Anda di halaman 1dari 2

Berkenalan dengan Charlotte Mason Melalui Cinta Yang Berpikir

Oleh Fahmi
Saya pikir sebagian besar orang yang baru memulai untuk belajar metode
homeschooling ala Charlotte Mason mempunyai fokus yang sama, yakni ingin mengetahui
seperti apa metode yang digunakan. Begitu pun saya. Seperti kebanyakan orang, inginnya
langsung to the point belajar cara mempraktekkan metode Charlotte Mason dalam
keseharian. Jadi ada semacam rasa tergesa-gesa untuk segera mempelajari metodenya.

Namun, setelah mulai membaca Cinta Yang Berpikir karangan Ellen Kristi, ternyata
keinginan tersebut terbilang masih sangat jauh untuk bisa diraih. Saya seakan-akan dicegat
dengan berbagai pertanyaan mendasar yang jauh dari apa yang saya bayangkan. Bahkan
pertanyaan-pertanyaan yang justru sangat sederhana tersebut seolah-olah menampar,
menodong, menelanjangi hakikat diri kita sendiri.

Betapa kagetnya saya yang tiba-tiba diberondong pertanyaan, “Apa tujuan


hidupmu?”, “Apa filosofi keluargamu?”, “Sudahkah kamu menjadi orangtua yang pantas
bagi anak(-anak)mu?”, “Sebelum kamu menuntut anak(-anak)mu menjadi orang yang
seperti harapanmu, bisakah kamu memberikan teladan yang baik bagi anak(-anak)mu?”,

Tapi perasaan ini seperti tidak bisa mengelak dari serangan pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Karena memang justru hal-hal itulah yang harus kita pikirkan terlebih dahulu
dalam proses kita mendidik anak. Ternyata mendidik anak yang ideal tidak semudah yang
selama ini saya bayangkan, hanya tinggal memasrahkan ke sekolah dan komplain ke sekolah
jika anak kita bermasalah baik dalam hal akademik maupun psikologis. Ternyata begitu
besar tanggungjawab kita sebagai orang tua yang diberi kepercayaan oleh tuhan dan
masyarakat untuk menyiapkan generasi mendatang yang berkepribadian luhur dan mampu
menjadi berkat bagi masyarakat dan peradaban manusia.

Untuk mencapai tujuan luhur tersebut, Charlotte Mason mengemukakan tiga piranti
utama yang idealnya digunakan dalam mendidik anak; atmosfir, disiplin dan ide-ide yang
hidup.

Pertama, atmosfir. Seorang anak akan menyerap banyak hal dari lingkungannya,
terutama dari orangtuanya. Dari orang tuanya, anak akan belajar nilai-nilai yang membentuk
kepribadian dan cara pandangnya terhadap kehidupan dan bagaimana menjalaninya.
Teladan yang diberikan orang tua akan lebih berkesan dan membekas dalam sanubarinya
dibandingkan sekedar perintah dan larangan yang dilontarkan orang tua kepada anak.

Kedua, disiplin. Awalnya saya membayangkan disiplin melulu berkaitan dengan


perintah dan hukuman. Ternyata saya salah. Disiplin yang dimaksud oleh Chartolle Mason
adalah pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik. Orang tua bertanggungjawab melatihkan
kebiasaan-kebiasaan baik secara bertahap dan konsisten. Mulai lah dari yang sederhana dan
kecil. Tidak perlu tergesa-gesa menuntut anak untuk secara kilat menjadi anak yang baik.

Ketiga, ide-ide yang hidup. Saya sangat terkesima dengan poin ketiga ini.
Menanamkan pemikiran dan ide-ide yang hidup pada anak, bukan sekadar fakta-fakta
kering yang membosankan. Berbeda dengan cara belajar di sekolah yang sebagian besar
materi pelajarannya adalah buku-buku yang berisi ringkasan pengetahuan dengan teks-teks
yang kering, Charlotte Mason menawarkan metode belajar menggunakan buku-buku yang
“hidup”, yakni muatan pelajaran (ide-ide) dalam bentuk naratif atau cerita yang ditulis oleh
orang-orang yang mempunyai ketertarikan mendalam pada topik yang ditulisnya, sehingga
tulisannya menjadi hidup. Anak diminta untuk menceritakan kembali dengan kata-katanya
sendiri, sehingga ide tersebut akan tertanam dan menjadi milik pribadi sang anak. Tidak ada
soal isian kosong ataupun pilihan ganda yang harus mereka jawab. Belajar akan menjadi
lebih menyenangkan dan efektif.

Betapa saya bersyukur menemukan pemikiran Charlotte Mason melalui buku CYB.
Meskipun masih banyak hal yang harus saya dan pasangan pelajari, meskipun masih banyak
pertanyaan yang harus kami refleksikan dalam kehidupan, namun semangat untuk belajar
semakin tumbuh.

Mendidik anak menjadi insan kamil memang bukan suatu hal yang instan dan sepele.
Dibutuhkan proses yang panjang, keteguhan hati dan kesabaran lebih. Kita sebagai orang
tua tidak cukup hanya bermodalkan cinta yang kita limpahkan pada anak, namun kita juga
mempunyai tugas utama untuk terus belajar menjadi orang tua yang ideal. Jatuh bangun
pasti akan kita alami. Di situlah iman kita diuji. Seberapa yakin kita pada apa yang sedang
kita jalani. Bahwa kita mampu untuk mewujudkan dunia yang lebih baik di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai