Anda di halaman 1dari 10

Bab II

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja

2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan

Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu

Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam

dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang

Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00

sampai dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan

kepada perempuan. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama

dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

disebutkan bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah

Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan

menerima upah.

Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,

seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

  Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita

Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84,

Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja

bersama perusahaan yang meliputi:

  Perlindungan Jam Kerja

Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul

07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang

mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:

  Memberikan makanan dan minuman bergizi

  Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

  Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara

pukul 23.00 – 05.00.


Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18

(delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter

berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00

– 07.00.

Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan

minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan

uang.

  Perlindungan dalam masa haid

Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur

masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam

masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah

penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan

tidak mendapatkan premi hadir.

  Perlindungan Selama Cuti Hamil

Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5

bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh.

Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara

penuh.
  Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur

masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang

anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat

dengan perusahaan.

  Peranan Penting Dinas tenaga Kerja

Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja

wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas

Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan

pengawasan ke Perusahaan.

  Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap

pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang

menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan

terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya

dengan alasan ekonomi.

Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan

untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan

menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan.


Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya

dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan.

Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan

dilaksanakan secara universal.

CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan

diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi

terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:

  Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

  Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik

di dalam maupun di luar negeri; atau

  Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang

dimilikinya.

Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi

reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas

perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi

reproduksi.

Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama

majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak

berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada
pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat

(3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua

dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan

hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.

  Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO

Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di

bawah tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak

boleh melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.

Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita

untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, “Pengupahan meliputi upah atau gaji

biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus

dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha

dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh”.

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada

saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi

antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
2.2 Perlindungan Pekerja Anak

Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang

No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus

menetapkan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak
laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan

tersebut sudah memadai dan sejauhmana pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena

sampai saat ini masalah pekerja anak masih menjadi kontroversi dalam isu tentang

perlindungan anak pada umumnya. Bisa dikatakan, masalah pekerja anak merupakan masalah

klasik dalam hal perlindungan anak. 

Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres

No.36 Tahun 1990, maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar

anak yang kita temui.  Di dalam pasal 32 dari KHA, dinyatakan bahwa anak mempunyai hak

untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan

yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau

mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu

negara berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan

kondisi penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihak-

pihak yang melanggar peraturan tersebut.

Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya

melalui UU Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja

anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang berbahaya,

dsb. Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah yang sangat berbeda.


Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan

(abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan

abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi

apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan

pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai

warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan

sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan

terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-

haknya. Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-

menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja

anak.

Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan terhadap

eksploitasi, rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semena-mena, serta

berpotensi untuk kehilangan akses dan kesempatan mengembangkan diri, menimbulkan

kewajiban baru bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada anak yang terpaksa

bekerja, dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan perlindungan melalui peraturan

ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana orang

dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan penyalahgunaan.
Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya

negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan sebagai

pekerja, serta memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara

memfasilitasi mereka dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Tetapi seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya adalah dalam hal

pelaksanaan. Dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja

anak, masih perlu kita kaji lebih lanjut.

Adapun pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan pekerja anak yang

termuat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

a.       Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur

dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).

b.      Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai

15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari

kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).

c.       Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

-          Ijin tertulis dari orang tua/wali.

-          Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha

-          Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam


-          Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.

-          Keselamatan dan kesehatan kerja

-          Adanya hubungan kerja yang jelas

-          Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

d.      Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja

anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).

e.       Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya (Pasal 73).

f.       Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam

Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :

-          Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.

-          Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk

produksi dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

-          Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.

-          Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Anda mungkin juga menyukai