Disusun oleh :
Aidin Nadiya (18.0332.F)
Arista Safitri (18.0334.F)
Farry Mushab Usaidy A (18.0348.F)
Fitri Oktaviani (18.0351.F)
Lutfiani Arifa Rodina (18.0365.F)
M. Syahrian Huda (18.0367.F)
Rizki Damayanti (18.0388.F)
Salsa Fatikhatur R (18.0391.F)
Vania Savabela (18.0398.F)
Vira Septiya (18.0400.F)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga
kami dapat menyelesaikan Makalah Farmakoekonomi “ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA
(COST EFFECTIVENESS ANALYSIS) PADA PENGOBATAN PASIEN MALARIA
FALCIPARUM DI RSUD NABIRE” dengan tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang perbandingan biaya yang paling efektif pada pengobatan pasien
malaria dengan kombinasi kina-primakuin dan kombinasi artesunat-primakuin diharapkan dapat
dipergunaan sebagai acuan dasar dalam pengembangan ilmu farmakoekonomi tersebut.
Selanjutnya penyusun mengucapkan terimakasih kepada bapak Yulian Wahyu Permadi
sebagai dosen Farmakoekonomi kami yang telah membimbing kami agar dapat memahami dan
mengerti tentang ilmu Farmakoekonomi.
Saran dan kritik sangat penyusun harapkan untuk perbaikan maupun pengembangan
sehingga makalah ini lebih bermanfaat. Amin
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 2
iii
BAB IV PENUTUP .............................................................................................................. 21
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 22
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
efektivitas biaya. CEA dapat memperkirakan biaya tambahan keluaran atau outcome, karena
tidak ada ukuran sejumlah uang atau outcome klinik yang menggambarkan nilai dari outcome
tersebut. CEA merupakan metode evaluasi ekonomi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam memilih alternatif terbaik (Andayani, 2013).
Penelitian farmakoekonomi sebelumnya yang dilakukan oleh Noor Hafizah dan mustof
(2001) tentang analisis biaya dan tatalaksana pengobatan malaria pada pasien rawat inap di
RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan Periode Tahun 2006-2009. Berdasarkan uraian
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis efektivitas biaya pengobatan dan
perawatan pada pasien malaria falciparum rawat inap di RSUD Nabire.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Tujuan CEA
Tujuan dari metode Cost Effectiveness Analysis yaitu :
a. Menentukan apakah suatu proyek merupakan suatu investasi yang baik.
b. Menentukan jika nilai suatu intervensi sangat ditentukan oleh biayanya. Tidak hanya
meliputi penentuan biaya, tapi juga penentuan nilai dari outcome.
c. Memastikan program atau kombinasi dari program dapat mencapai tujuan tertentu pada
biaya terendah.
4
- Biaya dan efek atau hasil dari setiap alternatif harus dapat diukur
Beberapa ciri pokok CEA menurut Azwar, A (1989) adalah sebagai berikut :
a. Bermanfaat untuk mengambil keputusan.
CEA berguna untuk membantu pengambilan keputusan dalam menetapkan program
terbaik yang akan dilaksanakan. Dengan ciri ini jelaslah bahwa CEA terutama diterapkan
sebelum suatu program dilaksanakan, jadi masuk dalam tahap perencanaan.
b. Berlaku jika tersedia dua atau lebih program.
CEA merupakan suatu metode analisis biaya dimana didalam mpetode tersebut tidak dapat
hanya menggunakan satu program dalam pelaksanaannya, namun harus lebih dari satu
program. Sehingga program tersebut dapat menjadi pembanding yang kemudian dapat
dilihat mana yang lebih efektif untuk digunakan didalam suatu organisasi dengan
pengeluaran biaya yang sama di tiap program. Misalnya program A butuh biaya Rp
1.000.000,- yang apabila dilaksanakan akan berhasil menyembuhkan 300 pasien.
Program B butuh biaya Rp 1.000.000,- yang apabila dilaksanakan akan berhail
menyembuhkan 500 pasien. Dengan adanya program B sebagai pembanding akan
tampak bahwa program B lebih tepat dari program A karena dengan biaya yang sama
berhasil menyembuhkan pasien lebih banyak.
c. Mengutamakan unsur input (masukan) dan unsur output (keluaran).
Pada CEA yang diutamakan hanya unsur masukan yang dibutuhkan oleh program serta
unsur keluaran yang dihasilkan oleh program. Unsur lainnya, seperti proses, umpan
balik dan lingkungan agak diabaikan.
d. CEA terdiri dari tiga proses, yaitu :
1. Analisis biaya dari setiap alternatif atau program.
2. Analisis efektifitas dari tiap alternatif atau program.
3. Analisis hubungan atau ratio antara biaya dan efektifitas alternatif atau program.
Untuk melaksanakan CEA, harus ada satu atau beberapa kondisi di bawah ini:
a. Ada satu tujuan intervensi yang tidak ambigu, sehingga ada ukuran yang jelas dimana
efektifitas dapat diukur.
Contohnya adalah dua jenis terapi bisa dibandingkan dalam hal biayanya per year of life yang
diperoleh, atau, katakanlah, dua prosedur screening dapat dibandingkan dari segi biaya per
kasus yang ditemukan. Atau;
5
b. Ada banyak tujuan, tetapi intervensi alternatif diperkirakan memberikan hasil yang sama.
Contohnya adalah dua intervensi bedah memberikan hasil yang sama dalam hal komplikasi
dan kekambuhan. Dalam evaluasi ekonomi, pengertian efektivitas berbeda dengan
penghematan biaya, dimana penghematan biaya mengacu pada persaingan alternatif program
yang memberikan biaya yang lebih murah, sedangkan efektivitas biaya tidak semata-mata
mempertimbangkan aspek biaya yang lebih rendah (Grosse, 2000).
CEA membantu memberikan alternatif yang optimal yang tidak selalu berarti biayanya lebih
murah. CEA membantu mengidentifikasi dan mempromosikan terapi pengobatan yang paling
efisien (Grosse, 2000). CEA sangat berguna bila membandingkan alternatif program atau
alternatif intervensi dimana aspek yang berbeda tidak hanya program atau intervensinya,
tetapi juga outcome klinisnya ataupun terapinya. Dengan melakukan perhitungan terhadap
ukuran-ukuran efisiensi (cost effectiveness ratio), alternatif dengan perbedaan biaya, rate
efikasi dan rate keamanan yang berbeda, maka perbandingan akan dilakukan secara
berimbang (Grosse, 2000).
6
yang paling tepat dan murah dalam menghasilkan output tertentu. Dalam hal ini CEA
membantu penentuan prioritas dari sumber daya yang terbatas.
5. Membantu penentuan prioritas dari sumber daya
b. Kelemahan
1. Alternatif tidak dapat dibandingkan dengan tepat
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sulitnya ditemui CEA yang ideal, dimana tiap-
tiap alternatif identik pada semua kriteria, sehingga analisis dalam mendesain suatu CEA, harus
sedapat mungkin membandingkan alternatif- alternatif tersebut.
2. CEA terkadang terlalu disederhanakan.
Pada umumnya CEA berdasarkan dari analisis suatu biaya dan suatu pengaruh misalnya
rupiah/anak yang diimunisasi. Padahal banyak program-program yang mempunyai efek
berganda. Apabila CEA hanya berdasarkan pada satu ukuran keefektifan (satu biaya dan satu
pengaruh) mungkin menghasilkan satu kesimpulan yang tidak lengkap.
3. Belum adanya pembobotan terhadap tujuan dari setiap program.
Akibat belum adanya pembobotan pada tujuan dari setiap program sehingga muncul
pertanyaan “biaya dan pengaruh mana yang harus diukur?”. Pertanyaan ini timbul mengingat
belum adanya kesepakatan diantara para analis atau ahli. Disatu pihak menghendaki semua
biaya dan pengaruh diukur, sedangkan yang lainnya sepakat hanya mengukur biaya dan
pengaruh-pengaruh tertentu saja. Seharusnya ada pembobotan terhadap tujuan dari setiap
proyek karena beberapa tujuan harus diprioritaskan.
7
Incremental cost-effectiveness ratio (ICER) adalah rasio atau perbedaan biaya antara dua
alternatif terhadap perbedaan efektivitas antara dua alternative yang sama. Rumus ICER
berikut akan menghasilkan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk mendapatkan biaya
tambahan yang diperoleh dengan beralih dari terapi A ke terapi B (Trask, 2011).
Biaya A − Biaya B
ICER =
Efek A − Efek B
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokan menjadi enam kategori (Vogenberg, 2001)
yaitu :
a. Biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayana
medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatau penyakit seperti kunjungan
pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan.
b. Biaya langsung non-medis (direct non-medical cost )
Biaya lansung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak terkait lansung dengan
pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya
yang diberikan pihak rumah sakit.
c. Biaya tidak langsung (indirect cost )
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien, atau biaya yang
hilang akibat waktu produktif yang hilang.
d. Biaya tak terwujud (intangible cost)
Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis, tidak dapat
diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan,
efek samping. Sifatnya psikologis, sukar dikonversikan dalam nilai mata uang.
e. Opportunity Cost
Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi pengganti
dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika sumber telah digunakan
untk membeli program atau alternatif pengobatan, maka Opportunity Cost menunjukan
hilangnya kesempatan untuk menggunakannya pada tujuan yang lain.
8
f. Incremental Cost
Disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan atas alternatif atau perawatan
kesehatan dibandingkan dengan pertambahan manfaat, efek ataupun hasil (outcome) yang
ditawarkan. Incremental Cost adalah biaya tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek
tambahan dari suatu alternatif dan menyediakan cara lain untu menilai dampak
farmakoekonomi dari layanan kesehatan ataupun pillihan pengobatan dalam suatu populasi.
2.8.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit golongan plasmodium yang hidup berkembang
dalam sel darah merah manusia dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria
tergolong sebagai salah satu penyakit menular yang sangat berbahaya yang dapat menyebabkan
kematian (Hassan, 2006).
Plasmodium falciparum berbeda dengan plasmodium lain pada manusia dalam hal
ditemukannya hanya bentuk-bentuk cincin dan gametosit dalam dara tepi, juga didalam jantung,
dan hanya beberapa sizon (trozoit dalam sel darah merah yang tumbuh menjadi sizon, dan sizon
akan membelah menjadi merozoit) terdapat didalam darah. Sel darah merah yang di infeksi tidak
membesar. Infeksi multipel dalam sel darah merah sangat khas. Adanya bentuk-bentuk cicin halus
yang khas, dengan titik kromatin rangkap, walaupun tidak ada gametosit kadang-kadang cukup
untuk identifikasi spesies ini. Dua titik kromatin (nukleus) sering dijumpai pada bentuk cincin
plasmodium falciparum, sedang pada plasmodium vivax dan plasmodium malariae hanya kadang-
kadang. Sizonya lonjong atau bulat, jarang sekali ditemukan didalam darah. Sizon ini menyerupai
sizon plasmodium vivax, tetapi tidak mengisi seluruh eritrosit. Sizing matang biasanya
mengandung 16-24 merozoit kecil. Gametosit yang muda mempunyai bentuk lonjong sehingga
memanjangkan dinding sel. Setelah mencapai perkembangan akhir ini mempunyai pisang yang
khas, yang disebut “Sabit” (crescent). Di dalam sel yang dihinggapi Plasmodium falciparum sering
tampak titik-titik basophil yang biru dan presipitat sitoplasma yang disebut titik-titik Maurer. Titik-
9
titik ini tampak sebagai bercak-bercak merah yang bentuknya tidak teratur, sebagai keping-keping
atau batang-batang didalam sitoplasma.
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua
stadium parasite yang ada didalam tubuh manusia, termasuk stadium gametosit. Adapun tujuan
pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai
penularan.
Pengobatan malaria falciparum saat ini menggunakan ACT (Artemisin Combination
Therapy) ditambah primakuin.
Lini pertama: ACT - Primakuin
Artesunat, amidokain - primakuin
Lini kedua: kina, doksisiklin - primakuin
Kina, Tetrasiklin - primakuin
Klasifikasi antimalaria berdasarkan perkembangan plasmodium adalah sebagai berikut:
a. Skizontosid jaringan
b. Skizontosid darah
c. Gametosid
d. sporontosid
Kina atau Kuinin merupakan alkaloid penting dari kulit pohon Chincona spesies, telah
digunakan pendudduk asli Amerika selatan sebagai obat tradisional. Di Indonesia hanya jenis
10
Chincona ledgeriana dan Chincoa succirubra. Pohon kina mengadung lebih 20 alkaloid, namun
yang bermanfaat klinik hanya kuinin-kuinidin, sinkona-sinkonidin. Semua alkaloid sinkona dan
turunanya mempunyai sifat farmakologi yang sama tetapi berbeda secara kuantitatif. Khasiat
khusus dari kinin sebagaian besar tergantung dari kadar kina yang dihasilkan. Kina dianjurkan
bersama antimalaria lain karena kurang efektif dan lebih toksik dari pada antimalaria sintesis,
sebaiknya digunakan setelah makan untuk mengurangi iritasi lambung (Koes Irianto, 2013).
Obat diberikan dengan loading dose 20 mg/kg BB yang dilarutkan dalam 500 ml larutan
dektrose 5% atau NaCl 0,9% , diberikan selama 4 jam. Selanjutnya selama 4 jam berikutnya hanya
diberikan larutan larutan dektrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu berikan dosis maintenance 10
mg/kg BB dalam larutan dektrose 5% atau NaCl 0,9% selama 4 jam. Selanjutnya selama 4 jam
berikutnya hanya diberikan larutan dektrose 5% atau NaCl 0,9%. Berikan dosis maintenance
sampai penderita dapat minum kina per oral dengan dosis 10 mg/kg BB/kali, 3 kali sehari, dengan
total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infuse yang pertama. Dosis anak kina; 10
mg/kg BB ( bila umur , 2 bulan 6-8 mg/kg BB) diencerkan dalam 5-10 ml/kg BB larutan dektrose
5% atau NaCl 0,9%, diberikan selama 4 jam.Pemberian diulang setiap 8 jam sampai penderita
sadar dan dapat minum obat (Depkes RI, 2008).
Apabila tidak dimungkinkan pemberian kina per infuse, maka dapat diberikan kina
dihidroklorida 10 mg/kg BB intramuskuler dengan menyuntikkan ½ dosis pada masing-masing
paha depan (kiri dan kanan), jangan diberikan pada bokong. Untuk pemakaian i.m., kina
diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml dengan 5-8 ml larutan NaCl 0,9%
(Depkes RI, 2008).
Artesunat adalah garam suksinil natrium artemisin yang larut baik dalam air tetapi tidak
stabil dalam larutan. Artemisin adalah obat paling efektif, aman, dan kerjannya cepat untuk khasus
malaria berat terutama yang disebabkan oleh plasmodium falciparum yang resisten terhdapa
klorokuin dan obat-obat lainnya. Analog-analog yang terpenting adalah artesunat (larut dalam air,
pemberian dapat oral, intravena, intramuscular dan perektal) (Koes Irianto, 2013).
11
berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium
bikarbonat. Larutan injeksi artesunat dibuat dengan melarutkan serbuk kering dalam pelarut dan
tambahkan larutan dextrose sebanyak 3-5 ml. Artesunat diberikan dengan loading dose secara
bolus 2,4 mg/kg BB intravena selama 2 menit, dan diulang setelah 12 jam dengan dosis sama.
Selanjutnya artesunat diberikan 2,4 mg/kg BB intravena satu kali sehari sampai penderita mampu
minum obat . Larutan artesunat juga dapat diberikan secra i.m. dengan dosis yang sama. Bila
penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan regimen artesunat + amodiakuin
+ primakuin (Depkes RI, 2008).
2.9.3 Primakuin
12
BAB 3
Tabel 1 Data Karakteristik berdasarkan obat yang di gunakan pada pasien malaria
falciparum di RSUD Nabire
Total 36 100
Tabel 2 Data Pasien Malaria falciparum yang menggunakan obat kombinasi kina-
primakuin di RSUD Nabire
13
4. OL 32 Kina injeksi, Primakuin, ranitidine, 4
paracetanol, natrium klorida
5. WT 60 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 6
antrain, natrium klorida
6. YD 48 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 2
antrain, paracetamol,natrium klorida
7. KT 19 Kina injeksi, Primakuin, ranitidine, 5
antrain, natrium klorida
8. MF 26 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 4
paracetamol, natrium klorida
9. DA 18 Kina injeksi, primakuin ranitidine, 4
paracetamol, natrium klorida
10. HJ 30 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 6
paracetamol, natrium klorida
11. AS 66 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 4
paracetamol, natrium klorida
12. HA 26 Kina injeksi, primakuin, natrium klorida 4
13. LM 58 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 4
antrain, natrium klorida
14. YS 29 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 4
antrain, natrium klorida
15. SL 67 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 5
antrain, natrium klorida
16. JA 21 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 6
paracetamol, natrium klorida
17. YD 18 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 7
antrain, natrium klorida
18. EU 24 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 2
paracetamol, natrium klorida
14
19. AR 36 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 5
antrain, natrium klorida
20. AS 25 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 3
paracetamol, natrium klorida
21. MP 38 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 2
antrain, natrium klorida
22. JM 31 Kina injeksi, Primakuin, ranitidine, 3
paracetamol, natrium klorida
23. YE 21 Kina injeksi, primakuin, ranitidine, 4
paracetamol, natrium klorida
Berdasarkan Tabel diatas, diketahui pasien malaria falciparum yang menggunakan obat
kombinasi kina-primakuin dari 36 pasien yaitu ada 23 pasien.
Tabel 3 Data Pasien Malaria falciparum yang menggunakan obat kombinasi artesunat-
primakuin di RSUD Nabire
15
7. NT 21 Artesunat injeksi, primakuin ranitidine, 3
paracetamol, natrium klorida
8. TH 35 Artesunat injeksi, primakuin, paracetamol, 3
natrium klorida
9. SA 43 Artesunat injeksi, primakuin ranitidine, 3
antrain, natrium klorida
10. IM 20 Artesunat injeksi, primakuin, ranitidine, 4
antrain, natrium klorida
11. NM 40 Artesunat injeksi, primakuin ranitidine, 4
antrain, natrium klorida
12. HN 50 Artesunat injeksi, primkauin, ranitidine, 2
paracetamol, natrium klorida
13. MD 29 Artesunat injeksi, primakuin, ranitidine, 2
antrain, natrium klorida
Pada Tabel 3, diketahui pasien malaria falciparum yang menggunakan obat kombinasi
artesunat-primakuin adalah sebanyak 13 pasien dari 36 pasien.
Efektivitas terapi obat malaria yang digunakan oleh pasien malaria falciparum rawat inap
dilihat dari pasien yang diperbolehkan pulang oleh dokter.
16
3.3 Analisis Biaya
Biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa direct medical cost (biaya medis
langsung) per pasien dan cost-effectiveness ratio. Direct medical cost yang dikeluarkan pasien
yang menggunakan kombinasi kina-primakuin dapat dilihat pada Tabel 5 dan yang menggunakan
kombinasi artesunat-primakuin dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 5 Direct medical cost penggunaan obat kombinasi kina-primakuin pada pasien
malaria falciparum di RSUD Nabire
No Nama Biaya Pengobatan (Rp) Biaya Rawat Inap (Rp) Total Biaya (Rp)
1. YM 217.400 1.914.000 2.131.400
2. TE 170.270 1.200.000 1.370.270
3. IS 78.420 724.000 802.420
4. OL 59.520 962.000 1.021.520
5. WT 155.270 1.438.000 1.593.270
6. YD 40.720 486.000 526.720
7. KT 170.270 1.200.000 1.370.270
8. MF 51.440 962.000 1.013.440
9. DA 83.870 962.000 1.045.870
10. HJ 112.260 1.438.000 1.550.260
11 AS 96.340 962.000 1.058.340
12. HA 47.410 962.000 1.009.410
13. LM 123.700 962.000 1.085.700
14. YS 123.700 962.000 1.085.700
15. SL 138.980 1.200.000 1.338.980
16. JA 125.550 1.438.000 1.563.550
17. YD 186.260 1.676.000 1.862.260
18. EU 25.720 486.000 511.720
19. AR 131.480 1.200.000 1.331.480
20. AS 49.830 724.000 773.830
17
21. MP 53.920 486.000 539.920
22. JM 49.830 724.000 773.830
23. YE 66.440 962.000 1.028.440
Total direct medical cost Rp. 26.388.600
Tabel 6 Direct medical cost penggunaan obat kombinasi artesunat-primakuin pada pasien
malaria falciparum di RSUD Nabire
No Nama Biaya Pengobatan (Rp) Biaya Rawat Inap (Rp) Total Biaya (Rp)
1. OB 241.400 1.200.000 1.441.400
2. DN 123.540 724.000 847.540
3. TW 211.400 1.200.000 1.411.400
4. MC 166.720 962.000 1.128.720
5. TK 196.400 962.000 1.158.400
6. LR 364.680 1.438.000 1.802.680
7. NT 108.540 724.000 832.540
8. TH 93.540 724.000 817.540
9. SA 135.840 724.000 859.540
10. IM 151.720 962.000 1.113.720
11 NM 153.320 962.000 1.115.320
12. HN 114.860 486.000 600.860
13. MD 113.060 486.000 599.060
Total direct medical cost Rp. 13.728.720
Evaluasi dari segi analisis biaya pada penilitian ini untuk mengetaahui cost-effectivenes
ratio penggunaan kombinasi kina-primakuin dan kombinasi artesunat-primakuin pada pasien
18
malaria falciparum di RSUD Nabire. Cost effectiveness ratio diperoleh dari perhitungan ACER
yang dapat dilihat pada Tabel 6 dan perhitungan ICER pada Tabel 7
𝚫𝐂 𝚫𝐄 ICER (𝚫𝐂/𝚫𝐄 )
3.4 Pembahasan
3.4.1 Efektivitas
Efektivitas untuk penyakit malaria dilihat dari menurunnya parasit dalam darah,namun
karena kurang lengkapnya catatan rekam medik diRSUD Nabire,maka dilihat dari pasien yang
dinyatakan pulang membaik oleh dokter seperti pada Tabel 4.6 menunjukan bahwa pasien malaria
falciparum yang pulang membaik menggunakan obat kombinasi artesunat-primakuin lebih tinggih
dari pada kombinasi kina-primakuin. Hal ini dikarenakan pengobatan ACT (Artemisin
Combination Therapy) merupakan kombinasi yang memiliki kemapuan untuk menurunkan
parasite dengan cepat, menghilangkan simtom dengan cepat, efektif terhadap parasite resisten
multi-drug semua bentuk/stadium parasit dari bentuk bentuk muda sampai tua yang berkuestrasi
19
pada pembuluh kapiler, menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi, belum ada
resistensi terhadap artemisin, serta efek samping yang minimal (Harijamto, 2011).
Biaya yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya medik langsung (direct medical cost)
yang meliputi biaya pengobatan, biaya perawatan dan biaya laboratorium. Pada kombinasi kina-
primakuin diperoleh direct medical cost per pasien sebesar Rp.1.147.330 dan untuk kombinasi
artesunat-primakuin sebesar Rp 1.056.055. Semua pasien malaria di RSUD Nabire mendapat
bantuan dari pemerintah akan tetapi lebih banyak yang diberikan obat kina dibanding artesunat.
Menurut Koes Irianto (2013) menunjukkan bahwa penggunaan obat kina untuk pengobatan
penyakit malaria sudah resisten.
Berdasarkan hasil yang didapat dari perhitungan ACER, kombinasi kina-primakuin didapat
sebesar Rp.15.523. sedangkan kombinasi artesunat-primakuin didapat sebesar Rp.12.479.
Semakin kecil nilai ACER maka obat tersebut semakin cost-effective,hal ini menunjukkan bahwa
kombinasi artesunat-primkauin lebih cost-effective atau memiliki biaya paling efektif dibanding
kombinasi kina-primakuin. Maksud dari angka-angka ACER adalah setiap peningkatan 1%
efektivitas dibutuhkan biaya sebesar ACER (Tri Murti, 2013). Setiap penigkatan efektivitas pasien
yang menggunakan kombinasi artesunat-primakuin membutuhkan biaya sebesar Rp. 12.479
Selanjutnya untuk perhitungan ICER, didapat hasil negatif yaitu -0.284. Perhitungan ICER
menunjukkan hasil negative atau semakin kecil, maka suatu alternatif obat dianggap lebih efektif
dan lebih murah, sehigga dapat dijadikan rekomendasi pilihan terapi. Hal ini tidak dapat dijadikan
acuan, karena alternatif yang paling cost effective tidak selalu alternatif yang biayanya paling
murah untuk mendapatkan tujuan terapi yang spesifik (Tri Murti, 2013).
20
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi yang lebih cost-effective antara
penggunan antimalaria kombinasi kina-primakuin dan kombinasi artesunat-primakuin pada
pengobatan malaria falciparum di RSUD Nabire yaitu terapi dengan kombinasi artesnuat-
primakuin. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai ACER kombinasi artesunat- primakuin
(12.479) lebih kecil dari nilai ACER kombinasi kina-primakuin (15.523), serta dapat dilihat juga
pada hasil perhitungan nilai ICER yaitu -0.284.
21
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Tri Murti. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Yogyakarta : Bursa Ilmu.
Adjuik M, dkk., 1999. Amodiaquin-artesunat versus amodiaquin for uncomplicated Plasmodium
falciparum malaria in Afrika children.
Bootman, J.L., Townsend R.J., McGhan W.F. 2005. Principles of pharmacoeconomics, 3rd edition.
US : Harvey Whitney Books company.
Depkes RI, 2008. Buku Saku pelayanan kefarmasian untuk penyakit malaria. Jakarta : Direktorat
jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Depkes RI, 2009. Buku Saku Pengendalian dan Pencegahan Malaria : Pedomanan
Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta : Depkes RI.
Harijanto PN dkk. 2010. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi Kedua. Jakarta : EGC.
Harijanto, PN. 2012. Gejala klinik Malaria Dalam Malaria, Epidemiologi, patogenesis,
manifekstasi klinis & penanganan, Ed P.N Harijanto, 2000,cetakan I. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Hassan. 2006. Rasio Efektivitas Biaya Obat Antimalaria Kombinasi Artesunate-Amodiakuin Dan
Kombinasi Sulfadoksin + Pirimetamin Dalam Terapi Malaria Falsiparum. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Hurlock Elizabeth B. 2008. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Koes Irianto. 2013. Parasitologi Medis. Bandung : Alfabeta.
Lorensia, A., dan Doddy, D.Q. 2016. Farmakoekonomi Edisi Kedua. Surabaya : UBAYA.
Prabowo A. 2004. Malaria, Mencegah dan Mengatasinya. Cetakan 1. Jakarta : Puspa Swara
Siregar, R. 2011. Farmasi rumah sakit : Terapi dan Penerapan. Jakarta : Buku kedokteran EGC.
Tjiptoherijanto P, & Soesetyo B. 1994. Ekonomi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Rhineka Cipta.
Tri Murti, A. 2013. Farmakoekonomi Prinsip dan Metodologi. Jogyakarta : Bursa Ilmu.
Trisna, Yilia. 2010. Aplikasi Farmakoekonomi. Materi Perkembangan Farmasi Nasional. Jakarta :
Ikatan Apoteker Indonesia.
Vongenberg, FR. 2001. Introduction To Applied Pharmacoeconomics. USA : Editior: Zollo S.
McGraw-Hill Companies.
22
23