Anda di halaman 1dari 10

BAB VI

INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Tujuan ;

1. Peserta akan mampu memahami akan manusia dan kemanusiaan

2. Peserta memahami pola interaksi individu dalam masyarakat

3. Peserta mampu memahami eksistensi dan kedudukan individu dan masyarakat

V. INDIVIDU DAN MASYARAKAT (CAK NUR VERSION)

Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa
kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada
kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu
dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan
kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan
tertentu.

Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan
pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (43:32). Sebenarnya
perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil,
ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda
(5:48).

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun
hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari
beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39).
Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk
mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan
bakatnya.

Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan
dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan
adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu
cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu (12:53, 30:29).

Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan
pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan,
persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi
persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai
satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu
yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan
kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang
lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan.
Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia
terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup
dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat
yang bahagia (5:2).

119
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar
antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia
sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal
perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai
dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30).
Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran
yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).

Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya
dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-
royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya
persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10).

INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Oleh : Buana A. Sommeng

I. Pendahuluan

Dalam sejarah yang telah merentang panjang, telah lahir berbagai pemikiran yang mencoba
menguak hakikat manusia dari masa ke masa sebagai kenyataan mahluk paradoksal. Siapa manusia ?
tidak hanya menjadi sekelumit pergumulan refleksi lebih dari sekedar meyakinkan manusia sebagai
konstruk jiwa yang hidup di tengah bentangan kosmos, bahkan lebih jauh merupakan kontemplasi dari
basis kejiwaan manusia di tengah aksis lingkaran eksistensi serta ko-eksistensinya.

Secara maknawi upaya mendeskripsikan konteks diri manusia dengan berangkat dari defenisi
pra-ada hingga ke-ada-annya di muka bumi didasarkan pada gagasan menempatkan manusia pada
proporsi yang sesungguhnya dalam kerangka menegaskan tingkat kebutuhan aktualisasi serta ko-
aktualisasi diri manusia berdasarkan pada proposisi-proposisi teologis-metafisis. Oleh karena bila terjadi
kerancuan dan kekaburan-kekaburan pada titik tekan dalam menjelaskan hakikat siapa manusia, maka
pada sisi lain kita tidak hanya diperhadapkan dengan lingkaran mengerikan mengenai defenisi manusia
sebagai masalah atau defenisi masalah adalah manusia itu sendiri, tetapi lebih jauh akan memberi
pengaruh pada fakta kodrat manusia yang potensil melahirkan gejala yang sewaktu-waktu justru akan
berpulang atas jiwa sendiri sebagai akibat dari pergumulan dengan realitas sosial yang memiliki
kecenderungan membelit manusia dalam berbagai spektrum masalah yang dapat secara komulatif
membawa keadaan manusia menjadi teraleniasi (terasing) dari dirinya sendiri.

Sebutlah, berbagai diskursus menguak manusia dalam sederetan manusia yang membangun
konsepnya di atas asumsi bahwa tentang hakekat manusia itu sendiri hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarahnya. Apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah

120
suatu rangkaian “Antropological Constans” dan bukan suatu defenisi pra-ada tentang hakekat atau
kodrat manusia. (M. Sastrapreatedja : 1983) :

II. BERBAGAI TEORI KEMANUSIAAN

Serangkaian teori tentang manusia menurut pendekatan antropological constans dapat


disebutkan sebagai berikut, (Damardjati Supdjar: 1993) :

1. manusia adalah sekumpulan daging yang hanya butuh makan dan minum atau Homo
Economicus ;
2. Manusia adalah pekerja ulet yang terampil atau Homo Faber;
3. Manusia adalah mahluk yang memiliki akal pikiran atau Homo Sapien;
4. Manusia adalah mahluk sosial atau Homo Socius;
5. Manusia adalah mahluk individu dan bertuhan atau Homo Olivinans;
6. Manusia yang ada karena berpikir atau Human Being;

Sementara tesis manusia sebagai Homo Faber sebagai perangkum falsafi didasarkan pada
konsep manusia sebagai Homo Mechanicus (manusia ibarat mesin), Homo Erectus, Homo Ludens
yang mengacu pada kodrat kejasmanian manusia. Selanjutnya, tesis manusia sebagai Homo
Sapiens, Animal Rationale, Animal Symbolicum menitikberatkan konsepsinya pada susunan
kodrat kejiwaan terutama daya cipta. Ada juga yang menyebutkan manusia itu sebagai Homo
Recentis dan Homo Volens yang menitikberatkan konsepsinya pada aspek rasa dan karsa. Tesis-
tesis kejiwaan itu menyatu sebagai Homo Mensura, atau mahluk penilai. Homo Mensura dan Homo
Faber menyatu sebagai Homo Educandum. Akhirnya, masih terdapat beberapa konsep lainnya
yang tampak lebih dekat dengan sisi refleksi – religiositas manusia yaitu Homo Viator, dan Homo
Religioses berhubungan dengan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan dan pribadi mandiri.
Kesemua tesis tersebut menyatu sebagai Homo concors, yaitu mahluk yang siap untuk
transformasi diri dan adaptif.

Akan halnya dengan tesis yang mendekatkan manusia pada tingkat pengejawantahan kesadaran,
terdapat pula tesis yang mengemukakan adanya hubungan dialektis antara kesadaran manusia dengan
dunia hidup sosial kemasyarakatan. Peter L Berger mengemukakan bahwa masyarakat tidak
mempunyai bentuk lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktifitas dan
kesadaran manusia. Realitas sosial tak terpisah dari manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa
manusia adalah suatu produk masyarakat. Setiap biografi individu dilahirkan dan masih akan ada
sesudah individu mati. Lebih dari itu masyarakatlah dan sebagai hasil dari proses sosial, individu menjadi
sebuah pribadi. Ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas, dan ia melaksanakan berbagai
proyek yang menjadi bagian kehidupannya. Manusia tidak bisa eksis terpisah dari masyarakat. Kedirian
manusia itu esensinya melakukan eksternalisasi dan ini sesudah sejak permulaan. Fakta antropologhis
yang mendasar ini sangat berakar dalam lembaga biologis manusia. Homo sapien mendapatkan posisi
istimewa dalam dunia binatang. Keistimewaan ini tetap ada dalam hubungan manusia dengan dirinya
sendiri maupun dengan dunia. Tidak seperti binatang tingkat tinggi lainnya, yang dilahirkan dengan suatu
organisme yang pada pokoknya sudah lengkap. Manusia itu “belum selesai” saat dia dilahirkan.
Manusia harus membentuk dunianya sendiri. Karena itu, aktifitas membangun dunia manusia bukanlah
suatu fenomena yang non-biologis, tetapi merupakan konsekwensi langsung konstruksi biologis mereka. (
Peter L. Berger : 1991 ). Artinya, bahwa manusia itu adalah ditandai dengan sosialisasi.

121
III. HUJJAH TERHADAP KESALAHFAHAMAN PENDEKATAN MEMBANGUN TEORI.

Berbagai pemikiran di atas kelihatan secara akut berangkat dari analisa sosiologis yang
digunakan dalam membangun asumsi mengenai manusia. Dapatlah dipahami bahwa betapa teori-teori
yang ada terperangkap antropological Constans, sehingga sejarah kemanusiaan ditafsirkan menurut
hukum-hukum kekuatan sejarah yang secara dialektis-eksistensial membentuk visi kesadaran manusia
yang secara ekstrem dipandang sebagai eksistensi manusia yang sesungguhnya. Artinya, manusia
terlebih dahulu dipandang eksisten lalu selanjutnya membentuk esensinya melalui kontraksinya dengan
alam riil – obyektif.

Pendekatan Antopological Constans sebagai pemetaan gejala dan kecenderungan hidup


manusia dalam tingkat analisa sosiologis diakui memang tak sulit disepakati tetapi dalam batas deskripsi
fakta kodrat dari hidup sebagai manusia.

Dengan demikian dipandang tidak cukup untuk dijadikan rujukan dalam merumuskan defenisi
manusia dalam konteks hidup pra – ada sebelum lahir ke dunia dimana hidup dunia secara
sepintas lalu seolah hanya memungkinkan manusia itu melakukan meditasi dengan dunia obyektif
melalui fikir dan rasa semata-mata. Dalam kerangka pemahaman demikian lebih dari cukup memberi
indikasi adanya substansi yang memungkinkan menghidupkan dalam bentuk esensi sebelum potensi
kesadaran dunia itu bekerja secara efektif. Artinya, manusia itu terlebih dahulu terbangun oleh esensi
yang mendahului eksistensi secara riil. Bukan malah sebaliknya seperti yang dipahami oleh penganut
eksistensialisme yang memandang manusia eksisten (nyata) terlebih dahulu lalu membangun esensinya
melalui usaha tanpa henti hingga menemukan profesi atau kecenderungannya dalam hidup yang tidak
lagi memiliki konteks kemungkinan untuk berubah. Sesuai tidaknya kecenderungan itu menurut nilai
kemanusiaannya bukanlah menjadi indikator mengukur tingkat kualitas kemanusiaan. Bahkan justru
dipandang bernilai dan itulah yang manusiawi.

Secara keseluruhan memberi arti bahwa dalam tingkat atau batas analisa sosiologis dapat
disepakati, namun pada tingkat asumsi jelaslah harus ditolak. Menurut Islam sebagaimana yang
tersebut dalam surah 17:70, 95:4 menerangkan asumsi penciptaan manusia diciptakan dalam
bentuk terbaik, sempurna di mana diciptakan dari fitrahnya sendiri (30:30) dan tidak akan berbuat
menurut fitrah itu. Fitrahlah yang membuat manusia menjadi manusia sempurna (Murtadha
Muthahhari : 1986) dan menjadi dekat dengan hakikat dirinya sendiri.

IV. PENDEKATAN MEMAHAMI MANUSIA

Kegagalan bebarapa teori dalam menjelaskan manusia disebabkan oleh kenyataan penuh batas
di antara pikir dan rasa yang berada pada keadaan syarat keterbatasan (relatifitas). Sementara dorongan
menemukan jawaban siapa manusia merupakan problem hakiki dan naluriah, yang hanya dapat di jawab
menurut jawaban yang mutlak adanya yang tidak dapat didekati dengan potensi pikir dan rasa sekaligus
tidak mampu diserap melalui indera manusia yang karena kualitas keadaannya terbatas dari ruang dan
waktu.

Pendekatan kepada kebenaran mutlak hanya dapat dilakukan melalui pembacaan atas wahyu
yang turun dan memang diturunkan oleh kebenaran mutlak itu sendiri. Sedang upaya mengakurasi
pemahaman terhahdap wahyu hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan terlebih dahulu
menundukkan pikir dan rasa di hadapan wahyu. Ketundukan pikir dan rasa di hadapan wahyu disebut

122
ketundukan profetik atau ketundukan pada nilai yang mutlak mengatur dan mengendalikan keseluruhan
tatanan kosmik secara universal dari awal hingga akhir baik alam makro kesadaran manusia yang
terdapat dalam mikro kosmos badan atau raga maupun lama makro obyektif di luar mikro kosmos badan
atau raga manusia. Suatu kebenaran mutlak sebagaimana adanya, adanya merupakan obyektifitas yang
mengatasi obyektifitas empirik. Kebenaran yang transenden bukan imanen. Artinya, mengatasi seluruh
ke-ada-an di luar diri-Nya. Ke-ada-an yang profetik bukan yang profan atau yang fenomenal. Istilah
transenden berasal dari bahasa Latin yang mana secara etimologis berasal dari akar kata “Transendere”
yang artinya menguasai dan mengatasi keseluruhan. (Nico syukur Dister OFM: 1988)

V. KERANGKA FILOSOFIS PEMAHAMAN AKAN MANUSIA

Kebenaran transenden merupakan kebenaran yang dalam pemahaman teori wujud, Ada-Nya
sebagai harus secara awal, tetapi bukan merupakan reaksi spontan yang dapat dimengerti berdasarkan
teori sebab-akibat (causalitas) tetapi dapat menurut pada asas-asas rasional (hukum-hukum berpikir) atau
berdasarkan konsepsi atau defenisi “pra-ada” dan “ada”. Ada sebelum dan ada sesudahnya. Ada
sebagai pra-ada adalah ada harus ada dan ada sesudah keadaan sebelumnya adalah ada yang
mungkin ada atau kemungkinan “ada” nya secara potensil begantung pada ada sebelumnya.
Berdasarkan pendekatan teori di atas berarti bahwa manusia harus senantiasa dijejaki menurut
sebelum adanya pikiran dan rasa sebagai potensi manusia untuk mencari ada sebelumnya. Artinya, ada
sesuatu yang ada yang mengadakan manusia lalu manusia berpikir dan merasa yakin tentang ada. Dia-
lah yang Awal dan Dia-lah yang Akhir. Dengan demikian, maka pengkajian ini harus diarahkan pada
bagaimana mengungkap kehadiran dan ke-Ada-an manusia dengan menjejaki siapa manusia, menurut
kedaan dari mana, lalu siapa manusia berdasarkan ide penciptaan dalam kerangka pemahaman untuk
apa sih…? Manusia itu dihadirkan (apa hanya ngobyek doang, gitu lho) ha…, ha…, ha…, serta siapakah
manusia menurut dasar motivasi/tujuan yang melandasi kehadirannya, dalam arti akan ke manakah
manusia itu ?. jadi setidaknya terdapat 3 (tiga) pertanyaan filosofis yang harus dituntaskan berkenaan
dengan upaya menguak siapa manusia sesungguhnya, yang secara sederhana dapat dikemukakan,
yakni : dari mana ? untuk apa ? dan akan ke mana manusia itu ?.

Mengikuti ketiga pertanyaan linear di atas, Al Qur’an menegaskan melalui serentetan shurah yang
tersebut sebagai berikut :

- Proses kejadiannya : 23 : 12-15, 32:7-9, 40:67, 75: 37-38, 76:2, 84:19.


- Dari tanah : 3:59, 6:2, 15:28&33, 30:20, 32:7, 35:11, 40:67, 55:14, 71:17.
- Dalam bentuk terbaik : 17:70, 95:4.
- Dari diri yang tunggal : 4:1, 16:72, 30:21.
- Diciptakan dari fitrahnya : 30:30.
- Dipersaksikan menurut tauhid : 7:172.
- Untuk menjadi saksi atas dirinya sendiri : 41:20-22.
- Ditiup dari sisi-Nya : 32:9.
- Untuk memperhatikan dirinya sendiri :51:21.
- Diciptakan dengan maksud tertentu untuk beribadah : 51:56, 1:5
- Memakmurkan bumi : 11:61.
- Sebagai khalifah : 2:30, 24:55.
- Untuk menerima petunjuk : 90:10, 91:8.
- Tidak sia-sia : 75:36.

123
- Untuk diuji : 2:8, 29: 2.
- Dari mana ke mana : 7:25, 29:189, 3:14, 57:20, 58:17.
- Kemungkinan membebaskan diri dari ruang :55:33.
- Peringatan untuk lebih waspada : 33:72, 7:179.

Individu dan Masyarakat


Manusia adalah makhluk berjiwa individual dan berjiwa bermasyarakat/sosial secara
sekaligus.
Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara
terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan.
Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaannya.

MANUSIA MEMILIKI SISI INDIVIDU&MASYARAKAT, MAKHLUK 3 DIMENSI ;


- BASYAR (Q.S. 15 ; 28), (Q.S. 19 ; 20)
- INSAN (Q.S. 76 : 02), (Q.S. 96 : 06)
- ANNAS / Aspek Masyarakat (Q.S. 17 : 71), (Q.S. 25/21 ; 49)

PROSES KEJADIAN MANUSIA (INDIVIDU) ;

1. DALIL ALQUR’AN (Q.S. 23 ; 12-14)


Manusia diciptakan dari tanah  Saripati Makanan (Sperma&Ovum)/Zigot  Darah  Daging 
Tulang-belulang  Dibungkus Daging  Bentuk Yang lain/Janin (Jasad+Jiwa)/Jiwa Binatang /
Syahwat.

KURANG PAS-PASAN LEBIH


Fikir Bodoh Arif Licik
Binatang Pengecut,Impoten Berani, Iffah Gegabah,Hyper
Gerak Tambahan Kikir Serakah

- Aqal bayi => Jiwa fiqir ditandai dengan aqal potensi (belum bisa memisahkan konsep&materi,
memahami sesuatu dengan materi).
- Ketika aqal potensi berkembang, disebut aqal actual (sudah bias memahami konsep tanpa
melibatkan materi).
- Aqal potensi mengaktual ketika berhubungan dengan aqal aktif (Malaikat Jibril) dari aqal aktif
inilah yang mengantarkan aqal potensi melalui aqal I, ke aqal actual.
- Ketika kita melakukan penyucian diri maka, aqal kita akan menjadi aqal mustafat (aqalnya para
Nabi, para Wali, Para Arifin/Urafa).
- Individu Sempurna ; Orang yang telah mencapai aqal mustafat (Khalifatullah).
- Kita mengetahui bentuk-bentuk karena bentuk itu ada pada diri kita.
- Kita mengetahui sesuatu karena jiwa kita sudah berbentuk sesuatu.
- JIWA MANUSIA  Aqal (Jiwa Aqal)  AQAL
Khayal (Jiwa Khayal)  MITZAL
Indra (Jiwa Materi)  Materi
- Ruh => Bentuk TUHAN pada diri kita.
- “Kutiupkan ruh kepadamu berarti ; ALLAH SWT memberi bentuk pada diri manusia dengan
bentuk-NYA”.

124
- Menjadi Nabi itu karena kualitasnya bukan penunjukkan, Nabi diketahui karena wahyu.
- Konsep khalifah adalah insane kamil (Manusia sempurna).
- Jiwa manusia awalnya bersifat egosentris (material) & Ego inilah yang akan mengakibatkan
konflik / kejahatan.
- Egosentris => keinginan yang hanya mementingkan diri sendiri dan ingin menundukkan seluruh
realitas untuk menyembahnya/menginginkan dirinya sebagai titik sentrum.
- Islam datang untuk mengembangkan egosentris menjadi egosemesta/egotauhid.
- Ego Tauhid = Egonya para khalifah
- Esensi menyembah Tuhan adalah menyembah kepada jiwa masyarakat.
- Ego Keluarga (Kesombongan)  Ego Kesukuan (Diktator)  Ego Kebangsaan (Perang)  Ego
Kesemestaan / Tauhid (Perdamaian)

2. ARGUMEN FILSAFAT
o Durheim ; “Dalam diri manusia terdapat 2 jiwa yakni jiwa Individu (Aku), jiwa Masyarakat
(Kami)”.
o Gerak
o Gerak Aksiden
o Gerak Substansi

JIWA MANUSIA BERSIFAT MASYARAKAT;;


- TEORI KETERPAKSAAN
“Manusia berjiwa masyarakat karena ketakutan/terpaksa, karena jiwa awalnya
bersifat individual kemudian ia bermasyarakat karena keterpaksaan”.

- TEORI PILIHAN RASIONALITAS


“Manusia berjiwa masyarakat karena pilihan rasionalitasnya, jiwa manusia ingin bekerjasama
dengan orang lain agar usahanya dapat berhasil (mendapat keuntungan”.

- TEORI FITRI
- “Manusia berjiwa masyarakat karena fitrah alamiahnya, seperti perempuan & laki-laki”.

APA ITU MASYARAKAT ;


“Sekumpulan individu yang memilki kesepakatan dan tujuan ideal yang sama & maupun
sepenanggungan”

TEORI TERBENTUKNYA MASYARAKAT ;


- Sintesis Alamiah
“Identitas tertentu yang sebelum membentuk masyarakat ia eksis, dan setelah terbentuk maka ia
pun eksis”.
Contoh H2O membentuk Air.
- Sintesis Tidak Alamiah
- Teori Tabulasi
“Individu-individu awalnya tidak memiliki identitas (kosong) dan beridentitas (A) setelah
bergabung dengan masyarakat (A)”. Artinya jiwa individu tidak ada tetapi jiwa masyarakatlah yang
eksis.

125
- Sintesis Sejati
“Individu-individu awalnya memilki identitas, namun setelah membentuk masyarakat
identitasnyapun hilang, oleh karena itu didalam masyarakat individu itu tidak ada”.
- Sintesis Tidak Sejati
“Individu-individu awalnya memilki identitas dan akan tetap eksis setelah terbentuknya
masyarakat, tetapi masyarakatnya hanya bersifat aksiden bukan substansi”.

EKSISTENSI INDIVIDU DAN MASYARAKAT MENURUT AL-QUR’AN ;


- AJAL INDIVIDU (Q.S. 06 ; 02) / Individu Riil
- AJAL MASYARAKAT (Q.S. 07 ; 34) / Masyarakat juga Riil
-

FAKTOR PEMECAH DALAM MASYARAKAT ;


- MENURUT TEORI MARXIS
“Dikarenakan kepemilikan individual yang dilanggengkan oleh agama”
- MENURUT TEORI AL-QUR’AN
1. (Q.S. 28 ; 04&38) “Masyarakat Terpecah”
2. (Q.S. 34 ; 31) “Masyarakat Tertindas & Penindas”
3. (Q.S. 07 ; 127) “Masyarakta Penjilat”
4. (Q.S. 09 ; 34) “Masyarakat
5. (Q.S. 06 ; 123) “Pejabat Korup”
6. (Q.S. 04 ; 97)
7. (Q.S. 28 ; 05) “Hijrah”
8. (Q.S. 03 ; 64) “Faktor penyatu ummat”
9. (Q.S. 02 ; 30) “Khalifah”
10. (Q.S. 33 ; 72) “Amanah”
11. (Q.S. 33 ; 45&46), (Q.S. 57 ; 25) “Misi Kekhalifahan, Tauhid dan Keadilan”
12. (Q.S. 07 ; 29), (Q.S. 03 ; 104) “Menuju masyarakat Tauhid”

PERTANGGUNG JAWABAN INDIVIDU ;


- (Q.S. 17 ; 13-14), (Q.S. 40 ; 17) “Pertanggung Jawaban Individu”
- (Q.S. 45 ; 28-29), (Q.S. 86 ; 88) “Pertanggung Jawaban Kolektif”

FAKTOR PENGUBAH MASYARAKAT ;


- TEORI MARXIS
“Struktur masyarakat tersusun dan infrastruktur dan suprastruktur”.
“Materi adalah factor mendasar yang membuat masyarakat mengalami perubahan”.
“Masyarakat Berkeinginan untuk kepentingan pribadinya melalui justifikasi agama”.
“Faktor produksi yang mempengaruhi perubahan masyarakat”.
“Budak zaman Feodal diganti istilah dizaman Kapitalisme dengan Karyawan”.

- TEORI AL-QUR’AN
(Q.S. 13 ; 11)

126
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang
adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini
mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama
melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari
manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan
pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa
individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila
sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti,
saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep.
Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling
membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.

Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan


yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan
secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan
individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan
terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan
adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langkah terbaik dalam
memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja
sama sebagai langkah terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat
didefinisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun
suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut
sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan
atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena
itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu),
individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka
masyarakat pun tidak ada.

Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang
disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat
kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan
memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu
dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi
masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia
(individu) itu sendiri.

Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak
teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu
yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala
interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda).
Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah
bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam.
Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat
kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi,
yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam
perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya
perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan
kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk

127
sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan
perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.

Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan
adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid
(Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan.
Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan
kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian
sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan
pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya
terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara
hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing
berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan,
mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia
(individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka
bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan
sistem sosial.

VI. Dimensi-dimensi Hakikat Manusia

Berdasarkan keterangan Al Qur’an 17:70, 30:30, 7:172, bahwa manusia diciptakan sempurna
yang ditandai dengan ditiupkannya RUH. RUH yang berasal dari Dzat tunggal (ESA) menandai pula unsur
esensi manusia merupakan atau memperoleh serpihan cahaya Nur Ilahi Robbi. Ruh datang sebagai
cahaya kebenaran karena memang ditiup oleh pemilik kebenaran mutlak untuk setiap pribadi. Manusia
sehingga memberikan muatan sifat yang universal. Artinya setiap pribadi manusia memiliki esensi
kebenaran yang tentu saja berkecenderungan kepada kebenaran (hanief).

Dengan demikian kebenaran tersebut menjadi suatu tatanan hidup manusiawi yang
memanifestasikan bentuk kepercayaan atau agama dengan pedoman sistematik dalam rangka menjamin
kesempurnaan hidup manusia yakni hidup berlandaskan agama. Hidup menurut ini memaknakan
berorientasi nilai yakni nilai-nilai kebenaran universal. Artinya, hidup menurut kebenaran hakiki, hidup
penuh kesucian (kehanifan) dan fitrahi. Hidup yang benar berarti hidup menurut hakikat hidup, yang tentu
dalam waktu yang bersamaan memaknakan hidup yang manusiawi menurut hakikat manusia itu sendiri.
Jika demikian, hakikat manusia adalah fitrah yang berorientasi nilai kebenaran kepada kemutlakan
karenanya itulah yang sempurna yang untuk menjaganya dibutuhkan pedoman yang dalam dimensi
manusia dibutuhkan kepercayaan akan itu. Dan itulah agama yang lurus, benar, dan fitrahi (30:30) untuk
atau bagi keseluruhan ummat manusia karena memang memiliki sifat universal.

128

Anda mungkin juga menyukai