Anda di halaman 1dari 33

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Materi PAI I Gt. M. Irhamna Husin, M.Pd.I

TEOLOGI ISLAM
(ALIRAN JABARIAH, QADARIAH, ASY’ARIAH, DAN MATURIDIAH)
“Tugas ini diajukan untuk memenuhi mata kuliah Materi PAI I”
STAI AL JAMI BANJARMASIN

Disusun oleh kelompok 1 :


- Ariani Safitri : 219116083
- Hatimah : 219116090
- Nur Erawati : 219116101
- Ratnasari : 219116108
- Inayatul Lutfi : 219116178
- Arahmad Jailani : 219116125
- Muhammad : 219116310
- Muhammad Najmuddin : 219116141
- Sahrian Nurohman : 219116128

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL JAMI


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ...........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan ........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 5
A. Aliran-Aliran Dalam Akidah Islam............................................................................5
1. Aliran Jabariah ...........................................................................................................5
a. Sejarah Aliran Jabariah ..........................................................................................5
b. Pemikiran Teologi..................................................................................................6
2. Aliran Qadariah..........................................................................................................7
a. Sejarah Aliran Qadariah.........................................................................................8
b. Pemikiran Teologi..................................................................................................8
3. Aliran Asy’ari ..........................................................................................................11
a. Sejarah Aliran Asy’ari .........................................................................................11
b. Pemikiran Teologi................................................................................................12
4. Aliran Maturidi ........................................................................................................18
a. Sejarah Aliran Maturidi .......................................................................................19
b. Pemikiran Teologi................................................................................................20
B.Pendidikan Islam Dalam Perspektif Aliran Jabariah, Qadariah, dan Asy’ariah……...27
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 31
Kesimpulan ......................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 33

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fakta sejarah membuktikan bahwa lahirnya mazhab-mazhab besar
teologi klasik tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi pada masa-
masa awal perjalanan sejarah umat Islam. Pada titik-titik tertentu dinamika
ini kemudian melahirkan persoalan-persoalan yang sekaligus merupakan isu-
isu sentral dalam ranah teologi, sehingga pertikaian teologis pun menjadi
tidak terelakkan. Salah satu klimaks yang mengundang beragam persepsi
adalah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Respon terhadap konspirasi
ini menimbulkan perdebatan teologis seputar kualitas keimanan atau bahkan
status keislaman pelakunya, yang jelas sudah melakukan dosa besar. Pada
gilirannya perdebatan teologis ini kemudian menyebabkan munculnya
berbagai aliran atau mazhab dalam teologi.1
Berbagai macam aliran atau mazhab dalam teologi dalam tulisan ini
yang akan dibahas antara lain adalah aliran Jabariah, aliran Qadariah, aliran
Asy’ariah, dan aliran Maturidiah. Keempat macam aliran ini memiliki sejarah
kemunculanya dan juga doktrin-doktrin ajaranya masing-masing. Doktrin
ajaran dari masing-masing aliran inilah yang begitu sangat mempengaruhi
akidah tiap orang yang mengikutinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah aliran Jabariah, aliran Qadariah, aliran Asy’ariah dan
aliran Maturidiah?
2. Bagaimana pemikiran teologi aliran Jabariah, aliran Qadariah, aliran
Asy’ariah, dan aliran Maturidiah?
3. Seperti apa Pendidikan Islam dalam perspektif aliran Jabariah, aliran
Qadariah, aliran Asy’ariah dan aliran Maturidiah?

1
Baso Hasyim, “Aplikasi Pemikiran Aliran Jabariah dan Qadariah Dalam Masyarakat
Islam Masa Kini”, Jurnal al-Asas, vol. 2, no. 1, April 2019, h. 60.

3
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah aliran Jabariah, aliran Qadariah, aliran Asy’ariah
dan aliran Maturidiah.
2. Agar dapat mengetahui serta mempelajari pemikiran teologi aliran Jabariah,
aliran Qadariah, aliran Asy’ariah, dan aliran Maturidiah.
3. Agar dapat mengenal bagaimana pola pendidikan Islam dalam perspektif
aliran Jabariah, aliran Qadariah, aliran Asy’ariah dan aliran Maturidiah.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran-Aliran Dalam Akidah Islam
1. Aliran Jabariah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan
mengharuskannya melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz al-
jabr yang berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat al-jabbar
(dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Selanjutnya
kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu aliran. Lebih
lanjut Asy- Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah, Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa.2
a. Sejarah Aliran Jabariah
Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis, yaitu
persoalan takdir Tuhan dalam hal ini berkaitan dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Sebenarnya paham ini telah muncul sejak masa
Rasulullah dan khulafa al-Rasyidin, akan tetapi belum masuk ke dalam ranah
perbincangan dan perdebatan yang serius. Hal yang demikian itu disebabkan
nabi melarang atau memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir.
Alasan dibalik larangan nabi Muhammad tersebut lebih kepada masalah
psikologis, baginya kalau masalah ini cukup diimani jangan dipertanyakan
sebab dikhawatirkan dapat membingungkan dan menimbulkan perpecahan
dikalangan umat Islam sendiri.3

2
Eri Susanti, “Aliran-Aliran dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal ad-Dirasah: Jurnal Hasil
Pembelajaran Ilmu Keislaman, vol. 1, no. 1, 2018, h. 30.
3
Muhammad Adnan, “Menapaki dalam Sejarah Pemikiran dalam Teologi Islam”,
Cendekia: Jurnal KeIslaman, vol. 6, no. 1, Juni 2020, h. 42-43.

5
Gologan ini memandang bahwa manusia tidak berdaya dalam
menghadapi ketentuan Tuhan dan kehendaknya. Bagi paham ini manusia
tidak dapat dipersalahkan atau pun dimintai pertanggung jawaban atas
perbuatannya hal itu dikarenakan segala tingkahlaku baik dan buruk
semuanya berasal dari Tuhan menurut kehendaknya yang mutlak. Manusia
memperoleh kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah kehendak Tuhan.
Paham ini pada awalnya dipelopori oleh Ja’ad Ibn Dirham dan
dilanjutkan oleh Jahm Ibn Shofwan dari Khurasan. Jahm Ibn Shofwan adalah
murid Ja’ad Ibn Dirham. Aliran ini mucul untuk menanggapi pertanyaan-
pertanyaan yang berkenaan dengan manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pada
mulanya paham ini hampir sama dengan Ahlu as-Sunnah dalam memahami
segala yang terjadi dijadikan Tuhan, namun terdapat perbedaan prinsip
terlebih aliran Jabariyah terkenal radikal, perbedaan itu tidak berhenti pada
keradikalannya namun pada pahamnya yang mengatakan orang yang
meninggalkan shalat atau berbuat kejahatan itu tidak apa-apa semuanya
terjadi atas kehendak Tuhan.4
b. Pemikiran Teologi
Menurut Asy-Syarastani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim
berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan perbuatan yang timbul
dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah Abu Mahrus Jahm ibn Shofyan.
Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah ia seorang da’i yang
fasih dan lincah (orator) ia menjabat sebagai sekretaris Hariṡ ibn Surais,
seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan.
Pendapatnya yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. 2) Surga

4
Muhammad Adnan, “Menapaki dalam Sejarah Pemikiran dalam Teologi Islam”, ..., h.
42-43

6
dan neraka tidak kekal. Pendapat ekstrim yang kedua adalah Ja’ad ibn Dirham
seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus, doktrinnya sebagai
berikut 1) Al-Qur’an itu adalah mahluk. 2) Allah tidak mempunyai sifat yang
serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar 3) Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segalagalanya.5
Menurut Jabariyah eksrtim ini segala perbuatan mausia tidak
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan
yang dipaksakan oleh dirinya sendiri. Contohnya kalau seorang pencuri
umpamanya, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tetapi itu adalah kada dan kadar Tuhan, dengan kata lain ia mencuri
bukan atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya mencuri.
2. Aliran Qadariah
Qadarīyah berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara artinya kemampuan
dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah satu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi Tuhan.
Aliran ini berpendapat tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala
perbuatannya. Dalam paham ini, perbuatan manusia merupakan ciptaan dan
pilihan manusia sendiri, bukan ciptaan atau pilihan Tuhan. Hal ini didasarkan
atas kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik dan
berbuat buruk.6 Dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa Qadariyah dipakai untuk satu paham yang memberikan penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Dalam hal ini Harun Nasution menengaskan bahwa nama
Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari

5
Ibid. h. 259-260.
6
Baso Hasyim, “Aplikasi Pemikiran Aliran Jabariah dan Qadariah Dalam Masyarakat
Islam Masa Kini”, Jurnal al-Asas, vol. II, no. 1, April 2019, h. 63.

7
pengertian bahwa manusia tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah
Inggrisnya paham ini dikenal dengan free will dan free act.7
a. Sejarah Aliran Qadariah
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya dalam Syahr al-Ujum,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak. Pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab al-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.8
Ditinjau dari segi politik, kehadiran mazhab Qadariyah sebagai
isyarat menentang politik Bani Umayyah. Karena itu, kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman
Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi
hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Mu’tazilah.
b. Pemikiran Teologi
Dalam kitab al-Milāl wa al-Nihāl, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan doktrindoktrin Muʻtazilah, sehingga
perbedaan antara kedua paham ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan
Muʻtazilah sebab paham ini juga menjadikan salah satu dokrtin Muʻtazilah.
Akibatnya sering kali orang menamakan Qadariyah dengan Muʻtazilah
karena kedua aliran ini sama-sama untuk mewujudkan tindakan tanpa campur
tangan Tuhan.9

7
Muliati, “Paham Qadariah dan Jabariah”, Istiqra, vol. 3, no. 2, Maret 2016, h. 255.
8
Edy Sumanto, “Akal, Wahyu, dan Kasb Manusia Menurut Jabariah dan Qadariah”,
Manthiq, vol. 1, no. 1, Mei 2016, h. 82.
9
Muliati, “Paham Qadariah dan Jabariah”, Istiqra, vol. 3, no. 2, Maret 2013, h. 256.

8
Harun Nasution menjelaskan pendapat Gailan ad-Dimasyqi, manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatanperbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Ia berbuat baik atau berbuat buruk atas kehendaknya sendiri. Dari beberapa
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan
atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik atau berbuat jahat. Oleh sebab
itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan
berhak masuk surga kelak di akhirat, juga berhak memperoleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya dan diberi ganjaran siksaan dengan balasan
neraka kelak di akhirat. Allah swt., memberikan kebebasan kepada manusia
untuk berbuat, dan tidak akan tergesa-gesa menjatuhkan hukuman kepada
orang yang menyimpan di jalan-Nya, dan memberikan kesempatan kepada
manusia untuk bertaubat, siapa saja yang tidak bertaubat di berikan balasan
sesuai dengan perbuatannya dan dia akan di masukkan ke dalam neraka dan
siapa saja yang bertaubat akan di berikan balasan sesuai dengan
perbuatannya dan dia akan dimasukkan kedalam surga.10 Dinilah letak
keadilan Allah swt., yang memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan kadar perbuatannya. Firman Allah swt., dalam Q.S. Ar-Ra’du 13: 11,
Terjemah: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan.
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut di atas berbicara tentang
perubahan nikmat, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut
ayat tersebut di atas: Pertama, ayat tersebut berbicara tentang perubahan
sosial, bukan perindividu. Ini dipahami dari penggunaan kata qaum atau

10
Muliati, “Paham Qadariah dan Jabariah”, ..., h. 259

9
masyarakat.11 Dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial tidak dapat
dilakukan oleh seorang manusia saja. Hanya boleh saja perubahan dimulai
dari seseorang, ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya,
diterima dalam masyarakat. Bermula dari pribadi dan berakhir pada
masyarakat. Kedua, penggunaan kata “qaum”, juga menunjukkan bahwa
hukum ke masyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau
suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di manapun
berada. Selanjutnya karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini
berarti sunnatullah yang dibicarakan berkaitan dengan duniawi. Ketiga, ayat
tersebut juga berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku yang pertama
adalah Allah swt., yang mengubah nikmat yang dianugrahkan-Nya kepada
suatu masyarakat, sedang pelaku yang kedua adalah manusia, dalam hal ini
masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam
istilah ma bi anfusihim apa yang terdapat dalam diri mereka. Keempat, ayat
tersebut juga menerangkan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah swt.,
haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat
menyangkut sisi dalam mereka, tanpa perubahan ini mustahil ada perubahan
sosial.
Dapat di tegaskan bahwa dalam pandangan al-Qur’an yang paling
pokok untuk keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam
manusia. Dari penjelasan ayat di atas berbicara tentang perubahan sosial
bukan perubahan individu, namun hal ini bisa saja terjadi kalau dimulai dari
perubahan individu ketika ia menyampaikan ide-idenya dan dapat diterima
oleh masyarakat. Hukum kemasyarakatan berlaku secara umum bagi manusia
dan berlaku di dunia, dan pelaku perubahan ada dua pelaku yang pertama
adalah Allah swt., yang mengubah nikmat yang dianugrahkan-Nya kepada
suatu masyarakat, sedang pelaku yang kedua adalah manusia. Dapat di

11
Muliati, “Paham Qadariah dan Jabariah”, Istiqra, vol. 3, no. 2, Maret 2016, h. 258.

10
tegaskan bahwa dalam pandangan al-Qur’an yang paling pokok untuk
keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam diri manusia.
3. Aliran Asy’ari
Sekitar abad ke-tiga dan ke-empat Hijriah lahirlah golongan
Asy’ariyah yang merupakan para pengikut Abu Hasan Ali ibn Ismail al-
Asy’ari. Abu Hasan al-Asy’ari adalah salah satu pemuka mutakallimin,
pendiri ilmu kalam sunni dalam Islam. Mazhabnya menyebar luas di dunia
Islam, karena dia banyak mendapat dukungan dari para ulama besar lainnya,
seperti al-Ghazali, al-Baqillani, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan Ibnu Tomart.
Mazhab ilmu kalamnya menjadi mazhab unggulan pada madrasah-madrasah
Ahlussunnah.12
a. Sejarah Aliran Asy’ari
Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari dipicunya oleh
situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah
muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak
rasional. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan
tradisional Islam terutama golongan Hanbali.
Pada tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima
doktrin Mu’tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua
khalifah setelahnya. Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya
Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang-orang yang tidak
memahami defenisi dogmatis Mu’tazilah yang cerdas atau menolak
menerima mereka, dan kadang-kadang sebagian besar dianggap kafir.13 Pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu’tazilah terhadap para
fuqaha dan muhaddisin semakin gencar. Tak seorang pun pakar fiqih yang
populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran mereka. Serangan
dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa

12
Abdussamad, “Teologi Asy’ariah”, Jurnal Mimbar Akademika, vol. 3, no. 2, 2018, h. 58.
13
Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif. (Cet. I; Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 100.

11
dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi). Banyak tokoh dan ulama yang
menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari
penyiksaan fisik, pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman mati.
Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap
Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang
dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah)
terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa. Isu sentral yang menjadi
topik mihnah waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai mahluk bukan
kalamullah yang qadîm”.
Keadaan berbalik setelah Al-Mutawakkil naik menduduki tahta
kekhalifahan. Setelah kurun pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim
dan al-Wasiq dari Dinasti Abbasiyah (813 M-847 M), paham Mu’tazilah
mencapai puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil membantalkan pemakaian
aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara di tahun 848 M. Dengan demikian
selesailah riwayat mihnah yang ditimbulkan kaum Mu’tazilah dan karenanya
mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.14 Beliau sebagai
khalifah menjauhkan pengaruh Mu’tazilah dari pemerintahan. Sebaliknya dia
mendekati lawan-lawan mereka, dan membebaskan para ulama yang
dipenjarakan oleh khalifah terdahulu. Pada akhir abad ke-3 Hijriah muncul
dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu
Mansur al-Maturidi di Samarkand. Keduanya bersatu dalam melakukan
bantahan terhadap Mu’tazilah, kendatipun diantara mereka terdapat pula
perbedaan.
b. Pemikiran Teologi
1) Zat dan sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Allah Merupakan masalah yang banyak
dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua

14
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet.V;
Jakarta: UI Press, 1986), h. 64.

12
teori yaitu: teori isbat al-sifat dan naïf alsifat. Teori pertama mengajarkan
bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti, mendengar, melihat dan berbicara.
Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy’ariyah. Sementara teori kedua
mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut
oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah. Paham kaum Asy’ariyah
berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah berpendapat
bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm, alqudrat, al-sama’ al-
basar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf
wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang
diciptakan demikian teratur, alam tidak akan ada kecuali diciptakan oleh
Allah yang memiliki ilmu. Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman
Allah dalam QS. al-Nisa 4: 166. Menurut al-Asy’ari ayat tersebut
menunjukkan bahwa Allah mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu,
mustahil ilmu Allah itu zat-Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya,
maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Dan mustahil al-‘ilm
(pengetahuan) merupaka ‘Alim (Yang Mengetahui), atau al’Alim (Yang
Mengetahui) merupakan al-‘ilm (pengetahuan) atau zat Allah diartikan
sebagai sifat-sifatnya. Oleh karena mustahil Allah mengetahui dengan zat-
Nya sendiri, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Allah
sendiri adalah pengeathuan. Allah bukan pengetehuan (‘ilm) tetapi yang
Mengetahui (‘Alim). Dengan demikian menurut al-Asy’ari, Allah
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya.
2) Kebebasan dalam berkehendak
Pada dasarnya al-Asy'ari, menggambarkan manusia sebagai seorang
yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan
dengan kekuasaan absolut mutlak.15 Karena manusia dipandang lemah, maka

15
Supriadin, “Al-Asy’ariah (Sejarah Abu Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-Doktrin
Teologinya)”, Sulesana, vol. 9, no. 2, 2014, h. 68.

13
paham alAsy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme)
dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya banyak
tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan
hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-
Asy’ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan).
3) Tentang Iman
Dalam Al-Ibanah ’An Usul Al-Diyahah, Al-Asy’ary mengatakan
bahwa iman itu menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa
bertambah dan berkurang. Memperhatikan pandangan ini maka Al-Asy’ari
sebenarnya mengakui bahwa amal itu penting bagi pembinaan kualitas iman
seseorang, dan iman itu akan mencapai kesempurnaannya bila didukung oleh
amal shalih. Akan tetapi ketika Al-Asy’ary dihadapkan pada persoalan
pendosa besar, seperti para pelaku zina, pencuri dan peminum arak, maka Ia
berpendapat bahwa inereka itu tetap tidak dapat dikatakan kafir, selama
masih berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan perbuatan
yang diharamkan. Dari pendapat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa iman, bagi Al-Asy’ary merupakan perbuatan hati, jadi selama dalam
diri seseorang masih terdapat kepercayaan (tasdiq bi Al-Qalb), maka masih
dapat disebut sebagai mu’min (beriman), walaupun perbuatannya tidak sesuai
dengan keimanannya. Hanya saja yang tersebut terakhir ini, menurut Asy’ary
disebut fasiq karena perbuatannya bertentangan dengan keimanannya. Bagi
Al-Asy’ary, predikat mukmin fasiq itu bisa dikumpulkan dalam diri
seseorang. Hal ini berbeda dengan konsep Mu’tazilah ”almanzilu baina al-
manzilataini”.16
Jadi, iman dalam perspektif Al-Asy’ari adalah pasif. Hal ini terjadi
karena Asy’ary mengikuti alur pemikiran sunni, di mana konsep
keimanannya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah perkembangan

16
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, Fikrah, vol. 1, no. 2, Juli-Desember 2013, h. 217.

14
pemikiran teologi sunni. Seperti diketahui bersama, bahwa pemikiran teologi
muncul akibat pergumulan politik internal umat Islam, yang mendorong
terjadinya perdebatan tentang kriteria “mu’min kafir”. Adalah firqoh al-
waqifiyah (bagian dari Khawarij) yang pertama kali mempertanyakan apa
hak kita mengurusi seseorang sampai sejauh menilai apakah seorang itu
mu’mn atau kafir? Menurut golongan ini kita harus berhenti pada segi-segi
lahiriyah saja, selebihnya kita serahkan kepada Allah. Paham ini kemudian
diadopsi oleh golongan Murji’ah, di mana akhirnya menjadi unsur jama’ah.
Teologi Al-Asy’ari timbul sebagai refleksi situasi sosial dan kultur
masyarakat, yang mayoritas menganut faham “Jama’ah” atau dalam istilah
yang baku disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah. 17
4) Akal dan Wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu. Namun mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal
dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah
mengutamakan akal. Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui
lewat akal tanpa membutuhkan wahyu. Sementara dalam pandangan al-
Asya’ariyah semua kewajiban agama manusia hanya dapat diketahui melalui
informasi wahyu.
Akal menurut al-Asya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu
menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah
ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan
yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan

17
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, ..., h. 218.

15
wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi
yang berbuat ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan
ketaatan. Dalil yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi
argumen ini, antara lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra’/17: 15.
Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi
Asy’ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua
kewajiab manusia. Oleh karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan
semua itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban
keagamaan manusia itu diketahui.18
5) Kebaikan dan Keburukan
Menurut al-Asy`ari (w. 324/935) yang disebut kebaikan adalah
seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah
swt. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga
segala sesuatu yang tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah swt.
Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh
Allah swt. Dengan demikian, kebaikan dan keburukan sangat ditentukan oleh
ada atau tidak adanya pemberitahuan oleh Allah, bukan ditentukan oleh
kemampuan manusia itu sendiri karena manusia sangat dipengaruhi dan
diliputi dengan hawa nafsu. Wilayah kebaikan jika dibandingkan dengan
wilayah keburukan ternyata jauh lebih luas wilayah kebaikan. Pandangan ini
didasarkan kepada Q.S. al-Hasyr (59): 7 yang menyatakan wa mā ātākum al-
rasūl fakhudzuhu wa ma nahakum `anhu fantahu (apa yang diberikan kepada
Rasul hendaklah diambil oleh manusia dan apa yang dilarangnya hendaklah
manusia meninggalkannya). Berdasarkan ini, maka kebaikan dan keburukan
yang menjadi standard dalam praktik politik umat Islam seharusnya adalah
apa yang telah digariskan oleh Allah.19

18
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, ..., h. 219
19
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, ..., h. 220

16
6) Qadimnya Kalam Allah
Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah memiliki
pandangan tersendiri. Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah
dan karenanya tidak qadim. Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah
(al-Qur’an) ini dibedakannya menjadi dua: Kalam Nafsi yakni firman Allah
yang bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada pada Zat (Diri) Tuhan, Ia
bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang,
waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini
bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang
dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-
Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat
hadist (baru) dan termasuk makhluk.
Sebagai reaksi atas pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa
kalam Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru dan diciptakan Allah,
maka alAsy’ari berpendapat bahwa kalam Allah tidaklah diciptakan, sebab
kalau diciptakan, maka bertentangan dengan firman Allah QS. Al-
Nahl/16:40. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami
bahwa kalam Allah, menurut aliran Asy’ariyah adalah sifat, dan sebagai sifat
Allah, maka mestilah ia kekal. Namun, untuk mengatasi persoalan bahwa
yang tersusun tidak boleh bersifat kekal atau qadim, seperti yang
dikemukakan Mu’tazilah, al-Asy’ariyah memberikan dua defiisi yang
berbeda. Kalam yang tersusun disebut sebagai firman dalam arti kiasan
(kalam lafdzi). Sedangkan kalam yang sesungguhnya adalah apa yang
terletak di balik yang tersusun tersebut (kalam nafsi).20

20
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, ..., h. 225

17
7) Melihat Allah
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah dalam QS. al-
Qiyamah 75: 22 dan 23: dapat dilihat sesuai kehendaknya. Firman Allah
dalam QS. Al-Qiyamah 75: 22 dan 23. Argumen logika yang dikemukakan
ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihatNya pada hari kiamat dengan mata
kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat
dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang
tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat
seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman,
dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya.
Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian
gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat
dapat dilihat.21
4. Aliran Maturidi
Aliran ini namanya di ambil dari nama pendirinya yaitu Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, ia lahir di Samarkand
pada pertengahan abad 9 Masehi dan meninggal pada 944 M. Tidak banyak
diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan
paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu
Mansur termasuk dalam golongan teologi ahlu as-sunnah dan dikenal dengan
nama al-Maturidiyah. Sumber Usul ad-Din mereka adalah rasio dan
mengambil teks (Al Qur’an dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu.
Aliran al-Maturidiyah didirikan dalam rangka mengkounter golongan yang

21
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, ..., h. 225

18
lain (seperti Mu’tazillah dan Ash’ariah), akan tetapi tidak disebut al
Maturidiyah hingga setelah kematiannya.22
a. Sejarah Aliran Maturidi
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran al-
Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran aliran Mu’tazilah,
walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama
dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem
teologinya.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-ysr
Muhammad alBazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid al-
Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang
tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari
mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H), pengarang
buku al-‘Aqa‘idal-Nasafiah. Seperti al-Baqillani dan al-Juaeni, al- Bazdawi
tidak pula selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka al-
Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa
dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu
pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-
pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham-paham
yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, Golongan Bukhara mempunyai
pendapat-pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat alAsy’ari.23
Maturidi semasa hidupnya dengan Asy’ari, hanya dia hidup di
Samarkhand, sedang Asy’ari hidup di Basrah. Asy’ari adalah pengikut Syafi’i
dan Maturidi pengikut mazhab Hanaf. Karena itu kebanyakan pengikut
Asy’ari adalah orangorang Syafi’iyah, sedangkan pengikut Maturidi adalah
orang-orang Hanafiah. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara kedua orang

22
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1999), h. 54.
23
Abu Zar, “Pemikiran al-Maturidiyah”, Jurnal Adabiyah, vol. 14, no. 2, 2014, h. 151.

19
tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Syafi’i dan Abu Hanifah
sendiri. Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal
kepercayaan kepada pikiran-pikiran Abu Hanifah yang tercantum dalam
kitabnya al-Fikih al-Akbar dan al-Fikih al-Absat dan memberikan ulasan-
ulasannya terhadapkedua kitab tersebut. al-Maturidi meninggalkan karangan-
karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.24
b. Pemikiran Teologi
Imam Al-Maturidi banyak dipengaruhi oleh pola fikir Imam Abi
Hanifah, yang banyak memakai rasio dalam pendangan keagamaannya, maka
tak heran jika ia pun banyak menggunakan kakuatan akal dalam sistem
teologinya. Oleh karena itu, kendatipun ia sama-sama menentang faham
Mu’tazilah dengan Imam Al-Asy’ari ternyata banyak fahamnya yang
kontroversi dengan Asy’ari sendiri dan ketika itu ia justru sependapat dengan
Mu’tazilah. Demikian juga sebaliknya ketika ia sependapat dengan Asy’ari,
secara tidak langsung al-Maturidi pun bersikap konfrontatif dengan
Mu’tazilah. Khusus pertentangannya dengan Al-Asy’ari, Syekh Muhamnad
Abduh menjelaskan hal itu tak lebih dari sepuluh masalah saja.
Di antara pemikiran-pemikirannya dalam masalah teologi adalah:
1) Mengenai al-Qur’an.
Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari demikian juga dengan Abi
Hanifah bahwa Kalam Allah adalah qadim. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah Kalam Allah yang qadim, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru
dan tidak ada permulaannya.25 Adapun huruf-huruf muqaththa’ah bentuk-
bentuk, warna-warna, suara-suara dan segala sesuatu yang tertentu dan segala
sesuatu yang ada di alam dari al-Mukaffayat, adalah makhluk yang
berpermulaan dan diciptakan. Dan sesungguhnya Kalam Allah SWT adalah

24
Ibid. h. 152.
25
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, Fikrah, vol. 1, no. 2, Juli-Desember 2013, h. 220-228.

20
sifat yang ada dengan dzat Allah Ta’ala, yang tidak tersusun dari huruf-huruf
dan suara-suara. Dalam masalah ini ada sedikit perbedaan antara Imam Al-
Asy’ari dengan Al-Maturidi, Asy’ari sependapat dengan Ibn ’Azbah yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Kalam Allah adalah “isim musytarak”
yang dapat dibagi dua, yakni Kalam nafsi yang qadim, dan yang kedua adalah
kalam yang terdiri dari lafadz-lafadz dan huruf-huruf yang baru. Sementara
Al-Maturidi sependapat dengan Imam Abi Hanifah. Sebagaimana DR.
Qasim, mengatakan: “Al-Maturidi membagi menjadi dua pula, pertama
Kalam Nafsi, dalam artian “al-Qadim al-Qaim bi Dzatihi”, yaitu kalam yang
bukan sejenis perkataan manusia, kalam yang tidak berupa huruf-huruf dan
suara-suara, yang demikian ini adalah sifat dzat bagi-Nya. Kedua adalah
kalam yang tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara, maka tidak ragu lagi
kalam yang seperti ini adalah baru dan makhluk. Jadi bila kita lihat,
perbedaanya itu hanya sedikit sekali, yakni perbedaan formulasi dan
pengungkapan kalimat saja yang satu sependapat dengan Ibn Azbah dan yang
satunya lagi sependapat dengan Abi Hanifah.
2) Mengenai Sifat Allah SWT.
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan di antara Imam
Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sif at-sifat,
seperti adanya nash yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya
dengan sifat mendengar dan mellihat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan
mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi dengan pengetahuannya, tetapi
Dia tidak seperti pengetahuan (al-’Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan
dzat-Nya, tetapi dengan Kekuasaan-Nya, tetapi Dia tidak seperti kekuasaan
(al-Qudrah), Dia mendengar bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan
pendengaran-Nya, dan Dia tidak seperti pendengaran (al-Asma’), begitu pula
Dia melihat, tetapi bukan dengan dzat-Nya, Dia melihat dengan penglihatan-
Nya dan Dia tidak seperti penglihatan (al-Abshar).26

26
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari dan al-
Maturidi”, Fikrah, ..., h. 220-228

21
Dalam pemikiranya juga al-Maturidi memang tidak setuju dengan
paham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bersifat dalam arti
sifat yang berdiri di luar zat-Nya. Al-Maturidi mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat. Tuhan menurut al-Maturidi, mengetahui dengan
pengetahuan-Nya. Namun sehubungan dengan masalah tajassum, al-Maturidi
tidak mempercayai adanya “anggota tubuh” pada Tuhan. Dalam al-Qur’an
memang terdapat katakata seperti: wajh Allah (wajah Allah), yad Allah
(tangan Allah), ain Allah (mata Allah). Menurut al-Maturidi, kata-kata itu
bermakna kekuasaan Allah karena Allah tidak mungkin mempunyai badan
meskipun dalam arti yang tidak sama dengan makhluk. Badan itu tersusun
dari substansi dan accident (jauhar dan ‘ard). Manusia berhajat pada anggota
badan karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah; adapun Tuhan
tanpa anggota badan, Ia tetap Maha Kuasa.27
Mengenai sifat-sifat Tuhan ini pula, ada sedikit perbedaan redaksi
antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, demikian juga dengan Abu Hanifah.
Perbedaannya dengan Imam AlAsy’ari, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
Tuhan memiliki sifat-sifat azali yang ada pada dzat-Nya, sifat itu bukan dzat,
tetapi juga bukan lain dari dzat. Sedangkan perbedaan antara Al-Maturidi
dengan Abi Hanifah adalah Ia tidak berusaha membagi sifat itu menjadi sifat
dzat dan sifat af’al (wa Al-Maturidi la Yufarriqu baina sifat al-dzat wa sif al
Af’al). Sementara Imam Abi Hanifah membaginya menjadi dua bagian, yakni
sifat dzat dan sifat af’al. Yang termasuk sifat dzat adalah al-Hayat, al-Qudrat,
al-‘Ilm, al-Kalam, al-Sama’, al-Bashar, al-Iradat. Sementara sifat af’al di
antaranya adalah al-Takhliq, al-Tarziq, alInsya’, dan al-Ibda’, yang berupa
sifat-sifat perbuatan Abu Hanifat juga mengatakan: Kanallahu aliman
bi’ilmihi wa al’ilmu sifat fi al-ajal, wa qadiran biqudratihi... wa al-qudrat sifat
fi al-ajal, wa mutakalliman bi kalamihi wa al-kalam sifat al-ajal, wa khliqan

27
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, Religia, vol. 13, no. 1, April
2010, h. 109.

22
bi takhlilqihi wa litakhliq sifat fi al-ajal, wa fa’ilan bi fi’lihi wa al-fi’lu sifat
fi al-ajal. Beliau juga mengatakan: Beliau adalah Allah, perbuatan adalah sifat
sejak zaman ajali, yang dilakukan adalah makhluk dan perbuatan Allah bukan
makhluk dan sifat-Nya di zaman azali tidak baru dan bukan makhluk, maka
barangsiapa mengatakan bahwa sifat-sifat itu makhluk atau baru atau
meragukan keberadaannya, maka berarti ia sudah inkar dengan Allah SWT.28
Dalam masalah sifat Allah ini, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya antara Imam Al-Maturidi, al-Asy’ari dan Abi Hanifah sepakat
mengakui adanya sifat bagi Allah. Namun, dengan kapasitas dan latar
belakang pendidikannya mereka berusaha menjelaskannya untuk
meyakinkan manusia dengan formulasi kalimat masing-masing, terutama hal
ini terjadi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Sementara pendahulunya,
yakni Abi Hanifah menjelaskan secara lebih detail, sehingga melahirkan
adanya sifat dzat dan sifat af’al. Namun satu hal saja yang disayangkan, di
mana Abu Hanifah mengkultuskan kafir terhadap orang yang tidak sejalan
dengan pendapatnya tersebut, yang justru hal ini bisa menjerumuskannya
pada jurang subyektifitas yang lebih dalam. Masalah Iman dan Islam. Syaikh
Zadah menjelaskan; ”Telah terjadi perbedaan pendapat antara Imam-Al-
Maturidi dengan Al-Asy’ari dalam masalah hakikat iman, apakah ia wajib
dengan akal atau tidak, apakah ia bertambah atau tidak? Demikian juga
terjadi, perbedaan pendapat maksud al-Iman dan al-Islam, iman taqlid
bagaimana pengecualian dalam masalah iman dan apakah iman itu makhluk
atau bukan? Ibn ’Idzbah menjelaskan adanya perbedaan pendapat antara
keduanya dalam masalah ”Istitsna fi al-Iman” dan “Iman taqlid”. Syaikh
Zadah menjelaskan sesungguhnya al-Iman menurut Al-Maturidi adalah ”al-
Iqrar wa al-Tashdiq”, yakni ikrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati.
Sementara orangorang Al-Asy’ariah mensyaratkan iman dengan membaca
dua kalimah syahadat sebagai bukti adanya pembenaran. Argumentasi Al-

28
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 111.

23
Maturidi sesungguhnya iman secara bahasa adalah pembenaran (al-Tashdiq),
sementara tashdiq kadang dengan hati, kadang dengan lisan.
Sementara orangorang Asy’ariah berpandangan sesungguhnya tempat
pembenaran (al-Tashdiq) adalah hati, sementara tempat ikrar adalah lisan
dengan membaca dua kalimah syahadat. Jadi, keduanya merupakan rukun
iman. Mereka ini pada dasarnya mengembalikan argumentasinya kepada QS.
Al-Mujadalah ayat 22, sebagai dalil bahwa iman adalah pembenaran dengan
hati saja. Syaikh Zadah mengatakan, sesungguhnya pembenaran (al-Tashdiq)
menurut Al-Asy’ari adalah “Kalam linafs masyruth bi al-Ma’rifah”, atau
dengan kata-kata A-Syahrastani, pembenaran (al-Tashdiq) menurut Al-
Asy’ari adalah Qaul fi nafsi, yatadhamman ma’rifatullahi.” Dengan
demikian, iman menurut Al-Asy’ari dapat bertambah dan dapat berkurang.
Sementara Al-Maturidi sependapat dengan Abi Hanifah, iman tidak
bertambah dan tidak berkurang. Abu Hanifah, mengatakan: “Tidaklah
tergambarkan bertambahnya iman, kecuali dengan berkurangnya kekufuran.
Demikian juga tidak dapat tergembarkan berkurangnya iman kecuali dengan
bertambahnya kekufuran”. Lalu bagaimana keberadaan akal dalam masalah
iman ini, apakah wajib dengan akal atau dengan syari’at? Bagi Al-Maturidi,
iman wajib dengan akal. Ia berpendapat: ”Sekiranya Allah SWT tidak
mengutus seorang rasul kepada manusia, maka wajib atas mereka mengetahui
adanya Allah dengan melalui akalnya, baik yang berhubungan dengan sifat
al-Hayat, al-’Ilm al-Qudrat, dan lain sebagainya. Sementara orang-orang Al-
Isy’ariah berpendapat: ”Tidak wajib iman dan tidak haram kufur sebelum
adanya utusan, maka menjadi ’udzur bagi generasi yang sudah jauh dan
belum sampai dakwah kepadanya.29
3) Masalah Melihat Allah SWT.
Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan golongan Al-
Asy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat oleh manusia. Ia berusaha

29
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 113.

24
mengajukan silogisme sebagai berikut: tidak dapat dilihat adalah yang tidak
berwujud, setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan berwujud
maka Tuhan pasti dapat dilihat. Silogisme tersebut secara tidak langsung
menunjukkan adanya kontroversi dengan pendapat golongan Mu’tazilah
yang mengatakan; ”Innallaha Ta’ala la yura bi al-hal min al-ahwal”.
Demikian juga berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh golongan
Musyabbihah, yang mengatakan; ”Innallah yura mukayyafan mahdudan al-
marayat”. Lalu bagaimana Tuhan, dapat dilihat ? Dalam hal ini, Imam Al-
Maturidi mengatakan: ”Dia (Tuhan) dapat dilihat bukan dalam dimensi suatu
keadaan (al-hulul), batasbatas (al-hudud) atau dalam dimensi bentuk.
Sebagaimana kita melihat, Dia bukan sesuatu yang dibatasi dan tidak
dibentuk, maka demikianlah, kita melihat-Nya, bahwa Dia tidak dibatasi dan
tidak dibentuk. Tetapi yang jelas, bagi Al-Maturidi melihat Allah adalah
sesuatu yang mesti ada (terjadi) tanpa adanya penawaran atau interpretasi,
yaitu tanpa mempunyai bentuk. Sementara al-kaifiyah adalah sesuatu yang
memiliki bentuk, akan tetapi Dia dapat dilihat dengan tanpa sifat; berdiri dan
duduk, bertelekkan dan bergantung, berhubungan dan tidak berhubungan,
berhadap-hadapan dan membelakangi, pendek dan panjang, terang dan gelap,
diam dan bergerak, bersentuhan dan bertolakan, di luar dan di dalam, dan
tidak ada angan-angan yang mampu mengambil maknanya. Akal juga tidak
akan mampu, karena ke Maha Agungan Allah SWT.30 Dan satu hal lagi,
orang-orang Mu’min hanya dapat melihat Allah di akhirat kelak. Namun
dalam hal ini ada sedikit perbedaan antara Maturidi dengan Asy’ari, bagi
Maturidi melihat Allah merupakan sesuatu yang terjadi tanpa adanya
interpretasi, yakni kita dituntut untuk beriman adanya Ru’yatullah, karena
ada adanya penjelasan dari al-Qur’an dari al-Sunnah, sementara akal tidak
akan sanggup (tidak usah mencari) alasan ditetapkannya ”Ru’yatullah”.

30
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 117

25
Adapun dari Asy’ari, ia berpendapat mungkin saja akal mampu membuat
argumentasi mengenai ”Ru’yatullah”.31
4) Masalah Dosa Besar.
Dalam masalah ini, golongan Khawarij berpendapat, bahwa orang
yang melakukan dosa besar dihukum kafir atau musyrik. Berbeda dengan
golongan Murji’ah, mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
besar tetap dihukumi sebagai seorang Mu’min. Adapun soal dosanya yang
mereka buat, ditunda penyelesaiannya sampai kelak di hari akhirat
(perhitungan). Sementara bagi Mu’tazilah orang-orang yang demikian itu,
tidak dihukumi sebagai seorang kafir, juga bukan seorang Mu’min, akan
tetapi fasik yang menduduki posisi di antara dua tempat (posisi), atau sering
dikenal “al-Manzilah baina al- Manzilatain.”. Sementara Al-Maturidi tidak
sefaham dengan yang pertama (Khawarij), maupun yang terakhir
(Mu’tazilah). Dalam hal ini kelihatannya ia lebih cenderung kepada pendapat
yang kedua (Murji’ah), demikian juga dengan maha gurunya, Abu Hanifah.
Bagi Maturidi orang yang berdosa besar (seperti zina dan membunuh) tetap
dikatakan sebagai seorang Mu’min. Adapun bagaimana nasibnya kelak di
akhirat, terserah kepada Tuhan. Hematnya dalam berpendapat demikian,
sebab baginya iman dan Islam adalah sama. Kalau keberadaan iman yang ”La
yazid wala” maka Islam pun tentu tidak jauh dari itu. Pendapat Al-Maturidi
di atas sejalan dengan guru utamanya, Abu Hanifah yang mengatakan bahwa
seorang Muslim tidak bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa, kendatipun itu
adalah dosa besar.32
5) Masalah Baik dan Buruk.
Syaikh Zadah menjelaskan; Sesungguhnya telah terjadi perbedaan
pendapat antara golongan Al-Asy’ariah dengan golongan Al-Maturidiah
ketika membahas masalah baik dan buruk. Dalam hal ini Maturidiah lebih

31
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 115.
32
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 118.

26
dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya akal mampu
mengidentifikasi sesuatu yang baik dan buruk. Sementara Al-Asy’ariah
berpendapat lain, mereka memandang bahwasanya akal tidak mampu mampu
mengetahui baiknya sesuatu dari sesuatu, demikian juga akal tidak mampu
mengetahui jeleknya sesuatu dari sesuatu. Dan sesungguhnya jalan ke arah
sana hanya dapat diketahui dengan melalui Syar’i. Maka dengan demikian,
sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dipesan oleh Syar’i, dan akan
mendapat pahala bari yang melaksanakannya. Dan kejelekan adalah sesuatu
yang dijelaskan oleh Syar’i dan akan mandapat dosa bagi siapa saja yang
melakukannya.33
B. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Aliran Jabariah, Qadariah, dan
Asy’ariah
Dalam Islam terdapat beberapa pandangan mengenai pendidikan
Islam, dalam hal ini pandangan Qadariyah yang memandang segala perbuatan
yang dilakukan manusia merupakan hasil usahanya sendiri tanpa adanya
intervensi dari Allah. Sedangkan pandangan Jabariyah yang memandang
bahwa manusia tunduk pada kehendak Tuhan semata, begitupun dengan
Asy‘ariyah yang memandang bahwa Tuhan pencipta semua perkara manusia
berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Semua perbuatan yang timbul dari
manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti manusia
sebenarnya merupakan tempat bagi perbuatan-perbuatan Tuhan.34
Nah dengan demikian inilah beberapa pendidikan Islam dalam
perspektif ilmu kalam, sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam dalam pandangan Jabariah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Jabariyah adalah paham yang
menganggap bahwa segala perbuatan manusia tunduk pada kehendak Tuhan

33
Amat Zuhri, “Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand”, ..., h. 122.
34
M. Yunus Samad, “Pendidikan Islam dalam Perspektif Ilmu Kalam: Qadariah, Jabariah,
dan Asy’ariah”, Lentera Pendidikan, vol. 16, no. 1, Juni 2013, h. 74-75.

27
semata. Dengan demikian jika dikaitkan dengan pendidikan Islam maka
pendidikan sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk
mempengaruhi anak. Pendidikan hanya dapat memberi polesan luar dari
tingkah laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari kepribadian anak
didik tidak dapat ditentukan, sehingga akan melahirkan sikap pesimisme
karena tidak adanya kepercayaan akan nilai-nilai dari pendidikan sehingga
anak itu diterima apa adanya. Di samping itu, dalam Islam juga dikenal
dengan teori fitrah yang salah satunya dapat diartikan sebagai potensi dasar
dimiliki oleh manusia. Bila diinterpretasikan lebih lanjut dari istilah fitrah
dapat mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham
nativisme. Oleh karena itu, fitrah mengandung makna “kejadian” yang di
dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus, yaitu Islam.
Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh apa pun karena fitrah itu merupakan
ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan, baik isi maupun
bentuknya dalam tiap pribadi manusia.35
2. Pendidikan Islam dalam pandangan Qadariah
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Qadariyah adalah paham yang
lebih condong kepada penggunaan akal pikiran yang sangat dominan,
sehingga menganggap bahwa perbuatan yang dihasilkan manusia itu atas
dasar kehendaknya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sejalan
dengan hal tersebut mengenai pendidikan Islam, seorang tokoh filosof
muslim bernama Ibnu Sina mengatakan bahwa seorang anak telah
mempunyai kemampuan-kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan
kemampuan tersebut tidak cukup untuk mendidik seseorang, harus ada
faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya. Ini berarti bahwa manusia
diberikan kebebasan dengan menggunakan akal pikirannya dalam
menentukan jalan hidupnya.

35
M. Yunus Samad, “Pendidikan Islam dalam Perspektif Ilmu Kalam: Qadariah,
Jabariah, dan Asy’ariah”, ..., h. 77

28
Jadi, paham Qadariyah memberikan peran yang sangat besar kepada
manusia dalam memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan
perbuatannnya. Kebebasan yang dimaksud bukan berarti kebebasan tak
terbatas, melainkan kebebasan dalam determinisme. Di sinilah peran
pendidikan Islam dalam mengajarkan berbagai hal agar menjadi suatu
kebiasaan yang tentunya dalam hal ini faktor lingkungan sosial dapat
memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia dalam
memilih atau memperbuat sesuatu. Faktor lingkungan pendidikan Islam
berfungsi menunjang terjadinya kegiatan proses pembelajaran secara aman,
tertib, dan berkelanjutan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah
lingkungan masyarakat.36
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah swt. yang keberadaan
hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari
lingkungan masyarakatnya tidak hanya yang menyangkut bidang material
melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman,
keterampilan dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia membutuhkan
adanya lingkungan sosial masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah
masyarakat yang terbuka dan dapat menerima yang baik dari manapun
datangnya, tanpa terlepas dari ruh Ilahiyah. Masyarakat muslim juga adalah
masyarakat yang kuat fisik dan mentalnya. Dengan demikian, pendidikan
Islam sangat membuka peluang kepada manusia agar senantiasa berusaha
mananamkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupannya dengan mengerahkan
seluruh kemampuan akalnya dan pemahamannya terhadap wahyu (ruh
ilahiyah), karena dua hal tersebut selalu berdampingan satu sama lain dan
saling melengkapi.

36
M. Yunus Samad, “Pendidikan Islam dalam Perspektif Ilmu Kalam: Qadariah,
Jabariah, dan Asy’ariah”, ..., h. 76

29
3. Pendidikan Islam dalam pandangan Asy’ariah
Asy‘ariyah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu diatas bahwa ia
merupakan paham sebagai lanjutan dari Jabariyah, hanya saja ia mengambil
jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis. Tidak
menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan argumentasi pikiran yang
tugasnya tidak lebih dari memperkuat nashnash al-Quran dan al-Hadis. Jika
dikaitkan dengan pandangannya mengenai pendidikan Islam maka manusia
sesuai dengan teori kasbnya bahwa manusia dapat berkehendak untuk
melaksanakan proses pendidikan Islam, adapun mengenai berhasil atau
tidaknya proses tersebut maka Tuhanlah yang berkuasa menentukannya,
sebab manusia hanya dapat berkehendak akan tetapi Tuhanlah yang
menciptakan kehendak yang ada pada diri manusia tersebut. Pandangan ini
dalam pendidikan Islam dikenal dengan aliran antara al-fitrah dengan al-
bi’ah.37
Masing-masing mempunyai peran aktif dalam memberikan pengaruh
terhadap proses pendidikan. Salah seorang tokoh Muslim, Imam al-Ghazali
memiliki pandangan yang memadukan antara fitrah dan al-bi’ah sebagaimana
yang dianut oleh paham Asy’ariyah. Dia berpendapat bahwa anak itu laksana
mutiara yang sangat berharga, murni dan bersih. Apabila anak menerima
ajaran dan kebiasaan yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika
anak itu dibiasakan dengan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan
kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu berakhlak buruk. Paham Asy’ariyah
memadukan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia sejak dilahirkan ke
dunia dengan faktor lingkungan pendidikan yang ditempatinya tumbuh dan
berkembang.

37
M. Yunus Samad, “Pendidikan Islam dalam Perspektif Ilmu Kalam: Qadariah,
Jabariah, dan Asy’ariah”, ..., h. 79

30
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Doktrin Jabariyah ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah
ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya. Doktrin Jabariyah moderat berpendapat bahwa manusia
punya andil dalam mewujudkan perbuatannya. Dalam pandangan Dhirar
satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku, yaitu Tuhan dan
manusia. Tuhan menciptakan perbuatan dan manusia memperolehnya.
Tuhan adalah pencipta hakiki dari perbuatan manusia, manusia turut
berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang
dimaksud dengan kasb atau acquisition.
2. Doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik atau berbuat jahat. Oleh sebab itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak masuk
surga kelak di akhirat, juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya dan diberi ganjaran siksaan dengan balasan neraka
kelak di akhirat.
3. Teologi al-Asy’ari selain menggunakan argument tekstual berupa teks-
teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli
hadits yang ia dukung, juga menggunakan argument rasional berupa
mantik atau logika Aristoteles. Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam
teologi ahli sunnah waljamaah’ tergolong unik, beliau mengambil yang
baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah, sehingga ia menggunakan
argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi akal secara
maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat
tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap

31
argument logika. Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan
kontemporari bersifat terbuka, realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan
akomodatif serta responsif) terhadap kemajuan sains dan teknologi, oleh
yang demikian menyebabkan aliran Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah tetap
eksis dan relevan untuk diterapkan dan dipertahankan dalam kehidupan
kontemporari.
4. Aliran Maturidiyyah merupakan aliran rasionalis yang mewakili Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Meski demikian, rasionalitas mereka tidak
menjadikan mereka berlebihan dalam menggunakan akal, sebab wahyu
dalam pandangan mereka mempunyai otoritas yang tidak kecil dalam
pemikiran-pemikiran teologis mereka. Rasionalitas tersebut menjadi lebih
variatif dengan adanya dua poros besar aliran Maturidiyyah Samarqand
yang mendekati rasionalitas Mu'tazilah dan Maturidiyyah Bukhara yang
lebih mendekati tradisionalitas Asy'ariyyah.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abdussamad. 2018. Teologi Asy’ariah. Jurnal Mimbar Akademika, 3 (2), 58.


Adnan, Muhammad. Menapaki dalam Sejarah Pemikiran dalam Teologi Islam.
Cendekia: Jurnal KeIslaman, 6 (1), 42-43.
Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarok. 1999. Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosda Karya).
Hasyim, Baso. 2019. Aplikasi Pemikiran Aliran Jabariah dan Qadariah Dalam
Masyarakat Islam Masa Kini. Jurnal al-Asas, 2 (1), 60.
Mufid, Fathul. 2013. Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam al-Asy’ari
dan al-Maturidi. Fikrah. 1 (2) , 218.
Muliati. 2016. Paham Qadariah dan Jabariah. Istiqra, 3 (2), 255.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
(Jakarta: UI Press).
Samad, M. Yunus. 2013. Pendidikan Islam dalam Perspektif Ilmu Kalam: Qadariah,
Jabariah, dan Asy’ariah. Lentera Pendidikan, 16 (1), 73-80.
Schimmel, Annemarie. 2003. Islam Interpretatif. (Depok: Inisiasi Press).
Sumanto, Edy. 2016. Akal, Wahyu, dan Kasb Manusia Menurut Jabariah dan
Qadariah. Manthiq, 1 (1), 82.
Supriadin. 2014. Al-Asy’ariah: Sejarah Abu Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-Doktrin
Teologinya. Sulesana, 9 (2), 68.
Susanti, Eri. 2018. Aliran-Aliran dalam Pemikiran Kalam. Jurnal ad-Dirasah:
Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu Keislaman, 1 (1), 30.
Zar, Abu. 2014. Pemikiran al-Maturidiyah. Jurnal Adabiyah, 14 (2), 151.
Zuhri, Amat. 2010. Kecendrungan Teologi Maturidi Samarkand. Religia, 13 (1), 109.

33

Anda mungkin juga menyukai