Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beton Pracetak


Struktur beton pracetak merupakan kumpulan elemen pracetak yang saling terhubung
membentuk sebuah kerangka 3D yang mampu menahan beban gravitasi dan angin (atau
gempa). Kerangka bangunan sangat cocok untuk bangunan seperti kantor, unit ritel, lahan
parkir mobil, sekolah, stadion, dan bangunan lainnya yang membutuhkan ruang bebas
tanpa penghalang dan ruang santai multifungsi [CITATION 025 \p 5 \l 1057 ].

2.2 Sambungan beton pracetak


2.2.1 Parameter sambungan beton pracetak
Bagian penting pada struktur beton pracetak adalah sambungan. Sambungan harus
mampu memberikan kekuatan, kekakuan, daktilitas, dan kestabilan yang cukup dalam
menerima beban – beban yang bekerja selama masa layan bangunan tersebut serta
dirancang seefisien mungkin sehingga meminimalisir biaya total dari bangunan
[CITATION Sit10 \l 1057 ].
Ada tiga tipe sambungan yang umum digunakan pada teknologi beton pracetak
antara lain cor di tempat ( in situ comcrete joint), sambungan dengan las, dan sambungan
dengan baut. Dari masing – masing tipe sambungan memiliki karakteristik yang berbeda
seperti disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. Perbedaan metode sambungan
Deskripsi In-situ concrete joint Sambungan las dan baut
Keutuhan struktur Monolit Tidak monolit
Waktu yang
diperlukan
Perlu setting time Segera dapat berfungsi
sambungan dapat
berfungsi efektif
Jenis sambungan Basah Kering
Ketinggian
- Max. 25 meter
bangunan
Lebih tinggi bila Rendah, sehingga perlu akurasi yang
Toleransi dimensi dibandingkan dengan tinggi selama proses produksi dan
sambungan las dan baut ereksi
Lebih lama karena Lebih cepat 25 - 40% bila
Waktu
membutuhkan waktu dibandingkan dengan In-situ comcrete
pelaksanaan
setting time joint
Sumber: [CITATION Wul06 \p 99 \l 1057 ]

5
6

2.2.2 Baut Baja


Baut merupakan salah satu alat pengencang sambungan profil baja dengan beberapa
jenis mutu dan ulir. Baut baja dengan kadar karbon rendah merupakan tipe A307 (baja

1 1
mutu normal) dengan diameter berkisar - in, kemudian baut baja dengan kadar
4 2
karbon tinggi merupakan tipe A325 dan A490 (baja mutu tinggi) dengan diameter berkisar

1 1
- 1 in [CITATION Set08 \p 109 \l 1057 ]. Untuk menentukan luas penampang baut (
2 2
Ab ) digunakan rumus sebagai berikut:
1
Ab =
4
π d s2...................................................................................................(2-)

Dimana :
Ab = Luas penampang baut
d n +3. d k
ds =
4
Selain itu terdapat dua jenis ulir yang digunakan pada sambungan baut baja yaitu:
a. Baut ulir penuh

Gambar 2. Baut ulir penuh


Ulir pada baut dimulai dari pangkal baut sampai ujung baut. Diameter inti baut atau
diameter kern dinotasikan d k dan diameter nominal dinotasikan d n.
b. Baut tidak ulir penuh

Gambar 2. Baut tidak ulir penuh


7

Ulir pada baut hanya terdapat pada ujung baut. Diameter inti baut atau diameter kern
dinotasikan d k dan diameter nominal dinotasikan d n.
Mengenai jarak baut pada suatu sambungan, mengikuti peraturan SNI 03-1729-2002
pasal 13.4 jarak antar pusat lubang baut harus diambil tidak kurang dari 3 kali diameter
nominal baut (d n) dan jarak maksimum tidak lebih dari 15 kali tebal plat (t p) tertipis dalam
sambungan atau 200 mm. Sedangkan jarak baut tepi dengan ujung plat sekurang-
kurangnya 1,5 kali diameter nominal baut (d n) dan jarak maksimum baut tepi dengan ujung
plat tidak melebihi 12 kali tebal plat (t p) atau 200 mm.

2.2.3 Sambungan dinding


Terdapat dua tipe sambungan dinding berdasarkan arah sambungannya.
8

Gambar 2. Ilustrasi sambungan kering panel dinding (a) vertikal dan (b) horizontal
9

2.3 Material Penyusun Beton Pracetak


Beton parcetak dan beton konvensional tersusun atas komposisi material yang sama
diantaranya semen, agregat dan air. Bahan tambah (admixture) digunakan apabila ingin
memperoleh sifat beton yang berbeda.
2.3.1 Semen Portland Pozzoland
Semen Portland Pozzoland (Portland Pozzoland Cement atau PPC) merupakan suatu
semen hidrolis yang terdiri dari campuran antara semen portland dengan pozolan halus,
yang di produksi dengan menggiling semen portland dan pozolan secara bersama-sama,
atau mencampur secara merata bubuk semen portland dengan bubuk pozolan. Kadar
pozolan 15 % - 40 % berat total campuran dengan kandungan SiO2 + Al2O3+Fe2O3

dalam pozolan minimum 70% [CITATION Bad12 \l 1057 ].


Pozolan adalah bahan yang berbentuk halus, mengandung silika dan alumina, dan tidak
mempunyai sifat mengikat seperti semen. Apabila senyawa tersebut ditambahkan air maka
akan bereaksi secara kimia (kalsium hidroksida) membentuk senyawa yang mempunyai
sifat seperti semen dalam kondisi suhu kamar.
Semen portland memiliki berbagai tipe dengan melakukan variasi pada berbagai
proporsi yang relatif terhadap komponen – komponen karakteristiknya serta derajat
kehalusan klinkernya. Beberapa contoh kasus seperti kebutuhan bangunan beton yang
terletak di sekitar lingkungan tinggi sulfat maka digunakan semen dengan kadar C4A dan

C4AF yang rendah, kemudian pembetonan sebuah DAM dan bangunan luas lainnya harus

digunakan jenis semen yang memiliki panas hidrasi rendah [CITATION Wib \p 6 \l 1057 ].
2.3.2 Air
Peran air dalam campuran beton sangat penting yakni berfungsi menciptakan pasta
setelah terjadi reaksi kimia dengan semen. Pasta tersebut memiliki fungsi sebagai bahan
perekat yang melumasi permukaan agregat. Kualitas air serta jumlah penggunaan air yang
digunakan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas beton. Dalam [CITATION Wib \p 19
\l 1057 ]. menjelaskan beberapa kriteria air yang dapat digunakan sebagai bahan
campuran beton yakni:
a. Air mengandung bagian solid kurang dari 1000 ppm (part per million) serta kadar
sodium dan potasium yang rendah
b. Memiliki kadar pH (kadar keasaman) antara 6 - 8.
c. Air yang dipergunakan tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, garam, zat
organik atau bahan - bahan lain yang dapat merusak beton atau pun baja tulangan
10

d. Air yang dipergunakan boleh mengandung sejumlah ion khlorida dengan batasan ≤ 500
ppm serta kandungan SO3 ≤ 1000 ppm.

Pemakaian faktor air semen (FAS) harus memiliki batasan optimum untuk dapat
mencapai kuat tekan beton yang maksimal. FAS yang terlalu besar akan mengakibatkan
penyusutan dan pori-pori beton tertutup oleh pasta semen yang terlalu cair, sedangkan bila
terlalu sedikit dapat membuat beton rapuh karena kelekatan antar semen dengan agregat
yang kurang sempurna sehingga akan terjadi penurunan kekuatan pada beton.
2.3.3 Agregat Kasar
Agregat kasar alami memiliki sifat kimia dan sifat fisik yang berasal dari batuan induk
(batuan yang ada di kerak bumi). Agregat mengisi 60 – 80 % dari volume mortar atau
beton. Oleh sebab itu, karakterisitik kimia, fisik, maupun mekanik agregat yang digunakan
akan mempengaruhi sifat – sifat beton meliputi kuat tekan, kekuatan, durabilitas, berat,
biaya produksi, dan lain sebagainya [CITATION Wib \p 38 \l 1057 ]. Untuk memperoleh
mutu beton yang baik maka beberapa sifat fisik agregat kasar yang harus dipenuhi yakni:
a. Modulus halus (Fineness modulus) agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu 0,2.
b. Kadar lumpur agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu maksimal 1,0% dari berat
kering.
c. Absorpsi (penyerapan air) berdasarkan ASTM C-33 yaitu maksimal 2,0%.
d. Keausan (abration) agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu 15%- 50%.
e. Berat jenis (specific gravity) agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu 1,60- 3,20
kg/liter dengan nilai absorpsi sebesar 0,2 - 0,4%. Sementara untuk beton mutu tinggi
akan lebih baik dengan absorpsi kurang dari 1%.
f. Berat volume agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu 1,6-1,9 kg/liter.
g. Kadar air agregat kasar berdasarkan ASTM C-33 yaitu 0,5%-50%.
Gradasi agregat bertujuan untuk mengetahui jenis distribusi agregat yaitu dari ukuran
dan pemeriksaan gradasi. Distribusi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
a. Gradasi sela (gap grade) , yaitu gradasi yang akan menunjukkan satu garis horizontal
dalam grafiknya berdasarkan gradasi yang salah satu atau lebih dari ukuran butir pada
satu set ayakan tidak ada.
b. Gradasi menerus (continous grade), yaitu gradasi yang terdiri dari semua jenis ukuran
butiran agregat dan terdistribusi dengan baik.
11

c. Gradasi seragam (uniform grade), yaitu gradasi agregat yang terdiri dari batas yang
sempit dari ukuran fraksi dan terlihat garis yang hampir tegak dalam diagram. Gradasi
ini mempunyai ukuran yang sama didefinisikan sebagai agregat seragam.
2.3.4 Agregat halus
Agregat halus merupakan pasir alam sebagai hasil desintegrasi secara alami dari batu
atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir
terbesar 5,0 mm [CITATION Bad12 \l 1057 ]. Beberapa hal mengenai sifat fisik agregat
halus sebagai berikut:
a. Batas gradasi
Tabel 2. Batas gradasi berdasarkan SNI 03-2834-2000
Persen bahan butiran yang lewat ayakan
ayakan Daerah
(mm) Daerah I Daerah II Daerah III IV
1 100 100 100 100
0
4, 90-100 90-100 90- 95-100
8 100
2, 60-95 75-100 85- 95-100
4 100
1, 30-70 55-90 75- 90-100
2 100
0, 15-34 35-59 60- 80-100
6 79
0, 5-20 8-30 12- 15-50
3 40
0, 0-10 0-10 0-10 0-15
1
5
Keterangan: Daerah I : Pasir kasar Daerah III : Pasir agak halus
Daerah II : Pasir agak kasar Daerah IV : Pasir halus
b. Modulus Halus Butir (MHB) agregat halus berdasarkan ASTM C-33 yaitu 2,20 - 3,10.
Sementara nilai MHB 2,5 - 3,0 disarankan untuk beton mutu tinggi.
c. Berat jenis (specific grafity) agregat halus berdasarkan ASTM C-33 yaitu 1,60- 3,20
kg/liter.
d. Absorpsi (penyerapan air) berdasarkan ASTM C-33 yaitu 0,2%-2,0%.
e. Spesifikasi berat volume berdasarkan ASTM C-33 yaitu 3%-5%.
f. Kadar lumpur agregat halus berdasarkan ASTM C-33 yaitu 0,2%- 6,0%.
12

2.4 Batu onyx


Batu onyx merupakan batuan metamorf yang tersusun atas dua kandungan mineral
yaitu mineral dolomit [CaMg(CO3)2] dan mineral kalsit [CaCO3], atau kombinasi dari
kedua mineral tersebut. Limbah batu onyx merupakan produk sisa dari industri pengrajin
onyx dimana batu onyx telah melalui proses pemotongan sehingga terbentuk pecahan
berupa kerikil dan pasir. Adapun karakteristik yang dimiliki limbah batu onyx yakni
(Setyowati dkk., 2017):
a. Berwarna putih kecoklatan.
b. Permukaan yang tajam dan keras sehingga memberikan lekatan yang kuat terhadap
pasta semen.
c. Limbah onyx lebih bersih terhadap lempung dan lumpur yang dapat menghalangi ikatan
dengan pasta semen.
d. Pasir onyx memiliki karakteristik yang sama dengan pasir sungai, akan tetapi pasir onys
berwarna putih kecoklatan serta bergradasi 0,5mm sampai 5mm.
e. Kerikil onyx memiliki karakteristik bentuk yang tajam, keras dengan ukuran 5mm
sampai 30 mm.
f. Tidak mengandung bahan organic yang dapat menghambat proses pengerasan semen.
Dalam
Berbagai sifat mekanik batuan onyx dari beberapa negara didunia berdasarkan data yang
disajikan oleh marble institute of America (2016) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Sifat mekanik batu onyx di dunia
Sifat Mekanik Onyx
Country Absorptio Density Compressive Strenght
Onyx Name Of n % by
kg/m3 lb s/ft3 Mpa Lbs/in2
Origin weight
Akhisar Onyx Turkey 0,30 2,700 168,6 39,2 5,690
Songwe Onyx Tanzania 0,07 2,770 172,9 - -
Onice Smeraldo Iran 0,19 2,900 181,0 53,5 7,680
Onice Verde Pakistan 0,15 2,548 159,1 48,1 6,970
Honey Onyx Turkey 0,50 2,690 167,9 84,5 12,260
White Onyx Iran 0,03 2,700 168,6 79,9 11,590
Orange Onyx Iran 0,03 2,720 169,8 75,9 11,010
Light Green Onyx Iran 0,03 2,730 170,4 105,1 15,240
Vista Grande USA 0,11 2,589 161,6 46 6,668
Onyx
Multicolor Onyx Pakistan 0,12 2,730 170,4 133,1 19,300
Rosa Grande USA 0,11 2,589 161,6 46 6,668
Onyx
13

Light Green Onyx Pakistan 0,01 2,728 170,3 20,208 20,208


(Sumber: marble institute of America, 2011)

2.5 Daktilitas
2.5.1 Definisi daktilitas
Kondisi material atau elemen atau sistem dari struktur untuk tetap berdiri saat
mengalami deformasi inelastic bolak – balik secara berulang setelah leleh pertama sambil
mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mendukung bebannya
walaupun sudah retak atau rusak dan diambang keruntuhan merupakan pengertian
daktilitas. Daktilitas dapat dirumuskan sebagai perbandingan deformasi saat ultimat
dengan deformasi saat leleh. Penentuan titik leleh ditunjukkan pada gambar 2. dan dari
beberapa alternatif yang ada, banyak peneliti yang menggunakan opsi D atau penentuan
titik leleh berdasarkan ekivalensi titik leleh pada saat elasto-plastis[ CITATION Sun19 \l
1057 ].
∆u
µ= ...........................................................................................................................(2-)
∆y
dengan :
µ = faktor daktilitas
∆ u = titik deformasi ultimat
∆ y = titik deformasi leleh

Gambar 2. Alternatif penentuan titik leleh


14

Sumber: [ CITATION Par88 \l 1057 ]


2.5.2 Parameter daktilitas
Struktur yang didesain dengan cara elastis cenderung menghasilkan dimensi yang lebih
besar, jika dibandingkan dengan struktur yang didesain dengan cara inelastis. Dengan
meningkatkan beban pada suatu elemen struktur, akan terjadi retak-retak akibat adanya
regangan tarik baja yang terlebih. Semakin tinggi tingkat intensitas beban yang diberikan
pada struktur, maka regangan tarik baja tulangan semakin bertambah, sehingga retak yang
terjadi pada beton juga akan semakin besar. Terjadinya fenomena seperti ini umumnya bila
suatu struktur terkena beban siklik atau dalam hal ini beban gempa. Dengan adanya beban
tersebut, daerah-daerah pada suatu struktur akan terjadi gaya dalam maksimum (momen,
gaya aksial, dan gaya geser). Terciptanya daerah sendi plastis (plastic hinge) pada struktur
akibat adanya regangan tarik dan tekan pada baja tulangan yang silih berganti, sehingga
daerah struktur yang mengalami hal tersebut akan mengalami kerusakan yang cukup parah.
Maka daerah tersebut harus didesain dengan daktilitas yang tinggi agar elemen struktur
mampu menahan beban secara terus menerus [CITATION Uto17 \l 1057 ].
Daktilitas sering dijadikan parameter oleh setiap perencana untuk bisa dicapai guna
menciptakan suatu struktur yang handal. Dengan terjadinya daktilitas pada suatu struktur,
terjadinya kerusakan atau bahkan korban jiwa akibat beban gempa dapat dikurangi.

Gambar 2. Daktail, brittle, dan daktilitas simpangan


15

Sumber: [CITATION Paw12 \p 431 \l 1057 ]


Suatu elemen struktur yang terdiri dari balok, kolom dan plat wajib di desain daktail.
Berikut beberapa klasifikasi daktilitas yang sering dipergunakan di dalam sejumlah
literatur adalah:
a. Daktilitas regangan
Perbandingan antara regangan total ɛ total dengan regangan kondisi leleh pertama ɛ y .
ɛ total
µɛ = ........................................................................................................(2-)
ɛy
b. Daktilitas lengkung
Perbandingan antara sudut per unit panjang (kelengkungan) pada kondisi ultimit φ udan
kondisi leleh pertama φ y [CITATION Paw12 \p 433 \l 1057 ].
φu
µφ = ..........................................................................................................(2-)
φy
c. Daktilitas simpangan
Perbandingan antara simpangan ultimit Δ u dengan simpangan saat leleh pertama Δ y
[CITATION Paw12 \p 434 \l 1057 ].
Δu
µΔ = ..........................................................................................................(2-)
Δy
16

2.6 Kekakuan
Deformasi yang diakibatkan gaya lateral dapat diukur dengan memperhatikan sifat
mekanis material yang digunakan seperti data geometri dan modulus elastisitas. Kekakuan
merupakan perbandingan antara beban / gaya dengan deformasi pada elemen. Pada saat
beban berulang (cyclic loading), kurva hubungan beban - perpindahan diidealisasi sebagai
kurva linear.

Gambar 2. hubungan beban-perpindahan elemen beton bertulang


Sumber: [ CITATION Pau91 \l 1057 ], h.11
Terdapat beberapa metode analisa kekakuan salah satunya metode secant stiffness yang
sering digunakan oleh para peneliti. Dalam (Sullivan, Calvi, & Priestley, 2004)
menyebutkan antara metode initial stiffness dan secant stiffness berdasarkan DBD
(displacement based design) memberikan hasil yang sama efektif untuk memperoleh
karakter kekakuan bangunan respon dinamik dan ilustrasi ditunjukkan pada gambar 2.
berikut.

Gambar 2. Ilustrasi konsep initial-stiffness dan secant stiffness


terhadap respon non-linear
17

Sumber: [ CITATION Sul04 \l 1057 ]


Suatu struktur yang mengalami beban satu arah maka nilai kekakuannya dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Sy Py
K= = ................................................................................................................... (2-)
∆y ∆y
Sedangkan apabila struktur tersebut mengalami beban siklik maka nilai kekakuannya
sebagai berikut :
P 1+ P 2
K= ......................................................................................................................(2-)
∆ 1+ ∆ 2
dengan :
K = Kekakuan (kN/m)
P = Beban (kN)
∆ = titik deformasi (m)

Gambar 2. hubungan beban-perpindahan untuk menentukan kekakuan dengan metode


peak to peak stiffness
Sumber: [ CITATION Sun19 \l 1057 ]
18

2.7 Disipasi energi


Pertimbangan utama dalam perencanaan struktur tahan gempa adalah kemampuan
sebuah struktur untuk berdeformasi daktail dengan cara mendisipasi energi. Disipasi
energi merupakan kemampuan struktur untuk memancarkan energi melalui proses leleh
pada daerah sendi plastis. Proses leleh tersebut akan terjadi dengan baik, apabila sendi
plastis memiliki sifat daktail, sehingga deformasi yang cukup besar dapat terbentuk
sebelum keruntuhan.
Besarnya disipasi energi akibat beban siklik adalah berupa luas daerah putaran
histeritik (hysteresis loop) dari kurva beban–lendutan. Sedangkan besarnya nilai disipasi
energi ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu kuat tekan beton, dimensi penampang,
rasio tulangan tarik dan tekan, tulangan transversal, dan loading history [CITATION
Uto17 \l 1057 ].

2.8 Pola retak


Retak dapat terjadi akibat adanya berbagai faktor seperti rangkak, susut, perbedaan
kandungan unsur kimia, perbedaan suhu, dan respon suatu struktur beton bertulang
terhadap gaya. Mengenai gaya dalam yang timbul sebagai bentuk respon struktur tersebut
mengakibatkan beberapa jenis retak yang berbeda yaitu retak lentur, retak geser, retak
geser lentur, dan retak puntir. Beberapa pola retak tersebut memiliki definisi yang berbeda
seperti yang dijelaskan dalam [CITATION Mcc14 \p 170 \l 1057 ] sebagai berikut:
a. Retak lentur (Flexural cracks)
Terjadi pada daerah yang memiliki harga momen lentur yang tinggi dan gaya geser
kecil. Retak vertikal dimulai dari daerah serat tarik sampai garis netral balok.

Gambar 2. Retak lentur


Sumber: [CITATION Mcc14 \p 170 \l 1057 ]
19

b. Retak geser (Shear cracks)


Sebuah balok yang tidak mampu menahan gaya lintang (gaya geser), maka pada daerah
yang menerima gaya lintang paling besar akan terbentuk arah retakan miring/diagonal atau
membentuk sudut 45°.

Gambar 2. Retak geser


Sumber: [CITATION Mcc14 \p 170 \l 1057 ]
c. Retak geser lentur (Flexural-shear cracks)
Pada umumnya terjadi pada balok prategang dan non prategang.

Gambar 2. Retak geser lentur


Sumber: [CITATION Mcc14 \p 170 \l 1057 ]
d. Retak torsi (Torsional cracks)
Serupa dengan retak geser tetapi pada retak torsi tercipta bentuk retakan spiral
sepanjang balok beton. Apabila sebuah elemen balok tanpa tulangan menerima torsi murni,
maka akan terjadi retakan dan mengalami runtuh sepanjang garis spiral 45° akibat tarik
diagonal yang disebabkan tegangan torsi.

Gambar 2. Retak torsi


Sumber: [ CITATION Mcc14 \l 1057 ], h.170
20

2.9 Beban siklik


Beban yang diberikan secara berulang pada suatu struktur merupakan beban siklik.
Pada umumnya suatu struktur tidak hanya menerima beban statis tetapi juga beban siklik
yang berdampak terhadap kinerja suatu struktur serta terjadinya kegagalan pada suatu
struktur. Adanya beban siklik secara terus menerus mengakibatkan terjadinya fatigue pada
daerah pertemuan antara balok dengan kolom, dinding geser dengan pondasi ataupun antar
dinding panel. Kekuatan fatigue dipengaruhi oleh berbagai pembebanan, tingkat
pembebanan, load history, dan sifat material [CITATION Uto17 \l 1057 ].
Respon material akibat beban siklik didasarkan pada jenis material tersebut dan
intensitas beban. Adapun macam respon material akibat beban siklik terbagi menjadi
empat jenis respon yakni [CITATION Paw12 \p 425 \l 1057 ]:
a. Linier elastik
Respons bahan/elemen struktur yang mana hubungan antara beban-simpangan
bersifat lurus, proporsional/linier dan apabila beban dihilangkan maka deformasi bahan
akan sama dengan nol (kembali ke posisi semula). Bahan metal khususnya baja
mempunyai sifat/respons linier apabila intensitas bebannya masih kecil.
b. Non-linier elastik
Apabila hubungan antara beban-simpangan dari awal sudah tidak lurus/linier tetapi
non-linier walaupun intensitas bebannya masih relatif kecil. Apabila beban ditiadakan
maka deformasi bahan akan sama dengan nol (kembali ke posisi semula, tidak ada
permanent deformation). Tanah dan beton pada umumnya mempunyai sifat non-linier
sejak intensitas beban masih kecil.
c. Linier inelastik
Suatu kondisi yangmana intensitas beban sudah besar, tegangan yang tejadi sudah
tidak lagi tegangan elastik tetapi sudah inelastik. Apabila beban ditiadakan maka benda
tidak dapat lagi kembali ke posisi semula tetapi kembali secara linier/lurus ditempat
yang lain (ada deformsi permanen). Walaupun beban sudah besar tetapi perilaku bahan
dimodel secara linier. Stnrktur beton yang dibebani dengan beban siklik dengan
intensitas yang besar pada hakekatnya akan berperilaku non-linier inelastik, tetapi pada
umumnya dimodel sebagai linier-inelastik.
d. Non-linier inelastik
Suatu kondisi pembebanan siklik yang intensitasnya besar yang diterapkan pada
struktur tanah maupun beton. Hubungan antara beban dan deformasi tidak lagi bersifat
lurus/linier dan apabila beban siklik ditiadakan maka akan terdapat deformasi permanen.
21

Gambar 2. Macam-macam respon akibat beban siklik


Sumber: [ CITATION Paw12 \l 1057 ], h.425
Pemodelan hubungan tegangan-regangan beton oleh pengaruh beban siklik
(hysteresis loop) sangat penting dalam memprediksi suatu struktur yang terkena beban
gempa.

Gambar 2. hysteresis loop


Sumber: [ CITATION Par13 \l 1057 ], h.77
Seperti pada gambar diatas, dimana unloading point (σ c, ɛ fc ) merupakan titik awal
unloading dimulai, residual point (0, ɛ fp) merupakan titik ketika unloading penuh
(tegangan mencapai nol), dan maximum point (ασ m, ɛ fm) merupakan persimpangan
unloading point dengan unloading curve. Titik akhir reloading curve dan titik awal
unloading curve merupakan envelope curve.

2.10 Penelitian Terdahulu


Beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan untuk penelitian ini telah
dicantumkan oleh peneliti. Berikut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu:
a. Penelitian “Concrete with Onyx Waste Aggregate as Aesthetically Valued Structural
Concrete” yang dilakukan oleh Edhi Wahyuni setyowati, Agoes Soehardjono, dan
Wisnumurti (2017). Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa beton agregrat
22

onyx memiliki kekuatan yang memenuhi syarat beton struktural. Kemudian beton
agregat onyx umur 28 hari menunjukkan struktur mikro yang sama dengan beton
normal. Sehingga pemanfaatan limbah agregat onyx dapat meningkatkan nilai ekonomis
beton dengan warna yang lebih cerah dan estetika yang lebih tinggi.
b. Penelitian “A Demountable Connection for Low-Rise Precast Concrete Structures with
DfD for Construction” yang dilakukan oleh Gaochuang Cai, dkk. (2019) meneliti
perilaku siklik pada blok beton bertulang dengan sambungan baut akibat beban aksial,
berfokus pada kerusakan dan mode kegagalan, mekanisme ketahanan, dan kekakuan
pada sambungan. Adapun data yang diperoleh berdasarkan perlakuan model benda uji
sesuai data dibawah.
1) Observasi kerusakan
Tabel 2. Detail spesimen (Cai, G.; dkk., 2019)

Gambar 2. Kehancuran pada tiap spesimen


23

Retak pertama pada benda uji LSSZ 4 dan LSSZ 5 terjadi saat beban 80 kN
sedangkan benda uji LSSZ 11 terjadi saat beban 120 kN. Hal tersebut dikarenakan
jumlah tulangan sengkang LSSZ 11 pada daerah joint lebih banyak sehingga retak
beton akibat geser didaerah joint lebih terminimalisir. Pada benda uji LSSZ 12 dan
LSSZ 13 terjadi retak pertama saat beban 280 kN. Kemudian bila dibandingkan
benda uji LSSZ 11, benda uji LSSZ 12 dan 13 memiliki kapasitas bearing lebih
tinggi dan memiliki karakterisitik lebih daktail.

2) Hubungan beban-perpindahan

Gambar 2. grafik hubungan beban-perpindahan specimen


Dari grafik menunjukkan bahwa benda uji LSSZ 11 memiliki perilaku yang tidak
normal dikarenakan hydraulic jack yang tidak berfungsi secara normal. Kemudian secara
keseluruhan karakterisitik umum benda uji memiliki daktilitas yang mampu meredam
energi deformasi. Akan tetapi terjadi slip pada semua sambungan baut yang didesain
dengan perlakuan bermacam-macam.
3) Kurva skeleton
24

Didapatkan dari grafik, apabila membandingkan kapasitas deformasi panel sambungan


baut dari hasil penelitian oleh Gaochuang Cai, dkk. (2019) dengan kapasitas deformasi
panel sambungan las dalam penelitian “Dry Connections for Precast ShearWalls in Rural
Housing” oleh Y. Xu (2017), maka kapasitas deformasi panel sambungan baut lebih baik.
4) Degradasi kekakuan

Gambar 2. degradasi kekakuan sambungan baut

c. Penelitian “Perilaku Retak Dinding Panel Beton Limbah Onyx sebagai Beton Ekspos”
yang dilakukakan oleh Danang Hadi Nugroho, Edhi Wahyuni Setyowati, dan
Wisnumurti (2019). Didapatkan data bahwa perlakuan grinding dengan tebal 2 mm dan
4 mm tidak memberikan dampak terjadinya retak awal pada panel beton yang telah
digrinding. Kemudian rata-rata selisih lebar retak pada panel beton grinding 2 mm
sebesar 1,044 mm atau lebih kecil 17,09% dari panel beton tanpa grinding, sedangkan
grinding 4 mm sebesar 1,232 mm atau lebih besar 24,93% dari panel beton tanpa
grinding. Hal tersebut menunjukkan grinding tidak selalu mengakibatkan lebar retakan
lebih besar dari pada panel beton yang tidak digrinding.
d. Penelitian “Pengaruh Penggunaan Limbah Batu Onyx Sebagai Pengganti Agregat Kasar
Pada Campuran Beton Terhadap Modulus Elastisitas Beton” yang dilakukakan oleh
Abdullah Ghiyats D.U., Edhi Wahyuni Setyowati, dan Agoes Soehardjono (2016).
Didapatkan data bahwa dengan variasi FAS 0,4; 0,5; dan 0,6 menghasilkan nilai
modulus elastisitas pada beton onyx umur 28 hari sebesar 24496, 20876, dan 17919
Mpa. Sedangkan hasil penelitian terhadap beton normal dengan variasi FAS 0,4; 0,5;
dan 0,6 menghasilkan nilai modulus elastisitas sebesar 17675, 15978, dan 14592 MPa.
25

Hal tersebut menunjukkan terjadi peningkatan modulus elastisitas pada seluruh variasi
FAS yaitu sebesar 38,59%; 30,65%; dan 22,80% .

Anda mungkin juga menyukai