Anda di halaman 1dari 8

1.3 Aspek Budaya dalam Praktik Keperawatan Medikal Bedah1.3.

1 Pengertian BudayaBudaya atau


kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
budaya disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa
Indonesia (Dewangga, 2012).Menurut Korier et.al (2010), Tidak ada definisi tunggal budaya dan definisi yang
kerap dipakai cenderung mengabaikan aspek penting budaya atau terlalu umum sehingga tidak mencerminkan
arti sebenarnya. Salah satu definisi budaya yang paling umum adalah gabungan beberapa sifat nonfisik, seperti
nilai, kepercayaan, sikap dan kebiasaan yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Contoh berikut adalah definisi tambahan dari istilah yang sukar dipahami
ini:1. Budaya adalah gagasan, komunikasi, tindakan, kepercayaan, nilai dan penentuan kelompok ras, etnik,
agama atau sosial (OMH, 2001, hlm.4) (ref?)2. Budaya adalah seluruh karakteristik sekelompok manusia yang
diwarisi secara sosial yang meliputi segala sesuatu yang dapat disampaikan, diinformasikan atau diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. (referensi?)3. Budaya adalah bagasi yang selalu dibawa oleh tiap diri
kita seumur hidup kita. Ini adalah kumpulan kepercayaan, praktik, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, norma,
adat istiadat, ritual dan lain sebagainya yang kita pelajari dari keluarga kita. Akibatnya kita mewariskan bagasi
budaya ke anak kita (Spector, 2000, hlm. 78).(ref?)4. Budaya adalah sistem metakomunikasi yang di dalamnya
tidak hanya kata-kata yang diucapkan yang mempunyai arti, tetapi juga semua hal lain (Matsumoto &
Matsumoto, 1989, halm. 14)(ref?)Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks yang tiap bagiannya saling
berkaitan dengan bagian yang lain. Budaya dipelajari dan kemampuan mempelajari budaya diturunkan, tetapi
inti materi tidak diturunkan dan harus dipelajari oleh tiap-tiap orang dalam keluarga dan komunitas sosialnya.
Budaya juga bergantung pada matriks sosial dasar, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, dan kebiasaan (Bohanna, 1992, dalam: Korier et.al, 2010) (Korier apa Kozier mbak? yang di depan juga
ada ).(Kalau tidak ada referensinya, lebih baik untuk definisi tdk perlu dimasukkan saja, aku rasa definisi
budaya di makalah kita sebelumnya sdh cukup. Gmn Mbk?)Istilah kultur (budaya) pertama kali didefinisikan
oleh seorang antropolog Inggris, Sir Edward Tylor pada 1871 sebagai semua yang termasuk dalam
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang dilakukan
manusia sebagai anggota masyarakat (Smeltzer, 2002). Menurut Purnell dan Paulanka (2003) dalam Potter dan
Perry (2010), budaya merupakan penyebaran secara sosial dari pengetahuan, bentuk tingkah laku, nilai-nilai,
kepercayaan, norma, dan gaya hidup dari kelompok tertentu yang menunjukkan pandangan mereka dan cara
pengembilan keputusan (Purnell & Paulanka, 2003).Pengertian yang hampir sama disampaikan oleh Dr.
Madeleine Leininger, pendiri keperawatan transkultural, dan McFarland (2006) dalam Giger (2013), yang
menyebutkan bahwa budaya adalah nilai-nilai, kepercayaan, norma-norma, praktik gaya hidup suatu kelompok
tertentu yang dipelajari dan disebarkan sebagai acuan dalam berfikir, mengambil keputusan, dan bertindak
dengan cara yang terpola.Leininger juga menyebutkan bahwa budaya memiliki empat karakteristik dasar,
yaitu:1. Dipelajari sejak lahir melalui bahasa dan sosialisasi,2. Dimiliki bersama oleh semua anggota dalam
kelompok budaya yang sama,3. Dipengaruhi kondisi tertentu yang berhubungan dengan faktor lingkungan dan
teknis serta ketersediaan sumber-sumber, serta4. Bersifat dinamis dan selalu berubah.(Smeltzer, 2002)
1.3.2 Konsep Budaya dalam Praktik KeperawatanPerawat perlu memahami budaya untuk mengembangkan
sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan
universal. Kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai norma spesifik yang tidak dimiliki kelompok
lain, seperti bahasa. Sedangkan kultur yang universal adalah nilai atau norma yang diyakini dan dilakukan
hampir oleh semua kultur, seperti budaya olahraga membuat badan sehat dan bugar. Dalam melaksanakan
praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan
yang berdasarkan budaya (Kozzier dan Erb, 2010).Budaya memiliki dua komponen, yaitu nyata (mudah
dilihat) dan tersembunyi (kurang terlihat). Diantara dua komponen budaya tersebut, yang paling sering menjadi
penggerak terbesar di balik praktik nyata seseorang adalah sistem nilai kepercayaan tersembunyi. Sebagai
contoh, meskipun seorang yang beragama Sikh mudah dikenali dengan benda-benda yang dikenakannya
(rambut yang tidak dipotong, menggunakan sisir kayu, janggut, ikat kepala, pakaian dalam dari bahan katun,
gelang besi, dan pisau pendek), perawat tidak dapat menilai arti dan kepercayaan berhubungan dengan benda-
benda tersebut tanpa penilaian lebih lanjut. Benda-benda tersebut menggambarkan kesetiaan mereka terhadap
filosofi Sikhism, dan memindahkan benda-benda tersebut tanpa izin dari individu tersebut atau keluarganya
merupakan tindakan yang melanggar kesucian dan menghina identitas agama mereka (Jambunathan, 2003
dalam Perry dan Potter, 2010). Di lain pihak, seorang wanita muda Arab memakai kerudung bukan karena
kepercayaannya, melainkan karena norma budaya mereka (Perry dan Potter, 2010).Di dalam konsep budaya
yang berhubungan dengan praktik keperawatan, terdapat beberapa definisi istilah yang penting diketahui oleh
perawat, yaitu:1. SubkulturKelompok budaya yang besar seringkali terdiri dari beberapa kelompok subkultur
atau subsistem. Subkultur biasanya tersusun dari sekelompok orang atau komunitas dengan karakteristik
tertentu yang masih bertalian dengan budaya kelompok besar (Danieds, et al., 2010). Meskipun subkultur
tersebut memiliki kesamaan dengan budaya dominan, mereka tetap mempertahankan pola kehidupan khusus
mereka, nilai-nilai, dan norma-norma (Perry dan Potter, 2010).2. RasRas merupakan klasifikasi masyarakat
berdasarkan kesamaan karakteristik biologis, penanda genetik, atau ciri-ciri yang menonjol. Masyarakat dari
ras yang sama memiliki kesamaan karakteristik umum, seperti warna kulit, struktur tulang, ciri-ciri wajah,
tekstur rambut, dan golongan darah. Suatu kelompok etnik yang berbeda dapat memiliki ras yang sama, dan
perbedaan budaya dapat ditemukan dalam satu kelompok etnik. Oleh karena itu penting diketahui bahwa tidak
semua orang yang memiliki ras sama juga memiliki budaya yang sama (Danieds, et al., 2010). 3. EtnikEtnik
menunjuk kepada pembagian identitas yang berhubungan dengan warisan budaya dan sosial, seperti nilai-nilai,
bahasa, area geografik, dan karakteristik ras. Anggota suatu kelompok etnik mempunyai identitas umum.
Beberapa individu menyatakan identitas mereka sebagai Irish, Vietnam, atau Brazil. Etnik berbeda dengan ras
yang terbatas pada sifat-sifat biologis suatu kelompok (Leininger dan McFarland, 2002; Purnell dan Paulanka,
2003 dalam Perry dan Potter, 2010).
4. EnkulturasiEnkulturisasi merupakan proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu
dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung
sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya
anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan
anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya
sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat
(Bachtiar, 2011).5. AkulturasiProses adaptasi dan adopsi budaya baru disebut sebagai akulturasi (Baron, et al.,
2004; Cowan dan Norman, 2006 dalam Perry dan Potter, 2010). Proses involuntar dari akulturasi terjadi saat
individu menyesuaikan diri dan atau mengambil ciri dari budaya lainnya. Anggota kelompok budaya
nondominan seringkali dipaksa untuk mempelajari budaya baru agar dapat bertahan hidup (Danieds, et al.,
2010).6. AsimilasiAsimilasi adalah proses saat individu secara bertahap mengambil dan menggabungkan
karakteristik budaya dominan (Purnell dan Paulanka, 2003 dalam Potter dan Perry, 2010). Asimilasi juga dapat
diartikan sebagai suatu proses dimana individu mengembangkan suatu budaya baru untuk menjadi anggota dari
kelompok budaya dominan. Proses tersebut mencakup berbagai aspek, yakni perilaku, perkawinan,
identifikasi, dan komunitas. Asumsi yang mendasari hal tersebut adalah bahwa seseorang yang berasal dari
suatu kelompok budaya tertentu mengalami kehilangan identitas budaya aslinya untuk mendapatkan budaya
baru. Pada kenyataannya, karena hal ini adalah suatu usaha yang disadari, maka tidak selalu berhasil, bahkan
dapat menyebabkan stress dan ansietas berat. Proses asimilasi dikatakan berhasil ketika seorang pendatang
benar-benar telah menyatu dalam kelompok budaya dominan (Mc Lemore dan Romo, 2005 dalam Danieds, et
al., 2010)
7. BikulturalismeBikulturalisme kadang disebut juga multikulturalisme terjadi saat individu dikenal
mempunyai dua budaya atau lebih (Purnell dan Paulanka, 1998 dalam Perry dan Potter, 2010). Bikulturalisme
digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki dua pola identifikasi dan melintasi dua budaya,
gaya hidup, serta sekelompok nilai (Spector, 2004 dalam Danieds, et al., 2010).8. Penolakan BudayaPenolakan
budaya terjadi saat individu menolak budaya baru karena pengalaman negatif dengan budaya baru atau budaya
berbeda (Leininger dan Mc Farland, 2002 dalam Perry dan Potter, 2010). Oleh karena berbagai pertalian
dengan budaya baru, perawat perlu menghindari peniruan atau penyamarataan yang tidak berdasar terhadap
beberapa kelompok tertentu yang mencegah penilaian lebih lanjut tentang karakteristik individual yang unik
(Perry dan Potter, 2010). Perawat hendaknya memelihara pengetahuan sebelumnya tentang budaya hingga
penilaian yang akurat dinyatakan (Leininger, 2002a dalam Perry dan Potter, 2010).9. StereotipeStereotipe
adalah menganggap bahwa seluruh anggota dari suatu budaya atau kelompok etnik adalah sama. Stereotipe
mungkin didasarkan pada generalisasi yang ditemukan pada penelitian atau mungkin tidak dihubungkan
dengan kenyataan. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang Italia suka
mengekspresikan nyeri secara verbal tetapi seorang klien Italia tertentu mungkin tidak melakukannya.
Stereotipe yang tidak dihubungkan dengan kenyataan seringkali merupakan keluaran dari rasisme atau
diskriminasi. Tidak semua orang dalam suatu kelompok tertentu memiliki kesamaan kepercayaan, praktik, dan
nilai-nilai terhadap kesehatan. Hal ini penting untuk mengindentifikasi secara khusus kepercayaan klien,
kebutuhan, dan nilai-nilainya daripada mengasumsikan bahwa mereka semua sama sebagaimana yang
dilekatkan pada kelompok besar (Danieds, et al., 2010).10. EtnosentrismeBudaya menyediakan konteks dari
nilai-nilai, evaluasi, dan kategori pengalaman hidup. Kelompok budaya mewariskan nilai-nilai mereka, moral,
dan norma-norma ke generasi berikutnya. Hal ini berpotensi menimbulkan etnosentrisme, yaitu pemikiran
bahwa cara hidup yang dianutnya lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Etnosentrisme dapat
menyebabkan bias dan prasangka negatif terhadap budaya lain. Prasangka akan menimbulkan tindakan
diskriminatif. Praktisi pelayanan kesehatan yang tidak mengetahui budaya atau buta budaya tentang perbedaan
biasanya memilih mengabaikan budaya dan menggunakan nilai-nilai dan gaya hidup mereka sendiri sebagai
petunjuk dalam berhubungan dengan klien dan menafsirkan tingkah laku mereka (Perry dan Potter, 2010)11.
Syok Budaya (Culture Shock)Syok budaya adalah gangguan yang terjadi sebagai respon terhadap transisi dari
satu situasi budaya ke situasi budaya lainnya. Kejadian ini bisa terjadi saat seseorang berpindah dari suatu
lokasi geografis tertentu ke tempat lainnya atau ketika seseorang masuk ke suatu negara baru. Hal ini juga bisa
terjadi pada seseorang yang masuk ke suatu rumah sakit dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang asing.
Ekspresi dari syok budaya beragam dari rentang bingung dan cemas, diam dan tidak bergerak, sampai gelisah,
dan marah (Danieds, et al., 2010).
1.3.3 Aspek Budaya yang Mempengaruhi KesehatanMenurut G.M. Foster (1973) dalam Citerawati (2012),
aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan antara lain:1. Pengaruh tradisiAda beberapa tradisi di
dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat, seperti tradisi tarak setelah
melahirkan.2. Sikap fatalistisFatalistis adalah sikap seseorang yang dianggap sangat putus asa dalam segala
hal. Orang yang memiliki paham dan sikap seperti ini cenderung dikuasai nasib dan tidak bisa mengubahnya.
Contoh: Beberapa anggota masyarakat di kalangan kelompok tertentu yang beragama Islam percaya bahwa
anak adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit.3. Sikap ethnosentrisSikap yang memandang
kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.4. Pengaruh perasaan
bangga pada statusnyaContoh: Dalam upaya perbaikan gizi, di suatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk
makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata
masyarakat beranggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya
karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing.5. Pengaruh normaContoh: Upaya untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang
hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan ibu hamil sebagai pengguna pelayanan.6.
Pengaruh nilaiNilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh:
Masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa
vitamin B1 lebih tinggi di beras merah daripada di beras putih.7. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada
tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatanKebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan
berpengaruh terhadap kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan
nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa.8. Pengaruh konsekuensi dari inovasi
terhadap perilaku kesehatanApabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan
masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,
menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi
tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut.
1.3.4 Keperawatan TranskulturalLeininger (1991; Leininger dan McFarland, 2006) dalam Giger (2013)
mendefinisikan keperawatan transkultural sebagai berikut:a humanistic and scientific area of formal study and
practice which is focused upon differences and similarities among cultures with respect to human care, health
(or well-being), and illness based upon the peoples cultural values, beliefs, and practices.
Tujuan utama keperawatan transkultural adalah menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan untuk
memberikan asuhan keperawatan yang sama secara budaya dan spesifik kepada masing-masing individu
(Leininger, 1991 dalam Giger, 2013). Teori Cultural Care Diversity and Universality yang dikembangkan oleh
Leininger juga bertujuan membantu klien, melalui asuhan berdasar kultural, untuk sembuh dari penyakit;
mencegah kondisi yang dapat membatasi kesehatan atau kesejahteraan klien; memfasilitasi kematian yang
tenang, bermakna, dan sesuai secara kultural (Smetlzer, 2002).Pelayanan kompeten secara budaya adalah
kemampuan perawat menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya yang berbeda,
serta membuat klien dan keluarganya mencapai pelayanan yang penuh arti dan suportif. Pelayanan kompeten
secara budaya membutuhkan pengetahuan khusus, keterampilan, dan sikap dalam menyampaikan bentuk
pelayanan yang sama secara budaya (Perry dan Potter, 2010).
1.3.5 Pengkajian BudayaPengkajian budaya merupakan pengkajian yang sistematik dan komprehensif dari
nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individu, keluarga, dan komunitas. Tujuan pengkajian
budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan
kesamaan pelayanan budaya (Leininger dan McFarland, 2002 dalam Perry dan Potter, 2010). Ada beberapa
model pengkajian budaya, dimana tiap model memiliki tingkat keahlian dan pengetahuan yang berbeda-beda.
Salah satunya adalah Model Matahari Terbit (Sunrise Model).Model pengkajian budaya yang dibuat oleh
Leininger ini menggambarkan keragaman budaya dalam kehidupan sehari-hari dan membantu menjelaskan
alasan mengapa pengkajian budaya harus dilakukan secara komprehensif. Model tersebut beranggapan bahwa
nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik merupakan hal yang tidak dapat diubah dalam budaya
dan dimensi struktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya konteks lingkungan, bahasa, dan riwayat etnik.
Komponen pengkajian budaya pada model matahari terbit terdiri dari warisan etnik dan riwayat etnik; riwayat
biokultural; organisasi sosial; status sosial ekonomi; agama dan kepercayaan spiritual; pola komunikasi dan
orientasi waktu (Perry dan Potter, 2010).
Leiningers sunrise model to depict the theory ofcultural care diversity and university
Leininger sunrise model merupakan pengembangan dari model konseptual asuhan keperawatan transkultural.
Bagian atas dari sunrise model menjelaskan perkembangan pengetahuan tentang budaya, manusia dan sistem
asuhan. Jika ini digunakan secara tepat dapat mencegah syock budaya. Level ini sama dengan fase pengkajian
dan diagnosa dari proses keperawatan. Pengetahuan tentang budaya dilakukan sebelum mengidentifikasi hal-
hal yang spesifik dari klien yang difokuskan pada proses keperawatan. Pertama kali mengumpulkan informasi
dan pemahaman pasien mengenai struktur sosial dan pandangan dunia. Informasi lain yang dibutuhkan yaitu
bahasa dan lingkungan klien teknologi, agama, filosopi, kekeluargaan, struktur sosial, nilai-nilai budaya dan
keyakinan, holistik, sistem hukum, ekonomi dan pendidikan (Leininger, 1991).1. Faktor teknologiTeknologi
kesehatan adalah sarana yang memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran untuk
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan, maka
perawat perlu mengkaji persepsi individu tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari pelayanan kesehatan, persepsi sehat sakit , kebiasaan berobat
atau mengatasi masalah kesehatan.2. Faktor keagamaan dan falsafah hidupAgama adalah sauatu system
symbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Agama
memberikan motivasi kuat sekali untuk menempatkan kebenarannya diatas segalanya bahkan diatas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang perlu dikaji perawat seperti: agama yang dianut, kebiasaan agama
yang berdampak positif terhadap kesehatan, berihtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai
konsep diri yang utuh.3. Faktor social dan keterikatan keluarga Faktor social dan kekeluargaan yang perlu
dikaji oleh perawat: nama lengkap dan nama panggilan dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir,
jenis kelamin, status, tipe keluarga, penggambilan keputusan dalam angota keluarga, hubungan klien dengan
kepala keluarga, kebiasaan rutin yang dilakukan keluarga.4. Faktor nilai budaya dan gaya hidupNilai adalah
konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia mengenai apa yang diangap baik dan buruk. Hal-hal yang
perlu dikaji berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi dan jabatan, bahasa yang
digunakan, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, pantangan makan berkaitan dengan kondisi sakit,
sarana hiburan yang dimanfaatkan dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.5. Faktor peraturan
dan kebijakanPeraturan dan kebijakan yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan
individu dalam asuhan keperawatan transkultural. Misalnya: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang menunggu.6. Faktor ekonomiKlien yang dirawat dapat
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Sumber
ekonomi yang ada pada umumnya dimanfaatkan klien antara lain asuransi, biaya kantor, tabungan. Faktor
ekonomi yang harus dikaji oleh perawat antara lain seperti pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan.7. Faktor
pendidikan Latar belakang pendidikan individu adalah pengalaman individu dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan invividu , maka keyakinannya harus didukung
oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan dapat beradaftasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya(Fitzpatrick, 1989).
Perawat perlu mengkaji latar belakang pendidikan meliputi tingkat pendidikan, jenis pendidikan, serta
kemampuan belajar secara aktif, mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Setelah mengidentifikasi perbedaan dan universal budaya ,dapat disusun diagnosa keperawatan berdasarkan
harapan yang tidak sesuai dengan budaya pasien. Selanjutnya perencanaan dan implementasi dibuat
berdasarkan kebutuhan klien dan kesesuaian budaya. Ada tiga tindakan dalam perawatan budaya yaitu:1.
Cultural Care Preservation/ maintenanceTindakan keperawatan berfokus pada memberikan dorongan,
membantu, mempasilitasi untuk memulihkan pasien dari sakit atau kecacatan atau kematian.2. Cultural Care
Accommodation/NegotiationPerawat berupaya untuk mempasilitasi membantu atau mendukung tindakan-
tindakan dengan cara bernegosiasi dengan pasien untuk beradaftasi dengan pola-pola asuhan yang bermanfaat
atau yang sesuai dengan sasaran atau tujuan kesehatan.
3. Cultural Care Repatterning/ Restructuring. Tindakan profesional yang bertujuan membantu klien merubah
arti kesehatan atau pola hidup yang lebih sehat dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya klien. Sunrise
model tidak sampai pada tahap evaluasi.(Leininger, 1991).
3.2 Analisis Aspek Budaya dalam Praktik Keperawatan Medikal BedahBudaya dan bahasa merupakan faktor
penting dalam pemberian dan penerimaan asuhan keperawatan dan terdapat penerapan bahwa kebutuhan
budaya klien yang berbeda harus terpenuhi. Guna memberikan perawatan yang berkualitas, perawat harus
menyadari dan peka terhadap arti subjektif praktik Sehat (Korier et.al, 2010? Korier or Kozier?).Alasan
mengapa aspek budaya sangat berpengaruh dalam praktek keperawatan medikal bedah terkait dengan
metaparadigma keperawatan yang merupakan inti dari keperawatan :1. ManusiaManusia adalah individu atau
kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menentukan pilihan
serta melakukan tindakan (Leininger,1991). Manusia/Klien yang ditangani dalam praktik keperawatan medikal
bedah adalahorang dewasa, dengan pendekatan one-to-one basis. Pada manusia dewasa Kategori dewasa
berimplikasi pada perkembangan yang dijalani sesuai tahapannya (Susilaningsih, 2008). Termasuk keadaannya
yang sudah peka terhadap budaya. Menurut Leininger (1991) manusia memiliki kecenderungan untuk
mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun ia berada. Hal ini perlu menjadi pertimbangan
perawat dalam melakukan kajian dan intervensi keperawatan. Pendekatan keperawatan harus
memperhitungkan level kedewasaan klien yang ditangani sehingga pelibatan dan pemberdayaan klien dalam
proses asuhan merupakan hal penting, sesuai dengan kondisinya; ini berkenaan dengan self-caring capacities
(Susilaningsih, 2008).
Gambar 2.3.1. Model dari klien di dalam keunikan warisan budaya dan fenomena yang mempunyai dampak
pada asuhan keperawatan.(Dari Spector RE: Cultural diversity in health and illness, ed.3 Norwalk. Conn, 1991,
Appleton & Lange; and Giger JN, Davidhizar RE: Trans-cultural nursing assessment and intervention, ed 2, St
Louis, 1995, Mosby).2. KesehatanLingkup garapan keperawatan medikal bedah yaitu segala hambatan
pemenuhan kebutuhan dasar yang terjadikarena perubahan fisiologis padasatuatau berbagai sistem tubuh yang
meliputi gangguan pernafasan, kardiovaskuler, persyarafan, endokrin, pencernaan, muskuloskeletal,
integumen, sistem imun, perkemihan dan penginderaaan karena berbagai sebab, modalitas, dan berbagai upaya
untuk mengatasinya (Susilaningsih, 2008). Pada lingkup klien keperawatan medikal bedah kesehatan tidak
terbatas dari rasa sakit. Kesehatan berhubungan dengan kepercayaan, nilai, dan tingkah laku sesuai dengan
pengetahuan budaya dan selalu untuk memelihara individu atau kelompok untuk hidup lebih baik dan untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari. Kesehatan dikelilingi dalam struktur sosial dan bersifat abstrak. Struktur
sosial berhubungan dengan interdependen mayor dan struktur dinamik fungsi dasar yang terdiri dari
keyakinan, hubungan persaudaraan, politik, ekonomi, teknologi, dan nilai kultur (Potter & Perry Ed.4, 2005).3.
LingkunganLingkungan mempengaruhi kesehatan dan perawatan individu, keluarga, dan kelompok budaya.
Pada klien medikal bedah respon akan muncul dalam aspek bio-psiko-sosio-spiritual (Susilaningsih, 2008).
Lingkungan berarti aspek total yang ada dalam individu dan kehidupan kelompok budaya yang terdiri dari:
fisik, ekologi, sosial, dan perkembangan yang akan datang tentang gaya hidup. Leininger mengemukakan
antropologi struktur dan pengaruh lingkungan dapat mempengaruhi pengalaman kehidupan manusia
(Leininger, 1991).4. Keperawatan Mengingat basis telaahan respon klien medikal bedah bersumber dari
gangguan fisiologis, maka pemahaman akan patofisiologis atau mekanisme terjadinya gangguan dan potensi
(manifestasi klinis) dari gangguan tersebut sangat mendasari lingkup garapan dan intervensi keperawatan
(Susilaningsih, 2008). Pada asuhan keperawatan medikal bedah yang sasaran kliennya adalah klien dewasa
yang sudah sangat peka terhadap budaya, proses keperawatan akan juga ditentukan oleh latar belakang kultur.
Kultur merupakan sistem metakomunikasi yang di dalamnya tidak hanya bahasa lisan mempunyai makna,
tetapi juga sesuatu yang lain. Salah satu contoh dari hal ini adalah cara perawat bereaksi secara nonverbal
terhadap percakapan klien, cara perawat membuat kontak mata, menyentuh tubuh dan memegang tangan klien,
akan berbeda untuk tiap-tiap klien dengan latar belakang kultur yang berbeda pula. Proses yang diberikan
langsung mengarah kepada peningkatan dan pemeliharaan prilaku yang sehat atau pemulihan kesehatan (Potter
& Perry Ed.4, 2005).Ketika seorang perawat dihadapkan dengan klien yang berbeda budaya, maka perawat
profesional tetap memberikan asuhan keperawatan yang tinggi, demi terpenuhinya kebutuhan dasar klien
tersebut. Perawat profesional akan berfikir kritis dalam menangani hal tersebut. Sangatlah penting
memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien.
Karena bila terabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya Cultural Shock (Leininger,1991)Cultural
Shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan
nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi (Nurdiansyah, 2009).Untuk mengatasi masalah
tersebut perlu diterapkannya Transcultural Nursing dimana praktek keperawatan fokus memandang perbedaan
dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan budaya
atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger,2002, dalam: nurdiansyah,2009).Asuhan budaya akan
diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan profesional yang peka- budaya, tepat- budaya, dan kompeten
secara budaya untuk memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan medikal bedah. Ini adalah pemberian asuhan
keperawatan yang melintasi batasan budaya dan mempertimbangkan konteks tempat tinggal klien tersebut
serta situasi yang menyebabkan munculnya masalah kesehatan klien. Peka-budaya menyiratkan bahwa perawat
memiliki beberapa pengetahuan dasar dan sikap konstruktif terhadap tradisi kesehatan yang terobservasi di
antara kelompok budaya yang berbeda yang ditemukan di tatanan tempat praktik mereka. Tepat-budaya
menyiratkan bahwa perawat menerapkan latar belakang pengetahuan dasar yang harus dimiliki guna
memberikan layanan kesehatan terbaik kepada klien tertentu. Kompeten secara budaya menyiratkan bahwa
perawat memahami dan memberikan perhatian terhadap konteks total situasi klien dan menggunakan
kombinasi kompleks pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam pemberian asuhan.(Korier et.al,
2010)?.Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang
dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh, yang mestinya diberikan kepada manusia
sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa pertahanan sampai manusia tersebut meninggal.
Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara
kultur satu tempat dengan tempat lainnya (Nurdiansyah, 2009).Dibawah ini adalah salah satu contoh gambaran
kasus aspek budaya pada praktik keperawatan medikal bedah :
Gambaran Kasus
19Tn. R 40 tahun, beragama islam , suku melayu, bahasa yang digunakan sehari-hari bahasa melayu dirawat di
kelas III RS.P dan mengunakan fasilitas kartu keterangan tidak mampu, dengan latar belakang pendidikan
tamat SD, pekerjaan tani, dan masuk ke RS.P dengan diagnosa medis fraktur tertutup tibia bagian distal,
sebelum klien di bawa ke RS sudah melakukan pengobatan secara tradisonal selama 2 hari , tetapi daerah
fraktur masih bengkak dan nyeri. Oleh dokter klien dianjurkan untuk segera dilakukan operasi karena
mengingat kemungkinan resiko yang akan terjadi jika tidak dilakukan operasi segera. Tetapi pada saat itu klien
dan keluarga yang lain menolak untuk dilakukan tindakan operasi (pemasangan Gips ) karena dia mengira
fraktur tibia yang dialaminya tidak perlu dilakukan operasi (pemasangan Gips) dan masih bisa dilakukan
dengan pengobatan. Selama dirawat klien ditunggu oleh istrinya dan anaknya yang masih sangat kecil, istrinya
setiap hari memberikan pengobatan tradisonal pada kaki suaminya yang fraktur dengan membalut daerah
fraktur menggunakan bermacam-macam ramuan yang terbuat dari rempah-rempah. Dalam mengkonsunsi
makanan tidak ada pantangan bagi klien walau klien yang lain menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi telor
dan ikan karena menurutnya akan memperlambat penyembuhan. Analisa Aplikasi Teori Pada KasusLeninger
menyatakan bahwa tujuan teori culture care adalah memberikan asuhan yang sesuai dengan budaya. . Faktor
struktur social seperti agama, politik, budaya, ekonomi dan kekeluargaan adalah kekuatan yang penting
mempengaruhi asuhan dan mempengaruhi pola sakit dan kesejahteraan. Dia juga menekankan pentingnya
menemukan dasar-dasar dari budaya dan membandingkannya dengan asuhan profesional. Pada kasus, bahwa
klien meyakini kondisi luka yang dialaminya bisa sembuh dengan menggunakan ramuan-ramuan, Tetapi klien
tidak mengetahui bahwa kondisi itu tidak dapat disembuhkan hanya membalut daerah yang fraktur dengan
ramuan-ramuan. Penomena yang terjadi tidak semua pemberi pelayanan kesehatan khususnya perawat yang
manyadari bahwa individu itu berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Maka Perawat perlu
mengeksplorasi pemahaman dan keyakinan pasien yang melatar belakangi pengobatan tradisional yang
dilakukan klien. Pada saat mengekplorasi nilai-nilai budaya yang dianut klien perawat harus memperhatikan
kesesuaian dan memahami bagaimana ekspresi yang ditunjukkan oleh klien sesaui dengan perasaannya, serta
kesesuaian antara verbal dan non verbal, begitu juga sebaliknya perawat harus menunjukan kesesuaian ekpresi
verbal dan non verbal saat berinteraksi dengan klien sehingga perawat dapat menggali aspek budaya yang
dimiliki klien, seperti faktor nilai budaya dan gaya hidup, bahasa, klien menggunakan bahasa melayu dan
perawat hendakya mengunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh klien. Karena perbedaan bahasa antara
perawat dan klien dapat menyebabkan miskomunikasi yang pada akhirnya akan menghambat tujuan dari
asuhan keperawatan. Kebiasaan makan klien mengkonsumsi makanan tidak bertentangan dengan dengan
kesehatan seperti, ikan, telor dll walaupun dalam kondisi sakit klien tidak ada pantangan. Dari faktor agama
yang diyakini klien mengajarkan untuk terus berihtiar agar diperoleh kesembuhan. Dari faktor konsep diri
klien tidak merasakan fraktur pada kakinya sebagai suatu masalah. Di rumah sakit diberlakukan peraturan bagi
penunggu pasien terutama anak tidak diperkenankan untuk ikut menunggu dan adanya pembatasan jam
kunjungan, sementara itu pada kebudayaan pasien setiap ada keluarga atau tetangga yang sakit keluarganya
dan tetangganya datang mengunjungi klien secara bersama-sama. Pada saat melakukan asuhan keperawatan
terkadang perawat selalu saja mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kebudayan sehingga
sering terjadi miskomunikasi antara klien dengan pemberi pelayanan.Pada kasus, sebelum pasien di bawa ke
rumah sakit, Ia sudah melakukan pengobatan tradisional selama 2 hari, dan hal ini sudah menjadi keyakinan
klien dalam melakukan penanganan awal pada kondisi sakit. Sesuai dengan konsep kebudayaan menurut
Leininger dalam buku Trancultural nursing concepts theoris and practices ( 1978 & 1995 ) yaitu klien yang
membutuhkan pelayanan keperawatan ( caring ), pertama sekali cenderung untuk mencari bantuan dari pihak
keluarga maupun relasinya dalam mengatasi masalah, baru kemudian mencari pemberi pelayanan kesehatan
profesional apabila orang-orang terdekatnya tidak mampu memberikan kondisi yang efektif, sehingga keadaan
klien semakin memburuk atau terjadi kematian. Dalam hal ini faktor teknologi merupakan sarana yang
memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran untuk menyelesaikan masalah dalam
pelayanan kesehatan. Perawat menjelaskan keuntungan dan kerugian dari setiap teknologi yang digunakan
untuk mencapai tingkat penyembuhan yang optimal seperti menyarankan klien untuk dilakuakan pemasangan
Gips sesuai dengan perintah dokter.
Klien dan keluarga memegang erat nilai budaya dan gaya hidup yang diyakininya karena pada saat klien akan
dilakukan operasi (pemasangan Gips), keluarga dan klien sendiri menolak, klien merasa jika sudah dilakukan
operasi dia tidak akan bisa lagi membalut kakinya yang fraktur dengan ramuan-ramuan tradisonal yang
menurut klien dan keluarganya dapat membantu penyembuhan, maka timbullah perbedaan utama antara nilai
perawatan tradisional dengan perawatan profesional, yang merupakan tanda dari konflik budaya antara
pemberian pelayanan kesehatan profesional dan klien, yang dapat menimbulkan masalah keperawatan yang
memerlukan penangan yang khusus dari perawat (Perawat transkultural) yang bisa memberi dukungan,
fasilitas atau keputusan dan tindakan profesional yang dapat menolong klien untuk mengubah atau
memodifikasi cara hidup mereka agar lebih baik dan memperoleh pola perawatan yang lebih menguntungkan
dengan menghargai nilai yang dimiliki klien sesuai dengan budayanya, yang menurut Leininger ada 3 tindakan
keperawatan pada teori cultural care yang digambarkan pada sunrise model yaitu (Leininger,1991):1. Cultural
Care Preservation/ maintenanceTindakan keperawatan berfokus pada memberikan dorongan, membantu,
mempasilitasi untuk memulihkan pasien dari sakit atau kecacatan atau kematian ( Budaya yang sesuai dapat
dipertahankan atau diadopsi ) Contoh pada kasus klien meyakini tidak ada pantangan makanan bagi dirinya
yang sedang menderita faktur, walaupun pasien lain yang sekamar dengannya menganjurkan untuk tidak
mengkonsumsi telur, ikan , karena menurutnya akan memperlambat penyembuhan. Keyakinan klien ini perlu
dipertahankan konsep yang sama dengan perawatan profesional.2. Cultural Care
Accommodation/NegotiationPerawat berupaya untuk mempasilitasi membantu atau mendukung tindakan-
tindakan dengan cara bernegosiasi dengan pasien untuk beradaftasi dengan pola-pola asuhan yang bermanfaat
atau yang sesuai dengan sasaran atau tujuan kesehatan. Contoh pada kasus klien membawa anaknya yang
masih kecil untuk tetap tinggal di rumah sakit, maka perawat bernegosiasi dengan klien dan keluarga untuk
mengatasi masalah ini dengan menggambarkan sisi positif dan negatif jika anaknya tetap tinggal di Rumah
Sakit atau dibawa pulang.
3. Cultural Care Repatterning/ Restructuring. Tindakan profesional yang bertujuan membantu klien merubah
arti kesehatan atau pola hidup yang lebih sehat dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya klien. Pada kasus,
nilai budaya yang diyakini klien dapat mengganggu proses penyembuhan dan akan berakibat buruk seperti
terjadinya bengak dan infeksi pada kaki klien. Maka perawat dapat memodifikasi tindakan tradisional klien
dengan tetap mempertahankan tindakan profesional, misalnya dengan memberikan alternatif bahwa ramuan
tersebut bisa saja diracik menjadi suatu obat yang bisa dikonsumsi melalui oral dan tidak harus ditempelkan di
kaki yang praktur sehingga proses operasi ( pemasangan Gips) bisa berjalan dengan baik dan proses
pengobatan tradisional juga bisa berjalan sehingga keyakinan klien akan budayanya tetap dapat dipertahankan
dan tujuan keperawatan tercapai dengan baik. Karena menurut leininger Jika terdapat hubungan yang erat
antara praktek dan keyakinan pemberi dan penerima pelayanan praktek keperawatan, hasil yang diperoleh
klien akan dapat ditingkatkan dan lebih memuaskanPada kasus ini proses eveluasi tidak dilakukan ,karena
Sunrise model tidak sampai pada tahap evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai