Anda di halaman 1dari 15

Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali1

Rizki Aprilian Wijaya dan Sonny Koeshendrajana


Peneliti Pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Email: rizkiaprilian@yahoo.co.id

Abstrak

Pengelolaan kapasitas perikanan atau alokasi sumberdaya perikanan selalu menjadi isu
penting bagi penentu kebijakan. Pengelolaan perikanan yang melebihi kapasitas optimalnya
dapat menyebabkan dampak negatif yang sangat luas, antara lain konflik pemanfatan
sumberdaya, kondisi tangkap lebih (over-fishing), penurunan kualitas sumberdaya, kerugian
ekonomi dan ancaman keamanan berusaha. Makalah ini menguraikan kasus excess capacity
dalam pengelolaan perikanan lemuru di selat Bali. Data dan informasi yang digunakan di
ekstrak berdasarkan hasil-hasil kajian terdahulu terkait pengelolaan perikanan lemuru di selat
Bali. Bahan tersebut, khususnya adalah berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh peneliti
pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan tahun 2007-2008. Metoda
analisis deskriptif eksploratif digunakan dalam penulisan makalah ini. Hasil kajian
memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 1997-2007, efisiensi penangkapan ikan lemuru
mengalami penurunan. Tingkat pemanfaatan aktual saat ini telah jauh melebihi tingkat pada
Kondisi Maximum Economic Yield (MEY) maupun pada kondisi Maximum Sustainable Yield
(MSY). Dampak alternatif alokasi fishing effort dalam jangka pendek menurunkan kontribusi
pendapatan, namun secara jangka panjang akan terjadi distribusi manfaat yang optimal.

Kata Kunci : excess capacity, perikanan lemuru, Selat Bali.

PENDAHULUAN

Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dewasa ini masih tetap dihadapkan
kepada suatu sistem yang kompleks. Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga
menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi penggunanya, namun kelestariannya tetap
terjaga (Fauzi, 2004). Bukti-bukti penangkapan berlebih pada sumberdaya perikanan laut
yang disebabkan kelebihan kapasitas penangkapan ternyata tidak cukup untuk merubah
paradigma pengelolaan perikanan yang selama ini berorientasi produksi. Wiadnyana et al.,
(2009) menyatakan bahwa ada beberapa argumentasi untuk menggeser kebijakan pengelolaan
perikanan tangkap dalam rangka pemulihan stok sumberdaya dan usaha perikanan tangkap,
diantaranya, pertama, pergeseran kebijakan perikanan, dari pengelolaan yang berorientasi
1
Tulisan ini merupakamn bagian dari buku yang diterbitkan oleh Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan. Silahkan disitasi dengan penulisan sebagai berikut:
Wijaya, R.A. dan S. Koeshendrajana. 2009. Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat
Bali. In Koeshendrajana, S & Y. D. Sari (eds), Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan:
Bunga Rampai Hasil - hasil riset ke -2 (Buku), Hal 61 - 76. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, BRKP, DKP. 123 Hal
pada perluasan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, kedua, pengelola
perikanan memahami bahwa prinsip “sumberdaya tidak akan pernah habis” sudah tidak
berlaku atau dengan kata lain, perluasan usaha penangkapan yang tanpa kontrol tidak akan
menguntungkan lagi, ketiga, pengelola perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha
penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkap berlebih ke wilayah lainnya akan
memberikan kontribusi terhadap kolaps-nya perikanan tangkap setempat.
Salah satu perairan yang diduga sudah mengalami over-exploited adalah wilayah
perairan perikanan tangkap di Selat Bali. Perairan dimiliki oleh 2 propinsi, yaitu Propinsi
Jawa Timur dan Propinsi Bali. Produk perikanan utama yang dihasilkan adalah ikan lemuru
yang merupakan ciri khas dari perairan selat Bali. Keberadaan ikan tersebut sejak lama telah
menjadi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan ikan (pengalengan) di daerah
Muncar, JawaTimur.
Pengertian „excess capacity‟ sering disama artikan dengan kondisi „over-fishing‟.
Secara historis, keterkaitan kedua terminology di atas didasarkan pada pengalaman empiris
bahwa sebagai akibat penggunaan kapasitas (fishing effort) yang berlebihan, menyebabkan
terjadinya tangkap lebih (over-fishing) pada suatu tipologi perikanan tertentu. Dalam hal
tersebut, secara sederhana konsep kapasitas (capacity) secara implicit dinyatakan sebagai
upaya tangkap (fishing effort). Terry et al., (2000) memberikan review beberapa definisi
terkait dengan kapasitas serta implikasinya dalam hal pengukuran dan penilaian kebijakan.
Pada kasus perikanan, dinyatakan bahwa kapasitas dapat didasarkan pada kriteria ekonomi
dan kriteria teknis. Berdasarkan kriteria ekonomi, mengacu pada model perikanan tangkap
yang dikembangkan oleh Gordon (1954) dan Schaefer (1954; 1957), „excess capacity‟ mulai
muncul saat melewati titik Maximum Economic Yield (MEY). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bila tangkap lebih secara ekonomi telah muncul, maka dapat dikatakan
bahwa „excess capacity‟ pada perikanan tersebut telah terjadi. Definis secara teknis
didasarkan pada target input atau output yang digunakan dalam perikanan. Target yang
dimaksudkan dapat berupa Maximum Sustainable Yield (MSY) atau Maximum Economic
Yield (MEY). Meskipun secara ekonomi tradisional definisi kedua tersebut lebih bermakna,
kriteria teknis untuk memberikan gambaran konsep „excess capacity‟pada perikanan tersebut
dalam implementasinya lebih rumit dan memerlukan data yang mungkin tidak tersedia. Oleh
karena itu, makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji kasus excess capacity pada perikanan
lemuru di selat Bali berdasarkan pendekatan yang pertama.

METODOLOGI
Data dan Sumber Data

Data dan informasi yang digunakan dalam kajian ini adalah bersumber dari hasil-hasil
riset yang terkait dengan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali, khususnya yang telah
dilakukan oleh peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi kelautan dan Perikanan.
Selain daripada itu, data dan informasi berdasarkan penelusuran literatur terkait dengan topik
studi.

Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif exploratif, baik dalam bentuk penyajian
kualitatif maupun kuantitatif menggunakan hasil analisis yang telah dilakukan oleh
Koeshendrajana et al (2008). Analisis deskriptif kualitatif meliputi karakteristik wilayah
studi dan musim penanngkapan. Analisis deskriptif kualitatif-kuantitatif meliputi usaha
penangkapan, pengolahan dan pemasaran ikan lemuru. Analisis deskriptif kuantitatif
didasarkan hasil kajian pendekatan bioekonomi dalam penentuan tingkat pemanfaatan dan
optimasi pengelolaan perikanan lemuru di selat Bali. Selanjutnya, analisis deskriptif
eksploratif digunakan untuk mengkaji excess capacity pada perikanan lemuru di selat Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah dan Musim Penangkapan Ikan Lemuru

Selat Bali merupakan daerah perairan yang relatif sempit (sekitar 2.500 km2). Mulut
bagian utara lebarnya sekitar 2.5 km dan merupakan perairan yang dangkal sedangkan mulut
bagian selatan sekitar 55 km dan merupakan perairan yang dalam. Adanya perbedaan lebar
dan kedalaman mulut utara dan selatan ini dan perbedaan kedalaman menyebabkan perairan
Selat Bali memiliki arus yang terkadang cukup kuat. Selain itu, perairan ini juga kaya akan
plankton yang mengindikasikan kesuburan perairan. Pada saat musim timur, biasanya terjadi
upwelling yang terjadi di bagian selatan Selat Bali yang mengakibatkan peningkatan
sumberdaya ikan lemuru. Pada musim tersebut, terjadi kelebihan penangkapan ikan lemuru
oleh nelayan sehingga banyak ikan lemuru yang terbuang. Harga ikan lemuru pada musim
tersebut mengalami penurunan yang cukup besar akibat dari permintaan yang tetap sementara
produksi ikan lemuru mengalami peningkatan. Hasil survei akustik yang dilakukan oleh
Wudianto (2001) menunjukkan konsentrasi ikan pelagis kecil (khususnya ikan lemuru)
terkonsentrasi di empat wilayah, yaitu :
1. Wilayah Karang Ente dekat dengan wilayah Pantai Banyuwangi;
2. Wilayah Tengah Selat Bali (konsentrasi tertinggi);
3. Dekat dengan bagian Timur Selat Bali; dan
4. Sekitar Tanjung Blambangan, Banyuwangi.
Pemanfaatan sumber daya perikanan untuk wilayah Karang Ente dan Wilayah Tengah
Selat Bali (1 dan 2) merupakan Daerah I , yaitu daerah penangkapan ikan Selat Bali oleh
nelayan tradisional, sedangkan untuk Daerah II (3 dan 4) merupakan daerah penangkapan
ikan nelayan modern seperti purse seine berskala besar (FAO, 2001). Berdasarkan rata-rata
produksi ikan lemuru yang didaratkan di Pelabuhan Muncar dan Pengambengan setiap
tahunnya adalah sebesar 31.249,6 ton dengan rata-rata trip per tahun sebanyak 17.363 dimana
potensi lestari perikanan lemuru mencapai 31.161 ton/tahun.
Musim penangkapan ikan lemuru terjadi pada musim Barat antara bulan September –
Januari. Namun demikian selama tahun 2000-2004 telah terjadi perubahan kondisi sumber
daya ikan lemuru dan menunjukkan pergeseran musim ikan, dimana pada bulan September
2004 yang seharusnya musim ikan menunjukkan paceklik. Pada saat musim ikan lemuru
tersebut, seluruh nelayan mengalokasikan sebagian besar waktunya (menambah trip melaut)
untuk menangkap ikan lemuru. Untuk mengejar keuntungan ekonomi dengan berharap
mendapatkan banyak ikan lemuru, nelayan bahkan terkadang salah dalam memperhitungkan
jumlah lemuru yang terlampau banyak yang tidak tertampung dari kapal-kapal yang
dimilikinya (over capacity). Ikan-ikan lemuru yang tidak tertampung terkadang dibuang
kembali kelaut dalam kondisi ikan sudah mati. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi
permasalahan jika dikaitkan dengan aturan dalam IUU Fishing Right. Dampaknya pernah
dirasakan masyarakat di Pulau Bali, dimana Pantai Kuta Badung pada saat musim-musim
lemuru mendapatkan kiriman bangkai ikan lemuru. Hal ini tentu saja merugikan pengelola
pariwisata yang berlokasi di sekitar di sekitar Pantai Kuta Badung. Dari sisi ekonomis,
penangkapan pada musim ikan tersebut tidak memperhitungkan efisiensi dalam hal harga
ikan yang diterima. Harga ikan mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu pada harga
Rp 2.000 per Kg. Sehingga tetap saja harapan nelayan untuk mendapatkan keuntungan yang
besar tidak akan tercapai. Musim ikan lemuru di Selat Bali menurut ukurannya dapat dibagi
sebagai berikut:
 Sempenit ( < 11 cm) pada bulan Agustus sampai Desember
 Protolan ( 11 - 15 cm) pada bulan Januari sampai Desember
 Lemuru ( 15 - 18 cm) pada bulan Mei sampai Desember
 Lemuru kucing ( >18 cm) pada bulan Oktober sampai Desember

Jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan Jawa Timur (berbasis di Muncar)
dan Bali (berbasis di Pengambengan, Kabupaten Jembrana) adalah jaring pukat cincin
dengan nama lokal “slerek” (purse seine). Kegiatan penangkapan ikan dengan purse seine
dilakukan pada malam hari dengan pola “memburu ikan” (gadangan) dimana operasi
penangkapan ikan dilakukan dengan metode “two-boat system” dan pola kerja harian (one
day trip). Sedangkan alat tangkap lain yang dipergunakan nelayan Muncar untuk menangkap
sumber daya perikanan di Selat Bali adalah payang, jaring insang hanyut, bagan tancap,
pancing dan lain-lain. Adapun alat tangkap bagan menetap berupa bangunan tetap dari bambu
banyak terdapat di Teluk Pang-Pang, Muncar.
Ukuran kapal yang digunakan oleh nelayan Jawa Timur dan Bali umumnya relatif
sama, yaitu kapal pukat cincin ukuran 5 GT-30 GT; payang dengan kapal ukuran 10 – 15 GT;
jaring “setet” (jenis gillnet) ukuran 2 – 3 GT. Perkembangan alat tangkap purse seine dan non
purse seine yang ada di Muncar sejak tahun 1976 sampai dengan 1997 menunjukan bahwa
alat tangkap purse seine berkembang pesat, pada tahun 1976 sebanyak 54 unit dan sampai
tahun 1983 menjadi 200 unit sedangkan pada tahun 1984 turun menjadi 190 unit. Selama 25
tahun terakhir telah terjadi peningkatan ukuran armada penangkapan ikan dengan purse seine.
Produksi perikanan alat tangkap purse seine pada tahun 1976 (awal diperkenalkan) yaitu
sebesar 71.6% dari total produksi perikanan yang didaratkan di pelabuhan Muncar.
Kemudian semakin lama terus meningkat hingga mencapai titik 98.6% pada tahun 1992 dan
kemudian turun kembali pada tahun-tahun setelahnya (Merta I.G.S et al., 1999). Efisiensi
hasil tangkapan dengan menggunakan purse seine tersebutlah yang mendorong nelayan untuk
terus menambah upayanya dalam menangkap ikan lemuru. Namun, perkembangan
pembangunan perikanan di Selat Bali memang seperti paradoks, dimana sumberdaya
perikanan lemuru yang potensial dan mampu menggenjot penerimaan ekonomi yang tinggi
ternyata sampai saat ini tidak tercermin dari kesejahteraan para pelaku perikanan itu sendiri,
kecuali beberapa juragan yang memiliki modal yang besar.
Usaha penangkapan ikan lemuru di Muncar menggunakan alat tangkap purse seine
berdasarkan ukuran kapal yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi yaitu kapal
berukuran 5-9 GT, 10-19 GT dan 20-30 GT. Rata-rata jumlah trip dalam setahun usaha
penangkapan ikan lemuru di Kabupaten Muncar menggunakan kapal 5-9 GT adalah sebanyak
200 trip, dengan jumlah produksi total ikan lemuru dalam satu tahun adalah sebanyak
340.000 Kg. Untuk kapal berukuran 10-19 GT, rata-rata jumlah trip dalam setahun adalah
sebanyak 180 trip, dengan produksi total ikan lemuru dalam satu tahun adalah sebanyak
1.440.000 Kg. Untuk kapal berukuran 20-30 GT, rata-rata jumlah trip dalam setahun adalah
sebanyak 165 trip, dengan produksi total ikan lemuru dalam satu tahun adalah sebanyak
2.392.500 Kg. Alat tangkap bagan, rata-rata jumlah trip dalam setahun adalah sebanyak 275
trip, dengan produksi total ikan lemuru dalam satu tahun adalah sebanyak 90.750 Kg. Pada
usaha penangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap payang, rata-rata jumlah
trip dalam setahun adalah sebanyak 220 trip, dengan jumlah produksi total ikan lemuru dalam
satu tahun adalah sebanyak 103.400 Kg. Harga rata-rata ikan lemuru adalah Rp. 1.500/Kg
(Koeshendrajana et al., 2008). Maka secara umum dengan tingkat harga rata-rata Rp.
1.500/Kg, potensi ekonomi lemuru yang didaratkan di Muncar adalah sebesar
Rp.6.549.975.000 per tahun tanpa melihat biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
penangkapan.

Pengolahan dan Pemasaran

Sumber daya perikanan lemuru merupakan salah satu komoditi perikanan yang
mempunyai sifat berlemak tinggi dan mudah mengalami kerusakan fisik (pecah perut)
sehingga mempermudah kemunduran mutunya. Hasil tangkapan ikan lemuru Selat Bali
selain dikonsumsi dalam keadaan segar, juga dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan,
seperti pemindangan, pengalengan, tepung ikan dan pengeringan yang diusahakan oleh
nelayan maupun perusahaan swasta. Sebagai bahan baku olahan, maka tingkat kesegaran ikan
lemuru sangat diperlukan. Namun permasalahan utama yang dihadapi oleh armada
penangkapan ikan lemuru (purse seine) adalah kualitas dari ikan yang didaratkan, dimana
lebih dari 75% tidak dapat dikalengkan oleh karena penanganan dan pendinginan yang
kurang baik pada saat di kapal. Terlepas dari hal tersebut, tingkat kesegaran ikan lemuru yang
diperlukan untuk bahan baku olahan dapat dibagi menurut kategorinya yaitu :
 Pengalengan : mutu ikan terbaik
 Pemindangan : mutu ikan baik
 Pengeringan : mutu ikan cukup baik
 Tepung ikan : mutu ikan jelek sampai baik

Industri pengolahan ikan telah berkembang dengan pesat di Muncar; tercatat terdapat
pabrik tepung ikan sebanyak 24 unit dengan kapasitas produksi rata-rata 10-20 ton/hari/unit,
sedangkan gaplekan sebanyak 15 unit dengan kapasitas produksi sekitar 3-5 ton/unit. Pabrik
pengalengan yang ada 12 unit dengan kapasitas produksi sekitar 50-100 ton/hari/unit dan
pemindangan 24 unit dengan kapasitas produksi 3-5 ton/hari/unit. Sedangkan di
Pengambengan terdapat 10 unit perusahaan pengalengan dan penepungan dengan total
kapasitas 59.117 ton ikan per tahun. Kapasitas tersebut sampai dengan sekarang belum
pernah terpenuhi kebutuhan bahan bakunya, bahkan pada lima tahun terakhir ini semakin
tidak bisa dipenuhi. Akibatnya sebagian perusahaan tidak bisa beroperasi dan perusahaan
yang masih beroperasi tidak dapat optimal, akibat lebih jauh adalah banyak buruh perusahaan
yang kehilangan pekerjaan dan buruh perusahaan yang masih bekerja hanya bersifat
musiman.
Pada umumnya nelayan menjual hasil tangkapannya ke “pengambeg” (juragan darat)
dan “belantik” (pedagang perantara). Dengan adanya pengambeg dan belantik ini nelayan
tidak dapat memperoleh hasil yang wajar. Namun sampai saat ini belum ada kelembagaan
yang mampu menggantikan peranan “pengambeg” dan “belantik”. Sumber daya perikanan
lemuru Selat Bali di Muncar, selain dipasarkan dalam bentuk segar juga dalam bentuk
olahan. Daerah pemasarannya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta dan
ekspor. Sumber daya perikanan lemuru Selat Bali mempunyai arti penting bagi masyarakat
Muncar dan Pengambengan, dimana Muncar dan Pengambengan selain sebagai basis
penangkapan dan pendaratan sumber daya perikanan lemuru Selat Bali juga berkembang
usaha pengolahan, baik secara tradisional maupun modern. Dengan demikian sumber daya
perikanan lemuru telah memberikan andil yang cukup besar terhadap perekonomian di Jawa
Timur, khususnya di Muncar dan di Bali khususnya Pengambengan. Produk olahan ini tidak
hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke luar Negeri.

Identifikasi Excess Capacity pada Sumberdaya Perikanan Lemuru

Konsep kapasitas perikanan memang memiliki persepsi yang berbeda-beda, namun


secara umum penggunaannya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumberdaya
perikanan dibandingkan dengan capital stok yang ada. Dari perspektif teknologi kapasitas
perikanan diartikan sebagai seberapa besar jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan
sejumlah input tertentu. Pada perspektif ekonomi, kapasitas perikanan bisa disebut efisiensi
yang pada dasarnya merupakan fungsi dari input dan output. Efisiensi tersebut merupakan
tingkat efisiensi yaitu pada tingkat dari output ikan yang ditangkap periode tertentu dimana
keuntungan sosial bersih (net social benefit) maksimum. Ini berarti bahwa alokasi upaya
perikanan lemuru Selat Bali merupakan cara bagaimana mengkombinasikan dari faktor input
(jumlah trip) dan efisiensi ekonomi untuk dialokasikan ke dalam sektor produksi baik
perikanan dan non perikanan. Prinsip dalam alokasi sumberdaya perikanan ini adalah
pertama; bahwa keberlanjutan ekologis sumberdaya perikanan dan ekosistemnya
ditempatkan pada posisi yang penting, kedua; keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya
perikanan harus berdasarkan kepada informasi secara ekologis, ekonomi dan sosial yang
terbaik.
Terry et al., (2000) menjelaskan beberapa definisi untuk kapasitas dan implikasinya
untuk mengukur dan menilai suatu kebijakan. Pada kasus sumberdaya perikanan, excess
capacity terjadi pada saat berkembangnya produksi hingga melebihi Maximum Economic
Yield (MEY) atau produksi telah melebihi suatu kondisi dimana keuntungan bersih yang
diterima masyarakat maksium. Pada model Schaeffer-Gordon, hal tersebut terjadi sebelum
produksi mencapai tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY). Dapat dikatakan bahwa jika
perikanan mengalami overfishing, maka excess capacity juga akan terjadi. Excess capacity
berkaitan dengan tidak didefinisikan dan dilaksanakannya hak kepemilikan sumberdaya ikan
di laut (sistem perikanan open access). Dalam kondisi demikian, nelayan tidak memiliki
insentive untuk mempertahankan sumberdaya ikan lemuru di laut, namun terus menerus
melakukan produksi dengan modal yang dimilikinya.
Jika kepemilikan terhadap sumberdaya berjalan dengan semestinya, maka pemilik
sumberdaya akan menerima harga yang tinggi per unit ikan yang diproduksi. Maka biaya
yang diterima produsen akan meningkat oleh karena harga ikan sebagai input produksi yang
meningkat. Ketika keuntungan dari memproduksi ikan berkurang, maka produsen akan
mengalokasikan modal dan tenaga kerjanya ke usaha lain dimana keuntungan akan didapat.
Hal tersebut akan terus berjalan sampai pada saat keuntungan yang diperoleh di setiap usaha
menjadi seimbang (Ward, 2001). Dengan adanya kepemilikan terhadap sumberdaya, maka
pemilik akan mempertahankan kondisi sumberdaya agar tidak sampai berkurang. Namun,
bagaimanapun juga, hak kepemilikan terhadap sumberdaya di laut tidak semudah yang
diperkirakan, karena sumberdaya perikanan di Indonesia terdiri atas kelompok pengguna
konsumtif dan non konsumtif, banyaknya spesies ikan, banyaknya alat operasi penangkapan,
sifat ikan yang bermigrasi, bervariasinya peraturan di tingkat daerah yang berpotensi berbeda
dengan peraturan di tingkat nasional.
Kapasitas perikanan dan tingkat pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dapat dilihat
dari data produksi hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Karena perairan Selat Bali ini
dimanfaatkan oleh dua Pemerintah Daerah yaitu Jawa Timur dan Bali, maka data tersebut
berasal dari Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Timur yang memanfaatkan Selat Bali (khususnya
lemuru) adalah Kabupaten Banyuwangi (khususnya Muncar) dengan demikian data yang
disampaikan berasal dari Muncar. Sedangkan di Bali yang memanfaatkan Selat Bali
(khususnya lemuru) adalah dua Kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten
Badung, dengan demikian data yang disampaikan berasal dari dua Kabupaten tersebut.
Fluktuasi meningkat maupun menurunnya jumlah produksi dan upaya penangkapan
sumber daya perikanan lemuru selama tiga dekade terakhir di Selat Bali dapat dilihat pada
Tabel 1. Jumlah produksi dan upaya penangkapan ikan lemuru di Selat Bali pernah mencapai
titik kritis dan puncak. Titik kritis disini berarti bahwa pada tahun tersebut produksi mencapai
pada produksi terendah dan sebaliknya mencapai pada produksi tertinggi apabila mengalami
titik puncak. Koeshendrajana, et al., (2008) menyatakan bahwa titik kritis produksi lemuru di
Selat Bali terjadi pada tahun 1980, 1985, 1987, 2000 dan 2005. Sedangkan titik puncak
produksi lemuru di Selat Bali terjadi pada tahun 1983, 1990, 1997 dan 2007. Hal tersebut
menunjukan bahwa dinamika produksi lemuru yang terjadi rentang tahun 1980-1990
mengalami pasang surut, tergantung dari banyaknya kapal yang berpoduksi maupun kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan ikan lemuru. Pada tahun 1997-2007, produksi
lemuru telah menunjukan gejala excess capacity, karena puncak produksi tidak pernah
mencapai lagi pada titik tertinggi setelah tahun 1990 akibat dari terdegradasinya sumberdaya
perikanan lemuru. Penurunan jumlah produksi yang cukup tajam terjadi pada rentang tahun
1997-1999. Hal tersebut terjadi karena terjadinya gejala El Nina pada tahun 1997 dan La
Nina pada tahun berikutnya (Merta et al., 2000). Selain itu, kondisi kelebihan kapasitas dari
sisi effort juga dapat dianalisa pada rentang waktu tersebut.
Kolom Catch per Unit Effort (CPUE) pada Tabel 1 merupakan suatu cara untuk melihat
secara langsung efisiensi produksi terhadap trip nelayan dan gejala excess capacity apabila
terjadi penurunan dalam nilai CPUE (Ward, 2001). Penurunan yang cukup tajam terjadi pada
tahun 1983-1986, 1990-1992 dan 1997-1998. Nilai CPUE tertinggi diperoleh pada tahun
1990 yang berarti bahwa setiap satu kali trip yang dilakukan pada tahun tersebut, dapat
memperoleh ikan lemuru sebesar 3.6 ton. Dinamika produksi dan trip pada sepuluh tahun
terakhir yaitu antara tahun 1997-2007 mengalami kecenderungan penurunan tingkat efisiensi,
namun meningkat kembali pada dua tahun terakhir. Adanya gejala excess capacity
menimbulkan efek yang merugikan, diantaranya yaitu menurunnya tingkat perekonomian
wilayah, peningkatan biaya pengelolaan untuk pengembangan sumberdaya, meningkatnya
konflik di wilayah tangkapan ikan, meningkatnya biaya operasional penangkapan,
menurunnya stabilitas dari industri dan ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya
perikanan, dan menurunnya kualitas dari produk sumberdaya.
Tabel 1 Jumlah Produksi dan Upaya Penangkapan Ikan Lemuru di Selat Bali Tahun 1980-
2007
Produksi Effort CPUE Produksi Effort CPUE
Tahun Tahun
(ton) (trip) (ton/trip/tahun) (ton) (trip) (ton/trip/tahun)
1980 17.281,20 14.003 1,2 1994 44.516,16 14.268 3,1
1981 20.768,00 21.242 1,0 1995 37.698,80 19.030 2,0
1982 37.957,10 18.393 2,1 1996 38.660,85 19.955 1,9
1983 47.154,40 15.221 3,1 1997 46.243,92 13.443 3,4
1984 31.847,80 13.646 2,3 1998 31.213,52 30.013 1,0
1985 14.653,10 6.751 2,2 1999 11.864,90 10.055 1,2
1986 31.882,53 29.797 1,1 2000 11.408,00 9.200 1,2
1987 11.395,35 9.909 1,2 2001 17.941,44 13.592 1,3
1988 34.859,50 10.075 3,5 2002 29.837,81 30.447 1,0
1989 32.600,30 12.302 2,7 2003 29.332,87 30.555 1,0
1990 53.254,72 14.752 3,6 2004 29.585,97 30.501 1,0
1991 44.215,08 16.196 2,7 2005 12.582,80 14.389 0,9
1992 33.180,69 19.363 1,7 2006 37.269,59 15.433 2,4
1993 46.030,61 16.381 2,8 2007 39.751,82 17.246 2,3
Rata-rata 31.249,60 17.363 1,8
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Timur dan Bali, 1980-2007

Untuk menduga nilai optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru, maka data
terkait dengan jumlah trip saja tidak cukup. Jumlah hari melaut diperlukan sebagai salah satu
alat analisis jumlah upaya penangkapan yang dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah hari melaut
merupakan jumlah hari, yang mana pada hari-hari tersebut nelayan melakukan penangkapan.
Nelayan di Selat Bali tidak melakukan penangkapan setiap harinya. Jumlah hari melaut yang
digunakan oleh nelayan di Selat Bali berselang antara 7 hari sampai dengan 25 setiap
bulannya. Rata-rata jumlah hari melaut nelayan di Selat Bali adalah 18 hari setiap bulannya
dengan jumlah hasil tangkapan per harinya 103,63 ton. Alasan nelayan tidak melakukan
penangkapan karena bulan sedang bersinar terang, cuaca buruk maupun ketersediaan modal
untuk melakukan aktivitas penangkapan. Sifat ikan lemuru yang mendekati cahaya
menyebabkan ikan lemuru menyebar pada saat bulan bersinar terang. Cuaca buruk yang
sering terjadi di Selat Bali dimanfaatkan nelayan untuk memperbaiki perahu maupun jaring.
Selain itu, nelayan sering menghabiskan waktunya bersama dengan keluarga apabila tidak
melaut. Ketersedian modal juga menjadi alasan nelayan tidak melaut. Untuk ukuran kapal 5-
9 GT, rata-rata biaya yang dibutuhkan sekali melaut untuk BBM sekitar Rp. 700.000, biaya
es Rp. 222.500 dan konsumsi Rp 525.000. Ukuran kapal 10-19 GT biaya yang dibutuhkan
sekali trip untuk BBM sekitar Rp. 900.000, biaya es Rp. 325.000, dan konsumsi Rp. 700.000.
Ukuran kapal 20-30 GT maka biaya yang dibutuhkan sekali trip untuk BBM sekitar Rp.
3.155.714, biaya es Rp. 928.571 dan konsumsi Rp. 1.000.000 (Koeshendrajana et al., 2008).
Tabel 2. Jumlah Produksi, Dayfish dan CPUE Ikan Lemuru di Selat Bali (data bulanan 2005-
2007)
Produksi Effort
Tahun Bulan CPUE
(ton) (dayfish)
Januari 137,98 12 12.00
Februari 349,13 14 24.94
Maret 1.630,21 21 77.63
April 608,53 10 64.06
Mei 666,32 11 63.46
Juni 1.436,55 19 75.61
2005
Juli 1.121,25 19 59.01
Agustus 1.480,09 20 74.00
September 1.272,38 23 56.55
Oktober 1.901,12 23 84.49
November 1.051,08 17 61.83
Desember 928,18 12 80.71
Januari 385,33 7 59.28
Februari 454,27 10 45.43
Maret 818,48 15 54.57
April 508,03 16 32.78
Mei 774,34 18 43.02
Juni 429,64 13 34.37
2006
Juli 1.073,78 21 51.13
Agustus 1.554,89 23 69.11
September 1.553,44 24 66.10
Oktober 2.467,59 20 123.38
November 5.015,70 25 204.72
Desember 6.487,34 22 301.74
Januari 4.142,35 22 192.67
Februari 6.565,88 23 291.82
Maret 3.735,76 17 219.75
April 3.463,93 24 144.33
Mei 3.214,47 22 149.51
Juni 1.429,24 19 75.22
2007
Juli 1.205,87 20 60.29
Agustus 1.870,73 23 81.34
September 1.714,20 23 76.19
Oktober 1.671,37 17 101.30
November 7.028,40 23 312.37
Desember 3.709,64 18 206.09
Rata-rata 2051,60 18 103.63
Sumber : Data diolah, 2008

Tingkat optimal pemanfaatan sumber daya ikan lemuru di Selat Bali dilihat pada rejim
maximum sustainable yield (MSY) dan maximum economic yield (MEY). Tingkat
pemanfaatan aktual yang telah dilakukan dilihat dari jumlah produksi yang dihasilkan sekitar
1,5 kali dari kondisi pemanfaatan yang sustainable dan optimal. Jumlah produksi aktual
yang tercatat pada tahun 2007 adalah 39.751,82 ton, dengan rata-rata produksi semenjak
tahun 1990 sampai 2007 yaitu 31.249 ton per tahun, sedangkan jumlah produksi pada kondisi
sustainable 21.418 ton per tahun dan pada kondisi maximum economic yield 21.204 ton per
tahun. Besaran tingkat pemanfaatan aktual dan optimal dapat dilihat pada Tabel 3. Ditinjau
dari jumlah effort (trip), rata-rata jumlah effort yang diusahakan sejak tahun 1990-2007
adalah 17.363 trip per tahun dengan jumlah effort pada tahun 2007 yaitu 17.246 trip,
sedangkan jumlah effort pada kondisi sustainable hanya 8.023 trip per tahun dan pada MEY
hanya 7.223 trip per tahun. Jumlah effort aktual telah 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan
jumlah effort pada kondisi MSY dan 2,5 kali lipat lebih banyak dibandingkan kondisi MEY.
Jumlah biomas ikan lemuru di Selat Bali jika dimanfaatkan pada kondisi MSY adalah 39.111
ton per tahun dan berjumlah 43.013 ton per tahun jika pemanfaatan dilakukan pada kondisi
MEY. Karena tingkat pemanfaatan aktual yang dilakukan telah jauh lebih tinggi
dibandingkan tingkat pemanfaatan optimal maka jumlah biomas ikan lemuru yang ada saat
ini juga jauh lebih kecil dibandingkan pada kondisi optimal. Berdasarkan data tersebut,
semakin memperjelas bahwa kondisi overfishing dan excess capacity telah terjadi, karena
tidak hanya melebihi dari tingkat MEY tetapi juga telah jauh diatas tingkat MSY. Tentu saja
hal ini disebabkan masih berjalannya rejim open access perikanan dalam mengelola
perikanan lemuru di Selat Bali.

Tabel 3. Tingkat Aktual dan Optimal Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Lemuru di Selat Bali

Variabel Satuan Aktual MSY MEY

X Ton 39.111 43.013


H* Ton 31.249 21.418 21.204
E* Trip 17.363 8.023 7.223
Sumber : Data diolah, 2008

Oleh karena itu, alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat
Bali diantaranya adalah penetapan ukuran ikan terkecil yang boleh ditangkap, pengaturan
daerah dan waktu penangkapan lemuru, dan pengaturan jumlah effort yang boleh diijinkan.
Kebijakan di tingkat pemerintah daerah masih menerapkan pembatasan dalam jumlah kapal
yang diperbolehkan beroperasi yaitu 190 unit kapal untuk wilayah Jawa Timur dan 83 unit
kapal untuk wilayah Bali. Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah
armada purse seine yang beroperasi di Selat Bali lebih kecil dibandingkan jumlah perijinan
yang diperbolehkan (Koeshendrajana et al., 2008). Hal ini terkesan bertolak belakang,
dimana kapal yang beroperasi lebih kecil dari yang diperbolehkan, tetapi produksinya telah
melebihi tingkat MSY dan MEY. Ini dapat terjadi karena kondisi open access memungkinkan
nelayan maupun produsen baru masuk untuk berusaha pada perikanan lemuru jika
terdapatnya keuntungan (kegagalan pasar terjadi). Dengan kata lain, kebijakan pembatasan
upaya penangkapan harus dipertimbangkan ulang melalui mekanisme pengelolaan yang
benar (right-based management) agar insentive pasar (keuntungan) dapat diterima nelayan
sehingga alokasi effort dapat menjadi lebih efisien dan keuntungan yang diterima oleh
masyarakat mencapai maksimum (net benefit to society maximum).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Excess capacity maupun over-fishing merupakan gejala kegagalan pasar yang harus
dibenahi oleh peraturan dalam mengontrol dan mengurangi upaya penangkapan (effort).
Strategi kebijakan alternatif alokasi effort tersebut tentu akan berdampak pada sumberdaya
perikanan lemuru di selat Bali dimana secara jangka pendek akan menurunkan konstribusi
pendapatan yang diterima nelayan, pengusaha perikanan dan pemerintah daerah, namun
secara jangka panjang akan terjadi distribusi manfaat yang optimal kepada seluruh pelaku
perikanan sumberdaya lemuru yang berarti bahwa keuntungan bersih yang diterima akan
mencapai pada kondisi yang maksimum.

Implikasi Kebijakan

1. Pada kasus degradasi/depresiasi sumberdaya perikanan maupun implikasi pada kasus


penurunan tingkat kesejahteraan baik pada produsen maupun konsumen, maka diperlukan
suatu pendekatan instrumen kebijakan yang terpadu baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi
maupun kelembagaan.
2. Dalam kondisi dimana perikanan tangkap dianggap sudah tidak memberikan keuntungan
lagi, dibutuhkan alternatif dan tambahan mata usaha perikanan lain untuk meningkatkan
pendapatan dan kondisi kehidupan masyarakat pesisir.
3. Strategi kunci lainnya dalam pengurangan kapasitas perikanan adalah membuat perikanan
yang seefisien mungkin dengan mempertimbangkan cara beradaptasi secara rasional
dimana pengurangan kapasitas tersebut dengan mempertimbangkan sifat dinamis
masyarakat pesisir dan memperkuat hak kepemilikan oleh nelayan.
DAFTAR PUSTAKA

Annonimous, 1990- 2007. Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Bali
Tahun 1990-2007. Denpasar. Bali.
Annonimous, 1990- 2007. Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Jawa Timur Tahun
1990-2007. Surabaya. Jawa Timur.
Charles, A. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. UK.
FAO, 2001. Report on a Workshop to Refine the Draft Management Plan for the Bali Strait
Sardine (Lemuru) Fishery. Rome, July 2001.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Gordon, H.S. 1954. “The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery.”
Journal of Political Economy. Vol 62.
Koehendrajana, S., Y. D. Sari, Mira, H. M. Huda dan M. 2008. Riset Tingkat Pemanfaatan
dan Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap. Laporan Teknis (Tidak
dipublikasikan). Balai Besar Riset Sosial Ekonomi kelautan dan Perikanan, BRKP-
DKP. Jakarta.
Merta, I.G.S., Widana K,. Yunizal dan R. Basuki 1999. Status of the Lemuru Fishery In Bali
Strait its Development and Prospect. Rome, June 2000.
Schaefer, M. 1954. Some Aspects of The Dynamics of Populations Important to the
Management of Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop tuna.
__________. 1957. Some Considerations of Population Dynamics and Economics In
Relation to the Management of Marine Fisheries. Journal of the Fisheries Research:
Board of Canada. Vol 14.
Terry, Joe., D. Holland and T. Lee. 2000. “Definition of Fishing Capacity.” Measuring
Capacity: Overview and Definition Issues, International Institute for Fisheries
Economics and Trade 2000, Oregon State University.
Ward, J. 2001. Capacity, Excess Capacity, and Fisheries Management. National Marine
Fisheries Service, USA.
Wiadnyana D.G.R, Djohani R., Erdmann M.V., Halim A., Knight M., Peter J. Mous., Jos
Pet., Pet-Soede L. 2009. Kajian Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di
Indonesia : Menuju Pembentukan Kawasan Perlindungan Laut.
Wudianto, 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker
1853) di Perairan Selat Bali: Kaitannya dengan Optimasi Penangkapan. Desertasi
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan (Teori dan Kebijaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan). Jakarta : Akademi Presindo.

Anda mungkin juga menyukai