Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah : Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing : Ns. Sri Sakinah, S.Kep., M.Kep

EFEK KONDISI KRITIS TERHADAP PASIEN DAN KELUARGA


ISSUE END OF LIFE DI KEPERAWATAN KRITIS

KELOMPOK 2

MARIANA 201801103
MULHAERI 201801104
NURANI ST. JUWAERIYAH 201801009
RESKY SHAFA 201801011
PUTRI MUSTHARI MAKMUR 201801100
PENA MELINDAH 201801102

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS JENJANG STRATA SATU (S1)


ITKes MUHAMMADIYAH SIDRAP
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah
dengan judul Efek Kondisi Kritis Terhadap Pasien Dan Keluarga, Issue End
Of Life sebagai tugas mata kuliah Keperawatan Kritis.
Pembuatan makalah ini tidak akan terlaksana tanpa adanya kerjasama,
bantuan, dukungan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang membantu penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari makalah ini banyak kekurangan, untuk itu penyusun
mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
ini, yang diharapkan dapat menjadi perbaikan kami di masa mendatang.
Demikian makalah ini disusun, apabila banyak kesalahan penyusun mohon
maaf dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Pangkajene, 02 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I TINJAUAN PUSTAKA


LATAR BELAKANG ..................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN TEORI


A. EFEK KONDISI KRITIS PADA PASIEN ......................................... 2
B. EFEK KONDISI KRITIS PADA KELUARGA ................................. 5
C. ISSUE END OF LIFE DI KEPERAWATAN KRITIS ....................... 8

BAB III PENUTUP


KESIMPULAN ................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17

ii
BAB I
LATAR BELAKANG

Kondisi kritis merupakan suatu kondisi krusial yang memerlukan


penyelesaian atau jalan keluar dalam waktu yang terbatas. Pasien kritis adalah
pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung
pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi. Pasien dalam kondisi gawat
membutuhkan pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Suatu
perawatan intensif yang menggabungkan teknologi tinggi dengan keahlian khusus
dalam bidang keperawatan dan kedokteran gawat darurat dibutuhkan untuk
merawat pasien yang sedang kritis (Vicky, 2011).
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan
yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien
yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang potensial
mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana-prasarana serta peralatan khusus
untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan ketrampilan staf
medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-
keadaan tersebut (Kemenkes, 2011).
Intensive care mempunyai 2 fungsi utama, yaitu yang pertama untuk
melakukan perawatan pada pasien-pasien gawat darurat dan untuk mendukung
organ vital pada pasienpasien yang akan menjalani operasi yang kompleks elektif
atau prosedur intervensi dan risiko tinggi untuk fungsi vital. Keperawatan kritis
termasuk salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang secara khusus
menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam hidup. Seorang
perawat kritis bertanggung jawab untuk menjamin pasien yang kritis di Intensive
Care Unit (ICU) beserta keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan yang
optimal (Dossey, 2002).

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. EFEK KONDISI KRITIS TERHADAP PASIEN


Pasien kritis adalah pasien yang memiliki besar kemungkinan menjadi sangat
rentan, tidak stabil, dan kompleks sehingga memerlukan perawatan intensif dan
asuhan keperawatan (Nurhadi, 2014). Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi
atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan
peralatan monitoring dan terapi. Area keperawatan kritis melibatkan keluarga
karena keluarga dapat menjadi bagian integral dari perawatan pasien di ICU dan
mempengaruhi kesembuhan pasien.
Pasien kritis dapat diketahui dari beberapa prioritas tanda dan gejala berikut :
1. Pasien prioritas 1 :
- Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis,
- Tidak stabil, yang memerlukan perawatan inensif ,dengan bantuan
alat-alat ventilasi, monitoring, dan obat – obatan vasoakif kontinyu dan
lain-lain.misalnya pasien bedah kardiotorasik,atau pasien shock septic
dengan pertimbangan derajat hipoksemia, hipotensi, dibawah tekanan
darah tertentu.
2. Pasien prioritas 2 :
- Pasien ini memerluakn pelayanan pemantauan canggih dari icu.
jenis pasien ini beresiko sehingga memerlukan terapi segera,karenanya
pemantauan intensif menggunakan metoda seperti pulmonary arteri
cateteter sangat menolong; misalnya pada pasien penyakit jantung,
paru, ginjal, yang telah mengalami pembedahan mayor (pasien
prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya).
3. Pasien prioritas 3 :
- Pasien sakit kritis dan tidak stabil, dimana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya, baik
masing – masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan
sembuh dan atau mendapat manfaat dari terapi icu.

2
Adapun efek psikologis terhadap pasien kritis antara lain:
1) Stres akibat kondisi penyakit
Stress: muncul apabila pasien dihadapkan dengan stimulus yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi fisiologis dan
psikologis.

Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian


kualitatif pada pasien yang dirawat diruang ICU menemukan bahwa
pasien mengalami stres yang berhubungan dengan 3 tema besar, yaitu:
a. Stres berkaitan dengan tubuh mereka
b. Stres berkaitan dengan ruangan ICU
c. Stres berkaitan dengan relationship dengan orang.
2) Rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam (kematian)
Kecemasan yaitu penyebab: perasaan terisolasi, dan perasaan kesepian.
Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami hal-hal:
a. Ancaman ketidakberdayaan
b. Kehilangan kendali
c. Merasa kehilangan fungsi dan harga diri
d. Pernah mengalami kegagalan pertahanan
e. Rasa isolasi
f. Rasa takut sekarat

3
Respon terhadap kecemasan:
a. Respon fisologis: frekuensi nadi cepat, peningkatan tekanan darah,
peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, mulut kering, dan
vasokontriksi perifer dapat tidak terdeteksi
b. Respon sosiopsikologis : respon perilaku yang menandakan
kecemasan seringkali didasari oleh sikap keluarga dan budaya.
3) Depresi
Depresi (major depressive disorder) adalah gangguan mood atau
suasana hati berupa penurunan perasaan (mudah sedih, marah atau
tersinggung), penurunan motorik (kehilangan motivasi juga
ketertarikan terhadap segala hal) dan penurunan proses berpikir
(bersikap apatis dan putus asa seakan tak layak lagi untuk hidup).
Depresi berbeda dengan fluktuasi mood yang dialami banyak orang
sebagai bagian dari kehidupan normal. Respons emosional sementara
seperti bersedih atau berduka.
4) Perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional (perasaan
Isolasi).
Adapun efek non psikologis terhadap pasien kritis antara lain:
1) Ketidakberdayaan
2) Pukulan (perubahan) konsep diri
3) Perubahan citra diri
4) Perubahan pola hidup
5) Perubahan pada aspek sosial-ekonomi (pekerjaan, financial pasien,
kesejahteraan pasien dan keluarga)
6) Keterbatasan komunikasi (tidak mampu berkomunikasi).

Peran Perawat pada pasien kritis:


a) Menciptakan lingkungan yang menyembuhkan
b) Menumbuhkan rasa percaya
c) Memberikan informasi
d) Memberikan kendali

4
e) Kepekaan budaya
f) Kehadiran dan penenangan
g) Teknik kognitif

B. EFEK KONDISI KRITIS TERHADAP KELUARGA


Efek kondisi kritis pada keluarga:
a. Stres. Stresor dapat berupa: fisiologis (trauma, biokimia, atau lingkungan),
psikologis (emosional, pekerjaan, sosial, atau budaya)
b. Rasa takut dan kecemasan
c. Peralihan tanggung jawab
d. Masalah keuangan
e. Tidak adanya peran social
Adapun efek psikologis terhadap keluarga:
1) Stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga), prosedur
penanganan yang diberikan kepada pasien.
2) Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien (anggota
keluarga).
3) Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga) (Hudak &
Gallo, 1997)
Respon keluarga merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan.
a. Stress
Stress adalah suatu kondisi secara psikologis dimana seseorang merasakan
tertekan dan ingin menyerah. Penyebab stress inilah disebut dengan stressor.
Stressor ini dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Jangka pendek yaitu stressor yang di alami keluarga yang memperlukan
penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan
2) Jangka Panjang yaitu stressor yang di alami keluarga yang memperlukan
penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan.

5
Penyebab stress pada keluarga ini dapat berasal dari :
1) Kondisi keluarga yang masuk ICU dan tidak dapat mengunjungi keluarga
karena ruangan intensif.
2) Keluarga tidak mampu beradaptasi dengan stressor yang dimiliki yaitu
memikirkan kondisi pasien yang berada di ICU.
3) Keluarga merasa takut akan kematian atau kecacatan tubuh yang terjadi
pada pasien yang sedang dirawat di ICU.
4) Masalah keuangan tarif di ruang ICU relatif mahal.

b. Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang tidak senang dan tidak nyaman sehingga
orang-orang berusaha untuk menghindarinya (Stuart, 2009). Penyebab kecemasan
dapat berasal dari perilaku (Behaviour). Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan
akan meningkat melalui konflik yang terjadi sehingga tercipta persepsi dan
menuju rasa tidak berdaya. Kecemasan dapat menimbulkan berbagai respon,
diantaranya:
1) Kognitif: Gangguan kognitif merupakan gangguan pada proses berpikir,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan mengingat.
2) Psikomotor: Gangguan psikomotor merupakan gangguan yang terjadi saat
melakukan aktivitas fisik.
3) Fisiologis: Gangguan fisiologis merupakan gangguan fungsi tubuh yang
mendukung kehidupan.
4) Perasaan Tidak Nyaman: Perasaan tidak nyaman terjadi ketika seseorang
merasa berada di dalam bahaya.

c. Traumatis
Traumatis berkaitan erat dengan pengalaman yang dilalui seseorang yang
bersifat psikis hingga memberikan dampak yang negatif pada dirinya untuk
sekarang dan masa depan. Trauma psikologis akan terus terbayang selama hidup
jika individu tersebut tidak menemukan dukungan. Dukungan yang diperlukan
biasanya berasal dari keluarga dan teman-teman terdekat. Traumatis adalah sikap

6
dengan dukungan keluarga pasien dapat menurunkan level kecemasan dan
meningkatkan level kenyamanan ( Holly, 2012).
Menurut Mc Adam,dkk (2008) peran keluarga :
a) Active Presence (keluarga berada di sisi pasien)
b) Protector (Memastikan perawatan terbaik)
c) Facilitator( memberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhan pasien)
d) Historian ( Sumber informasi )
e) Coaching ( Pendukung pasien )

Sedangkan efek non psikologis terhadap keluarga:


1) Perubahan struktur peran dalam keluarga
2) Perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
3) Terbatasnya komunikasi dan waktu bersama
4) Masalah financial keluarga
5) Perubahan pola hidup keluarga

Sakit kritis merupakan kejadian yang tiba-tiba dan tidak diharapkan serta
membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga yang mengancam keadaan stabil.
Stress dan penyakit merupakan efek dari kondisi kritis terhadap pasien. Stress
didefinisikan sebagai suatu stimulus yg mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi
fisiologis dan psikologis.
Pada kenyataannya, bahwa dengan diterimanya pasien di ICU menjadikan
tanpa adanya ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada semua individu
yang dirawat. Di sisi lain, perawat keperawatan kritis merasakan bahwa unit
keperawatan kritis merupakan tempat di mana hidup dengan kewaspadaan. Di sisi
lain juga pasien dan keluarga merasa bahwa diterimanya di ICU sebagai tanda
akan tiba kematian karena pengalaman mereka sendiri atau orang lain. Karena
perbedaan persepsi tentang perawatan kritis antara pasien, keluarga, dan perawat,
maka terputusnya komunikasi kedua pihak harus diantisipasi.
Peran sakit pada pasien yang sering ditemukan adalah peran tidak berdaya.
Stres karena penerimaan peran sakit, ketidakberdayaan dapat menyebabkan

7
terputusnya komunikasi antara pasien dan perawat. Ketidakberdayaan sering
dihubungkan dengan ansietas yang menjelaskan bahwa mengalami kemunduran
pada pasien dewasa.
Berbagai macam perilaku koping pasien seperti mengingkari, marah, pasif,
atau agresif umumnya dapat dijumpai pada pasien. Upaya koping pasien mungkin
efektif atau tidak efektif dalam mengatasi stres dan ini mengakibatkan ansietas.
Jika perilaku koping efektif, energi dibebaskan dan diarahkan langsung ke
penyembuhan. Jika upaya koping gagal atau tidak efektif, maka keadaan tegang
meningkatkan dan terjadi peningkatan kebutuhan energi.
Hubungan antara stres, ansietas, dan mekanisme koping adalah kompleks dan
ditunjukkan secara kontinyu dalam berbagai situasi keperawatan kritis. Tingkat
stres yang ekstrem merusak jaringan tubuh dan dapat mempengaruhi respon
adaptif jaringan patologis. Jika koping tidak efektif, ketidakseimbangan dapat
terjadi dan respon pikiran serta tubuh akan meningkat berupaya untuk
mengembalikan keseimbangan.

C. ISSUE END OF LIFE DI KEPERAWATAN KRITIS


End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,2016). End of
life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di
bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,2015). End of life
akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada
dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan
dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut.
End of life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of life care
bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan meninggal
dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan
membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015).
Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupaka salah satu tindakan
keperawatan yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya,

8
tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya
selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.
End of Life Care diberikan pada pasien yang menjelang meninggal atau
fase kritis dengan menerapkan Teori Peaceful End of Life. (Ruland & Moore,
1998 dalam Aligood & Tomey, 2014). Teori ini terdiri dari konsep persiapan
yang baik dalam menghadapi kematian. Intervensi dalam konsep teori ini
dilakukan yang bertujuan pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman,
merasa dihargai, dihormati dan berada dalam kedamaian dan ketenangan juga
merasa dekat dengan orang dirawatnya.
Beberapa kesulitan perawat dalam pendampingan pasien terlantar yang
menjelang ajal yaitu banyaknya pasien yang dalam kondisi emergency yang
dilakukan tindakan terlebih dahulu. Perawatan pasien dalam tahap End of Life,
yang membutuhkan penanganan yang bertujuan untuk memberikan rasa
nyaman, ketenangan, kedekatan suport sosial (Beckstrand et.al, 2012, Decker,
et.al, 2015). Perawatan pasien yang menjelang fase End of Life melibatkan
berbagai displin yang meliputi pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter
(dokter ahli atau dokter umum yang berfokus pada perawatan yang holistic
meliputi fisik, emosional, sosial, dan spiritual. (Hockenberry &Wilson, 2005).
Perawat harus tetap bersikap profesional menghormati harkat dan martabat
pasien dalam memberikan perawatan. Konflik batin, emosi, perasaan hati
tersentuh muncul dengan melihat kondisi pasien terlantar menjelang ajal.

1) Prinsip-Prinsip End Of Life Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of


Life antara lain :

a) Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian

Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun


ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk
memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan
untuk mendukung orang lain dalam melakukannya.

9
b) Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk
diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka. Mereka
memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam
memperpanjang hidup. Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan
hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan
pedoman.
c) Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan
pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama
perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka
menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin
diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
d) Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama
untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisadalam
pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
e) Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses
pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien
dan akurat didokumentasikan.
f) Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan
harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi
medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.
g) Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang
tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.
Pasien memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga
kesehatan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang

10
sesuai dengan norma-norma profesional dan standar hokum
h) Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam
memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of
life baik kepada pasien maupun kepada keluarga.

2. Teori The Peaceful End of Life (EOL)


Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama dalam perawatan
end of life pasien yaitu :
a) Terbebas dari Nyeri : Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal
yang utama diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End
Of Life). Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman
emosi yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan
(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).
b) Pengalaman Menyenangkan : Nyaman atau perasaan menyenangkan
didefinisikan secara inclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari
ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai, dan apapaun yang
membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and Moore, 1998).
c) Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan : Setiap akhir penyakit
pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai sebagai manusia” (Ruland &
Moore, 1998). Di konsep ini memasukkan ide personal tentang nilai,
sebagai ekspresi dari prinsip etik otonomi atau rasa hormat untuk orang,
yang mana pada tahap ini individu diperlakukan sebagai orang yang
menerima hak otonomi, dan mengurangi hak otonomi orang sebagai awal
untuk proteksi (United states, 1978).
d) Merasakan Damai : Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan
perasaan puas, (bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan
ketakutan” (Ruland & Moore, 1998). Tenang meliputi fisik, psikologis,
dan dimensi spiritual.
e) Kedekatan untuk kepentingan lainnya : Kedekatan adalah “perasaan
menghubungkan antara antara manusia dengan orang yang menerima

11
pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini melibatkan kedekatan fisik dan
emosi yang diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat
(intim).

3. Issue End of Life


1) Hak untuk Menolak Perawatan Medis
Menurut Urden (2010), hak untuk menyetujui dan informed consent
didalamnya mencakup penolakan treatement. Pada banyak kasus,
keputusan seseorang yang dianggap kompetern untuk menolak perawatan
sekalipun perawatan ini ditujukan untuk penyelamatan jiwa, namun hal ini
tetap dihargai. Hak untuk menolak perawatan tidak diterima pada beberapa
situasi, mencakup di dalamnya adalah :
a. Perawatan berhubungan dengan penyakit menular yang dapat
mengancam kesehatan publik
b. Penolakan untuk melanggar standar etik

c. Treatement harus diberikan, untuk mencegah pasien bunuh diri


dan mempertahankan kehidupan.

Pada saat pasien menolak suatu perawatan, masalah etik, legal, dan
praktik menjadi meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki
kebijakan spesifik terkait permasalahan tersebut.

2) Penahanan atau Pengakhiran Terapi (Withholding and Withdrawing


Treatement)
Seperti penjelasan sebelumnya, telah disampaikan bahwa orang
dewasa memiliki hak untuk menolak perawatan, meskipun tujuan dari
perawatan tersebut untuk mempertahankan kehidupan. Namun, hal ini
akan menjadi masalah jika pasien tersebut kehilangan
kompetensi/kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa
disebabkan karena semakin memburuknya keadaan pasien.
Namun, dewasa ini rekomendasi penghentian terapi dapat diberikan
oleh petugas kesehatan pada kasus-kasus tertentu, yang menjadi

12
permasalahan adalah ketika keluarga tidak menyetujui dan tetap ingin
melanjutkan terapi. Pemberi perawatan kesehatan juga tidak mempunyai
jalan legal untuk melawan keluarga yang menolak mencabut bantuan
hidup kecuali sebelumnya pasien sudah meninggalkan petunjuk tertulis
pada saat pasien masih kompeten (Morton & Fontaine, 2009).
3) Advance Directives : Living Will and Power of Attorney
Menurut (Richard, 2011) advances directive merupakan instruksi
spesifik yang dipersiapkan pada penyakit serius yang sudah lanjut.
Dimaksudkan untuk menuntun pelayan kesehatan berdasarkan keinginan
pasien jika suatu saat pasien tidak kompeten/mampu lagi untuk
menyatakan pilihan atau mengambil keputusan terkait perawatan
kesehatannya. Adapun keputusan tersebut seperti hal nya sebagai berikut:
a) Penggunaan cairan intravena dan pemberian nutrisi secara
parenteral

b) Resusitasi kardiopulmonal

c) Penggunaan untuk upaya penyelamatan hidup ketika


kemampuan pasien mengalami gangguan. Misal : kerusakan
otak, demensia, ataupun stroke
d) Prosedur spesifik, contoh : transfusi darah

Menurut Morton (2012), living will merupakan bentuk arahan


tertulis dari seorang pasien yang kompeten pada keluarga dan anggota
tim perawatan kesehatan mengenai keinginan pasien apabila pasien tidak
lagi dapat menyatakan keinginannya. Sedangkan Power of Attorney,
merupakan dokumen legal dimana pasien menunjuk orang yang diberi
tanggung jawab dan diberi kekuatan untuk membuat keputsan mengenai
pelayanan kesehatan jika pasien sudah tidak dapat lagi membuat
keputusan dan tidak dapat berkomunikasi lagi.

13
Perawat kritis harus mampu menjelaskan sebaik-baiknya kepada
pasien dan keluarga terkait living will maupun power of attorney dan
dalam hal ini perawat dapat berperan sebagai advokat klien.
4) Do Not Resusitation (DNR)
Menurut Morton & Fontaine (2009), angka keberhasilan RJP pada
pasien rawat inap sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh lingkungan
pasien dan faktor resusitatif. Akan tetapi, RJP tidak selalu tepat untuk
dilakukan ke semua pasien, karena sifatnya yang invasif dan dapat
bermakna sebagai suatu pelanggaran hak individu untuk meninggal secara
bermartabat. Oleh karena itu, RJP bisa tidak diindikasikan pada pasien-
pasien yang mengalami kasus ireversibel, penyakit yang terminal, dan saat
pasien tidak mendapat manfaat apapun dari tindakan ini.
Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas
mengenai tindakan DNR tersebut. Menurut Urden (2011) , aturan
mengenai DNR tersebut, harus diatur dalam suatu kebijakan tertulis yang
mencakup hal- hal dibawah ini :
a) Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang
bertanggung jawab
b) Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari
dokter yang lain
c) Kebijakan DNR harus ditinjau ulang secara berkala

d) Pasien yang masih memiliki kemampuan harus memberikan


informed consent
e) Pada pasien yang tidak memiliki kemampuan, dapat diwakilkan
oleh keluarganya.
5) Kematian Otak
Menurut Morton & Fontaine (2012), pasien yang mengalami
kematian otak secara legal telah meninggal, dan tidak ada kewajiban legal
untuk memberikan terapi pada pasien tersebut. Tidak diperlukan
persetujuan hukum untuk menghentikan bantuan hidup pada seorang
pasien yang mengalami kematian otak. Selanjutnya, meskipun lebih

14
diharapkan mendapatkan izin keluarga untuk menghentikan terapi pada
pasien yang mengalami kematian otak, namun tidak ada keharusan.
Di Indonesia sendiri kematian otak diatur dalam UU Kesehatan No 36
Tahun 2009 yang berbunyi “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi
sistem jantung-sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti
secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dibuktikan.
6) Donasi Organ
Menurut Dewi (2008), hukum memandang transplantasi adalah suatu
usaha yang baik dan mulia di dalam upaya menyehatkan dan
menyejahterakan manusia, walaupun jika dilihat dari tindakannya adalah
tindakan melawan hukum berupa penganiayaan.
Donasi organ di Indonesia diatur dalam UU Kesehatan No .36 Tahun
2009. Dalam UU ini dijelaskan bahwa tubuh yang telah mengalami mati
batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ untuk
kepentingan transplantasi organ. Tindakan transplantasi organ dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
Ketentuan UU ini juga diperkuat oleh PP No.18 Tahun 1981 tentang
bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat dan
jaringan tubuh manusia. Didalam PP tersebut dijelaskan bahwa untuk
melakukan transplantasi organ sebelumnya harus ada informed consent,
baik pendonor dan penerima telah diberitahukan resiko dan kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi, selain itu donasi organ dilakukan tidak
dengan tujuan komersil serta tidak boleh menerima atau mengirim organ
tubuh dari dan ke luar negeri.

15
BAB III

PENUTUP

Kondisi kritis merupakan suatu kondisi krusial yang memerlukan


penyelesaian atau jalan keluar dalam waktu yang terbatas. Pasien kritis adalah
pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung
pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi. Pasien dalam kondisi gawat
membutuhkan pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Suatu
perawatan intensif yang menggabungkan teknologi tinggi dengan keahlian khusus
dalam bidang keperawatan dan kedokteran gawat darurat dibutuhkan untuk
merawat pasien yang sedang kritis (Vicky, 2011).
Pasien kritis adalah pasien yang memiliki besar kemungkinan menjadi
sangat rentan, tidak stabil, dan kompleks sehingga memerlukan perawatan intensif
dan asuhan keperawatan (Nurhadi, 2014).
Efek kondisi kritis pada keluarga:
a. Stres. Stresor dapat berupa: fisiologis (trauma, biokimia, atau lingkungan),
psikologis (emosional, pekerjaan, sosial, atau budaya)
b. Rasa takut dan kecemasan
c. Peralihan tanggung jawab
d. Masalah keuangan
e. Tidak adanya peran social
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,2016). End of life
care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orangyang berada di bulan
atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,2015). End of life akan
membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase
tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat
meningkatkan kenyamanan pasien tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/39516723/Isu_End_of_life_di_Keperawa
tan_kritis diakses pada tanggal 14 september 2019

Fitriyah. (2018). Gambaran Mekanisme Koping Keluarga Pasien


Yang Di Rawat Di Ruang ICU RSUD Kraton Pekalongan.
Pekalongan. Nurhadi. (2014).

Gambaran Dukungan Perawat Pada Keluarga Pasien Kritis di


Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi. Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan, Universitas Diponegoro. Terry, Cynthia Lee. (2013).

Keperawatan Kritis. Original English Edition copyright 2011, by


The McGraw-Hill Companiest, Inc. Wardah. (2013).

Dampak Hospitalisasi Pada Keluarga dan Peran Perawat dalam


Memenuhi Kebutuhan Informasi di Perawatan Intensif.

Jurnal Husada Mandiri, Fakultas Keperawatan Universitas


Padjajaran Bandung. Volume III no 6, November 2013, hal. 263-
318. Dep. Kes. RI, (2010). Respon Keluarga

17

Anda mungkin juga menyukai