dari kenyataan yang paling sederhana misalnya, bermain
bersama, makan bersama, berdiskusi bersama, berolahraga
dan bekerja sama dalam kelompok. Semuanya dijalankan
dengan suasana persaudaraan di dalam suatu komunitas
akademis yang baik.Dalam karya Nicomachean Ethics,
Aristoteles menulis,
and whatever existence means for each class of men,
whatever it is for whose sake they value life, in that
they wish to occupy themselves with their friends; and
so some drink together, others dice together, others
join in athletic exercise and hunting, or in the study of
philosophy, each class spending their days together in
whatever they love most in life; for since they wish to
37
live their friends, they do and share in those things as
far as they can.48
38
kali, Aristoteles menggunakan verba sumphilosophein
sebagai acuan kolektif dalam dunia akademia, dan acuan
itu, boleh jadi merupakan akses kerinduan bersama untuk
mencapai kebahagiaan.
39
suasana ini dijaga agar kekuatan kolektif dalam akademia
Plato tetap menjadi sumber utama.
51
Plato, Surat ke 7 dalam Platone, Tutti I Scritti, ed. Giovanni Reale, Milan: Bompiani,
2000., 1820.
40
harus ditempatkan dalam terang Weltanschauungen,
Weltbilder atau pandangan dunia. Pandangan dunia
memberi kita orientasi tentang kehidupan kita di dunia.
Kita mengerti kehidupan kita ini dari pengalaman hidup
dan dari cara kita berada di tengah dunia. Karl Jaspers
berkata, philosophy cannot be perfected in the entirety of a
world orientation. It is not only a knowledge of the limits; it
is a sense of being, derived from elsewhere.52 Kita
berfilsafat di tengah dunia. Kita berfilsafat sambil tetap
menyadari di mana kita hidup. Kita mengerti apa artinya
berfilsafat melalui cara kita berpikir, menjalani hidup di
dunia ini.
52
Karl Jaspers, Philosophy vol. 1. p. 250.
53
Heidegger, Towards the Definition of philosophy., p. 6.
54
Ibid.
41
dengan sesama dan dengan dunia. Pengalaman itu datang
dari sumber makna yang terdalam.
42
dunia. Kesadaran tentang dunia dan kesadaran tentang diri
berjalan bersamaan dengan horizon dunia. 56 Dunia adalah
ruang universal yang di dalamnya semua persepsi kita,
pengalaman, pengetahuan, atau tindakan kita terarah.
Keterarahan ini membentuk horison kita tentang dunia.
43
bersama. Kita berfilsafat di tengah dunia. Cara kita
berfilsafat selalu bersentuhan dengan historisitas kita.
“Philosophzing is man’s way to touch being historically, in
his time.”59 Dalam berfilsafat, kita boleh belajar dari
sejarah, menerima dari warisan masa lampau, terbuka
terhadap tradisi berpikir tertentu.
59
Karl Jaspers, Philosophy vol. 1., p. 1.
60
Ibid. 2.
61
Ibid.
44
memberi makna dan kualitas dalam cara kita berfilsafat.
Meskipun kita akan tetap belajar dari tradisi Yunani Klasik
(Thales yang mereduksi dunia materi ke satu unsur tunggal:
air, Anaximandros yang mengkalim bumi sebagai suatu
lempengan datar, Heraklitus yang melihat segala sesuatu
dalam bentuk aliran yang terjadi sepanjang waktu,
Phytagoras penemu matematika, Sokrates, Plato,
Aristoteles), tradisi modern seperti Descartes, Nieztsche,
Kant, Hegel, Husserl, Gadamer, Heidegger, Spinoza, Marx,
Levinas, Sartre, Ricoeur, Derrida dan lain-lain, cara kita
berfilsafat harus tetap terbuka dengan situasi konkret masa
kini. Kesadaran kita tidak pernah tanpa intensi. Ia selalu
terarah pada kenyataan. Tentang hal ini, Jaspers
mengingatkan kita bahwa “the point of philosophizing is a
single thought, ineffable as such: the consciousness of
being.”62 Kesadaran yang konkret dan keterbukaan terhadap
realitas adalah dasar berfilsafat. Kesadaran ini mendukung
cara kita berada dalam dunia. Ia menerangi kita di dalam
dunia. Ia menuntun tindakan kita baik secara personal
maupun secara bersama.
9. BERFILSAFAT: BERPIKIR
62
Ibid., p.3.
45
Di sini, kita coba berbicara tentang apa artinya ‘berpikir’
dalam terang filsafat. Secara sederhana, orang sering
mengaitkan filsafat dengan berpikir. Namun yang menjadi
persoalan adalah apa kekhasan berpikir dalam dunia
filsafat? Apa artinya berpikir secara filosofis? Tentu,
filsafat sebagai suatu kedisiplinan memiliki corak berpikir
tersendiri. Untuk itu baiklah kita bertolah dari asumsi
umum bahwa hanya manusia yang berpikir. Ia berpikir
karena berpikir adalah kodratnya.
63
Heidegger. What Is Called Thinking? p., 3
46
Tradisi berpikir barat sering diidentikan dengan berpikir
metafisis di satu pihak, dan berpikir kalkuklatif di pihak
lain. Berpikir metafisis berarti berpikir dari prespektif
metafisika. Heidegger berbicara tentang Seinsdenken, atau
berpikir tentang ada. Para pemikir barat menyadari apa
artinya berpikir ketika mereka mengetahui alasan untuk
berpikir. Alasan itu ada pada hal yang paling dasariah,
yaitu berpikir tentang. Thinking of being.
47
dunia logika. Kita menjelaskan sesuatu melalui struktur
logika. Suatu ide, pikiran dan realitas, entitas, selalu saling
mengandaikan dan corak berpikir ini dihadirkan melalui
suatu gambaran (Bild).
48
Berpikir adalah dasar, ground dan pengertian yang
reasonable adalah hasil yang mengalir dari dasar itu.
Puncak pemikiran ini dapat kita telurusi dalam filsafat
Descartes yang mencari kepastian absolut pengetahuan
manusia lewat cogito. Semuanya bermuara pada hal yang
sama, yaitu rationem reddere, artinya kembali ke rasio
sebagai dasar yang terdalam.
49
yang menjadi basis pertimbangan relasi subjek-objek, suatu
relasi yang lahir dari dikotomi filsafat modern tentang
hubungan antara ‘aku’ dan ‘dunia,’ yang secara luas
kemudian diafirmasi sebagai ciri epistemologi dalam dunia
ilmu pengetahuan.
50
representatif, perkembangan dunia teknologi dipengaruhi
oleh cara berpikir yang didominasi oleh peranan subjek.
51
terkontrol dan penuh kalkulasi. Pada akhirnya metode
ilmiah memiliki ciri yang berkelanjutan atau
institusionalisasi. Ciri ini berkenaan dengan peningkatan
spesialisasi dan penelitian yang khusus dalam suatu bidang
penelitian.
52
antar negara dalam mencari pemasaran baru dan
menciptakan strategi untuk menguasai planet bumi ini.
53
agro-bisnis. Humus tanah tercampur dengan pestisida.
Studi biokimia berkembang ke arah usaha untuk
memanipulasi struktur genetika manusia. Semuanya terjadi
di bawah ujud: perkembangan diri, emansipasi diri, dan
kemajuan.
65
Herbert Marcuse, One Dimensional Man (London: Abacus, 1974)
54
Heidegger sering menggunakan ekspresi ‘berpikir otentik’
dalam hubungannya dengan berpikir meditative
(besinnliches Denken/meditative thinking), berpikir esensial
(wesentliches Denken/essential thinking), berpikir
primordial atau berpikir dari yang paling asali
(anfängliches Denken/primordial thinking), berani berpikir
atau berpikir heroik (herzhaftes Denken/courageous
thinking), berpikir rekolektif (andenkendes
66
Denken/recollective thinking). Dengan tanpa
mengabaikan perbedaan maknanya, kita memahami
semuanya dari perspektif yang sama, meskipun
persoalannya terletak pada kesulitan bagaimana
membahasakannya. Sejak tradisi berpikir barat sudah
terjerat dalam corak bahasa yang penuh dengan nuansa
metafisis dan ciri onto-teologis yang ketat, kita hampir
mengalami kesulitan untuk membahsakan suatu cara
berpikir yang bebas pengaruh dari cara berpikir barat.
66
Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through Authentic Totality to Total
Authenticity, Louvain Philosophical Studies 2, 1987.,p.131-132.
67
Heidegger, What is called Thinking, p., 86.
55
Bagaimana seharusnya kita menyatakan cara berpikir yang
otentik? Heidegger berbicara tentang Denken des Seins,
berpikir yang dimulai dari ‘ada’. Thinking of being. Di sini,
ekspresi genitif, berpikir dari ada, sangatlah penting untuk
dianalisa.
56
bagian yang saling mendukung antara sang Ada dan
manusia. Namun dalam hal ini, sang Ada menjaga dan
menjadi dasar dari relasi itu. Jadi kita harus mencari
pengertian tentang berpikir mulai dari relasi antara sang
Ada dan manusia.
57
pemberian. Ia memberi dirinya. Ia memberi diri dalam
keterbukaan dan sejauh bersamaan dengan dimensi
keterbukaan itu, sang Ada hadir. Ia memberi serentak
mempertahankan atau menjaga. Ini adalah kesukaannya.
Sang Ada yang memberi dan ia sendiri yang hadir sebagai
pemberian. Ia yang memanggil dan ia juga yang menjadi
jawabannya. Ia yang mengundang dan ia sendiri yang
menjadi tujuan dari undangan itu. Ia tetap konstan karena ia
memberi dirinya untuk dipikirkan dan ingin untuk
dipikirkan.
58
us wants itself to be thought about according to its
nature. What calls us to think, demands for itself that it
be tended, care for, husbanded in its own essential
nature by thought. What calls us to think, gives us
food for thought.71
71
Heidegger What is called Thinking? P., 121.
72
Ibid., p. 6.
59
Kita masih belum berpikir. Ini bukan suatu pesimisme.
Ekspresi ‘masih belum’ menunjukkan bahwa kita memang
sudah berpikir, kita sedang berpikir, dan kita sudah berada
di tengah jalan menuju tujuan: berpikir. Namun, kita hanya
berada pada jalan untuk berpikir. Dalam panggilan untuk
berpikir, sang Ada memberi diri untuk dipikirkan. Berpikir
adalah bagian dari Ada, dan Ada membimbing dan bahkan
ia menjadi rumah untuk berpikir.
60
are endowed with what is most thought-provoking, gifted
with whatever and always wants to be thought about”. 73
Artinya kita berpikir hanya sejauh kita digerakkan oleh apa
yang memprovokasi kita untuk berpikir. Yang memanggil
untuk berpikir, ia memberi diri dan pemberian itu datang
dan menarik kita ke hadapannya. Momen ini terjadi di
dunia dan manusia mengalaminya. Heidegger berbicara
tentang Das ereignis des Entzugs, semacam the event of
withdrawal,74 panggilan untuk berpikir sebagai bagaian
esensial dari keberadaan manusia di tengah dunia. Apa
yang menggerakkan pikiran kita adalah panggilan untuk
berpikir. Kita ditarik ke suatu jalan, dan di jalan itu kita
berpikir.
73
Heidegger, What is Called Thinking, 126.
74
Ibid.,9
75
Ibid., 30.
61
yang menarik kita, ia memprovokasi kita melalui daya tarik
itu.
62
dua hal ini: Berada dan berpikir (being and thinking)
sebagai dua hal yang harus dilihat dalam satu kesatuan.
Namun, meskipun demikian, ‘sang Ada’ tetaplah menjadi
inisiator yang memanggil untuk berpikir.
63
dengan menggunakan bahasa dan akal budi untuk
mengungkapkan pengertian kita tentang sesuatu. Apa yang
dimaksudkan dengan ‘mengerti’ atau ‘pengertian’ di sini,
harus dilihat dalam terang tindakan membuka diri dan
mengambil sesuatu, membiarkan ia masuk ke dalam diri.
Kita mengambil dan menjaga, merawat, memahaminya
dengan sikap yang waspada.
64
9. PERBEDAAN ONTOLOGIS (die Ontologische
Differenz)
65
penting yang berkenaan dengan keterbukaan untuk
mengerti sesuatu dalam realitas, “enactment of an openness
to being in things.”81 Secara metafisis, dan bahkan dalalam
pengertian iman yang paling mendalam, manusia secara
eksistensial harus menyadari perbedaan ontologis, yaitu
dengan kembali menerima dirinya dan seluruh
kerberadaanya sebagai suatu pemberian (gift), kesadaran
yang secara tetap membawa dia ke suatu keterbukaan
terhadap seluruh realitas, dan pada akhirnya keterbukaan
terhadap sumber yang paling asali, yaitu sumber dari segala
sumber, the origin of all.
66
tetap (perdurance), yaitu saling memperkaya antara Sang
Ada dan keberadaan pada umumnya. Sang Ada datang,
memberi diri dan membuka ruang secara historis dalam
bentuk kehadiran yang tidak hadir (in the mode of
presencing-absencing).
kehadiaran
yg
berlimpah
antara
entitas-
SANG ADA (perdurance entitas
)
kedatangan
85
Pengertian literer tentang term ini perlu dirunut kembali ke akar bahasa Prancis, poétique, bahasa
Latin poeticus dan bahasa Yunani po(i)ētikos, po(i)ētēs, yang semuanya merujuk pada kekuatan imajinasi
kreatif untuk mencipta.
67
Kita pada akhirnya harus mempertimbangkan satu dimensi
penting dalam berpikir, dan dimensi itu adalah imajinasi
kreatif berpikir. Heidegger berbicara tentang relasi antara
‘thinking’ (Denken) dan ‘poetizing’ (Dichten). Ada
kekuatan berpikir yang mengalir dari daya imajinasi kreatif.
Daya ini yang memungkinkan kita untuk mengerti makna
tentang ‘berpikir’ yang sesungguhnya dari dimensi yang
melampaui distinksi berpikir rasional dan irasional. di sini
harus dilihat dalam terang disposisi manusia sebagai
jawaban atas kehadiran Sang Ada. Namun, jawaban itu
belum tuntas karena cara manusia berpikir belum sampai ke
sana. “The poetic character of thinking is still veiled
over.”86 Berpikir dengan ciri poetic-imagination masih
jauh dari harapan. Manusia belum terbiasa denganya.
68
of simple.’88 Sang Ada tidak hadir sebagai sesuatu yang
secara logis dapat diartikan, secara matematis dapat
dikalkulasi, dan secara metafisis dapat dikonsepkan.
88
Heidegger, Poetry, Language, Thought., 7.
89
Heidegger, Basic Writings, 391.
90
Johnson J. Puthenpurckal, Heidegger Through Authentic Totality to Total Authenticity. 146.
69
Kedatangan cahaya adalah kedatangan yang membuka dan
sekaligus membersihkan suatu wilayah tempat di mana
pikiran bertumbuh dengan subur. Wilayah itu adalah
wilayah kesatuan antara langit, bumi, kematian dan
keilahian. Di dalam wilayah kesatuan itu, Sang Ada hadir.
Dia hadir dalam dunia dengan segala keduniawinnya. Dia
hadir dalam keilahian dengan segala keilahiannya.
Kehadiran seperti ini harus dilihat ‘the event of truth.’ Sang
Ada hadir dalam kesatuan antara keduniawian dan
keilahian. Kehadiran itu tanpa mediasi. Ia hadir dan dialami
tanpa pengantara. Ini adalah pengalaman langsung yang
bersifat intuitif atas kedatangan itu.
70
primordially poetic evocation of Being in man for authentic
thinking”.92 Ada kelimpahan makna dalam gema Sang Ada.
Kelimpahan itu menggema tanpa batas, memancar tanpa
ujung, mengalir tanpa henti. Dalam kelimpahan ini, kita
dipanggil untuk berpikir, untuk selalu mendengar dan
menjawab dengan saksama.
92
Ibid.
93
Paul Ricoeur, “Lectures On Imagination, 1975. See George Taylor Ricoeur’s
Philosophy of Imagination. 94.
71
(social and cultural imagination); Kedua, pada level
epistemologi (epistemological imagination); ketiga, pada
level kreativitas (poetic imagination) dan keempat pada
level simbol-simbol keagamaan. Keempat level kerja
imajinasi produktif ini sangat kuat berkaitan dengan
persepsi yang terbentuk baik dari aspek psikologi maupun
dari aspek proses imajinasi itu sendiri.
72
kita, imajinasi kreatif selalu membawa kita realitas sosial
yang baru, yang Ricoeur namakan ‘social utotia.’ Secara
literer, utopia berarti ‘tanpa tempat’, tanpa waktu. Tampa
referensi. Nowhere. Utopia adalah kemungkinan tentang
situasi tanpa referensi dalam hubungan dengan gambaran
kita tentang realitas baru itu. Utopia tidak sekedar
memisahkan kita dari realiltas hidup yang sebenarnya. Ia
lebih jauh mengorientasikan kita ke realitas baru. Ia
memperluas pengertian kita tentang dunia dan tentang
dunia baru sebagai suatu kemungkinan. Utopia berfungsi
untuk memperluas, menambah dan memperkaya referensi
kita tentang realitas dunia baru itu.
73
masing kita dapat mengerti diri kita dalam relasi dengan
yang lain. Relasi ini dapat membebaskan kita dari ilusi diri
yang narsistik.
96
Ibid., 175.
74
kehidupan yang intersubjektif, demikian kalau kita
melihatnya dari perspektif Habermas.97
75
ilmu pengetahuan yang berdampak pada modernisme.
Revolusi ini berawal dari kelahiran ilmu-ilmu baru (nuove
scienze), aplikasi ilmu melalui kontrol manusia terhadap
alam, munculnya bentuk-bentuk baru organisasi politik
(kekuatan negara di atas segalanya), perkembangan
kehidupan sosial dan ekonomi sebagai akibat dari
kapitalisme dan revolusi industri.
76
yang diakronis (a process of historical transformation) dan
sinkronis (a set of simultaneous institutions) tentang
masyarakat dan seluruh situasi hidup yang terjadi di
dalamnya. Refleksi filosofis harus terbuka terhadap
interaksi dimensi kehidupan untuk menangkap pesan-pesan
yang datang dari dunia kehidupan ini. Dengan demikian,
interaksi dalam proses belajar dan berpikir adalah penting.
Interaksi ini dimulai dari proses belajar untuk mengenal
warisan sejarah, sastra, seni, ilmu pengetahuan dan tradisi
kerohanian dari agama-agama tertentu.
77
historis yang diwariskan dalam refleksi filosofis. Konsep-
konsep filosofis lahir dari interaksi refleksi pengalaman
hidup dan warisan tradisi berpikir dalam filsafat.
11.1. Kebaikan
78
kebaikan. Dalam seluruh dialognya, ia memiliki intensi
untuk mengantar rekan bicaranya untuk melihat bahwa
kebaikan adalah tujuan dan kesempurnaan hidup manusia.
Menjaga diri sendiri dan senantiasa berusaha untuk menjadi
lebih baik adalah intensi dari dialog Sokrates. Intensi ini
hanya mungkin dijalani bila semua orang, siapapun dia,
laki-laki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, harus
pertama-tama ‘mengenal diri sendiri’ secara baik. Di sini,
kita berhadapan dengan imperatif Sokrates, Kenalilah
dirimu! Mengenal diri adalah tanda awal untuk menjadi
lebih baik dan lebih bijaksana. Mengenal diri adalah tanda
kebijaksanaan (wisdom), akses menuju kebaikan
(goodness) dan tanda kebajikan (virtue).
79
terakhir (ariston) dari suatu kegiatan yang dikejar oleh
semua manusia. Aristoteles menamainya kebahagiaan.
98
Paul Ricoeur, Oneself as Another, 171.
99
Ibid. 172.
80
Namun, perlu disadari bahwa kebaikan yang menjadi cita-
cita manusia amat rapuh. Ada semacam “the fragility of
goodness.”100 Hal ini disebabkan karena pengertina tentang
kebaikan itu bersifat ekuivok dan manusia itu rapuh.
Sebagai jalan keluar, perlu ada kesadaran di dalam diri
manusia untuk melihat kerapuhan diri serta aspek
kesanggupan diri sebagai disposisi penting untuk mengatasi
kerapuhan itu.
81
seperti ini menjadi model segalam bentuk persekutan,
misalnya persekutuan dalam keluarga (oikia/). Antara
oikia dan polis terdapat perbedaan mendasar. Yang
pertama memiliki corak dan struktur hidup yang lebih
sederhana sedangkan yang kedua memiliki jangkauan
kebutuhan yang lebih luas dan berkenaan dengan nilai
hidup yang lebih tinggi, yaitu ‘hidup baik’ atau eu zen/
. Eu zen berarti menjalani hidup yang baik secara
optimal dengan kesanggupan manusia untuk mencapai
kabahagiaan.102
11.2. Kebenaran
102
Ibid. Hemat saya, karya Aristoteles, Nichomachean Ethics harus dipertimbangkan
sebagai karya maha penting dalam diskursus tentang etika politik. Kalau tidak
berlebihan, karya ini boleh disebut sebagai kitab suci etika yang tidak boleh
diabaikan oleh mahasiswa atau siapa saja yang ingin berkecimpung dengan etika
politik pada umumnya.
82
Dari kebaikan menuju kebenaran. Kebenaran adalah salah
satu nilai fundamental dalam kehidupan manusia.
Kebenaran menjadi fundamental karena esensi kebenaran
adalah kebenaran esensi itu. “The question of the essence
of truth arises from the question of the truth of essence.” 103
Di sini, esensi dimengerti sebagai quidditas, ke-apa-an dari
sesuatu. Dengan perkataan lain, esensi adalah isi material
dari sesuatu. Sedangkan kebenaran adalah ciri dari suatu
pengetahuan. Dan sebagai ciri dari suatu pengetahuan, nilai
kebenaran dapat dibicarakan secara filosofis, teologis dan
secara ilmiah-empiris.
83
Kedua, semua proposisi yang dibangun dalam setiap teori
pengetahuan memiliki prinsip dasar yang berbeda.
Perbedaan prinsip dasar ini menentukan perbedaan
pembukitannya tentang kebenaran. Ketiga, apa yang
disebut ‘prinsip dasar,’ pada dasarnya harus benar. Ia harus
eviden di dalam dirinya. Sesuatu dikatakan benar karena
pada dirinya tidak ada kemungkinan untuk dipersalahkan.
Sesuatu dikatakan salah karena pada dirinya masih ada
kemungkinan untuk dijelaskan dengan menggunakan
prinsip yang lain. Benar kalau, ia eviden di dalam dirinya,
dan tidak membutuhkan penjelasan tambahan dari luar
dirinya. Sebaliknya ia salah kalau ia tidak eviden di dalam
dirinya dan membutuhkan penjelasan dari luar. Keempat,
prinsip suatu pembuktian harus tanpa pengantara. Prinsip
pembuktian itu harus bersifat langsung. Suatu pembuktian
dikatakan langsung jika tidak ada proposisi lain yang
mendahului pembuktian itu. Kelima, prinsip suatu
pengetahuan bergantung pada hukum pengetahuan itu.
Setiap ilmu memiliki prinsip dan hukum tersendiri.104
84
dan dalam kehidupan pribadi. Kini, kita hidup dalam era
hiper-komunikasi dan hiper-informasi. Kita dihadapkan
dengan seribu satu macam informasi yang menyerbu
kesadaran kita. Serbuan arus informasi lewat media sosial,
pengaruah kekuasaan politik dan kekuatan kapitalisme
global, permainan bahasa, gaya dan pola hidup yang
semakin konsumeristik, semuanya sangat mempengaruhi
pandangan kita tentang kebenaran. Ada kemungkinan kita
menjadi ambigu dengan kebenaran. Kebenaran menjadi
tidak penting. Pembicaraan tentang kebenaran bukan lagi
menjadi hal yang mendesak. Kalau ada pembahasan
tentang kebenaran, atau kalau ada interpretasi tentang
kebenaran, maka hal itu menjadi tugas sekelompok
ilmuwan atau para pemikir tertentu.
85
Sering kali kita beranggapan bahwa ide atau konsep tentang
kebenaran itu bersifat prerogatif dan bersifat komprehensif
dari kaum dogmatis, misalnya dari gereja, agama, partai
politik, juga oleh sekelompok ilmuwan tertentu. Ada
semacam garansi kebenaran dari suatu otoritas, kekuasaan
atau kekuatan pihak tertentu. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kebiasaan orang atau kelompok tertentu yang
berkecimpung dalam dunia kekuasaan tertentu, dan mereka
mengklaim kebenaran dari dunia mereka. Mereka
berasumsi bahwa dunia mereka adalah pusat kebenaran.
Mereka menetapkan prinsip dan hukum-hukum kebenaran
menurut versi mereka. Sebagai konsekuensi, konsep
kebenaran menjadi semacam doktrin komprehensif dari
perspektif tertentu. Dengan demikian, konsep kebenaran
menjadi extraordinary word.
86
dengan realitas yang dikatakan (ens). Kaum skolastik
berbicara tentang ens et verum convertuntur. Term
kebenaran di sini, harus dipertimbangakan sebagai doktrin
tentang koeksistensi kebenaran dan realitas.
87
pikiran sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Pikiran
berbicara di dalam dirinya tentang realitas sesuai apa
adanya. Ini berarti antara pikiran, perkataan dan realitas
harus ada koherensi atau kesesuaian. Namu, Plato juga
berbicara tentang ajektiva ‘benar’ dalam hubungan dengan
idea (eidos), sebagai model yang abadi dari segala sesuatu
di dunia ini. Idea adalah hal yang paling sempurna dari
segala sesuatu. Menurut plato, ‘idea’ adalah objek dari
pengetahuan (epistème) dan diskursus yang benar. Idea
adalah sumber kebenara karena objek dari suatu diskursus
adalah sesuatu yang selalu benar. Benar sebagai suatu
keniscayaan. Realitas atau entitas adalah hal-hal yang
kurang benar karena mereka adalah objek diskursus yang
bisa menimbulkan kekeliruan atau kesalahan; dan karena
itu, berbicara tentang realitas, kita hanya berbicara sebagai
suatu opini, pendapat (doxa) atau sebagai suatu keyakinan
tertentu (pistis).
88
itu serta merta menunjukan sesuatu sebagai benar atau
salah, tetapi sebagai suatu perintah, misalnya ‘tutup pintu!’
89
tentang sesuatu berdasarkan esensi sesuatu, yaitu kodrat
sesuatu yang membuat sesuatu sebagai yang tertentu.
Mencari kebenaran sesuatu sebagai ‘sesuatu yang tertentu’
tidak lain adalah pencarian tentang esensi sesuatu.
Pencarian ini boleh jadi, sesuai dengan apa yang Lonergan
katakan sebagai insight.
90
tentang kebenaran sebagai alétheia dengan rujukan pada
eksistensi manusia sebagai Dasein, cara-berada-di-tengah-
dunia; dan cara berada itu ada hubungan dengan kondisi
das Anwesende, berada hic et nunc. Ini adalah suatu
keterbukaan di tengah dunia. Suatu keterbukaan yang selalu
dan tetap berpijak pada bumi. Manusia selalu mengerti
dirinya terbuka terhadap suatu dunia (world) dengan tetap
berpijak pada bumi (earth). Dengan perkataan lain,
manusia berpijak pada bumi namun dengan oritentasi pada
suatu dunia. Namun yang menarik, bahwa dunia di sini,
dicirikan oleh keterbukaan, yaitu keterbukaan yang selalu
dibatasi. Dibatasi oleh pijakan di bumi. Dunia dan bumi,
pada dasarnya berbeda satu sama lain. Namun, dunia
didasarkan pada bumi dan bumi selalu dilihat dari
persepketif dunia.109
91
lewat cara berpikir, cara berbahasa, cara bertindak dan cara
menjalani hidup di tengah dunia. Semuanya ada hubungan
dengan kesanggupan manusia untuk mendengarkan
kedatangan atau kehadiran kebenaran dalam kehidupannya.
Ia harus mendengar dengan saksama agar ia sanggup
menangkap gema (echo) dari kedatangan itu.
92
memformulasikan teori secara definitip dan absolut sebagai
yang benar. Yang ada hanyalah hipotese, teori, yang secara
tentatif dapat diverifikasi atau difalsifikasi. Kemungkinan
ini hanya terjadi pada bidang pengetahuan tertentu, dan
tidak begitu muda disamakan dengan bidang pengetahuan
yang lain. Karl Popper berbicara tentang tiga hal penting
dalam usaha untuk mengembangkan pengetahuan yang
rasional: problem-teori-kritik. Ilmu pengetahuan
menempuh proses trial and error, berproses dari suatu
persoalan menuju persoalan yang lebih dalam. Ilmu-ilmu
seperti fisika, sejarah, biologi, kimia, ekonomi, sosiologi,
geologi; semuanya menempuh jalan trial and error.
Mereka memiliki metode, interpretasi, dan ujian validitas.
Semua hipotese dapat dikontrol demi mencapai suatu teori
yang tentatif. Setiap hipotese tidak dapat diverifikasi kalau
tidak menempuh jalan falsifikasi. Para ilmuwan harus
sanggup menemukan kekeliruan dan bahkan kesalahan
sebagai jalan untuk sampai pada teori yang tentatif.
Menurut Popper, suatu hipotese tidak diverifikasi. Ia
difalsifikasi.111
93
filsafat. Persoalan seperti apakah Tuhan eksis atau tidak
eksis? Apah sejarah. Manusia bergerak menurut hokum
tertentu? Apakah manusia bebas atau terhukum? Apakah
manusia hanya tubuh? Jiwa? Atau keduanya? Apakah
semua realitas ini hanya realitas empiris? Apa itu
demokrasi? Apakah pengetahuan manusia dapat
menemukan kebenaran? Apakah hokum kodrat secara
rasional dapat memiliki pendasaran tertentu? Apakah
proses pengetahuan menempuh hanya melalui metode
induktif? Apakah dalam ilmu pengetahuan hanya berlaku
satu metode atau lebih? Apakah rasionalitas adalah bagian
dari realisme atau idealisme?
94
Persoalan filsafat memiliki radiks ekstra-filsafat: radiks
moral, agama, ilmu, politik, dan seterusnya.
95
Nah, di sini, untuk sampai kepada pengertian yang
sesungguhnya, kita membutuhkan interpretasi, penafsiran
yang benar. Kita harus sanggup melihat teks, diskursus
dalam terang relasi antara kebenaran dan hermeneutika.
Dewasa ini, khususnya pada masa kontemporer, dalam
konteks filsafat dan teologi modern, hubungan antara
kebenaran dan hermeneutika menjadi amat penting.
Nietzsche pernah memberi kritikan bahwa sesungguhanya
tidak ada kebenaran, yang ada hanya interpretasi. Apa yang
disebut diskursus, atau suatu diskursus yang benar, selalu
membutuhkan interpretasi. Setiap dikursus selalu
dimengerti dalam terang relasi dengan realitas, dan karena
itu, realitas juga tidak bebas dari interpretasi. Pencarian
makna tentang kebenaran harus terbuka terhadap dialog,
percakapan dan deliberasi. Pemikiran tentang kebenaran
hanya dapat diterima dalam terang dialog. Hal ini tidak
dimaksudkan bahwa kita memiliki konsensus karena kita
telah menemukan kebenaran, tetapi lebih dari itu, kita
menemukan kebenaran ketika kita berbincang-bincag dan
membuat delibarasi yang baik. Ada pluralitas interpretasi
kebenaran yang bisa saja menimbulkan kesepakatan atau
sebaliknya pertentangan.
96
masa lampau. Misalnya horison iman tidak dapat dibentuk
hanya dari satu perspektif. Ada horison tradisi yang harus
dibaca, direfleksikan dan dikembangkan bersama dalam
suatu komunitas iman. Pengertian dan kebenaran tentang
iman selalu terjadi dalam pembauran horison. Pembauran
ini terjadi sepanjang masa. Yang lama dan yang baru
selalu membaur demi suatu nilai yang lebih relevan.
11.3. Keadilan
113
Bdk. Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.). Mengabdi Kebenaran, Maumere:
Penerbit Ledalero,2005.
97
Keadilan sebagai praksis sosial mengandaikan suatu situasi,
lingkungan atau kemungkinan di dimana keadilan itu hidup
dan bertumbuh. Setiap situasi atau lingkungan membangun
praksis hidup bersama. Dalam praksis itu, nilai keadilan
dilegitimasi melalui struktur yudisial yang dilegitimasi
melalui sejumlah aspek seperti; hukum tertulis, lembaga
pengadilan, dan para hakim. Mereka adalah pihak-pihak
yang diharapkan bersifat indepen dan memiliki integritas
dalam membela nilai keadilan. Dalam arti tertentu, nilai
keadilan selalu dapat dipertimbangkan sesuai situasi dan
lingkungan tertentu. Karena itu, seperti Ricoeur, untuk
mencari nilai keadilan yang sesungguhnya, keadilan masih
selalu dapat diperbincangkan atau didiskusi secara
bijaksana dan sesuai norma hukum yang ada. Justice does
argue.114 Keadilan dapat diperbincangkan karena untuk
sampai pada keadilan yang sesungguhnya, perlbagai
argumentasi harus diperlihatkan secara reasonable dan
bijaksana dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat.
Sebelum sampai pada tahapan tribunal misalnya, banyak
pihak harus dapat dilibatkan untuk membangun dikursus
rasional melalui mediasi bahasa dialogal yang baik. Bentuk
komunikasi seperti ini mengandung nilai etika: audi
alteram partem. Untuk sampai kepada pengertian dan
keputusan tentang keadilan, semua pihak perlu saling
mendengarkan.
98
dalil yang dibangun (argumentation), melainkan juga soal
keputusan (decision) yang diberikan dari pihak pengambil
keputusan. Para hakim dan jaksa memikul tanggungjawab
atas keputusan yang ditempuh. Tanggungjawab ini
ditunjukkan melalui mata rantai prosedur yang mereka
ambil secara baik dan benar. Kata-kata mereka menentukan
keputusan final yang benar-benar adil. Karena itu sebagai
simbol keadilan, mereka, seperti dewi keadilan, harus
membawa serta tanggungjawab besar pada pundak mereka.
Mereka membawa satu pedang keberanian dan alat timbang
kebijaksanaan. Ini adalah tanda praksis judisial yang
memungkinkan kita untuk mengerti secara formal tentang
nilai keadilan.
99
dari anggota-anggota yang membentuk masyarakat itu.
Demikian pula, masyarakat di sini bukan suatu kumpulan
individu. Sejak Aristoteles, persoalan tentang keadilan
dicari dalam hubungan dengan kesetaraan (justice and
equality). Pada level yudisial misalnya, kesetaraan
dimengerti sebagai sikap memperlakukan seseorang dalam
hal yang sama dan dengan cara yang sama di depan hukum.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika konsep
kesetaraan ini dilihat dari aspek yang proporsional dan dari
aspek jumlah. Katakanlah semacam proportional equality
dan mathematical equality dari perspektif Ricoeur.115 Untuk
mencari pengertian keadilan, tampaknya kita perlu
memperhatikan keduanya, yaitu keadilan sebagai distribusi
dan keadilan sebagai kesetaraan (distribution and equality).
Dalam arti yang luas, konsep tentang distribusi
mempertimbangkan nilai moral atas dasar praksis sosial.
Maksudnya perlu ada regulasi yang mengatur konflik
dalam masyarakat. Sedangkan dalam hubungan dengan
kesetaraan (equality), kita berbicara tentang keadilan dalam
terang hak-hak dan kesempatan yang berdampak pada
kohesi sosial di dalam masyarakat. Rawls melihat hal
seperti ini dalam terang kerjasama secara sosial (social
cooperation). Tentu, hal yang paling utama adalah melihat
masyarakat sebagai sistim di mana lewat kerja sama itu,
nilai saling kebergantungan menjadi perhatian utama.
100
dibangun atas dasar kerjasana secara sosial, dan bukannya
berdasarkan suatu dominasi. Di sini, struktur dasar identik
dengan kerjasama sosial. Kerjsama adalah benih untuk
keadilan. Dalam teori politik modern, kerja sama sosial
terjadi ketika adalah social agreement yang dilegitimasi
lewat suatu institusi. Selain itu, kerjasama terjadi jika
kebebasan dasar seperti kebebasan kesadaran, kebebasan
pikiran, kebebasan asosiasi, dan jaminan atas hak-hak dasar
seperti hak atas pergerakan, hak atas kedudukan, hak atas
pilihan karier, hak atas milik pribadi, dan hak partisipasi
politik.
101
12. METODE
116
Giovanni Reale, Storia della Filosofia Antica, vol. v. Milano: Vita e
Pensiero,1997.,173.
117
Aristotle, The Complete Works of Aristotle, edited by Jonathan Barnes, vol. 2.,
Princeton: Bollingen, Series LXXI., 1995., 1527.
102
Dengan demikian, metode adalah suatu proses yang dilalui
jika seseorang ingin mencapai suatu pengetahuan. Untuk
mencapai esensi sesuatu, maka pengetahuan itu harus
ditempuh melalui suatu proses, dan proses itu terletak pada
sesuatu yang lain, dan bukan pada pengetahuan
itu.118Dalam ilmu pengetahuan, suatu metode dibicarakan
dalam konteks prosedur penemuan suatu konsep, dan teori
bersamaan dengan hasil dan evaluasinya. Prinsip utama
untuk mengaplikasi metode dalam dunia pencarian ilmu
pengetahuan adalah formulasi persoalan, elaborasi konsep
dan hipotese, struktur teoretis, konstruksi model empiris
sebagai bentuk ujian yang dihasilkan dari rumusan teoretis,
evaluasi kesetiaan dan validitas prosedur empiris,
konfrontasi hipotese dengan isu-isu terkait, interpretasi
hasil-hasil yang dicapai, reformulasi persoalan-persoalan
baru. Metode ilmu pengetahuan perlu mempertimbangkan
fakta, aturan main metode, teori, dan prosedur. Metode
ilmu pengetahuan terbuka terhadap kritk, realis, koheren,
sebagai hasil dari formalisme logis-matematis, sistimatis
dan eksperimental.119
118
Hegel, Scienza della Logica, vol. 2. Roma: Editori Laterza, 1999.,433
119
Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques,
Dictionnaire 2., (PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 1627-8.
103
Metode pertama yang bisa diaplikasi ke dalam pencarian
filosofis dan ilmu pengetahuan adalah metode klasik yang
dikembangkan Descartes dalam Discours de la Methode,
atau Diskursus tentang Metode. Sejak masa muda,
Descartes tertarik pada dunia matematika. Dunia ini
membawa dia ke usaha untuk mengembangkan teori
geometri. Tujuannya adalah untuk mendekati kebenaran.
Bagi Descartes, sesuatu dikatakan benar jika ia eviden bagi
pikiran. Yang eviden bagi pikiran adalah ide-ide yang
jelas dan distinktif (clara et distincta). Tidak ada lagi
keraguan di dalamnya. Yang beum jelas dan distinktif
dianggap sebagai persoalan dan karena itu ia harus
dianalisa. Analisa itu dimulai dari hal-hal yang sederhana,
gampang dan terus menuju ke hal-hal yang rumit atau sulit.
Sesudah itu kita perlu membuat suatu evaluasi secara
keseluruhan.120 Ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan
untuk mencapai suatu kebenaran.
120
Cartesio, Discorso sul Metodo, Milano: Bompiani,2002.,19-28.
121
Giovanni Reale dan Dario Antiseri, Storia della Filosofia, vol. 2, Roma: Editrice la
Scuola,1998., 306.
104
ini dibuat agar kita bisa mengurangi keragu-raguan. 122
Ketiga, prinsip pengetahuan yang baik: cogito, ergo sum
(eksistensi pikiran): dari keraguan berpikir, kita
menegaskan satu hal yang jelas, eviden dan pasti, yaitu
bahwa saya ada, dan karena itu saya eksis. Hal ini
berkenaan dengan bagian khusus dari pikiran yaitu bagian
rasional/imajinasi intelek dan bagian kehendak atau
kebebasan. Bagian rasional/imajinasi merupakan sumber
ide. Sumber ini bersifat bawaan/innate, berasal dari luar
dan dimasukkan ke dalam pikiran. Ide atau pikiran ini
berasal dari Tuhan, yang mahasempurna, substansi tak
berhingga, dan abadi. Sedangkan kehendak dan kebebasan
bagian dari kodrat manusia. Dan Keempat Tuhan adalah
dasar terakhir dari segala-galanya.123
122
Ibid.
123
Ibid.
105
Namun yang penting bagi Descartes, agar sampai pada
evidensi pengetahuan, adalah ‘dubbio’ atau keraguan
sebagai tahap yang penting. dubbium metodicum adalah
metode filsafat yang khas dan boleh jadi amat filosofis
lewat Analisa dan sintese. Kita melihat tiga hal pentingi di
sini: keraguan, analisa dan sintese. Ketiganya penting
untuk mencari jalan pengetahuan yang benar. Filsafat harus
bertolak keragua-raguan, bergerak menuju Analisa dan
sintese. Semuanya tentu membutuhkan analisa dan
kalkulasi logika yang tepat sebelum sampai kepada sintese.
106
memperhatikan tingkatan-tingkatan data yang berbeda.
Lebih jauh, perlu dibuat induksi untuk mengeliminasi
hipotese yang keliru ketika kita menjelaskan femonen alam.
Selain itu, perlu bersikap objektif terhadap hipotese yang
terkait sesuai data yang diberikan. Kedua, memperhatikan
juga fenomen-fenomen baru atas dasar eksperimen. Tujuan
akhir dari pengetahun menurut Bacon, secara konstitutif,
memahami data-data dari alam melalui interpretasi secara
lengkap atas fenomen-fenomen, yaitu mengerti struktur
fenomen (skema laten) dan hukum-hukum yang mengatur
femonen alam (proses laten). Secara operatif,
memperhatikan generasi baru data-data alam khusus
transformasi materi pada alam.124
107
Dalam perkembangan lanjut, metode ini tetap menjadi
dasar utama bagi ilmu pengetahuan modern khususnya bagi
kamu neopositivisme dan positivisme logis.
108
dalam kesalahan dan kekeliruan, setiap teori baru selalu
terbuka juga terhadap suatu kritik. Dengan demikian,
penemuan kebenaran pengetahuan berkembang dari suatu
persoalan menuju persoalan lain yang lebih dalam.
Perkembangan ini boleh dikatakan sebagai bagian dari ciri
kebenaran pengetahaun yang bersifat tentatif.
109
atau mempersoalkan sesuatu, usaha itu berawal dari
dialektika antara kesadaran dan objek kesadaran. Pada
prinsipnya, dialektika ini terbentuk dari relasi subyek -
obyek.125 Lebih jauh, relasi ini hanya dapat dimengerti
melalui mécanisme de la connaissance,126 atau mekanisme
pengetahuan. Struktur mekanisme ini dilihat sebagai hal
yang sangat fundamental dalam metode transendental.
Mangapa transendental?
125
Bdk. Encyclopédie Philosophique Universelle, Les Notions Philosophiques,
Dictionnaire 2., (PUF) Paris : Presses Universitaires de France, 1990., 2636-2639
126
Ibid.
127
Frank O’Farrel s.j. Per Leggere la Critica della Ragione pura di Kant, Roma:
Editrice Pontifica Universitá Gregoriana, 1989, 13,21.
110