Anda di halaman 1dari 15

Antropologi Kesehatan dan Ekologi

Tugas ini Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Sosiologi dan
Antropologi Kesehatan yang dibimbing oleh Ibu : Meyi Yanti, MKM

Kelompok 4 :

1. Anzelia Miranda
2. Atila Aulia
3. Denisha Ryan S
4. Dini Amsi Ramadhan
5. Fadila Yasri
6. Frengki Sama
7. Meizi Derian Pama
8. Nadia Ermita
9. Sustri Laila

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berkaitan dengan Antropologi Kesehatan dan
Ekologi ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen
pada mata kuliah Sosiologi Antropologi Kesehatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai Antropologi Kesehatan dan ekologi baik bagi para pembaca
maupun bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibuk Meyi Yanti, MKM, selaku dosen mata kuliah
Sosiologi Antropologi Kesehatan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Meskipun kami berharap isi dari makalah kami ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun
pasti selalu ada yang kurang karna kami barulah mahasiswa yang masih belajar dan tentunya
butuh bimbingan dari ibuk. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar tugas Sosiologi Antropologi Kesehatan ini dapat lebih baik lagi.

Padang, 26 Juni 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….......................

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………..…..

1.1 Latar Belakang………………………………………………...………………………………

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………….................................

1.3 Tujuan …………………………………………………………...……………………………

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS…………………………………………….……………………..

2.1 Ekologi Kesehatan menurut Fabrega.........................................................................................

2.2 Model Hubungan Manusia dengan Lingkungan………………...............................................

2.3 Paleopathology dan temuan terkait……………………………………………………………

2.4 factor kecepatan penyebaran penyakit…………………………………………………………

BAB 3 PENUTUP…………………………………..…………………………..............................

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................

3.2 Saran ...........................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antropologi Kesehatan merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosiobudaya, biobudaya,


dan ekologi budaya dari “kesehatan” dan kesakitan yang dilihat darisegi-segi fisik, jiwa, dan
sosial serta perawatannya masing-masing dan interaksi antara ketigasegi ini dalam kehidupan
masyarakat, baik pada tingkat individual maupun tingkat kelompoksosial
keseluruhannya.Antropologi Kesehatan menjelaskan secara komprehensif dan interpretasi
berbagaimacam masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku
manusiadimasa lalu dan masa kini dengan derajat “kesehatan” dan penyakit, tanpa
mengutamakanperhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Partisipasi
profesional“antropolog” dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat
“kesehatan”melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-
budayadengan “kesehatan”, serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini
akanmeningkatkan “kesehatan” yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa ciri-ciri ekologi kesehatan menurut Fabrega?


2. Apa unsure-unsur dalam model hubungan manusia dengan lingkungan?
3. Apa pengertian dan temuan terkait Paleopathology?
4. Bagaimana menganalisis factor kecepatan penyebaran penyakit menular yang berbeda
tingkat evolusi budayanya?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui cirri-cici ekologi kesehatan menurut Fabrega.


2. Mengetahui unsure-unsur dalam model hubungan manusia dengan lingkungan.
3. Mengetahui pengertian dan temuan terkait Paleopathology.
4. Mengetahui bagaimana menganalisis factor kecepatan penyebaran penyakit menular yang
berebeda tingkat evolusi budayanya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Antropologi Kesehatan dan Ekologi menurut Fabrega

Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya terhadap penghayatan
masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita
ini masih sangat sempit karena antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan
masyarakat dan pengaruh unsur budaya saja. Antropologi lebih luas lagi kajiannya dari itu
seperti Koentjaraningrat mengatakan bahwa ilmu antropologi mempelajari manusia dari aspek
fisik, sosial, budaya (1984;76). Pengertian Antropologi kesehatan yang diajukan
Foster/Anderson merupakan konsep yang tepat karena termakutub dalam pengertian ilmu
antropologi seperti disampaikan Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster/Anderson, Antropologi
Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu
kutub biologi dan kutub sosial budaya.

Menurut Fabrega :

Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:

• Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang memainkan peranan

didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan kelompok-kelompok


terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.

• Mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-pola


tingkahlaku. (Fabrga, 1972;167)

Pengertian Ekologi

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan
yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos (“habitat”) dab logos (“ilmu”). Ekologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara
makhluk hidup dan lingkungannya.

Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi


• SISTEM adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang dipersatukan oleh beberapa
bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang
dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuk suatu
keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam satu kesatuan.

• SISTEM SOSIAL-BUDAYA ATAU KEBUDAYAAN adalah keseluruhan yang integral dalam


interaksi antar manusia.

• EKOSISTEM adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan
nonhidup mereka (Hardesty 1977;289)

Dalam membicarakan Antropologi Kesehatan dan Ekologi, pembahasan pada:

 Hubungan, bentuk dan fungsi kesehatan dan penyakit dari pandangan lingkungan dan
sosial-budaya.
 Masalah dinamika dari konsekuensi hubungan, bentuk dan fungsi dari kesehatan dan
penyakit dengan pendekatan ekologis dan sosial-budaya.

2.2 Hubungan Antropologi Kesehatan dan Ekologi

Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan penyakitnya dan cara-
cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya selalu
melalui proses umpan- balik. Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalah-
masalah epidemiologi, cara-cara dimana tingkahlaku individu dan kelompok menentukan derajat
kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda.
Sebagai contoh pada penyakit malaria ditemukan pada daerah berikilim tropis dan subtropis
sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga pada daerah diatas
1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bisa berkembang.

Contoh lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda dengan bangsa yang
baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah, TBC, dll pada
umumnya terdapat pada negara- negara berkembang, sedangkan penyakit-penyakit noninfeksi
seperti stress, depresi, kanker, hipertensi umumnya terdapat pada negara-negara maju. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.
Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus belajar
mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini
dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang sering memainkan peranannya dalam
mencetuskan penyakit. Penyakit adalah bagian dari lingkungan hidup manusia. Contoh penyakit
Kuru (lihat Foster/Anderson, hal 27-29:’MISTERI KURU’).\

McElroy dan Townsend (1985)

Antropologi Kesehatan adalah sebuah studi tentang bagaimana faktor-faktor sosial dan
lingkungan mempengaruhi kesehatan dan kesadaran cara-cara alternatif tentang pemahaman dan
merawat penyakit.

McElroy dan Townsend yang mengambil pandangan sejarah juga menekankan pentingnya
adaptasi dan perubahan sosial dengan menyatakan bahwa sejumlah besar ahli antropologi
kesehatan kini berhubungan dengan kesehatan dan penyakit yang berkaitan dengan adaptasi
kelompok manusia sepanjang jarak geografis dan jangka waktu luas dari masa prasejarah ke
masa depan.

Kedua ahli ini menyepakati setidaknya enam sub-disiplin antropologis yang relevan dengan
Antropologi Kesehatan yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi Pra-Historis, Antropologi Kultural,
Antropologi Ekologikal, Teori Evolusioner, dan Linguistik Antropologi.

Hubungan Manusia dengan Lingkungan

Manusia hidup dalam lingkungannya dan melakukan interaksi dengan komponen-komponen


yang ada di lingkungannya. Interaksi tersebut dapat terjadi dengan komponen biotik mapun
abiotik serta sosial budaya. Pada awalnya interaksi antara manusia dengan lingkungannya
berjalan secara serasi, selaras dan seimbang. Namun, belakangan ini hubungan tersebut berjalan
secara tidak seimbang. Manusia dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya lebih
bersifat eksploitatif terhadap alam, sehingga muncul berbagai permasalahan lingkungan.
Permasalahan lingkungan terjadi karena pandangan manusia yang keliru terhadap alam. Manusia
seringkali melanggar etika lingkungan karena menganggap dirinya terpisah dari lingkungannya.
Karena itu, untuk menyelamatkan lingkungan harus ada perubahan yang mendasar pada diri
manusia dalam memandang lingkungannya.
A. PENGERTIAN/HAKEKAT HUBUNGAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN

Pada awalnya hubungan manusia dan lingkungan lebih bersifat alami dan mencakup komponen-
komponen seperti iklim, daratan, vegetasi, dan tanah. Dengan berkembangnya peradaban,
manusia dikelilingi oleh berbagai bentuk artefak atau benda-benda hasil karyanya. Benda-benda
tersebut kemudian menjadi bagian dari lingkungan secara keseluruhan. Bahkan, di daerah
perkotaan lingkungannya didominasi oleh komponen-komponen kehidupan perkotaan seperti
jalan, jembatan, permukiman, perkantoran, hotel, dan lain-lain. Lingkungan alam telah diganti
atau diubah secara radikal oleh lingkungan buatan atau binaan.

Hubungan manusia dan lingkungan bekerja melalui dua cara. Pada satu sisi, manusia dipengaruhi
oleh lingkungan, tetapi pada sisi lain manusia memiliki kemampuan untuk mengubah
lingkungan. Karakteristik hubungan tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya
atau satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Pada daerah yang masyarakatnya memiliki
tingkat peradaban yang telah maju, manusia cenderung dominan, sehingga lingkungannya telah
banyak berubah dari lingkungan alam menjadi lingkungan binaan hasil karya manusia. Dalam
kaitannya dengan hubungan manusia dan lingkungan, terdapat beberapa paham yang
menjelaskan hakekat dari hubungan tersebut, yaitu paham determinisme, paham posibilisme dan
paham optimisme teknologi.

1. Paham Determinisme

Paham determinisme memberikan penjelasan bahwa bahwa manusia dan perilakunya ditentukan
oleh alam. Tokoh-tokoh atau ilmuwan yang mengembangkan dan menganut paham
determinisme diantaranya Charles Darwin, Frederich Ratzel dan Elsworth Huntington.

Charles Darwin (1809) merupakan ilmuwan berkebangsaan Inggris yang sangat terkenal dengan
teori evolusinya. Menurutnya, makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami
perkembangan dan dalam proses perkembangan tersebut terjadi seleksi alam (natural selection).
Makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan mampu bertahan dan lolos
dari seleksi alam. Dalam hal ini alam berperan sangat menentukan.

Frederich Ratzel (1844-1904) merupakan ilmuwan berkebangsaan Jerman yang sangat dikenal
dengan teori ”Antopogeographie”-nya. Menurutnya manusia dan kehidupannya sangat
tergantung pada alam. Perkembangan kebudayaan ditentukan oleh kondisi alam, demikian
halnya dengan mobilitasnya yang tetap dibatasi dan ditentukan oleh

kondisi alam di permukaan bumi.

Elsworth Huntington merupakan ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat yang dikenal dari
karya tulisnya berupa buku yang berjudul, ”Principle of Human Geographie”. Menurutnya, iklim
sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Sebagaimana telah kalian pelajari
dalam mata pelajaran Geografi, iklim di dunia sangat beragam. Keragaman iklim tersebut,
menciptakan kebudayaan yang berlainan. Sebagai contoh, kebudayaan di daerah beriklim dingin
berbeda dengan di daerah beriklim hangat atau tropis.

2. Paham Posibilisme

Paham posibilisme memberikan penjelasan bahwa kondisi alam itu tidak menjadi faktor yang
menentukan, melainkan menjadi faktor pengontrol, memberikan kemungkinan atau peluang yang
mempengaruhi kegiatan atau kebudayaan manusia. Jadi menurut paham ini, alam tidak berperan
menentukan tetapi hanya memberikan peluang. Manusia berperan menentukan pilihan dari
peluang-peluang yang diberikan alam. Ilmuwan yang menganut paham ini, diantaranya adalah
ilmuwan berkebangsaan Perancis bernama Paul Vidal de la Blache (1845-1919). Menurutnya,
faktor yang menentukan itu bukan alam melainkan proses produksi yang dipilih manusia yang
berasal dari kemungkinan yang diberikan alam, seperti iklim, tanah, dan ruang di suatu wilayah.
Dalam hal ini, manusia tidak lagi bersikap pasif atau pasrah menerima apapun yang diberikan
alam seperti yang diyakini oleh paham determinisme, tetapi aktif dalam pemanfaatannya.
Manusia dan kebudayaannya dapat memilih kegiatan yang cocok sesuai dengan kemungkinan
yang diberikan oleh alam.

3. Paham Optimisme Teknologi

Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan


teknologi. Sebagian rahasia alam terungkap dan teknologi untuk mengeksploitasinya terus
berkembang. Bahkan, dengan kemajuan teknologi saat ini sebagian manusia menjadikan
teknologi segala-galanya. Mereka sangat optimis bahwa teknologi berkembang apapun dapat
menjamin kebutuhan manusia. Teknologi bukan lagi menjadi alternatif tetapi telah menjadi
keyakinan yang dapat menjamin hidup dan kehidupan manusia. Bahkan lebih jauh telah
mengarah pada ketergantungan teknologi dan mentuhankan teknologi. Teknologi telah membuat
sebagian manusia tidak lagi percaya pada Tuhan. Padahal teknologi merupakan ciptaan manusia
dan bertuan pada manusia, bukan sebaliknya.

Dari ketiga paham tersebut, masing-masing memiliki komponen kebenarannya. Sebagian


aktivitas manusia sangat ditentukan oleh alam, terutama yang memanfaatkan alam secara
langsung misalnya aktivitas pertanian. Aktivitas tersebut sangat ditentukan oleh kondisi cuaca
dan iklim, walaupun dalam perkembangannya manusia mulai menggunakan teknologi untuk
mengaturnya seperti rumah kaca. Pakaian manusia dalam banyak hal juga tergantung pada
kondisi cuaca. Hal ini merupakan bukti paham determinisme lingkungan. Namun demikian,
seiring dengan kemajuan peradaban, manusia banyak melakukan upaya rekayasa untuk
mengoptimalkan pemanfaatan alam. Karena itu, paham posibilis dan optimisme teknologi
semakin menunjukkan kenyataan.

B. ETIKA LINGKUNGAN

Manusia lebih membutuhkan alam lingkungan daripada alam yang membutuhkan manusia, maka
sudah dapat dipastikan bahwa kerusakan alam lingkungan karena manusia telah berbuat salah
terhadap alam.Mengapa terjadi kerusakan lingkungan? A. Sonny Keraf (2002) dalam bukunya
berjudul Etika Lingkungan mengingatkan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah
moral manusia, atau pesoalan perilaku manusia. Kerusakan bukan masalah teknis tetapi krisis
lingkungan adalah krisis moral manusia. Menurut A. Sonny Keraf, untuk mengatasi masalah
lingkungan hidup dewasa ini langkah awalnya adalah dengan cara merubah cara pandang dan
perilaku manusia terhadap alam secara mendasar melaui pengembangan etika lingkungan.Secara
teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow
Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics.
Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme(Sony
Keraf: 2002).

1. Antroposentrisme

Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang
Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya
menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Antroposentrisme adalah
aliran yang memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, dan hanya manusia
yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan
dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam.
Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara
pandang seperti itu melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali
terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.

2. Biosentrisme dan ekosentrisme

Cara pandang antroposentrisme, saat ini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan
ekosentrisme. Pada faham biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang
sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk biologis atau makluk ekologis. Manusia
hanya bisa hidup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh, tidak hanya dalam
komunitas sosial, tetapi juga komunitas ekologis, yaitu sebagai makhluk yang kehidupannya
tergantung dari dan terikat erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Tanpa alam, tanpa
makhluk hidup lain, manusia tidak akan bertahan hidup, karena manusia hanya merupakan salah
satu entitas di alam semesta. Seperti semua makhluk hidup lainnya, manusia mempunyai
kedudukan yang sama dalam ”jaringan kehidupan” di alam semesta ini. Jadi, manusia tidak
berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Manusia berada dalam alam dan terikat serta
tergantung dari alam dan seluruh isinya.

Dari pemahaman ini, biosentrisme dan ekosentrisme memperluas pemahaman etika, yaitu
menganggap komunitas biotis dan komunitas ekologis sebagai komunitas moral. Etika tidak lagi
dibatasi hanya bagi manusia. Etika dalam pemahaman biosentrisme dan ekosentrisme berlaku
bagi semua makhluk hidup. Etika lingkungan yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme
dan ekosentrisme adalah kembali kepada etika masyarakat adat, yang dipraktikkan oleh hampir
semua suku asli di seluruh dunia.Biosentrisme memiliki pandangan bahwa setiap kehidupan dan
makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius
setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Sema makhluk hidup bernilai pada dirinya
sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan
secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Teori ini mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya.
2.3 Paleopathology

Paleopatologi, yang juga disebut sebagai palaeopatologi, adalah sebuah studi mengenai penyakit
pada masa kuno. Ilmu ini berguna untuk memahami mengenai sejarah penyakit, dan menerapkan
pemahaman ini untuk memprediksi masa yang akan datang.

Ahli-ahli patologi, anatomi, dan ahli antropologi fisik telah banyak belajar mengenai penyakit-
penyakit dan luka-luka pada manusia purba. Pada umumnya, hanya penyakit- penyakit yang
menunjukkan bukti-bukti yang nyata pada tulang saja yang diidentifikasi. Sebagai contoh,
kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat dari syphilis, tuberculosis, frambosia, dan
sejenisnya adalah jenis-jenis penyakit infeksi yang dapat dikenali. Teknik terbaru dalam analisis
penyakit manusia purba adalah penggunaan kotoran manusia (coprolites) yang apabila disusun
kembali dapat memberikan informasi yang tiada ternilai mengenai ada atau tidaknya parasit
intestine. Ahli-ahli paleopatologi juga memanfaatkan hasil-hasil kesenian, seperti lukisan-lukisan
dinding gua, di bejana, patung-patung manusia, kayu, dan sebagainya untuk menetapkan jenis
penyakit yang mereka deskripsikan.

Hal-hal tentang penyakit-penyakit manusia purba dan adaptasinya terhadap lingkungan dapat
disimpulkan dari studi mengenai sisa-sisa masyarakat berburu dan meramu, seperti orang
Bushmen di Afrika Selatan dan penduduk asli Australia.

Mungkin kesimpulan yang paling penting yang dapat diambil dari studi-studi itu, jika
dihubungkan dengan bukti-bukti lain seperti tingkah laku gen dan virus, adalah bahwa banyak
penyakit-penyakit modern tidak terdapat pada penduduk purba dan bahwa “spectrum dari
penyakit yang menyerang manusia sepanjang perkembangannya mungkin lebih kecil daripada
yang telah kita alami pada masa sejarah.Sakitnya manusia purba disebabkan oleh jenis pathogen
dan factor-faktor lingkungan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang dialami oleh manusia
modern.

Dari segi eksistensi dan daya tahan hidup dari pathogen, suatu jenis pathogen lain dibutuhkan,
yang dapat bertahan untuk waktu yang lama sampai munculnya perantara baru. Karenanya,
seleksi alamiah lebih terbuka bagi pathogen yang dapat hidup dalam hubungan bersama dengan
perantara mereka, dan pathogen yang dapat terus hidup walaupun jauh dari perantaranya.
Kebiasaan nomadic masyarakat berburu dan meramu mempengaruhi kesehatan mereka; jumlah
orang yang sedikit yang senatiasa berpindah, kecil kemungkinan untuk menginfeksi dirinya
sendiri akibat kotoran mereka sendiri dibandingkan populasi yang menetap.

Penemuan pertanian menambah jenis dan frekuensi penyakit yang diderita manusia. Hal ini
sebagian disebabkan karena populasi yang besar merupakan reservoir infeksi, yang tidak akan
timbul dalam populasi kecil. Dan sebagian disebabkan hubungan manusia dengan hewan ternak
yang mungkin menularkan pathogen baru. Hidup menetap dan masalah sanitasi dalam
masyarakat menetap sudah pasti meningkatkan angka penyakit parasit karena kesempatan untuk
infeksi ulangan dan kontaminasi dengan sampah manusia meningkat.

Namun dengan munculnya ekonomi agricultural, “populasi komuniti menetap yang semakin
padat menjadi semakin peka terhadap penyakit infeksi, suatu cara utama dalam hal pengawasan
penduduk.

2.4 Factor kecepatan penyebaran penyakit menular yang berbeda tingkat evolusi budaya

Asumsi tentang penyakit (Wells, 1964)

 Pola dari penyakit atau bencana luka-luka yang mempengaruhi kelompok manusia
manapun, merupakan masalah yang tidak pernah berubah. Pola penyakit itu
merefleksikan :
- Warisan genetic
- Iklim tempat mereka tinggal
- Tanah yang member mereka makan
- Binatang binatang atau tanaman yang ada bersama sama di tempat itu

Yang memengaruhi : pekerjaan mereka sehari hari, kebiasaan diet, pemilihan tempat tinggal,
pakaian, struktur sosial, folklore dan mitologi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Antropologi kesehatan mempelajari bagaimana kesehatan individu, formasi sosial yang lebih
luas dan lingkungan dipengaruhi oleh hubungan antara manusia dan spesies lain, norma budaya
dan institusi sosial, politik mikro dan makro, dan globalisasi. Budaya memiliki kaitan yang erat
dengan kesehatan. Hal ini tidak lain karena pengertian budaya itu sendiri mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat dan kebiasaan. Ini dikarenakan
budaya bersifat dinamis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan.

3.2 Saran

Penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh Karen itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai bahan ajar untuk penyusunan
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Mujoyono, Antara Manusia, Lingkungan Hidup dan Perilakunya


http://langitbiru89.multiply.com/Journal/Dwonlod 25-06-2021

Aufderheide, A.C., Rodriguez-Martin, C. dan Langsojoen, O. 1998. The Cambridge


Encyclopedia of Human Paleopathology.Cambridge: Cambridge University Press.

Dumatubun.2002. Kebudayaan Orang Papua dalam Antropologi Kesehatan. Jurnal Antropologi


Papua

Foster & Anderson : Antropologi Kesehatan (terjemahan), (Jakarta; UI-Press,1986)

Koenjaraningrat.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai