Case Report Sindroma Nefrotik 4 PDF Free
Case Report Sindroma Nefrotik 4 PDF Free
SINDROM NEFROTIK
Oleh :
NIM.0808151325
Pembimbing :
1
SINDROM NEFROTIK
1.1 Definisi
Sindroma nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia
tiga bulan sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan
disebut sebagai sindrom nefrotik kongenital.
2
tersebut dapat ditemukan deposit immunoglobulin kecuali pada tipe lesi minimal
masih kontroversi dan berdasarkan kelainan histopatologi yang tampak pada
biopsy ginjal, maka SN primer dapat diklasifikasikan menjadi : 1,4
3
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling
sering. Beberapa jenis glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari 78%
sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak. Pada 22% orang
dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama diabetes,
amiloidosis dan thrombosis vena renalis) dimana ginjal terlibat secara sekunder
atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau allergen lain.
4
Tabel 1 : Tabel Frekuensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak
dan Dewasa5
1.3 Patofisiologi
a.
Proteinuria1,3
Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik adalah
proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerolus akibat kerusakan glomerulus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini
tidak diketahui tetapi dihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan
negatif pada dinding kapiler.1
Proteinuria (albuminuria) masif yaitu 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan
tubuh/hari merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,namun
penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus.1
5
Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria yaitu :
1. Konsentrasi plasma protein
2. Berat molekul protein
3. Elektikal charge protein
4. Integritas barrier membrane basalis
5. Elektikal charge pada filtrasi barrier
6. Reabsorbsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
7. Degradasi intratubular dan urin.
b. Hipoalbuminemia 1,3
Hipoalbuminemia merupakan salah satu gejala dalam menegakkan
diagnosis SN, yaitu kadar albumin plasma kurang dari 3,5 gr/dL. Adapun akibat
utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema.2
c. Edema 1,3,6
Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dantekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
aktivitas sistemrenin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta
ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
6
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini
dikenal dengan teori underfill.1
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma
dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah
konsep baru yangdisebut teori overfill.1
Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanismeintrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edematerjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.1
7
d. Hiperlipidemia1,3
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
lipiddan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL
pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguankonversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnyaaktivitas enzim LPL
( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnyakatabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnyaaktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol
acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hatiuntuk katabolisme.
Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yangterjadi
pada SN.
e. Lipiduria6
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval dan fatty cast.
Lipiduria dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Sumber lemak ini berasal dari filtrate lipoprotein melalui membrane basalis
glomerulus yang meningkat permeabilitasnya
8
rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema
dimukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan dipemeriksaan fisik, hal ini
dimungkinkan terjadi dikarenakan sintesis albumin yang meningkat atau edema
ataupun keduanya.
1.5 Diagnosis
Diagnosis Sindroma Nefrotik di tegakkan berdasarkan : 5,6,7
a. Anamnesis
Keluhan utama berupa bengkak yang tampak di sekitar mata dan
ekstremitas bawah dengan jenis pitting edema. Seiring berjalannya waktu
edema menjadi umum dan terjadi peningkatan berat badan
b. Pemeriksaan fisis
Tanda vital dalam batas normal. Jarang timbul hipertensi
Inspeksi : Terdapat edema pada periorbita maupun ekstremitas
Palpasi : pitting edema
Perkusi : dapat timbul asites pada abdomen (shifting dullness), efusi pleura
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah
2) Pemeriksaan urin
9
1.6 .Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik
A .Non Farmakologis1
1. Diet
Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium edema dan selama
pemberian kortikosteroid
Cairan dibatasi ± 900 sampai 1200 ml/hari
Pemberian kalsium dan vitamin D
Diet rendah kolesterol <600 mg/hari
B.Farmakologis1,3
1. Diuretika
Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari
2. Prednison
induksi: 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80
mg/24 jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi,
tiap 48 jam sekali selama 4 minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5
mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan
3. Sitostatika
Bila resisten terhadap prednison atau ada efek samping obat
Alkylating agent : siklofosfamid 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama
6-8 minggu
Antimetabolit : azotriopin 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 6-8
minggu
4. Golongan statin yang bekerja untuk menurunkan kolesterol darah,
contohnya lovastatin dan simvastatin
10
1.7 Komplikasi8
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
hemostasis pada sindrom nefrotik:
a. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan
Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.
b. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2,meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis. Aktivasi sistem hemostatik
didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit danoleh
paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit.
2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh Streptococcus,
Staphylococcus, bronkopneumonia,TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut
atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini biasanya batasnya
tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakkan.
3. Gangguan tubulus renalis : gangguan klirens air bebas pada pasien
sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di
tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa
henle tebal.Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan
menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut. Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya
tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG.
5. Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein
pengangkut Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis. Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik
untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat
infeksi Streptococcus pneumonia, E.coli.
11
7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral karena protein pengikat
hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
1.8 Prognosis9
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid.
12
ILUSTRASI KASUS
Identitas pasien
Nama : Ny. S
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tanga
Alamat : Kandis - Duri
No.MR : 785136
Masuk RS : 18 Oktober 2012
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan utama :
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit
(SMRS).
- 15 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas, sesak yang dirasakan tiba-
tiba. Sesak tidak berhubungan deman aktifitas dan tidak hilang dengan
perubahan posisi. Nyeri dada (-), Bengkak pada tungkai dan tangan (-),
buang air kecil normal bewarna kuning, buang air besar normal bewarna
kuning.
- 7 hari SMRS pasien merasakan nyeri pada ulu hati, nyeri dirasakan tidak
menjalar dan nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tidak
berhubungan dengan makanan. Mual (+), muntah (+) ± 5x/ hari berisi
makanan yang telah dimakan, sesak (-).
- 4 hari SMRS pasien mengeluhkan kaki tiba-tiba membengkak kemudian
diikuti oleh seluruh tubuh. Mata susah dibuka saat bangun tidur dan sesak
mulai dirasakan timbul makin lama makin berat, buang air kecil dirasakan
13
makin sering ± 6 – 7 kali/ hari bewarna kuning muda dan berbuih, darah
(-), pasir (-), buang air besar sedikit – sedikit, konsistensi keras, bewarna
kuning, nyeri ulu hati (-), demam (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-),
mata kuning (-),nyeri sendi (-),bercak merah pada muka dan tubuh lain (-).
Riwayat kebiasaan :
14
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Pemeriksaan Thoraks
Paru :
Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, spider nevy (-)
Palpasi : Fremitus sama kanan dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, ronki basah (+/+)
wheezing (-/-)
15
Jantung :
Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan ekstremitas:
- Akral hangat, macular rash (-), palmar eritem (-), pitting edema (+) pada
kedua tungkai dan tangan
16
PEMERIKSAAN PENUNJANG
17
RESUME
Pasien Ny. S, 39 tahun, datang dengan keluhan bengkak pada seluruh badan sejak
4 hari SMRS. 15 hari SMRS pasien mengeluhkan tiba-tiba sesak, sesak tidak
berhubungan dengan aktifitas dan tidak hilang dengan perubahan posisi. 7 hari
SMRS pasien merasakan nyeri pada ulu hati terus menerus, nyeri dirasakan
seperti ditusuk – tusuk dan tidak menjalar. 4 hari SMRS pasien mengeluhkan
bengkak tiba-tiba pada kedua tungkai yang kemudian diikuti bengkak seluruh
tubuh, mata susah dibuka saat bangun pagi, keluhan disertai sesak yang timbul
makin lama makin berat dan BAK sering ± 6-7 kali/hari bewarna kuning muda
dan berbuih. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada wajah, edema
palpebra, perut cembung, distensi , hipertimpani, nyeri tekan epigastrium, shifting
dullness, pitting edema di ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang didapatkan
hematokrit meningkat, hipoalbumin, proteinuria.
DAFTAR MASALAH
DIANOSIS KERJA
Sindrom nefrotik
RENCANA PEMERIKSAAN
18
4. Pemeriksaan serologik, Anti dsDNA
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi :
- Tirah baring
- Diit dengan :
o Energi cukup (35 kkal/KgBB/hari) ; ±1925 kkal/hari
o Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; ± 55 gram/hari
o Lemak sedang 15 – 29 % dari kebutuhan energi total
o Natrium dibatasi ± 1 – 3 gram/hari
o Intake cairan dibatasi ± 600cc/hari
Farmakologi :
- Pasang Stripi
- Inj. Spironolakton 1 x 25
- Lasix ½-0-0
- Simvastatin 1 x 10 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- Methyl Prednisolon 10 mg 3-1-0
- Jika sesak – Inj. Lasix- 1 ampul
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
19
BAB pitting edema (+/+)
normal
20
PEMBAHASAN
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah sindroma nefrotik dengan penyebab
utamanya dipikirkan oleh karena glomerulonefritis primer.
Dari hasil anamnesis diketahui bahwa edema dimulai dari wajah, terutama
pada edema palpebra, ekstremitas bawah kemudian edema menjadi menyeluruh,
yaitu ke perut dan ekstremitas atas. Patofisiologi terjadinya edema pada sindroma
nefrotik adalah diawali dengan terjadinya reaksi antigen-antibodi pada glomerulus
yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basalis glomerulus
sehingga terjadinya proteinuria massif dan hipoalbuminemia.
Pada sindrom nefrotik biasanya dapat terjadi keluaran protein hingga 5 –
15 gram protein tiap 24 jam. Hipoalbuminemia ini merupakan kondisi yang
cenderung dapat menimbulkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
intersisial dikarenakan penurunan tekanan onkotik plasma. Hal inilah dapat
dimanifestasikan sebagai edema anasarka. Penurunan aliran plasma ginjal dan
GFR yang terjadi dapat mengaktifkan mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron,
akibatnya terjadi peningkatan produksi ADH. Garam dan air diretensi oleh ginjal
sehingga dapat memperberat edema yang telah terjadi. Jika rangkaian proses ini
terjadi terus berulang kali, inilah yang menyebabkan terjadinya edema massif.
Selain itu gejala lain yang menunjukan kearah sindroma nefrotik adalah
proteinuria. Pada hasil pemeriksan urinalisis, ditemukan protein +2. Dari
anamnesis pasien juga menyebutkan jika urinnya berbuih- buih. Hal ini
menunjukkan terjadinya suatu proteinuria +2 yang artinya kekeruhan pada urin
masih dapat dilihat dan tampak butir – butir dalam kekeruhan, yang kadar protein
kira-kira 0,05-0,2 %. Diharapkan karena hasil didaptkan positif agar dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan urin yang kuantitatif.
Pada pasien ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kimia darah untuk
kolesterol agar dapat diyakini kalau memang pasien ini memenuhi semua kriteria
dari sindrom nefrotik. Pada pasien ini terdapat adanya hipoalbuminemia, sehingga
lebih baik diberikan albumin untuk lebih mendukung proses diuresisnya, daripada
21
hanya memberikan antidiuretik tanpa memperbaiki kadar albuminya. Selain itu
juga diperlukannya rontgen thorax untuk melihat apakah telah terjadi adanya efusi
pleura karena dipikirkan dari awal pasien telah mengeluhkan adanya sesak. Biopsi
ginjal dapat dilakukan untuk lebih mengetahui gambaran kerusakan ginjal,
resistensi kortikosteroid dan prognosisnya, sehingga dapat ditentukan terapi yang
tepat sesuai dengan kondisi kerusakan ginjalnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
23