Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia selama ini dikenal sebagai negara maritim berbentuk kepulauan


yang diapit oleh dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Hal ini
menjadikan Indonesia kaya akan berbagai biota laut, terlebih lagi diuntungkan
dengan posisinya di garis khatulistiwa. Namun, seiring dengan eksploitasi sumber
daya kelautan serta tingginya tingkat polusi, tampaknya dibutuhkan pemeriksaan
untuk menentukan kondisi pasti ekosistem laut Indonesia saat ini. (Kompas.com,
2019). Indonesia juga memiliki luas lautan lebih besar dibandingkan luas daratan.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memajukan maritimnya.
Luasnya lautan Indonesia dapat dilihat dari adanya garus pantau di hampir setiap
pulau di Indonesia (kurang lebih 81.000 kilometer). Dilansir dari situs Perusahaan
Umum Perikanan Indonesia, dengan memiliki luas lautan menjadikan Indonesia
menempatu urugan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai
teroanjang di dunia. Kejuatan ini yang merupakan potensi besar untuk memajukan
perekonomian Indonesia di bidang maritime (Kompas.com, 2020).
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) secara khusus, untuk
mendukung program pemerintah dalam membangun Indonesia sebagai PMD. Sesuai
dengan program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah, maka aspek
pertahanan dan keamanan maritim menjadi hal penting yang harus dibenahi karena
keamanan di wilayah laut Indonesia menjadi faktor penentu kesuksesan program
pemerintah tersebut. Tugas dan peran yang diemban TNI AL dalam mendukung
terwujudnya poros maritim dunia, disusun dalam UUD serta menjadi pedoman
pelaksanaan tugas pokok TNI AL sesuai dengan amanat UUD.
Tujuh puluh persen dari permukaan bumi adalah lautan dan lebih dari dua
pertiga penduduk dunia hidup dalam radius 100 mil laut. Pada umumnya sejauh 200
mil laut, bahkan beberapa negara lebih darti itu. Kegiatan maritim manusia yang
paling banyak, baik berupa pelayaran, penangkapan ikan dan eksplorasi minyak,
dilaksanakan di dalam zona pantai 200 mil tersebut. Hal ini memberikan pemahaman
atas fakta, bahwa bagian penting dari kegiatan ekonomi, politik maupun militer dari
penduduk dunia dilakukan dalam Kawasan daratan dan laut tidak lebih dari 300 mil.
Dalam cakupan kawasan daratan dan laut itu diperlukan konsep-konsep pengerahan
dan penyebaran kekuatan disertai kriteria efektif dan efisien. Efektif karena dikaitkan
dengan struktur kekuatan laut yang harus mampu mendemonstrasikan kompetensinya
dilaut dan efisien dikaitkan dengan sumber daya yang terbatas. Manusia sebenarnya
bisa lebih banyak memiliki kekuatan dan kebutuhan untuk memanfaatkan
maritimnya karena maritim lebih luas dari pada daratan.
Tugas dari TNI adalah untuk melaksanakan pemberdayaan wilayah
pertahanan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang TNI, pasal 7
(2) huruf b angka 8, yang menugaskan TNI untuk memberdayakan wilayah
pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan Sistem Pertahanan
Semesta (Sishanta). Pemberdayaan Wilayah Pertahanan merupakan kegiatan untuk
perencanaan, pembinaan, pengembangan, pengerahan, pengendalian serta
pemanfaatan semua potensi nasional yang ada (geografi, demografi, sumber daya
alam/buatan, sarana dan prasarana, nilai, teknologi dan dana) untuk menjadi
kemampuan dan kekuatan wilayah yang Tangguh.
Pada pasal 7 ayat (1) yang menjelaskan tentang tugas pokok TNI untuk
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi
keselamatan bangsa dari segala bentuk ancaman militer dan nirmiliter berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (Puspen, 2007). Untuk tingkat Armada dan Lantamal
pejabat potensi maritim sudah diwadahi dengan adanya jabatan Asisten Potensi
Maritim (Aspotmar) dan jabatan Kepala Dinas Potensi Maritim (Kadispotmar).
Untuk tingkat Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) sudah ada Perwira Staf Potensi
Maritim (Paspotmar) sedangkan di tingkat jajaran Pos Angkatan Laut (Posal)
diseluruh Indonesia saat ini belum ada pejabat yang mengawaki jabatan potensi
maritim. Oleh karena itu, diperlukan penataan personel berupa pembentukan
Babinpotmar berdasarkan fungsi dan tugas pengawak organisasi potensi maritim
guna mempertajam pelaksanaan tugas pembinaan potensi maritim melalui metode
komunikasi sosial, pembinaan ketahanan wilayah dan bakti TNI AL yang diharapkan
dapat bersinergi dengan aparat maritim lainnya.
Pangkalan TNI AL Banten atau (Lanal Banten) merupakan satuan pelaksana
Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut III Jakarta dalam jajaran Koarmabar. Dengan
tugas pokok dukungan logistik, administrasi, bagi unsur-unsur TNI Angkatan Laut
dan melaksanakan pembinaan peran TNI Angkatan Laut dan melaksanakan
pembinaan Potensi Maritim menjadi kekuatan wilayah keamanan laut. Wilayah Lanal
Banten juga berada di Selat Sunda yang merupakan jalur Alur Laut Kepulauan
Indonesia. Mengacu pada pendapat Cribb, R dan Ford, M (2009) yang menyatakan
bahwa pengelolaan laut penuh dengan paradoks. Di satu sisi laut dilihat sebagai
sumber kerentanan jika tidak dikelola dengan baik tetapi di sisi lain juga memberikan
berkah tersendiri. Laut bisa menjadi tempat yang menguntungkan bagi
berkembangnya kekuatan musuh dan orang-orang yang memiliki niat jahat terhadap
negara dan orang lain. Bukan saja hal itu dibuktikan oleh adanya kejadian-kejadian
perampokan di laut, tetapi juga untuk kasus Indonesia, secara historis kedatangan
kolonial ke Indonesia terjadi melalui jalur laut (Octavian, A & A.Yulianto, 2015).
Salah satu tugas TNI AL menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia adalah melaksanakan pemberdayaan wilayah
pertahanan laut (Dawilhanla) Dawilhanla dilaksanakan melalui kegiatan
pengembangan dan pembinaan potensi maritim. Upaya tercapainya pembinaan
kemampuan dan kekuatan tugas Dawilhanla tersebut memerlukan pengaturan
pembinaan organisasi potensi maritim (Potmar) baik di tingkat Armada, Lantamal
maupun Lanal serta Pos Angkatan Laut sebagai salah satu metode dan tata cara
pembinaan kekuatan TNI AL.
Kekuatan laut terdiri dari armada angkatan laut, armada niaga dan pangkalan
perkembangan kekuatan laut dipengaruhi oleh geografi, posisi wilayah, luas wilayah,
jumlah dan karakter penduduk, watak bangsa dan sikap pemerintah. Strategi maritim
menurut A.T. Mahan adalah penguasaan laut yaitu menjamin penggunaan laut untuk
kepentingan sendiri serta menutup peluang lawan untuk mengunakannya.
Penguasaan laut hanya dapat dicapai dengan menghancurkan satuasatuan lawan atau
blokade. Dengan mengacu pada teori A. T Mahan ini, untuk dukungan Pangkalan
terhadap kekuatan armada laut dan sikap pemerintah untuk mempengaruhi
perkembangan kekuatan laut maka pembentukan Babinpotmar sudah saatnya
diwujudkan guna pengembangan dan pembinaan potensi maritime serta pengendalian
wilayah pertahanan laut yang memberikan dampak penangkalan dan penindakan
terhadap pihak-pihak yang akan mengganggu kedaulatan, keutuhan wilayah dan
keselamatan bangsa.
Pembinaan adalah sebagai suatu usaha pembaharuan yang terencana di dalam
suatu kultur melalui penggunaan teknologi, riset, dan teori perilaku. Pembinaan
merupakan program yang berjangka panjang, dan menyangkut proses dari suatu
sistem yang luas. Sebagai konsekwensi dari program yang berencana dan berjangka
panjang maka dibutuhkan sistem pengelolaan yang baik, pengelolaan ini harus
dilakukan secara hati-hati dan penuh kesadaran, selain itu pengelolaan sangat
membutuhkan koordinasi sehingga dapat dihindari kegiatan pembinaan yang berjalan
sendiri-sendiri. Untuk itu, peran TNI AL sangat dibutuhkan sebagai salah satu
organisasi militer yang bertanggung jawab terhadap pembinaan potensi maritime
yang dapat dijadikan sebaga potensi nasional guna mendukung pertahanan negara di
laut dalam rangka menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Hakekat dan konsep Negara maritim adalah menggunakan segala sumber
kekayaan laut untuk kepentingan dan kesejaterahan rakyat. Kekayaan laut harus
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sumber daya hayati maupun
non hayati yang terdapat di dalam laut, tanah dan dasar laut di bawahnya sudah
seharusnya dapat dikelola oleh anak bangsa sendiri guna dinikmati oleh rakyat
Indonesia, tidak boleh ada bahan mentah yang diekspor ke luar negeri kemudian di
olah di luar negeri selanjutnya masuk ke Indonesia dalam bentuk sudah jadi dengan
harga yang mahal dirasakan oleh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan semuanya itu,
diperlukan suatu niat bahwa masyrakat maritim harus mempunyai kebudayaaan
maritim agar dapat menjadikan maritim sebagai ladang kesejaterahan dan Kawasan
pertahanan keamanan (Octavian & Bayu, 2014 ) .
Binpotmar merupakan upaya pekerjaan dan tindakan yang dilaksanakan oleh
TNI Angkatan Laut secara perorangan maupun satuan melalui komunikasi sosial,
pembinaan ketahanan wilayah, bakti TNI Angkatan Laut dan pembinaan wilayah
perbatasan laut untuk membangun kemanunggalan TNI Angkatan Laut dengan
rakyat dalam rangka mewujudkan RAK Juang yang tangguh. Kegiatan Binpotmar
adalah (1) Pembinaan Komunikasi Sosial Maritim merupakan suatu kegiatan antara
TNI Angkatan Laut dengan masyarakat, pemerintah, keluarga besar TNI dan
komponen bangsa lainnya, (2) Pembinaan Ketahanan Wilayah Maritim merupakan
kegiatan yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut sendiri atau bersama
pemerintah/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan komponen bangsa
lainnya untuk mewujudkan kekuatan pertahanan wilayah maritim. (3) Bakti TNI
Angkatan Laut, Penyelenggara kegiatan bakti TNI Angkatan Laut dilaksanakan atas
kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Pemerintah, Kementerian/LPNK, instansi
terkait serta masyarakat (Simanjuntak, M, 2018).
TNI AL sebagai bagian integral TNI harus mampu menyusun dan
menyiapkan potensi pertahanannya meliputi aspek geografi, demografi dan kondisi
sosial di seluruh wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Untuk mewujudkan hal tersebut, TNI AL baik Armada, Lantamal,
Lanal maupun Posal sudah saatnya mengembangkan satuan-satuan kerjanya yang
bergerak di bidang potensi maritim agar dapat menangani permasalahan-
permasalahan dalam mengembangkan potensi maritime tersebut.
Penelitian ini menggambarkan seperti apa peran pembinaan potensi maritim
(Binpotmar) dalam pengendalian wilayah pertahanan laut untuk mencegah ancaman
keamanan maritim. Diharapkan dapat menjadi sarana yang cepat dalam menilai
kondisi, merencanakan strategi dan mengevaluasi opsi, sehingga upaya tercapainya
pembinaan kemampuan dan kekuatan tugas Dawilhanla tersebut memerlukan
pengaturan pembinaan organisasi potensi maritim (Potmar) baik di tingkat Armada,
Lantamal maupun Lanal serta Pos Angkatan Laut sebagai salah satu metode dan tata
cara pembinaan kekuatan TNI AL. Sebagai negara maritim, Indonesia harus peduli
dan mampu dalam mengelola sumber daya alam dari dasar hingga permukaan
lautnya dan bahkan mampu mengelola lautan samudera, dan juga dalam berbagai
aspek diantaranya aspek ekonomi, geopolitik, serta aspek militer yang tercermin
dalam kebijakan poros (Herry Setianegara, 2014). Persoalan masyarakat maritim
Indonesia saat ini adalah mengapa sebagai negara yang memiliki garis pantai sangat
panjang, justru kebudayaan maritim tidak muncul dan lebih dekat kepada budaya
agraris (Octavian, A; Yulianto, B., 2014). Dengan memunculkan serta memiliki
kebudayaan maritim oleh masyarakat, sudah saatnya TNI AL sebagai instansi yang
dominan berperan dalam bidang maritim tampil ke depan agar dapat menjadikan
maritim sebagai prosperity (kemakmuran) dan security (keamanan) bagi bangsa
Indonesia yang memerlukan pembinaan potensi maritim (Binpotmar).
Wilayah Banten sebagai salah satu provinsi di Indonesia mempunyai potensi
dan peran penting dalam pembangunan nasional termasuk dalam sektor maritim dan
kelautan. Hal ini disebabkan wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut
potensial, dimana selat sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal
besar yang menghubungkan Australia, Selandia Baru, dengan Kawasan Asia
Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura (Darma. B, 2019). Lokasi
penelitian yang dipilih sebagai Area poros maritim dunia berada di wilayah Provinsi
Banten yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian, karena
merupakan jalur perlintasan/penghubung dua pulau besar di Indonesia, yaitu Jawa
dan sumatera, sehingga sangat cocok dijadikan sebagai lokasi penelitian. Secara lebih
jelas, lokasi penelitian dapat dilihat pada Peta Administrasi Provinsi Banten di bawah
ini.
Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Provinsi Banten
(Petatematikindo.wordpress.com/administrasi-provinsi-banten/, 2019)

1.1. Rumusan Masalah

Indonesia harus waspada dalam menghadapi berbagai potensi ancaman, baik


sebuah ancaman yang sering terjadi di wilayah laut Indonesia dan mengganggu jalur
transportasi laut dari dalam hal perdagangan, pelayaran maupun kegiatan eksploitasi
sumber daya laut seperti penangkapan ikan. Ancaman ini meliputi pembajakan,
perampokan, terorisme laut, penyelundupan barang-barang, perdagangan manusia,
penangkapan ikan secara illegal, dan kecelakaan di laut. dari ancaman milter maupun
nirmiliter. Bentuk-bentuk ancaman dan ganguan yang datang dapat berupa : agresi
militer, pelanggaran batas wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase,
aksi teror bersenjata, dan konflik komunal. Oleh karena itu, Sebagai negara maritim,
Indonesia harus peduli dan mampu dalam mengelola sumber daya alam dari dasar
hingga permukaan lautnya dan bahkan mampu mengelola lautan samudera, dan juga
dalam berbagai aspek diantaranya aspek ekonomi, geopolitik, serta aspek militer
yang tercermin dalam kebijakan poros maritim dunia sebagai ocean policy-nya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sumber daya alam di
laut dan potensi maritim lainnya sudah saatnya dikelola dengan teknologi tinggi dan
seharusnya selalu dikembangkan oleh instansi-instansi yang bergerak di bidang
maritim termasuk Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).
Salah satu tugas TNI AL menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia adalah melaksanakan pemberdayaan wilayah
pertahanan laut (Dawilhanla). Dawilhanla dilaksanakan melalui kegiatan
pengembangan dan pembinaan potensi maritim. Upaya tercapainya pembinaan
kemampuan dan kekuatan tugas Dawilhanla tersebut memerlukan pengaturan
pembinaan organisasi potensi maritim (Potmar) baik di tingkat Armada, Lantamal
maupun Lanal serta Pos Angkatan Laut sebagai salah satu metode dan tata cara
pembinaan kekuatan TNI AL. Dari penelitian ini peran pembinaan potensi maritim
(Binpotmar) sangatlah penting dalam pengendalian wilayah pertahanan laut untuk
mencegah ancaman dan keamanan maritim.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. TNI AL harus selalu siap menghadapi segala bentuk ancaman dan gangguan
yang dapat datang secara tiba-tiba berdasarkan UU Nomor 3 tahun 2002
tentang Pertahanan Negara karena TNI AL merupakan komponen utama
pertahanan di laut.
2. Keamanan maritim menjadi persoalan penting bagi negara, yang dimana
banyak melakukan aktivitasnya di laut, utamanya aktivitas perekonomian. Oleh
karena itu TNI AL harus menjadi penangkal setiap ancaman, hambatan, dan
gangguan yang menganggu negara menjadi penindak bagi setiap serangan atau
ancaman yang telah memasuki wilayah Indonesia berdasarkan Salah satu tugas
TNI AL menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia yaitu melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut
(Dawilhanla).
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukan
sebelumnya, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan:
1. Bagaimana Implementasi Binpotmar dalam pengendalian wilayah pertahanan
laut ?
2. Bagaimana peran Pembinaan potensi maritim (Binpotmar) dalam mencegah
ancaman keamanan maritim ?
1.3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan pertanyaan penelitian di


atas, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut:
1. Objek penelitian difokuskan pada Peran Pembinaan Potensi Maritim
(Binpotmar) Dalam Pengendalian Wilayah Pertahanan Laut Untuk
Mencegah Ancaman Keamanan Maritim ( Studi Kasus Di Lanal Banten ).
2. Penelitian difokuskan untuk mendeskripsikan Peran Pembinaan Potensi
Maritim (Binpotmar) dalam melatih rakyat dalam penyuluhan bidang
pertahanan laut serta pengawasan fasilitas dan prasarana pertahanan di
pesisir, Melatih rakyat dalam penyuluhan bidang pertahanan laut,
mendukung perencanaan, penyusunan, pengembangan, pengerahan serta
pengendalian potensi maritime, melakukan pengawasan fasilitas/prasarana
pertahanan di pesisir, Membina dan mengembangkan potensi maritim
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia (nelayan dan insan
maritim lainnya).

1.4. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan pertanyaan penelitian dan pembahasan masalah


sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dan tujuan penelitian ini:
1. Mengetahui dan mendeskirpsikan Implementasi Binpotmar dalam
pengendalian wilayah pertahanan laut.
2. Mengetahui dan mendeskirpsikan peran Pembinaan potensi maritim
(Binpotmar) dalam mencegah ancaman keamanan maritime.

1.5. Sistematika Penulisan

Proposal ini disusun dengan sistematika penulisan yang terbagi dalam tiga
bab, untuk dapat menjelaskan secara sistematis dan komprehensif rencana penelitian
mengenai “Peran Pembinaan Potensi Maritim (Binpotmar) Dalam Pengendalian
Wilayah Pertahanan Laut Untuk Mencegah Ancaman Keamanan Maritim ; Studi
Kasus Di Lanal Banten”. Sistematika penulisan dimaksud sebagai berikut:
10

BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian,
pembatasan masalah, rumusan masalah, maksud dan
tujuan penelitian dan sistematika penulisan .

BAB II : KAJIAN PUSTAKA


Bab ini menjelaskan mengenai literatur ilmiah dan teori
atau konsep yang relevan untuk dijadikan landasan dalam
melaksanakan penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN


Bab ini membahas mengenai metodologi yang digunakan
dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan pendekatan
metode deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian field
research (penelitian lapangan). Sementara, untuk
kepentingan pencapaian tujuan penelitian, yakni mencari,
menemukan, menggali serta kemudian mengungkapkan
keadaan objek penelitian sebagaimana adanya, sesuai
dengan kondisi di saat penelitian dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori dan Konsep

Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep teori yang akan digunakan untuk
memperoleh gambaran serta penjelasan teoritik yang berhubungan dengan
pengendalian wilayah pertahanan laut untuk mencegah ancaman keamanan maritim,
di antaranya dengan Penelitian ini menggunakan teori di antaranya mengenai peran
Pembinaan Potensi Maritim (BINPOTMAR),

2.1.1 Teori A.T Mahan ( Teori Sea Power)


Alfred Thayer Mahan dikenal sebagai ahli maritim Amerika Serikat pada
paruh terakhir abad 19. Tokoh ini populer melalui karyanya berjudul The Influence of
Sea Power Upon History yang berdasar pada penelitiannya akan ke dalam beberapa
bahasa mempercepat difusi pemikiran Mahan. Pada kemudian hari, teori Mahan
menjadi dasar strategi maritim negara-negara besar untuk mencapai negara maritim
yang ideal. Persebaran pemikiran ini pernah menjadi kegelisahan bagi Mahan sendiri
bahwa pemikirannya akan memicu negara-negara ekspansif, yang akhirnya terbukti
pada masa Perang Dunia (AT. Mahan, 1890: 28-29).
Mahan merumuskan enam karakter yang menjadi syarat sebuah negara
potensial untuk mengembangkan sea power. Enam karakter tersebut antara lain
kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk yang
turun ke laut, karakter nasional (penduduk) dan karakter pemerintah termasuk
lembaga-lembaga nasional. Dalam karyanya, Mahan tidak secara langsung
menyimpulkan bahwa Inggris adalah negara maritim ideal, namun dengan melakukan
pembandingan antara negara-negara yang memiliki kekuatan maritim di Eropa barat,
seperti Belanda dan Perancis. Pengkajian van Leur tampaknya menjadi patokan
bagaimana pemikiran Mahan begitu menyita perhatian. Kenyataan ini terutama
didukung dengan implementasi pemikiran Mahan pada perkembangan kekuatan laut
Amerika yang impresif. Dengan menempatkan Inggris sebagai simbol kekuatan
maritim yang unggul, Mahan memikat khalayak pada jamannya. Terutama pada
mereka yang begitu ambisius untuk mengontrol dunia atau kepentingan ekspansif.
Pendapat ini diperkuat dengan tema utama pemikiran Mahan yaitu strategi militer
(AT. Mahan, 1890: 28-29). .
Kepopuleran Mahan tentu semakin meluas di antara mereka yang
mengidolakan Van Leur sebagai sejarawan. Tentu juga sulit untuk mencoba
menyusupkan pendapat di antara riuhnya kekaguman terhadap Van Leur, namun
apakah mungkin Van Leur sendiri akan berubah pikiran jika dia masih hidup di masa
ini. Masa ketika transformasi berjalan begitu cepat hingga (rasanya) tidak ada satu
konsep mutlak yang pas untuk dapat menjadi solusi beragam masalah, terutama bagi
Indonesia.
Dalam bukunya “The Influence of Sea Power Upon History” menyatakan
sebagai berikut (AT. Mahan, 1890: 28-29) :
1. Kekuatan laut terdiri dari : armada angkatan laut, armada niaga dan pangkalan.
2. Perkembangan kekuatan laut dipengaruhi oleh :
a. Geografi
b. Posisi wilayah
c. Luas wilayah
d. Jumlah dan karakter penduduk
e. Watak bangsa
f. Sikap pemerintah.
3. Strategi maritim menurut A.T. Mahan adalah penguasaan laut yaitu menjamin
penggunaan laut untuk kepentingan sendiri serta menutup peluang lawan untuk
mengunakannya. Penguasaan laut hanya dapat dicapai dengan menghancurkan
satuasatuan lawan atau blokade.
Dengan mengacu pada teori A. T Mahan ini, untuk dukungan Pangkalan
terhadap kekuatan armada laut dan sikap pemerintah untuk mempengaruhi
perkembangan kekuatan laut maka binpotmar diwujudkan guna pengembangan dan
pembinaan potensi maritim serta pengendalian wilayah pertahanan laut yang
memberikan dampak penangkalan dan penindakan terhadap pihak-pihak yang akan
mengganggu kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
2.1.2 Teori Lingkungan Strategi Maritim
Yarger menjelaskan bahwa lingkungan strategis merupakan berbagai konteks,
kondisi, hubungan, tren, isu, ancaman, peluang, interaksi, dan dampak terhadap
internal maupun eksternal suatu entitas Negara yang mempengaruhi keberhasilannya
dalam menjalin hubungan dengan dunia fisik, entitas Negara-negara lain (state
actors), aktor non-negara (nonstate actors), kesempatan dan kemungkinan-
kemungkinan di masa depan. Aktor non-negara tersebut dapat berupa organisasi-
organisasi di sektor privat baik yang berorientasi profit maupun non-profit. Oleh
karena itu, lingkungan strategis menjadi ruang dan waktu dimana entitas negara
tumbuh, berkembang, ataupun mengalami kehancuran (Yarger, 2006). Apa yang
terjadi ataupun akan terjadi pada lingkungan strategis pada dasarnya bersifat mungkin
terjadi, dapat diprediksi, masuk akal, dan tidak/belum diketahui (Bandoro, 2013).
Akan tetapi, lingkungan strategis menunjukkan dua karakteristik sekaligus yaitu
keteracakan (randomness) maupun keteraturuan (order) sehingga tidak sepenuhnya
tidak dapat terprediksi, acak atau tidak terkontrol (Yarger, 2006).
Situasi tersebut diatas menjadikan lingkungan strategis sebuah fenomena
dengan kekompleksitas yang tinggi. Owen Jacobs (dalam Gerras, 2010)
mengungkapkan lingkungan strategis memiliki sifat VUCA, yaitu volatil (volatility),
penuh dengan ketidakpastian (uncertainty), sangat kompleks (complexity), dan
ambigu (ambiguity). Volatil (Volatility) merupakan sifat lingkungan strategis yang
begitu cepat berubah. Ketika sifat perubahan yang begitu cepat melahirkan sifat
ketidakpastian (Uncertainty) dalam lingkungan strategis. Hubungan antar elemen
dalam lingkungan strategis begitu kompleks (Complexity). Perencanaan dan
pengambilan keputusan menjadi semakin tidak mudah dalam lingkungan strategis
karena sifat kebiasan (Ambiguity). Perubahan dan perkembangan lingkungan
strategis mempunyai implikasi pada output kebijakan dan arah orientasi institusi
politik. Hal ini akan membawa implikasi, baik positif maupun negatif sekaligus
secara bersamaan. Implikasi positif akan membawa manfaat dalam mendukung cita-
cita, tujuan dan kepentingan politik, sedangkan implikasi negatif menyebabkan
peningkatan potensi ancaman bagi keberlangsungan politik. Oleh karenanya,
perkembangan lingkungan strategis, perlu dicermati oleh para analis, perancang,
pembuat dan pengambil keputusan politik dalam rangka untuk mencapai survival of
the fittest (Bhakti, 2004).
Perubahan lingkungan strategis, menurut Yarger, mungkin hasil dari
kesempatan perubahan itu sendiri (by chance) atau bias juga karena direkasaya atau
dirancang (by design) (Yarger, 2006). Yang pasti, setiap satu elemen mengalami
perubahan ataupun aktor tertentu dalam lingkungan strategis melakukan perubahan
maka akan berdampak kepada seluruh lingkungan strategis. Lingkungan Strategis
dapat dipindai melalui berbagai dimensi. Bandoro (2013) menyatakan dimensi
keamanan (security), ekonomi (economics), politik (politics), sosial (societal),
teknologi (technology), dan lain sebagainya dikaji untuk memindai lingkungan
strategis. Sementara, David menjelaskan dimensi politik pemerintah-hukum,
ekonomi, sosial-budaya, lingkungan, teknologi, dan persaingan antar V-4 entitas
perlu dipindai dalam lingkungan strategis (David, 2013). Tujuh puluh persen dari
permukaan bumi adalah lautan dan lebih dari dua pertiga penduduk dunia hidup
dalam radius 100 mil laut. Pada umumnya sejauh 200 mil laut, bahkan beberapa
negara lebih darti itu. Kegiatan maritim manusia yang paling banyak, baik berupa
pelayaran, penangkapan ikan dan eksplorasi minyak, dilaksanakan di dalam zona
pantai 200 mil tersebut. Hal ini memberikan pemahaman atas fakta, bahwa bagian
penting dari kegiatan ekonomi, politik maupun militer dari penduduk dunia dilakukan
dalam Kawasan daratan dan laut tidak lebih dari 300 mil. Dalam cakupan kawasan
daratan dan laut itu diperlukan konsep-konsep pengerahan dan penyebaran kekuatan
disertai kriteria efektif dan efisien. Efektif karena dikaitkan dengan struktur kekuatan
laut yang harus mampu mendemonstrasikankompetensinyadilautdanefisiendikaitkan
dengan sumber daya yang terbatas. Manusia sebenarnya bisa lebih banyak memiliki
kekuatan dan kebutuhan untuk memanfaatkan maritimnya karena maritim lebih luas
dari pada daratan

2.1.3 Teori Pembinaan


Secara etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata
“Guidence” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti “menunjukan,
membimbing, menuntun, ataupun membantu" (Hallen A, 2002 : 3). Sedangkan secara
terminologi menurut W.S. Winkel menyatakan bahwa bimbingan adalah proses
pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan,
supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan
diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta
masyarakat (W. S. Winkel, 67 : 1997).
Menurut Deni Febrini menjelaskan bimbingan adalah suatu proses pemberian
bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang dilakukan oleh
konselor, dimaksudkan agar individu dapat memahami dirinya, lingkungannya serta
dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk dapat
mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat (Febrini, 2011 : 9). Sedangkan menurut Bimo Walgito
bahwasanya bimbingan adalah suatu bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada
individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-
kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat
mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito, 2005 : 5-6). Pembinaan adalah sebagai
suatu usaha pembaharuan yang terencana di dalam suatu kultur melalui penggunaan
teknologi, riset, dan teori perilaku (Thoha, 1989 : 13).
Dari beberapa pengertian bimbingan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau sekumpulan
individu agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, dan
pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan optimal
dan penyesuaian diri dengan lingkungan sebagai untuk mensejahteraan dirinya serta
kesejahteraan masyarakat. Pembinaan merupakan program yang berjangka panjang,
dan menyangkut proses dari suatu sistem yang luas. Sebagai konsekwensi dari
program yang berencana dan berjangka panjang maka dibutuhkan sistem pengelolaan
yang baik, pengelolaan ini harus dilakukan secara hati-hati dan penuh kesadaran,
selain itu pengelolaan sangat membutuhkan koordinasi sehingga dapat dihindari
kegiatan pembinaan yang berjalan sendiri-sendiri. Untuk itu, peran TNI AL sangat
dibutuhkan sebagai salah satu organisasi militer yang bertanggung jawab terhadap
pembinaan potensi maritim yang dapat dijadikan sebaga potensi nasional guna
mendukung pertahanan negara di laut dalam rangka menjaga kedaulatan dan
keutuhan NKRI.
Keberadaan binpotmar diharapkan bisa bersinergi dengan semua staf instansi
terkait yang merupakan steak holder dalam pembinaan dan pengembangan potensi
Maritim. Dengan adanya binpotmar berarti Posal-Posal TNI AL yang ada di seluruh
Indonesia dapat melakukan Pembina sumber daya manusia dan pengembangan
sumber daya alam. binpotmar sebagai salah satu program TNI AL (militer)
diharapkan bertanggung jawab terhadap pembinaan potensi maritim yang dapat
dijadikan sebagai potensi nasional guna mendukung pengendalian wilayah pertahanan
laut dalam rangka pembangunan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.
2.1.4 Teori Ancaman Keamanan Maritim
Keamanan (security) pada dasarnya merupakan upaya mengelola elemen
ancaman (threat elements) dengan suatu tujuan akhir terciptanya lingkungan
kehidupan pada negara maupun tataran individu yang terbebas dari segala bentuk
ancaman (Buzan, 2007). Worfer (dalam Baldwin, 1997) secara singkat
menyampaikan bahwa keamanan bermakna ketidaannya ancaman. Sementara itu
berbagai macam pendekatan dan rumusan keamanan telah dikembangkan oleh para
ahli, mulai dari pedekatan realisme, liberalisme, sosial kontruktifisme, keamanan
manusia, dan lain sebagainya. Collins (2010), menyatakan bahwa sekalipun telah
dirumuskan berbagai macam pendekatan dalam ‘keamanan’ tetapi secara garis besar,
keamanan adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebertahanan diri (survival) terhadan
berbagai ancaman. Berdasarkan hal tersebut maka keamanan memiliki dua komponen
utama, yaitu sumber ancaman dan obyek ancaman suatu obyek yang dapat terancam
sehingga perlu dilindungi serta dijaga. Hakikat ancaman sendiri dapat ditinjau dari
berbagai macam sudut pandang dimana sangat tergantung kepada bagaimana cara
pandang suatu entitas memandangnya.
Bandoro (2013) menyebut ancaman sebagai segala jenis hal baik yang bersifat
masih dalam potensi maupun bentuk aktifitas yang mengancam kedaulatan,
keutuhaan, dan termasuk upaya mengubah hakikat suatu negara berdaulat baik yang
datang dari luar maupun dalam wilayah negara. Sementara itu Buzan (2007) melihat
ancaman sebagai segala sesuatu yang memungkinkan terganggunya dan
terpengaruhinya obyek tereferensi. Sehingga bersama dengan Wilde dan Waever,
Buzan (dalam Buerger, 2014) menjelaskan ‘ancaman’ dapat dikonstruksi kedalam
rangkaian pengakuan (a series of claims) yang menyatakan suatu pernyataan yang
generik terkait dengan perlindungan terhadap suatu rujukan obyek tertentu. Oleh
karena itu, konstruksi ancaman biasanya disertai dengan usulan upaya untuk
mengatasinya dalam kondisi ekstrem usulan upaya tersebut akan melibatkan kekuatan
militer yang dapat mengurangi bahkan menghapuskan hak-hak kebebasan sipil.
David (2013) menyatakan ancaman merupakan sesuatu yang direferensikan
oleh suatu organisasi oleh karena dapat mempengaruhi keberlanjutan suatu eksistensi
maupun operasi organisasi sehingga menjadi pusat perhatian dan perlu diatasi secara
seksama. Selain ancaman, maka suatu entitas perlu memperhatikan pula peluang
(opportunity) yang muncul dari lingkungan strategis yang melingkupinya. Ohmae
(2005) mengaitkan peluang dengan proses globalisasi sehingga memandang peluang
sebagai terbukanya berbagai kesempatan akibat proses global yang seyogyanya
ditangkap oleh Negara-bangsa untuk mencapai kepentingan nasional dan memperkuat
komposisi kekuatan nasionalnya.
Sedangkan David (2013) menjelaskan peluang sebagai berbagai kesempatan
yang muncul dan bersifat potensi pada suatu kurun waktu tertentu dan sangat perlu
disikapi oleh suatu organisasi secara seksama. Dari penjelasan mengenai keamanan
dan ancaman diatas maka diterapkan didalam konteks maritim menjadi sebuah
konsep mengenai keamanan maritim (maritime securities). Buerger (2014) menyebut
keamanan maritime menjadi semacam “buzzword” di masa kini karena berbagai
pihak tidak cukup menjelaskan apa yang dimaksud dan dituju mengenai hal tersebut.
Terminologi keamanan maritim memberikan berbagai makna yang sangat beragam
terhadap orang maupun organisasi tergantung bagaimana kepentingan organisasi,
ataupun bias politik dan ideologi. (Rahman, 2009) Burger (2014) menyarankan 3
kerangka penting untuk merumuskan konsep keamanan maritim yaitu: keamanan
maritim matriks (maritime security matrix), kerangka sekuritisasi maritim
(securitization framework), kelompok pengguna praktek keamanan (Security Practice
and Communities of Practice).
Melalui kerangka keamanan maritim matriks, suatu entitas dapat dipetakan
bagaimana akan merumuskan keamanan maritimnya pada empat dimensi, yaitu
keamanan nasional (national security), keamanan ekonomi (economy security),
keamanan manusia (human security), dan lingkungan maritime (marine environment).
Dimensi keamanan nasional bertumpu pada perspektif tradisional yang memandang
keamanan nasional (national security) sebagai upaya melindungi keberlangsungan
negara sehingga kekuatan laut (sea power) yang diwakili oleh kekuatan angkatan laut
(naval forces) sebagai kekuatan yang dominan terkait maritim. Dengan demikian,
dalam dimensi ini keamanan maritim identik atau berkaitan dengan penggunaan
kekuatan angkatan laut. Dimensi lainnya, keamanan ekonomi memusatkan perhatian
lautan sebagai salah satu sumber utama pada pengembangan ekonomi sehingga
bersifat vital.
Jalur perdagangan, manfaat hasil laut, tambang bawah laut, dan lain
sebagainya memiliki nilai komersialisasi yang sangat besar sehingga berperan penting
dalam perkembangan ekonomi tidak hanya suatu entitas negara tetapi juga dunia.
Dimensi ini menitik-beratkan keamanan maritim berkorelasi erat dengan keamanan
maritim. Pada dimensi keamanan manusia, maritim berkaitan erat sebagai pusat
bahan pangan manusia juga populasi manusia yang hidup dipesisir perairan maupun
di tengah perairan (pulau). Melalui dimensi ini, keamanan maritim dapat
dipertimbangkan berkaitan erat dengan keamanan manusia. Dimensi terakhir,
lingkungan maritim, memberikan perhatian pada konsep kesalamatan maritim
(marine safety) yang melingkupi unsur kesalamatan lalu-lintas kapal, instalasi
pendukung, sampai dengan perlindungan lingkungan hidup maritim akibat dari
bencana yang timbul akibat proses alam ataupun buatan manusisa seperti tumpahnya
minyak di lautan. Kerangka sekuritisasi maritim mencoba untuk mendefinisikan
konsep keamanan maritim melalui bagaimana suatu entitas atau aktor mengkaitkan
dan merumuskan hakikat ancamannya dirinya dengan lingkup maritim. Kerangka
kelompok pengguna praktek keamanan menjelaskan konsep keamanan maritim bisa
didekati dengan melihat bagaimana entitas atau aktor tertentu melakukan aktifitas-
aktifitas berkaitan apa yang mereka sebut dengan keamanan maritim.
2.2 Kajian Pustaka
Otentifikasi suatu penelitian ditunjukkan dengan menggunakan literatur yang
relevan dengan penelitian. Literatur yang mendukung topik penelitian mengenai
peran pembina potensi maritim (binpotmar) dalam pengendalian wilayah pertahanan
laut untuk mencegah ancaman keamanan maritim, buku The Influence of Sea Power
Upon History” yang ditulis oleh A. T. Mahan, diterbitkan pada tahun 1890 oleh
Alfred Thayer Mahan . Ini merinci peran kekuatan laut selama abad ketujuh belas dan
kedelapan belas, dan membahas berbagai faktor yang diperlukan untuk mendukung
dan mencapai kekuatan laut, dengan penekanan pada memiliki armada terbesar dan
terkuat.
Buku selanjutnya yang membahas konsep Intelijen Geospasial adalah karya
James Kraska yang berjudul Contemporary Maritime Piracy: International Law,
Strategy, and Diplomacy at Sea. Buku yang diterbitkan di Praeger. pada tahun 2011
tersebut membahas mengenai kebijakan keamanan maritim pada wilayah Laut yang
sering kali dihadapkan pada permasalahan kejahatan terutama penyanderaan dan
pembajakan kapal dan tindak kejahatan di wilayah tersebut. 
Terkait dengan keamanan maritim yang akan digunakan, maka salah satu
sumber yang dapat menjadi rujukan merupakan buku karya Philip M. Parker yang
berjudul Security for Airport and Aerospace, Maritime and Port, and High-Threat
Targets in Belgium: A Strategic Reference, 200609, penerbit di Belgian. Buku ini
menjelaskan tentang proses perencanaan strategis yang digunakan untuk metodologi
dan aplikasinya dari perspektif alternatifnya pada perencanaan strategis yang
berkaitan dengan keamanan bandara dan kedirgantaraan, maritim dan pelabuhan, dan
target ancaman yang tinggi.
2.3 Kajian Terdahulu
Terkait dengan topik penelitian, telah dilakukan penelusuran terhadap kajian
terdahulu yang memiliki topik atau ruang lingkup penelitian yang hampir serupa dalam
kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. Kajian yang telah dilakukan terdahulu akan
digunakan oleh penulis sebagai acuan atau perbandingan teoritis dan metodologi.

Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Hasil

1. Anta Maulana Sinergi Antara Penelitian ini menunjukan bahwa,


Nasution Kelompok Masyarakat pertama Satuan Armada Nelayan
Pengawas dalam mencegah ancaman
(Pokmaswas) Dan keamanan maritim dapat
Pembinaan Desa dimplementasikan melalui
Pesisir (Bindesir) sinergitas dan kolaborasi antara
Untuk Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas
Satuan Armada (POKMASWAS) bentukan
Nelayan (Satarmanel) Pengawas Sumber Daya Kelautan
Dalam Rangka dan Perikanan KKP dan Pembinaan
Mencegah Ancaman Desa Pesisir (BINDESIR) bentukan
Keamanan Maritim Dinas Potensi Maritim TNI AL;
Jurnal Keamanan kedua, Pokmaswas lebih menitik
Maritim beratkan pada pencegahan ancaman
keamanan maritim di bidang
sumberdaya kelautan, sementara
nelayan yang telah dibina oleh TNI
AL (Bindesir) meliputi ancaman di
bidang kelautan dan perikanan dan
ancaman lain seperti pencurian,
perampokan dan penyelundupan
barang-barang illegal.
2. Mangisi Pembentukan Penelitian ini menunjukan bahwa,
Simanjuntak Bintara Pembina Maritim merupakan sumber energi,
Potensi Maritim Di sumber pangan dan sebagai sumber
Pos Angkatan Laut kekayaan serta sarana transportasi
Perspektif Hukum dan media pertahanan yang harus
Maritim Jurnal dikembangkan dan dipelihara serta
Hukum untuk diamankan untuk kepentingan
mengatur dan bangsa dan rakyat Indonesia. Untuk
melindungi pengembangan, pertahanan, dan
masyarakat keamanan potensi maritim,
diperlukan peningkatan seluruh unit
kerja di instansi yang bergerak di
bidang potensi maritim, khususnya
pos terdepan TNI AL. Namun,
semuanya belum memiliki personel
atau Pembina Potensi Maritim yang
mampu mempertajam pelaksanaan
tugas pembinaan sumber daya
manusia dan pengembangan
sumber daya alam di bidang potensi
bahari melalui metode komunikasi
sosial, pembinaan ketahanan daerah
dan pelayanan sosial. Menghadapi
permasalahan yang semakin
kompleks dan tantangan yang
semakin besar untuk
mengembangkan seluruh potensi
maritim yang lebih efektif dalam
mencapai tujuan menjadikan
Indonesia poros maritim dunia.
3. Antonius Pengamanan Laut Penelitian ini menunjukan bahwa,
Widyoutomo Mewujudkan Pengelolaan dan pemanfaatan
Keamanan Maritim secara ilegal dan tidak seimbang
Indonesia Jurnal menjadi ancaman bagi keamanan
Jurnal Keamanan maritim, untuk itu TNI Angkatan
Maritim Laut membutuhkan sinergisitas
dengan kekuatan maritim nasional
lainnya serta kerjasama dengan
Angkatan Laut negara sahabat guna
mendukung tugas pokok. Kekuatan
armada dibangun sesuai dengan
kebutuhan operasi dengan
memperhatikan karakteristik laut
Indonesia. Tugas TNI Angkatan
Laut dalam pengamanan wilayah
laut dijabarkan dengan menggelar
operasi laut sepanjang tahun,
operasi waktu tertentu dan operasi
khusus. Gelar operasi TNI
Angkatan Laut menunjukkan pula
pentingnya fungsi laut bagi
Indonesia dan negara lain di
kawasan guna mewujudkan
keamanan maritim Indonesia dan
Kawasan
4. A. K. Susilo Pengembangan Penelitian ini menunjukan bahwa,
Strategi Keamanan Berdasarkan analisis SWOT dan
Maritim Dalam metode ISM, didapatkan 9 faktor
Menghadapi Ancaman kekuatan dan kelemahan yang
Wilayah Laut Sebagai terkait dengan faktor internal.
Dampak Kemudian didapatkan 9 faktor
Perkembangan ancaman dan peluang terkait
Kawasan Jurnal dengan kondisi eksternal. Hal juga
Nasional Kelautan telah merumuskan 13 elemen
Dan Perikanan strategi beserta 8 level prioritas
elemen strategi implementasi
dalam penanganan keamanan laut
nasional. Manfaat dari makalah
ini adalah sebagai literatur untuk
aktor maritim Indonesia tentang
strategi keamanan maritim.
Makalah ini juga diharapkan dapat
memberikan studi akademis untuk
keamanan maritim dalam konteks
pengembangan strategi.

Berdasarkan tinjauan terhadap hasil penelitian sebelumnya peneliti menemukan


peluang untuk melakukan penelitian baru mengenai peran bintara pembina potensi maritim
(BABINPOTMAR) dalam pengendalian wilayah pertahanan laut untuk mencegah ancaman
keamanan maritim ; studi kasus di lanal banten.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Tipe Penelitian


Metodologi penelitian didefinisikan oleh Leedy & Ormrod (2001) sebagai
pendekatan umum yang diambil oleh peneliti dalam menjalankan proyek penelitian.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Neuman (2000:16) yang
mengutip dari beberapa sumber bahwa pendekatan kualitatif memiliki ciri sebagai
berikut:
1. Construct social reality, cultural meaning
2. Focus on interactive processes, events
3. Authenticity is key
4. Values are present and explicit
5. Situationally constrained
6. Few cases, subjects
7. Thematic analysis
8. Researcher is involved

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai


prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat,
dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya (Hadari Nawawi, 1985: 63). Menjadi dasar bagi peneliti dalam
memastikan, bahwa penelitian ini berjenis field research (penelitian lapangan).
Sementara, untuk kepentingan pencapaian tujuan penelitian, yakni mencari,
menemukan, menggali serta kemudian mengungkapkan keadaan objek penelitian
sebagaimana adanya, sesuai dengan kondisi di saat penelitian dilakukan, peneliti
menggunakan metode deskripsi sebagai metode penelitian ini. Penggunaan metode
deskripsi peneliti landaskan pada pemikiran Moleong yang menyatakan, bahwa
penelitian deskriptif mendasarkan analisisnya pada data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar dan bukan angka-angka untuk mendapatkan deskripsi yang objektif
(Moleong, 2010:75).
Memperhatikan rumusan pertanyaan penelitian, yang dalam proses pencarian
dan pengumpulandata-data guna merumuskan jawabannya membutuhkan keleluasaan
peneliti untuk merancang serta menggulirkan pertanyaan dan kemudian menafsirkan
data-data tersebut, maka peneliti menggunakan kualitatif sebagai pendekatan
penelitian ini. Pendekatan kualitatif peneliti gunakan dengan merujuk pada pemikiran
Sugiyonoyang menyatakan, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2015: 11). Dalam penelitian kualitatif,
keseluruhan data dianalisis secara secara deduktif, dan untuk menjaga keabsahannya
digunakan pula teknik trianggulasi.
Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini juga peneliti tujukan
untuk kepentingan peneliti dalam melakukan teoritisasi. Untuk kepentingan tersebut
peneliti juga berusaha mengungkap informasi di balik fakta yang ditemukan,
kemudian peneliti secara leluasa melakukan analisis sertamenafsirkannta dengan
menggunakan kerangka berpikir induktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Ulber
Silalahi yang menyatakan, bahwa penelitian kualitatif dapat dikonstruksikan sebagai
satu strategi penelitian yang biasanya menekankan kata-kata daripada kuantifikasi
dalam pengumpulan dan analisis data, menekankan pendekatan induktif untuk
hubungan antara teori dan penelitian, yang tekanannya pada penempatan penciptaan
teori (Moleong, 2010:117).
Burhan Bungin, dalam bukunya “Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya,” menegaskan, bahwa dalam penelitian
kualitatif, seorang peneliti mampu melampaui tahapan berpikir kritis ilmiah ketika si
peneliti memulai proses berpikirnya secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta
atau fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya
serta berupaya melakukan teoritisasi berdasarkan hasil pengamatannya (Bungin,
2008: 56).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ilmiah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis tergantung pada
kriteria yang digunakan untuk mengelompokkannya. Salah satu dasar yang dapat
digunakan untuk membedakan metode penelitian menurut Irawan (2000:59) adalah
tingkat kedalaman pemahaman terhadap objek penelitian. Berdasarkan tingkat
kedalaman pemahaman terhadap obyek penelitian, maka penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Pengertian penelitian deskriptif menurut Irawan (2000:60)
adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal
seperti apa adanya. Metode deskriptif memungkinkan peneliti untuk memilih satu
objek penelitian untuk dikaji secara mendalam dan bukan hanya membuat peta
umum dari objek yang diteliti.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Setiap penelitian pasti membutuhkan teknik-teknik khusus dalam proses
pengumpulan data dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat, sehingga
dapat dipercaya kebenarannya.Untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan
fokus dan tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik yaitu:
1. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat),
pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan.
Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik
perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti
perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek
tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Bungin (2007: 115)
mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian
kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi
kelompok tidak terstruktur.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi tidak terstruktur,
dimana peneliti tidak menggunakan guide observasi dalam bentuk aturan mengikat.
Namun untuk memberikan arah bagi penggunaan teknik observasi, peneliti
menggunakan pedoman observasi sebagai alatnya.
2. Wawancara
Teknik wawancara yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-dept interview) adalah proses
menggali informasi sesuai tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
muka antara peneliti sebagai pewawancara dengan para pegawai dan mahasiswa
sebagai informan atau orang yang diwawancarai.
Untuk kepentingan pelaksanaan wawancara, peneliti menggunakan pedoman
wawancara sebagai alatnya. Pedoman wawancara berisikan daftar pertanyaan yang
peneliti susun dengan merujuk pada rumusan pertanyaan penelitian. Rentetan
pertanyaan yang sudah peneliti rumuskan peneliti ajukan dengan menggunakan
teknik snowball question (pertanyaan bergulir), yaitu mengajukan pertanyaan tanpa
mengikuti urutan dalam daftar pedoman wawancara, namun lebih mengikuti jawaban
dari informan atau responden.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu teknik pengumpulan data kualitatif dengan
melihat atau menganalisis dokumen-dokumen tentang subjek yang diteliti. Sejumlah
besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi, baik berupa
catatan kegiatan, daftar tugas dan fungsi, maupun berupa foto-foto tentang aktivitas
subjek penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik dokumentasi dengan check
list sebagai alatnya.Teknik ini peneliti gunakan untuk memperkuat informasi yang
peneliti peroleh melalui wawancara,
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah semua data yang peneliti butuhkan terkumpul, selanjutnya peneliti
melakukan pengolahan dan analisis data untuk memberikan penafsiran terhadap data.
Teknik analisis yang peneliti gunakan adalah teknik analisis kualitatif. Sejalan dengan
pendapat Miles dan Huberman, bahwa teknik yang digunakan dalam analisis data ada
tiga langkah, yaitu reduksi data, display data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi
(Miles, 1992: 69). Penggunaan ketiga langkah ini peneliti jelaskan sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi yaitu proses pemilahan data yang telah diperoleh melalui
wawancara guna dipilih data-data yang sesuai dengan fokus penelitian untuk
kepentingan menjawab pertanyaan penelitian. Sementara, data-data yang tidak
terkait langsung dengan kepentingan penelitian, peneliti sisihkan. Teknik ini
peneliti terapkan dengan cara memilah data dan kemudian mengurutkannya
berdasarkan kebutuhan informasi sesuai dengan fokus dan pertanyaan penelitian.
Bahkan ketika peneliti temukan data-data yang sama sekali tidak berhubungan
dengan fokus penelitian, data-data tersebut peneliti sisihkan atau bahkan dibuang.
2. Display Data
Display data atau penyajian data yaitu proses pemaparan data-data yang
telah dipilah dan dipilih sesuai dengan fokus dan kebutuhan untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Teknik ini peneliti terapkan dengan mengurai dan
kemudian memaparkan data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam.
Pemaparan data ini peneliti lakukan setelah sebelumnya peneliti mereduksi data-
data secara keseluruhan, sehingga ketika memasuki tahap pemaparan data tidak
terjadi penumpukan dan kesimpangsiuran data.
3. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan
Verfikasi dan kesimpulanyaitu proses pembuktian keabsahan data dengan
menghadirkan data-data pendukung dalam penarikan kesimpulan penelitian.
Teknik ini peneliti terapkan dengan mendeskripsikan data yang mendukung
kebenaran penarikan kesimpulan, dimana data-data dimaksud sebelumnya telah
dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
3.5 Teknik Uji Keabsahan Data
Semua data yang telah terkumpul tidak seluruhnya memiliki kebenaran akurat
yang sesuai dengan fokus penelitian, mungkin juga terdapat kekurangan atau
kesalahan yang berkaitan dengan data-data utama.Oleh karenanya peneliti
perlumelakukan uji keabsahan data agar data benar-benar yang terkumpul terjamin
validitasnya. Untuk dimaksud,dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik
triangulasi data.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan dari data
utama (Zuldafrial, 2012:95). Teknik triangulasi data yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber, dimana peneliti membandingkan data hasil
wawancara.
Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik uraian rinci, yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan cara mengurai data-data yang telah diproses
dengan teknik sebelumnya, dimana proses penguraian peneliti lakukan secara rinci
dan sistematis sesuai dengan runtun pertanyaan penelitian. Teknik ini peneliti
gunakan dalam menyusun laporan penelitian, agar segala hal yang terkait dengan
proses penelitian, terutama penjaringan data berikut tahapan-tahapannya hingga
penarikan kesimpulan, dapat diuraikan secara detail dan rinci.
3.6 Tempat Pelaksanaan Penelitian dan Penulisan Tesis

Penelitian dan penulisan tesis ini dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Provinsi


Jawa Barat dengan berpedoman pada jadwal sebagai berikut:

Tabel 3.6 Rencana Jadwal Penelitian

No Kegiatan 2019 2020

Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

1 Pengumpulan data
2 Pengajuan proposal

3 Seminar Proposal

4 Penulisan Draf

5 Seminar Hasil

6 Penulisan Draf

7 Ujian Tesis

Nanti kakak
sesuaikan lagi
ya kak sebelum
konsul sambil
memahaminya
( Maaf kak apa
bila ada
kekurangan )
Semoga di
lancarkan Amin
Allah .

Anda mungkin juga menyukai