Anda di halaman 1dari 4

BRODETELLA

Terdapat beberapa jenis brodetella yaitu B.pertussis, B.parapertussis, dan


B.bronchiseptica yang saling bertalian erat dengan DNA homologi sebesar 72-94% dan
perbedaan sangat sedikit pada analisis enzim multilokus.
1. Bordetella pertusis

 Morfologi dan Identifikasi

A. Ciri khas organisme


Organisme ini berukuran kecil, kokobasilus gram-negatif yang mirip dengan H
influenza. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat dilihat adanya granul bipolar
metakromatik. Bakteri ini mempunyai kapsul. Pada B.pertussis ditemukan dua macam
toksin yaitu :

1. Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman.
2. Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik . toksin ini dibentuk dala
protoplasma dan dapat dilrpaskan dari sel dengan memecah sel tersebut , atau
dengan jalan ekstaksi memakai NaCl.
B. Biakan
Isolasi primer B pertussis memerlukan medium yang subur. Medium Brodet-Gengou
(agar kentang-darah-gliserol) yang mengandung penisilin G,0,5 µg/ml, dapat
digunakan; walaupun demikian, medium mengandung carkoal yang mirip dengan yang
digunakan untuk Legionella pneumophila lebih dipilih. Cawan diinkubasi pada pada
suhu 35-37 selama 3-7 hari pada lingkungan yang lembab (misalnya, tas plastik yang
disegel). Bakteri garam –negatif kecil yang sedikit dapat diidentifikasikan oleh
pewarnaan imunofluoresen. B pertussis tidak dapat bergerak.
C. Sifat pertumbuhan
Organisme ini sangat aerob dan membentuk asam tetapi tidak menghasilkan gas dari
glukosa dan laktosa. Organisme ini tidak memerlukan factor X dan V pada subkultur.
Hemolisis medium yang mengandung darah dikaitkan dengan virulensi B pertussis.
D. Variasi
Jika diisolasi dari pasien dan dibiakkan pada media yang subur, B pertussis sedang
dalam fase hemolitik dan fase virulen produksi-toksin pertussis. Terdapat dua
mekanisme yang dipakai B pertussis untuk merubah bentuk nonhemoilitik, avirulen
yang tidak memproduksi toksin. Modulasi fenotipik reversible terjadi jika B pertussis
ditumbuhkan pada kondisi lingkungan tertentu (misalanya, 28 lawan 37 ,
mengandungs MgSO4 dsb.). Variasi fase reversible terjadi setelah mutasi frekuensi
rendah pada lokus genetic yang mengontrol ekspresi factor virulensi . Terdapat
kemungkinan bahwa mekanisme ini berperan pada proses infeksi, tetapi hal ini belum
pernah dibuktikan secara klinis.

 Struktur Antigen, Patogenesis, & Patologi


B pertussis menghasilkan sejumlah factor yang terlibat dalam pathogenesis penyakit.
Satu lokus dalam kromosom B pertussis berfungsi sebagai regulator sentral gen virulen.
Lokus ini mempunyai dua gen virulen bordetella, bugA dan bugS. Produk lokus A dan S
mirip dengan lokus yang dikenal sebagai system regulator dua-komponen. bugS
bereaksi pada sinyal lingkungan sedangkan bugA adalah activator transkripsional gen
virulen. Hemaglutinin filamentosa memediasi adhesi ke sel epitel bersilia. Toksin
Pertusis menyebabkan terjadinya limfositosis, sensiusasi histamine, dan mendorong
sekresi insulin serta mempunyai aktivitas ribosilasi-ADP, dengan struktur A/B dan
mekanisme kerja yang mirip dengan toksin kolera.
Hemaglutinin filamentosa dan toksin pertussis adalah protein yang disekresikan dan
ditemukan diluar sel B.Pertussis. Sitotoksin trakeal menghambat sintesis DNA dalam
sel bersilia pada saluran napas atas. Pili mungkin berperan pada adhesi bakteri ke sel
epithelia saluran napas atas. Lipopolisakarida di dinding sel juga dapat berperan
penting dalam kerusakan sel epitel di saluran napas atas.
B.Pertussis bertahan hanya dalam waktu yang singkat diluar penjamu manusia. Tdak
terdapat vector . transmisi sebagian besar melalui jalan napas dari kasus-kasus
terdahulu dan mungkin melalui carrier. Organisme tersebut menempel dan
bermultiplikasi cepat pada epitel trakea dan bronkus serta mempengaruhi kerja silia.
Bakteri ini tidsak menginvasi darah. Bakteri ini mengeluarkan toksin dan substansi yang
mengiritasi permukaan sel , menyebabkan batuk dan limfositosis yang nyata .
Kemudian mungkin terjadi nekrosis di bagian epitelium dan infiltrasi polimorfonuklear,
dengan inflamasi peribronkial dan pneumonia interstitial . Kuman sekunder seperti
staphilokokus dah H.influenzae dapat meningkatkan terjadinya pneumonia bacterial.
Obstruksi bronkiolus yang lebih kecil dari mucus plak mengakibatkan atelektasi dan
menghambat oksigenasi darah. Hal ini dapat menngkatkan frekuensi kejang pada bayi
yang mengalami batuk whooping.

 Uji Laboratorium Diagnostik


A. SPESIMEN
Pencucian nasal dengan lauratan salin adalah spesimen yang dipilih. Usapan
nasofaring atau droplet yang dikeluarkan dari batuk ke dalam “cawan batuk” yang
dipegang di depan mulut pasien selama batuk paroksismal kadang-kadang digunakan
tetapi tidak sebagus pencucian nasal dengan larutan salin.
B. UJI ANTIBODI FLUORESEN (FA) LANGSUNG
Reagen FA dapat dapat digunakan memeriksa spesimen usapan nasofaring. Walaupun
demikian hasil positif-palsu dan negative palsu dapat terjadi; sensitivitasnya sekitar
50%. Uji FA paling berguna dalam mengidentifikasi B pertussis setelah biakan pada
media solid.
C. BIAKAN
Cairan hasil pencucian nasal dengan salin dibiakkan pada agar medium solid .
Antobiotik di dalam media cenderung untuk menghambat flora respirasi yang lain tetapi
memungkinkan pertumbuhan B pertussis. Organisme diidentifikasi dengan pewarnaan
imunofluoresen atau dengan aglutinasi slide menggunakan anti serum spesifik.
D. REAKSI RANTAI POLIMERASE
PCR adalah metode yang paling sensitif untuk mendiagnosis pertussis, primer untuk B
pertussis dan B parapertussis harus tercakup. Jika memungkinkan, uji PCR harus dapat
menggantikan biakan dan uji fluoresen antibodi langsung.
E.SEROLOGI
Uji serologi pada pasien mempunyai peran yang tidak begitu penting dalam membuat
diagnosis karena peningkatan aglutinasi atau presipitis antobodi tidak terjadi sampai
minggu ketiga perjalanan penyakit. Serum tunggal dalam titer antobodi yang tinggi
dapat berguna dalam mendiagnosis penyebab batuk lama, satu dari durasi beberapa
minggu.

2. Bordetella parapertussis
Organisme ini dapat menghasilkan penyakit yang sama dengan batuk whooping.
Infeksinya sering bersifat subklinis. Bordetella parapertussis tumbuh lebih cepat
daripada B pertussis yang khas dan membentuk koloni yang lebih besar. Organisme ini
juga tumbuh pada agar darah. Toksin B parapertussis mempunyai kemiripan dengan
gen toksin pertusis.

3. Bordetella bronchiseptica
Bordetella bronchiseptica adalah basilus gram-negatif kecil yang menempati saluran
nafas anjing. Dan dapat menyebabkan “batuk kennel” serta pneumonitis.
Organisme ini menyebabkan snuffles pada kelinci dan rinitis atrofi pada babi.
Organisme ini jarang menyebabkan infeksi kronis saluran nafas pada manusia. B
bronchiseptica tumbuh pada medium agar darah dan mempunyai toksin yang mirip
dengan gen toksin pertusis.
Ketiga spesies membentuk zona hemolisiis. Sifat-sifat ini dapat berubah tergantung
lingkungan dimana kuman ini dibiakan, yang diikuti perubahan-perubahan sifat
antigenic serta virulensinya.

Ref : Mikrobiologi kedokteran , Jawetz,melnick & Adelberg. Edisi 23. Hal 298-300

Anda mungkin juga menyukai