Anda di halaman 1dari 10

PERSPEKTIF

Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Arifin Rada
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate
e-mail: malukumalut@yahoo.com
ABSTRAK
Euthanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup seseorang ketika mengalami sakit yang
tidak dapat disembuhkan, guna mengakhiri penderitaannya. Di Indonesia, euthanasia tidak dapat
dilakukan dan merupakan perbuatan yang ilegal. Baik dalam hukum positif maupun dalam kode
etik kedokteran diatur bahwa melakukan euthanasia tidaklah diperbolehkan. Bila dikaji dalam
perspektif Hukum Islam, diatur bahwa euthanasia aktif adalah perbuatan yang diharamkan dan
diancam oleh Allah SWT dengan hukuman neraka bagi yang melakukannya.
Kata Kunci: euthanasia, hukum Islam, kematian.

ABSTRACT
Euthanasia is an attempt to end someone life when he/she has an uncurable illness, euthanasia
will be done in order to release his/her from suffering his/her illness. In Indonesia, euthanasia
can not be done and it is classified as an illegal act. Both in the positive law and the ethics code
regulate that performing an euthanasia is not allowed. Regarded to the perspective of Islamic
law, also regulated that an active euthanasia is an act that is forbidden and punishable by God
with a punishment of hell for those who did.
Keywords: euthanasia, Islamic law, death.

PENDAHULUAN
Kematian, bagi sebagian besar umat manusia itu (Kartono Muhammad, 1992:1). Kehidupan, serta
merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan juga kematian manusia merupakan suatu hal yang
mungkin tidak dikehendaki. Manusia sebagai salah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam nilai-nilai
satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena moral manapun, hingga setiap perlakuan terhadapnya
dilengkapi dengan akal, pikiran dan rasa. Dengan akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari segi
menggunakan akal dan pikirannya tersebut manusia moral. Inilah dasar perkembangan rekayasa genetika
mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dan bioetika atau bioteknologi sebagai suatu bidang
dalam hal menjalankan aktifitasnya sehari-hari (Ni ilmu yang kini dianggap menjadi disiplin tersendiri
Made Puspasutari Ujianti, dkk., 2013:41), maka dari di dalam bidang kedokteran.
sinilah manusia terus-menerus berusaha menunda Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu
kematian dengan berbagai cara, termasuk didalamnya hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami
temuan sains dan teknologi untuk menyembuhkan oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses
kesehatan manusia, tetapi sebaliknya, dengan adanya yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang
penemuan-penemuan sains dan teknologi tersebut, tidak menghendaki bila kematian itu datang dengan
membawa suatu konsekuensi tertentu kepada ummat segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian
manusia seperti euthanasia. Padahal yang diharapkan tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya
manusia adalah sains dan teknologi memfasilitasi saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun
kehidupan manusia dengan berbagai kemajuannya. jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan
Dalam arti, pengembangan sains adalah manifestasi setelah kematian terjadi.
keinginan manusia untuk maju dan juga berkembang Tidak demikian halnya dengan orang yang telah
menyempurnakan hidupnya, dan untuk memecahkan putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang
rahasia alam. Salah satu pengembangan sains yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera
membantu dan terkait langsung dengan kesehatan dan mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian
kehidupan manusia adalah teknologi kedokteran. bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun
Teknologi kedokteran merupakan teknologi yang juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan.
berkaitan langsung dengan hidup matinya manusia Terlepas daripada siap tidaknya mereka menghadapi

108
Rada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam

kehidupan setelah kematian, mereka menginginkan ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji,
kematian segera tiba. siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Departemen
Kematian yang diidamkan oleh pada penderita, Agama, 1989:955).
sudah barang tentu, adalah kematian yang normal
pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Tetapi dari pengalaman juga menunjukkan bahwa
Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut pada saat-saat ketika hal-hal yang tidak secara tegas
euthanasia yang mana dewasa ini diartikan dengan dilarang di dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan
pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya terlarang menurut pandangan pemuka agama, suatu
untuk dapat sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah saat dapat berubah.
suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga
ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah saat ini masih terus berlangsung (Akh. Fauzi Aseri,
euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa 1995:51). Mengingat euthanasia merupakan suatu
negara di dunia, baik itu di Benua Eropa sendiri, persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan
Amerika maupun di Asia. Di negara-negara barat, dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat
seperti Swiss, euthanasia itu sudah tidak dianggap Islam. Maka MUI dalam pengkajian (muzakarah)
sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakarta
sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan
(Hardinal, 1996:7-8). suatu tindakan bunuh diri (Forum Keadilan No. 4,
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang cukup 29 April 2001:45).
dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, Secara logika berdasarkan konteks perkembangan
maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan
ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari
oleh pihak Ikatan Dokter Indonesia (yang selanjutnya proses penelitian dan juga pengembangan. Demikian
disebut IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia
melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji
dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri
belum ada kesepakatan yang bulat terhadap masalah kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72). Namun akan
tersebut (Akh. Fauzi Aseri, 1995:51). timbulah berbagai permasalahan ketika euthanasia
Demikian juga dari sudut pandang agama, ada didasarkan pada konteks yang lain seperti hukum
sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang dan agama, khususnya agama Islam. Dalam konteks
melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya hukum, euthanasia kian menjadi bermasalah karena
dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat berkaitan dengan jiwa atau nyawa seseorang oleh
Publik Forum No. 19 Tahun IV, 01 Januari 1996, hukum sangat dilindungi keberadaanya. Sedangkan
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (yang dalam konteks agama Islam, euthanasia menjadi
selanjutnya disebut MUI) Pusat, Ibrahim Husein bermasalah karena kehidupan dan kematian adalah
menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita berasal dari penciptaNya (Djoko Prakoso dan Djaman
AIDS dieuthanasia bilamana memenuhi syarat-syarat Andhi Nirwanto, 1984:64).
berikut: 1. obat atau vaksin tidak ada; 2. kondisi Berbicara mengenai euthanasia, yaitu khususnya
kesehatannya makin parah; 3. atas permintaannya euthanasia aktif, berarti juga berbicara mengenai
dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter; pembunuhan, karena antara keduanya tidak dapat
4. adanya peraturan perundang-undangan yang mana dipisah-pisahkan. Dalam dunia kedokteran, euthanasia
mengizinkannya. Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa dikenal sebagai tindakan yang dengan sengaja tidak
sekalipun obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak melakukan sesuatu bertujuan memperpanjang hidup
atau belum ada dan kondisi pasien makin parah tetap seseorang atau sengaja melakukan sesuatu untuk
tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di memperpendek atau juga mengakhiri hidup seorang
tangan Tuhan (Masjfuk Zuhdi, 1996:28-29). pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat
Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian
SWT dalam Surat Al-Mulk ayat 2: yang baik tanpa penderitaan yang tidak perlu (K.
Berthens, 2001:120).
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum
ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan
pembunuhan yang mana merupakan suatu jarimah.

109
PERSPEKTIF
Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya
digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan
unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku
dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum
khusus. Yang dimaksud dengan unsur-unsur umum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas
yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi
sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash,
ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat antara lain: 1. pembunuhan adalah orang yang baligh,
pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk sehat, dan berakal; 2. ada kesengajaan membunuh;
unsur umum jarimah adalah sebagai berikut: Pertama, 3. ikhtiyar (bebas dari paksaan); 4. pembunuh bukan
Unsur formal, merupakan adanya nash atau ketentuan anggota keluarga korban; 5. jarimah dilakukan secara
yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai langsung (Ahmad Azar Basyir, 2001:16).
dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia
terjadi bila sebelum dinyatakan dalam nash. Kedua, aktif ada suatu perbedaan yang mendasar, meski
Unsur material, merupakan adanya perbuatan yang secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan
melawan hukum yang pernah dilakukan. Ketiga, sengaja, terdapat suatu maksud atau tujuan yang
Unsur moral, merupakan adanya niat pelaku untuk cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam
berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan
dengan tanggungjawab pidana yang hanya dibebankan secara sengaja dan terencana. Namun pembunuhan
atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur ini dilakukan atas kehendak dan permintaan pasien
keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh (Ahmad atau korban kepada dokter yang merawat dan maksud
Azar Basyir, 2001:8). atau tujuan yang terdapat didalamnya cenderung pada
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang suatu pertolongan, yang dalam hal ini menolong
membedakan antara jarimah satu dengan jarimah meringankan beban yang diderita oleh pasien.
yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan Berdasarkan uraian di atas, berikut ini penulis
berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina, dan merumuskan secara singkat poin-poin yang akan
sebagainya. menjadi rumusan masalah, diantaranya yaitu apakah
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga seorang dokter bisa mempraktekkan Euthanasia untuk
macam, yaitu: Pertama, pembunuhan sengaja (Al- meringankan seorang pasien mengakhiri hidupnya dan
qathl al-’amd), suatu perbuatan yang direncanakan sejauhmanakah pandangan agama terhadap terhadap
dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud praktek Euthanasia.
menghilangkan nyawa. Kedua, pembunuhan semi
sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), suatu perbuatan PEMBAHASAN
penganiayaan terhadap diri seseorang tidak dengan Euthanasia merupakan upaya yang mana dilakukan
suatu maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat
kematian. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan
(Al-qathl al-khatta), pembunuhan yang terjadi karena menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi
adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya (Djazuli, harapan untuk hidup atau disembuhkan. Hal tersebut
2000:123). memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri
kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak
apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di
bukan. Hal tersebut berbeda dengan Hukum Pidana kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah
Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal kemana-mana terutama para ulama Islam.
344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang
selanjutnya disebut KUHP), dimana dijelaskan bahwa Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan Tugas profesional seorang dokter itu begitu mulia
pidana (Natangsa Surbakti, 1998:115). dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan
Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada tanggungjawab dokter makin tambah berat akibat
kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan kemajuan-kemajuan yang mana dicapai oleh ilmu
apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter
akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan

110
Rada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam

profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Di dalam ranah ilmu kedokteran, kata euthanasia
Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang dipergunakan di dalam tiga arti, yaitu: Pertama,
kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman,
pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama
ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang Allah SWT di bibir; Kedua, pada waktu hidup akan
sebesar-besarnya kalau dalam prakteknya disertai oleh berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi memberikan obat penenang; Ketiga, yaitu mengakhiri
oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir-hampir penderitaan hidup seseorang dengan sengaja atas
tiap negara telah mempunyai Kode Etik Kedokteran permintaan pasien dan/atau permintaan dari pihak
sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut keluarganya (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
didasarkan pada sumpah Hipocrates, yang dirumuskan 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:21).
kembali di pernyataan Himpunan Dokter se-Dunia
di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh Kode Etik Kedokteran mengenai Proses serta
sidang ke-22 himpunan tersebut di Sydney bulan Eksistensi Kematian Pasien dengan Euthanasia
Agustus 1968 (Joko Prakoso dan Djaman Andhi Sebelumnya telah disinggung tentang pengertiam
Nirwanto, 1984:79). euthanasia yang tidak lain adalah mengakhiri hidup
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat dengan cara mudah dan tanpa rasa sakit. Atau biasa
manusia serta mengakui akan adanya beberapa sifat juga yang disebut dengan mercy killing (mati dengan
fundamental yang melekat secara mutlak pada diri tenang). Secara garis besar, euthanasia dikelompokkan
seseorang yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian ke dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati euthanasia pasif. Pandangan yang mengelompokkan
serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkannya
Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah pada cara euthanasia itu dilakukan.
tercantum di dalam Declaration of Genewa pada bulan Euthanasia aktif itu merupakan suatu tindakan
September 1948. Dan juga kewajiban dokter tersebut mempercepat proses dari kematian, baik itu dengan
tercantum pula dalam Bab II Pasal 10 dari Kode Etik memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat
Kedokteran Indonesia, yang menyatakan seorang pembantu medika, seperti saluran asam, melepas
dokter harus senantiasa ingat kewajiban melindungi pemacu jantung atau sebagainya. Yang termasuk
hidup makhluk insani (Keputusan Menteri Kesehatan tindakan untuk mempercepat proses kematian disini
RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:8). adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan
Dengan demikian, berarti di negara manapun di pengalaman medis itu masih menunjukkan adanya
dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk harapan hidup. Dengan kata lain yaitu tanda-tanda
menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya kehidupan masih terdapat pada penderita, ketika
pembuahan. Dalam hal ini berarti pula bahwasanya tindakan itu dilakukan. sedangkan euthanasia pasif,
bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap baik atas permintaan atau pun tidak atas permintaan
dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatan
hidup dari pasien tersebut. Dalam keadaan demikian lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan
mungkin pasien ini sebenarnya sudah tidak dapat medis yang mana dapat memperpanjang hidup kepada
disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin yang
berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan optimal untuk mendampingi atau membantu pasien
ini dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban dalam fase terakhirnya tetap diberikan) (Kartono
untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaimana Muhammad, 1992:31).
yang diucapkan dalam sumpahnya. Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian
Karena naluri terkuat dari manusia itu adalah dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu euthanasia
mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan
salah satu tugas dari seorang dokter, maka menurut melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan
etik kedokteran, dokter itu tidaklah diperbolehkan: langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan
menggugurkan kandungan (abortus provocatus); memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera
mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut mematikan, dan euthanasia aktif tidak langsung, yang
ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan
lagi (euthanasia) (Keputusan Menteri Kesehatan RI tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, akan
No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:18). tetapi diketahui bahwa resiko dari tindakan tersebut

111
PERSPEKTIF
Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya mencabut harapannya untuk sembuh kembali. Seorang pasien
oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya (Kartono yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu
Muhammad, 1992:31). bermohon agar dokter mengakhiri hayatnya, maka
Dalam hubungannya dengan kode etik kedokteran dikabulkanyalah permohonan itu atas pertimbangan
R. Soeprono dalam suatu diskusi panel mengenai pasien tersebut tipis harapannya untuk dapat sembuh.
euthanasia menjabarkan, bahwa segala perbuatan Kalau pada orang seperti ini dimatikan maka kita
dokter terhadap si sakit itu bertujuan memelihara melakukan euthanasia, yang sekarang ini tidak atau
kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya belum diterima di Indonesia, dan negara-negara lain
ia harus mempertahankan dan memelihara kehidupan pun masih ada yang belum menerimanya. Meskipun
manusia (Majalah Panji Masyarakat, No. 318, 20 euthanasia itu juga demi rasa kemanusiaan yakni
Maret 1981:40). Harus diingat bahwa, meringankan membebaskan orang yang hidup padahal tidak ada
penderitaan juga menjadi kewajiban seorang dokter. harapan lagi untuk hidup. Kehidupan orang secara
Mungkin dari segi inilah sehingga beberapa ahli vegetatif ini membutuhkan juga perawatan, biaya, dan
ada yang menerima satu macam euthanasia dan ada sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan
pula yang menerima kedua-duanya dengan beberapa bagi euthanasia (Ahmad Watik Pratiknya dan Abdul
pertimbangan tertentu. Salam M. Sofro, 1986:41).
Akhir-akhir ini sangat banyak sekali pertentangan Esensi daripada dilakukan euthanasia ini adalah
hangat di seluruh dunia, mengenai kemungkinan untuk meringankan penderitaan si pasien yang telah
dilakukan euthanasia. Telah diungkapkan bahwa mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah tipis
euthanasia itu pernah terjadi di beberapa negara di harapan untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan
dunia. Di Indonesia disinyalir berkembang euthanasia yang dipertimbangkan sehingga terjadi euthanasia
negatif. Padahal di tanah air kita ini yang berasaskan adalah untuk dapat meringankan pula keluarga pasien
Pancasila yang sekaligus beragama, seharusnya tidak yang ditinggalkan apalagi kalau kehidupan mereka
menerima euthanasia apalagi melakukannya. Tapi tergolong ekonomi lemah.
kasus euthanasia itu disinyalir sering terjadi di tanah Ada beberapa contoh kejadian yang mengarahkan
air kita, yakni pada rumah sakit yang sudah memiliki perhatian umum kepada masalah euthanasia, karena
Intensive Care Unit (ICU) (Hardinal, 1996:9). dengan panjang lebar akan diliput oleh media massa.
Terlepas dari benar tidaknya praktek euthanasia Tahun 1984 Gubernur Lamm dari Negara Bagian
telah terjadi di Indonesia, masalah ini menjadi cukup Colorado menyarankan bahwa, warga negara yang
penting dikaji untuk mendapatkan solusinya. Sebab sudah tua barangkali mempunyai satu kewajiban
sebagai negara hukum, tentu saja ada konsekuensi untuk meninggal dunia. Sehingga mereka tidaklah
pertanggungjawaban akan sesuatu perbuatan yang menghabiskan bagi orang lain sumber daya yang
dijalankan oleh setiap warga negaranya atas dasar langka. Elizabeth Bouvia, berumur 26 tahun menderita
profesinya. Pengertian dari tanggungjawab menurut kelumpuhan total akibat trauma otak dan minta agar
kamus hukum adalah keadaan wajib menanggung diizinkan mati kelaparan saja dengan menghentikan
segala sesuatunya, bilamana terjadi apa-apa boleh infus. Dan tahun 1985, Roswell Gilbert menjadi
dituntut. Berdasarkan Black Law Dictionary, istilah orang Amerika pertama yang mana didakwa dengan
liability dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana alasan pembunuhan karena melakukan euthanasia
seseorang terikat secara hukum atau keadilan untuk langsung. Istrinya mengidap penyakit Alzhaimer dan
melaksanakan sesuatu yang dapat dipaksakan oleh Osteoporosis, sehingga ia kehilangan semangat hidup
suatu tindakan. Tanggungjawab hukum dari tenaga dan menderita banyak. Setelah ia memberitahukan
kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga kepada suaminya bahwa ia ingin pergi dari dunia ini,
kesehatan terhadap berbagai ketentuan-ketentuan Roswell lalu menembaknya (Thomas A. Shannon,
hukum dalam menjalankan profesinya (R.A. Antari 1995:68).
Inaka Turingsih, 2012:271). Manusia sebagai makhluk sosial selain mampu
berfikir untuk maju juga mempunyai afeksi, simpati
Esensi Euthanasia dan Kedudukannya dalam atau empati terhadap penderitaan manusia lainnya
Hukum Islam yang bisa menyebabkan timbulnya euthanasia.
Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh
dunia kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya
tanpa penderitaan terhadap pasien yang sedang kritis euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama
(akut) atau menderita penyakit menahun serta tipis yang menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama

112
Rada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam

yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para yang telah dijelaskan pada bab terdahulu, tidak ada
ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi ditemukan pendapat yang membenarkan euthanasia
terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau ini. Dan menurut Hasan Basri sendiri kaidah itu sama
tidak bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen sekali tidaklah dibenarkan. Kaidah tersebut dengan
ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh: Al- sendirinya bisa saja gugur bila tidak dijumpai dalil
Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits (Majalah
dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61).
dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang Lagi pula dalam Islam, hak dan martabat manusia itu
buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan. sangat dijunjung tinggi meskipun penderita misalnya
Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya banyak mengundang mudarat atau tidak.
dia menjadi penyebab orang lain menderita karena Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya,
tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang
bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada
euthanasia aktif (Luthfi Assyaukanie, 1998:180). saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya
Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya.
euthanasia bertentangan, baik dari sudut pandang Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli,
agama, undang-undang, maupun etik kedokteran. baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana,
Dan lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa persoalan maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi
hidup mati sepenuhnya hak Allah SWT. Manusia tidak mereka yang tidak setuju dengan tindakan euthanasia
bisa mengambil hak Allah SWT itu (Majalah Panji lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik.
Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:60) Mereka percaya bahwa yang berhak menentukan
Di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia
mulai banyak terdengar suara yang pro euthanasia, hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan
mereka mengadakan gerakan untuk mengukuhkannya euthanasia bisa saja diajukan ke pengadilan karena
ke dalam undang-undang. Sebaliknya mereka yang tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut
kontra euthanasia, bahwa tindakan demikian sama dilakukan berdasarkan permintaan pasien.
dengan pembunuhan. Kita di Indonesia ini sebagai Tetapi kelompok yang mana menyetujui praktek
umat beragama dan berPancasila percaya kepada euthanasia ini lebih melihat pada sisi maslahat dan
kekuasaan yang mutlak dari Tuhan Yang Esa segala keadaan yang menuntut. Seorang penderita secara
sesuatu yang diciptakanNya dan penderitaan yang kronis, hanyalah akan terus menderita tanpa bisa
dibebankan kepada makhlukNya mengandung makna disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan
dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan beban pasien dalam kondisi semacam itu adalah
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk memberikan kepadanya kematian yang damai (mercy
meringankan penderitaan dan juga memelihara hidup killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat
akan tetapi tidak untuk mengakhirinya (Oemarsono keluarga hanya akan menyiksa atau membiarkan
Adji, 1991:219). penderitaan sang pasien.
Menurut pendapatnya Syukron Makmun bahwa
kematian itu merupakan urusan dari Allah SWT, Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam
manusia tidak dapat mengetahui kapan kematian itu Kontroversi yang mana menyangkut isu etika
menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri
kunjung sembuh itu adalah qudratullah. Kewajiban hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak
kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di
dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, kalangan dunia medis, tetapi telah merambah kemana-
bukanlah membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, mana terutama para ulama Islam. Isu euthanasia selalu
kembalikan kepada keluarga (Majalah Amanah, No. muncul, salah satunya karena praktek tersebut bukan
27, 16-29 Juni 1989:14). hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi,
Lalu bagaimana dengan kaidah ushul fiqh yang termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan dan
menyatakan bahwa Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, etika kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia
melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Ataukah terus berkembang dan penyembuhan terhadapnya
kaidah ushul yang menyatakan Darurat membolehkan diyakini mustahil (apalagi dengan kadar penularan
yang haram. Berdasarkan beberapa pendapat ulama yang tinggi), para ahli medis dan hukum mulai melirik
di atas dan juga pembahasan batasan-batasan darurat kemungkinan-kemungkinan euthanasia.

113
PERSPEKTIF
Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi


pasien yang menderita tanpa sama sekali mengakhiri
penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan
terhadap rasa sakit atau nyeri yang tak terbendung
bukan semata dapat dilakukan dengan pembunuhan,
tetapi dapat pula ditempuh dengan terapi lain. Tentu
saja faktor agama akan sangat menentukan sikap
seseorang terhadap derita sakit dan juga nyeri yang
”Katakanlah: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas
dialamainya. Filsafat Budha menyatakan bahwa derita terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus
sakit bersumber dari frustasi. Bagi kaum Hindu yang asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
berasal dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan Pengampun lagi yang Maha Penyayang.” (Departemen
Agama RI, 1992:753)
lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding seorang
Muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam
dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menetapkan hal-hal yang halal dan haramnya suatu
menghadap kepadaNya (Alwi Shihab, 1999:169). sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika
Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia orang diombang-ambing oleh keadaan yang sangat
menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman
saja terhadap diri seseorang adalah hak yang paling atau kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya
utama bagi mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu
saya berhak memilih kapal untuk berlayar, atau rumah merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah
untuk dihuni, sayapun berhak untuk memilih kematian tindakan mereka itu benar atau tidak menurut hukum,
untuk dapat meninggalkan kehidupan ini. Maka Islam agama maupun etika.
justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya
hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada ada suatu kesepakatan atau paling tidak terdapat
manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia.
kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka Euthanasia adalah suatu upaya yang dilaksanakan
yang menderita bagaimanapun bentuk dan kadarnya untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat
Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan
melalui praktek euthanasia apalagi bunuh diri. menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi
Islam akan menghendaki kepada setiap muslim harapan untuk hidup atau disembuhkan.
hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia,
musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah
berjuang, bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan
berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak penderitaan si sakit (Chuzaimah T. Yanggo, 1995:
mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab 61). Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya
setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa dalam dunia kedokteran misalnya tindakan dokter
habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak dengan memberi obat atau suntikan. Para tokoh Islam
sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar dan juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam yaitu
menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthansia aktif
diri kepada Yang Maha Kuasa. adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada
Agar supaya meringankan derita sakit seorang saat yang bersangkutan masih menunjukkan tanda-
muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Saw. dengan tanda kehidupan (Chuzaimah T. Yanggo, 1995:62).
sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan
dihadapkan kepada cobaan yang beragam. Lain halnya yang dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak
dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lagi memberikan bantuan medis yang memperpanjang
lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, hidup pasien (Kartono Muhammad, 1992:31).
Islam memberi jalan keluar dengan menjanjikan kasih Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas
sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah sejalan dengan pengertian yang dirumuskan oleh
SWT dalam QS. Az-Zumar ayat 53: komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah

114
Rada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam

pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan pulalah memahami bahwa euthanasia adalah suatu
medis bagi seorang penderita atau mengidap penyakit keinginan dalam usaha mempercepat kematian akibat
yang mana tidak mungkin lagi disembuhkan (Majalah ketidakmampuan menahan penderitaan.
Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996: Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk
60). Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep membantu seseorang yang sedang mengalami sakit
euthanasia yang telah dirumuskan oleh para ahli, atau penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan
baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar untuk dapat mempercepat kematian dengan alasan
Islam, dasar-dasar perumusannya dapat ditemukan membantu menghilangkan penderitaan yang kian
di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Hal ini dirasakan, padahal sama sekali tidak dapat mengakhiri
sejalan dengan fleksibilitas akan sumber ajaran Islam penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi
tersebut. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al- euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep
An’am ayat 151: bahwa untuk menghindari terjadinya euthanasia,
utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan
tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang
”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan memandang segala musibah (termasuk penderita
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT.
benar.” (Departemen Agama RI, 1992:214) Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran
Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas dan tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk
mengandung pengertian segala macam bentuk dan tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan
jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan sumpah jabatannya. Dan beberapa ulama memberikan
jalan euthanasia itu termasuk dalam kategori ayat suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi
tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap penderita yang penyakitnya menular. Contohnya
seseorang dengan bantuan dari orang lain. Dalam saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan
pengertian ini ada subjek, yaitu orang yang membantu salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo
melakukan proses pembunuhan dan ada obyek yaitu mengatakan bahwa, mengisolasi penderita AIDS
pasien yang tengah mengalami penderitaan yang dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang harus
dinilai cukup tragis. dihilangkan nyawanya (di euthanasia) (Majalah Panji
Akan tetapi pada Surat Al-An’am ayat 151 di atas Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61). Hal
ada pengecualian pembunuhan yang tidak termasuk ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia
euthanasia seperti membunuh saat berperang melawan dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena
orang kafir. Inilah yang diisyaratkan membunuh pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu
dengan alasan yang dibenarkan. Dalam pengertian pasti ada jalan. Kalau dokter sudah menyerah untuk
yang lebih eksklusif yang mana mengarah kepada mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada
euthanasia pasif sebenarnya dapat pula ditemukan keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan
dasarnya di dalam Al-Qur’an. Karena akan dianggap bantuan kepada si pasien.
tindakan bunuh diri, dimana pasien meminta sendiri
untuk mempercepat kematiannya dengan diberi obat PENUTUP
yang bisa mempercepat kematiannya, keadaan yang Kesimpulan
demikian berarti berputus asa dan mengingkari rahmat Berdasarkan pada pembahasan di atas, akhirnya
Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. An- dapat ditarik suatu kesimpulan, Pertama, bahwa
Nisa ayat 29 yang berbunyi: proses euthanasia dalam tinjauan kedokteran adalah
apabila seorang pasien mengalami penyakit menahun
dan dalam kondisi yang kritis (akut) maka seorang
dokter biasanya melakukan tindakan-tindakan untuk
”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya mempercepat kematian pasiennya, misalnya dengan
Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Departemen Agama
memberikan obat penenang dengan dosis lethal atau
RI, 1992:214)
mencabut alat pacu jantung dengan pertimbangan
Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, untuk menolong si penderita tanpa merasa sakit.
oleh karenanya tidak boleh diabaikan apalagi untuk Ketika konsep euthanasia tersebut diperkenalkan
menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki di sebagian negara dunia, dan sebagian juga sudah
setiap muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun dapat melegalkan, akan tetapi bagi negara Indonesia
ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam yang masih berpayung di bawah Pancasila tidak

115
PERSPEKTIF
Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei

dapat melegalkan hal tersebut. Sebab secara hukum DAFTAR PUSTAKA


tugas dan tanggungjawab kedokteran di Indonesia, Buku:
dibatasi oleh Etika Kedokteran sendiri yang isinya Adji, Oemarsono, 1991, Profesi Dokter, Cetakan I,
seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajiban Jakarta: Erlangga.
melindungi hidup makhluk insani. Juga dilarang oleh Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan,
hukum positif kita yaitu KUHP, dimana dijelaskan Jakarta: Widya Medika.
bahwasanya melakukan euthanasia merupakan suatu Aseri, Akh. Fauzi, 1995, Euthanasia Suatu Tinjauan
tindakan pidana. Bahkan secara tegas menyebutkan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum
barangsiapa yang merampas nyawa orang lain atas Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer,
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus.
penjara, paling lama dua belas tahun. Assyaukanie, Luthfi, 1998, Politik, HAM, dan Isu-
Kedua, Tinjauan akan hukum Islam mengenai isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, Cet. I,
euthanasia, terutama yaitu euthanasia aktif adalah Bandung: Pustaka Hidayah.
diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan Basyir, Ahmad Azar, 2001, Ikhtisar Fiqh Jinayah
sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UII Press.
diancam oleh Allah SWT dengan hukuman neraka Departeman Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan
selama-lamanya. Karena yang berhak mengakhiri Terjemahannya, Jakarta: Toha Putera.
hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena ______, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
itu orang yang mengakhiri hidupnya atau orang yang Semarang: Tanjung Mas Inti.
membantu mempercepat suatu kematian seseorang Djazuli, 2000, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi
sama saja dengan menentang ketentuan agama. Kejahatan dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rekomendasi Hardinal, 1996, Euthanasia dan Persentuhannya
Untuk dapat menghadapi beberapa masalah yang dengan Hukum Kewarisan Islam, Mimbar Hukum
berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam.
dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Moeljanto, 1978, Kitab Undang-Undang Hukum
Pertama, Bilamana pertimbangan kemampuan Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik Muhammad, Kartono, 1992, Teknologi Kedokteran
tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang dan Tantangannya terhadap Bioetika, Cet. I,
amat terbatas, ataupun karena rumah sakit yang mana Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan Prakoso, Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984,
dua cara yakni: 1. menghentikan perawatan atau Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum
pengobatan, dalam artian membawa pasien pulang Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
ke rumah; 2. membiarkan pasien dalam perawatan Pratiknya, Ahmad Watik dan Abdul Salam M. Sofro,
seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi 1986, Islam Etika dan Kesehatan, Cet. I, Jakarta:
menghendaki kematiannya. Oleh karena itu, umat Rajawali.
Islam diharapkan untuk tetap berpegang teguh kepada Shannon, Thomas A., 1995, Bioethics Escort,
kepercayaannya yang memandang segala musibah Terjemahan K. Bertens, Jakarta: Gramedia
(termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang Pustaka Utama.
datang dari Allah SWT. Hal itu hendaknya dihadapi Shihab, Alwi, 1999, Islam Inklusif, Cet. V, Bandung:
dengan penuh kesadaran dan tawakkal. Justru keadaan Mizan.
yang kritis itu merupakan masa penentuan kokoh atau Turingsih, R.A. Antari Inaka, Mimbar Hukum No. 51/
goyahnya iman seseorang. Konsekuensi dari akan DIKTI/kep/2010 Tanggal 5 Juli 2010, ISSN 0852-
dipertanggungjawabkan di kemudian hari. 100X, Volume 24 Nomor 2, Juni 2012, Yogyakarta:
Kedua, Untuk para dokter itu diharapkan agar tetap Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah Ujianti, Ni Made Puspasutari dkk, Jurnal Ilmu Hukum
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada Kertha Wicaksana No. 64a/DIKTI/Kep./2010.
percepatan proses kematian bisa dihindari. Kode etik ISSN 0853-6422, Volume 19 Nomor 1 Januari
kedokteran dan sumpah jabatan merupakan standar 2013, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas
profesi yang mengawal praktek dokter, sehingga Warmadewa Denpasar.
praktek euthanasia bisa dihindarkan. Yanggo, Chuzaimah T., 1995, Problematika Hukum

116
Rada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam

Islam Kontemporer, Cet. II, Jakarta: PT. Pustaka Artikel:


Firdaus. Jurnal Hukum, Vol. I No. 1 Maret 1998, FH-UMS.
Zuhdi, Masjfuk, 1996, Penderita AIDS Tidak Boleh Majalah Amanah, No. 27, tgl. 16-29 Juni 1989.
Dieuthanasia, Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Majalah Panji Masyarakat, No. 846, tgl. 01-15
Jakarta: Ditbanpera Islam. Januari 1996.

117

Anda mungkin juga menyukai