Anda di halaman 1dari 95

LAPORAN TUTORIAL

MATA KULIAH BAKTERIOLOGI III


Dosen Pembimbing : Indah Sari, S.Si.T.,M.Si

Anggota
1. Fitri Desmayana (51119011)
2. Hany Rizki Ananda (51119012)
3. M. Nur Ramadhan (51119014)
4. M. Rian Segara (51119015)
5. Margaret (51119016)
6. Masayu Putri Salsabila (51119017)
7. Nadya Salsabilah (51119018)
8. Nadila Tri Melani (51119019)
9. Nadya Wevi Tamala (51119020)

Scenario Kasus 1

Pasien anak dengan usia 8 tahun datang pada dokter dengan keluhan infeksi akut pada saluran
pernafasan bagian atas. Hasil swab tenggorokan pasien dikirim ke laboratorium untuk
dianalisa. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis bakteri tersebut berbentuk basil dan pada
ujungnya terlihat pentolan yang menyerupai granula. Bagaimana tahapan Pra Analitik,
Analitik, dan Pasca Analitik pada kasus tersebut?

7 STEP PENYELESAIAN KASUS :

STEP 1 KLARIFIKASI ISTILAH

1. Infeksi Akut
Infeksi akut merupakan pernyataan gejala yang di alami pasien yang mengalami
gangguan pernapasan pada kasus ini, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan
penyakit menular yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia
(Setiawaty, dkk. 2018).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi yang paling banyak terjadi pada
manusia di segala umur. Anak-anak dan bayi yang paling rentan dan banyak terkena ISPA.
ISPA pada umumnya bersifat ringan dan biasanya disebabkan oleh virus, dan bakteri
bakteri.
ISPA adalah penyakit yang disebabkan oleh berbagai macam mikrorganisme dan
dapat menyebabkan Infeksi. Kematian yang disebabkan oleh infeksi terjadi 2-6 kali lebih
tinggi di negara berkembang. Infeksi merupakan salah satu faktor penyebab kematian
anak- anak di bawah umur lima tahun (Syarifuddin dan Natsir.. 2019)
3. Pasien
Pasien adalah orang sehat yang menderita penyakit. Reaksi tubuh terhadap suatu bibit
penyakit (penyebab agent) biasanya sangat spesifik meskipun terdapat variasi individual
akibat proses adaptasi maupun persepsi terhadap rasa sakit yang tidak sama dari orang ke
orang. Jadi, setiap penyebab mengakibatkan kerusakan tertentu pula yang kemudian oleh
pasien dirasakan sebagai rasa sakit atau rasa tidak nyaman. Rasa sakit yang diderita pasien
yang biasanya diceritakan penderita disebut gejala penyakit (symptom) (Hardjodisastro,
2006).
4. Laboratorium
Laboratorium adalah suatu tempat dimana dilakukan kegiatan percobaan, pengukuran,
penelitian atau riset ilmiah yang berhubungan dengan ilmu sains (kimia, fisika, biologi)
dan ilmu-ilmu lainnya (Fatmariza M, dkk. 2017).
5. Analisa
Analisa adalah penelusuran kesempatan atau stantangan atau sumber. Analisa juga
melibatkan pemecahan suatu keseluruhan kedalam bagian-bagian untuk mengetahui sifat,
fungsi dan saling berhubungan antar bagian tersebut (Wedianto, dkk. 2016).
6. Granula
Granula merupakan gumpalan- gumpalan dari partikel-partikel yang lebih kecil
dengan bentuk tidak merata dan menjadi seperti partikel tunggal yang lebih besar
(Elisabeth, dkk. 2018).
7. Bakteri
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak memiliki selubung
inti). Bakteri dapat hidup di tanah, air, mata air panas yang asam, limbah radioktif, hingga
kerak bumi. Bakteri juga menjalin hubungan simbiosis dengan tumbuhan dan hewan
(Emda Amna, 2014).
8. Pra Analitik
Tahap pra analitik meliputi tahap pengumpulan sampel, penanganan dan pengelolaan
sampel, dan faktor pasien ( Hasan, 2017).
9. Analitik
Kegiatan laboratorium yang dilakukan pada tahap analitik meliputi:
1. Pemeriksaan spesimen
2. Pemeliharaan dan Kalibrasi alat
3. Uji kualitas reagen
4. Uji Ketelitian - Ketepatan
Tujuan pengendalian tahap analitik yaitu untuk menjamin bahwa hasil pemeriksaan
spesimen dari pasien dapat dipercaya/ valid, sehingga klinisi dapat menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium tersebut untuk menegakkan diagnosis terhadap pasiennya
(Siregar, dkk. 2018).
10. Pasca Analitik
Tahap pasca analitik meliputi tahap penulisan hasil, interpretasi hasil dan pelaporan
hasil (Siregar, dkk. 2018).

STEP 2 ANALISIS MASALAH


1. Apa keluhan yang dialami ?
2. Bagaimana cara pengambilan swab tersebut?
3. Bakteri yang menginfeksi penyakit tersebut?

STEP 3 PENJELASAN MASALAH


1. Pasien mengeluh infeksi akut saluran pernafasan bagian atas
2. Prosedur Pengambilan Swab Orofaring :
a. Petugas mempersilahkan pasien duduk dan kemudian membuka masker
b. Pasien menegadahkan kepala dan membuka mulut selebar mungkin
c. Masukkan dacron swab ke mulut pasien sampai daerah orofaring dan pertahankan
sselama 10-15 detik
d. Fokuskan pengambilan swab pada daerah pilar tonsil kanan dan kiri dan orofaring
posterior
e. Meminta pasien mengatur nafas untuk mengurangi refleks muntah
f. Dacron swab dikeluarkan dari mulut, kemudian masukkan ke dalam tabung
g. Tutup tabung dengan rapat dan berikan label pasien (Ramlan, 2020)
3. Bakteri corynebacterium diphtheria

STEP 4 PRA ANALITIK, ANALITIK DAN PASCA ANALITIK


A. Pra Analitik
Tahap pra analitik adalah serangkaian kegiatan laboratorium sebelum pemeriksaan
spesimen yang meliputi :
a. Persiapan pasien
b. Pemberian identitas specimen
c. Pengambilan dan penampungan specimen
d. Penanganan specimen
e. Pengiriman specimen
f. Pengolahan dan penyiapan spesime (Siregar, dkk. 2018).
B. Analitik
Prosedur Kerja
Hari Pertama
Pembuatan Larutan Pewarnaan Albert :
Larutan I
a. Toluidin biru 0,15 gram
b. Malachit hijau (Methyl hijau) 0,20 gram
c. Asam asetat glacial 1 ml
d. Alkohol 95% 2 ml
e. Aquadest 100ml
(Zat warna dilarutkan dulu dalam alkohol, kemudian tambah air dan akhirnya asam
asetat glacial. Biarkan 24 jam, saring dan baru dapat dipakai).
Larutan II
a. Jodium 2 gram
b. Kalium Jodida 3 gram
c. Aquadest 300 ml

Pewarnaan Albert :

a. Buat sediaan dan sesudah direkatkan, bubuhi dengan larutan I, biarkan kira-kira 3-5
menit.
b. Cuci dengan air keran, kemudian bubuhi dengan larutan II, biarkan kira-kira 1 menit.
c. Larutan pulas pada objek glas dibuang, keringkan dengan kertas saring.
d. Periksa dengan mikroskop dan hasil pewarnaan :
Bakteri (Basil) : Hijau
Granula : Hitam Kebiru-Biruan (Arianda Dedy. 2016)

Inokulasi ke Media TCBS

a. Spesimen yang berasal dari swab tenggorok di ambil dengan swab khusus, di gulirkan
pada permukaan TCBS, biasanya di gulirkan dengan bentuk zig-zag.
b. Media yang telah di tanami di masukkan ke inkubator pada suhu 36°C selama 48 jam.

Hari Kedua
Pengamatan Morfologi Koloni Secara Makroskopis
1. Media Agar Coklat
a. Bentuk (bulat)
b. Warna (putih)
c. Ukuran/Diameter (kecil)
d. Sifat (Bergerombol)
2. Pewarnaan Albert :
a. Buat sediaan dan sesudah direkatkan, bubuhi dengan larutan I, biarkan kira-kira 3-
5 menit.
b. Cuci dengan air keran, kemudian bubuhi dengan larutan II, biarkan kira-kira 1
menit.
c. Larutan pulas pada objek glas dibuang, keringkan dengan kertas saring.
d. Periksa dengan mikroskop dan hasil pewarnaan :
Bakteri (Basil) : HijauGranula : Hitam Kebiru-Biruan. (Arianda Dedy.
2016)
Hari Ketiga
1. Uji Biokimia

a. Uji biokimia juga bisa dilakukan dengan inokulasi kembali koloni yang diduga
pada medium CTBA ke medium agar darah.

b. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

c. Kemudian dilakukan uji biokimia menggunakan produk komersial API Coryne dan
dianalisis dengan software komputer dari pabrikan.

d. Setelah dipastikan bahwa bakteri yang diperiksa adalah Corynebacterium


diphtheriae, dilakukan uji toksigenitas.

2. Tes Toksigenitas

Uji toksigenisitas untuk difteri dilakukan dengan metode Polimerase Chain Reaction
(PCR) menggunakan salah satu pasangan primer dengan target gen tox (dtx) yakni
5’GTTTGCGTCAATCTTAATAGGG3’ (dengan posisi nukleotida 15-36) dan
5’ACCTTGGTGTGATCTACTGTTT3’ (dengan posisi nukleotida 1622-1634);
dengan primer tersebut akan dilakukan produk PCR (amplicon) sepanjang 248 pb
(pasang basa). Ekstraksi DNA menggunakan Qiamp DNA Mini Kit (Qiagen) sesuai
dengan prosedur yang dikeluarkan Qiagen (Sariadji,dkk. 2015).
C. Pasca Analitik
Pasca Analitik meliputi :
1. Pelaporan
2. Validasi hasil
Setelah dilakukan pewarnaan albert dan isolasi sampel pasien didapatkan hasil
mikroskopis yaitu bakteri berbentuk batang berwarma hijau dan granulanya berwarnaa
hitam kebiru-biruan.
STEP 5 TUJUAN BELAJAR
Pada tutorial yang telah dilaksanakan anggota kelompok tutorial telah tercapai tujuan belajar
dan memahami kasus tersebut

STEP 6 INFORMASI TAMBAHAN


Anatomi sistem respirasi
Anatomi atau struktur sistem respirasi yang akan dibahas meliputi saluran nafas atas
dan bawah. Saluran nafas atas terdiri dari hidung dan rongga hidung, faring, dan laring.
Sedangkan saluran pernafasan bagian bawah terdiri dari trakea, bronkus, paru-paru dan alveoli.
Saluran nafas atas adalah daerah dimana udara bergerak menuju area pertukaran gas di paru-
paru. Meskipun demikian, beberapa referensi berbeda dalam mendefinisikan bagian dari
saluran nafas atas dan bawah sebab pembagian ini bukan istilah anatomi yang resmi (Umara
dkk, 2021).
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
ISPA adalah salah satu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala batuk,
filek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung sampai dengan 14
hari. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) meliputi saluran pernafasan bagian atas, yaitu
hidung, telinga, tenggorokan bagian atas (farings) dan saluran pernafasan bagian bawah yaitu
laring, trakea, bronchiolis, dan paru-paru (Poetra dan Nuryadin, 2021)
Pewarnaan Granula
Granula sitoplasma di dalam sel b akteri terdapat dalam vakuola/bentuk deposit
konsentrat dari suatu substansi, seperti: tetesan lemak/granula polisakarid a yang terdiri dari
glikogen. Granula sitoplasma (granula volutin) yang spesies bakteri, alga, protozoa, dll.
Komponen adalah granula ada pada beberapa metakromatik polifosfat yang berperan utamanya
sebagai sumber ribonukleat (RNA). Granula ini paling banyak adalah energi cadangan dan
asam diketemukan pada kultur bakteri yang sudah tua (minimal 72 jam): yaitu tepat sebelum
bakteri Disebut mengalami metakromatik karena bila diwarnai, warnanya kekurangan nutrisi.
akan berbeda dengan zat warna yang digunakan. Granula metakromatik menunjukkan afinitas
yang tinggi terhadap zat warna basa seperti biru metilen, granula akan terwarnai paling pekat
dibandingkan dengan bagian lain s el bakteri. Sel-sel bakteri ini akan tampak khas, seperti
untaian manik- manik/tasbeh. Pada beberapa sel bakteri, granula terletak pada gambaran
bipolar bila diwarnai. ujung-ujung sel dan menghasilkan Granula metakromatik terdapat dalam
berbagai macam bakteri, di antaranya adalah genus Corynebacterium. C. diphtheriae
menyebabkan penyakit difteri, selain spesies ini terdapat pula kelompok lain yang
Corynebacterium diphtheroids. termasuk dalam genus yang disebut bakteri Antara
Corynebacterium bakteri-bakteri diphteroids dan diphtherioe kemiripan satu memiliki
keterkaitan dan sama lain. Bakteri diphteroids banyak ditemukan di mukosa tenggorok dan
kulit manusia sebagai flora normal, memiliki susunan sel yang khas, membentuk palisade, di
mana sel-sel tersebut tersusun satu sama lain seperti pagar kayu yang berhimpitan.
Corynebacterium, Sebagian memiliki granula metakromatik, tapi ada yang tidak, seperti pada
bakteri Corynebacterium pseudodiphteriticum. Pada beberapa spesies, granula karakteristik
dalam sel, sehingga berguna dalam membedakan antar spesiesnya. besar genus tersebut
menduduki lokasi yang Pewarnaan diferensial Albert digunakan untuk mewarnai granula
metakromatik dari bakteri Corynebacterium dengan badan sel bakteri. Pewarnaan ini sering
disebut pe warnaan difteri Albert. Selain dengan pewarnaan Albert, granula metakromatik dari
C. diphtheria e yang kontras diphtheriae juga dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan
Neisser. C. diphtheriae berkolonisasi di mukosa faring (terutama genitalia, dan lesi pada kulit
(biasa di daerah tropik dengan higiene kulit yang buruk). tonsil), laring, hidung, traktus
(Moehario, 2019).

STEP 7 PRESENTASI
DAFTAR PUSTAKA

Adrianda Dedy. 2016. Buku saku Bakteriologi, AM-Publishing, Bekasi.


Elisabeth Victoria, dkk. 2018. Formulasi Sediaan Granul Dengan Bahan Pengikat Pati Kulit
Pisang Goroho (Musa Acuminafe L.) Dan Pengaruhnya Pada Sifar Fisik Granul.
Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 7 No. 4 hal 1-11.
Emda Amna. 2014. Laboratorium Sebagai Sarana Pembelajaran Kimia Dalam Meningkatkan
Pengetahuan dan Keterampilan Kerja Ilmiah. Lantanida Journal. Vol 2. No. 218-229.
Fatmaniza M, dkk. 2017. Tingkat Kepadatan Media Nutrient Agar Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Staphylococcus Aureus. Jurnal Analisa Medika Bio Sains. Vol 4. No. 2 hal
69-73.
Hasan Ali Zulfikar, dkk. 2017. Variasi Perlakuan Penaganan Sampel Serum dan Pengaruhnya
Terhadap Hasil Pemeriksaan Kreatinin Darah. JST Kesehatan. Vol 7 No.1 hal 72-
78.
Hardjodisastro, Daldiyono. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran : Bagaimana Cara Dokter
Berfikir, Bekerja, dan Menampilkan Diri. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Moehario, Lucky H. 2019. Panduan Praktikum Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Khatolik
Indonesia Atma Jaya.
Ramlan, A. A. W. 2020. Penanganan Covid-19 : Pengalaman RSUI. Jakarta. UI Publishing.
Sariadji Kambang, dkk. 2015. Penerapan Diagnostik Laboratorium pada Kasus Tersangka
Positif Difteri pada Kejadian Luar Biasa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat Pusat
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Kemenkes RI. Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia. Vol 3. No. 1 hal 31-36.

Setiawaty Vivi, dkk. 2018. Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di
Rumah Sakit (Studi Pendahuluan dengan Uji Fast-Track Diagnostik) Media
Litbangkes. Media Litbangkes. Vol. 28 No. 4 hal 257-262.
Siregar Maria Tuntun, dkk. 2018. Kendali Mutu. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Badan Pengembangan Dan Pemerdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Syarifuddin Nuraeni dan Natsir Siska. 2019. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penderita
Infeksi Saluran Pernfasan Akut (ISPA) Di Puskesmas Empagae Kabupaten Sidenreng
Rappang. Jurnal Ilmiah Kesehatan Iqra. Vol 7 No. 2 hal 58-63.
Umara Fitrah Annisaa, dkk. 2021. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi.
Medan:Yayasan Kita Menulis.
Poetra Perdana Ricky dan Nuryadin Amelia Afriyana. 2021. Hubungan Kamarisasi dan Bahan
Bakar Biomassa Terhadap Kejadian Infeksi Pernafasan Akut pada Balita.
Makassar:Tohar Media.
Wedianto Andre, dkk. 2016. Analisa Perbandingan Metode Filter Gaussian, Mean dan
Median Terhadap Reduksi Noise. Jurnal Media Infotama. Vol 12 No.1 hal 21-30.
Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014

LABORATORIUM SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN KIMIA DALAM


MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN KERJA ILMIAH

Amna Emda
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh
E_mail: amna_emda12@yahoo.com

Abstract

Laboratory is one of the tool that is used to learn chemistry. In learning we expected
that students not only know, but also understand the subject very well. Knowledge about
theory that is scientific can be proved by doing some experiments in the laboratory. With the
existence of the laboratory, students will understand more about the subject by doing
scientific works. Therefore students will have a good grip on the scientific work’s step and
their knowledge will last longer.

Keywords : Laboratorium,knowledge and scientific process

PENDAHULUAN

Dewasa ini belajar berpusat pada peserta didik (student centered) yang dijadikan
pendekatan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun
meliputi unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.1 Pembelajaran pada hakekatnya adalah
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan
tingkah laku keaarah yang lebih baik.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Tugas pendidik yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar
menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik,2 Kegiatan pembelajaran
diarahkan untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Harapannya
agar peserta didik memiliki kompetensi melalui upaya menumbuhkan serta mengembangkan
sikap/attitude, pengetahuan/knowledge, keterampilan/skill. Kualitas yang harus terealisasikan
antara lain kreativitas, kemandirian, kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi
dan kecakapan hidup peserta didik guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan
martabat bangsa,3

1
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008). H. 57
2
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007). H. 100
3
M. Hosnan, Pendekatan saintifikdan Kontekstual dalam Pembelajran Abad 21, Kunci Sukses Implementasi
Kurikulum 2013, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2014). h.1
Salah satu cara untuk memberdayakan potensi peserta didik adalah menyediakan
laboratorium. Laboratorium dibutuhkan sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan
kertrampilan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran IPA atau sains. Laboratorium
merupakan salah satu prasarana pembelajaran yang dapat digunakan sebagai tempat untuk
melatih peserta dalam memahami konsep-konsep dan meningkatkan keterampilan dalam
melakukan percobaan ilmiah.

Keberadaan laboratorium dalam pembelajaran di bidang IPA atau sains khususnya


kimia adalah suatu yang sangat penting. Laboratorium merupakan wadah untuk membuktikan
sesuatu yang harus dilakukan melalui suatu percobaan. Peserta didik dapat melakukan
percobaan untuk membuktikan teori-teori ilmiah yang diperolehnya dalam pembelajaran.

Dalam pendidikan sains kegiatan laboratorium merupakan bagian integral dari


kegiatan belajar mengajar, khususnya kimia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan
kegiatan laboratorium untuk mencapai tujuan pendidikan. Kegiatan di laboratorium
memberikan kemudahan bagi peserta dalam memahami apa yang mereka pelajari materi
melalui pendekatan kerja ilmiah.

Kimia merupakan salah satu bidang studi sains yang dikembangkan berdasarkan
eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala
alam, khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, transformasi, dinamika dan
energinetika zat yang melibatkan penalaran dan ketrampilan.4 Ilmu kimia merupakan rumpun
IPA yang pada hakikatnya dapat dipandang sebagai proses dan produk. Kimia sebagai proses
meliputi ketrampilan dan sikap yang dimiliki oleh ilmuwan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan. Kimia sebagai produk meliputi sekumpulan pengetahuan yang
terdiri dari fakta, konsep, dan prinsip kimia. 5

Pengertian dan Fungsi Laboratorium

Laboratorium adalah suatu tempat dimana dilakukan kegiatan percobaan, pengukuran,


penelitian atau riset ilmiah yang berhubungan dengan ilmu sains (kimia, fisika, biologi) dan
ilmu-ilmu lainnya. Laboratorium bisa berupa ruangan yang tertutup seperti kamar atau
ruangan terbuka seperti kebun dan lain-lain.

4
Depdiknas, Standar Kompeensi Mata Pelajaran kimia SMA dan MA, (Jakarta: Depdiknas, 2003) h. 6-7
5
Raymond Chang, Kimia dasar Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 2000) h. 4

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 219


Laboratorium merupakan tempat untuk mengaplikasikan teori keilmuan, pengujian
teoritis, pembuktian ujicoba, penelitian dan sebagainya dengan menggunakan alat bantu yang
menjadi kelengkapan dari fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. 6
Laboratorium adalah tempat sekelompok orang yang melakukan berbagai macam
kegiatan penelitian (riset), pengamatan, pelatihan dan pengujan ilmiah sebagai pendekatan
antara teori dan praktik dari berrbagai macam disiplin ilmu. Secara fisik laboratorium juga
dapat merujuk kepada suatu ruangan tertutup, kamar atau ruangan terbuka.7 Laboratorium
harus dilengkapi dengan berbagai sarana prasarana untuk kebutuhan percobaan. Laboratorium
sebagai tempat kegiatan riset, penelitian, percobaan, pengamatan, serta pengujian ilmiah
memiliki banyak fungsi, yaitu :
1. Menyeimbangkan antara teori dan praktik ilmu dan menyatukan antara teori dan praktik
2. Memberikan keterampilan kerja ilmiah bagi para peneliti, baik dari kalangan siswa,
mahasiswa, dosen, atau peneliti lainnya. Hal ini disebabkan laboratorium tidak hanya
menuntut pemahaman terhadap objek yang dikaji, tetapi juga menuntut seseorang untuk
melakukan eksperimentasi.
3. Memberikan dan memupuk keberanian para peneliti (yang terdiri dari pembelajar, peserta
didik, mahasiswa, dosen dan seluruh praktisi keilmuan lainnya) untuk mencari hakikat
kebenaan ilmiah dari suatu objek keilmuan dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial.
4. Menambah keterampilan dan keahlian para peneliti dalam mempergunakan alat media
yang tersedia di dalam laboratorium untuk mencari dan menentukan kebenaran ilmiah
sesuai dengan berbagai macam riset ataupun eksperimentasi yang akan dilakukan.
5. Memupuk rasa ingin tahu kepada para peneliti mengenai berbagai macam keilmuan
sehingga akan mendorong mereka untuk selalu mengkaji dan mencari kebebaran ilmiah
dengan cara penelitian, ujicoba, maupun eksperimentasi.
6. Laboratorium dapat memupuk dan membina rasa percaya diri para peneliti dalam
keterampilan yang diperoleh atau terhadap penemuan yang didapat dalam proses kegiatan
kerja di laboratorium.
7. Laboratoriun dapat menjadi sumber belajar untuk memecahkan barbagai masalah melalui
kegiatan praktik, baik itu masalah dalam pembelajaran, masalah akademik, maupun
masalah yang terjadi ditengah masyarakat yamg membutuhkan penanganan dengan uji
laboratorium.

6
Depdiknas, SPTK-21, (Jakarta: Depdiknas, 2002) h. 12
7
Decaprio Richard, Tips mengelola lab sekolah, (Jogyakarta : Diva Press, 2013) h 16

220 – Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014


8. Laboratorium dapat menjadi sarana belajar bagi para siswa, mahasiswa, dosen, aktivis,
peneliti dan lain-lain untuk memahami segala ilmu pengetahuan yang masih bersifat
abstrak sehingga menjadi sesuatu yang bersifat konkret dan nyata8

Secara garis besar fungsi laboratorium adalah sebagai berikut:


1. memberikan kelengkapan bagi pelajaran yang telah diterima sehingga antara teori dan
praktek bukan merupakan dua hal yang terpisah.
2. memberikan ketrampilan kerja ilmiah bagi mahasiswa/siswa.
3. memberikan dan memupuk keberanian untuk mencari hakikat kebenaran ilmiah dari
suatu objek dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial.
4. menambah keterampilan dalam menggunakan alat dan media yang tersedia untuk mencari
dan menemukan kebenaran.
5. memupuk rasa ingin tahu mahasiswa/siswa sebagai modal sikap ilmiah seorang calon
ilmuan.
6. memupuk dan membina rasa percaya diri sebagai akibat keterampilan yang diperoleh,
penemuan yang didapat dalam proses kegiatan kerja laboratorium.
Lebih lanjut Sudaryanto menyatakan peranan dan fungsi labortorium ada tiga, yaitu
sebagai (1) sumber belajar, artinya laboratorium digunakan untuk memecahkan masalah yang
berkaitan dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik atau melakukan percobaan, (2)
metode pendidikan, yang meliputi metode pengamatan dan metode percobaan, dan (3) sarana
penelitian, yaitu tempat dilakukannya berbagai penelitian sehingga terbentuk pribadi peserta
didik yang bersikap ilmiah.

Menurut Depdikbud tujuan pengadaan laboratorium diantaranya adalah


meningkatkan kemampuan praktek peserta didik di laboratorium. Adapun tujuan penggunaan
laboratorium kimia/ IPA bagi peserta didik antara lain :

1. mengembangkan keterampilan (pengamatan, pencatatan data, penggunaan alat, dan


pembuatan alat sederhana).
2. Melatih bekerja cermat, serta mengenal batas-batas kemampuan pengukuran laboratorium
3. Melatih ketelitian mencatat dan kejelasan melaporkan hasil percobaan
4. Melatih daya berfikir kritis, analitis melalui penafsiran eksperimen
5. Memperdalam pengetahuan
6. Mengembangkan kejujuran dan rasa tanggung jawab

8
Richard Decsaprio, Tips Mengelola Laboratorium...hal 17-20

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 221


7. Melatih merencanakan dan melaksanakan dan percobaan lebih lanjut dengan
menggunakan bahan-bahan dan alat yang ada

Kerja Ilmiah Menggunakan Laboratorium

Pembelajaran IPA yang efektif menuntut pembelajaran konsep dan sub-konsep yang
berfokus pada pengembangan keterampilan proses melalui penelitian sederhana, percobaan,
demontrasi dan sejumlah kegiatan praktis lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dikatakan bahwa standar sarana dan
prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal, salah
satu fasilitas penunjang pendidikan yang sangat penting adalah adanya laboratorium di
sekolah.9
Kerja ilmiah adalah suatu keterampilan proses sains (KPS) yang merupakan
keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat
digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan
konsep yang telah ada sebelumnya. Jadi, KPS adalah kemampuan siswa untuk menerapkan
metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan.10

Tempat dilakukan kegiatan kerja ilmiah atau Ketrampilan Proses Sains umumnya di
laboratorium. Laboratorium merupakan tempat dilakukannya percobaan dan penelitian.
Tempat ini dapat berupa ruang tertutup, kamar atau ruang terbuka, atau kebun. Berdasarkan
Depdikbud dalam Supriatna (2008), dalam pengertian yang terbatas, laboratorium merupakan
suatu ruang tertutup dimana percobaan/eksperimen dan penelitian yang dilakukan.
Laboratorium dilengkapi sejumlah peralatan yang dapat digunakan siswa untuk melakukan
eksperimen atau percobaan dalam sains, melakukan pengujian dan analisis,
melangsungkan penelitian ilmiah, ataupun paraktek pembelajaran dalam sains.
Keterampilan dasar bekerja ilmiah merupakan perluasan dari metode ilmiah yang
diartikan sebagai scientific inquiry, yang diterapkan dalam tindakan pembelajaran IPA
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Rustaman berpendapat bahwa kemampuan dasar
bekerja ilmiah terdiri atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dalam
pembelajarannya dapat dilakukan melalui pemberian dalam bentuk kegiatan mandiri atau
kelompok kecil.11

9
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
10
Indrawati, Keterampilan Proses Sains: Tinjauan Kritis dari Teori ke Praktis, (Bandung: Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, 1999), h. 3.
11
Rustaman N.Y., dkk. Strategi Belajar Mengajar Biologi, ( Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA
UPI 2003). h. 17

222 – Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014


Keterampilan dasar bekerja ilmiah sebagian besar memiliki irisan dengan jenis-jenis
keterampilan proses yang merupakan penjabaran dari metode ilmiah pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah banyak beririsan dengan keterampi-lan proses yang mencakup
keterampilan mengajukan pertanyaan, melakukan pengamatan, (observasi), mengelompokkan
( klasifikasi), melakukan inferensi, memprediksi, menafsirkan dan merencanakan percobaan
atau penelitian, menggunakan alat / bahan, berkomunikasi dan berhipotesis.

Kerja ilmiah diungkapkan menjadi kemampuan-kemampuan merencanakan dan


melaksanakan penyelelidikan, melaksanakan percobaan dan berkomunikasi ilmiah
pengalaman bekerja ilmiah perlu dikembangkan supaya siswa mampu mengembangkan
keterampilan proses, sikap ilmiah dan menguasai konsep fisika untuk memecahkan masalah,
memahami masalah dan menyelesaikan masalah.

Kegiatan penyelidikan/ percobaan (kerja ilmiah) selalu dikembangkan dengan


pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses yang meliputi kemampuan mengamati, mengukur, meggolongkan,
mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan percobaan termasuk
mengidentifikasi variabel-variabel yang terlibat dalam percobaan, membuat dan menafsirkan
informasi/grafik/data, menerapkan konsep, menyimpulkan, mengkomunikasikan, baik secara
verbal maupun non verbal serta dikembangkan sejumlah sikap dan nilai yang meliputi rasa
ingin tahu, jujur, terbuka, kritis, teliti, tekun, berdaya cipta, kerja sama, peduli terhadap
lingkungan.

Adapun klasifikasi Ketrampilan Proses Sains terdiri dari sejumlah keterampilan tertentu,
sebagai berikut :

1. Mengamati

Mengamati adalah proses pengumpulan data tentang fenomena atau peristiwa dengan
menggunakan inderanya. Untuk dapat menguasai keterampilan mengamati, peserta didik
harus menggunakan sebanyak mungkin inderanya, yakni melihat, mendengar, merasakan,
mencium dan mencicipi. Dengan demikian dapat mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dan
memadai.

2. Mengelompokkan/Klasifikasi

Mengelompokkan adalah suatu sistematika yang digunakan untuk menggolongkan sesuatu


berdasarkan syarat-syarat tertentu. Proses mengklasifikasikan tercakup beberapa kegiatan

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 223


seperti mencari kesamaan, mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, membandingkan, dan
mencari dasar penggolongan.

3. Menafsirkan

Menafsirkan hasil pengamatan ialah menarik kesimpulan tentatif dari data yang
dicatatnya. Hasil-hasil pengamatan tidak akan berguna bila tidak ditafsirkan. Karena itu, dari
mengamati langsung, lalu mencatat setiap pengamatan secara terpisah, kemudian
menghubung-hubungkan hasil-hasil pengamatan itu. Selanjutnya peserta didik mencoba
menemukan pola dalam suatu seri pegamatan, dan akhirnya membuat kesimpulan.

4. Meramalkan

Meramalkan adalah memperkirakan berdasarkan pada data hasil pengamatan yang reliabel
(Firman, 2000). Apabila siswa dapat menggunakan pola-pola hasil pengamatannya untuk
mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamatinya, maka
peserta didik tersebut telah mempunyai kemampuan proses meramalkan.

5. Mengajukan pertanyaan

Keterampilan proses mengajukan pertanyaan dapat diperoleh siswa dengan mengajukan


pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, pertanyaan untuk meminta penjelasan atau pertanyaan
yang berlatar belakang hipotesis.

6. Merumusakan hipotesis

Hipotesis adalah suatu perkiraan yang beralasan untuk menerangkan suatu kejadian atau
pengamatan tertentu.

7. Merencanakan percobaan

Agar peserta didik dapat memiliki keterampilan merencanakan percobaan maka siswa
tersebut harus dapat menentukan alat dan bahan yang akan digunakan dalam percobaan.
Selanjutnya, siswa harus dapat menentukan variabel-variabel, menentukan variabel yang
harus dibuat tetap, dan variabel mana yang berubah. Demikian pula peserta didik perlu untuk
menentukan apa yang akan diamati, diukur, atau ditulis, menentukan cara dan langkah-
langkah kerja. Selanjutnya dapat pula menentukan bagaimana mengolah hasil-hasil
pengamatan.

224 – Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014


8. Menggunakan alat dan bahan

Untuk dapat memiliki keterampilan menggunakan alat dan bahan, dengan sendirinya peserta
didik harus menggunakan secara langsung alat dan bahan agar dapat memperoleh pengalaman
langsung. Selain itu, peserta didik harus mengetahui mengapa dan bagaimana cara
menggunakan alat dan bahan.

9. Menerapkan konsep

Keterampilan menerapkan konsep dikuasai peserta didik apabila mereka dapat menggunakan
konsep yang telah dipelajarinya dalam situasi baru atau menerapkan konsep itu pada
pengalaman-pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.

10. Berkomunikasi

Keterampilan ini meliputi keterampilan membaca grafik, tabel, atau diagram dari hasil
percobaan. Menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel, atau diagram juga termasuk
berkomunikasi. Menurut Firman (2000), keterampilan berkomunikasi adalah keterampilan
menyampaikan gagasan atau hasil penemuannya kepada orang lain.12

Peningkatan Pengetahuan melalui Laboratorium

Salah satu tujuan digunakan laboratorium adalah untuk memperdalam pengetahuan


peserta didik. Laboratorium adalah tempat atau ruangan yang dirancang khusus untuk
pengajaran. 13Pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui pesan lisan yang disampaikan
oleh guru (pendidik) di ruang kelas belum memberikan makna yang mendalam bagi peseta
didik karena masih bersifat abstrak yang berupa teori-teori ilmiah. Berbagai teori yang
diterima di ruang kelas akan lebih bermanfaat bagi siswa bila mereka dapat membuktikan
sendiri melalui percobaan dan pengamatan. Dengan terlibat langsung dalam proses
pembelajaran peserta akan memperoleh kemampuan yang dapat bertahan lebih lama pada
dirinya. Disamping itu peserta didik secara aktif mengembangkan dan membangun
pengetahuannya. Dengan demikian maka laboratorium sangat berperan dalam meningkatkan
pengetahuan peserta didik.

12
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta ,2009). .
13
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana, 2009). h. 298

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 225


Adapun peranan laboratorium di sekolah adalah ;

1. Tempat timbulnya berbagai masalah dan sekaligus tempat memecahkan masalah tersebut
2. Laboratorium sebagai tempat untuk melatih keterampilan serta kebiasaan menemukan
suatu masalah dan sikap teliti
3. Laboratorium sebagai tempat yang dapat mendorong semangat peserta didik untuk
memperdalam pengertian dari suatu fakta yang iselidiki atau diamati.
4. Laboratorium berfungsi sebagai tempat untuk melatih peserta didik bersikap cermat, sabar
dan jujur serta berfikir kritis dan cekatan
5. Laboratorium sebagai tempat bagi peserta didik untuk mengembangkan ilmu
pengetahuannya. 14

Kegiatan dilaboratorium sering disebut dengan praktikum. Kegiatan praktikum dapat


membangkitkan motivasi belajar kimia atau sains bagi siswa. Melalui kegiatan laboratorium
siswa diberi kesempatan untuk memenuhi dorongan rasa ingin tahu dan ingin bisa. Prinsip ini
akan menunjang siswa untuk menemukan pengetahuan melalui eksplorasi Dengan praktikum
peserta didik dilatih untuk mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen.
Eksperimen merupakan aktivitas yang biasa dilakukan oleh ilmuwan. Dengan adanya
kegiatan praktikum di laboratorium akan melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan
bereksperimen. Dengan melakukan eksperimen melatih peserta didik melakukan observasi
dengan cermat, mengukur secara akurat dengan alat ukur, menangani dan menggunakan alat
secara aman, merancang, melakukan dan menginterpretasikan eksperimen. Praktikum menjadi
wahana belajar pendekatan ilmiah. Cara terbaik untuk melakukan pendekatan ilmiah adalah
menjadikan siwa sebagai ilmuwan.

Pembelajaran kimia atau sains akan lebih baik bila dilaksanakan melalui pendekatan
inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagia aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu
pembelajaran sains menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui
penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Kegiatan praktikum
menunjang materi pembelajaran. Dengan praktikum memberikan kesempatan bagi siswa
untuk menemukan teori atau membuktikan teori.

14
Emha, H, Pedoman Penggunaan Laboratorium Sekolah, (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya, 2002) h. 21

226 – Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014


Laboratorium sebagai Sarana Pembelajaran

Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran
proses pembelajaran.15 Salah satu sarana pembelajaran adalah laboratorium. Laboratorium
dalam pembelajaran kimia melibatkan siswa dalam pengalaman konkrit yang diperoleh
melalui kegiatan laboratorium yang sangat penting untuk siswa dalam proses belajar.
Pembelajaran akan lebih efektif jika siswa merefleksikan pengalaman sendiri dan mencoba
menggunakan apa yang dipelajari.

Edgar Dale mengklasifikasikan pengalaman belajar mulai dari hal-hal yang paling
konkrit sampai hal-hal yang dianggap paling abstrak.

Alasan pentingnya kegiatan praktikum sains adalah sebagai berikut :

1. Praktikum membangkitkan motivasi belajar sains. Melalui kegiatan laboratorium siswa


diberi kesempatan untuk memenuhi dorongan rasa ingin tahu dan ingin bisa. Prinsip ini
akan menunjang kegiatan praktikum dimana siswa menemukan pengetahuan melalui
eksploitasinta terhaap alam.
2. Praktikum mengembangkan ketrampilan dasar melakukan eksperimen. Kegiatan
praktikum melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan bereksperimen dengan
melatih kemampuan mereka dalam mengobservasi dengan cermat, mengukur secara
akurat dengan alat ukur secara aman, merancang, melakukan dan menginterpretasikan
eksperimen.
3. Praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah
4. Praktikum dpat menunjang pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.

Pengalaman belajar yang diperoleh siswa melalui proses perbuatan atau mengalami sendiri
apa yang dipelajari adalah suatu pengalaman langsung. Semakin konkret peserta didik
mempelajari bahan pelajaran maka semakin banyak pengalaman yang diperoleh.16

Dalam teori belajar disebutkan bahwa tahap dimulai dari penguasaan kemampuan
mulai dari mengetahui, memahami dan menguasai. Pembelajaran dengan menggunakan
metode verbal dapat membuat peseta didik tahu tetapi cepat lupa. Apabila metode verbal

15
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek KTSP. (Jakarta: Kencana, 2010). h. 200
16
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007). h.
165

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 227


disertai dengan pengamatan, melakukan, peserta didik akan menguasai kemampuan itu dan
bertahan relatif lama dalam dirinya. 17

PENUTUP

Dalam pembelajaran sains khususnya kimia diperlukan sarana dan prasarana salah
satunya adalah laboratorium. Laboratorium merupakan tempat untuk melakukan kegiata
percobaan atau praktikum. Peserta didik akan lebih memahami materi pelajaran apabila
mereka dilibatkan secara aktif dalam proses belajar. Peserta didik akan mengetahui,
memahami dan juga menguasai materi secara baik dengan melakukan kegiatan mengamati
dan melakukan percobaan atau eksperimen. Peserta didik akan terlatih untuk bekerja secara
ilmiah sebagaimana layaknya seorang ilmuwan. Dengan demikian pengetahuan yang
diperoleh akan lebih bertahan lama pada dirinya. Disamping itu peserta didik dapat menguasai
langkah kerja ilmiah sebagaimana yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009.
B.P. Sitepu, Pengembangan Sumber Belajar, Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Conny Semiawan, dkk, Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta, Gramedia, 1990.
Depdiknas, Standar Kompetensi Mata Pelajaran kimia SMA dan MA, Jakarta: Depdiknas,
2003.
Depdiknas, SPTK-21, Jakarta: Depdiknas, 2002.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Emha, H., Pedoman Penggunaan Laboratorium Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2002.
E, Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
H. Firman, Penilaian Hasil Belajar dalam Pengajaran Kimia, Bandung: Jurusan Pendidikan
Kimia FPMIPA UPI, 2000.
M. Hosnan, 2014. Pendekatan saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajran Abad 21, Kunci
Sukses Implementasi Kurikulum 2013. (Jakarta: Ghalia Indonesia..
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta:Bumi Aksara, 2008.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Raymond Chang, Kimia dasar Jilid I. Jakarta: Erlangga, 2000.
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencan, 2007.

17
B.P. Sitepu, Pengembangan Sumber Belajar, (Jakarta: Rajawali Press. 2014), h.70

228 – Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014


Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek KTSP, Jakarta: Kencana,
2010.

Lantanida Journal, Vol. 2 No. 2, 2014 – 229


Jurnal Analis Medika Bio Sains
Vol.4, No.2, September 2017, pp. 69~73
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)

TINGKAT KEPADATAN MEDIA NUTRIENT AGAR


TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Mila Fatmariza1, Nurul Inayati2, Rohmi3
1-3
Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Mataram, Indonesia

Article Info ABSTRACT


Article history: Bacteria are a group of prokaryotic organisms (do not have a core
Received Jul 12th, 2017 sheath). Biochemical tests and gram staining are effective ways of
Revised Aug 20th, 2017 classification in determining several groups of organisms. The
Accepted Sep 04th, 2017 coloring results reflect basic and complex differences in bacterial
cells (cell wall structure), so that they can divide the bacteria into 2
groups, namely Gram-positive bacteria and Gram-negative bacteria.
Keyword: One example of Gram-positive bacteria is Staphylococcus aureus.
The aim of this study was to see the effect of agar nutrient media
Nutrient agar, concentration on the growth of Staphylococcus aureus bacteria. The
Staphylococcus aureus sample used was pure Staphylococcus aureus isolate. The test was
carried out, namely the One Way Anova statistical test. The data
collected is the number of colonies that grow on Nutrient agar media
by adding agar 2%, 2.5%, 3%, and 3.5% after incubation at 37oC for
1 x 24 hours. Results: From the results of the study showed the
results of One Way Anova analysis on the number of bacterial
colonies on nutrient media agar with a concentration of 2.5%, 3%,
and 3.5% did not have a significant difference because the
probability value was 0.237> 0.05. There is no effect of agar nutrient
media concentration on the growth of Staphylococcus aureus
bacteria.

ABSTRAK
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak memiliki selubung inti). Tes biokimia dan
pewarnaan gram, merupakan cara yang efektif untuk klasifikasi dalam menentukan beberapa kelompok
organisme. Hasil pewarnaan mencerminkan perbedaan dasar dan kompleks pada sel bakteri (struktur
dinding sel), sehingga dapat membagi bakteri menjadi 2 kelompok, yaitu bakteri Gram-positif dan bakteri
Gram-negatif. Salah satu contoh bakteri Gram-positif adalah Staphylococcus aureus. Tujuan penelitian ini
bertujuan untuk melihat Pengaruh konsentrasi media nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Sampel yang digunakan adalah isolat murni Staphylococcus aureus. Uji yang
dilakukan yaitu dengan uji statistik One Way Anova. Data yang dikumpulkan yaitu Jumlah koloni yang
tumbuh pada media Nutrient agar dengan penambahan agar 2%, 2,5%, 3%, dan 3,5% setelah diinkubasi
pada suhu 37oC selama 1 x 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan hasil analisis One Way Anova pada
jumlah koloni bakteri pada media nutrient agar dengan konsentrasi agar 2,5% ,3%, dan 3,5% tidak memiliki
perbedaan yang bermakna karena nilai probabilitasnya 0,237 > 0,05. Tidak ada pengaruh konsentrasi media
nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

Kata kunci : Nutrient agar; Staphylococcus aureus

Copyright © Jurnal Analis Medika Bio Sains

Pendahuluan
Nutrient agar merupakan suatu medium yang berbentuk padat, yang merupakan perpaduan antara bahan
alamiah dan senyawa-senyawa kimia. Nutrient agar terbuat dari campuran ekstrak daging dan pepton dengan
menggunakan agar sebagai pemadat. Dalam hal ini agar digunakan sebagai pemadat, karena sifatnya mudah
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)
membeku dan mengandung karbohidrat yang berupa galaktam sehingga tidak mudah diuraikan oleh
mikroorganisme. Dalam hal ini ekstrak beef dan pepton digunakan sebagai bahan dasar karena merupakan
sumber protein, nitrogen, vitamin serta karbohidrat yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
tumbuh dan berkembang.

Pada dasarnya media oksoid yang instan terkadang tidak menjamin kepadatan media apabila sudah
melewatai masa kadaluarsa. Sehingga laboran terkadang menambahkan agar – agar untuk memadatkan
media Nutrient agar.

Hasil di survei jurusan analis kesehatan poltekkes mataram laboratorium mikrobiologi pembuatan media
Nutrient agar sering dilakukan penambahan agar tanpa ketentuan jumlah takaran, sehingga dengan
penambahan tersebut akan menyebabkan media menjadi lebih padat dan media tidak terangkat pada saat
penanaman, serta kandungan zat-zat makanan akan bertambah,yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
bakteri,yaitu salah satunya Staphylococcus aureus.

Staphylococcus aureus dijadikan sebagai bahan penelitian dengan alasan Staphylococcus aureus sebagai
flora normal yang habitatnya di permukaan kulit manusia, yang sering menyebabkan keracunan makanan
pada makanan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dibuktikan secara ilmiah tentang “pengaruh tingkat
kepadatan media Nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus”.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian True eksperimen yang merupakan suatu penelitian yang melakukan
kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala yang timbul sebagai akibat
dari suatu perlakuan atau percobaan tertentu (Riyanto, 2011). Dalam hal ini gejala atau pengaruh yang timbul
akibat dari adanya perlakuan berbagai konsentrasi media Nutrient agar yang kemudian akan di buktikan pada
perbedaan pertumbuhan yang di timbulkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan berbagai
konsentrasi media Nutrient agar. Rancangan terdiri dari : T0 : konsentrasi Nutrient Agar Plate 2%; T1 :
konsentrasi Nutrient Agar Plate 2,5%; T2 : konsentrasi Nutrient Agar Plate 3%; T3 : konsentrasi Nutrient
Agar Plate 3,5%.

Data yang dikumpulkan yaitu Jumlah koloni yang tumbuh pada media Nutrient agar dengan penambahan
agar 2%, 2,5, 3%, dan 3,5% setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 x 24 jam. Analisa uji statistik One
way anova dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Sebelum diuji statistik One way anova terlebih
dahulu dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak, menggunakan
uji Shapiro-Wilk dengan tingkat kepercayaaan 95% (α = 0,05) dan uji homogenitas varians menggunakan uji
Levene test untuk mengetahui apakah data bersifat homogen atau tidak. Jika data hasil penelitian berdistribusi
normal dan homogen maka dilakukan uji statistik One Way Anova dan jika tidak berdistribusi normal atau
tidak homogen maka dilakukan uji statistik non-parametrik Kruskal-Wallis dengan tingkat kepercayaan 95%
(α = 0,05).

Hasil Penelitian
Tabel 1. Hasil uji Shapiro-wilk jumlah koloni bakteri Staphylococus aureus pada masing-masing plate
dengan konsentrasi 2,5%,3%,3,5%

Shapiro-Wilk
konsentrasi Media NAP
statistic df Sig.
Jumlah .941 9 .590
koloni 2,5% .869 9 .121
3% .937 9 .551
3,5%

Tabel 1 hasil uji Shapiro-wilk menunjukkan jumlah koloni pada masing-masing plate dengan konsentrasi
agar 2,5% probabilitasnya adalah 0,590 > 0,05, pada konsentrasi agar 3% 0,121 > 0,05, dan pada konsentrasi
3,5% probabilitasnya adalah 0,551 > 0,05. Hal ini menunjukan bahwa data jumlah jumlah koloni pada
masing-masing plate dengan konsentrasi 2,5%, 3%,dan 3,5% berdistribusi normal.
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)

Tabel 2. Hasil uji Levene - Test data jumlah koloni bakteri Staphylococus aureus pada masing-masing
platedengan konsentrasi 2,5%, 3%, dan 3,5%

Levene Statistic df1 df2 Sig.


.094 2 24 .910

Tabel 2 hasil uji Levene - Test menunjukkan data hasil pemeriksaan jumlah koloni bakteri Staphylococcus
aureus pada masing-masing plate dengan konsentrasi 2,5%, 3%, dan 3,5% probabilitasnya adalah 0,910 >
0,05 yang menunjukan bahwa data tersebut homogen.

Uji One Way Anova bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh konsentrasi media Nutrient Agar
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Uji One Way Anova dilakukan dengan bantuan

Tabel 3. Uji One Way Anova

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Between 8470.519 2 4235.259 1.532 .237
Groups
Within 66368.444 24 2765.352
Groups
Total 74838.963 26

Tabel diatas menunjukkan hasil analisis One Way Anova pada jumlah koloni bakteri pada media nutrient
agar dengan konsentrasi agar 2,5%, 3%, dan 3,5% tidak memiliki perbedaan yang bermakna karena nilai
probabilitasnya 0,237 > 0,05, artinya H0 yang menyatakan tidak ada pengaruh konsentrasi media nutrient
agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus diterima dan Ha yang menyatakan ada pengaruh
konsentrasi media nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ditolak.

Uji HSD bertujuan untuk mengetahui perbandingan jumlah koloni bakteri pada masing-masing konsentrasi
media terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Uji HSD dilakukan dengan bantuan komputer
HSD dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji HSD


Konsentrasi Subset for alpha = 0.05
Media NAP N 1
2,5% 9 128.0000
3% 9 164.8889
3,5% 9 166.2222
Sig. .290

Tabel 4. menunjukkan nilai yang tidak signifikan antara perlakuan pertama (T1), perlakuan kedua (T2), dan
ketiga (T3), dengan nilai p = 0.290 > 0.05 .artinya tidak ada perbedaan jumlah koloni bakteri pada masing-
masing media dengan konsentarasi 2,5%, 3%, dan 3,5%

Pembahasan
Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi media Nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus yang dilakaukan di Balai Laboratorium Kesehatan Pengujian dan Kalibrasi dengan menggunakan
media Nutrient agar .yang ditambahakan agar 2%, 2,5%, 3%, dan 3,5%.
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu biakan murni bakteri Staphylococcus aureus yang
kemudian dijadikan susfensi dengan kepekatan 0,5 Mc Farland dan diencerkan 1,5 x 106 kali, selanjutnya
ditanam pada masing-masing median Nutrient agar yang ditambahakan agar 2%, 2,5%, 3%, dan 3,5%
dengan metode cawan sebar.

Sampel yang ditanam pada masing-masing media Nutrient agar ditumbuhi koloni bakteri dengan ciri-ciri
ukuran koloni kecil sampai sedang, bentuk bulat, konsistensi lunak, warna putih susu, permukaan halus,
tepian rata, elevasi cembung. (Jawetz, E., dkk, 2005)

Berdasarkan hasil Penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh konsentrasi media nutrient agar
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ini di dapatkan hasil rerata dengan perlakuan
penambahan agar 2% sebanyak 131, penambahan agar 2,5% 138, penambahan agar 3% 175 dan penambahan
agar 3,5% 165.

Penyebabkan terjadinya perbedaan jumlah koloni pada masing-masing media yaitu ketidak mampuan bakteri
untuk hidup. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidak mampuan bakteri untuk hidup yaitu diakibatkan
oleh ketidak sesuaian tekanan osmosis media pembenihan yang digunakan, karena sesuai pernyataan yang
dituliskan pada buku Bakteriologi medik FKUB (2003). Media yang paling cocok digunakan untuk
pembenihan bakteri yaitu media yang isotonik terhadap isi sel bakteri. Tekanan osmosis sangat diperlukan
oleh bakteri untuk mempertahankan bakteri agar tetap hidup, jika bakteri berada pada larutan yang hipertonik
atau konsentrasinya lebih tinggi daripada konsentrasi yang ada dalam sel bakteri, maka akan terjadi
keluarnya cairan dari sel bakteri melalui membran sitoplasma yang disebut plasmolysis. Sebaliknya, apabila
bakteri berada pada larutan yang hipotonis maka dapat mengakibatkan pecahnya sel bakteri akibat cairan
masuk ke dalam sel tersebut yang disebut plasmoptisa.

Selain tekanan osmosis, kematian bakteri dapat disebabkan oleh aktifitas air. Berdasarkan pernyataan yang
tertulis pada jurnal pangan dan gizi (Helmiati & Nurrahman, 2010), yaitu kematian bakteri dapat disebabkan
oleh jumlah air yang tersedia pada media nutrient agar. Mikroorganisme mempunyai kebutuhan aw(Water
activity) minimal yang berbeda -beda untuk pertumbuhannya. mikroorganisme pada umumnya membutuhkan
aw mendekati 1,00. aw minimal yang dibutuhkan bakteri yaitu 0,91.

Aktifitas air berperan dalam reaksi metabolik dalam sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi atau
bahan limbah kedalam dan keluar sel. aw (Water activity) pada media nutrient agar dapat menurun jika
ditambahkan konsentrasi agar. Berdasarkan hasil penelitian pada jurnal ilmu-ilmu peternakan (Evanuari dan
Huda, 2012), menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi zat yang ditambahkan maka aktifitas air (a w)
mengalami penurunan. Penurunan tersebut dapat menyebabkan terganggunya reaksi metabolik dalam sel
bakteri sehingga dapat menyebabkan bakteri mati. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air pada media
Nutrient agar konsentrasi 3% lebih optimal sebagai media pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

Kesimpulan
Jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada media Nutrient agar 2% dengan rata-rata jumlah
koloni/plate adalah 131; Jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada media Nutrient agar 2,5% dengan
rata-rata jumlah koloni/plate adalah 128; Jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada media Nutrient
agar 3% dengan rata-rata jumlah koloni/plate adalah 175; Jumlah koloni bakteri Staphylococcus aureus pada
media Nutrient agar 3,5% dengan rata-rata jumlah koloni/plate adalah 165; Tidak ada pengaruh konsentrasi
media Nutrient agar terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

Referensi

Carter, G.R and Wise, D.J. (2004) Essentials of veterinary bacteriology and mycology, sixth Edition. Iowa
State Press. Iowa, USA.

Carter, G.R. dan Wise, D.J., 2004.Essentials of Bacteryology and Mycology.6th. Ed, Iowa State Press.Pp 193
– 195

Entjang I. 2003. Mikrobiologi Dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan Dan Sekolah Tenaga
Kesehatan Yang Sederajat. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Jawetz, E, 2005, Mikrobiologi Kedokteran Edisi 22, EGC, Jakarta


ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)

Jawetz, Melnick, J.L Adelberg. 2012. Mikrobiologi Kedokteran – Buku 1 Edisi 25. Salemba Medika. Jakarta

Juuti, K. 2004. Surface protein Pls of methicillin-resistant Staphylococcus aureus role in adhesion, invasion
and pathogenesis, and evolutionary aspects.[Disertation].Helinski: Department of Biological and
Environmental Sciences Faculty of Biosciences. p. 61-63

Lowy, F. 2003. Antimicrobial resistance: the example of Staphylococcus aureus. J Clinic Invest. 111(9):
1265-1273

Pelczar M.J. dan ChanE.C.S.2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta

Peclzar, Michael J., Jr. Dan E.C.S. Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Universitas Indonesia Press.
Jakarta

Radji M. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi Dan Kedokteran. EGC. Jakarta

Safitri R., dan Novel S. S. 2010. Medium Analisis Mikroorganisme (Isolasi dan Kultur). Trans Info Media.
Jakarta

Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. AAK Yogyakarta Depkes RI. Yogyakarta

Tambayong J. 2000. Mikrobiologi Untuk Keperawatan. Widya Medika. Jakarta

Tim Mikrobiologi FK Unibraw. 2003. Bateriologi Medik. Bayumedia Publishing. Malang

Tim Pusat Laboratorium Kesehatan. 1999. Good Laboratory Practice. Pusat Laboratorium Kes Dep.Kes.RI.
Jakarta

Safitiri, R., Sinta S. 2010.MediumAnalisisMikroorganisme (isolasidankultur). CV Trans Info Medika:


Jakarta

Salmenlina, S. 2002. Molecular epidemiology of methicillin-resistant S. aureusin Finland.Disertation.The


National Public Health Institute.Helsinki

Todar, K. 2005. Staphylococcus.: http://www.textbookofbacteriology net/staph.html. Diakses tanggal 6


November 2014

Waluyo, L. 2005. MikrobiologiUmum. Edisi ke-2.UniversitasMuhamadiyah Malang, Malang.


JST Kesehatan, Januari 2017, Vol. 7 No. 1 : 72 – 78 ISSN 2252-541

VARIASI PERLAKUAN PENANGANAN SAMPEL SERUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP


HASIL PEMERIKSAAN KREATININ DARAH

The Variation of Treatment and Handling of Serum Sample and the Effect on Blood Creatinine Test Result

Zulfikar Ali Hasan,1 Mansyur Arif,2 Uleng Bahrun,3


1
Konsentrasi Kimia Klinik, Program Studi Biomedik, Universitas Hasanuddin (email:fikaroxy@gmail.com)
2
Departemen Kimia Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, (email:mansyur_arief@yahoo.com)
3
Departemen Kimia Klinik, Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin Makassar, (email:ulengbahrun@yahoo.com)

ABSTRAK

Tahap pra analitik merupakan salah satu fase penting dari pemeriksaan laboratorium yang meliputi pengumpulan
sampel, penanganan dan pengelolaan sampel serta faktor pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
variasi perlakuan penanganan sampel serum terhadap hasil pemeriksaan kreatinin darah. Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental laboratorium, yang dilaksanakan sejak bulan September sampai Oktober 2016. Digunakan 56
sampel dengan 4 perlakuan penanganan sampel yang berbeda, yaitu prosedur sentrifugasi sampel darah yang didiamkan
terlebih dahulu selama 45 menit dan 3 jam setelah flebotomi suhu 20 - 25ºC, dan penyimpanan sampel serum secara
primary tube dan secondary tube selama 3 hari suhu 4ºC. Kadar kreatinin diukur dengan menggunakan metode
creatinase alat cobas C311. Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar kreatinin dengan variasi perlakuan penanganan sampel serum tidak terdapat perbedaan yang
bermakna. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar kreatinin dengan variasi sentrifugasi sampel darah yang
didiamkan selama 45 menit dan 3 jam (p=0.913). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar kreatinin
dengan variasi perlakuan penyimpanan sampel serum secara primary tube dan secondary tube (p=0.918). Tidak
terdapat pengaruh yang bermakna terhadap stabilitas kadar kreatinin dengan penyimpanan sampel serum secara primary
tube (p=0.977). Tidak terdapat pengaruh yang bermakna terhadap stabilitas kadar kreatinin dengan penyimpanan
sampel serum secara secondary tube (p=0.941).

Kata kunci: Kreatinin, Variasi Sentrifugasi, Variasi Penyimpanan Sampel Serum

ABSTRACT
Pre-analytical phase is one of the important phases of laboratory tests which includes sample collection, sample
handling and management as well as patient factors. The research aimed at investigating the effect of the treatment and
handling of the serum sample on the blood creatinine test result. This was a laboratory experimental research. The
research was conducted from September to October 2016 using 56 samples with 4 treatments and handlings of the
different samples, namely the blood sample centrifugation procedure being previously stored for 45 minutes and 3 hours
after the phlebotomy in the temperature of 20 - 25°C, and the storage of serum samples by the primary tube and
secondary tube for 3 days in the temperature of 4°C. The creatinine content was measured using by the creatinase
method of cobas device C311. The data collected were processed using Mann-Whitney test. The research result
indicates that there is no significant difference between the creatinine content and the variation of the treatment and
handling of the serum sample. There is no significant difference between the creatinine content and the centrifugation
variation of the blood sample stored for 45 minutes and 3 hours (p=0.913). There is no significant difference between
the creatinine content and the variation of the serum sample storage by the primary tube and secondary tube (p=0.918).
There is no significant difference between the creatinine content stability and the serum sample storage by the primary
tube (p=0.977). There is no significant difference between the creatinine content stability and the serum sample storage
by the secondary tube (p=0.941)

Keywords: Creatinine, centrifugation variation, serum sample storage variation.

72
Zulfikar Ali Hasan ISSN 2252-541

PENDAHULUAN ini meliputi pengumpulan sampel, penanganan


Laboratorium kesehatan adalah sarana dan pengelolaan sampel serta faktor pasien
kesehatan yang melaksanakan pengukuran, (Narayanan, 2000). Pada tahapan pra analitik
penetapan dan pengujian terhadap bahan yang inilah yang menentukan apakah akan diperoleh
berasal dari manusia untuk penentuan jenis sampel yang baik untuk pemeriksaan
penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan laboratorium tersebut, sehingga fase ini sangat
atau faktor yang dapat berpengaruh pada berpengaruh terhadap kualitas sampel walaupun
kesehatan perorangan dan masyarakat. tidak dapat dinyatakan secara kuantitas.
Laboratorium klinik adalah laboratorium Sampel yang buruk akan memberikan
kesehatan yang melaksanakan pelayanan hasil pemeriksaan laboratorium yang tidak valid.
pemeriksaan di bidang hematologi, kimia Ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan
klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik, sampel menjadi tidak layak untuk diperiksa.
imunologi klinik, patologi anatomi dan atau Alasan yang paling sering menyebabkan
bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan ditolaknya sampel pemeriksaan adalah sampel
kesehatan perorangan terutama untuk yang membeku untuk tes hematologi dan
menunjang upaya diagnosis penyakit, koagulasi, volume sampel yang tidak mencukupi
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan untuk tes koagulasi, hemolisis, ikterus dan
(KMK No 298, 2009). lipemia pada serum dan plasma yang dapat
Dalam proses pengendalian mutu menyebabkan interferensi pada pemeriksaan
laboratorium dikenal ada tiga tahapan penting, laboratorium (Pherson & Phincus, 2011).
yaitu tahap pra analitik, analitik dan pasca Tahap pra analitik pada pemeriksaan
analitik. Pada umumnya yang sering diawasi kreatinin darah meliputi tahap pengumpulan
dalam pengendalian mutu hanya tahap analitik sampel, penanganan dan pengelolaan sampel dan
dan pasca analitik, sedangkan proses pra analitik faktor pasien. Pada penanganan dan pengelolaan
kurang mendapat perhatian (Goswani et al., sampel ada beberapa hal yang harus diperhatikan
2010). Sekumpulan bukti yang dikumpulkan khususnya untuk pemeriksaan kreatinin darah.
dalam beberapa tahun terakhir telah Menurut Hardjoeno dkk (2007), salah satu
menunjukkan bahwa sebagian besar kesalahan penanganan dan pengelolaan sampel yaitu pada
berada diluar fase analitik, sedangkan pada fase saat pemprosesan spesimen, untuk mendapatkan
pra dan pasca analitik didapatkan lebih rentan serum dengan cepat, darah mesti disentrifus
untuk terjadi resiko kesalahan. Kesalahan dalam dalam 1 jam setelah pengambilan darah. Bila
fase pra analitik menjadi penyebab 50% - 75% sentrifugasi dilakukan setelah 2 jam dapat
dari semua kesalahan laboratorium termasuk menyebabkan perubahan nilai seperti glukosa,
kesalahan identifikasi dan masalah sampel kalium, fosfor, kreatinin, SGOT dan SGPT.
(Mario et al., 2013). Dijelaskan pula oleh Norbert (1995), bahwa suhu
Tahap pra analitik adalah semua proses reaksi > 30°C menyebabkan peningkatan nilai
yang terjadi sebelum sampel diproses dalam kreatinin karena efek dari zat mengganggu.
autoanalyzer. Termasuk permintaan tes-tes yang Dengan metode enzimatik, pemisahan yang cepat
tidak tepat, tulisan tangan tidak terbaca pada dari sel dan serum diperlukan untuk menghindari
formulir permintaan, mempersiapkan pasien, produksi ammonia dalam sampel. Berbeda
menerima spesimen, memberi identitas spesimen, dengan pendapat dari CLSI (2010), dalam
pengambilan sampel yang tidak benar, Procedures for the handling and processing of
penundaan transportasi, dan kesalahan blood spesimens; approved guideline-fourth
pengolahan sampel. Tahap analitik yaitu tahap edition yang mengatakan kreatinin tidak
mulai kalibrasi peralatan laboratorium, sampai dipengaruhi oleh waktu kontak pra sentrifugasi
dengan menguji ketelitian-ketepatan dan uji selama 48 jam pada suhu ruangan.
spesimen. Tahap pasca analitik yaitu tahap mulai Proses pra analitik yang lain yang juga
dari mencatat hasil pemeriksaan, interpretasi masih kurang diperhatikan oleh beberapa analis
hasil sampai dengan pelaporan (Yusida, 2011). di laboratorium yaitu tentang penyimpanan
Tahap pra analitik merupakan salah satu spesimen darah. Penyimpan spesimen dilakukan
fase penting dari pemeriksaan laboratorium. Fase jika pemeriksaan ditunda, spesimen akan dikirim
73
Kreatinin, Variasi Sentrifugasi, Variasi Penyimpanan Sampel Serum ISSN 2252-541

ke laboratorium lain atau disimpan karena keluarga, kemudian diminta perkenaannya untuk
dikhawatirkan akan ada tambahan pemeriksaan menandatangani informed consent yang telah
sehingga pasien tidak akan ditindaki ulang untuk disediakan. Wawancara atau anamnesa untuk
pengambilan darah kembali. memperoleh informasi keadaan umum subyek,
Penyimpanan spesimen darah sebaiknya misalnya aktivitas fisik, konsumsi obat – obatan,
dalam bentuk serum aliquot (Ruth & Tankersly, trauma dan seterusnya sesuai dengan kriteria
2012). Akan tetapi beberapa laboratorium dalam inklusi penelitian. Pemeriksaan laboratorium
penyimpanan serum belum sesuai prosedur. untuk mengukur kadar kreatinin pada sampel
Masih banyak yang menyimpan serum secara serum sesuai variasi perlakuan penanganan
primary tube atau tidak terpisah dengan sel darah sampel.
merah atau dalam arti lain penyimpanan serum Analisis Data
masih satu tempat dengan sel darah merah bukan Data yang diperoleh diolah melalui
secara aliquot, sehingga memungkinkan masih program software statistik. Dilakukan analisis uji
dapat terjadi metabolisme oleh sel – sel hidup perbandingan non parametrik. Hasilnya
pada spesimen yang dapat mempengaruhi dinarasikan dan diperjelas oleh tabel. Untuk uji
stabilitas spesimen. statistik, tingkat kemaknaan (signifikansi) yang
Berdasarkan uraian latar belakang, maka digunakan adalah 5%.
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variasi perlakuan penanganan sampel HASIL
serum terhadap kadar pemeriksaan kreatinin Telah dilakukan penelitian eksperimental
darah. laboratorik untuk mengetahui pengaruh variasi
perlakuan penanganan sampel serum terhadap
BAHAN DAN METODE hasil pemeriksaan kreatinin darah. Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium RS Awal Bros
Pengambilan Sampel dilakukan di RSUP Makassar mulai bulan September – Oktober 2016.
DR Wahidin Sudirohusodo dan RS Awal Bros Gambaran Umum Subyek Penelitian
Makassar, pemeriksaan sampel dilakukan di Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Laboratorium Rumah Sakit Awal Bros Makassar September – Oktober 2016 melibatkan 56 subyek.
pada bulan September dan Oktober 2016. Sampel pada penelitian ini menggunakan serum
Desain Penelitian pasien dengan melakukan berbagai variasi
Penelitian ini merupakan penelitian perlakuan penanganan sampel. Pada tahap awal
eksperimental laboratorik, yang bertujuan untuk dilakukan pengambilan sampel darah vena dengan
mengetahui pengaruh variasi perlakuan menggunakan 2 tabung plain yang berasal dari
penanganan sampel serum terhadap hasil satu pasien dan kemudian dilakukan perlakuan
pemeriksaan kreatinin darah. Subyek pada penanganan sampel yang berbeda pada masing-
penelitian ini adalah pasien yang melakukan masing tabung. Tabung yang pertama didiamkan
pemeriksaan kreatinin darah di RSUP DR selama 45 menit suhu 20 - 25ºC kemudian di
Wahidin Sudirohusodo dan RS Awal Bros sentrifus lalu serum yang dihasilkan diperiksa
Makassar. kadar kreatininnya. Tabung yang kedua
Populasi dan Sampel didiamkan selama 3 jam disuhu 20 - 25ºC
Populasi penelitian adalah pasien yang kemudian di sentrifus lalu serum yang dihasilkan
datang memeriksakan diri di Laboratorium RSUP diperiksa kadar kreatininnya.
DR Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit Pada tahap selanjutnya variasi perlakuan
Awal Bros Makassar. Sampel yang digunakan penanganan sampel serum yang dilakukan adalah
adalah semua populasi terjangkau yang memenuhi pada proses penyimpanan sampel. Tabung yang
kriteria penelitian. Perkiraan besar sampel telah didiamkan selama 45 menit dan disentrifus,
minimal yang dibutuhkan adalah 56 sampel. dipisahkan serumnya secara aliquot ke sampel
Metode Pengumpulan Data tube yang baru (secondary tube) dan disimpan
Penjelasan singkat tentang latar belakang, selama 3 hari pada suhu 4ºC. Sisa serum yang ada
tujuan dan manfaat penelitian serta cara pada tabung (primary tube) juga disimpan selama
pengambilan sampel darah kepada penderita dan 3 hari pada suhu 4ºC. Pada hari keempat sampel
74
Zulfikar Ali Hasan ISSN 2252-541

Ranks
serum yang telah disimpan diperiksa kadar Perlakuan Serum Mean ± SD
Median
(Minimum – n p Kreatinin
Maksimum) ↑ ↔ ↓
kreatininnya. Penyimpanan Serum 0.80
1.0125 ± 1.32584
Variasi perlakuan sampel darah yang didiamkan Secondary Tube (0.40 – 10.50)
56 0.918 6 48 2
Penyimpanan Serum 0.80
selama 45 menit dan 3 jam Primary Tube
1.0196 ± 1.33885
(0.40 – 10.60)
Sumber Data Primer 2016
Dari 56 total sampel darah yang Keterangan :
Mean : Rata-rata; SD: Standar Deviasi; Median: Nilai Tengah; Minimum: Nilai Terendah
disentrifus dengan variasi perlakuan sampel darah Maksimum : Nilai Tertinggi; n: Jumlah Sampel; p: Signifikan; ↑: Peningkatan Kadar Kreatinin
↔ : Kadar Kreatinin yang sama; ↓: Penurunan Kadar Kreatinin
yang didiamkan selama 45 menit dan 3 jam suhu Menggunakan Uji Mann-Whitney

20 - 25ºC, didapatkan ada 7 hasil kreatinin yang


berbeda dan 49 hasil kreatinin yang sama. Dari 7 Stabilitas Kadar Kreatinin Dengan Perlakuan
hasil kreatinin yang berbeda didapatkan 2 hasil Penyimpanan Secara Primary Tube
kreatinin yang mengalami peningkatan kadar, dan Dari total 56 sampel serum yang disimpan
5 hasil yang mengalami penurunan kadar. Tidak pada suhu 4ºC secara primary tube, didapatkan
ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan ada 7 hasil kreatinin yang tidak stabil dan 49 hasil
sentrifugasi sampel darah yang didiamkan selama kreatinin yang stabil. Dari 7 hasil kreatinin yang
45 menit dan 3 jam terhadap kadar kreatinin darah tidak stabil didapatkan 2 hasil yang mengalami
(p=0.913) (Tabel 1). penurunan kadar kreatinin dan 5 hasil yang
mengalami peningkatan kadar kreatinin. Tidak
Tabel 1. Variasi perlakuan sampel darah yang ada pengaruh yang bermakna kadar kreatinin
didiamkan selama 45 menit dan 3 jam darah terhadap perlakuan penyimpanan sampel
serum secara primary tube terhadap stabilitas
Perlakuan Serum Mean ± SD
Median
(Minimum – n p
Ranks
Kreatinin
kadar kreatinin (p=0.977) (Tabel 3).
Maksimum) ↑ ↔ ↓
0.80
Sentrifugasi 45 menit 1.0143 ± 1.32465
(0.40 – 10.50)
56 0.913 2 49 5
Tabel 3. Stabilitas Kadar Kreatinin Dengan
Sentrifugasi 3 jam 1.0089 ± 1.32545
0.80
(0.40 – 10.50)
Perlakuan Penyimpanan Secara Primary Tube
Sumber Data Primer 2016
Keterangan :
Mean : Rata-rata; SD: Standar Deviasi; Median: Nilai Tengah; Minimum: Nilai Terendah Median Ranks
Maksimum : Nilai Tertinggi; n: Jumlah Sampel; p: Signifikan; ↑: Peningkatan Kadar Kreatinin Perlakuan Serum Mean ± SD (Minimum – n p Kreatinin
↔ : Kadar Kreatinin yang sama; ↓: Penurunan Kadar Kreatinin Maksimum) ↑ ↔ ↓
Menggunakan Uji Mann-Whitney
0.80
Sentrifugasi 45 Menit 1.0143 ± 1.32465
(0.40 – 10.50)
56 0.977 5 49 2
Penyimpanan Serum 0.80
Variasi Perlakuan Penyimpanan Sampel Serum Primary Tube
1.0196 ± 1.33885
(0.40 – 10.60)
Sumber Data Primer 2016
Secara Primary Tube Dan Secondary Tube Keterangan :
Mean : Rata-rata; SD: Standar Deviasi; Median: Nilai Tengah; Minimum: Nilai Terendah
Dari total 56 sampel serum yang disimpan Maksimum : Nilai Tertinggi; n: Jumlah Sampel; p: Signifikan; ↑: Peningkatan Kadar Kreatinin
↔ : Kadar Kreatinin yang sama; ↓: Penurunan Kadar Kreatinin
pada suhu 4ºC dengan variasi perlakuan Menggunakan Uji Mann-Whitney

penyimpanan sampel secara primary tube dan


secondary tube, didapatkan ada 8 hasil kreatinin Stabilitas Kadar Kreatinin Dengan Perlakuan
yang berbeda dan 48 hasil kreatinin yang sama. Penyimpanan Secara Secondary Tube
Dari 8 hasil kreatinin yang berbeda didapatkan 6 Dari total 56 sampel serum yang disimpan
hasil yang mengalami peningkatan kadar, dan 2 pada suhu 4ºC secara secondary tube, didapatkan
hasil kreatinin yang mengalami penurunan kadar. ada 5 hasil kreatinin yang tidak stabil dan 51 hasil
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kreatinin yang stabil. Dari 5 hasil kreatinin yang
penyimpanan sampel serum secara primary tube tidak stabil didapatkan 3 hasil yang mengalami
dan secondary tube terhadap kadar kreatinin darah penurunan kadar kreatinin dan 2 hasil yang
(p=0.918) (Tabel 2). mengalami peningkatan kadar kreatinin. Tidak
ada pengaruh yang bermakna kadar kreatinin
Tabel 2. Variasi Perlakuan Penyimpanan Sampel darah terhadap perlakuan penyimpanan sampel
Serum Secara Primary Tube Dan Secondary Tube serum secara secondary tube terhadap stabilitas
kadar kreatinin (p=0.941) (Tabel 4).

Tabel 4. Stabilitas Kadar Kreatinin Dengan


Perlakuan Penyimpanan Secara Secondary Tube

75
Kreatinin, Variasi Sentrifugasi, Variasi Penyimpanan Sampel Serum ISSN 2252-541

Ranks
Perlakuan Serum Mean ± SD
Median
(Minimum – n p Kreatinin kalium, fosfor, kreatinin, SGOT dan SGPT
↑ ↔ ↓
Maksimum)
(Hardjoeno dkk., 2007).
0.80
Sentrifugasi 45 Menit 1.0143 ± 1.32465
(0.40 – 10.50)
56 0.977 5 49 2
Pengolahan spesimen mencakup tiga
Penyimpanan
Primary Tube
Serum
1.0196 ± 1.33885
0.80
(0.40 – 10.60) tahap yang berbeda, yaitu pra sentrifugasi,
Sumber Data Primer 2016
Keterangan : sentrifugasi, dan pasca sentrifugasi. Pedoman
Mean : Rata-rata; SD: Standar Deviasi; Median: Nilai Tengah; Minimum: Nilai Terendah
Maksimum : Nilai Tertinggi; n: Jumlah Sampel; p: Signifikan; ↑: Peningkatan Kadar Kreatinin yang tepat harus ditetapkan dan dipatuhi oleh
↔ : Kadar Kreatinin yang sama; ↓: Penurunan Kadar Kreatinin
Menggunakan Uji Mann-Whitney personil laboratorium dalam setiap tahapan
penanganan spesimen untuk memastikan hasil
PEMBAHASAN pemeriksaan yang dapat diandalkan dan bermakna
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak secara medis. Idealnya, semua pengujian harus
ada pengaruh yang signifikan hasil pemeriksaan dilakukan dalam waktu 45 menit sampai 1 jam
kadar kreatinin darah dengan berbagai variasi setelah pengumpulan. Serum paling sering
perlakuan penanganan sampel serum. Perbedaan menjadi pilihan, karena kepraktisan dalam
masing-masing variabel akan dibahas satu persatu pengumpulan dan penanganan. Selain itu,
antara variasi perlakuan penanganan sampel gangguan dari antikoagulan tidak terjadi. Darah
serum dan pengaruhnya terhadap hasil harus tetap berada dalam wadah tertutup aslinya
pemeriksaan kreatinin darah. sampai siap untuk pemisahan untuk mencegah
Pada tahap awal dilakukan pengambilan penguapan air dalam plasma atau serum (Kiswari,
sampel darah vena dengan menggunakan 2 tabung 2014).
plain yang berasal dari satu pasien dan kemudian Variasi perlakuan selanjutnya yaitu
dilakukan perlakuan penanganan sampel yang penyimpanan sampel serum pada suhu 4ºC secara
berbeda pada masing-masing tabung. Tabung primary tube dan secondary tube (aliquot). Serum
yang pertama didiamkan selama 45 menit suhu 20 yang telah dipisahkan kemudian disimpan secara
- 25ºC kemudian di sentrifus lalu serum yang aliquot (secondary tube) pada suhu 4ºC selama 3
dihasilkan diperiksa kadar kreatininnya. Tabung hari, Sisa serum yang ada pada tabung (primary
yang kedua didiamkan selama 3 jam disuhu 20 - tube) juga disimpan selama 3 hari pada suhu 4ºC.
25ºC kemudian di sentrifus lalu serum yang Pada hari keempat sampel serum yang telah
dihasilkan diperiksa kadar kreatininnya. Hasil disimpan diperiksa kadar kreatininnya.
yang didapatkan kemudian dilakukan uji analisis Prosedur yang dilakukan pada hari
statistik menggunakan uji Mann-Whitney untuk keempat sebelum melakukan pemeriksaan
melihat adanya perbedaan tiap perlakuan, dan kreatinin yaitu sampel serum yang disimpan
berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai signifikan secara secondary tube (aliquot) didiamkan
0,913 yang menandakan tidak ada perbedaan yang terlebih dahulu pada suhu ruang (20 - 25ºC)
bermakna antara perlakuan sentrifugasi sampel selama 15 – 30 menit kemudian dilakukan re-
darah yang didiamkan selama 45 menit dan 3 jam centrifugasi untuk mengendapkan senyawa –
terhadap kadar kreatinin darah (p>0,05=tidak ada senyawa yang dapat mengganggu pemeriksaan.
perbedaan). Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan kreatinin.
Hal ini sesuai dengan pernyataan CLSI Sedangkan perlakuan penyimpanan sampel serum
dalam procedures for the handling and processing secara primary tube dilakukan penanganan
of blood specimens approved guideline fourth dengan cara didiamkan terlebih dahulu pada suhu
edition yang mengatakan kreatinin tidak ruang (20 - 25ºC) selama 15 – 30 menit, kemudian
dipengaruhi oleh waktu kontak pre sentrifugasi serum yang masih kontak dengan darah
selama 48 jam pada suhu ruangan (CLSI, 2010). dipisahkan serumnya dan disimpan pada tabung
Berbeda dengan pendapat prof hardjoeno reaksi baru kemudian di re-sentrifugasi selama 10
dkk dalam buku interpretasi hasil tes laboratorium menit 3000rpm dan setelah itu baru dilakukan
diagnostik yang mengatakan bahwa untuk pemeriksaan kreatinin.
mendapatkan serum dengan cepat, darah mesti di Hasil pemeriksaan kreatinin darah dengan
sentrifus dalam 1 jam setelah pengambilan darah, membandingkan perlakuan penyimpanan sampel
Bila sentrifugasi dilakukan setelah 2 jam dapat serum baik secara primary tube maupun
menyebabkan perubahan nilai seperti glukosa, secondary tube kemudian dilakukan uji analisis
statistik menggunakan uji Mann-Whitney untuk
76
Zulfikar Ali Hasan ISSN 2252-541

melihat adanya perbedaan tiap perlakuan, dan stabilitas kadar kreatinin darah (p>0,05=tidak ada
didapatkan nilai signifikan 0,918 yang perbedaan).
menandakan tidak ada perbedaan yang bermakna Hal ini sesuai kit insert reagen kreatinin
antara penyimpanan sampel serum secara primary pada alat cobas c311 yang mengatakan stabilitas
tube dan secondary tube terhadap kadar kreatinin kreatinin pada suhu 4ºC dapat bertahan selama 7
darah (p>0,05=tidak ada perbedaan). hari. Serum atau plasma harus disimpan pada suhu
Selama penyimpanan, konsentrasi 4 – 6ºC jika pengujian harus tertunda lebih dari 4
konstituen darah pada spesimen dapat berubah jam (Kiswari, 2014). Suhu reaksi > 30°C
sebagai hasil dari berbagai proses, termasuk menyebabkan peningkatan nilai kreatinin karena
adsorpsi tabung kaca atau plastik, denaturasi efek dari zat mengganggu. Dengan metode
protein, penguapan senyawa volatil, pergerakan enzimatik, pemisahan yang cepat dari sel dan
air kedalam sel yang mengakibatkan serum diperlukan untuk menghindari produksi
hemokonsentrasi dan aktivitas metabolisme ammonia dalam sampel (Norbert, 1995).
leukosit dan eritrosit. Perubahan ini terjadi dalam Pada spesimen plasma atau serum, kristal
berbagai tingkat, pada suhu kamar, dan selama es yang terbentuk menyebabkan efek yang
pendinginan atau pembekuan. Studi stabilitas mengganggu struktur molekul, khususnya pada
telah menunjukkan bahwa perubahan analit yang molekul protein besar. Lambatnya pembekuan
signifikan secara klinis terjadi jika serum atau memungkinkan terbentuknya kristal yang lebih
plasma kontak dalam waktu yang lama dengan sel besar, menyebabkan efek degradatif yang lebih
darah (Kiswari, 2014). serius. Dengan demikian, pembekuan secara cepat
Serum yang disimpan secara primary tube direkomendasikan untuk stabilitas yang optimal
maupun secondary tube dalam 3 hari suhu 4ºC (Kiswari, 2014).
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan hal
ini dapat terjadi jika perlakuan penyimpanan KESIMPULAN DAN SARAN
sampel dilakukan sesuai prosedur (SOP). Hal ini Peneliti meyimpulkan bahwa untuk
juga sesuai dengan pernyataan Kiswari yang tidak pemeriksaan kreatinin darah dengan variasi
memasukkan kreatinin sebagai analit yang tidak perlakuan sentrifugasi sampel darah yang
stabil, serum dan plasma yang tidak terpisahkan didiamkan terlebih dahulu selama 45 menit dan 3
menghasilkan peningkatan yang signifikan jam setelah flebotomi tidak memberikan pengaruh
terhadap bilirubin total, natrium, urea nitrogen, yang bermakna terhadap kadar kreatinin darah.
albumin, kalsium, magnesium dan protein total. Begitu juga dengan variasi penyimpanan sampel
Perubahan ini disebabkan pergerakan air kedalam serum secara primary tube dan secondary tube
sel setelah 24 jam, menyebabkan tidak memberikan pengaruh yang bermakna
hemokonsentrasi. Penelitian lain menemukan terhadap kadar kreatinin darah. Disarankan karena
kalium, fosfor dan glukosa menjadi analit yang tidak ada perbedaan kadar kreatinin dengan
paling tidak stabil dalam serum dan tidak hilang variasi sentrifugasi dan penyimpanan sampel
dari bekuan dalam waktu 30 menit. Albumin, serum, maka sentrifugasi untuk pemeriksaan
bikarbonat, klorida, C-peptida, kolesterol HDL, kreatinin bisa dilakukan sampai 3 jam setelah
zat besi, kolesterol LDL, dan protein total yang flebotomi, dan penyimpanan sampel serum untuk
ditemukan menjadi tidak stabil setelah 6 jam, bila pemeriksaan kreatinin dapat dilakukan secara
serum tersebut tidak dipisahkan dari bekuan primary tube dan secondary tube pada suhu 4ºC
(Kiswari, 2014). tetapi tidak boleh lebih dari 3 hari.
Stabilitas kreatinin yang disimpan secara
primary tube dan secondary tube selama 3 hari DAFTAR PUSTAKA
pada suhu 4ºC setelah diuji statistik Mann- CLSI. (2010). Procedures for the Handling and
Whitney menunjukkan nilai signifikan 0,977 dan Processing of Blood Specimens for
0,941 yang menandakan tidak ada pengaruh yang Common Laboratory Tests; Approved
bermakna kadar kreatinin darah terhadap Guideline - Fourth Edition. CLSI
perlakuan penyimpanan sampel serum secara document H18-A4. Wayne, PA: Clinical
primary tube dan secondary tube terhadap and Laboratory Standards

77
Kreatinin, Variasi Sentrifugasi, Variasi Penyimpanan Sampel Serum ISSN 2252-541

Goswani B., Singh B., Chawla R., & Mallika V. Indicators. Biochemia Medica 2014; 24
(2010). Identification of The Types of (1) : 105 – 13
Preanalytical Errors in the Clinical Mc-Pherson R. & Pincus M. (2011). Henry’s
Chemistry Laboratory: 1-Year Study at Clinical Diagnosis and Management by
G.B Pant Hospital. Labmedicine Vol: 41 Laboratory Methods. 22 ed. Elsevier
Number 2 : 89 – 92 Sanders. 3: 24 – 36201
Hardjoeno dkk. (2007). Interpretasi Hasil Tes Narayanan S. (2000). The Pre Analytical Phase –
Laboratorium Diagnostik. Penerbit Buku An Important Component of Laboratory
Universitas Hasanuddin: Makassar. 7 – 8 Medicine. Am J Clin Pathol; 113: 429 –
Kepmenkes RI No 298/Menkes/SK/III/2008 52.
tentang Pedoman Akreditasi Norbert W T. (1995). Clinical Guide to
Laboratorium Kesehatan. Direktorat Laboratory Tests. WB Saunders
Jendral Bina Pelayanan Medik Company. USA. Third Edition Hal 187
Departemen Kesehatan Republik Ruth M C. & Tankersly CM. (2012). Phlebotomy
Indonesia. Jakarta. 2009 Essential 5thed. Lippincot Williams &
Kiswari R. (2014). Hematologi dan Transfusi. Wilkin
Erlangga: Semarang Jawa Tengah Yusida N. (2011). Identifikasi Jumlah Dan Jenis
Mario P., Laura S., Ada A., & Maria L C. (2013). Kesalahan Pra Analitik di Laboratorium
Harmonization of Pre Analytical Quality Patologi Klinik RSUD Dr Moewardi.
Surakarta:

78
Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Rumah Sakit .... (Vivi Setiawaty, et al)

Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di


Rumah Sakit (Studi Pendahuluan dengan Uji Fast-Track®
Diagnostik)

Detection of Viruses from Acute Respiratory Infections in Hospitals (A Preliminary Study Using Fast-
Track® Diagnostic Test)

Vivi Setiawaty1*, Maretra Anindya Puspaningrum2, Arie Ardiansyah Nugraha1, dan Daniel Joko
Wahyono2
1
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No.
29 Jakarta, Indonesia
2
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Jl. DR. Soeparno No.63, Grendeng, Purwokerto,
Indonesia
*Korespondensi Penulis: vivisetiawaty@hotmail.com

Submitted: 08-08-2018; Revised: 10-10-2018; Accepted: 15-11-2018

DOI: https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.257

Abstrak
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit menular yang menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di dunia dan Indonesia. Informasi virus penyebab ISPA masih terbatas. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendeteksi virus penyebab kasus ISPA rawat inap di tiga rumah sakit sentinel
surveilans ISPA berat. Pemeriksaan pada 30 spesimen swab hidung dan tenggorok dari kasus ISPA rawat
inap di RSUD Deli Serdang, RSUD Wonosari, dan RS Kanudjoso Djati selama bulan Agustus–September
2016. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Virologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan menggunakan Fast-
Track Diagnostics multiplex Real-time RT-PCR untuk mendeteksi 21 virus. Virus-virus yang berhasil
dideteksi adalah Human Metapneumovirus (21,2%). Human Parainfluenza Virus 1 (12,1%), Influenza B
(6,1%), Human Coronavirus-OC43 (6,1%), Human Coronavirus-NL63 (6,1%), Human Parainfluenza Virus
2 (3,0%), Human Rhinovirus (3,0%), dan Human Adenovirus (3,0%). Dari 17 sampel yang dinyatakan
positif mengandung virus, 14 diantaranya merupakan kasus infeksi tunggal sedangkan tiga lainnya
merupakan kas us koinfeksi antara Human Coronavirus-NL63 dengan Human Parainfluenza Virus 1,
Human Metapneumovirus dengan Human Coronavirus-OC43, dan Human Adenovirus dengan Human
Rhinovirus. Virus yang paling banyak terdeteksi dari spesimen kasus ISPA rawat inap adalah Human
Metapneumovirus.
Kata kunci: Fast-Track Diagnostics; ISPA; Multiplex Real-time RT-PCR; virus saluran pernafasan

Abstract
Acute respiratory infections (ARI) is the leading cause of morbidity and mortality in the world and Indonesia.
Information on the virus that causes ARI is still limited. The aim of this study was to detect the virus that
causes ARI hospitalized cases in three sentinel surveillance hospitals of severe ARI. Laboratory testing
of 30 nasal and throat swab specimens from ARI hospitalized cases at Deli Serdang Hospital, Wonosari
Hospital and Kanudjoso Djati Hospital during August - September 2016. Laboratory testing were carried
out at the Virology Laboratory of the Center for Biomedical Research and Development and Basic Health
Technology. This research is a preliminary study using Fast-Track Diagnostics multiplex Real-time RT-PCR
to detect 21 viruses. The viruses that have been detected are Human Metapneumovirus (21.2%), Human
Parainfluenza Virus 1 (12.1%), Influenza B (6.1%), Human Coronavirus-OC43 (6.1%), Human Coronavirus-
NL63 (6.1%), Human Parainfluenza Virus 2 (3.0%), Human Rhinovirus (3.0%), and Human Adenovirus

257
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 257 – 262

(3.0%). Of the 17 samples that tested positive for viruses, 14 of them were single cases of infection while
the other three were cases of co-infection between Human Coronavirus-NL63 and Human Parainfluenza
Virus 1, Human Metapneumovirus with Human Coronavirus-OC43, and Human Adenovirus with Human
Rhinovirus. The most detected virus from ARI hospitalized cases are the Human Metapneumovirus.
Keywords : Fast-Track Diagnostics; ARI; Multiplex Real-time RT-PCR; eespiratory virus

PENDAHULUAN besar sampel biologis. Kini telah dikembangkan


Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) modifikasi PCR untuk diagnostik cepat beberapa
merupakan penyakit menular yang menjadi virus secara bersamaan yaitu multiplex Real-
penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.1 time RT-PCR. Kit multiplex Real-time RT-PCR
Penderita ISPA yang memperoleh perawatan di menyediakan beberapa panel pemeriksaan untuk
rumah sakit (RS) merupakan kasus ISPA berat.2 mendeteksi 12 hingga 33 patogen yang berbeda
Periode prevalensi ISPA nasional berdasarkan data secara simultan dalam suatu spesimen klinis.7
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencapai Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai studi
25% dengan 25,8% didominasi oleh kasus ISPA pendahuluan untuk mengetahui virus-virus
pada balita (1-4 tahun). Provinsi Nusa Tenggara penyebab ISPA berat yang di rawat inap di RS
Timur mempunyai prevalensi ISPA yang tinggi sentinel surveilans ISPA berat dengan teknik
yaitu sebesar 41,7%.3 pemeriksaan diagnostik cepat multiplex Real-time
Penyebab utama kasus ISPA adalah RT-PCR.
mikroorganisme, namun 90-95% menunjukkan
virus sebagai agen penginfeksi tertinggi.4 METODE
Tingginya angka kasus rawat inap akibat ISPA Penelitian ini merupakan bagian dari
diduga disebabkan oleh sulitnya menentukan kegiatan surveilans influenza pada kasus ISPA
manifestasi klinis yang spesifik dari pasien. Hal rawat inap di tiga RS Sentinel yaitu RSUD
ini berkaitan dengan banyaknya virus saluran Deli Serdang Medan, RSUD Wonosari Daerah
pernafasan yang seringkali menimbulkan gejala Istimewa Yogyakarta, dan RS Kanudjoso Djati
yang saling tumpang tindih pada penderita.5 Di Balikpapan dari bulan Agustus-September 2016
negara berkembang, 40-50% patogen penyebab yang dalam kurun waktu tersebut didapatkan 30
ISPA berat adalah virus. Respiratory Syncytial kasus yang sesuai dengan kriteria inklusi dari
Virus, Parainfluenza virus, Influenza Virus, dan surveilans influenza pada kasus ISPA berat yang di
Adenovirus merupakan patogen-patogen utama rawat inap.8 Spesimen swab hidung dan tenggorok
yang diidentifikasi menjadi penyebab ISPA diambil dan ditempatkan ke dalam suatu tube
berat. Selain virus-virus tersebut, kelompok dari yang berisi Viral Transport Medium (VTM) dan
Picornavirus (Enterovirus, Coxsakie Virus, dan disimpan pada suhu 2–80C. Spesimen selanjutnya
Rhinovirus) juga merupakan penyebab ISPA berat dikirim ke Laboratorium Virologi, Pusat Penelitian
pada anak-anak.6 dan Pengembangan (Puslitbang) Biomedis dan
Pemantauan virus-virus penyebab Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan
ISPA belum dilakukan secara rutin di Indonesia, Pengembangan Kesehatan, Jakarta untuk analisis
walaupun kegiatan surveilans ISPA berat yang di lebih lanjut.8
rawat inap sudah dilaksanakan sejak tahun 2008, RNA virus diekstraksi dari spesimen
terutama untuk pemantauan virus influenza yang klinis menggunakan MiniAmp Viral Isolation
menyebabkan epidemi dan berpotensi pandemi.2 Kit (Qiagen, Germany) sesuai dengan instruksi
Tantangan untuk pemeriksaan virus lain penyebab pabrik.8,9 Pemeriksaan diagnostik cepat multiplex
ISPA berat adalah waktu yang lama dan reagen PCR menggunakan Fast Track Diagnostics (FTD)
yang banyak. Real-time Reverse Transcriptase Respiratory Pathogens 33 Multiplex Real-time
PCR (RT-PCR) menjadi teknik yang sangat RT-PCR Kit. Kit FTD-RP 33 ini untuk pertama
disarankan dalam pemeriksaan virus saluran kalinya digunakan di laboratorium virologi. Kit
pernafasan. ini terdiri dari lima panel pemeriksaan untuk
Pemeriksaan menggunakan teknik mendeteksi 21 macam virus saluran pernafasan.
monoplex atau singleplex Real-time PCR kurang Panel pertama berisi komponen untuk pemeriksaan
direkomendasikan karena teknik ini kurang efisien, Influenza A, Influenza B, Influenza A subtipe
mahal, membutuhkan banyak reagen dan sejumlah H1N1pdm09, dan Human Rhinovirus. Panel

258
Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Rumah Sakit .... (Vivi Setiawaty, et al)

kedua untuk pemeriksaan Human Coronavirus- menunjukkan bahwa terdapat 17 (56,67%) sampel
OC43, Human Coronavirus-NL63, Human positif mengandung virus saluran pernafasan dan
Coronavirus-229E, dan Human Coronavirus- tiga sampel diantaranya memberikan hasil positif
HKU1. Panel ketiga untuk pemeriksaan Human pada dua virus. Tabel 1 menunjukkan bahwa
Parainfluenza Virus 3, Human Parainfluenza Human Metapneumovirus terdeteksi sebagai
Virus 2, Human Parainfluenza Virus 4 dan untuk patogen penyebab infeksi saluran perrnafasan
pengujian Internal Control (Equine Arteritis terbanyak dari keseluruhan hasil pemeriksaan
Virus). Panel keempat untuk pemeriksaan Human kasus ISPA berat yang di rawat inap yaitu sebesar
Metapneumovirus A dan B, Human Bocavirus, dan 21,2% (7/33). Kemudian disusul oleh Human
Human Parainfluenza Virus 1. Panel kelima untuk Parainfluenza Virus 1 (4/33; 12,1%),
pemeriksaan Human Respiratory Syncytial Virus Virus saluran pernafasan lainnya
A dan B, Human Adenovirus, Enterovirus, dan yang juga terdeteksi adalah Influenza B (2/33;
Human Parechovirus. Pengujian menggunakan 6,1%), Human Coronavirus-OC43 (2/33;6,1%),
multiplex PCR didasarkan pada prinsip Real- Human Coronavirus-NL63 (2/33;6,1%), Human
time PCR sesuai dengan manual FTD33 dengan Parainfluenza Virus 2 (1/33; 3,0%), Human
multiprimer untuk mendeteksi virus-virus Rhinovirus (1/33; 3,0%), dan Human Adenovirus
penyebab ISPA berat yang dirawat inap. Spesimen (1/33; 3,0%). Frekuensi kasus dengan koinfeksi
dinyatakan positif mengandung suatu virus yang dalam penelitian ini hanya sebesar 10% (3/30)
spesifik jika menunjukkan satu kurva eksponensial dari populasi sampel. Kombinasi dari dua virus
dan memiliki nilai Ct < 33.10 yang terdeteksi dari tiga sampel yaitu kombinasi
antara Human Coronavirus-NL63 dengan Human
HASIL Parainfluenza Virus 1, Human Metapneumovirus
Spesimen yang diujikan dengan multiplex dengan Human Coronavirus-OC43, dan Human
PCR adalah sebanyak 30. Hasil penelitian ini Adenovirus dengan Human Rhinovirus.

Tabel 1. Virus-virus pada Kasus ISPA Berat yang Memerlukan Rawat Inap
Total
Jenis Virus Saluran Pernafasan
N %
Influenza A (FLUA) 0 0
Influenza B (FLUB) 2 6,1
Influenza A subtipe H1N1 0 0
Human Rhinovirus (RV) 1 3,0
Human Coronavirus-OC43 (Cor43) 2 6,1
Human Coronavirus-NL63 (Cor63) 2 6,1
Human Coronavirus-229E (Cor229) 0 0
Human Coronavirus-HKU1 (HKU1) 0 0
Human Parainfluenza Virus 1 (HPIV1) 4 12,1
Human Parainfluenza Virus 2 (HPIV2) 1 3,0
Human Parainfluenza Virus 3 (HPIV3) 0 0
Human Parainfluenza Virus 4 (HPIV4) 0 0
Human Bocavirus (HBoV) 0 0
Human Metapneumovirus A/B (HMPV A/B) 7 21,2
Human Respiratory Syncytial Virus A/B (HRSV A/B) 0 0
Human Adenovirus (HAdV) 1 3,0
Enterovirus (EV) 0 0
Human Parechovirus (HPeV) 0 0
Negatif 13 39,4
Jumlah Total 33 100

259
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 257 – 262

PEMBAHASAN juga tergantung pada waktu pengoleksian sampel.


Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Pola musiman dari banyak virus-virus saluran
dari seluruh spesimen hanya terdapat delapan pernafasan di negara tropis khususnya Indonesia
macam virus yang terdeteksi, hal ini sesuai relatif belum teridentifikasi secara jelas kecuali
dengan pernyataan Widoretno et al6 bahwa untuk RSV dan Influenza memiliki pola musiman
patogen yang sering teridentifikasi sebagai dengan tingkat infeksi tertinggi yaitu pada musim
penyebab kasus ISPA berat yang dirawat inap hujan.17 Musim hujan di Indonesia berlangsung
adalah Influenza Virus, Respiratory Syncytial dari bulan Oktober hingga Maret.4 Hal tersebut
Virus, Parainfluenza Virus dan Adenovirus.6 juga dimungkinkan sebagai penyebab rendahnya
Namun seiring dengan berkembangnya teknik angka positivitas virus Influenza dalam penelitian
deteksi molekuler, di negara tropis ditemukan ini.
pula virus saluran pernafasan lainnya mencapai Pada umumnya kejadian infeksi saluran
lebih dari 50% seperti Human Metapneumovirus pernafasan terjadi sepanjang tahun di negara
(5,3-5,4%), Coronavirus (0,6%), dan Rhinovirus tropis seperti Indonesia, dan puncak tertinggi
strain C (12,8-30%) yang termasuk ke dalam angka kejadian infeksi biasanya berlangsung
golongan new emerging virus.11 pada musim hujan setiap tahunnya. Virus-virus
Hasil penelitian bahwa Human saluran pernafasan menggunakan aerosol sebagai
Metapneumovirus merupakan virus yang paling mode transmisinya. Pada kelembaban atmosfer
banyak terdeteksi dari kasus ISPA berat yang yang tinggi seperti di Indonesia ini, aerosol yang
dirawat inap juga didukung oleh hasil penelitian mengandung partikel virus akan bertahan lebih
lain yang menyatakan bahwa HMPV biasanya lama.17
lebih sering terdeteksi sebagai patogen penyebab Kasus koinfeksi virus terdeteksi dalam
ISPA pada populasi pediatrik. Namun kini, tiga spesimen, yaitu kombinasi antara Cor63
virus ini juga banyak menyerang orang dewasa. dan HPIV1, HMPV dan Cor43, HAdV dan RV.
Infeksi HMPV menyebabkan peningkatan Koinfeksi biasanya menggambarkan peningkatan
secara signifikan jumlah kasus rawat inap pada keparahan suatu penyakit.18 Kasus koinfeksi yang
orang dewasa berusia > 50 tahun, terutama pada terdeteksi didukung oleh beberapa penelitian
mereka yang berusia > 65 tahun.12 Bronchiolitis sebelumnya yang melaporkan bahwa HMPV
dan asma merupakan penyakit yang paling sering sering ditemukan pada kasus koinfeksi dengan
terdiagnosis dari pasien positif HMPV.13 Panda virus saluran pernafasan lainnya seperti HRSV,
et al14 dalam penelitiannya menyatakan jumlah RV, HPIV, Coronavirus, dan Influenza. Salah
kasus rawat inap tahunan akibat infeksi HMPV satu kasus dengan tingkat keparahan yang
sama dengan jumlah gabungan antara kasus tinggi adalah koinfeksi antara HMPV dengan
infeksi Influenza dan HPIV 1, 2, dan 3 dengan Coronavirus yang menyebabkan wabah Severe
tingkat kematian sebesar 11%. Belum banyak Acute Respiratory Syndrome (SARS).14
diketahui mengenai distribusi musiman HMPV, Coronavirus NL-63 merupakan
tetapi HMPV cenderung akan terdeteksi pada Coronavirus yang paling sering ditemukan
periode waktu tertentu dalam setahun.15 dalam kasus koinfeksi dengan virus lainnya.
Namun berkaitan dengan tingginya Cor63 ini memiliki periode infeksi yang sangat
angka deteksi HMPV dalam penelitian ini, lama mencapai tiga minggu setelah paparan,
menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan oleh karenanya persentase kemungkinan terjadi
hasil penelitian Purniti et al16 yang menyatakan koinfeksi mencapai 50%.5 Kasus koinfeksi antara
bahwa virus Influenza merupakan virus HAdV dan RV juga didukung oleh hasil penelitian
penyebab ISPA yang memiliki angka infeksi Calvo et al18 yang menyatakan bahwa HAdV
tertinggi pada pasien rawat jalan maupun rawat dan RSV merupakan agen penginfeksi dengan
inap dibandingkan dengan virus-virus lainnya. presentase tertinggi dalam kasus koinfeksi RV.
Ketidaksesuaian tersebut mungkin dapat Penelitian ini memiliki beberapa
dikarenakan keterbatasan jumlah spesimen yang keterbatasan. Pertama, data yang disajikan hanya
digunakan dalam penelitian ini. Kasus yang berupa jenis virus dan positivitasnya, tidak
diambil pada periode Agustus–September 2016 menggunakan data epidemiologi sehingga hasil
ini, mungkin tidak dapat menggambarkan pola yang diperoleh tidak dapat mencerminkan asosiasi
kejadian ISPA berat yang sebenarnya terjadi. antara jenis virus dengan gejala maupun faktor
Perbedaan prevalensi virus yang teridentifikasi risiko lain penyebab ISPA, seperti umur, jenis

260
Deteksi Virus Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut di Rumah Sakit .... (Vivi Setiawaty, et al)

kelamin, status kesehatan, dan lain-lain. Kedua, Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan untuk
populasi sampel penelitian yang digunakan bantuannya dalam penelitian ini.
terbatas 30 sampel dan merupakan sampel periode
Agustus-September 2016, sehingga mungkin DAFTAR PUSTAKA
tidak dapat mewakili keseluruhan pasien dengan
1. Sentilhes AC, Choumlivong K, Celhay O,
kriteria ISPA berat yang dirawat inap di tiga RS
Sisouk T, Phonekeo D, Vongphrachanh P, et
dan belum dapat menggambarkan pola etiologi
al. Respiratory virus infections in hospitalized
dari kasus ISPA berat di tahun 2016. Ketiga,
children and adults in Lao PDR. Influenza
studi ini tidak menganalisis hubugan antar virus,
and Other Respiratory Viruses Journal.
kejadian koinfeksi yang berkaitan dengan tingkat
2013;7(6):1070-1078.
keparahan suatu penyakit.
2. Roselinda, Krisna NAP. Karakteristik kasus
Karakteristik dari virus-virus penyebab
severe acute respiratory infection (SARI) di
infeksi saluran pernafasan masih sangat penting
Indonesia tahun 2008-2009. Jurnal Biotek
untuk dikaji dalam penelitian-penelitian
Medisiana Indonesia. 2013;2(2):75-82.
selanjutnya, karena belum ada pola etiologi
3. Kementerian Kesehatan RI. Laporan
secara pasti yang menggambarkan kasus ISPA
Riskesdas tahun 2013. Jakarta: Badan
berat yang dirawat inap di Indonesia. Masing-
Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan
masing virus memiliki perbedaan prevalensi
RI; 2013.
yang akan membentuk suatu pola sirkulasi virus
4. Widodo YP, Rizki CD, Lintang DS. Hubungan
yang spesifik. Oleh karenanya pemeriksaan
perilaku keluarga terhadap kejadian infeksi
virus penyebab ISPA dengan teknik multipleks
saluran pernafasan atas (ISPA). Jurnal Ilmu
PCR masih perlu dikembangkan untuk dapat
dan Teknologi Kesehatan. 2016;7:1-12.
menentukan epidemiologi virus-virus tersebut,
5. Mahony JB. Detection of respiratory viruses
yang mana akan membantu surveilans Severe
by molecular methods. Clinical Microbiology
Acute Respiratory Infection (SARI) Indonesia
Reviews. 2008;21(4):716-747.
dalam pelaksanaan program pengendalian
6. Widoretno, Saraguh SM, Lokida D. Virus-
penyakit ISPA termasuk dalam pembatasan
virus saluran pernafasan yang paling banyak
penggunaan agen antimikroba.
ditemukan pada anak balita pasien SARI
(Severe acute respiratory infections). Jurnal
KESIMPULAN
Biotek Medisiana Indonesia. 2012;1(2):93-
Virus Human Metapneumovirus sebagai
98.
virus penyebab ISPA yang paling banyak
7. Salez N, Vabret A, Leruez-Ville M,
terdeteksi dalam spesimen kasus ISPA berat yang
Andreoletti L, Carrat F, et al. Evaluation of
dirawat inap menggunakan tehnik pemeriksaan
four commercial multiplex molecular tests for
diagnostik cepat multiplex Real-time RT-PCR.
the diagnosis of acute respiratory infections.
Journal PloS ONE. 2015;10(6):1-17.
SARAN
8. Pangesti KNA, Susilarini NK, Pawestri
Pemeriksaan virus-virus secara multiplex
HA, Setiawaty V. Influenza cases from
Real-time RT-PCR sangat bermanfaat karena
surveillance acute respiratory infection in
dapat dilakukan cepat dan secara bersamaan.
Indonesia, 2011. Health Science Journal of
Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi
Indonesia. 2014;5(1):7-11.
virus saluran pernafasan selain influenza.
9. Setiawaty V, Pawestri HA, Susilarini NK.
Deteksi resistensi oseltamivir influenza A
UCAPAN TERIMA KASIH
(H1N1pdm09) dari pasien infeksi saluran
Penelitian ini didukung dan didanai
pernafasan akut berat di Indonesia tahun 2014.
sepenuhnya oleh Badan Penelitian dan
Jurnal Kefarmasian Indonesia. 2016;6(1):16-
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.
22. DOI : 10.22435/jki.v6i1.5415.16-22
Kami menyampaikan terimakasih kepada tim
10. Fast Track Diagnostics Ltd. Manual FTD
surveilans di RSUD Deli Serdang Medan, RSUD
respiratory pathogens 33. Luxembourg: Fast
Wonosari Daerah Istimewa Yogyakarta, dan RS
Track Diagnostics Ltd; 2016.
Kanudjoso Djati Balikpapan dan seluruh pasien.
11. Khor CS, Sam IC, Hooi PS, Quek KF,
Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada
Chan YF. Epidemiology and seasonality of
seluruh staf Laboratorium Virologi Puslitbang
respiratory viral infections in hospitalized

261
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 257 – 262

children in Kuala Lumpur, Malaysia: a 15. Simusika P, Bateman AC, Theo A, Kwenda
retrospective study of 27 Years. BMC G, Mfula C, Chentulo E , et al. Identification
Pediatrics. 2012:12:1-9. of viral and bacterial pathogens from
12. Widmer K, Zhu Y, Williams JV, Griffin hospitalized children with severe acute
MR, Edwards KM, Talbot HK. Rates of respiratory illness in Lusaka, Zambia,
hospitalizations for respiratory syncytial 2011–2012: A Cross-Sectional Study. BMC
virus, human metapneumovirus, and Infectious Diseases. 2015;15(52):1-10.
influenza virus in older adults. The Journal of 16. Purniti PS, Ida BS, Ida SI. Surveilans
Infectious Disease. 2012;206(1):56-62. influenza pada pasien rawat jalan. Sari
13. Edwards KM, Zhu Y, Griffin MR, Weinberg Pediatri. 2010;12:278-282.
GA, Hall CB, Szilagyi PG, et al. Burden of 17. Adam K, Pangesti KN, Setiawaty V. Multiple
human metapneumovirus infection in young viral infection detected from influenza-like
children. The New England of Medicine. illness cases in Indonesia. BioMed Research
2013;368(7):633-643. International. 2017;2017:1-5.
14. Panda S, Mohakud NK, Pena L, Kumar S. 18. Calvo C, García-García ML, Blanco C, Pozo
Human metapneumovirus: review of an F, Flecha IC, Pérez-Breña P. Role of rhinovirus
important respiratory pathogen. International in hospitalized infants with respiratory tract
Journal of Infectious Diseases. 2014;25:45- infections in Spain. The Pediatric Infectious
52. Disease Journal. 2007;26(10):904-908.

262
NaskahAsli

Penerapan Diagnostik Laboratorium pada Kasus Tersangka Positif


Difteri pada Kejadian Luar Biasa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat
Kambang Sariadji, Sunarno, Rudi Hendro Putranto
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Kemenkes RI
E-mail: kambang_sar@yahoo.com

Abstract

Based on national health research 2010, the coverage of basic immunization on West Kalimantan were
,W¶V causes concern of outbreaks some immunizable prevented diseases in West Kalimantan . One of
them is diphtheria. It was reported incidence of diphtheria suspect in Dalam Bugis, Pontianak Timur, Kota
Pontianak, West Kalimantan in April 2013. A suspect of 12 years old girl was reported with a clinical
diagnosis of diphtheria. Confirmation of positive suspect of diphtheria outbreaks occurred in West Kalimantan.
A suspected case of diphtheriae and her mother were taken throat swabs on April 4, 2013, then she was retaken
throat swabs and also 29 of her classmate as a contacts of case on April 24th 2013. Microscopic examination by
staining Albert. Culture and isolation using blood agar and blood agar telurit. Suspect colonies are followed by
biochemical tests using the API Coryne commercial product. Toxigenic test performed by polymerase chain
reaction. A suspected case throat swab was taken on 4 April 2013 shows a microscopic results found difteroid
form. Then the results of culture, isolation and biochemical have possibility > 89.5% of bacteria
Corynebacterium diphtheriae type mitis. Toxigenic test showed that positif toxigenic bacteria which
characterized by amplification gene tox (dtx) along 248 bp. Meanwhile her mother is a negative culture results
C.diphtheriae. On 24th April 2013 the suspected case was re-taken of throat swab including 29 contacts from
her classmate which showing negative culture result of C.diphtheriae. The suspected case was infected of
C.diphtheriae type mitis toxigenic ,W¶V FDVHV PDNHV DQ RXWEUHDN LQ West Kalimantan.

Key words : Corynebacterium diphtheriae, Culture and isolation, Biochemical test

Abstrak
Rendahnya cakupan imunisasi dasar di Provinsi Kalimantan Barat menyebabkan kekhawatiran timbulnya
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) salah satunya adalah difteri. Kejadian difteri yang
dilaporkan ini terjadi di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi
Kalimantan Barat pada bulan April 2013. dilaporkan adanya kasus suspek dengan diagnosis klinis difteri pada
anak perempuan usia 12 tahun. Mengidentifikasi suspek positif kasus kejadian luar biasa difteri yang terjadi di
Kalimantan Barat. Suspek dan ibu suspek diambil swab tenggorok tanggal 4 April 2013, kemudian suspek
diambil swab tenggorok lagi beserta 29 kontak teman sekolahnya pada tanggal 24 April 2013. dilakukan
pemeriksaan secara mikroskopik dengan pewarnaan Albert. Kultur dan isolasi menggunakan medium agar
darah dan telurit agar darah. Koloni tersangka dilanjutkan dengan uji biokimia menggunakan produk komersial
API Coryne . Uji toksigenitas dilakukan dengan polymerase chain reaction Suspek yang diambil swab
tenggorok pada tanggal 4 April 2013 menunjukkan hasil mikroskopis ditemukan bentuk difteroid. Hasil kultur,
isolasi dan uji biokimia menunjukan possibility > 89,5 % bakteri Corynebacterium diphtheriae tipe mitis. Uji
toksigenitas menunjukkan bakteri tersebut toksigenik yang ditandai dengan terbentuk produk amplifikasi dari
gen dtx (tox) sepanjang 248 pb. Sementara hasil kultur Ibu suspek negatif C.diphtheriae. Pada pengambilan
swab tenggorok tanggal 24 April 2013 terhadap suspek yang sama dan 29 kontak dari teman kontak
menunjukkan hasil kultur negatif C.diphtheriae. Suspek terinfeksi C.diphtheriae tipe mitis toksigenik yang
menjadikan Kasus tersebut menjadi kasus Kejadian Luar Biasa di provinsi Kalimantan Barat.

Kata Kunci : Corynebacterium diphtheriae, Kultur dan isolasi, Uji biokimia

Diterima: 20 Januari 2014 Direvisi: 13 Februari 2014 Disetujui: 20 Maret 2014 31


Pendahuluan Timur, Provinsi Kalimantan Barat bulan
April 2013 lalu, dilaporkan adanya kasus
Mengingat cakupan Imunisasi dasar
difteri pada anak perempuan usia 12 tahun
lengkap di Indonesia yang masih rendah
dengan gejala demam, susah menelan,
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun
bullneck, dan timbulnya pseudomembran.
2010 yakni 53.8 % menyebabkan
Menurut informasi keluarga merasa bahwa
kekhawatiran timbulya penyakit yang
pasien tersebut telah mendapatkan
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
imunisasi dasar yang lengkap. Informasi
Salah satu penyakit tersebut adalah difteri
lainnya pasien baru pulang dari
yang disebabkani oleh bakteri
berkunjung ke Madura, Jawa Timur. 4,5
Corynebacterium diphtheria dari biotipe
gravis, mitis atau intermedius. Bakteri ini Saat ini diagnosis laboratorium
terutama menyerang tonsil, faring, laring, difteri ditegakkan dengan menggunakan
hidung, adakalanya menyerang selaput metode konvensional kultur dan uji
lendir atau kulit serta kadang-kadang toksigenitas dilakukan dengan
konjungtiva atau vagina. Gejala difteri menggunakan elek test. Pada kasus KLB
adalah tenggorokan terasa sakit, timbul ini diagnosis laboratorium ditegakkan
lesi membran diikuti dengan kelenjar limfe menggunakan serangkaian uji yakni
yang membesar dan melunak. Pada kasus mikroskopik, kultur, uji biokimia dengan
yang sedang sampai berat ditandai dengan Analytical Profile Index (API ) test dan uji
pembengkakan dan oedema di leher toksigenitas test menggunakan PCR.
dengan pembentukan membran pada Serangkain uji ini diharapkan dapat
trachea secara ekstensif dan dapat terjadi mengidentifikasi kasus tersangka dan
obstruksi jalan napas.1,2,3 4 kontak difteri secara akurat yang terjadi di
Kalimantan Barat.
Di Indonesia berdasarkan data
Kementerian Kesehatan, pada tahun 2004 Investigasi penelitian ini bertujuan
frekuensi kejadian luar biasa (KLB) difteri untuk mengetahui dan mengidentifikasi
terjadi 34 kali dengan jumlah kasus 106 di temuan kasus dan kontak pada kejadian
Indonesia. Tahun 2008 ada 77 kali KLB luar biasa difteri di Kelurahan Dalam
dengan 123 kasus, termasuk di Jawa Timur Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota
dengan jumlah kasus 73. Tahun 2011, Pontianak, Kalimantan Barat.
terjadi KLB di Jatim dengan 330 kasus, 11
orang meninggal awal Oktober 2011. Metode
Kejadian luar biasa (KLB) penyakit
Spesimen tersangka difteri diambil
menular seperti difteri masih sering
dua kali pengambilan swab tenggorok
ditemukan Indonesia. Difteri di Indonesia
menggunakan medium transport Amies,
harusnya sudah bebas mengingat program
yang pertama tanggal 4 April 2013
vaksinasi diptheri telah digalakkan, namun
terhadap tersangka dan ibunya. Spesimen
demikian adanya satu kasus kejadian
berikutnya tanggal 24 April 2013 terhadap
diptheri maka sudah dapat dianggap suatu
tersangka dan 29 kontak teman
keadaan KLB yang harus dan masih
sekolahnya. Semua spesimen swab
perhatian serius pemerintah.3
tenggorok diambil oleh petugas surveilans
Rendahnya cakupan imunisasi dasar Dinkes Pontianak Provinsi Kalimantan
lengkap di Provinsi Kalimantan Barat Barat. Spesimen swab tenggorok langsung
yakni sebesar 52.1 % serta tingginya dikirim ke Laboratorium Bakteriologi,
mobilisasi penduduk dari Jawa ke Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kalimantan dan sebaliknya ini berdampak Kesehatan, Badan Penelitian dan
pada salah satu masalah timbulya penyakit Pengembangan Kesehatan, Kementerian
difteri. Seperti yang terjadi di Kelurahan Kesehatan.
Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak

32 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.3.1.2014:31-35


Penerapan Diagnostik« Kambang Saridaji dkk)

Pemeriksaan laboratorium terdiri Hasil


dari pemeriksaan mikroskopik, kultur, uji
biokimia dan uji toksigenitas. Pertama Pada pemeriksaan spesimen pertama
tanggal 4 April 2013 terhadap tersangka dan
spesimen swab tenggorok diinokulasi pada
ibu tersangka, ditemukan koloni spesifik
medium selektif cystine tellurite blood difteri pada spesimen tersangka di medium
agar (CTBA), inkubasi selama 24-48 jam CTBA dengan karakteristik berwarna hitam,
pada suhu 37oC. Adanya koloni yang bulat, dengan diameter 1-1,5 mm. Adanya
diduga koloni C.diphtheriae pada medium pertumbuhan spesifik difteri ini kemudian
CTBA dengan ciri koloni bulat, hitam dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik,
keabuan divalidasi dengan pemeriksaan uji biokimia dan uji toksigenitas. Pada
mikroskopik menggunakan pewarnaan pemeriksaan lanjutan secara mikroskopik
Albert. Morfologi C.diphtheriae secara ditemukan adanya bentuk difteroid yang
mikroskopik menunjukkan gambaran merupakan ciri khas dari bakteri genus
bentuk batang dengan pembesaran (granul) Corynebacterium. Hal ini diperlukan untuk
memastikan bahwa bakteri yang akan
pada salah satu atau kedua ujungnya.
diperiksa untuk uji biokimia adalah
Pengujian dilanjutkan dengan uji biokimia Corynebacterium, bukan jenis lain. Pada
dan uji toksigenisitas. 6 pemeriksaan dengan uji biokimia
Uji biokimia dilakukan dengan menggunakan produk API Coryne
melakukana inokulasi kembali koloni yang menunjukkan menunjukkan >89,5% posibility
diduga pada medium CTBA ke medium spesies C. diphtheriae tipe mitis. Hasil uji
toksigenitas menunjukkan bakteri tersebut
agar darah. Selanjutnya diinkubasi pada
positif toksigenik, hasil pemeriksaan PCR
suhu 37°C selama 24 jam. Kemudian pada Gambar 1. hasil pemeriksaan ibu
dilakukan uji biokimia menggunakan tersangka tidak menunjukkan adanya
produk komersial API Coryne dan pertumbuhan koloni, sehingga tidak
dianalisis dengan software komputer dari dilanjutkan pemeriksaan berikutnya.
pabrikan.7 Setelah dipastikan bahwa
bakteri yang diperiksa adalah
Corynebacterium diphtheriae, dilakukan
1
uji toksigenitas untuk mengetahui
kemampuan bakteri mengeluarkan toksin
difteri yang merupakan faktor virulensi
utama bakteri tersebut.
Uji toksigenisitas untuk difteri
dilakukan dengan metode Polimerase
Chain Reaction (PCR) menggunakan
Salah satu pasangan primer dengan target
gen tox (dtx) yakni
M KP KN S
¶*777*&*7&$$7&77$$7$*** ¶
(dengan posisi nukleotida 15-36) dan
Keterangan :
¶$&&77**7*7*$7&7$&7*777 ¶ 1 : gen tox (dtx)Corynebacterium diphtheriae
(dengan posisi nukleotida 1622-1634); Ukuran 248 bp
dengan primer tersebut akan dihasilkan M : Marker 1000 bp
produk PCR (amplicon) sepanjang 248 pb KP : Kontrol Positif
(pasang basa). Ekstraksi DNA KN : Kontrol Negatif
S : Sampel suspek
menggunakan Qiamp DNA Mini Kit
(Qiagen) sesuai dengan prosedur yang
dikeluarkan Qiagen.8,9 Gambar 1. Hasil Pembacaan Peng-
gandaan Produk DNA pada Spesi-
men Tersangka dengan Teknik PCR

33
Pada pemeriksaan spesimen kedua terhadap adanya pita DNA sepanjang 248 pb,yang
tersangka dan 29 kontak teman sekolahnya berarti bahwa sampel tersebut
menunjukkan tidak ada pertumbuhan koloni mengandung gen tox, yang menyandi
khas difteri pada medium CTBA, sehingga toksin difteri. Walaupun hampir dapat
tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. dipastikan bakteri tersebut menghasilkan
Pembahasan toksin, namun ada kelemahan dari
pemeriksaan PCR ini karena ternyata
Pada pengambilan spesimen pertama sebagian kuman difteri tidak memproduksi
terhadap tersangka melalui pemeriksaan toksin secara biologis, meskipun
mikroskopik dengan pewarnaan Albert mempunyai gen tox yang menyandi
menunjukkan gambaran metachromatic produksi toksin, untuk memastikan
granuls. Pewarnaan ini dilakukan terhadap toksigenitas kuman difteri perlu dilakukan
koloni tersangka yang tumbuh pada uji lain (misalnya tes elek). 8,9,13
medium TCBA, sehingga lebih mudah
dalam pengamatannya. Pengamatan Pada pengambilan spesimen swab
mikroskopik pada pewarnaan langsung tenggorok yang kedua terhadap tersangka
dari sampel swab tenggorok memerlukan dan 29 kontak dari teman terdekat
teknik keahlian dan konsentrasi yang menunjukkan hasil yang negatif terhadap
tinggi, karena harus membedakan juga pemeriksaan kultur C.diphtheriae. Hasil
bentuk bakteri lainnya. Pemeriksaan investigasi dari Dinkes Provinsi
mikroskopik secara langsung dari Kalimantan Barat dikatakan bahwa setelah
spesimen klinis tidak dianjurkan untuk diketahui tersangka positif difteri secara
menentukan diagnosis karena rawan klinis, maka dilakukan perawatan
menimbulkan terjadinya penafsiran negatif karantina dan terapi terhadap tersangka.
dan positif palsu. Diagnosis laboratorium Terhadap kontak diberikan profilaksis
tunggal secara mikroskopik tidak bisa erytromicin selama seminggu. Setelah 20
dijadikan penentuan terhadap C. hari dilakukan pemeriksaan kultur ulang
diphtheriae karena ada beberapa spesies terhadap tersangka ditambah dengan 29
Corynebacterium yang bersifat flora kontak. Hasil negatif kultur ulang difteri
normal mempunyai kesamaan morfologi terhadap tersangka menunjukkan tersangka
dengan spesimen Corynebacterium lainnya tidak lagi mengandung C. diphtheriae, dan
yakni bentuk difteroid. Oleh karena itu kondisi tersangka mengalami perbaikan
perlu dilakukan kultur, reaksi biokimia dan secara klinis.
test toksigenisitas. 10-12, Setelah diisolasi
pada agar darah, bakteri diidentifikasi Pemeriksaan kultur terhadap 29
lebih lanjut menggunakan uji biokimia kontak ini sebagai tindakan preventif
komersial API test 7. Uji biokimia untuk mencegah penularan yang lebih
NRPHUVLDO ´$3, &RU\QH´ PHPLOLNL luas. Kontak dapat menjadi karier dan
keakuratan yang tinggi karena jumlah uji dapat menjadi sumber penularan bagi
biokimianya lebih banyak (20 test) anggota keluarga lainnya dan
dibandingkan dengan penggunaan uji lingkunganya. Seseorang yang terinfeksi
biokimia yang sederhana. ( 5 test) 10 C. diphtheriae dengan status adanya
riwayat imunisasi DPT tidak menimbulkan
Uji toksigenitas penting untuk gejala, atau sekalipun timbul gejala
diagnostik difteri secara mikrobiologik, bersifat ringan, namun berpotensi menjadi
diantara semua metode yang ada untuk uji sumber penularan.
toksigenisitas, PCR banyak dipilih karena
cepat dan mudah interpretasinya.8,9 Melihat dari cakupan imunisasi dasar
Gambar 1 menunjukkan hasil positif difteri lengkap di Provinsi Kalimantan Barat yang
pada sampel tersangka ditunjukkan dengan masih rendah, maka perlu diwaspadai

34 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.3.1.2014:31-35


Penerapan Diagnostik« Kambang Saridaji dkk)

proses timbulnya serta penularan penyakit Mikrobiologi Kedokteran . Binarupa Aksara.


difteri dikalangan anak ± anak yang belum 1993.
mendapat imunisasi. Pemberian imunisasi 3. Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Gambaran
pada seseorang hanya bersifat mencegah KLB Diphteri Th 2000-2010 di Jawa Timur.
bukan berarti bebas dari infeksi bakteri 2011.
C.diphtheriae. Bakteri C. diphtheriae
akan tetap hidup dan akan menjadi sumber 4. Balitbangkes Kemenkes RI. Riskesdas 2010
penularan bagi anak ± anak yang belum 5. Dinkes Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
pernah di imunisasi. Laporan Penyelidikan Epidemiologi Kasus
KLB difteri di Kelurahan Dalam Bugis
Kesimpulan Kecamatan Pontianak Timur. 2013

Dalam menegakkan diagnosis labo- 6. Albert H. Diphtheria bacillus stains with a


ratorium difteri dengan menggunakan description of A "new" one. The American
metode mikroskopik, kultur, identifikasi Journal Of Public Health. 1919:334-337
lanjut dengan uji biokimia API coryne dan 7. Biomerieuxl. Manual Packed Insert API
uji toksigenitas PCR didapatkan Kasus Coryne .
tersangka positif C.diphtheriae yang
terjadi di Kelurahan Dalam Bugis, 8. Handayani S. Deteksi Kuman Difteri Dengan
Kecamatan Pontianak Timur, Provinsi Polymerase Chain Reaction (PCR). CDK-
191/ vol. 39 no. 3. 2012
Kalimantan Barat.

Saran 9. Sunarno, Kambang Sariadji , Holly Arif


Wibowo. Potensi Gen dtx dan dtxR sebagai
Dalam menegakan diagnosis difteri Marker dalam Metode Deteksi dan
laboratorium mikrobiologi hendaknya Pemeriksaan Toksigenisitas Corynebac-
melakukan serangkaian metode pemerik- terium diphtheriae. 2011.
saan mulai dari mikroskopik, kultur,
identifikasi lanjut dengan uji biokimia API
10. Efstratiou A, George RC. Laboratory
coryne dan uji toksigenitas PCR, sehingga guidelines for the diagnosis of infections
didapatkkan hasil yang akurat caused by Corynebacterium diphtheriae and
C. ulcerans. Commun Dis Public Health.
Ucapan Terima Kasih 1999: 2: 250-7.

Penulis mengucapkan terima kasih


kepada, Kepala Dinkes Kota Pontianak 11. Efstratiou A, Engler KH, Mazurova IK,
dan Kepala Dinkes Provinsi Kalimantan Glushkevich T, Vuopio-Varkila J, and
Popovic T. Current Approaches to the
Barat. Penulis mengucapkan terima kasih
Laboratory Diagnosis of Diphtheria. JID.
kepada teman sejawat Laboratorium 2000;181(Suppl 1):S138±45.
Bakteriologi Pusat Biomedis dan Tekno-
logi Dasar Kesehatan yang telah
membantu selama proses penanganan 12. De Zoysa A & Efstratieu A.
spesimen KLB difteri. Corynebacterium spp. In: Gillespie SH &
Hawkey PM. Editor. Principles and Practice
of Clinical bacteriology 2nd ed. 2006.
Daftar Rujukan USA:John Wiley & Son, Ltd.
1. Kandun I Nyoman. Manual Pemberantasan
Penyakit Menular. Dirjen P2PL Departemen
13. Elek SD. The Plate Virulence Test for
Kesehatan, 2000.
Diphtheria. J. clin. Path. 1949;2:250-258.
2. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Buku Ajar

35
36 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.3.1.2014:31-35
Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016 21

ANALISA PERBANDINGAN METODE FILTER GAUSSIAN, MEAN DAN


MEDIAN TERHADAP REDUKSI NOISE
Andre Wedianto, Herlina Latipa Sari, Yanolanda Suzantri H
Program Studi Teknik Komputer Fakultas Ilmu Komputer Universitas Dehasen Bengkulu
Jl. Meranti Raya No. 32 Kota Bengkulu 38228 Telp. (0736) 22027, 26957 Fax. (0736) 341139

ABSTRACT
This study aimed to compare the Gaussian Method, Mean and Median in performing noise reduction using the
programming language Matlab. Can make improvements in particular digital image noise reduction. Limitation of the
study is a programming language used to build applications of digital image processing, especially the reduction of noise
in this research Matlab programming. Digital image used jpeg extension. The method used method of Gaussian, Mean
and Median. Initial image or the input image is an image that is damaged due to disturbances in image noise and generate
output * .jpg. Results of the study was the result of improved image noise, especially against tampering methods used
method of Gaussian, Mean and Median, of the three methods are used equally well, because all three of these methods
can improve the existing noise disturbance. In doing repairs noise on digital images to note the type of interference and a
good method to use. The resulting image of this improvement is relatively equal in terms of both the pixel size and the
amount of file.
Keywords: Gaussian, Mean and Median

INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan Metode Gaussian, Mean dan Median dalam melakukan reduksi noise
dengan menggunakan bahasa pemrograman matlab. Dapat melakukan perbaikan citra digital khususnya reduksi noise.
Batasan penelitian adalah Bahasa Pemograman yang digunakan dalam membangun aplikasi pengolahan citra digital
khususnya reduksi noise dalam penelitian ini yaitu pemrograman Matlab. Citra Digital yang digunakan berekstensi jpeg.
Metode yang digunakan Metode Gaussian, Mean dan Median. Citra awal atau citra input merupakan citra yang rusak
karena gangguan pada noise citra dan menghasilkan output berupa *.jpg. Hasil penelitian adalah hasil perbaikan citra
terutama terhadap gangguan noise metode yang digunakan metode Gaussian, Mean dan Median, dari ketiga metode yang
digunakan sama baiknya, karena ketiga metode ini dapat memperbaiki gangguan noise yang ada. Dalam melakukan
perbaikan noise pada citra digital perlu diperhatikan jenis gangguannya dan metode yang baik digunakan. Citra yang
dihasilkan dari perbaikan ini relative sama baik dari segi ukuran pixel maupun besaran filenya.
Kata Kunci: Gaussian, Mean dan Median

I. PENDAHULUAN Untuk mengatasi citra tersebut perlu dilakukan


Seiring dengan perkembangan teknologi di bidang usaha untuk memperbaiki kualitas citra. Salah satu
komputer, baik dalam perangkat keras (hardware) teknik yang digunakan adalah reduksi noise yang
maupun perangkat lunak (software), hampir sebagian melakukan restorasi citra dengan cara peningkatan
besar pekerjaan manusia kini diselesaikan dengan kualitas. Dalam reduksi noise, terdapat beberapa
komputer. Dengan demikian, komputer dapat metode yang sering digunakan, dua diantaranya
dikatakan sebagai salah satu alat bantu manusia adalah Arithmetic Mean Filtering dan Median
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan Pemakaian Filtering. Arithmetic Mean Filtering yang merupakan
komputer sering digunakan untuk hal-hal yang salah satu filter yang bekerja dengan menggantikan
berkaitan dengan pemrosesan data (data processing), intensitas nilai pixel dengan rata-rata dari nilai pixel
pengolahan kata (word processing), serta pengolahan tersebut dengan nilai pixel-pixel tetangganya.
gambar (image processing). Salah satu alasan Sedangkan Median Filtering adalah salah satu teknik
mengapa komputer cenderung digunakan sebagai alat filter yang mengurutkan nilai intensitas sekelompok
bantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan adalah pixel, kemudian mengganti nilai pixel yang diproses
karena pekerjaan yang dilakukan menggunakan dengan nilai mediannya (nilai tengahnya).
komputer memiliki kecepatan proses yang lebih dapat
diandalkan dan tidak pernah diluar prosedur kerja. II. TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu bidang yang terpengaruh adanya A) Pengertian Analisa
perkembangan teknologi komputer adalah di bidang Menurut Ahmadi dan Supriyono (2006:89) analisa
pengolahan citra. Bidang pengolahan citra hamper adalah penelusuran kesempatan atau stantangan atau
ada di semua aspek kehidupan, baik untuk citra dalam sumber. Analisa juga melibatkan pemecahan suatu
kamera secara real time atau tidak real time. keseluruhan kedalam bagian-bagian untuk

ISSN 1858 – 2680 Analisa Perbandingan Metode…


22 Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016

mengetahui sifat, fungsi dan saling berhubungan Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh
antar bagian tersebut. Analisa sangat diperlukan atau (Jannah, 2008), sistem yang dibuat membahas
penting karena sifat dari lingkungan sangat dinamis tentang perbandingan antara tiga metode, yaitu filter
dan berubah dengan cepat. Gaussian, Mean, dan Median, tetapi hanya
Menurut Umar (2005:42). Analisa merupakan menggunakan sampel satu buah jenis noise yaitu salt
suatu proses kerja dari rentetan tahapan pekerjaan & peppers. Pada awalnya pengguna memasukkan
sebelum riset didokumentasikan melalui tahapan input data berupa citra. Citra masukan adalah citra
penulisan laporan menguraikan suatu pokok menjadi grayscale karena sistem hanya dibatasi untuk
beberapa bagian dan menelaah bagian itu sendiri serta memproses citra grayscale. Kemudian pengguna
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian diminta untuk memasukkan parameter untuk
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. menambahkan noise pada citra. Jika parameter telah
Berdasarkan pengertian analisa di atas, maka dimasukkan, maka sistem siap melakukan proses
dapat disimpulkan bahwa analisa adalah menyelidiki, pengurangan noise citra.
menguraikan, menelaah suatu permasalahan untuk
mengetahui pemahaman yang tepat. C) Pengertian Filter Mean
Menurut Usman (2005:61) salah satu filter linier
B) Pengertian Filter Gaussian adalah filter rata-rata (Filter Mean) dari intensitas
Menurut Usman (2005:70), filter Gaussian sangat pada beberapa pixel lokal dimana setiap pixel akan
baik untuk menghilangkan noise yang bersifat digantikan nilainya dengan rata-rata dari nilai
sebaran nomal, yang banyak di jumpai pada sebaran intensitas pixel tersebut dengan pixel-pixel
citra hasil proses digitasi menggunakan kamera tetangganya, dan jumlah pixel tetangga yang
karena merupakan fenomena alamiah akibat sifat dilibatkan tergantung pada filter yang dirancang.
pantulan cahaya dan kepekaan sensor cahaya pada Mean Filter adalah mengganti nilai pixel pada
kamera itu sendiri. posisi (x,y) dengan nilai rata-rata pixel yang berada
Gaussian Blur adalah Filter blur yang tetangga disekitarnya. Luasan jumlah pixel tetangga
menempatkan warna transisi yang signifikan dalam ditentukan sebagai masking/kernel/window yang
sebuah image, kemudian membuat warna-warna berukuran misalkan 2x2, 3x3, 4x4, dan seterusnya.
pertengahan untuk menciptakan efek lembut pada Kemudian akan dilakukan mean filter untuk citra M
sisi-sisi sebuah image. Gaussian blur adalah salah dengan menggunakan matriks kernel (3x3). Pixel
satu filter blur yang menggunakan rumus matematika m(2,2) = 3, akan diubah menjadi Selain mean filtering
untuk menciptakan efek autofocus untuk mengurangi yang merupakan proses filter linier, terdapat pula
detail dan menciptakan efek berkabut. Gaussian pendekatan filter pembobotan (weighted filter).
adalah istilah matematika yang diambil dari nama
seorang matematikawan Jerman, Karl Friedrich D) Pengertian Filter Median
Gauss. Menurut Rinaldi Munir (2004:126) menjelaskan
Untuk mengatasi noise tersebut perlu dilakukan filter median sebagai suatu jendela yang memuat
usaha untuk memperbaiki kualitas citra itu. Median sejumlah pixel ganjil. Jendela digeser titik demi titik
filter adalah salah satu filtering non-linear yang pada seluruh daerah citra. Pada setiap pergeseran
mengurutkan nilai intensitas sekelompok pixel, dibuat jendela baru. Titik tengah dari jendela ini
kemudian mengganti nilai pixel yang diproses dengan diubah dengan nilai median dari jendela tersebut.
nilai mediannya. Median filter telah digunakan secara Median filter mengganti nilai suatu piksel dengan
luas untuk memperhalus dan mengembalikan bagian median nilai tingkat keabuan dari pixel tetangga (nilai
citra yang mengandung noise berbentuk bintik putih. asli piksel digunakan juga pada saat perhitungan nilai
Pada penelitian terdahulu (Hwang, 1995) median tersebut). Media filter ini cukup popular
menjelaskan tentang dua algoritma baru untuk karena beberapa tipe gangguan acak (seperti salt
median filter adaptif dengan ukuran jendela variabel noise, pepper noise. Teknik ini mampu mengurangi
untuk menghilangkan impuls noise dengan kepadatan gangguan yang lebih baik dibandingkan dengan
yang cukup tinggi dengan juga tetap menjaga model linear smooting dengan ukuran yang sama.
ketajaman gambar yaitu dengan metode RAMF Median filter mengubah suatu titik dengan tingkat
(Ranked-order Based Adaptive Median Filter) dan keabuan yang berbeda menjadi lebih mirip dengan
SAMF (The Impulse Size Based Adaptive Median tetangganya. Selain itu juga median filter mengganti
Filter). Hasil simulasi menunjukkan bahwa kinerja nilai cluster pixel terisolasi, yang lebih terang atau
dari filter ini lebih tinggi dari median filter. gelap dibandingkan dengan pixel tetangganya serta

Analisa Perbandingan Metode… ISSN 1858 – 2680


Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016 23

luasannya kurang dari n2/2, dengan nilai median dari dahulu dengan menggunakan Gaussian. Dengan
masking nxn. Sehingga dapat dikatakan bahwa noise demikian dikenaladanya fungsi turunan baru yakni
yang dihilangkan akan memiliki nilai sama dengan LOG atau Laplacian of Gaussian
intensitas median tetangganya. Metode Sobel Merupakan metode yang
Selain Low – Pass Filter, metode yang digunakan menggunakan operator Sobel. Operator ini
dalam penghalusan citra (image smoothing) adalah menggunakan dua buah kernel yang berukuran 3x3
Median Filter. Filter ini merupakan suatu filter non pixel untuk perhitungan gradien sehingga perkiraan
linear yang dikembangkan oleh Tukey. Pada Median gradien berada tepat ditengah jendela.
Filter ini suatu “window” yang memuat sejumlah Mean filter merupakan salah algoritma
pixel ganjil digeserkan titik per titik pada seluruh memperhalus citra dengan cara perhitungan nilai
daerah citra. intensitas rata-rata citra pada setiap blok citra yang
Filter ini bekerja dengan menggantikan nilai diproses. Algoritma yang umum digunakan adalah
tengah dari pixel yang dicakup oleh area filter dengan Arithmetic dan Geometric Mean Filter.
sebuah nilai tengah (median) setelah diurutkan
terlebih dahulu dari yang terkecil ke yang terbesar. E) Pengertian Reduksi Noise
Biasanya ukuran filter adalah ganjil karena akan Noise adalah suatu gangguan yang disebabkan
memberikan poros tengah, sehingga akan lebih oleh penyimpanan data digital yang diterima oleh alat
mudah dalam mengolah Noise. penerima data gambar yang dapat mengganggu
Kelebihan dari filter median adalah kualitas citra. Noise dapat disebabkan oleh gangguan
kemampuannya dalam mengurangi derau yang fisik (optik) pada alat penangkap citra misalnya
diakibatkan oleh derau acak misalnya jenis salt and kotoran debu yang menempel pada lensa foto maupun
papper noise atau bisa disebut sebagai derau impulse. akibat proses pengolahan yang tidak sesuai. Ada tiga
Dibandingkan dengan jenis filter spasial (ruang) non- jenis noise yaitu gaussian noise, speckle noise, dan
linier lainnya, filter median merupakan filter yang salt and pepper noise.
paling cocok untuk kasus tersebut. Sehingga filter ini Noise Gaussian: modelnoise yang mengikuti
dinobatkan menjadi filter yang paling ampuh dalam distribusi normal standar dengan rata-rata nol dan
mengolah citra berderau sejenis. standard deviasi 1. Efek dari gaussian noise ini pada
Dalam merancang median filter, ada beberapa hal gambar adalah munculnya titik-titik berwarna yang
yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Siapkan jumlahnya sama dengan persentase noise.
matriks yang akan diolah. Bila matriks berisi citra, Noise speckle: model noise yang memberikan
maka jadikan citra tersebut menjadi citra grayscale warna hitam pada titik yang terkena noise. Noise salt
atau abu-abu agar yang didapat hanya 1 matriks and pepper adalah bentuk noise yang biasanya
intensitas saja. Siapkan matriks yang NOL yang terlihat titik-titik hitam dan putih pada citra seperti
ukurannya sama persis dengan citra yang akan diolah. tebaran garam dan merica, Noise salt and pepper
Matriks ini nantinya akan berisi nilai-nilai intensitas disebabkan karena terjadinya error bit dalam
dari citra asli yang sudah diolah terlebih dahulu. pengiriman data, pixel-pixel.
Filter max berarti menggantikan pixel dengan nilai Noise pada sebuah citra dapat terjadi karena
tertinggi dari suatu deret yang terbentuk darimatriks karakteristik derajat keabuan (gray-level) atau
yang sesuai dengan ukuran dari jendela filter. dikarenakan adanya variabel acak yang terjadi karena
Langkah-langkah lainnya sama dengan filter median. karakteristik Fungsi Probabilitas Kepadatan
Minimum Filter merupakan kebalikan dari filter (Probability Density Function (PDF)). Apabila citra
maksimum dimana pixel akan digantikan dengan nilai yang mengandung noise langsung diproses dan
minimum dari sebuah deret matriks yang berukuran diekstrak, maka fitur-fitur pentingnya dapat
sesuai dengan matriks filter. menimbulkan masalah akurasi. Jadi sebaiknya citra
Mid-Point Filtering adalah mengganti nilai sel tersebut dibersihkan dari noise terlebih dahulu, dan
bitmap dengan nilai tengah diantara nilai terkecil dan kemudian diproses untuk diekstrak fitur-fitur
terbesar dari area lokal. pentingnya. Salah satu teknik untuk mereduksi noise
Laplacian merupakan filter turunan yang adalah order-statistics filters, yang merupakan filter
fungsinya dapat mendeteksi area yang memiliki spasial dimana hasil responsnya didasarkan pada
perubahan cepat (rapid changes) seperti tepi (edge) pengurutan nilai piksel yang dilingkupi oleh filter
pada citra. Namun, laplacian ini sangat rentan atau (Gonzalez, 2002).
sensitif terhadap kehadiran derau. Untuk itu, citra
yang akan dideteksi tepinya perlu dihaluskan terlebih

ISSN 1858 – 2680 Analisa Perbandingan Metode…


24 Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016

Median filtering merupakan order-statistics filter elemennya tanpa membutuhkan pendeklarasian array
yang paling dikenal. Cara kerja dari filter ini seperti pada bahasa pemrograman lain.
dirumuskan pada persamaan berikut:
F(x,y) = median (s,t)€sxy {g(s,t)} III. METODOLOGI PENELITIAN
Median filtering mengambil area tertentu pada A) Metode Penelitian
citra sesuai dengan ukuran mask yang telah Metode Penelitian yang digunakan dalam
ditentukan (umumnya 3×3), kemudian dilihat setiap penyusunan skripsi ini adalah dengan menggunakan
nilai pixel pada area tersebut, dan nilai tengah pada metode penelitian kuantitatif eksperimen. Metode ini
area diganti dengan nilai median (Dwayne, 2000). bersifat validation atau menguji, yaitu menguji
Cara memperoleh nilai median adalah: nilai keabuan pengaruh satu atau lebih variabel terhadap variabel
dari titik-titik pada matriks diurutkan dari nilai lain.
terkecil hingga yang terbesar, kemudian ditentukan
nilai yang berada di tengah dari deret piksel. B) Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
Untuk tipe-tipe noise tertentu, filter ini Adapun instrumen perangkat keras yang
memberikan kemampuan reduksi noise yang sangat digunakan dalam penelitian ini adalah Personal
baik, dengan blurring yang lebih sedikit daripada Komputer dengan spesifikasi : Intel Pentium Core 2
linear smoothing filter untuk ukuran citra yang sama. Duo, Memory 4 GB, HDD 320 GB, Monitor 18”, dan
Median filtering memberikan hasil yang sangat bagus Keyboard + Mouse.
untuk citra yang terkena noise impulse bipolar dan Perangkat lunak yang penulis gunakan dalam
unipolar. Contoh hasil reduksi noise menggunakan penelitian ini adalah Sistem Operasi Windows 7
median filtering. Ultimate SP 1 dan Matlab r2013a.

F) Tinjauan Matlab C) Metode Perancangan Sistem


Menurut Teguh Widiarsono (2005:1) Matlab 1) Blok Diagram Global
merupakan suatu bahasa pemograman yang bisa Blok diagram global dari sistem ini adalah
membantu memecahkan berbagai masalah matematis mengetahui perbandingan antara Metode Filter
yang kerap kita temui dalam bidang teknis. Gausian, Mean dan Median Terhadap Reduksi Noise
Sedang menurut Muhammad Iqbal (2009:2) citra digital adalah:
Matlab adalah sebuah bahasa dengan (high-
performance) kinerja tinggi untuk komputasi masalah
teknik. Matlab mengintegrasikan komputasi,
visualisasi, dan pemrograman dalam suatu model
yang sangat mudah untuk pakai dimana masalah-
masalah dan penyelesaiannya diekspresikan dalam
notasi matematika yang familiar.
Matlab merupakan akronim dari kata Matrix
Laboratory. Versi pertama Matlab ditulis pada tahun
1970. Saat itu, Matlab digunakan untuk pelatihan
dalam teori matrik, aljabar linier dan analisis
numerik. Fungsi-fungsi Matlab ini digunakan untuk
menyelesaikan masalah bagian khusus, yang disebut
toolboxes. Toolboxes dapat digunakan untuk bidang
pengolahan sinyal, sistem pengaturan, fuzzy logic, Gambar 1. Blok Diagram Global
numeral network, optimasi, pengolahan citra, dan
simulasi yang lain. Citra Digital merupakan gambar atau objek utama
Matlab adalah bahasa pemrograman level tinggi yang hendak dilakukan perbaikan
yang dikhususkan untuk komputasi teknis. Bahasa ini Perbaikan yang dimaksud disini adalah perbaikan
mengintegrasikan kemampuan komputasi, (gangguan noise) terhadap citra digital.
visualisasi, dan pemrograman dalam sebuah Setelah citra digital ada dan jika ada gangguan
lingkungan yang tunggal dan mudah digunakan. (reduksi noise) maka selanjutnya dilakukan
Matlab memberikan sistem interaktif yang perbaikan. Disini ada tiga pilihan metode filter, yaitu:
menggunakan konsep array sebagai standar variabel Filter Gausian, Filter Mean, dan Filter Median.

Analisa Perbandingan Metode… ISSN 1858 – 2680


Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016 25

Setelah filter terhadap citra digital dengan masing- 4) Rencana Kerja


masing metode yang digunakan yang selanjutnya Perancangan rencana kerja tidak terlepas dari blok
digunakan sebagai data yang akan dibandingkan. diagram yang merupakan suatu pernyataan gambar
yang ringkas, dari gabungan sebab dan akibat antara
2) Prinsip Kerja Sistem masukkan dan keluaran dari suatu sistem. Adapun
Prinsip kerja sistem disini bertujuan untuk rencana kerja dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
memfokuskan kerja sistem yang akan di gunakan dari
rancangan blok diagram yang akan dibuat dan di Persiapan
implementasikan sesuai dengan rancangan blok Hardware & Software
diagram dengan pokok kerja sistem. Sistem
pengujian yang akan di lakukan melalui proses
Uji Coba Filter Reduksi Noise
persiapan alat alat serta software-software yang di Menggunakan Metode Filter
butuhkan, installasi pc atau laptop lengkap dengan Gaussian
software-software yang digunakan pada penelitian.
Sampai pada akhir mendapat kesimpulan berupa hasil
mana yang lebih baik melakukan filter terhadap Uji Coba Filter Reduksi Noise
Menggunakan Metode Filter
gangguan noise pada citra digital dengan Mean
menggunakan metode filter Gausian, Mean dan
Median baik itu dari segi ukuran file maupun
kejelasan hasil gambar, dan faktor-faktor lain yang Uji Coba Filter Reduksi Noise
Menggunakan Metode Filter
berhubungan dengan kwalitas filter terhadap reduksi Median
noise lainnya.

3) Rencana Rancangan Aplikasi Perbandingan Hasil Uji Coba


Untuk melakukan filter terhadap reduksi noise
disini akan dibuat sebuah aplikasi yang mampu untuk
Analisa dan Hasil
melakukan filter dengan menerapkan metode filter
gausian, mean dan median dengan menggunakan
bahasa pemrograman Matlab. Adapun tampilan dari
Kesimpulan
rencana aplikasi yang akan dibuat untuk dapat
melakukan filter terhadap reduksi noise adalah seperti Gambar 3. Rencana Kerja
pada gambar dibawah ini: a) Persiapan
Pada tahap ini akan dilakukan atau
mempersiapakan hardware, software serta
kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan dalam
penelitian ini.
b) Uji Coba Filter reduksi Noise dengan Metode
Filter Gaussian
Setelah semua tahap diatas selesai, maka
dilanjutkan pada tahap uji coba. Pada tahap ini akan
dilakukan uji coba menggunakan metode filter
gaussian.
c) Uji Coba Filter reduksi Noise dengan Metode
Filter Mean
Setelah semua tahap diatas selesai, maka
dilanjutkan pada tahap uji coba. Pada tahap ini akan
dilakukan uji coba menggunakan metode filter mean.
d) Uji Coba Filter reduksi Noise dengan Metode
Filter Median
Setelah semua tahap diatas selesai, maka
dilanjutkan pada tahap uji coba. Pada tahap ini akan
dilakukan uji coba menggunakan metode filter
median.
Gambar 2. Tampilan rencana Rancangan Aplikasi

ISSN 1858 – 2680 Analisa Perbandingan Metode…


26 Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016

e) Perbandingan. akan menghilangkan noise-noise yang menggangu


Setelah itu pada tahap ini akan dilakukan dari pada sebuah citra digital.
perbandingan antara metode filter Gaussian, Mean B) Aplikasi Reduksi Noise Menggunakan Matlab
dan Median. Baik itu dari segi kemudahan dalam dengan metode Gaussian, Mean dan Median
pemakaian, implementasi sampai dengan hasil yang Berikut adalah hasil dari pembuatan dari pada
dihasilkan dari pada proses filter (perbaikan) Reduksi aplikasi dengan menggunakan matlab.
Noise pada Citra Digital.
f) Analisa dan Hasil.
Pada akhir pembahasan didapat hasil berupa
kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
metode filter dan setelah itu dilakukan pengambilan
kesimpulan sehingga didapatkan informasi tentang
hasil perbandingan metode filter Gaussian, Mean dan
Median untuk melakukan perbaikan (filter) terhadap
Reduksi Noise pada Citra Digital.

g) Kesimpulan Gambar 5. Tampilan Awal Aplikasi


Dan sampailah pada tahap akhir pengambilan
kesimpulan yaitu untuk menentukan mana yang lebih Setelah Open File klik maka akan muncul dialog
baik dari pada masing-masing metode filter yang seperti berikut ini :
digunakan.

5) Rencana Pengujian
Adapun rencana atau instrument-instrument yang
akan penulis lakukan pengujian secara garis besar
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Kemampuan dari Metode filter Gaussian
b) Kemampuan dari Metode filter Mean
c) Kemampuan dari Metode filter Median
Gambar 6. Tampilan Pilihan File
IV. PEMBAHASAN
A) Hasil Yang mana pada tahap ini akan melakukan
Tahap pengujian ini penulis mendapatkan hasil pemilihan atau pengambilan citra awal yang hendak
dari penggunaan matlab r2013a dalam melakukan disisipkan dengan citra lain atau pesan. Maka setelah
filter noise dari masing-masing metode yang itu pilih file gambar yang akan di olah maka
digunakan dalam penelitian ini. Seperti pada gambar selanjutnya akan muncul gambar pada tempat yang
berikut ini. telah disediakan seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 4. Tampilan Aplikasi Reduksi Noise Gambar 7. Tampilan Hasil Open File

Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa gambar hasil Itulah semua proses open file yang dilakukan pada
dari reduksi noise lebih cerah dan jelas kelihatan oleh aplikasi yang penulis rancang dan buat ini dilakukan
mata dari pada gambar asli mendekati sama (dilihat secara berurutan. Jika tidak dilakukan secara
dengan langsung dengan mata), karena reduksi noise berurutan atau belum ada citra yang akan diproses.

Analisa Perbandingan Metode… ISSN 1858 – 2680


Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016 27

Selanjutnya melakukan filter citra dengan metode


Gaussian, Metode Mean dan Metode Median. Untuk
melakukan filter noise ini dilakukan secara
bergantian. Setalah diklik button Gaussian, Mean dan
Median maka pada hasil akan muncul tampilan
gambar yang sama dengan Citra Asli akan tetapi telah
disisipkan dengan gambar lain.

1) Metode Gaussian
Gambar 10. Tampilan Histogram Metode Gausian
Untuk melakukan filter noise dengan metode
gaussian silakan klik button Gaussian seperti pada 2) Metode Mean
gambar dibawah ini : Untuk melakukan filter noise dengan metode
Mean silakan klik button Gaussian seperti pada
gambar dibawah ini :

Gambar 8. Tampilan Hasil Reduksi Noise Metode Gausian

Dalam melakukan save file dapat dilakukan


dengan melakukan klik pada tombol save yang ada Gambar 11. Tampialn Hasil Filter Metode Mean
pada masing-masing metode, setelah muncul dialog
selanjutnya setelah klik save, dilanjutkan dengan Dalam melakukan save file dapat dilakukan
memberi nama file dan lokasi penyimpanan sesuai dengan melakukan klik pada tombol save yang ada
dengan keinginan. Dan terakhir akan mendapatkan pada masing-masing metode, setelah muncul dialog
sebuah file hasil pengolahan citra digital dengan selanjutnya setelah klik save, dilanjutkan dengan
nama hasil *.jpg seperti pada gambar berikut ini : memberi nama file dan lokasi penyimpanan sesuai
dengan keinginan. Dan terakhir akan mendapatkan
sebuah file hasil pengolahan citra digital dengan
nama hasil *.jpg seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 9. Tampilan Save File Metode Gausian

Setelah file hasil filter noise menggunakan metode


gaussian berhasil disimpan maka pada aplikasi akan Gambar 12.Tampilan Save File Metode Mean
muncul secara otomatis tampilan histogram dari
gambar hasil filter gaussian, seperti pada gambar Setelah file hasil filter noise menggunakan metode
berikut ini : mean berhasil disimpan maka pada aplikasi akan
muncul secara otomatis tampilan histogram dari

ISSN 1858 – 2680 Analisa Perbandingan Metode…


28 Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016

gambar hasil filter mean, seperti pada gambar berikut Setelah file hasil filter noise menggunakan metode
ini : media berhasil disimpan maka pada aplikasi akan
muncul secara otomatis tampilan histogram dari
gambar hasil filter median, seperti pada gambar
berikut ini :

Gambar 13. Tampilan Histogram Metode Mean

3) Metode Median
Untuk melakukan filter noise dengan metode Gambar 16. Tampilan Hostogram Metode Median
median silakan klik button median seperti pada
gambar dibawah ini : Setelah gambar hasil filter noise dengan semua
metode disimpan maka akan muncul tampilan
informasi gambar hasil filter noise, seperti yang
ditandai dengan kotak merah pada gambar berikut ini:

Gambar 14. Tampilan Hasil Reduksi Noise Metode Median

Gambar 17. Tampilan Info File


Dalam melakukan save file dapat dilakukan
dengan melakukan klik pada tombol save yang ada
Setelah semua proses filter noise selesai dilakukan
pada masing-masing metode, setelah muncul dialog
maka untuk keluar dari aplikasi ini dengan mengklik
selanjutnya setelah klik save, dilanjutkan dengan
tombol close, yang mana setelah klik tombol close
memberi nama file dan lokasi penyimpanan sesuai
maka aplikasi akan memberitahukan apakah akan
dengan keinginan. Dan terakhir akan mendapatkan
keluar dari aplikasi atau tidak berupa munculnya
sebuah file hasil pengolahan citra digital dengan
dialog atau popup. Seperti pada gambar berikut ini :
nama hasil *.jpg seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 18. Tampilan Notice Close


Gambar 15.Tampilan Save File Metode Median

Analisa Perbandingan Metode… ISSN 1858 – 2680


Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016 29

Pada proses close dari aplikasi ini berupa Tabel 4. Rencana Pengujian Filter Median
No Sampel Hasil Ket
munculnya notice pemberi tahuan apakah keluar atau Pixel Bit Ukuran Kecerahan
Lebar Tinggi
tidak. Jika di klik ya maka akan keluar dari aplikasi 1 Sampel01.jpg 385 680 24 46 Kb Cerah Baik
dan jika tidak akan kembali ke aplikasi. 2 Sampel02.jpg 450 550 24 46 Kb Cerah Baik
3 Sampel03.jpg 258 720 24 46 Kb Cerah Baik
4 Sampel04.jpg 368 620 24 46 Kb Cerah Baik
5 Sampel05.jpg 478 782 24 46 Kb Cerah Baik
C) Hasil Pengujian
Dari analisa dan pengujian yang penulis lakukan
Dalam melakukan Reduksi Noise terhadap citra
penulis dapatkan hasil seperti Tabel 1 dan 2.
digital dengan menggunakan metode Gaussian, Mean
Tabel 1. Recana Pengujian Filter Gausian
dan Median dapat dilihat hasil perbandingan dengan
No Sampel Hasil Ket melihat grafik histogram yang menampilkan
Pixel Bit Ukuran Kecerahan
Lebar Tinggi komposisi warna RGB (Red, Green dan Blue), seperti
1 Sampel01.jpg 385 680 24 46 Kb Cerah Baik
2 Sampel02.jpg 450 550 24 69 Kb Cerah Baik
dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
3 Sampel03.jpg 258 720 24 128 Kb Cerah Baik
4 Sampel04.jpg 368 620 24 255 Kb Cerah Baik
5 Sampel05.jpg 478 782 24 389 Kb Cerah Baik

Tabel 2. Hasil Pengujian Berdasarkan Kecerahan Citra

Gambar 19. Histogram Citra

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa perbaikan


terhadap Reduksi Noise pada citra digital dengan
menggunakan metode mean lebih baik. Karena
metode mean akan mengambil nilai rata-rata dari
semua nilai pixel yang ada untuk mengantikan nilai
pixel yang rusak.

V. PENUTUP

A) Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi tentang reduksi noise
dengan menggunakan metode Gaussian, Mean dan
Dari hasil pengujian berdasarkan lima buah Median, maka penulis dapat menyimpulkan:
sampel citra yang rusak karena reduksi noise dapat 1) Penggunaan grafik histogram dalam pengolahan
dilihat bahwa perbaikan citra yang rudak karena citra digital digunakakan untuk dapat
reduksi noise dengan menggunakan metode Mean membandingkan penyebaran warna hasil dengan
lebih baik dari pada metode Gaussian dan Median. warna asli, khususnya dalam melakukan reduksi
Hal itu dapat dilihat dari kecerahan citra yang noise berguna untuk melihat penyebaran warna,
dihasilkan dan citra yang dihasilkan lebih focus. khususnya RGB (Red, Green dan Blue).
2) Citra digital yang telah dilakukan reduksi noise
Tabel 3. Rencana Pengujian Filter Mean dengan menggunakan metode Gaussian, Mean
No Sampel Hasil Ket
Pixel Bit Ukuran Kecerahan dan Median akan menghasilkan kecerahannya
Lebar Tinggi
1 Sampel01.jpg 385 680 24 46 Kb Cerah Baik
dan kualitas gambar yang lebih baik dari citra
2 Sampel02.jpg 450 550 24 46 Kb Cerah Baik digital aslinya. Akan tetapi tidak akan merupah
3 Sampel03.jpg 258 720 24 46 Kb Cerah Baik
4 Sampel04.jpg 368 620 24 46 Kb Cerah Baik ukuran file dan pixel dari citra.
5 Sampel05.jpg 478 782 24 46 Kb Cerah Baik
3) Penggunaan masing-masing metode (Gaussian,
Mean dan Media) sebaiknya digunakan sesuai

ISSN 1858 – 2680 Analisa Perbandingan Metode…


30 Jurnal Media Infotama Vol. 12 No. 1, Februari 2016

dengan jenis kerusakan pada citra, khususnya


gangguan noise dari pada citra.
4) Dari hasil penelitian yang dilakukan Metode
Mean lebih baik dalam melakukan perbaikan
(Reduksi Noise) terhadap citra digital, karena
dengan menggunakan Metode Mean akan
menghasilkan citra yang lebih focus disebabkan
oleh dalam pengantian nilai pixel menggunakan
nilai rata-rata dari semua nilai yang ada.

B) 5.2 Saran
Setelah dilakukan pengujian terhadap aplikasi
pengolahan citra digital dengan menggunakan Matlab
R2013a sebagai bahasa pemogramannya maka
penulis menyarankan :
1) Untuk penelitian dimasa datang metode
Gaussian, Mean dan Median dapat digunakan
untuk keperluan dunia kesehatan seperti dapat
memperbaiki secara otomatis cita hasil Rontgen,
Hasil USG dan keperluan lainnya.
2) Aplikasi pengolahan citra digital khususnya
reduksi noise dengan menggunakan metode
Gaussian, Mean dan Median ini dapat
dikembangkan lagi seperti dengan menambah
fasilitas Crop, Rotate dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Usman. 2005. Pengolahan Citra Digital dan
Teknik Pemrogramannya. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha ilmu

Ahmadi dan Supriyono. 2006. Psikologi Belajar.


Jakarta: Rineka Cipta

Gonzales, R.C., and Woods, R.E. 2002. Digital Image


Processing with Matlab : 2nd edition. New
Jersey: Prentice Hall.

Husein Umar, 2005. Metode Penelitian. Jakarta:


Salemba Empat

Jogiyanto. 2004. Pengenalan Komputer, Dasar Ilmu


Komputer, Pemrograman, Sistem Informasi
dan Intelegensi Buatan. Andi. Yogyakarta

Muhammad Iqbal. 2009. Pengolahan Citra Digital


Menggunakan Matlab.

Munir, Rinaldi. 2004. Pengolahan Citra Digital


Dengan Pendekatan Algoritmik. Bandung:
Informatika.

Teguh Widiarsono, M.T. 2005. Tutorial Praktis


Belajar Matlab. Jakarta

Analisa Perbandingan Metode… ISSN 1858 – 2680


PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

FORMULASI SEDIAAN GRANUL DENGAN BAHAN PENGIKAT PATI


KULIT PISANG GOROHO (Musa acuminafe L.) DAN PENGARUHNYA
PADA SIFAR FISIK GRANUL

Victoria Elisabeth1), Paulina V. Y. YamLean1), Hamidah Sri Supriati2)


1)Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT Manado, 95115
2)STIKES Muhamadiyah Manado, 95115

ABSTRACT

Banana plants are known for their high content of starch. In the granular formulation, starch has
been widely used as fillers, binder, as well as disintegrant. The objective of this study is to formulate
granule with Goroho Banana peels starch as binder material and its effect on the physical properties of
the granules, which are made in five formulations with the variation of 6% for formulation I, 7% for
formulation II, 8% for formulation III, 9% for formulation 4, and 10% for formulation V. In formulation
I, 6.22 seconds of flow time was obtained, angle of repose 300, moisture content 20,96%, and bulk density
0,47 g/mL. In formulation II, 5.66 seconds flow time was obtained, angle of repose 29 0, moisture content
18,79%, and bulk density 0.45 g/mL. In formulation III, 5.50 seconds flow time was obtained, angle of
repose 270, moisture content 25,49%, and bulk density 0.44 g/mL. In formulation IV 5.38 seconds flow
time was obtained, angle of repose 260, moisture content 19,92%, and bulk density 0.43 g/mL. In
formulation V, 6.18 seconds flow time was obtained, angle of repose 26 0, moisture content 21,15%, and
bulk density 0.42g/mL. Banana Goroho starch can be used to formulate granule and have fit the
requirement criteria for organoleptic, flow time, angle of repose evaluation, but did not fit the moisture
content evaluation criteria.

Keywords: Goroho Banana (Musa acuminafe L.), starch, granules

ABSTRAK

Tumbuhan Pisang dikenal akan kandungan patinya yang tinggi. Dalam formulasi sediaan granul,
pati telah digunakan secara luas sebagai bahan pengisi, bahan pengikat, maupun sebagai bahan
penghancur. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan granul dengan bahan pengikat pati
dari kulit Pisang Goroho dan pengaruhnya terhadap sifat fisik granul yang dibuat dalam lima formulasi
dengan variasi konsentrasi bahan pengikat 6% untuk formulasi I, 7% untuk formulasi II, 8% untuk
formulasi III, 9% untuk formulasi IV dan 10% untuk formulasi V. Pada formulasi I didapatkan hasil
pengujian waktu alir 6,22 detik, sudut diam 300, kandungan lembab 20,96%, dan bulk density 0,47 g/mL.
Pada formulasi II didapatkan hasil pengujian waktu alir 5,66 detik, sudut diam 29 0, kandungan lembab
18,79%, dan bulk density 0,45 g/mL. Pada formulasi III didapatkan hasil pengujian waktu alir 5,50 detik,
sudut diam 270, kandungan lembab 25,49%, dan bulk density 0,44 g/mL. Pada formulasi IV didapatkan
hasil pengujian waktu alir 5,38 detik, sudut diam 260, kandungan lembab 19,92%, dan bulk density 0,43
g/mL. Pada formulasi V didapatkan hasil pengujian waktu alir 6,18 detik, sudut diam 26 0, kandungan
lembab 21,15%, dan bulk density 0,42g/mL. Sediaan granul dapat diformulasikan dengan pati kulit Pisang
Goroho dan memenuhi syarat uji organoleptik, uji waktu alir, uji sudut diam namun tidak memenuhi
syarat uji kandungan lembab.

Kata kunci: Pisang Goroho (Musa acuminafe L.), pati, granul

1
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

PENDAHULUAN karbohidrat yang tersebar dalam tanaman


Granul merupakan gumpalan- terutama tanaman berklorofil yang terdiri dari
gumpalan dari partikel-partikel yang lebih amilosa dan amilopektin (Winarno, 1997). Pati
kecil dengan bentuk tidak merata dan menjadi yang umumnya digunakan ialah pati singkong,
seperti partikel tunggal yang lebih besar Jagung, gandum, kentang dan beras (Wade
(Ansel, 1989). Granulasi serbuk ialah proses and Weller, 1994).
membesarkan ukuran partikel kecil yang Penelitian tentang beberapa bahan
dikumpulkan bersama-sama menjadi agregat pengikat menggunakan pati untuk granulasi
(gumpalan) yang lebih besar, secara fisik lebih basah telah dilakukan sebelumnya, seperti
kuat dan partikel orisinil masih teridentifikasi penggunaan pati biji Durian (Durio zibethinus
dan membuat agregat mengalir bebas. Metode Murr.) oleh Jufri, dkk (2006), pati biji Nangka
yang terpenting dari granulasi farmasetik, oleh Firmansyah, dkk (2007) dan pati biji
dapat digolongkan ke dalam tiga kategori Cempedak oleh Sapri, dkk (2012). Penelitian
utama, yakni proses basah, proses kering serupa dilakukan oleh Komariyatun, dkk
(disebut juga slugging) dan proses lain (2017) dengan menggunakan tepung bonggol
(humidification, priling, melt peletization). Pisang Kepok sebagai bahan pengikat tablet
Granulasi basah ialah proses menambahkan Parasetamol dengan konsentrasi 10%, 12,5%,
cairan pada suatu serbuk atau campuran 15%, 17,5% dan 20%.
serbuk dalam suatu wadah yang dilengkapi Tanaman lain yang diharapkan untuk
dengan pengadukan yang akan menghasilkan menghasilkan pati sebagai bahan pengikat
aglomerasi atau granul, sedangkan granulasi granul ialah Pisang Goroho (Musa acuminafe
kering adalah proses granulasi serbuk tanpa L.). Pisang Goroho merupakan buah dengan
menggunakan cairan granulasi (Siregar, 2010). karbohidrat relatif tinggi dan hal ini menjadi
Proses pembuatan granul memerlukan titik tolak dilakukannya penelitian dalam
berbagai eksipien untuk memenuhi pembuatan granul untuk tablet dengan metode
persyaratan formulasi antara lain bahan granulasi basah menggunakan bahan pengikat
pengisi, pengikat, disintegran, lubrikan dan pati kulit Pisang Goroho dan pengaruhnya
glidan. Dalam proses granulasi basah, bahan pada sifat fisik granul.
pengikat meningkatkan pembesaran ukuran
untuk membentuk granul sehingga dapat METODE PENELITIAN
memperbaiki mampu alir campuran selama Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam
proses pembuatan (Siregar, 2010). Bahan-
penelitian ini ialah timbangan analitik
bahan pengikat tersebut dapat dibedakan
(aeADAM®), Alumunium foil (Klin Pak),
dalam 3 golongan yaitu polimer alam, polimer
batang pengaduk, oven (Ecocell), alat-alat
sintetis dan gula.
gelas (Pyrex), corong gelas, blender (Miyako),
Eksipien polimer alam yang sering
kertas grafik, ayakan 10 dan 200 mesh, pisau
digunakan sebagai bahan pengikat dalam
stainless, alu dan lumpang.
pembuatan granul ialah pati. Pati merupakan

2
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

Bahan yang digunakan untuk sampel bubuk pati sesuai dengan persentase
penelitian ini ialah kulit Pisang Goroho, b/v dalam 100 mL air panas. Kemudian
akuades, laktosa, explotab, magnesium stearat, larutan didinginkan
talkum. Preparasi granul
Granul dibuat dengan metode granulasi
Prosedur Penelitian basah tanpa zat aktif. Explotab (pengembang
Pengambilan sampel dalam) dan laktosa dimasukkan ke dalam
Sampel yang digunakan adalah limbah kulit lumpang, digerus hingga homogen, kemudian
pisang Goroho yang didapatkan dari sekitaran ditambahkan larutan pengikat pati kulit Pisang
daerah Kelurahan Airmadidi bawah. Sampel Goroho sedikit demi sedikit sambil digerus,
yang digunakan ialah kulit Pisang Goroho kemudian granulat diayak dengan ayakan
segar 11 kg. mesh 10, lalu dikeringkan pada suhu 40-600C.
Pembuatan pati kulit Pisang Goroho Granul kering ditimbang dan ditambahkan
Kulit Pisang Goroho segar sebanyak magnesium stearat, talkum dan explotab
11 kg dicuci lalu direndam dengan air kapur (pengembang luar).
selama 5 menit, kemudian dibilas hingga Pengujian granul
bersih dan ditiriskan. Kulit dicincang halus a. Uji organoleptik
dengan pisau stainless lalu dijemur hingga Dilihat secara langsung mulai dari
didapatkan bobot konstan. Kulit Pisang bentuk, warna, bau dan rasa dari granul
Goroho kering diblender hingga menjadi yang dihasilkan. Bentuk, warna yang
serbuk kemudian disuspensikan dalam air dan dihasilkan sedapat mungkin sama antara
dilewatkan melalui ayakan 200 mesh untuk satu dengan yang lainnya.
memisahkan fase padat yang mengandung b. Uji waktu alir
serat dan fase cair yang mengandung pati. Prosedur kerja untuk memperoleh granul
Fase cair dibiarkan untuk mengendap selama 3 dengan kualitas yang baik yaitu sebanyak 100
jam dan beningnya dibuang. Cairan yang g granul dimasukkan ke dalam corong yang
masih tertinggal dengan endapan pati dicuci tertutup bagian bawahnya. Penutup dibuka dan
sebanyak 3 kali dengan akuades baru, alat pencatat waktu dihidupkan hingga semua
kemudian pati dipisahkan dari air pencucian. granul keluar dari corong dan membentuk
Pati dikeringkan dalam oven pada 400C hingga timbunan di atas kertas grafik, kemudian alat
didapatkan bobot konstan. pencatat waktu dimatikan. Aliran granul yang
Preparasi larutan pengikat baik adalah jika waktu yang diperlukan untuk
Larutan pengikat disiapkan dengan mengalirkan 100 gram tidak lebih dari 10 detik
cara melarutkan bubuk pati dalam air. Bahan (Voight, 1994).
pengikat disiapkan dengan mendispersikan
c. Uji sudut diam dapat mengalir bebas dan bila sudut yang
Sudut diam diperoleh dengan mengukur terbentuk ≥ 40° menyatakan bahwa sediaan
tinggi dan jari-jari tumpukan granul yang memiliki daya alir yang kurang baik. Dari nilai
terbentuk (α=tan-1H/R). Bila sudut diam yang sudut diam dapat menunjukkan suatu nilai
terbentuk ≤ 30° menyatakan bahwa sediaan indikasi bisa diterimanya sifat aliran yang

3
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

dimiliki oleh suatu bahan (Banker dan dihasilkan ialah sebanyak 83 g, dan digunakan
Anderson, 1986). sebanyak 12 g.
d. Uji kandungan lembab
Perhitungan kadar air atau kandungan lembab Pembuatan granul
didasarkan pada perhitungan bobot
Bahan FI FII FIII FIV FV
kering:
% 𝑘𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑚𝑏𝑎𝑏
Pati kulit Pisang
6 % 7% 8 % 9% 10 %
=
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 Goroho (binder)
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
× 100
Explotab
4% 4% 4% 4% 4%
Syarat kandungan lembab yang (disintegrant)
baik ialah 1-5%. Talkum (glidant) 1% 1% 1% 1% 1%
e. Bulk Density Magnesium
1% 1% 1% 1% 1%
Densitas didapatkan dengan cara stearat (lubricant)
menimbang bobot granul, kemudian a.d 100 a.d 100 a.d 100 a.d 100 a.d 100
Laktosa (filler)
% % % % %
dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk
JumLah granul per formulasi yang
dilihat volumenya.
𝑚(𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎) dibuat ialah 120 g.
𝐷𝑏 =
𝑉 (𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒) Tabel 1. Formulasi Granul

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji organoleptik


Klasifikasi tumbuhan Pengujian ini dilakukan dengan cara
Klasifikasi tumbuhan dilakukan di mengamati bentuk, warna, bau dan rasa dari
Program Studi Biologi Fakultas Matematika granul yang dihasilkan. Bentuk dan warna
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam granul yang dihasilkan sedapat mungkin
Ratulangi dan dinyatakan bahwa tumbuhan teratur.
yang digunakan kulitnya dalam penelitian ini Tabel 2. Hasil pengujian organoleptik granul
ialah Musa acuminafe L. Formulasi Warna Bentuk Rasa Bau
Pembuatan pati dari kulit Pisang Goroho Putih Khas pati
I Bulat Manis
Sebanyak 11 kg kulit Pisang Goroho tulang kulit PG
yang telah direndam air kapur dicuci bersih, Putih Khas pati
II Bulat Manis
ditiriskan, dicincang, kemudian dijemur tulang kulit PG
sehingga menghasilkan sebanyak 1.121 g Putih Khas pati
III Bulat Manis
tulang kulit PG
serbuk kulit Pisang Goroho kering. Serbuk
Putih Khas pati
kulit Pisang Goroho yang telah kering IV Bulat Manis
tulang kulit PG
diendapkan dalam air dalam wadah kaca Putih Tidak Khas pati
kemudian dibilas sebanyak tiga kali dengan V Manis
tulang merata kulit PG
akuades dan dikeringkan dalam oven dengan Keterangan: PG = Pisang Goroho
suhu 400C. Pati kulit Pisang Goroho yang
Uji waktu alir corong dengan 3 kali pengulangan. Syarat
Pengujian ini dilakukan dengan cara waktu alir granul yang baik ialah tidak lebih
mengalirkan 100 g granul melalui sebuah dari 10 detik untuk 100 g granul. Pengujian

4
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

terhadap kelima formulasi granul ialah sebagai berikut:


Tabel 3. Hasil pengujian waktu alir granul

Waktu alir (detik) Rata-rata


Formulasi Keterangan
1 2 3 (detik)
I 6.60 5.80 6.27 6.22 Memenuhi syarat
II 5.80 5.50 5.69 5.66 Memenuhi syarat
III 5.50 5.46 5.53 5.50 Memenuhi syarat
IV 5.43 5.34 5.37 5.38 Memenuhi syarat
V 6.30 6.10 6.15 6.18 Memenuhi syarat
Uji sudut diam granul yang terbentuk ketika dialirkan melalui
Pengujian ini dilakukan dengan cara corong dengan ketinggian 10 cm dari atas
mengukur jari-jari dan tinggi dari tumpukan kertas grafik.
Tabel 4. Hasil pengujian sudut diam granul
h (cm) r (cm) Rata-rata Sudut
Formulasi
1 2 3 1 2 3 H R diam (0)
I 3,60 3,60 3,40 6,15 6,00 5,95 3,53 6,03 30
II 3,50 3,50 3,40 6,30 6,50 6,35 3,47 6,38 29
III 3,30 3,50 3,40 6,55 6,55 6,60 3,40 6,57 27
IV 3,30 3,20 3,20 6,70 6,75 6,80 3,23 6,75 26
V 3,50 3,30 3,50 7,00 7,05 7,25 3,43 7,10 26
Keterangan: h=tinggi tumpukan granul; r=jari-jari tumpukan granul

Uji kandungan lembab


Pengujian ini dilakukan dengan cara jam. Berdasarkan bobot granul selama proses
menghitung bobot granul basah dan bobot pengeringan pada tabel 13, kandungan lembab
pada setiap jam pengeringan hingga setiap formulasi granul dapat dilihat pada tabel
didapatkan bobot konstan. Suhu pengeringan 5.
yang digunakan ialah 400C – 600C selama 8
Tabel 5. Bobot granul selama proses pemanasan
Pemanasan Formulasi I Formulasi II Formulasi III Formulasi IV Formulasi V
0 jam 123,14 135,56 134,29 135,56 141,75
1 jam 117,25 132,52 129,46 131,76 135,46
2 jam 113,10 129,07 124,98 128,09 131,38
3 jam 108,05 124,76 119,93 123,00 127,04
4 jam 104,55 120,43 115,77 118,48 122,20
5 jam 102,76 116,38 112,99 114,79 118,53
6 jam 102,09 114,48 112,50 113,54 117,21
7 jam 101,96 114,16 112,48 133,11 117,17
8 jam 101,80 114,12 112,45 113,04 117,00

5
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

Tabel 6. Hasil perhitungan kandungan lembab


Kandungan
Formulasi
Lembab (%)
I 20,96
II 18,79
III 25,49
IV 19,92
V 21,15

Bulk Density
Pengujian ini dilakukan dengan cara
menghitung massa sejumLah granul per
volume granul pada gelas ukur.
Tabel 7. Hasil perhitungan bulk density
Bulk Density
Formulasi
(g/mL)
I 0,47
II 0,45
III 0,44
IV 0,43
V 0,42

Pembahasan bahan pengikat, explotab sebagai bahan


Pembuatan granul dengan penghancur, magnesium stearat sebagai
menggunakan bahan pengikat dari pati kulit lubrikan, talk sebagai glidan dan laktosa
Pisang Goroho (Musa acuminafe L.) bertujuan sebagai bahan pengisi. Bahan penghancur
untuk menghasilkan suatu bahan pengikat Explotab digunakan secara intragranular dan
sediaan granul dan tablet yang bersumber dari ekstragranular dengan perbandingan
alam dan mudah didapatkan serta ekonomis, 75%:25%. Penggunaan bahan penghancur
karena merupakan pemanfaatan sampah 100% intragranular akan meningkatkan
organik sebagai suatu bahan yang berguna kekerasan dan waktu hancur tablet, sedangkan
untuk industri farmasi. Pembuatan granul penggunaan bahan penghancur secara
dengan bahan pengikat pati kulit Pisang ekstragranular 100% akan menyebabkan tablet
Goroho ini menggunakan metode granulasi sangat mudah pecah, karena itu perlu diketahui
basah, karena tidak mengandung zat aktif dan kombinasi yang tepat untuk kemudian
eksipien yang digunakan bukan merupakan menghasilkan tablet dengan waktu hancur dan
zat-zat yang tidak tahan air maupun panas. sifat fisis lainnya yang paling efektif (Ordu, et
Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi al, 2011). Sebanyak lima formulasi dibuat
antara lain pati kulit Pisang Goroho sebagai dengan perbandingan bahan pengikat pati kulit

6
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

Pisang Goroho 6%, 7%, 8%, 9% dan 10% kemudian dicampur dengan lubrikan, glidan
untuk melihat konsentrasi manakah yang dan bahan penghancur ekstragranular.
menghasilkan granul yang memenuhi Pencampuran lubrikan yang terlalu lama atau
persyaratan yang ditetapkan. Setelah overblending dapat menyebabkan penurunan
didapatkan campuran yang homogen dari laju disintegrasi dan disolusi, mengurangi
laktosa, explotab intragranular dan larutan kohesivitas antarpartikel, meningkatkan
pati, massa granul basah diayak dengan kerapuhan tablet dan mengurangi kekerasan
ayakan mesh 10 untuk meningkatkan luas tablet, sehingga disarankan lama pencampuran
permukaan partikel sehingga mempermudah tidak lebih dari 5 menit (Triwantoro, 2006).
proses pengeringan pada suhu 400C - 600)
(Siregar, 2010). Massa granul kering
Uji Organoleptik granul dan bagaimana ruang antara partikel-
Hasil pengujian organoleptik granul partikel diisi.
dengan bahan pengikat pati kulit Pisang Uji Waktu Alir
Goroho merupakan bentuk umum sediaan Waktu alir merupakan waktu yang
sebelum melalui tahap pengempaan. Kelima dibutuhkan sejumLah granul untuk mengalir
formulasi memiliki warna putih tulang yang melewati corong, yang dinyatakan sebagai
homogen, rasa manis dan bau khas pati kulit banyaknya serbuk yang mengalir tiap satuan
Pisang Goroho. Semakin tinggi konsentrasi waktu (Banker and Anderson, 1986). Sifat
bahan pengikat, granul lebih kompak dengan aliran dipengaruhi oleh bentuk partikel, ukuran
ukuran partikel lebih besar dibandingkan partikel dan kohesivitas antarpartikel. Granul
formulasi dengan bahan pengikat yang yang baik ialah granul yang dapat mengalir
konsentrasinya lebih rendah. Bentuk dan bebas sehingga dapat kemudian dikempa
warna yang dihasilkan Formulasi I hingga IV menjadi sediaan tablet. Semakin kecil
granul dengan perbandingan bahan pengikat konsentrasi bahan pengikat, maka ukuran,
pati Pisang Goroho 6%, 7%, 8%, 9% telah viskositas dan massa jenis semakin kecil,
sedapat mungkin sama satu dengan yang sehingga meningkatkan gaya kohesi antar
lainnya, sehingga keempat formulasi dapat partikel granul atau serbuk. Gaya kohesi yang
dinyatakan memenuhi syarat sesuai dengan tinggi menyebabkan granul sulit mengalir
pernyataan bahwa uji organoleptik dilihat bebas. Massa jenis yang kecil berarti bobot
secara langsung dari bentuk, warna dan bau molekul juga kecil, menyebabkan kurangnya
dari granul yang dihasilkan (Anonim, 1995). pengaruh gaya gravitasi pada massa tersebut,
Sedangkan untuk Formulasi V dengan bahan karena gaya kohesivitas lebih tinggi dari gaya
pengikat pati kulit Pisang Goroho 10%, bentuk gravitasi sehingga granul tidak dapat mengalir
granul yang dihasilkan kurang merata, ini bebas. (Anshory et al, 2007). Rata-rata waktu
diakibatkan tingginya konsentrasi bahan alir Formulasi I ialah 6.22 detik, Formulasi II
pengikat pati kulit Pisang Goroho sehingga selama 5,66 detik, Formulasi III selama 5,50
partikel yang dihasilkan lebih besar dan detik, Formulasi IV selama 5,38 detik dan
distribusi partikel kurang merata. Perbedaan Formulasi V selama 6.18 detik. Pada
ukuran granul dapat mempengaruhi sifat fisik umumnya semakin bulat bentuk granul maka

7
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

waktu alirnya akan semakin baik. Formulasi V Konsentrasi pati kulit Pisang Goroho yang
mempunyai bentuk yang kurang merata pada paling rendah menghasilkan sudut diam paling
uji organoleptik karena tingginya konsentrasi besar. Ini diakibatkan karena kecilnya
bahan pengikat pati kulit Pisang Goroho, konsentrasi bahan pengikat menyebabkan
sehingga waktu alir Formulasi V relatif lebih ukuran partikel granul lebih kecil dan
tinggi dibandingkan formulasi II, III dan IV. meningkatkan kohesivitas serta gaya gesek
Kelima formulasi menunjukkan hasil <10 antar partikel granul. Formulasi granul dengan
detik sehingga dapat dinyatakan bahwa kelima konsentrasi bahan pengikat lebih tinggi
formulasi memenuhi syarat waktu alir yang menunjukkan granul dapat mengalir lebih
baik untuk sediaan granul. bebas, karena ukuran partikel granul lebih
Uji Sudut Diam besar dibandingkan formulasi dengan
Sudut diam adalah sudut maksimum konsentrasi bahan pengikat lebih kecil.
yang dibentuk permukaan granul pada Namun, sudut diam Formulasi V walaupun
permukaan horizontal. Sudut diam Formulasi I dengan konsentrasi bahan pengikat pati kulit
ialah 300, Formulasi II sebesar 290, Formulasi Pisang Goroho paling tinggi, mempunyai
III sebesar 270, Formulasi IV sebesar 260 dan sudut diam sama dengan Formulasi IV. Bentuk
Formulasi V sebesar 260. Menurut Anggraini, granul mempengaruhi waktu alir maupun
et al (2016), penggunaan pati Singkong 7% tumpukan granul yang terbentuk. Kurang
menghasilkan sudut diam 25,170 dan 24,700 meratanya bentuk granul pada formulasi V
untuk konsentrasi 9%. dimana nilai ini mengakibatkan granul sulit mengalir bebas
menunjukkan bahwa bahan pengikat dengan sehingga sudut diam yang terbentuk lebih
pati kulit Pisang Goroho memberikan sudut besar dari yang diharapkan. Pati kulit Pisang
diam lebih besar yaitu 290 dan 260. Besar Goroho memberikan kohesivitas lebih tinggi
kecilnya sudut yang terbentuk dipengaruhi Sudut diam yang ditunjukkan oleh kelima
oleh ukuran partikel, besarnya gaya tarik- formulasi granul telah memenuhi syarat,
menarik dan gaya gesek antar partikel (Lee, dimana sudut yang dihasilkan tidak melebihi
2001). Semakin kecil ukuran partikel maka 400. Formulasi I memiliki sudut diam yang
gaya kohesivitas semakin tinggi. Tingginya cukup baik, namun Formulasi II, III, IV dan V
kohesivitas menyebabkan granul sulit memiliki nilai sudut diam dengan kategori
mengalir dan menyebabkan sudut diam yang sangat baik yaitu 25< α <300.
terbentuk semakin besar (Anshory et al, 2007).
Uji kandungan lembab hingga Formulasi V memiliki kandungan
Kandungan lembab atau Moisture lembab di atas 5%, yaitu 20,96%, 18,79%,
Content adalah pernyataan kandungan air 25,49%, 19,92%, 21,15% secara berurutan.
berdasarkan bobot kering, yang menunjukkan Kandungan lembab yang sebenarnya yaitu
kadar air yang terkandung dalam suatu pengukuran menggunakan moisture analyzer,
granulat. Granul yang memiliki kandungan untuk menentukan kadar air atau pelarut
lembab <5% akan stabil dan baik pada saat organik lainnya dalam granul yang suhu
penyimpanan (Rowe, et al, 2009). Hasil penguapannya tinggi dan tidak menguap saat
perhitungan menunjukkan bahwa Formulasi I pengeringan granul yang hanya menggunakan

8
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

suhu 400C – 60C0. Kandungan lembab di atas Namun jika wadah terganggu , partikel granul
5% disebabkan degradasi sediaan sangat besar. akan bergerak dan biasanya menjadi lebih
Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi bahan dekat bersama-sama sehingga kerapatan
pengikat terlalu kecil sehingga ukuran dan curahnya lebih tinggi. Formulasi I memiliki
massa jenis sediaan juga kecil. Air larutan kerapatan sebesar 0,47 g/mL, Formulasi II
pengikat pati kulit Pisang Goroho dalam sebesar 0,45 g/mL, Formulasi III sebesar 0,44
granul dengan jumLah berlebih akan g/mL, Formulasi IV sebesar 0,43 g/mL dan
menyebabkan terganggunya sifat granul Formulasi V sebesar 0,42 g/mL. Semakin
seperti timbulnya kohesivitas antarpartikel besar konsentrasi bahan pengikat pati kulit
yang menyebabkan aliran granul menjadi Pisang Goroho, semakin besar pula ukuran
buruk dan kekompakan granul menjadi terlalu partikel sehingga menyebabkan kerapatan
tinggi. Sebaliknya jika kandungan lembab semakin kecil. Penelitian Anggraini, et al
<1%, akan terjadi capping, yaitu (2016) menggunakan bahan pengikat dari pati
membelahnya tablet di bagian atas (Syamsuni, singkong 7% dan 9% membunyai nilai bulk
2006). Variasi kandungan lembab dari density sebesar 0,5058 gr/mL dan 0,5028
Formulasi I hingga Formulasi V disebabkan gr/mL. ini menunjukkan bahwa pati kulit
karena hasil perhitungan sangat dipengaruhi Pisang Goroho sebagai bahan pengikat
bobot granul yang ditimbang, dimana ketika menghasilkan kerapatan yang lebih kecil dan
ada sejumLah granul yang terbuang, maka ukuran partikel lebih besar dibandingkan
akan meningkatkan persentase kandungan granul dengan bahan pengikat pati Singkong.
lembab granul. Perhitungan bulk density saja tidak dapat
Bulk density digunakan untuk menentukan harga
Kerapatan (densitas) terbagi menjadi pengetapan, namun dibutuhkan pula nilai
kerapatan curah (bulk density) dan kerapatan tapped density untuk mendapatkan indeks
mampat (tapped density). Bulk density kompresibilitas seperti Carr’s index dengan
merupakan sebuah pengukuran kerapatan yang menggunakan rumus 100% × (tapped density-
dapat berubah-ubah tergantung dari cara bulk density)/tapped density, atau Hausner’s
menangani materi. Sebagai contoh, sejumLah ratio dengan rumus tapped density/bulk
granul yang dituangkan ke dalam sebuah gelas density.
wadah akan memiliki kerapatan curah tertentu.
memenuhi syarat uji organoleptik, uji waktu
KESIMPULAN alir, uji sudut diam namun tidak memenuhi
1. Sediaan granul dapat diformulasikan syarat uji kandungan lembab.
menggunakan bahan pengikat pati kulit
Pisang Goroho dengan perbandingan SARAN
konsentrasi 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%. 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
2. Hasil evaluasi sifat fisik granul tentang kandungan kimia kulit Pisang
menggunakan bahan pengikat pati kulit Goroho, cara pembuatan pati sehingga tidak
Pisang Goroho dengan perbandingan terjadi reaksi pencoklatan (browning), dan
konsentrasi 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%

9
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

lama sedimentasi pati untuk hasil yang memenuhi standar Farmakope Indonesia
optimal. dan syarat-syarat pembuatan sediaan tablet.
2. Perlu dilakukan formulasi lebih lanjut
menjadi tablet yang dibuat dengan
Jufri, M., dkk. 2006. Majalah Ilmu Kesehatan.
Studi Kemampuan Pati Biji Durian
DAFTAR PUSTAKA sebagai bahan Pengikat dalam Tablet
Ketoprofen secara Granulasi Basah.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4. Vol. 3, No. 2: 78-86.
Jakarta: Departemen Kesehatan Komariyatun, S., dkk. 2017. Media Farmasi
Republik Indonesia. Indonesia. Formulasi Tablet
Anggraini, N., et al. 2016. Farmagazine. Parasetamol Menggunakan Tepung
Formulasi dan Evaluasi Fisik Sediaan Bonggol Pisang Kepok (Musa
Tablet Allopurinol Menggunakan Pati paradisiacal cv. Kepok) sebagai Bahan
Singkong (Manihot esculenta Crantz) Pengikat. Vol. 2, No. 1: 1156-1166.
sebagai bahan Pengikat. Vol 3, No. 2 : Kraut, H., et al. 2005. Food Composition and
21-28 Nutrition Tables 6th Edition. Stuttgart:
Ansel, H. C. 1989. Introduction to Medpharm GmBH Scientific
Pharmaceutical Dosage Form. Publishers.
Georgia: Lea and Ferbinger. Lachman, L., et al. 1994. The Theory and
Practice of Industrial Pharmacy.
Ansel, H. C., et al. 2011. Ansel’s Philadelphia: Lea and Ferbinger.
Pharmaceutical Dosage Forms and Latha, S. M., et al. 2016. International Journal
Drug Delivery Systems 9th edition. of Pharmaceutical and Clinical
Baltimore: Lippincott Williams and Research. Formulation and
Wilkins. Comparative Evaluation of
Anshory, H., et al.2007. Jurnal Ilmiah Aceclofenac Tablets by Two
Farmasi. Formulasi tablet Effervescent Granulation Methods. Vol 8, No. 7:
dari Ekstrak Ginseng Jawa (Talinum 649-654
paniculatum) dengan Variasi Kadar Lee, R. E. 2001. Effervescent Tablets : Key
Pemanis Aspartam. Vol. 4, No. 1. Facts About A Unique, Effective
Banker, G. S. and Anderson, N. R. 1986. Dossage Form. New Hope: Amerilab
Tablet in the Theory and Practice of Technologies
Industrial Pharmacy by Lachman, L., Ordu, J. L. dan Ocheme, E. J. 2011 Evaluation
et al 3rd edition. Philadelphia: Lea and of the Disintegrant and Dissolution
Ferbinger Properties of Powder and Cellulose
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Obtained from Cocoa Pod Husk on
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Paracetamol Tablets. Vol. 10: 82-90
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Parrott, E.L. 1971. Pharmaceutical
dan Makanan Technology Fundamental
Firmansyah, dkk. 2007. Ketersediaan Hayati Pharmaceutics, 3th Edition.
Tablet Parasetamol dengan Minneapolis: Burgess Publishing
Menggunakan Pati Nangka Company
(Arthocarpus heterophyllus Lamk.) Rowe, R. C., dkk. 2006. Handbook of
sebagai Bahan Pembantu. Vol. 12, No. Pharmaceutical Excipients 5th Edition.
2. London: Pharmaceutical Press

10
PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 7 No. 4 NOVEMBER 2018 ISSN 2302 - 2493

Sapri, dkk. 2012. Journal of Tropical Suprapti, L. 2004. Dasar-Dasar Teknologi


Pharmacy and Chemistry. Pengaruh Pangan. Surabaya: Vidi Ariesta.
Penggunaan Pati Biji Cempedak Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan
(Arthocarpus champeden Lour) sebagai Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC.
Bahan Pengikat terhadap Sifat Fisik Tasirin, J. 2011. Konservasi dan Budidaya
Tablet Parasetamol secara Granulasi Pisang Goroho. Manado: Universitas
Basah. Vol. 2, No. 1: 47-61. Sam Ratulangi.
Shah, R. B., et al. 2008. AAPS PharmSciTech. Triwantoro, H. 2006. Pengaruh Lama
Comparative Evaluation of Flow for Pencampuran Magnesium Stearat
Pharmaceutical Powders and Granules. (Dengan Kadar 0,5% dan 1%) sebagai
Vol 9, No. 1: 250-258 Bahan Pelicin terhadap Sifat Fisik
Siregar, C. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet CTM (Chlorfeniramin Maleat)
Tablet: Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: secara Kempa Langsung. Surakarta:
EGC. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Vidyasagar, G., et al. 2011. International Wade, A. and Weller, P. J. 1994. Handbook of
Journal of PharmTech Research. Pharmaceutical Excipient 2nd Edition.
Isolation and Evaluation of Starch of Washington: American Pharmaceutical
Artocarpus heterophyllus as a Tablet Association.
Binder. Vol. 3, No. 2: 836-840. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Farmasi. Diterjemahkan oleh
Soendani, N. S. Yogyakarta: UGM
Press.

11
JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENDERITA INFEKSI


SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DI PUSKESMAS EMPAGAE
KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Nuraeni Syarifuddin1, Siska Natsir2

Dosen S1 Farmasi STIKES Muhammadiyah Sidrap


Alamat korespondensi:nuraenisyarifuddin76@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian untuk mengetahui profil penggunaan obat pada pasien penderita infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) di Puskesmas Empagae Kabupaten Sidenreng Rappang. Metode
penelitian ini yaitu deskriptif analitik dengan pendekatan dengan retrospektif. Sampel dari
penelitian ini yaitu data yang diambil dari buku poliklinik pasien penderita ISPA yang berobat di
Puskesmas Empagae mulai pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2019 sebanyak 90 data
pasien. Teknik pengambilan sampel yaitu random sampling. Hasil penelitian ini adalah Pasien
penderita ISPA yang paling banyak adalah yang jenis kelamin laki-laki sebanyak 52 (52,8%)
pasien, yang berusia 0-5 tahun kategori balita sebanyak 25 (27,8%) pasien. yang tidak sekolah
yaitu sebanyak 32 (35,6%) pasien, pada pasien yang tidak bekerja sebanyak 54 (60,0%). Terapi
utama yang paling banyak digunakan adalah amoxicillin sebanyak 77 (85,6%) pasien. Jenis terapi
suportif yang paling banyak digunakan yaitu golongan ekspektoran glycerilis guaiacolate
sebanyak 83 (92,2%), golongan analgetik paracetamol sebanyak 61 (67,8%), golongan
antihistamin chlorpheniramine maleat sebanyak 72 (80,0%), golongan kortikosteroid dexametason
sebanyak 42 (46,7%), vitamin B comp sebanyak 27 (30,0%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
balita yang berjenis kelamin laki-laki paling banyak menderita penyakit infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA), terapi utama penyakit ISPA yang paling banyak digunakan adalah Amoxicillin, serta
terapi suportif yang sering digunakan adalah glycerilis guaiacolat (GG), paracetamol (PCT),
chlorpheniramine maleat (CTM), dexametason, vitamin B comp.

Kata Kunci : Profil Penggunaan Obat; Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

PENDAHULUAN Penyebab ISPA yang paling umum


Infeksi saluran pernafasan akut adalah virus. Jenis virus yang sering
(ISPA) adalah infeksi yang paling banyak menjangkit adalah rhinovirus (RhV), virus
terjadi pada manusia di segala umur. pernapasan syncytial (RSV), influenza
Anak-anak dan bayi yang paling rentan (IFN), virus parainfluenza (PIV),
dan banyak terkena ISPA (Sternak et al., coronavirus (CoV), metapneumovirus
2016). manusia (hMPV), enterovirus (EV),
ISPA pada umumnya bersifat ringan adenovirus (AdV), dan manusia bocavirus
dan biasanya disebabkan oleh virus, dan (HBoV) (Sternak et al., 2016).
bakteri bakteri (Bellos et al., 2010). ISPA Gejala ISPA yaitu Bronchitis akut dan
adalah penyakit yang disebabkan oleh tracheatis, Otitis media akut.,
berbagai macam mikrorganisme dan dapat Rhinosinusitis akut, fluenza, Laringitis.,
menyebabkan Infeksi. Kematian yang Faringitis (Bellos et al., 2010). Dalam
disebabkan oleh infeksi terjadi 2-6 kali beberapa tahun ini di temukan virus baru
lebih tinggi di negara berkembang. Infeksi yang menyebabkan ISPA yaitu human
merupakan salah satu faktor penyebab metapneumovirus (hMPV) dan human
kematian anak- anak di bawah umur lima coronaviruses (HCoV. Yang ditemukan
tahun (Anjum U.M et al.,2017. dalam spesimen saluran pernapasan
manusia (Liu Ti et al., 2015).

58 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471


JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

Insiden ISPA dengan Kasus Populasi dan sample


terbanyak terjadi di India (43 juta), China Populasi pada penelitian ini yaitu
(21 juta), dan Pakistan (10 juta) sedangkan data yang diambil dari buku poliklinik
Bangladesh, Indonesia dan Nigeria pasien penderita ISPA yang berobat di
masing-masing 6 juta per tahunnya, dan Puskesmas Empagae mulai pada bulan
5,9 juta anak yang berumur di bawah 5 Januari sampai bulan April tahun 2019.
tahun meninggal pada tahun 2015 yang Teknik pengambilan sampel yaitu
disebabkan oleh ISPA. menggunakan rumus random sampling
Kejadian ISPA di Indonesia pada yakni pengambilan sampel secara acak
tahun 2013 menunjukkan prevalensi dengan jumlah sampel 90 responden.
sebesar 4,5%,. ISPA tertinggi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%).
Analisa dan penyajian data
Prevalensi ISPA di Provinsi Jawa Tengah Analisa data dilakukan dengan
sebanyak 15,7%. Terdapat lima provinsi program komputer SPSS dengan
dengan ISPA tertinggi yaitu NTT (41,7%), menggunakan uji statistik univariat. Uji
Papua (31,1%), Aceh (30,0%), NTB statistik univariat menggunakan metode
(28,3%) dan Jawa Timur (28,3%) distribusi frekuensi.
(KemenKes RI, 2013). Angka kejadian ini
lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian
di provinsi lain seperti Bali sebesar HASIL
2,05%,Lampung sebesar 2,23 dan Riau
sebesar 2,67% (Kementerian Kesehatan Tabel 1. Karakteristik pasien Infeksi
RI, 2017). Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
ISPA adalah penyakit yang serius Kategori n %
Usia
bahkan dapat menyebabkan kematian jika
Balita 25 27,8
penanganannya terlambat dan tidak tepat
sehingga diperlukan manajemen terapi Kanak-kanak 21 23,3
yang tepat serta tenaga kesehatan yang Remaja 9 10,0
Dewasa 11 12,2
berkompeten dibidangnya. Hingga saat ini
Lansia 19 21,1
belum ada penelitian tentang penyakit Manula 5 5,6
ISPA di kabupaten sidenreng Rappang Jenis Kelamin
Sulawesi Selatan. Berdasarkan latar Laki-laki 52 52,8
belakang diatas, mendorong penulis untuk Perempuan 38 42,2
melakukan penelitian untuk mengetahui Pendidikan
profil penggunaan obat pada pasien Tidak sekolah 32 35.6
penderita infeksi saluran pernafasan akut SD 28 31,1
(ISPA) di Puskesmas Empagae Kabupaten SMP 13 14,4
SMA 13 14,4
Sidenreng Rappang.
Sarjana (S1) 4 4,4
Pekerjaan
BAHAN DAN METODE Tidak bekerja 54 60,0
Lokasi dan Desain Penelitian Wiraswasta 15 16,7
Lokasi penelitian dilakukan di URT 11 12,2
Puskesmas Empagae, Kecamatan Watang Petani 8 8,9
Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang. PNS 2 2,2
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan retrospektif.

59 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471


JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

Berdasarkan tabel 1 dapat persentase (7,8%), dan ciprofloxacin


disimpulkan bahwa untuk kategori usia sebanyak 6 pasien dengan persentase
usia pada pasien masa balita (0-5 tahun) (6,7%).
sebanyak 23 pasien dengan persentase
(25,6%), pasien masa kanak-kanak (6-11 Tabel 3. Terapi Supportif Pasien
tahun) sebanyak 23 pasien dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut
persentase (25,6%), pasien masa remaja (ISPA)
(12-25 tahun) sebanyak 9 pasien dengan Kategori n %
persentase (10,0%),pasien masa dewasa Golongan ekspektoran
(26-45 tahun) sebanyak 11 pasien dengan Glycerilis 83 92,2
persentase (12,2%), pasien masa lansia Guaiacolate
(46-65 tahun) sebanyak 19 pasien dengan Golongan bronchodilator
Salbutamol 2 2,2
persentase (21,1%),pasien masa manula
Golongan analgetik
(>66 tahun) sebanyak 5 pasien dengan
Paracetamol 61 67,8
persentase (5,9%).
Golongan antihistamine
Sedangkan yang berjenis berjenis
Chlorphenirami 72 80,0
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 52 ne maleat
pasien (52,8%), yang berjenis kelamin Golongan
perempuan yaitu sebanyak 38 pasien Kortikosteroid
(42,2%). Kategori pendidikan, yang Dexamethasone 42 46,7
tidak sekolah sebanyak 33 pasien dengan Prednison 1 1,1
persentase (35,6%), tingkat SD sebanyak Golongan vitamin
28 pasien dengan persentase (31,1%), Vitamin b comp 27 30,0
Vitamin c 18 21,1
tingkat SMP sebanyak 13 pasien dengan
Vitamin b1 3 3,3
persentase (14,4%), tingkat SMA Vitamin b12 3 3,3
sebanyak 13 pasien dengan persentase Vitamin b6 1 1,1
(14,4%), dan tingkat Sarjana sebanyak 4 Lytacur syr 3 3,3
pasien dengan persentase (4,4%).
Kategori pekerjaan, dominan tidak Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa
bekerja sebnayak 54 (60.0%) pasien dan pasien yang mengkomsumsi obat jenis
terendah PNS sebanyak 2 pasien dengan ekspektoran golongan glycerilis
persentase (2,2%). guaiacolate sebanyak 83 pasien dengan
persentase (92,2%). Jenis brochodilator
Tabl 2. Terapi Utama Pasien Infeksi yang dengan golongan salbutamol
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) sebanyak 2 pasien dengan persentase
Kategori Antibiotik n % (2,2%). Jenis analgetik dengan golongan
paracetamol sebanyak 61 pasien dengan
Amoxicillin
77 85,6 persentase (67,8%), Jenis antihistamine
Cefadroxil
7 7,8 dengan golongan chlorpheniramine
Ciprofloxacin
6 6,7
maleat sebanyak 72 pasien dengan
persentase (80,0%).
Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa
Jenis kortikosteroid dengan golongan
pasien penderita ISPA yang menggunakan
dexamethasone sebanyak 42 pasien
antibiotik jenis amoxicillin sebanyak 77
dengan persentase (46,7%). Penggunaan
pasien dengan persentase (85,6%),
vitamin yaitu untuk jenis vitamin B comp
cefadroxil sebanyak 7 pasien dengan
sebanyak 27 pasien dengan persentase

60 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471


JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

(30,0%), vitaimin C sebanyak 18 pasien tidak berpendidikan menderita


dengan persentase (21,1%), vitamin B1 penyakit ISPA karena kurangnya
sebanyak 3 pasien dengan persentase pengetahuan tentang lingkungan
(3,3%), vitamin B12 sebanyak 3 pasien yang sehat serta kurangnya
dengan persentase (3,3%), vitamin B6 perhatian orang tua terhadap
sebanyak 1 pasien dengan persentase lingkungan anaknya.
(1,1%) dan lytacur syr sebanyak 3 pasien d. Pekerjaan
dengan persentase (3,3%). Pasien penderita ISPA
terbanyak berdasarkan pekerjaan
PEMBAHASAN yaitu pada pasien yang tidak
1. Karakteristik pasien infeksi saluran bekerja sebanyak 54 (60,0%),
pernafasan akut (ISPA) di Puskesmas Penelitian ini tidak sejalan dengan
Empagae Kabupaten Sidenreng penelitian yang dilakukan oleh
Rappang. Ranantha,dkk, 2012, yaitu tingkat
a. Jenis kelamin produktivitas seseorang dapat
Pasien dengan jenis kelamin dibengaruhi dengan tidak
laki-laki lebih banyak menderita seimbangnya waktu istirahat yang
penyakit ISPA sebanyak 52 (52,8%) optimal dengan jumlah aktivitas
pasien. Penelitian ini sejalan yang digunakan sehingga
dengan penelitian yang dilakukan menyebabkan imunitas rendah
oleh Ranantha,dkk, 2012, Hal ini sehingga mudah terkena penyakit.
dilihat dari faktor lingkungan, laki 2. Terapi utama pasien infeksi saluran
laki lebih banyak beraktivitas diluar pernafasan akut (ISPA)
rumah sehingga banyak terpapar Jenis antibiotik yang paling
langsung oleh asap rokok dan banyak digunakan adalah jenis
lingkungan yang kurang bersih. amoxicillin sebanyak 77 (85,6%)
b. Usia pasien. Penelitian ini sejalan dengan
Pasien yang paling banyak penelitian yang dilakukan Zoorob et
menderita ISPA yaitu yang berusia al, 2012, yaitu terapi lini pertama
0-5 tahun kategori balita sebanyak untuk penyakit infeksi saluran
25 (27,8%) pasien. Penelitian ini pernafasan akut adalah amoxicillin.
didukung oleh hasil penelitian 3. Terapi suportif untuk pasien infeksi
Riskesdas 2013 bahwa penderita saluran pernafasan akut (ISPA).
ISPA yang paling banyak yaitu a. Golongan ekspektoran
balita dengan persentase 3,8%. Hal Jenis ekspektoran yang
ini disebabkan karena sistem imun paling banyak digunakan pasien
balita belum sempurna dan sekuat dengan diagnosa ISPA adalah;
orang dewasa sehingga menjadi jenis glycerilis guaiacolate
faktor pemicu terjadinya infeksi. sebanyak 83 pasien dengan
c. Pendidikan persentase (92,2%). Glycerilis
Pasien penderita ISPA yang guaiacolat memperbanyak
paling banyak berdasarkan tingkat produksi dahak (yang encer) dan
pendidikan yaitu yang tidak sekolah dengan demikian mengurangi
yaitu sebanyak 32 (35,6%) pasien, kekentalannya, sehingga
Hasil ini sejalan dengan hasil mempermudah pengeluarannya
Riskesdas 2013, bahwa pasien yang dengan batuk. Mekanisme

61 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471


JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

kerjanya adalah meransang inflamasi pada ISPA (Ikawati Z,


reseptor-reseptor mukosa 2006). Namun, penggunaan
lambung yang kemudian kortikosteroid pada balita dan
meningkatkan kegiatan anak-anak dapat menghambat
kelenjar-sekresi darri saluran pertumbuhan. Mekanisme
lambung-usus dan sebagai refleks terjadinya melalui stimulasi
memperbanyak sekresi dari stomatostatin, yang menhambat
kelenjar yang berada disaluran growth hormone, sehingga
nafas (Albrecht, H. H, et al., penenggunaan kortikosteroid pada
2017). anak dibatasi (Allen DB, 2002).
b. Golongan antihistamine e. Golongan vitamin
Jenis antihistamine yang Penggunaan vitamin yang
paling banyak digunakan pasien paling banyak digunakan adalah
dengan adalah chlorpheniramine jenis vitamin B comp sebanyak 27
maleat sebanyak 72 (80,0%) pasien dengan persentase (30,0%).
pasien. Obat ini menghambat Pemberian vitamin pada pasien
kerja histamin, senyawa di dalam diberikan untuk memperkuat
tubuh yang memicu terjadinya sistem imun, terlebih pada balita
gejala alergi. Saat alergi terjadi, dan anak-anak, karena pada
produksi histamin dalam tubuh pasien ISPA sistem imunitas
meningkat secara berlebihan sangat lemah. (Gunawan dkk,
sehingga memunculkan gejala 2007).
dari reaksi alergi. ISPA dapat
disebabkan karena cuaca, cuaca KESIMPULAN
yang dingin dapat menyebabkan Berdasarkan hasil penelitian maka
alergi bagi orang yang sensitif dapat disimpulkan bahwa balita yang
terhadap cuaca dingin atau waktu berjenis kelamin laki-laki paling banyak
tertentu (Kiran Mayuresh et al., menderita penyakit infeksi saluran
2017). pernafasan akut (ISPA), terapi utama
c. Golongan analgetik penyakit ISPA yang paling banyak
Obat analgetik yang paling digunakan adalah Amoxicillin, serta terapi
banyak digunakan pasien adalah suportif yang sering digunakan adalah
paracetamol sebanyak 61 (67,8%) glycerilis guaiacolat (GG), paracetamol
pasien, Paracetamol digunakan (PCT), chlorpheniramine maleat (CTM),
karena gejala dan tanda awal dari dexametason, vitamin B comp.
ISPA seperti demam yang terkait
dengan infeksi (Maakh Y. F. dkk., SARAN
2017). Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk
d. Golongan kortikosteroid mengetahui ketepatan pemberian terapi
Golongan kortikosteroid infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
yang paling banyak digunakan
adalah dexametason sebanyak 42 DAFTAR PUSTAKA
(46,7%). Dapat dipergunakan
Albrecht, H H., Peter V.
sebagai terapi supportif yang
Dicpinigaitis, and Eric P. Guenin.
efektif dalam menurunkan nyeri 2017. Role of guaifenesin in the
yang diakibatkan oleh proses management of chronic bronchitis

62 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471


JURNAL ILMIAH KESEHATAN IQRA

and upper respiratory tract Medical and Pharmaceutical


infections. US National Library of Research.
Medicine National Institutes of Maakh Yorida Febry, Ivonne Laning,
Health. USA. Rambu Tattu. 2017. Profil
Anjum Muhammad Usman, Hashim Riaz, Pengobatan Infeksi Saluran
Hafiz Muhammad Tayyab. 2017. Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Acute Respiratory Tract Infections Balita Di Puskesmas. Rambangaru
(Aris); Clinico-Epidemiolocal Tahun 2015. Jurnal Info Kesehatan.
Profile In Children Of Less Than Farmasi, Poltekkes Kemenkes
Five Years Of Age. The Kupang.
professional Medical Journal. Ranantha, R., Eni Mahawati.,
Pakistan. Krishwiharsi Kun., 2012.
Allen, L. V., 2002, The Art science, and Hubungan Antara Karakteristik
Technology of Pharmaceutical Balita dengan Kejadian ISPA Pada
Compouding, 304,309,310, Balita di Desa Gandon Kecamatan
American Pharmaceutical Kaloran Kabupaten Temanggung.
Association, Washington D. C. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Bellos Anna, Kim Mulholland, Katherine Kesehatan Masyarakat .Universitas
L O’Brien, Shamim A Qazi, Dian Nuswantoro. Semarang.
Michelle Gayer1, Francesco Sternak SunIanicaL jubin, Tatjana
Checchi. 2010. The burden of acute Marijan, Irena IvkoviT- JurekoviT,
respiratory infections in Jasna Hepin- BogoviT, Alenka
crisis-affected populations: a Gagro, and JasminaVraneš. 2016.
systematic review. Conflict and Etiologi and Clinical characteristic
health. og Single and Multiple Respiratory
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Virus Infenctions Diagnosed in
Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Croatian Children in Two
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Respiratory Seasons. Hindawi
Jakarta: FKUI. Publishing Corporation Journal of
Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Pathogens. Croatia.
Sistem Pernapasan, hal 43-50, Ridwan. 2009. Rumus dan Data dalam
Fakultas Farmasi UGM, Analisis Statistik untuk Penelitian,
Yogyakarta. cetakan 3, Alfabeta: Bandung.
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Liu Ti , Zhong Li1, Shengyang Zhang,
Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Shaoxia Song, Wu Julong1, Yi Lin,
Balitbang Kemenkes Ri Nongjian Guo, Chunyan Xing,
Kemenkes Ri. 2017. Riset Kesehatan Aiqiang Xu, Zhenqiang Bi1 and
Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Xianjun Wan. 2015. Viral Etiology
Balitbang Kemenkes Ri. of acute respiratory tract infections
Kiran Mayuresh., Lalit Pawaskar and in hospitalized children and adults
Shruthi George. 2017. Efficacy in Shandong Province, China.
And Safety For A Combination Of Virology Journal. China.
Paracetamol, Chlorpheniramine Zoorob, R., Sidani, M.A., Fremont, R.D.,
Maleate, Phenylephrine, Sodium dan Kihlberg, C., 2012. Antibiotic
Citrate And Menthol In The use in acute upper respiratory tract
Symptomatic Treatment Of infections. American family
Common Cold And Allergic physician, 86:817-822
Rhinitis: Phase Iv Clinical STUDY.
International Journal of Current

63 Volume 7 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2019 ᴥ eISSN: 2656-5471

Anda mungkin juga menyukai