Anda di halaman 1dari 9

Implementasi Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pengambilan Hukum

Oleh Nurhijjah
Abstrak
Secara istilah ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah
ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid, ijtihad tidak diperbolehkan,
tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Ijtihad merupakan sebuah
usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan
juga pertimbangan matang. Dengan tujuan adalah untuk memenuhi keperluan umat
manusia dalam beribadah kepada Allah di tempat dan waktu tertentu. Serta untuk
mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan
hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. sehingga ijtihad ini sangat
penting, karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua
orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang dapat memenuhi
syarat-syarat menjadi seorang mujtahid.

Kata Kunci : Ijtihad, Sumber Hukum islam


PENDAHULUAN
Agama Islam yang bersifat luwes dan dinamis, secara konseptual terkandung
dalam prinsip syari’ah itu sendiri. Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah syari’ah selalu
berprinsip kepada menegakkan maslahah, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan,
menyedikitkan beban dan berangsur-angsur dalam proses penerapan hukum.1 Akan tetapi
dalam konteks sekarang, hukum Islam yang semestinya diharapkan dapat menjawab
segala persoalan kehidupan umat manusia pada kenyataannya seolah tidak mampu untuk
menjawab persoalan itu. Didalam tataran empiris, fiqh sebagai bagian produk pemikiran
hukum Islam (ijtihad), semestinya tidak adaptis terhadap persoalan baru yang muncul
dalam konstruksi sosial budaya masyarakat yang terus berubah. Sebaliknya hukum Islam
(fiqh) dituntut harus peka dalam menjawab setiap problematika kemasyarakatan. Oleh
karena itu, dalam proses aplikasinya sebagai konsekuensi logis dari konsep syari’ah pada
akhirnya akan selalu melahirkan sebuah penafsiran, pemahaman, bahkan produk
pemikiran baru melalui ijtihad. Munculnya perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran
para ulama melahirkan apa yang disebut fiqh. Pada prinsipnya munculnya perbedaan
pemikiran dalam fiqh disebabkan oleh adanya perbedaan dalam metodologi ijtihad.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan mazhab dalam hukum Islam
yang disebabkan dari ijtihad. Misalnya, muncul aliran seperti Islam liberal, fundamental,
ekstremis, moderat dan lain sebagainya. Itu semua tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah
tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman.
Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang kian kompleks.
Apabila manusia menemukan masalah-masalah yang belum secara jelas terdapat
hukumnya dalam nash Alquran dan Sunnah, maka manusia diberi kebebasan oleh Allah
swt untuk menggunakan akal fikirannya (Ijtihad) dalam memecahkan masalah tersebut.
Artinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan hukum terhadap masalah
yang dihadapinya tersebut. Kebebasan yang diberikan oleh Allah tersebut tetap harus
memperhatikan petunjuk, pedoman dan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam
AlQuran dan Sunnah Nabi, karena itu merupakan sumber hukum Islam yang utama.
Dasar hukum dari Ijtihad diantaranya adalah dalam AlQuran Surat An-Nisak ayat
105, yang artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu AlKitab dengan
benar, agar kamu menetapkan di anataranya manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan
oleh Allah kepadamu.” Ayat ini menunjukkan ketetapan Ijtihad dengan jalan Qiyas
menurut Wahbah AzZuhaily.
Dasar Hukum yang lain terdapat dalam Hadis Nabi ketika Nabi mengutus Muaz
Bin jabbal menjadi hakim di Yaman dengan pertanyaan Nabi yang artinya “Bagiamana
Muaz menetapkan hukum apabila dihadapkan kepada muaz suatu masalah, maka muaz
menjawab dengan AlQuran, lalu Rasul kembali bertanya Jika tidak ditemukan, maka
muaz menjawab dengan Sunnah Rasullullah, kemudian Nabi bertanya lagi jika juga tidak
ditemukan, maka muaz menjawab muaz akan berijtihad dengan pemikirannya...”. (HR
Abu daud dan at-Tirmizi).

1
PEMBAHASAN
A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al-masyoqot”
(kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan) atas dasar pada
firman Allah Swt dalam QS. Yunus: 9: Artinya: ….”dan (mencela) orang yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Demikian juga dilihat
dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”, penambahan hamzah dan ta’ pada kata
“jahada” menjadi “ijtihada” pada wazan ifta’ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-
sungguh. Seperti halnya “kasaba” menjadi “iktasaba” berati usaha lebih kuat dan
sungguh-sungguh. Dengan demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya
upaya. Ijtihad dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang
dimilikinya.
Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam. Tetapi pengertian ijtihad dapat
dilihat dari dua segi baik etimologi maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks
yang berbeda. Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah
“penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah
(syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar
maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat. 1
Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum
yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masamasa selanjutnya sampai sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid, ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad
mulai dibuka kembali. Karena tidak dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Sementara Imam al-Amidi
mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum
syara yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu.
Sedangkan Imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna). Sedangkan Imam Syafi’i menegaskan bahwa
seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan
tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum menggali sumber
hukum dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan
dari berbagai aspek kriteria seorang mujtahid agar hasil ijtihad-nya bisa menjadi pedoman
bagi orang banyak.
Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu Hazm berbunyi; “Ijtihad
dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus
dimana hukum itu tidak dapat diperoleh”. Pengeratian Ijtihad secara Etimologi, Ijtihad
secara bahasa berasal dari al-jahd, al-Juhd) dan ath-taqat yang artinya kesulitan,

1
Abu Zahroh, Muhamad, Ushul Fiqh, Darul Fikri Arobi, Cairo. Hal. 108

2
kesusahan dan juga berupa sesuatu kesanggupan atau kemampuan (al-masyaqat). Kata
Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan (lebih dari pekerjaan biasa). Oleh
sebab itu Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk mendapatkan
sesuatu. Sebaliknya usaha yang tidak secara maksimal (tidak menggunakan daya yang
keras tidak disebut dengan Ijtihad Ijtihad menueurt istilah adalah suatu aktivitas untuk
memperoleh pengetahuan (isthimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
Dalam pengertian Terminologis, Ijtihad berarti”mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan hukum syara’ tentang suatu masalah dari sumber (dalil) hukum yang
tafshily (rinci).
2. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang sesuatu masalah yang
belum disebutkan secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan,
bahkan dianjurkan oleh Allah swt, sebagai Pencipta dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh
Allah swt, sebagai Pencipta Syari’at dan oleh Rasul-Nya. Pembenaran dan anjuran ijtihad
ini didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat dibaca dalam AlQuran dan Sunnah
Rasulnya.
Dasar Hukum Ijtihad diantaranya adalah :
a. Terdapat dalam AlQuran Surat An-Nisaak ayat 105 yang artinya: “Sesungguhnya
kami telah menurunkan kepadamu AlKitab dengan benar, agar kamu menetapkan
di anataranya manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah
kepadamu”.
b. Selanjutnya dalam Surat An-Nisak ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, Jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
c. Surat An-Nisak ayat: 83 yang artinya: “.... Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengathui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka”.
d. Dalam Hadis di mana Nabi bersabda ketika Muaz Ibnu Jabbal diutus ke Yaman
yang artinya: “ Rasullullah bertanya “ Dengan apa kamu menghukum?” ia
menjawab dengan apa yang ada dalam AlQuran, rasul bertanya lagi, Jika kamu
tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?, Dia menjawab, Aku memutuskan dengan
apa yang diputuskan oleh Rasulullan” Rasul bertanya lagi, Jikatidak mendapat
dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Muaz.” Aku Berijtihad dengan pendapatku.
Rasulullah bersabda, Aku Bersyukur Kepada Allah yang telah menyepakati
utusan dari RasulNya”. (HR Abu daud dan al-Tirmidzi)
e. Dalam hadis lain Nabi bersabda dalam Hadisnya yang diriwayatkan oleh Umar
yang artinya: “ Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian
ternyata ijtihadnya benar, maka ia akan mendapat dua pahala daan jika ijtihadnya
keliru maka ia mendapat satu pahala”. (HR Buhkari dan Muslim)
f. Dalam Hadis lain yang artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan
terhadap hal yang salah” (HR al-Tirmidzi).
B. Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pengambilan Hukum
Implikasi pemikiran keduanya terlihat pada adanya usaha dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam (fiqh). Pengembangan dan pembinaan fiqih ini penting
untuk dilakukan karena terkait dengan persoalan hukum dan hajat hidup orang banyak.
Pengembangan dan pelestarian fiqih dapat dilakukan dengan melalui jalur akademis

3
seperti penulisan karya tulis ilmiah baik dalam bentuk makalah maupun buku. Selain
pengembangan melalui jalur akademis, secara yuridis dalam konteks negara Indonesia
sebagai sebuah negara hukum. Pengembangan fiqh sebagai bagian dari hukum Islam
sudah sewajarnya untuk dapat menjadi bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Maka posisi hukum Islam dalam hukum positif akan terlihat jelas, bahwa nilai-nilai
hukum Islam akan mampu mewarnai dan beradaptasi dengan hukum positif sebuah
negara.
Oleh karena itu fiqh harus dituntut mampu adaptasi dengan sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Maka keberadaan dan keberlangsungan fiqh sebagai bagian dari
hukum Islam akan kelihatan eksistensinya, jika fiqh mampu beradaptasi dengan sistem
hukum nasional di Indonesia. Terkait dengan masalah ini dalam perkembangan dan
pembinaan hukum nasional, ada tiga elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan
sama dan seimbang, yaitu hukum Adat, hukum Barat dan hukum Islam. Sementara di
Indonesia, materi hukum fiqh sudah jauh berkembang ke dalam yurisprudensi, hukum
kebiasaan dan dalam pendapat umum, sehingga telah mempunyai akar yang kuat baik
dalam sumber formal maupun sumber material dari hukum itu sendiri. Oleh karena itu
dalam konteks Indonesia, fiqh harus ditransformasikan menjadi nilai-nilai sosial dan
budaya yang hidup dan diterima di tengah kehidupa masyarakat, berbangsa dan bernegara
Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, melalui proses taqnin ini, mislanya telah
melahirkan produk hukum apa yang dikena dengan Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi
ini terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya merupakan sebuah hasil konsensus
(ijma’) ulama Indonesia. 2
Proses ini mungkin dapat dikatakan sebagai bagian dari proses positifisasi
hukum. Dan disinilah akan terlihat peran dan fungsi fiqh, sebagai seperangkat norma
yang hadir sebagai etika sosial dalam kehidupan nyata. Implikasi lain yang sangat
berpengaruh dalam pengembangan fiqh, adalah adanya perbedaan dalam hal
pengembangan konsep dan metode yang dikembangkan oleh keduanya. K.H. Ali Yafie
dalam perjalanan pemikirannya mendapat pengaruh dari kalangan pemikir modernis.
Perlu diketahui bahwa salah satuu elemen penting dari sebuah munculnya madzhab
adalah munculnya satu pendapat atau teori dan metode yang dibangunn oleh seorang
tokoh yang pada gilirannya akan diikuti oleh masyarakat baik yang semasanya atau pada
masa berikutnya.
Munculnya gagasan tentang fiqh sosial dalam perkembangan imu fiqh yang
digagas oleh K.H. Ali Yafie memang patut untuk diapresiasi. Terlepas dari segala
kelebihan dan kekurangan apa yang telah diungkapkan. K.H. Ali Yafie berupaya mencari
solusi atau jalan keluar terkait dengan persoalan umat yang membutuhkan penyelesaian
dengan perspektif agama. Rumusan konsep ijtihad yang ditawarkan K.H. Ali Yafie tidak
sebatas teori saja tetapi juga terimplementasi dalam menjawab persoalan-persoalan
agama, khususnya dalam bidang hukum Islam (fiqh).
Para ulama membagi hukum melakukam ijtihad menjadi 3 bagian, yaitu:
pertama, fardhu ‘ain, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa
yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya.
Atau ia sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya. Kedua, fardhu
kifayah, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang yang
2
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam LP3ES, 1982. Hal. 152

4
dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedangkan selain ia tidak ada lagi mujtahid-mujtahid
yang lainnya. Maka apabila ke semua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad
maka mereka berdosa semua. Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan fatwa
hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka. Ketiga, sunnat, apabila
melakukan ijtihad mengenai masalahmasalah yang belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad
karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengoreksi kekeliruan dan
kekhilafan dari ijtihad yang merupakan upaya pembaruan hukum Islam. Sebagaimana
diungkapkan oleh Abu Bakar alBaqilani bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan pada
pembaruan sebab setiap periode memiliki ciri tersendiri sehingga menentukan perubahan
hukum. Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab
ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama.
Bahkan sekalipun berbeda, hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah status ijtihad
yang lama, hal itu seiring kaidah fiqhiyah “al-ijtihadu la yaudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad
tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula). Begitu pentingnya melakukan ijtihad
sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’: 59: Artinya: “Jika kamu
mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya”.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah ketika
terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap masalah yang nash-
nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw: Artinya: “Jika seorang hakim bergegas
memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan
mendapatkan dua pahala. Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad
dan ternyata hasilnya salah maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin
‘Ash). Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan
kepada kita bahwa perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara individual
(ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
Salah satu contoh ijtihad adalah suatu peristiwa yang pernah terjadi di zaman
Khalifah Umar bin Khattab, yang mana pada saat itu para pedagang muslim mengajukan
suatu pertanyaan kepada Khalifah yakni berapa besar cukai yang wajib dikenakan kepada
para pedagang asing yang melakukan perdagangan di wilayah Khalifah. 3
Jawaban dari pertanyaan tersebut belum termuat secara terperinci di dalam Al-
Quran atau hadis, maka Khalifah Umar bin Khattab selanjutnya melakukan berijtihad
dengan menetapkan bahwasanya cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah dengan
disamakan dengan taraf yang umumnya dikenakan kepada para pedagang muslim dari
negara asing, di mana mereka berdagang.
Sedangkan contoh yang lebih dekat lagi dengan kehidupan sehari-hari, yaitu
penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal. Proses penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, di
mana para ulama berdiskusi berdasarkan hukum Islam untuk menentukan dan
menetapkannya merupakan salah satu contoh ijtihad yang nantinya diikuti oleh seluruh
umat Islam.

3
Anwar Haryono, DR. SH, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Al-Khudhari Bek,
Ushul Fiqh, Tijariyah Kubro, Mesir, 1965. Hal. 118

5
Kasus yang terjadi sekarang ini adalah dengan tertutupnya ijtihad maka setiap
Muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena sebagai tuntutan hidup yang
nyata, seorang Muslim harus hidup dalam hukum padahal banyak persoalan kehidupan
yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada.
Maka jadilah Muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya
untuk dirinya sendiri. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan
Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya
pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak
diketahui keabsahan dan kebenarannya.

6
KESIMPULAN
Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang terutama kaum Muslimin
yang ada di Indonesia atau di dunia ini, sangat sulit untuk mencari orang yang ahli dalam
masalah ijtihad jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman dahulu. Namun jika kita melalui
lajur yang benar, yaitu mencari hukum baru atau menggali permasalahan yang belum
terselesaikan, dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar bisa jadi pintu
ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak, hukum Islam akan menjadi bisu dan kaku
lantaran tidak mampu mengimbangi dinamika zaman.
Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian
dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan
sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan
tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

7
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahroh, Muhamad, Ushul Fiqh, Darul Fikri Arobi, Cairo.
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam LP3ES, 1982
Anwar Haryono, DR. SH, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Al-Khudhari Bek,
Ushul Fiqh, Tijariyah Kubro, Mesir, 1965

Anda mungkin juga menyukai