Anda di halaman 1dari 26

PERAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP


INTERNASIONAL

Oleh :
Yulian adi pratama
720412128
Fakultas hukum universitas wiraraja madura sumenep

Abstrak
Lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia untuk memberikan
perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan
hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup
di bumi ini. Perbuatan yang tidak bertanggungjawab oleh pihak-pihak yang mengambil
keuntungan dari alam tersebut dapat memicu suatu reaksi baik dari masyarakat lokal
maupun internasional. Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Negara yang mengalami kerugian akibat terkena dampak
dari eksploitasi maupun pencemaran lingkungan oleh negara lain dapat meminta ganti
rugi serta tanggung jawab. Tulisan ini mengulas mengenai peran yang dijalankan oleh
Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup internasional.
Mahkamah Internasional merupakan organ utama PBB. Dalam upaya penyelesaian
perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya
bersifat fakultatif. Negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui
berbagai cara lain seperti diplomasi, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan
secara damai. Dengan demikian penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah
Internasional bersifat pilihan dan atas dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Kata kunci: Lingkungan hidup, Mahkamah Internasional, Sengketa.

Abstract
Abstract The environment can’t be separated from the world movement to give
greater attention to the environment, given the fact that the environment has become a
problem that needs to be tackled together for the sake of survival on this earth.
Unresponsible acts by those who take advantage of such nature may trigger a reaction
from both local and international communities. Environmental disputes are disputes
between two or more parties arising from the presence or suspicion of environmental
pollution and / or damage. Countries suffering losses from exploitation and
environmental pollution by other countries may seek redress and liability. This paper
reviews the roles of the International Court of Justice in resolving international
environmental disputes. The International Court of Justice is the main organ of the United
Nations. In an effort to settle the case to the International Court of Justice is not a state
obligation but only facultative. States in the choice of ways of dispute resolution can be
through other means such as diplomacy, mediation, arbitration and other peaceful means.
Thus the settlement of cases filed with the International Court of Justice is optional and
voluntary to the parties to the dispute.
Keyword : The Environment, the International Court of Justice, the disputes.
1. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain dan dapat mempengaruhi hidupnya. 1 Problem lingkungan
hidup dewasa ini menghadapi masalah yang cukup kompleks dan dilematis.
Atas nama ‘pembangunan’ dan ‘ekonomi’, negara dan perusahaan-perusahaan
multinasional secara terus menerus memanfaatkan tanah, air, hutan dan
kandungan bumi lainnya tanpa henti. Hal tersebut kemudian yang mendorong
terjadinya degradasi lingkungan hidup. Keraf kemudian secara kasar membagi
lima macam krisis dan bencana lingkungan hidup global.
Diantaranya, kerusakan lingkungan hidup, pencemaran lingkungan hidup,
kepunahan sumber daya alam dan lingkungan hidup, kekacauan iklim global
serta masalah sosial terkait lingkungan hidup.2 Keberhasilan pembangunan
tidak hanya diukur dari besarnya pertumbuhan ekonomi dantercapainya
pemerataan tetapi juga kelestariannya lingkungan di mana pembangunan itu
berlangsung. Jika lingkungan rusak maka sumber-sumber (resources) untuk
pembangunan itu sendiri akan semakin menipis dan langka.
Lingkungan sebagai tempat hidup akan terasa sesak dan tidak nyaman.
Dengan demikian maka kerusakan lingkungan akan mengancam tidak saja
terhadap keberlanjutan pembangunan itu sendiri tetapi juga akan mengancam
eksistensi manusia. Perubahan lingkungan sangat ditentukan oleh perbuatan
manusia.
Keadaan alam yang ada secara fisik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan sehat, menjadi
tidak baik dan tidak sehat atau dapat pula sebaliknya, apabila pemanfaatanya
tidak digunakan sesuai dengan kemampuan serta melihat situasinya. Perhatian
terhadap masalah lingkungan hidup tidak hanya sebatas masalah lokal atau
nasional tetapi juga merupakan masalah internasional. Kebutuhan terhadap

1
N.H.T Siahaan Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan, Jakarta, Erlangga , 2004 hlm 4
2
Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
alam yang semakin meningkat mengakibatkan pencemaran lingkungan menjadi
persoalan lintas Negara yang kemudian dikenal sebagai sengketa lingkungan
hidup internasional.
Pencemaran tersebut dapat berupa emisi udara, pencemaran sungai,
kebakaran hutan, pencemaran minyak di lautan. Dalam perkembangannya,
lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia untuk memberikan
perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa
lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama
demi kelangsungan hidup di bumi ini. Perbuatan yang tidak bertanggungjawab
oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari alam tersebut dapat
memicu suatu reaksi baik dari masyarakat lokal maupun internasional.
Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau
3
perusakan lingkungan hidup. Mengenai masalah penyelesaian sengketa
lingkungan hidup internasional didasarkan pada Prinsip 26 Deklarasi Rio 1992.
Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB kemudian menentukan bahwa segenap anggota
PBB harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan
mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan
keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam. Prosedur dan
mekanisme mengenai penyelesaian sengketa secara umum diatur oleh Pasal 33
Piagam PBB. Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai
dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional, maka diperlukan badan
yang berdiri sendiri dan independen. Badan ini tidak boleh dipengaruhi oleh
kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala pengaruh.
Oleh karena itu, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh
salah satunya melalui Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional
dalam rangka PBB disebut Mahkamah Internasional (International Court of
Justice - ICJ). Menurut pasal 92 Piagam PBB disebut statute ICJ didasarkan
pada Statuta PCIJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam

3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bab 1 Butir 25.
PBB. Dikarenakan peran Mahkamah Internasional begitu penting dalam
penyelesaian sengketa internasional, maka dalam tulisan ini, penulis tertarik
untuk memaparkan lebih jauh mengenai Mahkamah Internasional terutama
dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasional.
2. PERMASALAHAN
Permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah :
1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa lingkungan dalam pengadilan
internasional ?
2. Bagaimanakah hambatan dalam penyelesaian sengketa lingkungan dalam
pengadilan internasional?
3. METODE
Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan normatif dalam
menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan serta literatur yang
terkait dengan perkembangan hukum lingkungan hidup dan penyelesaian
sengketa lingkungan hidup terutama melalui jalur diluar pengadilan. Proses
analisis data dilakukan secara kualitatif.
4. PEMBAHASAN
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas
segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur
dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di
atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum. Salah
satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang
merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang
merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap
pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan
sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir
(the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”.
Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat
mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice)
apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum4. Dalam perkembangan
sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan
hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi
(legal standing/ius standi) sedang hangathangatnya dibicarakan baik dalam
kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya
masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri. Terkait dengan masalah
lingkungan hidup, pihak-pihak yang dirugikan sebagai akibat pencemaran
lingkungan dapat mengajukan tuntutan hak. Penyelesaiannya sendiri dapat
dilakukan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (di luar
pengadilan). Hal ini telah di atur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Bagian Pertama Umum BAB VII
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”)
merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau
kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A
conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght,
claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the
other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun
beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”,
“conflict intervention”. 5Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan,
tidak hanya berdurasi ”perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang
diiringi adanya “tuntutan” (claim).
Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik).
Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan
sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…”

4
M. Yahya Harahap, 2004, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 34
5
TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmetal Dispute Resolution),
Surabaya: Airlangga University Press–Yayasan Adikarya IKAPI–Ford Foundation, hlm. 9
tanpa mencantumkan “claim” adalah kurang lengkap dan tidak
merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa.
Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) merupakan
badan pengadilan internasional resmi yang bersifat tetap dan bertugas untuk
memeriksa dan memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pada
bagian ini, penulis akan memaparkan mengenai kedudukan dan dasar hukum
Mahkamah Internasional, batasan penyelesaian sengketa, serta prosedur
penyelesaian sengketa internasional oleh Mahkamah Internasional, sehingga
akan menggambarkan sejauh mana peran yang dapat dijalankan oleh
Mahkamah Internasional.
Berdasarkan metode penafsiran (“interpretatie” (methode)), maka dapat di
tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni: “para pihak yang berselisih”.
Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yang paling penting adalah: “how to prevent
dispute, not how to settle dispute” sesuai dengan adagium: “prevention Is better
than cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: “an ounce of
prevention is worth a pound of cure”. 6
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara lain
adalah agar pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti
kerugian dapat diberikan, penanggung jawab usaha/kegiatan menaati peraturan
perundangan di bidang lingkungan hidup dan Pemulihan lingkungan dapat
dilaksanakan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum
pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan
Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan
melanggar hukum” (onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit
bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan
kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran
sebagai penggugat adalah antara lain : pertama, pembuktikan unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur

6
Siti Sundari Rangkuti, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Surabaya: Airlangga Universityt Press, hlm. 247
hubungan kausal.7 Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat
berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat dipersamakan
dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum AngloAmerika.
Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan
kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk
menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah,
sehingga tidaklah pada tempatnya. Kedua, masalah beban pembuktian
(bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR
Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. 8Padahal, dalam kasus
pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan
seringkali berada pada posisi ekonomi lemah. Berdasarkan kelemahan tersebut,
Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asaa
tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut
pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada
saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Asas
“strict liability” lazimnya hanya hanya diimplementasikan pada “types of
situation” tertentu (kasuistik), termasuk “types of situation” bagi berlakunya
“strick liability” adalah “extra-hazardous activities” yang menurut Pasal 35
UUPLH meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan; menggunakan
bahan berbahaya dan beracun (B3) dan atau menghasilkan limbah B-3;
kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undang-
undang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; pencemaran
lingkungan laut di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia sedasar Pasal 11 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia; dan
pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International
Convention on Civil Liability Oil Pollution Damage – CLC (vide

7
Siti Sundari Rangkuti, op.cit., hlm. 246
8
Pasal ini menentukan: Setiap orang yang mengendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
penyempurnaanya tahun 1992) JO. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978
tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund
Convention).
Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa
keadilan; menyesuaikan dengan kompleksitas perkembangan teknologi,
sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko
tinggi untuk menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat
kegiatannya.9
Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan
antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan
kepentingan yang sama melalui “gugatan kelompok” (class action/ actio
popularis). Sementara itu, di Amerika Serikat, class action diterapkan terhadap
pencemaran lingkungan tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian,
tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga
masyarakat. “Class action”, penting dalam kasus pencemaran (perusakan)
lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap “a mass of people” yang
awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok dapat
menggugat atau di gugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua,
dengan syarat The class is so numerous that Joinder of all members is
impracticable; There are guestions of law or fact common to the class; The
claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or
defenaes of the class; The representative parties will fairly and adeguately
protect the interestsof the class.10
Pasal 37 UUPLH memberikan pengaturan gugatan perwakilan yang
menjadi simbol “kemajuan” UUPLH dan merupakan pengakuan pertama atas
class action dalam peraturan perundang-undanga nasional di Indonesia. Class
action berbeda dengan lus standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
Organisasi Lingkungan Hidup (OLH) sebutan UUPLH. Pasal 38 UUPLH
9
Mas Achmad Santosa et al., 1997, Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di
Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: ICEL, hlm. 59
10
Siti Sundari Rangkuti, op.cit, hlm. 296-297
memberi pengaturan mengenai hak menggugat – ius standi - standing to sue
atau legal standing Organisasi Lingkungan Hidup. Definisi class action
PERMA No 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau
lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompoknya.
Berdasarkan pengertian tersebut. Unsur-Unsur class action yaitu pertama,
gugatan secara perdata gugatan dalam class action masuk dalam lapangan
hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai
suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang di
berikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri
(eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang
mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat Pihak
disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya
tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. Kedua, adanya
wakil kelompok dan anggota kelompok. Wakil kelompok (class representatif)
merupakan satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa
khusus dari anggota kelompok.
Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan, maka kedudukan dari
wakil kelompok sebagai penggugat aktif. Anggota kelompok (class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian
yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila
class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok
adalah sebagai penggugat pasif. Ketiga, adanya kerugian yang nyata-nyata
diderita. Pihak wakil kelompok (class repesentatif) maupun anggota kelompok
(class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau
diistilahkan concrete injured parties atau dengan kata lain, pihakpihak yang
tidak mengalami kerugian secara nyata tidak dapat memiliki kewenangan
untuk mengajukan class action.
Keempat, kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum. Terdapat
kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara
pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class
members). Wakil kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini.
Namun bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih
dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip. Wakil
kelompok dituntut menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti
tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang
perbedaan yang subtansial atau prinsip. Pada umumnya dalam class action,
jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti kerugian. Kelima,
kelayakan wakil kelompok (Adequacy of Repesentation). Wakil kelompok
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki
kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat tergantung
dari penilaian hakim.
Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok
tidak diperyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok
class action. Pasal 37 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 ayat (1) yang
menentukan Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan
dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Dengan
demikian, atas sengketa lingkungan, masyarakat dapat mengajukan class
action. Manfaat class action antara lain proses berperkara menjadi sangat
ekonomis (judicial economy), mencegah pengulangan proses perkara dan
mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten,
akses terhadap keadilan (access to justice), mendorong bersikap hati-hati
(behaviour modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran. Sebelum
proses persidangan dimulai, di lakukan proses Pemberitahuan (notifikasi).
Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan
untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan
apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan
dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan
keluar dari keanggotaan kelompok. Segera setelah hakim memutuskan bahwa
pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap
ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar), pemberitahuan wajib
dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada
anggota kelompok. Proses pemeriksaan perkara sengketa lingkungan sama
seperti dalam pemeriksaan perkara perdata pada umumnya, yaitu :
pertama, pembacaan surat gugatan oleh penggugat;
kedua, jawaban dari tergugat;
ketiga, replik (tangkisan penggugat atas jawaban yang telah disamapaikan
oleh tergugat);
keempat, duplik (jawaban tergugat atas tanggapan penggugat dalam
replik);
kelima, pembuktian yang ditujukan untuk memberikan kepastian kepada
hakim tentang apa yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah
pihak menyampaikan bukti-bukti dan saksi-saksi;
keenam, kesimpulan, merupakan resume dan secara serentak dibacakan
oleh kedua belah pihak;
ketujuh, putusan hakim, putusan hakim dapat berupa dikabulkannya
gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak dapat diterima (ditolak).
Terhadap putusan ini pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum
banding. Apabila hakim mengabulkan gugatan Ganti rugi penggugat, maka
hakim akan memutuskan jumlah ganti rugi, penentuan kelompok dan/atau sub
kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-
langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelimpok dalam penetapan dan
pendistribusian seperti halnya kewajiban kelompok;
dan kedelapan, pendistribusian ganti rugi. Apabila gugatan dikabulkan,
maka dilakukan tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah
bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian
yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan
seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan
bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu
alasan di berikut ini: adanya bencana alam atau peperangan; atau adanya
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau adanya tindakan pihak
ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak
ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Selain
mekanisme class action, Undangundang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) juga mengatur mekanisme
pangajuan tuntutan hak oleh organisasi lingkungan hidup (OLH) atau lembaga
swadaya masyarakat (LSM), sebagai mana telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1)
UUPLH yang menentukan Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut
(gugatan legal standing) apabila memenuhi persyaratan,
pertama, berbentuk badan hukum atau yayasan;
kedua, dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
ketiga, telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan tuntutan hak oleh organisasi
lingkungan hidup atau lembaga swadaya masyarakat dapat dilakukan. Namun
demikian, tuntutannya tidak dapat berupa permintaan ganti kerugian. Tuntutan
hak yang diperbolehkan hanya berupa kewajiban untuk melakukan tindakan
tertentu, seperti reboisasi, memulihkan kondisi lingkungan seperti sediakala
sebelum pencemaran dilakukan dan sebagainya. Proses pemeriksaan gugatan
oleh organisasi lingkungan hidup (legal standing) maupun class action di
pengadilan masih mengacu pada proses beracaranya perkara perdata yang
bersumber pada HIR (het herzeine Indonesisch Reglement) Rbg (Reglement
Buite Gewesten, serta Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering). Isi
surat gugatan dalam sengketa lingkungan tidak diatur dalam UUPLH.
Oleh karena itu masih mengacu pada peraturan perundang-undangan
sebelumnya, yaitu HIR, Rbg maupun Rv. Berkaitan dengan formulasi surat
gugatan, HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan
gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam Ps. 8 no. 3 Rv. Pada
dasarnya surat gugatan berisi :
Pertama, identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap, umur/tempat
tanggal lahir, pekerjaan dan alamat/domisili. Namun demikian, ada kalanya
kedudukan sebagai penggugat/tergugat dilakukan oleh cabang suatu badan
hukum, oleh karenya harus dijelaskan mengenai BH tersebut.
Kedua, posita/fundamentum petendi. Posita merupakan dalil-dalil konkrit
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alas an-alasan
dari tuntutan (middelen van den eis). Posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian
yang menguraikan tentang kejadiankejadian/peristiwa hukum dan bagian yang
menguraikan hukumnya, yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
Ketiga, petitum. Petitum merupakan bagian dari surat gugatan yang berisi
hal-hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim. Petitum terdiri dari
dua bagian, yaitu petitum pokok/Primer yang berisi hal-hal/tuntutan pokok
yang dimohonkan untuk dikabulkan oleh pengadilan, seperti menuntut
putusnya perjanjian dengan ditambah ganti rugi atau menuntut pelaksanaan
perjanjian dengan uang paksa. Bagian kedua, yaitu petitum subsidair, yang
berisi hal-hal yang memberi kebebasan pada hakim untuk mengabulkan lain
dari petitum primair. Lebih dari itu, mengingat bagian terbesar dari Hukum
Lingkungan adalah Hukum Administrasi, maka perlu diketahui bahwa
penyelesaian sengketa lingkungan dapat pula berupa gugatan oleh seseorang
atau badan hukum perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena
kepentingannya (atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN – izin) di bidang lingkungan
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (UU PERATUN). Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN
(izin) dinyatakan batal atau tidak sah, sehingga putusan (hakim PTUN) segera
menghentikan pencemaran lingkungan akibat izin lingkungan yang tidak
cermat
A. Kedudukan dan Dasar Hukum Mahkamah Internasional
Mahkamah berkedudukan di Den Haag, Belanda, dan didirikan pada
tahun 1945 berdasarkan pada Piagam PBB. Namun, Mahkamah ini mulai
bertugas sejak tahun 1946 sebagai pengganti Mahkamah Internasional
Permanen (Permanent Court of International Justice). Secara keseluruhan,
ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan Mahkmah Internasional sebagai
sebuah Organisasi Internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah :
a) Piagam PBB Tahun 1945 Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum
yang berkenaan tentang Mahkamah Internasional terdapat dalam BAB
XIV tentang Mahkamah Internasional sebanyak 5 pasal yaitu Pasal 92
sampai dengan Pasal 96.
b) Statuta Mahkamah Internasional Tahun 1945 Dalam Statuta Mahkamah
Internasional sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara
terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV
yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal mulai dari Pasal
39 sampai dengan Pasal 46 yang tercantum di dalam BAB III, sementara
di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal yakni dari Pasal 65 hingga Pasal
68.
c) Rules of the Court Tahun 1970 yang telah diamandemen pada tanggal 5
Desember 2000 Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah atau
lebih dikenal dengan Rules of the Court yang terdiri dari 108 pasal.
Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa
amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tanggal 5
Desember 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1
Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-retroaktif
d) Practice Directions I – IX Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan
Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang
dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di Mahkamah
Internasional. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat
pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di
Mahkamah Internasional.
e) Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang
diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Rules of the Court
Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang
Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the
Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10
ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12
Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang
Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.
PBB memiliki beberapa organ utama diantaranya Majelis Umum,
Dewan Keamanan, Dewan perwalian, Sekretariat Jenderal dan Dewan
Ekonomi dan Sosial serta Mahkamah Internasional. Hal ini ditegaskan
didalam pasal 7 (1) Piagam PBB yang menyatakan : “There are
established as the principal organs of the United Nations a General
Assembly, a Security Council, an Economic and Social Council, a
Trusteeship Council, an International Court of Justice and a Secretariat”.
Karena memiliki kedudukan yang sederajat dengan organ-organ
utama PBB yang lainnya maka Mahkamah Internasional bukan
merupakan badan peradilan umum PBB yang bersifat memaksa terhadap
organ lainnya. Mahkamah hanya memiliki kewenangan untuk memberi
nasihat apabila diminta dan pemberian nasihat itu tidak mengikat atau
meiliki kedudukan lebih tinggi dari keputusan Majelis Umum PBB.
Demikian juga halnya dalam pemeriksaan berbagai perkara yang
diajukan kepada Mahkamah Internasional maka organ-organ PBB
lainnya tidak boleh mencampuri urusan Mahkamah.
Hal yang penting dalam sistem PBB adalah meletakkan Mahkamah
Internasional sebagai organ utama dalam sistem PBB.11
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Mahkamah Internasional
merupakan bagian yang integral dalam sistem PBB. Sebagai organ PBB,
Mahkamah Internasional sangat dekat dengan tujuan PBB. Ini berarti
bahwa Mahkamah Internasional sebagai organ utama PBB menunjukkan
bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagai suatu
komponen penting dalam mekanisme perdamaian internasional. Sebagai
organ utama PBB maka pelaksanaan tugasnya sejalan dengan tujuan PBB
yang ditentukan dalam Piagam. Status Mahkamah Internasional sebagai
organ utama PBB menentukan tanggungjawabnya dan kesamaan derajat
dengan organ utama lainnya sesuai dengan kewenangannya. 12
Mahkamah Internasional adalah satu-satunya organ utama disamping
Majelis Umum PBB yang tidak menyerahkan laporan tahunan kepada
Majelis Umum PBB.
Namun, sejak tahun 1968 telah berubah dimana Mahkamah
Internasional mulai memberikan laporannya kepada Majelis Umum PBB.
Mahkamah Internasional menjelaskan bahwa inovasi ini didasarkan
bahwa laporan yang demikian akan memberikan pengertian akan
fungsinya dan aktivitasnya dalam rangka kerja PBB.13
Kedudukan Mahkamah Internasional ini memang unik, dimana
sebagai salah satu organ utama PBB, mereka harus benar-benar

11
Pasal 7 Piagam PBB
12
Suwardi, Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, UI-Press, 2006, hlm. 64
13
Ibid, hlm 65
menunjukkan kemandiriannya sebagai suatu organ atau badan
pengadilan.14
Semua negara yang menjadi anggota Statuta Mahkamah dapat
menyerahkan kepada Mahkamah Internasional perkara-perkara apa saja
yang mereka inginkan.
B. batasan Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasional merupakan
salah satu permasalahan yang menarik untuk dikaji. Umumnya, sengketa
lingkungan hidup internasional menyangkut persoalan
pertanggungjawaban (responsibility) dan ganti rugi (compensation).
Deklarasi Stockhlom 1972 telah menegaskan dalam Prinsip 22 yang
menyatakan perlunya dikembangkan hukum internasional mengenai
kewajiban dan kompensasi terhadap korban pencemaran. Prinsip ini
ditegaskan kembali dalam Deklarasi Rio 1992 pada Prinsip 13 yaitu
perlunya dikembangkan hukum nasional dan internasional mengenai
ganti rugi. Menurut beberapa ahli hukum internasional penyelesaian
sengketa dapat digolongkan dalam 2 kategori yaitu :15
a) Penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak yang terlibat sengketa
bermufakat untuk mencari penyelesaian secara bersahabat.
b) Penyelesaian sengketa secara paksa. Pemecahannya ditempuh secara
paksa atau dengan kekerasan.
Kategori mengenai penyelesaian sengketa dibidang lingkungan
hidup umumnya dilakukan secara damai. Sedangkan penyelesaian
sengketa secara paksa dengan kekerasan dapat terjadi berkaitan dengan
masalah perebutan sumber daya alam atau sengketa lainnya yang
mengakibatkan tindakan paksaan oleh suatu negara kepada negara
lainnya. Dalam tulisan ini umumnya dibahas penyelesaian sengketa
secara damai. Dalam proses penyelesaian sengketa, Mahkamah
Internasional bersifat pasif, artinya hanya akan bereaksi dan mengambil
14
Ibid
15
Starke, JG. 1989. Introduction to International Law diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Danuredjo,
Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, hlm 171.
tindakan-tindakan bila ada pihakpihak berperkara yang mengajukan ke
Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional
tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu
perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah , yaitu :
a. Contentious Jurisdiction Yuridiksi
mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu
sengketa antara 2 negara atau lebih (Jurisdiction Ratione Personae).
Yuridiksi Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan dengan tiga
cara, yaitu :
1. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
dimana yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang
diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan
dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian – perjanjian
atau konvensi – konvensi internasional.
2. Doktrin Forum Propogatum, dimana menurut doktrin ini, yurisdiksi
propogated timbul manakala hanya satu negara yang menyatakan
dengan tegas persetujuannya atas Yurisdiksi Mahkamah.
Kesepakatan pihak lainnya diberikan secra diamdiam, tidak tegas
atau tersirat saja.
3. The Optional Clause Pasal 36 Ayat 2 Statuta Mahkamah
Internasional. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2) yaitu klausul pilihan,
dinyatakan bahwa negara-negara peserta pada Statute dapat setiap
waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto yurisdiksi
Mahkamah Internasional dan tanpa adanya perjanjian khusus
terhadap negara yang menerima kewajiban serupa atas semua
sengketa hukum.
b. Noncontentious (Advisory) Jurisdiction
Yaitu dasar hukum yurisdiksi mahkamah untuk memberi nasehat
atau pertimbangan hukum kepada organ utama atau organ PBB
lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, hanya terkait
dengan ruang lingkup kegiatan atau aktifitas dari 5 badan atau organ
utama dan 16 badan khusus PBB.
Sebenarnya hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan
perkara kepada Mahkamah Internasional. Karena itu perseorangan,
badan hukum, serta organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak
untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun demikian,
berdasarkan Advisory opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah
Internasional secara tegas menyatakan bahwa PBB adalah merupakan
pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau
gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka
kesempatan kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara
kontradiktor (contentious case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional
bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat
fakultatif. Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian
sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti diplomasi, mediasi,
arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan
demikian penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah
Internasional bersifat pilihan dan atas dasar sukarela bagi pihak-pihak
yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) Piagam
PBB.
Meskipun Mahkamah Internasional adalah merupakan organ utama
PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah
Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan
kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini.
Beberapa negara tidak berkemauan untuk menyelesaikan perkaranya
melalui Mahkamah Internasional. Sebagai contoh, dalam perkara
Kepulauan Malvinas tahun 1955 dimana Inggris menggugat Argentina
dan Chili ke Mahkamah Internasional namun Chili dan Argentina
menolak kewenangan Mahkamah Internasional untuk memeriksa
perkara ini. Perlu dicatat bahwa para hakim yang duduk di Mahkamah
Internasional tidak mewakili negaranya, namun dipilih dan diangkat
berdasarkan persyaratan yang bersifat individual seperti keahliannya
dalam ilmu hukum, kejujuran serta memiliki moral yang baik.
Penunjukan para hakim ini diusulkan dan dicalonkan oleh negara-
negara ke Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.
C. Proses Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional
Pengajuan perkara ke Mahkamah Internasional dapat menggunakan 2
cara,yaitu :
a) Bila pihak-pihak yang berperkara telah memiliki perjanjian khusus
(special agreement) maka perkara dapat dimasukkan dengan
pemberitahuan melalui panitera Mahkamah.
b) Perkara dapat diajukan secara sepihak (dalam hal tidak adanya
perjanjian/persetujuan tertulis). Surat pengajuan permohonan perkara
harus ditandatangani oleh wakil negara atau perwakilan diplomatik
yang berkedudukan di tempat mahkamak Internasional berada.
Setelah panitera menerima, maka salinan pengajuan perkara tersebut
disahkan kemudian salinannya dikirim kepada negara tergugat dan hakim –
hakim Mahkamah Internasional. Pemberitahuan juga disampaikan kepada
anggota PBB melalui Sekretariat Jenderal.
Setelah itu, dalam acara pemeriksaan dilakukan melalui sidang acara
tertulis dan acara lisan. Dalam acara tertulis, dilakukan sesi tanya jawab
secara tertulis antara pihak tergugat dan penggugat. Setelah acara tertulis
ditutup, lalu dimulai acara lisan atau hearing. Acara ini biasanya dipimpin
langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden Mahkamah Internasional,
dengan menanyakan saksi-saksi maupun saksi ahli atau juga wakilwakil dari
para pihak seperti penasihat hukum dan pengacara. Dalam acara ini dapat
bersifat terbuka atau tertutup dimana bergantung pada keinginan para pihak.
Setelah semuanya selesai, maka dilakukan pengambilan keputusan yang
dilakukan berdasarkan suara mayoritas para hakim. Keputusan Mahkamah
bersifat final dan tidak ada banding, kecuali untuk hal-hal yang bersifat
penafsiran dari keputusan itu sendiri.
Dalam persidangannya untuk jenis perkaraperkara tertentu dapat
dimungkinkan dibentuknya suatu kamar sengketa (chamber) yaitu sidang
majelis hakim yang lebih kecil.
Sebagai contoh, Chamber of Environmental Dispute untuk menangani
Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (sengketa antara Nauru
dan Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (sengketa antara Hungary
melawan Slovakia). Namun, pembentukan kamar sengketa ini hanya
berlaku bagi kewenangan untuk memeriksa perkara kontradiktor sehingga
tidak berlaku dalam persidangan advisory opinion.
D. Peran Mahkamah Internasional Dalam Hukum Lingkungan
Dalam menghadapi persoalanpersoalan lingkungan hidup yang dinamis,
nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan
perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan
demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak berakhirnya
Perang Dunia II. Selain itu, partisipasi masyarakat sipil global melalui
berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin berperannya
Non Government Organization (NGO), indegenous people, asosiasiasosiasi
dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut adanya hak-hak yang
sama terutama dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan hidup yang
berkeadilan.
Kesadaran masyarakat sipil terkait pelestarian lingkungan hidup juga
semakin berkembang. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata
dimana batas-batas negara semakin menipis.
Dengan keberadaan Mahkamah Internasional, maka diharapkan akan
mampu menangani berbagai persoalan global khususnya mengenai sengketa
lingkungan hidup internasional yang masih minim penegakan hukum dan
sanksinya. Kategori mengenai penyelesaian sengketa dibidang lingkungan
hidup umumnya dilakukan secara damai. Dalam proses penyelesaian
sengketa, Mahkamah Internasional bersifat pasif, artinya hanya akan
bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara
yang mengajukan ke Mahkamah Internasional.
Dengan kata lain Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil
inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Sehingga peran
Mahkamah Internasional dalam sengketa lingkungan hidup internasional
juga bergantung pada sukarela dan kesepakatan negara dalam
menyelesaikan sengketa dimana sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) Piagam
PBB. Negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui
berbagai cara lain seperti diplomasi, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain
yang dilakukan secara damai.
Beberapa negara juga tidak berkemauan untuk menyelesaikan perkaranya
melalui Mahkamah Internasional.
Sebenarnya sudah sejak dahulu kala sebelum menjadi Mahkamah
Internasional (International Court of Justice atau ICJ), kasus lingkungan
hidup khususnya sumberdaya alam dalam arti luas pernah ditangani oleh
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent International Court of
Justice/ PICJ). Contohnya dalam penyelesaian kasus pengelolaan
sumberdaya air di antara negara-negara yang berkepentingan telah diterima
dua kasus yaitu Diversion of the Waters from the River Meuse Case
(Netherland v. Belgium) 1937 dan Territorial Jurisdiction of the
International Commission of the River Oder Case (United Kingdom v.
Poland) 1929. Mahkamah Internasional (ICJ) juga telah beberapa kali
menangani sengketa yang secara tidak langsung bersinggungan juga dengan
persoalan maritim diantaranya putusan Corfu Chanel Case, 1948 (United
Kingdom v. Albania), Anglo Norwegian Fisheries Case (UK v. Norway),
1951, Maritime Delimitation in the Caribbean Sea and the Pacific Ocean
(Costa Rica v. Nicaragua), 2014, Alleged Violations of Sovereign Rights
and Maritime Spaces in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Colombia), 2013,
Maritime Delimitation in the Indian Ocean (Somalia v. Kenya), 2015, Case
concerning Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks
and South Ledge (Malaysia/Singapore), 2008, Whaling in the Antarctic
(Australia v. Japan: New Zealand intervening), 2010, Question of the
Delimitation of the Continental Shelf between Nicaragua and Colombia
beyond 200 nautical miles from the Nicaraguan Coast (Nicaragua v.
Colombia), 2013 Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v.
Ukraine), 2004, Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan
(Indonesia/Malaysia), 1998 Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia)
1997, Fisheries Jurisdiction (Spain v. Canada) 1995 Oil Platforms (Islamic
Republic of Iran v. United States of America), 1992 Continental Shelf
(Libyan Arab Jamahiriya/Malta), 1982, Delimitation of the Maritime
Boundary in the Gulf of Maine Area (Canada/United States of America),
1981 Continental Shelf (Tunisia/Libyan Arab Jamahiriya), 1978, Aegean
Sea Continental Shelf (Greece v. Turkey), 1976, Fisheries Jurisdiction
(Federal Republic of Germany v. Iceland) 1972 Fisheries Jurisdiction
(United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland v. Iceland), 1972,
North Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands)
1967, North Sea Continental Shelf (Federal Republic of
Germany/Denmark), 1967 Antarctica (United Kingdom v. Chile), 1955,
Antarctica (United Kingdom v. Argentina), 1955
Beberapa diantaranya bersinggungan dengan lingkungan hidup maritim,
namun umumnya kasus-kasus tersebut sangat erat persoalannya dengan
masalah perbatasan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati
maupun non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah perairan yang kaya
akan sumberdaya perikanan telah diselesaikan dua kasus yang terkenal yaitu
Anglo-Norwegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan
Fisheries Jurisdiction (UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974).
Untuk Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984, Mahkamah Internasional
juga memperhatikan adanya sumberdaya alam yang ada melekat dalam
batas-batas geografis.
Kasus ini mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan
Kanada. Penyelesaian kasus ini diajukan melalui cara ke pengadilan
internasional yaitu Mahkamah Internasional. Dalam sengketa ini untuk
pertama kalinya Mahkamah Internasional membentuk Kamar Penyelesaian
Sengketa (Chamber of Disputte Settlement) berdasarkan pasal 26 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional (ICJ Statute). Persoalan pokok yang
diajukan adalah mengenai penetapan perbatasan tunggal (single maritime
boundary) yang digunakan. Batas Kanada yang diajukan adalah
equidistance line tapi Amerika Serikat menginginkan bahwa perbatasan
tergantung dari keadaan yang relevan di wilayah tersebut. Selain itu
menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah yang berdekatan termasuk
bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks dan memiliki
proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem laut
yang penting di wilayah utara. Di lain pihak, Amerika Serikat menyatakan
bahwa wilayah ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim
ekologi. Dalam hal ini ternyata Teluk Maine juga membentuk komunitas
flora dan funa dalam semua siklus jaring makanan dari yang terkecil hingga
ikan yang terbesar.
Dalam kasus-kasus perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang
kaya akan sumberdaya alam non hayati Mahkamah Internasional juga telah
menerima dan menyelesaikan beberapa kasus seperti North Sea Continental
Shelf (1969), Continental Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985)
dan Continental Shelf ( Tunisia v. Libya) (1982). Mahkamah Internasional
sebagai badan peradilan utama di dunia, memiliki kebebasan untuk
mendorong berkembangnya hukum internasional secara progresif sesuai
Pasal 13 Piagam PBB (Charter of the United Nations).
5. PENUTUP
Terhadap pencemaran maupun rusaknya lingkungan menyebabkan kerugian bagi
pihakpihak tertentu, seperti masyarakat, organisasi lingkungan hidup maupun
pemerintah. Terhadap sengketa lingkungan yang terjadi, dapat diselesaikan melalui
jalur non litigasi (di luar pengadilan) maupun litigasi (melalui pengadilan).
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
Kasus-kasus yang akan dihadapi oleh Mahkamah Internasional tidak
hanya persoalanpersoalan politik saja. Beberapa kasus lingkungan hidup
khususnya yang dikategorikan sebagai common heritage of mankind
diharapkan akan menjadi perhatian Mahkamah Internasional. Eksistensi aktor
non-negara seperti masyarakat sipil global dimana salah satunya Non
Governmental Organization (NGO), menuntut penegakan lingkungan hidup
global yang adil. Mahkamah Internasional menjadi badan resmi yang
diharapkan mampu menegakkan hukum lingkungan internasional dimana
merupakan hal yang sangat penting karena degradasi lingkungan terjadi
secara terus menerus. Mahkamah Internasional harusnya membuka
kesempatan kepada aktor non-negara untuk mengajukan diri untuk menjadi
pihak yang berperkara karena peran aktor non-negara yang semakin kuat
dalam isu lingkungan hidup dan semakin biasnya batas antar negara. Negara
yang mengalami kerugian akibat terkena dampak dari eksploitasi maupun
pencemaran lingkungan oleh negara lain dapat meminta ganti rugi serta
tanggung jawab. Negara merupakan bagian dari dinamika masyarakat modern
yang menjadi penyebab dari krisis lingkungan masa kini.7 Memang, negara
dianggap sebagai aktor yang berada dalam posisi sulit bahkan tidak mampu
untuk mengelola dan menciptakan lingkungan hidup yang berkeadilan,
namun negara jugalah yang mampu melindungi wilayahnya dari pencemaran
lingkungan oleh negara lain. Dalam proses penyelesaian sengketa, Mahkamah
Internasional bersifat pasif, artinya hanya akan bereaksi dan mengambil
tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara yang mengajukan ke
Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional tidak
dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara.
Sehingga peran Mahkamah Internasional dalam sengketa lingkungan hidup
internasional juga bergantung pada sukarela dan kesepakatan negara dalam
menyelesaikan sengketa dimana sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :
Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
N.H.T Siahaan. (2004). Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta.
Erlangga.
Paterson, Matthew. (2001). dalam Scott Burchill, et al. Theories of International
Relations, Palgrave. (p. 282).
Suwardi, Sri Setianingsih. (2006). Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta.
UIPress.
Starke, JG. (1989). Introduction to International Law diterjemahkan oleh Sumitro
L.S.
Danuredjo. Pengantar Hukum Internasional. Aksara Persada Indonesia. Jakarta.
Dokumen :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1945.
Statuta Mahkamah Internasional Tahun 1945.
file:///C:/Users/iyanb/Downloads/302-553-1-SM.pdf
file:///C:/Users/iyanb/Downloads/Peradilan_Internasional_dan_Diplomasi_dalam
_Sengke.pdf

Anda mungkin juga menyukai