Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Survei di Amerika (1996) melaporkan bahwa 15 -33% pasien yang datang

berobat ke dokter non-psikiater merupakan pasien dengan gangguan mental. Dari

jumlah tersebut minimal sepertiganya menderita gangguan kecemasan. Di

Indonesia penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tambora Jakarta

Barat tahun 1984 menunjukkan bahwa di puskesmas jumlah gangguan kesehatan

jiwa yang sering muncul sebagai gangguan fisik adalah 28,73% untuk dewasa dan

34,39% untuk anak (1).

Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal dan

hampir semua orang pernah mengalaminya. Cemas pada umumnya terjadi sebagai

reaksi sementara terhadap stress kehidupan sehari-hari. Bila cemas menjadi begitu

besar atau sering seperti yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang

berkepanjangan, penyakit kronik dan serius atau permasalahan keluarga maka

akan berlangsung lama; kecemasan yang berkepanjangan sering menjadi

patologis. Ia menghasilkan serombongan gejala-gejala hiperaktivitas otonom yang

mengenai sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, gastrointestinal dan bahkan

genitourinarius. Respons kecemasan yang berkepanjangan ini sering diberi istilah

gangguan kecemasan, dan ini merupakan penyakit (1).

Psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan

pikiran yang biasa dugunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa.

1
Termasuk didalam psikotropik ini salah satunya adalah antiansietas. Obat yang

digunakan untuk pengobatan ansietas ialah sedatif, atau obat-obatan yang secara

umum memiliki sifat yang sama dengan sedatif. Antiansietas yang terutama

adalah golongan benzodiazepin (2).

Clobazam adalah salah satu obat dari golongan benzodiasepin yang

manfaatnya terutama sebagai antiansietas. Penggunaan clobazam dosis tinggi dan

jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis. Oleh karena

itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai struktur kimia, farmakodinamik,

farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan, dosis,

aturan pakai, serta interaksi clobazam dengan obat lain bila diberikan bersamaan

sehingga clobazam dapat digunakan secara tepat.

1.2. Tujuan Penulisan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengetahui struktur kimia,

farmakodinamik, farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan, dosis, aturan pakai, serta interaksi clobazam dengan obat lain bila

diberikan bersamaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Rumus Kimia dan Struktural Clobazam

Clobazam memiliki rumus kimia 7-chloro-1-methyl-5-phenyl-1H-1,5-

benzodiazepine-2,4(3H,5H)-dione. Rumus struktural clobazam adalah sebagai

berikut (3):

Gambar 1. Rumus struktural clobazam

2.2. Farmakodinamik

Clobazam merupakan derivat benzodiazepin yang telah lama beredar

sebagai anxiolitik; potensinya sebagai antikonvulsan mulai diketahui dari

percobaan binatang. Dibandingkan dengan benzodiazepin lain, clobazam

rnempunyai efek antikonvulsan yang lebih spesifik dengan efek sedasi yang

minimal (3).

Hampir semua efek benzodiazepin merupakan hasil kerja golongan ini pada

SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan

emosi/ansietas, relaksasi otot dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang

merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner setelah

3
pemberian dosis terapi benzodiazepin tertentu secara IV dan blokade

neuromuskular yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi (4).

Walaupun benzodiazepin mempengaruhi semua tingkatan aktivitas saraf,

namun beberapa derivat benzodiazepin pengaruhnya lebih besar terhadap SSP dari

derivat yang lain. Benzodiazepin tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf

sekuat golongan barbiturat atau anestesi umum. Semua benzodiazepin memiliki

profil farmakologi yang hampir sama, namun efek utamanya sangat bervariasi,

sehingga indikasi kliniknya berbeda. Peningkatan dosis benzodiazepin

menyebabkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi ke hipnosis dan dari

hipnosis ke stupor; keadaan ini sering dinyatakan sebagai efek anesthesia, tapi

obat golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anestesi umum yang

spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang

diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai (4).

Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor

penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat

(GABA). Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan

dibedakan dalam 2 bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor

GABAB. Reseptor ionotropik GABAA terdiri dari 5 atau lebih subunit (bentuk

majemuk dari α, β, dan γ subunit) yang membentuk suatu reseptor kanal ion

klorida kompleks. Reseptor GABAA berperan pada sebagian besar

neurotransmitter di SSP. Sebaliknya, reseptor GABAB, yang terdiri dari peptida

tunggal dengan 7 daerah trans membran, digabungkan terhadap mekanisme signal

4
transduksinya oleh protein-G. Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABAA, tidak

pada reseptor pada GABAB (4,5).

Gambar 2. Mekanisme kerja benzodiazepin

Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor

GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan

dengan subunit α dan β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal

klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan

peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar

tereksitasi (4,5).

Berbeda dengan barbiturat, benzodiazepin tidak secara langsung

mengaktifkan reseptor GABAA tapi membutuhkan GABA untuk mengekspresikan

efeknya. Ikatan benzodiazepin-reseptor tersebut dapat bekerja secara agonis,

antagonis atau inverse agonis pada daerah reseptor benzodiazepin, bergantung

kepada senyawa yang terikat. Senyawa agonis menaikkan, sedangkan inverse

5
agonis menurunkan jumlah jumlah aliran klorida yang terjadi oleh aktivasi

reseptor GABAA. Efek agonis maupun inverse agonis dapat diblokir oleh

antagonis pada reseptor benzodiazepin. Namun reseptor benzodiazepin antagonis

tidak berpengaruh pada fungsi GABAA. Salah satu antagonis benzodiazepin,

flumazenil, digunakan secara klinik untuk melawan efek benzodiazepin dosis

tinggi (4,6).

2.3. Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, penyerapan clobazam cepat dengan jumlah minimal

87% dan 85% sampai 91% dari clobazam terikat pada protein plasma.

Bioavailabilitas relatif clobazam (40 mg) dalam bentuk kapsul, tablet atau solusio

(dalam propilen glikol) tidak berbeda secara signifikan. Setelah pemberian

clobazam dosis tunggal 20 mg, variabilitas antarindividu ditandai dengan

konsentrasi plasma maksimum (222-709 ng/ml) yang dapat dicapai setelah 15

menit – 4 jam. Seiring asupan alkohol dapat meningkatkan bioavailabilitas

clobazam sebesar 50%.  Waktu paruh eliminasi plasma sekitar 10-30 jam dan

dieliminasi sekitar 81-97% melalui urin (7).

Clobazam terutama dimetabolisme di hati. Metabolit utama yang ditemukan

dalam plasma yaitu N-desmethyl clobazam dan 4-hydroxyclobazam.  N-

desmethyl clobazam merupakan metabolit aktif. Dalarn darah, bentuk N-desmetil

konsentrasinya 10-20 kali lebih tinggi daripada bentuk aslinya. Setelah dosis

tunggal 30 mg, N-desmethyl clobazam mencapai konsentrasi plasma maksimum

setelah 24 sampai 72 jam. Waktu paruh eliminasi sekitar 50 jam (7).

6
Clobazam dapat menembus barrier plasenta dan muncul dalam ASI. Pada

orang tua, ada kecenderungan untuk mengurangi pemberian oral karena waktu

paruhnya menjadi lama dan volume distribusinya meningkat. Hal ini dapat

menyebabkan akumulasi obat yang lebih luas bila diberikan dengan dosis yang

besar jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Efek usia pada

pembersihan dan profil akumulasi clobazam juga berlaku untuk metabolit aktif. 

Pada pasien dengan penyakit hati yang berat, volume distribusi clobazam

meningkat dan waktu paruhnya memanjang. Pada pasien dengan gangguan ginjal,

konsentrasi plasma clobazam berkurang, mungkin karena gangguan penyerapan

obat (7).

2.4. Indikasi

Mengatasi keadaan ansietas dan psikoneurotik yang disertai ansietas serta

sebagai antikonvulsan (3,8). Clobazam telah lama beredar sebagai anxiolitik;

potensinya sebagai antikonvulsan mulai diketahui dari percobaan binatang.

Dibandingkan dengan benzodiazepin lain, clobazam rnempunyai efek

antikonvulsan yang lebih spesifik dengan efek sedasi yang minimal.

Penggunaannya sebagai antikonvulsan dimulai oleh Gastaut pada tahun 1978, dan

sampai sekarang telah digunakan oleh lebih dari 2000 pasien, diantaranya melalui

8 uji klinis buta-ganda (1).

2.5. Kontraindikasi

Clobazam dikontraindikasikan pada (7):

 Pasien dengan hipersensitivitas terhadap clobazam.

7
 Pasien dengan riwayat ketergantungan obat atau alkohol (peningkatan risiko 

perkembangan ketergantungan). Pasien yang mengkonsumsi alkohol selama

pengobatan dengan clobazam karena dapat terjadi peningkatan risiko sedasi

dan efek samping lainnya. 

 Pasien dengan myasthenia gravis (risiko gangguan kelemahan otot). Oleh

karena itu, pada pasien myasthenia gravis (sejauh mereka mentolerir

clobazam) atau tulang belakang atau ataksia cerebellar, pengamatan khusus

diperlukan dan pengurangan dosis mungkin diperlukan. 

 Pasien dengan insufisiensi pernapasan yang parah dan pasien dengan sleep

apnea syndrome (risiko pemburukan). Clobazam dapat menyebabkan depresi

pernapasan, terutama jika diberikan dalam dosis tinggi. Oleh karena itu,  pada

pasien dengan insufisiensi pernapasan kronis atau akut (sejauh mereka

mentolerir clobazam) fungsi pernapasan harus dipantau dan pengurangan

dosis mungkin diperlukan. 

 Pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat (risiko pencetus

ensefalopati). 

 Selama trimester pertama kehamilan. Pemberian clobazam dosis tinggi

sebelum atau selama melahirkan dapat memancing terjadinya hipotermia,

hypotonia, depresi pernafasan, dan kesulitan minum (tanda-tanda dan gejala

"floppy infant syndrome”). Umumnya, clobazam tidak boleh digunakan pada

trimester pertama kehamilan. Pada tahap akhir kehamilan,  itu hanya harus

digunakan jika ada indikasi yang memaksa karena dapat menyebabkan

withdrawal floppy infant syndrome pada periode postnatal.

8
 Perempuan menyusui karena clobazam dapat menembus barrier plasenta dan

masuk ke dalam ASI.

 Clobazam tidak boleh digunakan pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 3

tahun.

2.6. Efek Samping

Efek samping yang dapat dijumpai kurang lebih sama dengan sediaan

benzodiazepin lain, berupa sedasi, pusing (diz-ziness), rasa kering di mulut,

konstipasi, mual dan kadang- kadang menyebabkan tremor halus. Umumnya

muncul pada awal pengobatan dan berangsur-angsur hilang bila terapi dilanjutkan.

Pada kasus-kasus tertentu dapat timbul rasa gelisah dan kelemahan otot. Obat ini

tidak menyebabkan reaksi idiosinkratik ataupun alergi, juga tidak mempengaruhi

fungsi kognitif (1).

Clobazam juga dapat menyebabkan gangguan artikulasi, gangguan visual

(penglihatan nystagmus, ganda), penurunan berat badan dan penurunan libido,

penurunan kesadaran disertai gangguan pernafasan namun jarang terjadi, Reaksi

kulit, seperti eksantema atau urtikaria, dapat berkembang pada kasus yang sangat

jarang.  Reaksi-reaksi tersebut terjadi khususnya dengan dosis tinggi atau jangka

panjang pengobatan, dan reversibel. Amnesia anterograde dapat terjadi bahkan

jika clobazam digunakan dalam kisaran dosis normal, namun terutama pada

tingkat dosis yang lebih tinggi (7).

2.7. Nama Generik dan Nama Dagang

Nama generik adalah clobazam, sedangkan nama dagang clobazam yaitu:

9
Anxibloc, Asabium, Clobazam OGB Dexa, Clobium, Frisium, dan

Proclozam (7,9,10).

2.8. Bentuk Sediaan

Bentuk sediaan untuk clobazam yaitu (7,8,10):

Tablet : 10 mg

2.9. Dosis, Cara dan Waktu Pemberian

Dosis umumnya didasarkan pada pedoman berikut: 

Dosis dan durasi pengobatan harus disesuaikan dengan indikasi, tingkat

keparahan, kondisi dan respon klinis individu. Prinsip yang mendasar adalah

untuk menjaga dosis serendah mungkin. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal

atau hati: respon yang meningkat dan kerentanan terhadap efek samping lebih

tinggi dan memerlukan dosis awal yang rendah dan penambahan dosis secara

bertahap di bawah pengawasan (7). 

1. Sebagai anxiolitik diberikan tiap 8-12 jam secara oral (10).

- Dewasa dan pada remaja lebih dari 15 tahun: Dosis awal 20 mg/hari. Jika

perlu, dosis harian dapat ditingkatkan. Umumnya disarankan, total dosis

harian 30 mg tidak terlampaui (7).

- Lansia: Peningkatan respon dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap

efek samping dapat hadir pada pasien lansia dan membutuhkan dosis awal

yang rendah dan penambahan dosis secara bertahap di bawah pengawasan.

Dosis pemeliharaan 10-15mg/hari umumnya cukup (7).

10
- Anak-anak dari usia 3 sampai 15 tahun: Peningkatan respon dan

kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping mungkin hadir pada

anak-anak dan membutuhkan dosis awal yang rendah dan peningkatan

dosis bertahap di bawah pengawasan. Dosis harian 5-10mg/hari. Pada

referensi lain diberikan 0,1mg/kgbb/hari dan bisa dinaikkan maksimum

0,4mg/kgbb/hari (7).

- Lama pengobatan: Lamanya pengobatan harus sesingkat mungkin. Pasien 

harus dinilai kembali setelah jangka waktu yang tidak melebihi 4 minggu

dan secara teratur setelahnya dalam rangka untuk mengevaluasi kebutuhan

untuk perawatan lanjutan, terutama pasien yang telah bebas dari  gejala.

Secara umum, durasi keseluruhan pengobatan (yaitu termasuk proses

tappering-off) harus tidak melebihi 8 sampai 12 minggu. Sangat

direkomendasikan untuk menghindari penggunaan jangka panjang karena

dapat menyebabkan ketergantungan (7).

- Penghentian pengobatan: Sangat dianjurkan, setelah pengobatan jangka

panjang  clobazam tidak dihentikan tiba-tiba melainkan mengurangi dosis

secara bertahap dibawah pengawasan medis, jika pengobatan tiba-tiba

dihentikan, kegelisahan, kecemasan dan insomnia mungkin dapat muncul

kembali (7).

2. Sebagai antikonvulsan diberikan secara oral tiap 8-12 jam (10)

Dosis tunggal 10mg/hari clobazam efektif untuk jenis serangan umum,

sedangkan serangan fokal lebih efektif diatasi dengan dosis tunggal 20 mg/hari.

Suatu studi yang melibatkan 1300 kasus di Canada menunjukkan bahwa clobazam

11
dapat menurunkan frekuensi serangan lebih dari 50% pada sedikitnya 40% pasien

selama 4 tahun (3).

Studi lain pada epilepsi katamenial menunjukkan bahwa clobazam yang

diberikan selama 10 hari di sekitar saat menstruasi dapat menurunkan frekuensi

serangan sampai 63%, bahkan 12 dari 16 pasien menjadi bebas serangan. Masalah

yang mungkin timbul pada penggunaan jangka lama ialah adanya toleransi, seperti

yang umum dijumpai pada penggunaan derivat benzodiazepin pada umumnya (3).

Besarnya kemungkinan toleransi bervariasi pada beberapa uji klinik,

angkanya berkisar antara 0-86%; studi di Canada mendapatkan 9% pasiennya

menjadi toleran sehingga pengobatan dihentikan, sedangkan pada studi di

Australia, angka toleransi tersebut mencapai 19,6%. Toleransi timbul terutama

pada 3 bulan pertama pengobatan, mekanismenya belum diketahui secara pasti,

tetapi dapat dicegah/diperlambat dengan pemberian dosis kecil, dosis tunggal atau

secara intermiten. Masalah toleransi timbul pada 18,8% pasien setelah pengobatan

selama 8 bulan; masalah ini dapat dikurangi kemungkinannya bila menggunakan

dosis kecil 10-20 mg./hari. Bila timbul toleransi, sebaiknya berangsur-angsur

diganti dengan obat lain (3).

Clobazam digunakan sebagai obat tambahan, terutama pada epilepsi parsial

kompleks dengan/tanpa serangan umum sekunder, dengan dosis antara 5-30

mg/hari (3).

2.10. Interaksi Obat

 Konsumsi alkohol bersamaan dengan clobazam dapat meningkatkan

bioavailabilitas clobazam sebesar 50% dan karena itu menyebabkan efek

12
clobazam meningkat sehingga menambah terjadinya depresi sistem saraf pusat

(7,8).

 Jika clobazam digunakan bersamaan dengan analgesik narkotik, euforia

mungkin dapat  ditingkatkan; ini dapat mengakibatkan ketergantungan

psikologis meningkat (7). 

 Karbamazepin dan fenitoin dapat menyebabkan peningkatan dalam konversi

metabolisme  clobazam ke clobazam metabolit aktif N-desmethyl (7). 

 Efek relaksan otot dan nitrous oxide dapat ditingkatkan oleh clobazam (7). 

 Obat yang menghambat sistem enzim sitokrom P-450 (mono-oxygenase)

(misalnya simetidin, eritromisin) dapat mengurangi klirens plasma klobazam,

meningkatkan waktu paruh dan konsentrasi clobazam (7,8).

13
BAB III

PENUTUP

Clobazam merupakan salah satu obat golongan benzodiasepin yang

berkhasiat mengatasi keadaan ansietas dan psikoneurotik yang disertai ansietas

serta sebagai antikonvulsan, dimana obat ini bekerja berdasarkan potensiasi

inhibisi neuron dengan asam gama-aminobutirat (GABA) sebagai mediator.

Penggunaan clobazam dosis tinggi dan jangka panjang dapat menimbulkan

ketergantungan fisik dan psikis serta menimbulkan efek samping dari yang ringan

berupa sedasi, pusing (diz-ziness), rasa kering di mulut, konstipasi, mual dan

kadang- kadang menyebabkan tremor halus sampai berat seperti penurunan

kesadaran disertai gangguan pernafasan sehingga diperlukannya pengawasan

dokter untuk menentukan dosis dan lamanya pemakaian obat ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Romadhon YA. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita Gangguan


Kecemasan. CDK 2002;132:24-26.

2. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta:


FKUI, 2007.

3. Riyanto BW. Obat-obat Anti Epilepsi Baru. CDK 1996;110:49-55.

4. Wiria MSS. Hipnotik-Sedatif dan Alkohol dalam Farmakologi dan Terapi


edisi 5. Jakarta: FKUI, 2007.

5. Harvey Richard A, Champe Pamela C. Text book pharmacology 4th edition.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008.

6. Sieghart Werner. Pharmacology of benzodiazepine receptors: An Update. J


Psychiatr Neurosci 1994;19(1):24-29.

7. Anonymous. Frisium Tablets 10mg Data Sheet; (online), (URL:


http://www.health.gov.il), diakses pada tanggal 17 Juli 2011.

8. Anonymous. Clobazam; (online), (URL: http://www.dexa-medica.com),


diakses pada tanggal 17 Juli 2011.

9. Shann F. Drug Doses 14th edition. Australia : ICU Royal Children’s Hospital,
2008.

10. Pramudianto A, Evaria, Susantio R. Mims Indonesia Petunjuk Konsultasi edisi


8. Jakarta: PT. Info Master, 2008.

Anda mungkin juga menyukai