Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

STRATEGI PELAKSANAAN KOMUNIKASI


PADA PASIEN REWEL, MARAH-MARAH DAN KOMPLAIN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Keperawatan


Dosen Pengampu : Ns. Arya Ramadia,M.Kep.,Sp.Kep. J

Oleh :

SUHAYRI SEPRIWANDI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AL INSYIRAH


PROGRAM STUDI S1 KEPERWATAN
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan
antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena
merupakan metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.
Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan
kepedulian sosial yang besar (Abdalati, 1989).
Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup ketrampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam
perilaku “caring” atau kasih sayang / cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
Perawat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja
akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya
masalah legal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan
meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit, tetapi yang paling
penting adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap
sesama manusia.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian komunikasi termasuk
“therapeutic use of self” dan “helping relationship” untuk praktek keperawatan, sikap
dan tehnik serta dimensi hubungan dari komunikasi terapeutik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Komunikasi Terapeutik?
2. Apa saja Tahap-tahap Komunikasi Tarapeutik?
3. Apa saja Teknik-teknik Komunikasi Tarapeutik?
4. Bagaimana Komunikasi Tarapeutik pada Pasien Marah, Rewel dan Komplain?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Komunikasi Tarapeutik
2. Mengetahui Tahap-tahap Komunikasi Tarapeutik
3. Mengetahui Teknik-teknik Komunikasi Tarapeutik
4. Mempelajari cara Komunikasi Tarapeutik pada Pasien Marah, Rewel dan Komplain
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat klien
yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien yang mempengaruhi perilaku
pasien. Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama
dan pengalaman dengan menggunakan berbagai tekhnik komunikasi agar perilaku
klien berubah ke arah positif seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan komunikasi
terapeutik yang efektif perawat harus mempunyai keterampilan yang cukup dan
memahami tentang dirinya.
Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan
Sundeen, 1987, hal. 111) karena :
1. Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik. Dalam
proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan
pikiran.
2. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti,
keberhasilan intervensi keperawatan bergantung pada komunikasi karena proses
keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan
yang normal.
3. Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik
tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi.
Dalam membina hubungan terpeutik dengan klien, perawat perlu mengetahui
proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien
memecahkan masalahnya.
Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan,
penerima pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu pengirim dan
penerima adalah komunikasi yang akan member efek pada perilaku. Pesan yang
disampaikan dapat berupa verbal dan nonverbal. Bermain merupakan cara
berkomunikasi dan berhubungan yang baik dengan klien anak.
Perawat dapat menyampaikan atau mengkaji secara nonverbal antara lain :
Vokal; nada, kualitas, keras ato lembut, kecepatan, yang semuanya menggambarkan
suasana emosi.
1. Gerakan; reflex, postur, ekspresi muka, gerakan yang berulang, atau gerakan-
gerakan yang lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat diartikan sebagai
suasana hati.
2. Jarak (space)
Jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain menggambarkan keintiman.
3. Sentuhan : dikatakan sangat penting, namun perlu mempertimbangkan aspek
budaya dan kebiasaaan.
Agar perawat dapat berperan efektif dalam terapeutik ia harus menganalisa
dirinya : kesadaran diri klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang
bertanggung jawab. Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui kondisi klien jika
tidak ada kemampuan menghargai keunikan klien.
Komunikasi terapeutik tidak dapat berlangsung sendirinya, tetapi harus di
rencanakan, di pertimbangkan dan di lakukan secara profesional. Pada saat pertama kali
perawat melakukan komunikasi terapeutik proses komunikasi umumnya berlangsung
singkat, canggung, semu dan seperti di buat-buat.hal ini akan lebih membantu untuk
mempersepsikan masing-masing hubungan pasien karena adanya kesempatan untuk
mencapai hubungan antar manusia yang positif sehingga akan mempermudah
pencapaian tujuan terapeutik.

2.2 Tahap-Tahap Komunikasi Terapeutik

1. Tahap Persiapan (Prainteraksi)


Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum
berinteraksi dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali
perasaan dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini perawat
juga mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk
pertemuan pertama dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh seorang perawat
untuk memahami dirinya, mengatasi kecemasannya, dan meyakinkan dirinya bahwa
dia siap untuk berinteraksi dengan klien (Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a. Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan
klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani,
2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan interaksi yang akan
dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani, 2005).
b. Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting
dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada
saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai
kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang lain,
keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya dalam
membuka pembicaraan dengan klien dan membina hubungan saling percaya
(Suryani, 2005).
c. Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena
dengan mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien. Paling
tidak perawat bisa mengetahui identitas klien yang bisa digunakan pada saat
memulai interaksi (Suryani, 2005).
d. Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Perawat perlu
merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal yang direncanakan
mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk pertemuan
pertama tersebut (Suryani, 2005).
2. Tahap Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau
kontak dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus
memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani,
2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada
klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani,
2005). Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang
telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka.
Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik
(Stuart,
G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak mungkin
akan terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak. Hubungan yang dibina tidak
bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J dalam
Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling
percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya,
menepati janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005).
b. Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting
untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005).
Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu menjelaskan atau
mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak terjadi kesalah pahaman
klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk menghindari adanya
harapan yang terlalu tinggi dari klien terhadap perawat karena karena klien
menganggap perawat seperti dewa penolong yang serba bisa dan serba tahu
(Gerald, D dalam Suryani, 2005). Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya
membantu, sedangkan kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien
sendiri (Suryani, 2005).
c. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini
perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan
memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat mendorong klien untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi
masalah klien.
d. Merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi
bersama klien karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan
ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.
Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan
seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah
dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan mengevaluasi hasil tindakan yang lalu.
Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama klien (Cristina, dkk,
2002).
3. Tahap Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien
bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap kerja
ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap perasaan dan
pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis
yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal klien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active
listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi,
bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang telah dipilih.

Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien.


Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-
hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide
yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan
adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional yang penting (Fontaine
& Fletcner dalam Suryani, 2005)
4. Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina,
dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart,
G.W dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah
terminasi sementara, perawat akan bertemu kembali dengan klien pada waktu yang
telah ditentukan.Terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses
keperawatan secara keseluruhan.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi
ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh
terkesan menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya terkesan sekedar
mengulang atau menyimpulkan.
b. Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan
perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui
bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Apakah klien
merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien merasa
bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan
masalah baru bagi klien.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini
juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan
harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada
akhir interaksi klien sudah memahami tentang beberapa alternative mengatasi
marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta klien untuk
mencoba salah satu dari alternative tersebut.
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar
terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya.
Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi
perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika hal
tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi dan kecemasan dapat
terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan
perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap kebutuhan klien pada
pelaksanaan tahap sebelumnya.

2.3 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik


1. Bertanya
Bertanya (questioning) merupakan tehnik yang dapat mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Tehnik berikut sering digunakan pada
tahap orientasi.
a. Pertanyaan fasilitatif dan nonfasilitatif
Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya perawat
sensitif terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung berhubungan dengan
masalah klien, sedangkan pertanyaan nonfasilitatif (nonfacilitative question)
adalah pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan pertanyaan yang tidak
fokus pada masalah atau pembicaraan, bersifat mengancam, dan tampak kurang
pengertian terhadap klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005).

b. Pertanyaan terbuka dan tertutup


Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan
jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu
mendorong klien mengekspresikan dirinya (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan
jawaban yang singkat.

c. Inapropriate quantity question


Inapropriate quantity question yaitu pertanyaan yang kurang baik dari sisi jumlah
pertanyaan, yang mengakibatkan klien bingung dalam menjawab. Terlalu banyak
pertanyaan merupakan tindakan yang tidak tepat karena menimbulkan
kebingungan klien untuk menjawab (Long, L dalam Suryani, 2005).

d. Inapropriate quality question


Inapropriate quality question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan pada
klien dan biasanya dimulai dengan kata “why” (mengapa). Why question ini
dipertimbangkan tidak tepat karena :

1) Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah diintimidasi


(Sturat, G.W dalam Suryani, 2005). Hal ini bisa menghambat keterbukaan
klien terhadap perawat.

2) Tidak akan dapat menggali perasaan klien yang sebenarnya karena why
question mengiring klien untuk menjawab secara rasional atau
mengemukakan alasan dari suatu perbuatan atau keadaan, bukan bagaimana
perasaanya terhadap kejadian (Gerald, D dalam Suryani, 2005).

2. Mendengarkan
Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik
(Keliat, Budi Anna, 1992). Mendengarkan adalah proses aktif (Gerald, D dalam
Suryani, 2005) dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang terhadap
pesan yang diterima (Hubson, S dalam Suryani, 2005).
Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibacakan klien
dengan penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak
memotong pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai waktu
untuk mendengarkan (Purwanto, Heri, 1994).
3. Mengulang
Mengulang (restarting) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien.
Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti
pembicaraan klien (Keliat, Budi Anna, 1992). Restarting (pengulangan) merupakan
suatu strategi yang mendukung listening (Suryani, 2005).
4. Klarifikasi
Klarifikasi (clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang
tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya (Gerald, D
dalam Suryani, 2005).
Pada saat klarifikasi, perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan
klien, juga tidak boleh menambahkan informasi (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Apabila perawat menginterpretasikan pembicaraan klien, maka penilaiannya akan
berdasarkan pandangan dan perasaannya. Fokus utama klarifikasi adalah pada
perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam memahami
klien.
5. Refleksi
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan
isi pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian
perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan
penghargaan terhadap klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Tekhnik-tekhnik refleksi terdiri dari: (Keliat, Budi Anna, 1992)
a. Refleksi visi, yaitu memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang
diekspresikan klien dengan pengertian perawat.
b. Refleksi perasaan, yaitu memberi respon pada perasaan klien terhadap isi
pembicaraan, agar klien mengetahui dan menerima perasaanya.
Gunanya adalah untuk :
a. Mengetahui dan menerima ide dan perasaan.
b. Mengoreksi.
c. Memberi keterangan lebih jelas.
Ruginya adalah :
a. Mengulang terlalu sering dan sama.
b. Dapat menimbulkan marah, iritasi, dan frustasi
6. Memfokuskan
Memfokuskan (focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk
membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Dengan demikian akan terhindar dari pembicaraan
tanpa arah dan penggantian topik pembicaraan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengguanakan metode ini adalah usahakan untuk
tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting (Suryani,
2005).
7. Diam
Tehnik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien
sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada
perawat dan klien untuk mengorganisasi pikiran masing-masing (Stuart & Sundeen
dalam Suryani, 2005). Tehnik ini memberikan waktu pada klien untuk berfikir dan
menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan
dukungan, pengertian, dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil
keputusan (Suryani, 2005).
8. Memberi Informasi
Memberikan tambahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan
kesehatan klien. Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau
pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan
penyembuhan klien. Informasi yang diberikan pada klien harus dapat memberikan
pengertian dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu
dalam memberikan alternatif pemecahan masalah (Suryani, 2005).
9. Menyimpulkan
Menyimpulkan (summerizing) adalah tehnik komunikasi yang membantu klien
mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-klien. Tehnik ini membantu
perawat dan klien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri
pertemuan. Poin utama dari menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi yang
telah dilakukan (Murray, B & Judith dalam Suryani, 2005).
Manfaat dari menyimpulkan antara lain : (Suryani, 2005)
a. Memfokuskan pada topik yang relevan.
b. Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi.
c. Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami perasaannya.
d. Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan membuat tambahan atau
koreksi terhadap informasi sebelumnya.
10. Mengubah Cara Pandang
Tehnik mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk memberikan
cara pandang lain sehingga klien tidak melihat sesuatu atau masalah dari aspek
negatifnya saja (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaan
terutama ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau memandang sesuatu dari
sisi negatifnya. Seorang perawat kadang memberikan tanggapan yang kurang tepat
ketika klien mengungkapkan masalah, misalnya menyatakan : “sebenarnya apa yang
anda pikirkan tidak seburuk itu kejadiannya”. Reframing akan membuat klien mampu
melihat apa yang dialaminya dari sisi positif (Gerald, D dalam Suryani, 2005)
sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik dalam
mengatasi masalah yang dihadapinya.

11. Eksplorasi
Eksplorasi bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam
masalah yang dialami klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005) supaya masalah
tersebut bisa diatasi. Tehnik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan
gambaran yang detail tentang masalah yang dialami klien.
12. Membagi Persepsi
Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2005) menyatakan, membagi persepsi (sharing
peception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau
pikirkan. Tehnik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada perbedaan
antara respos verbal dan respons nonverbal klien.
13. Mengidentifikasi Tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu
manangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah untuk
meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting (Stuart & Sadeen dalam
Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk
memfokuskan pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.
14. Humor
Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florence
Nightingale dalam Anonymous (1999) dalam Suryani (2005) pernah mengatakan suatu
pengalaman pahit sangat baik ditangani dengan humor. Humor dapat meningkatkan
kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi.
Dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan :
a. Pada saat klien mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa
menurunkan kecemasan klien.
b. Jika relevan dan konsisten dengan sosial budaya klien.
c. Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.
15. Memberikan Pujian
Memberikan Pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang
didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk
meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien (Gerald, D dalam Suryani,
2005). Reniforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat
nonverbal.

2.4 Komunikasi Terapeutik Mengatasi Pasien Marah, Rewel Dan Komplain

Marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri aktivitas sistem syaraf
simpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat disebabkan
adanya kesalahan. Komplain adalah bentuk ekpresi negatif yang dihasilkan dari
ketidaksesuaian antara kenyataan dan keinginan pasien. Rewel adalah tindakan atau
ekspresi saat mereka ingin menyampaikan apa yang mereka inginkan, dengan
menyampaikan dengan banyak bicara atau dengan sering dan terkadang mengganggu
orang lain. Penyebab Pasien dapat seperti itu antara lain:

1. Faktor fisik
 Kelelahan yang berlebihan

 Adanya zat-zat tertentu yang menyebabkan marah, spt kuranganya zat asam di
otak
 Hormon kelamin, seperti pada waktu wanita menstruasi.

 Umur

2. Faktor psikis
 Rendah hati

 Sombong

 Egoistis

3. Tingkat Pengetahuan/ Pendidikan


Sangat sering terjadi tenaga kesehatan harus menghadapi pasien yang marah
atau menjengkelkan, sebagian merendahkan diri atau sarkastik, sedangkan lainnya
bersikap menuntut, agresif, dan terang-terangan memperlihatkan sikap bermusuhan.
Terkadang pasien mengucapkan teguran yang tidak pantas yang bersifat merendahkan
pemula atau bahkan dokter yang sudah berpengalaman. Tenaga kesehatan mungkin
merasa sebal, marah, kewibawaannya terganggu, tidak sabar, atau frustasi.

Tenaga kesehatan harus menyadari bahwa reaksi ini adalah respons pasien
terhadap penyakitnya, dan belum tentu menunjukkan respons terhadap pewawancara.
Tiap pewawancara harus menyadari bahwa emosi yang sama seperti marah, iri, atau
takut ada pada kedua belah pihak, pasien dan tenaga kesehatan yang menanganinya.
Seorang pasien dapat mengungkapkan perasaannya kepada tenaga kesehatan, yang
harus bertindak secara professional dan obyektif, dan tidak merasa diserang atau
menjadi defensif.

a. Pasien dalam Keadaan Marah


Terkadang kita segera merasa benci kepada pasien yang marah-marah. Tetapi
membenci pasien berlawanan dengan segala sesuatu yang telah diajarkan kepada kita.
Karena penyakitnya, pasien mempunyai perasaan hilang kendali, kewibawaan
terganggu, dan takut. Kemarahannya adalah mekanisme untuk mengatasi perasaan
takutnya.

Konfrontasi dapat menjadi teknik yang berguna untuk berbicara atau


mewawancarai pasien seperti itu. Dengan mengatakan “Anda kelihatan sangat
marah” , Anda membuat pasien dapat melepaskan sebagian ketakutannya. Cara
konfrontasi lainnya adalah dengan mengatakan, “Anda jelas merasa marah mengenai
sesuatu hal. Beritahukanlah kepada saya hal yang salah menurut Anda.” Anda harus
mempertahankan ketenangan hati Anda dan jangan menjadi defensif. Jika pada awal
wawancara Anda mengetahui bahwa pasien sedang marah, berusahalah untuk
menghilangkan perasaan tersebut. Ajukanlah pertanyaan- pertanyaan Anda dengan
perlahan-lahan

Pasien marah karena berbagai alasan, tapi terutama karena kebutuhan, gagasan,
dan pengharapan mereka tidak terpenuhi. Karena itu kunci utama meredam kemarahan
pasien adalah dengan berusaha memenuhi kebutuhan, gagasan dan pengharapan
mereka.

b. Sikap dan Cara Menghadapi Pasien yang Marah


Pasien yang marah ingin:
1. Didengarkan

2. Dimengerti.

3. Dihormati

4. Diberi permintaan maaf

5. Diberi penjelasan

6. Ada tindakan perbaikan dalam waktu yang tepat

Berikut ini sikap dan cara meredam kemarahan pasien.


1. Dengarkan.

 Biarkan pasien melepas kemarahannya. Cari fakta inti permasalahannya,


jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan dengan perasaan dan
emosi, bukan sesuatu yang rasional. Emosi selalu menutupi maksud pasien
yang sesungguhnya.
 Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi pasien yang
lelah, gelisah, sakit, khawatir akan vonis dokter, dll.
 Fokus. Jauhkan semua hal yang merintangi konsentrasi kita pada pasien
(telepon, tamu lain, dll).
 Ulangi setiap fakta yang dikemukakan pasien, sebagai tanda kita
benar-benar mendengarkan mereka.
2. Berusaha sependapat dengan pasien.

 Bukan berarti kita selalu membenarkan pasien, namun sebagai salah satu
taktik meredakan marahnya pasien, kita mencari point-point dalam
pernyataan pasien yang bisa kita setujui. Misalnya, “Ya Pak, saya
sependapat bahwa tidak seharusnya pasien menunggu lama untuk bisa
mendapatkan kamar. Tapi saat ini kamar perawatan kami memang sedang
penuh, kami berjanji akan mencari jalan keluarnya dan melaporkannya pada
Bapak sesegera mungkin.”
3. Tetap tenang dan kuasai diri.
 Ingatlah karakteristik pasien di rumah sakit adalah mereka yang sedang
cemas, gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau keluarganya, sehingga
sangat bisa dimengerti bahwa dalam kondisi seperti itu seseorang cenderung
bertindak emosional.
 Berhati-hati dengan nada suara, harus tetap rendah, positif dan
menenangkan. Jangan terbawa oleh nada suara pasien yang cenderung
tinggi dan cepat.
 Sampaikan informasi dengan sopan dan pelan-pelan.

 Tetap gunakan kata-kata hormat seperti silakan, terimakasih atas


masukannya, dan sebut pasien dengan namanya.
c. Pasien Agresif
Pasien agresif adalah pasien dengan gangguan kepribadian. Individu ini mudah
menjadi jengkel dan sering marah bila berhadapan dengan stress yang normal dalam
kehidupan sehari-hari. Ia secara kuat mendominasi dan berusaha mengendalikan
keadaan. seringkali, pasien yang agresif mempunyai ketergantungan yang kuat yang
tidak dapat diatasinya secara sadar. Ia menutupi masalah utaman dengan menjadi
agresif dan bermusuhan untuk menyembunyikan kecemasan dan perasaan tidak
mampu dan rendah diri. Pasien agresif sulit untuk ditangani, kita harus berhati-hati
untuk menjauhi topik-topik yang menimbulkan kecemasannya. Sewaktu hubungan
yang baik dapat dijalin, tenaga kesehatan dapat berusaha menyelidiki bidang-bidang
yang lebih dalam. Pada umumnya, pasien agresif akan menolak segala macam
psikoterapi.

d. Sikap dan Cara Menghadapi Pasien yang Agresif

1. Cari Pendamping

Ketika Anda takut terhadap pasien yang agresif, carilah teman untuk menemi
Anda ketika menghadapi pasien tersebut. Anda akan lebih tenang dan
ketenangan anda akan memberikan efek positif untuk pasien.

2. Tetap Tenang

 Berbicaralah secara pelan dan sopan ke pasien.


 Jangan memperlihatkan kemarahan kita karena hal ini akan
memperburuk suasana.
 Jangan berdebat dengan mereka dan jangan menyetujui perkataan
mereka jika mereka mempunyai delusi atau ide-ide aneh.
 Jangan menginimidasi pasien.

3. Sikap Tubuh

 Duduklah dengan relaks.

 Ketika mengobrol jangan selalu melihat ke mata pasien karena mereka


akan merasa terancam.

2.5 Contoh Roleplay Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Rewel, Marah, Dan
Komplain

Di suatu rumah sakit, ada seorang pasien yang sudah berumur 50 tahun dengan
diagnosa Maag Akut. Pasien cenderung sering marah dan mengkomplain segala
sesuatu nya termasuk soal makanan nya. Pada suatu pagi ada dua orang perawat muda
yang sedang magang berdinas di jam pagi sampai siang, mahasiswi perawat Reina dan
perawat Init.

Pagi itu di ruang rawat inap pasien sudah ngomel – ngomel dengan keluarga
dan ART (asisten rumah tangga). Pasien merasa makanan di Rumah sakit tidak enak
dan tidak ia sukai. Pasien pun ingin makan dengan makanan yang di larang karena
penyakitnya.

Pasien : Kenapa sih makanan nya begini, bubur, dan ikan seperti ini?
Anak pasien : Mah, inikan memang aturan dari rumah sakit yang harus mama
makan sesuai dengan keadaan mama sekarang.

Pasien : Mamah nggak suka, tolong belikan ibu nasi kuning di luar sana.

Fase Orientasi

Pagi itu pukul 07.30WITA di rumah sakit tersebut dua orang


perawat yang sedang berdinas tersebut menghampiri pasien tersebut.

Perawat 1 : Selamat pagi... (tersenyum)


Anak pasien : Selamat pagi suster..(tersenyum)

Perawat 1 : Permisi .. apa betul ini, keluarga dari pasien yang ada di
kamar ini? Anak Pasien : Iya benar, saya anak dari pasien
ini.
Perawat 2 : Sebelumnya apakah ibunya sering mengeluhkan sesuatu kepada
adek. ?

Anak pasien: Selama saya disini ibu saya sering marah-marah dan cerewet sus.
Perawat 2 : Baik kalau begitu kami akan langsung memeriksa ibu ya.
Anak pasien : Iya silahkan.
Perawat 1 : Permisi , selamat pagi ibu..(tersenyum)
Pasien : Selamat pagi suster..(tersenyum)
Perawat 1 : Baik ibu.. perkenalkan nama saya Perawat 1 dan rekan saya Perawat 2.
Kami mahasiswa magang di rumah sakit ini, saya dan rekan saya
berdinas dari pukul 7 sampai jam 2 siang.”

Perawat 2 : Boleh sebutkan nama dan tempat tanggal lahir Ibu?”


Pasien : Saya Thabita Yovi Sri Dayanti, lahir di Jakarta, 08 November 1968.
Perawat 1 : Baik bu saya dan rekan saya disini ingin melakukan tindakan yang
biasanya dilakukan setiap pagi dan siang yaitu mengukur TTV atau
Tekanan Darah, Pernapasan, Nadi, Suhu Badan. Untuk mengetahui
normal nya bu”

Pasien : Oh iya sus..


Perawat 2 : Sebelumnya ada yg ingin ditanyakan bu?
Pasien : Tidak sus.
Perawat 2 : Baik bu, sekarang kita akan cek keadaan ibu dulu ya.
Pasien : Iya suster.
Fase Kerja
Perawat pun melakukan pengecekan seperti TTV dan lain-lain, saat mengecek
tekanan darah pasien, pasien teriak kesakitan

Pasien : Aduuuuh sakit sus pelan-pelan. Perawat 1 : Iya maaf bu, ini sudah pelan-
pelan.
Pasien : Sus, saya boleh ga makan makanan yang di luar, bukan anjuran rumah
sakit?
Perawat 2 : Ibu mau nya makan apa bu?
Pasien : Saya mau makan nasi kuning iwak hintalu sus ai kada biasa makan bubur”
Perawat 1 : Begini bu, ibu kan sedang sakit, maag kambuh, jadi untuk sementara
ibu harus makan makanan yg dianjurkan rumah sakit bu. Ibu boleh
makan nasi kuning tapi tunggu sehat ya bu, kalo misalkan tidak bisa
makan bubur dan minta untuk ganti menu nanti kita bicarakan dengan
Bagian Gizi dulu ya, Bu. Karena pasien maag tidak bisa makan
makanan yg sifat nya keras bu jadi harus lembek dulu. Atau ibu
aplikasikan dengan bubur dan soup biar nafsu makannya bertambah
ya, Bu.

Pasien : Kok gitu sih sus, saya kan bosan makan-makanan itu aja saya juga mau
makan makanan yang lain juga.

Perawat 2 : Iya ibu, maka dari itu usahakan dibiasakan terlebih dulu ya bu, biar
cepat sembuh jadi bisa makan nasi kuning sarapan nya.
Pasien : Baik lah kalau begitu sus.
Perawat 1 : Lalu apa lagi yang ibu rasakan saat ini?
Pasien : Perut saya masih terasa nyeri dan tubuh saya lemas, saya juga merasa
pelayanan di rumah sakit ini sangat kurang terhadap pasien yang seperti
saya”.

Perawat 2 : (diam, dan tersenyum mendengarkan keluhan si pasien)

Pasien : Kadang saya pencet bel perawat nya lama untuk datang.(judes)
Perawat 1 : “Oh iya ibu maaf sebelumnya untuk menangani pasien
sangat banyak ya bu, dan kaka perawat sedang sibuk setiap waktunya.

Perawat 2 : Tetapi kami akan berusaha untuk lebih baik lagi dan tepat waktu
ya bu. Pasien :(mengaguk sambil melihat sekitarnya)

Fase Terminasi
Perawat 2 : Baik bu kami sudah selesai, kami akan kembali ke kantor perawat
misalkan ada hal yang di perlukan dan untuk infus ibu ini mau habis ya
bu, bisa pencet tombol disebelah kanan ibu, kami akan segera datang.

Pasien : Iya sus..terimakasih banyak.

Perawat1 : Baik bu saya permisi. Dek saya dan rekan saya permisi, untuk infus
sambil diperhatikan ya jangan sampai habis nanti darah nya akan naik.

Anak Pasien: Baik, terimakasih sus..

Percakapan Terapeutik telah selesai dan berakhir maka kesimpulan nya adalah
akhirnya pasien mengerti dengan apa yang dijelaskan kedua perawat tadi sehingga
pasien dapat mengaplikasikan nya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan


kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan
tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan
komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan
bagi perawat.
Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaanya
diperhatikan sikap dan tehnik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting
diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan factor penunjang yang
sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.
Sikap dan cara meredam kemarahan pasien.
1. Dengarkan.
Biarkan pasien melepas kemarahannya. Cari fakta inti permasalahannya,
jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan dengan perasaan dan emosi, bukan
sesuatu yang rasional. Emosi selalu menutupi maksud pasien yang sesungguhnya.
Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi pasien yang lelah,
gelisah, sakit, khawatir akan vonis dokter, dll. Fokus. Jauhkan semua hal yang
merintangi konsentrasi kita pada pasien (telepon, tamu lain, dll).
2. Berusaha sependapat dengan pasien.
Bukan berarti kita selalu membenarkan pasien, namun sebagai salah satu taktik
meredakan marahnya pasien, kita mencari point-point dalam pernyataan pasien yang
bisa kita setujui. Misalnya, “Ya Pak, saya sependapat bahwa tidak seharusnya pasien
menunggu lama untuk bisa mendapatkan kamar. Tapi saat ini kamar perawatan kami
memang sedang penuh, kami berjanji akan mencari jalan keluarnya dan
melaporkannya pada Bapak sesegera mungkin.”

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi:

1. Swartz, M. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC.

2. Pramesti, D. n.d. Mengangani Keluhan Customer (Rumah Sakit). [Pdf]


Jogja: Available through:
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/menangani%20keluhan
%20customer.pdf

3. King, H. V. n.d. Handling Violent or Aggressive Patients : A Plan for Your


Hospital. [Pdf] Available through:
http://www.kznhealth.gov.za/family/pres14.pdf
4. https://www.academia.edu/7527979/KOMUNIKASI_PADA_SITUASI_KHUS
US

5. Dalami,Ermawati.2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan.


Jakarta : Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai