Oleh :
1. Ika Novyati Budi Lestari, S.Pd.
2. Yeni Rahmawatie Istiqomah, S.Pd.
3. Novi Yanti Khodariyah
4. Kintan Gemi Nastiti, S.Farm
5. Wahyu Indah Kumalasari, S.Pd
BONDOWOSO
2021
I. PENDAHULUAN
b. Sasaran :
Salah satu seni budaya suku Madura yaitu Kejung.
II. SENI BUDAYA NGEJUNG
Macapat merupakan sebuah istilah yang sangat asing bagi kalangan pemuda
dijaman sekarang, sudah jarang sekali atau dapat dikatakan tidak ada kalangan pemuda
yang mengetahui hal tersebut, padahal istilah ini sangatlah populer di era 90-an.
Sekarang, macapat hanya sekedar dikenal oleh orang-orang tertentu saja, seperti orang-
orang yang masih menjaga nilai budaya dan kesenian serta orang-orang yang masih
hidup dari era 90-an sampai sekarang. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional
Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra
mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak
akhir yang disebut guru lagu. Macapat di Madura lebih dikenal dengan istilah Macopat
yang mana pembacaan tembangnya lebih mengutamakan pada cengkok, karena memang
tradisi Ngejung lebih diperindah oleh cengkok pada sebuah syair atau kata-kata, dan hal
ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang Madura di bagian timur (Sumenep).
Ngejung atau Kejung merupakan tembang khas Suku Madura. Para pengkejung
sekarang hanya beberapa yang masih bagus menampilkan tetembangan dalam acara
sandur. Ketertarikan masyarakat terhadap kesenian sandur, khususnya kejung kurang
banyak. Banyak yang beranggapan ngejung cara Bangkalan mempunyai tingkat kesulitan
yang tinggi, terutama sekali ngelik-nya. Kejung tersebut terdapat di keempat kabupaten
di wilayah Pulau Madura, baik di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang, maupun
di Bangkalan. Diantara keempat wilayah tersebut, kejung Bangkalan memiliki ciri khas
tersendiri, baik dari pelantunnya maupun dari segi teknik pelantunannya. Ngejung
merupakan sebuah seni melantunkan/menembangkan teks-teks papareghan (parikan =
Jawa; pantun = Melayu) atau bangsalan (wangsalan = Jawa) dengan diiringi gending
(iringan musik) tertentu. Seni ngejung biasanya dilakukan dalam pentas seni panggung,
seperti halnya dalam pentas kesenian sandur, ajing (semacam ludruk), tayuban serta
saronen. Sebagai jenis kesenian yang unik dan khas, kesenian kejungan layak
dibanggakan sebagai peninggalan budaya leluhur yang perlu dilestarikan. Sampai pada
saat ini di Bangkalan belum pernah ada upaya regenerasi kejung. Ini dikarenakan tidak
ada generasi muda yang mau mengenal dan bisa mempraktikkan budaya ngejung.
Kabupaten Bondowoso yang sebagian besar penduduknya merupakan perantauan
dari masyarakat Pulau Madura, dan bersuku asli Madura telah mempribumi di tanah ini.
Oleh karenanya ngejung masih sering dilakukan kaula tua terutama di desa-desa. Budaya
ini tersebar luas ke pelosok desa bondowoso. Yang masih tetap bertahan hingga kini.
Namun di masa ini, para generasi Z malah menutup mata akan hal ini. Walaupun rasa
cinta berusaha disematkan melalui pendidikan formal seni budaya. Rasa enggan, malu,
rendah diri, menutup hati dan pikiran mereka terhadap kejung. Ironinya mereka
menggunakan bahasa Madura dalam keseharian hidupnya. Maraknya budaya asing yang
masuk seolah menjadi tren yang menjanjikan dan menenggelamkan kejungan. Padahal
jika mereka mau sejenak saja mencicipi budaya ini maka mereka akan mengerti rasa
asyik bermain pantun dengan ngejung serta tenggelam di dalamnya. Betapa indahnya
kekayaan yang berada di genggaman serta di depan mata mereka.
B: Buleh andi’ Le’ Settong careta - careta lambek gik jemanah raja - Caretana para weli se
nyebaragi agema Islam e pulo Jebe.
B: Bedhe Settong le’ Masjid-masjid raje se anyama Masjid Demak kantos sanuntoh salagi’
bedhe teppa’ neng (e Jebe Tenga 2x)
B: E settong bekton Le' para wali padhe akompol a musyawarah kaangguy mamasok (Reng
oreng Kaper Segita’ maso’ (agema Islam 2x)
B: Para Wali Le’ aniko padhe Saroju’ pas abedih. Settong kasennengan keng ben reng
Sanunto eobe Kasennian (Sertana enyamae Tappuen 2x)
B: Saampona Le’ tappuen pon mare egebey pas e sabe' neng e dhelem masjid. Du ma’
menga’ sertana heran tappuen genike laju ni’ amunyih sertana tədhe' se nabbu.
B: Oreng Kaper Le' sengidingagi pas padhe menga' pas nguca’ “e cakanca munyina apa
rowah ma' amunyi edhelem masjid. Pas munyinah ma’ saberinna’ – nang ning nung jeggur”.
Terjemahan
Lagu/Musik Wali Songo
B: Saya punya dik, satu cerita dulu masih zaman kerjaan, ceritanya para wali yang
menyebarkan agama Islam di pulau jawa
B: Ada satu dik, masjid-masjid besar yang bernama masjid Demak, sampai sekarang masih
ada berada (di Jawa Tengah 2x)
B: Disuatu waktu dik, para wali berkumpul bermusyawarah untuk memasukkan orang-orang
kafir yang masih belum masuk (agama islam 2x)
B: Para wali dik, ini sama serujuk lalu jadi satu kesenangan, tetapi oleh orang disinu dirubah
kesenian (juga dinamai tabuhan 2x)
B: Setelah itu dik, tabuhan sudah dibuat lalu ditaruh di dalam masjid. Aduh terkejut dan
heran. Tabuhan itu mengapa berbunyi serta tidak ada yang menabuh
B: Orang kafir dik, yang mendengarkan sesama heran lalu berkata "eh kawan bunyi apa itu,
mengapa berbunyi didalam masjid lalu bunyinya bermacam-macam. Nang Ning Nung
Jeggur.”
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Seni budaya “Ngejung” atau biasa disebut Kejung atau Tembang Macopat
berasal dari Suku Madura, Indonesia. Ngejung merupakan sebuah seni melantunkan
atau menembangkan teks-teks papareghan (parikan = Jawa; pantun = Melayu) atau
bangsalan (wangsalan = Jawa) dengan diiringi gending (iringan musik) tertentu. Seni
ngejung biasanya dilakukan dalam pentas seni panggung, seperti halnya dalam pentas
kesenian sandur, ajing (semacam ludruk), tayuban serta saronen. Kesenian ini
keberadaanya ditengah masyarakat hampir punah, sehingga harus terus dilestarikan
supaya tidak menjadi mati.
B. Daftar Pustaka
1. https://www.pustaka-bpnbkalbar.org/pustaka/kejung-bangkalan-madura
2. https://iainmadura.ac.id/site/detberita/
3. https://egindo.com/mengenal-kesenian-dan-kebudayaan-madura/
C. LAMPIRAN