Anda di halaman 1dari 28

KONSEP DASAR GAWAT DARURAT

OLEH:
KELOMPOK 1

I DEWA GEDE EKA SANJITA YOGA (213213269)


IRVANDY MILANO HENUKH (213213289)
NI PUTU CANTIKA ARYATI DEWI (213213305)
NI PUTU AYU MAWAR ARIASIH (213213306)
NI LUH DE YUNI SURYANTINI (213213309)

Dosen Fasilitator :
Ns. I Nyoman Asdiwinata, M.Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Konsep Dasar Gawat Darurat” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada bidang studi Keperawatan Gawat Darurat . Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Konsep Dasar Gawat Darurat.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ns. I Nyoman Asdiwinata,


M.Kep selaku dosen fasilitator prodi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Wira Medika Bali
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

“Om Shanti Shanti Shanti Om”

Denpasar, 15 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Efek Kondisi Kegawatdaruratan Terhadap Pasien Dan Keluarga.....................2
2.2 Isu End Of Life Pada Keperawatan Gawat Darurat...........................................5
2.3 Komunikasi Dalam Keperawatan Gawat Darurat...........................................13
2.4 Peran Dan Fungsi Advokasi Perawat Gawat Darurat......................................21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................24
3.2 Saran.................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan keperawatan komprehensif
diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat
memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan
mengalami kecelakaan sesuai dengan standar. Konsep pelayanan gawat darurat
merupakan suatu sistem atau rangkaian yang meliputi proses pra rumah sakit, intra
rumah sakit, melalui suatu pengkajian, pelaksanaan, evaluasi, dan
pendokumentasian, sehingga dapat dilakukan asuhan keperawatan yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya kematian, atau kecatatan serta mampu menstabilkan pasien kritis
untuk dilakukan rujukan. Pelayanan kegawat-daruratan memerlukan penanganan secara
terpadu dan multi disiplin dan multi profesi termasuk pelayanan keperawatan.
Keberhasilan penanganan korban/pasien gawat darurat ini tergantung pada beberapa
komponen, yaitu efek kondisi kegawatdaruratan terhadap pasien dan keluarga, Isu End Of
Life Pada Keperawatan Gawat Darurat, pada penyelenggaraan SPGDT yang terdiri
atas sistem komunikasi gawat darurat, sistem penanganan korban/ pasien gawat darurat,
peran Dan Fungsi Advokasi Perawat Gawat Darurat dan sistem transportasi gawat darurat
yang harus saling terintegrasi satu sama lain.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa saja Efek kondisi kegawatdaruratan terhadap pasien dan keluarga?
2. Bagaimana Isu end of life pada keperawatan gawat darurat?
3. Bagaimana Komunikasi dalam keperawatan gawat darurat?
4. Bagaimana Peran dan fungsi advokasi perawat gawat darurat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai apa saja Efek kondisi kegawatdaruratan terhadap pasien
dan keluarga
2. Untuk mengetahui mengenai Isu end of life pada keperawatan gawat darurat
3. Untuk mengetahui mengenai Komunikasi dalam keperawatan gawat darurat
4. Untuk mengetahui mengenai Peran dan fungsi advokasi perawat gawat darurat

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Efek Kondisi Kegawatdaruratan Terhadap Pasien Dan Keluarga


2.1.1 Efek Kondisi Kegawatdaruratan Terhadap Pasien
A. Kecemasan
Penyebab: perasaan terisolasi, dan perasaan kesepian. Kecemasan terjadi saa
seseorang mengalami hal-hal:
a) Ancaman ketidakberdayaan
b) Kehilangan kendali
c) Perasaan kehilangan fungsi dan harga diri
d) Kegagalan membentuk pertahanan
e) Perasaan terisolasi
f) Takut mati
Respon terhadap kecemasan:
a) Respon fisologis: frekuensi nadi cepat, peningkatan tekanan darah,
peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, mulut kering, danvasokontriksi
perifer dapat tidak terdeteksi
b) Respon sosiopsikologis: respon perilaku yang menandakan kecemasan
seringkali didasari oleh sikap keluarga dan budaya.
Kondisi gawat darurat juga akan menimbulkan suatu kecemasan yang
dialami pasien yang berada di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kondisi gawat
merupakan sesuatu yang mengancam nyawa meliputi kasus trauma berat, akut
miokard infark, sumbatan jalan nafas, tension pneumothorax, luka bakar disertai
trauma inhalasi.
Sedangkan darurat yaitu perlu mendapatkan penanganan atau tindakan
dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban, seperti cedera
vertebra, fraktur terbuka, trauma capitis tertutup, dan appendicitis akut.
Kecemasan juga timbul sebagai akibat hasil perawatan yang tidak pasti,
gejolak emosi, masalah keuangan, perubahan peran, gangguan rutinitas, dan
lingkungan rumah sakit yang asing.

2
B. Histeris
Dalam penggunaan sehari-harinya histeris menjelaskan akses emosi yang
tidak terkendali. Orang yang "histeris" sering kehilangan kontrol diri karena
ketakutan yang luar biasa karena suatu kejadian atau suatu kondisi.
C. Mudah Marah
Hal ini terjadi apabila seseorang dalam kondisi gelisah dan tidak tahu apa
yang harus di perbuat.

Kaji perilaku koping terhadap keefektifan dan juga Mendukung mereka,


Membantu pasien memodifikasi koping, Mengajarkan koping baru.

Peran Perawat:
a. Menciptakan lingkungan yang menyembuhkan
b. Menumbuhkan rasa percaya
c. Memberikan informasi
d. Memberikan kendali
e. Kehadiran dan penenangan
f. Teknik kognitif

3
2.1.2 Efek Kondisi Kegawatdaruratan Terhadap Keluarga
A. Stres
Stresor dapat berupa: fisiologis (trauma, biokimia, atau lingkungan), pasien
psikologis (emosional, pekerjaan, sosial, atau budaya)
B. Rasa takut dan kecemasan
C. Peralihan tanggung jawab
D. Masalah keuangan
E. Tidak adanya peran sosial
Kecemasan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang dirawat di
rumah sakit, merupakan salah satu bentuk adanya gangguan kebutuhan emosional
individu yang tidak adekuat. Kondisi dari gangguan kebutuhan emosional tersebut
tentu akan membawa dampak yang buruk terhadap perubahan suasana atau
perasaan yang dialami oleh sebuah keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
mendapat perawatan disebuah rumah sakit
Kecemasan keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis
kelamin, pendidikan, pengalaman, akses informasi, dan kondisi medis.
Keluarga Memasuki Kritis Karena Beberapa Keadaan:
1. Peristiwa penuh stres terjadi dan mengancam selama perubahan pada
keluarga
2. Aktivitas pemecahan masalah tidak adekuat atau tidak dilakukan sehingga
tidak secara cepat menyebabkan keadaan seimbang sebelumnya.
3. Adanya keadaan ketidakseimbangan keluarga tidak dapat dipertahankan
dan akan menimbulkan perbaikan kesehatan keluarga dan adaptasi atau
penurunan kemampuan adaptasi keluarga dan peningkatan kecenderungan
terhadap kejadian krisis.
Ciri-ciri keluarga adalah mempertahankan keadaan tetap. Saat seseorang
anggota keluarga berada diunit perawatan kegawatdaruratan, anggota keluarga lain
mencoba mempertahankan keseimbangan mereka pada awalnya dengan
memperkecil makna penyakit atau menjadi terlalu melindungi.

4
2.2 Isu End Of Life Pada Keperawatan Gawat Darurat
2.2.1 Pengertian End Of Life
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care
adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun
terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life akan membantu pasien
meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya
menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
tersebut. End of life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.
2.2.2 Prinsip-Prinsip End Of Life
Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :
a. Menghargai Kehidupan Dan Perawatan Dalam Kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun
ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk
memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk
mendukung orang lain dalam melakukannya.
b. Hak Untuk Mengetahui Dan Memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk
diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka
memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang
hidup.Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui
dan menghormati pilihanpilihan sesuai dengan pedoman.
c. Menahan Dan Menghentikan Pengobatan Dalam Mempertahankan Hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan
pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama
perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau
menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam
kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
d. Sebuah Pendekatan Kolaboratif Dalam Perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama
untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan
keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.

5
e. Transparansi Dan Akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan
keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat
didokumentasikan.
f. Perawatan Non Diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus
bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-
nilai dan keinginan pasien.
g. Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang
tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien. Pasien
memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan
norma-norma profesional dan standar hukum.
h. Perbaikan Terus-Menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki
intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.
2.2.3 Teori The Peaceful End of Life (EOL)
Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama dalam perawatan end of
life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman, 3) merasa berwibawa dan
dihormati, 4) damai, 5) kedekatan dengan anggota keluarga dan pihak penting
lainnya.
1. Terbebas Dari Nyeri
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama
diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri
merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan
dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan (Lenz, Suffe, Gift, Pugh, &
Milligan, 1995; Pain terms, 1979).
2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh
Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan

6
damai, dan apapaun yang membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and
Moore, 1998).
3. Pengalaman Martabat (Harga Diri) Dan Kehormatan
Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai sebagai
manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini memasukkan ide personal
tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip etik otonomi atau rasa hormat untuk
orang, yang mana pada tahap ini individu diperlakukan sebagai orang yang
menerima hak otonomi, dan mengurangi hak otonomi orang sebagai awal untuk
proteksi (United states, 1978).
4. Merasakan Damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas, (bebas)
dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan” (Ruland & Moore, 1998).
Tenang meliputi fisik, psikologis, dan dimensi spiritual.
5. Kedekatan Untuk Kepentingan Lainnya
Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara manusia dengan
orang yang menerima pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini melibatkan
kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan
yang dekat (intim).
2.2.4 Perbedaan Mati Klinis dan Biologis
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya
aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi
jantung paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo
et al, 2013)
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis
tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara
biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini
disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian
seluler pada tiap organ terjadi secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Mati Biologis (Biological Death)


Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death)

Tanda Berhentinya detak jantung, denyut nadi dan Kematian yang terjadi akibat degenerasi
pernafasan. jaringan di otak dan organ lainnya.

7
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan ginjal Beberapa organ akan mati (tidak dapat
akan tetap hidup saat terjadi mati klinis. berfungsi kembali) setelah mati biologis.

Organ dalam tubuh Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat digunakan
sebagai transplantasi. untuk transplantasi.

Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat kembali

Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis dan


Pemeriksaan Neurologis

Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)
ditemui Hipotermia

Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil


2) Berhentinya denyut nadi 2) Berhentinya semua reflek
3) Berhentinya pernafasan spontan. 3) Berhentinya respirasi tanpa bantuan
4) Berhentinya aktivitas cardiaovaskuler
5) Gambaran gelombang otak datar

2.2.5 Isu End Of Life

1. Konsep Do Not Resucitation


Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu
tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent
yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis
pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak
melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR)
pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan
tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat
keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang
dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima
cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form
DNR ditulis oleh dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan

8
pasien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008) melibatkan
tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience,
dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan dilema etik yang
menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap
profesionalisme dalam memberikan asuhan keperawatan, secara profesional
perawat ingin memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat
pendapat yang mengharuskan penghentian tindakan.
2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien
atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien.
Semua hal yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa
saja yang mengikuti diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan, isi diskusi serta rincian perselisihan apapun dalam diskusi tersebut.
Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam membimbing diskusi dengan
mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari resusitasi cardiopulmonary dalam
konteks harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Formulir DNR harus
ditandatangani oleh pasien atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau
dipercaya oleh pasien jika pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada
petugas kesahatan. Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui
secara hukum mewakili pasien seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan
dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan, konservator, atau pasangan /
anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien harus menandatangani formulir
tersebut, menegaskan bahwa pasien akan diakui secara hukum keputusan
perawatan kesehatannya ketika telah memberikan persetujuan instruksi DNR
( EMSA).
Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan
keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan penyakit/kondisi pasien,
menyampaikan tujuan, memutuskan prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari
resusitasi (CPR), memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang
manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam diskusi,
mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga dalam pengambilan
keputusan ( Breault 2011).

9
3. Peran Perawat Dan Pelaksanaan DNR
Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam
memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana
diagnosa DNR diambil maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi
mengenai kondisi pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan
dalam pemberian informasi bersama- sama dengan dokter ( Amestiasih, 2015).
Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien
DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap
memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa
mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik
diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang
digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and
Moore yang meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan
seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015).
Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan
pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan
perawat, karena perawat tidak dibenarkan membuat keputusan untuk
pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat keputusan (Kozier et al,
2010). Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien
dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya
kepada tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif
terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan
diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah
DNAR. Perawat berperan sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga
tentang keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan
terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara mereka
untuk menghadapi kematian.
4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR
Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada
penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan
perawat, karena ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki

10
untuk tidak lagi dipasang alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut
disebabkan karena kurangnya kejelasan dalam peran tenaga profesional dalam
melakukan tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun dukungan
perawat terhadap keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat penting
(Adams, Bailey Jr, Anderson, dan Docherty (2011).
Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi tindakan
keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki
makna bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak
akan melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan
definisi yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak
memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa kerugian
bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril, maka pelaksanaan RJP
tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan prinsip
etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu:
1) Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara legal,
tentunya hal tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara
baik, perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat
dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya,
melalui informed consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan
menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun umumnya
pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Pada
prinsip etik otonomy, perawat memberikan edukasi tentang proses tersebut
dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga dengan
menerima saran/masukan, tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan
(AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
2) Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan, tindakan resusitasi
mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik
berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan perawat. Pada etik ini,
perawat memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi,
manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi,
termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta
penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup
besar. Data-data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan

11
pasien/keluarganya dalam menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna,
2009).
3) Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak
membahayakan/merugikan pasien/keluarganya.
Menurut Hilberman, Kutner J, Parsons dan Murphy (1997) dalam
Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien mengalami
gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan
otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak permanen (brain death), tingkat
kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%.
Tindakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih
besar.Pada etik ini, perawat membantu dokter dalam mempertimbangkan
apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan angka
harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.
Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa penelitian
menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi yang kurang baik antara
perawat dan pasien/keluarganya mengenai pelaksanaan pemberian informasi
proses akhir kehidupan, sehingga keluarga tidak memiliki gambaran untuk
menentukan/mengambil keputusan, serta pengambilan keputusan pada proses
menjelang kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya perawat
berperan dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak menentukan
pilihan terhadap pasien/keluarganya tentang keputusan yang akan dibuat.
5. Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi
dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/MENKES/PER/III/2011 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah
Sakit, disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan
hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu
semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan
pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau
dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan
tindakantindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya
memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan.Untuk

12
pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup.Sedangkan
pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan
terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011).
Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan
timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi
dilema itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih
belum adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.
Perawat tidak dapat terhindar dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari,
melihat perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata
uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR
sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan
melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan
perawat merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan
oleh perawat karena DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan
DNR yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki
perawat. Perasaan empati yang muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya
intensitas pertemuan antara perawat dengan pasien (Elpern, et al. 2005).

2.3 Komunikasi Dalam Keperawatan Gawat Darurat


2.3.1 Pengertian
Komunikasi terapeutik merupakan cara yang efektif untuk mempengaruhi tingkah laku
manusia dan bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit,
sehingga komunikasi harus dikembangkan secara terus-menerus (Kariyo, 1998).
2.3.2 Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
1) Cemas
2) Histeris
3) Mudah marah
2.3.3 Komunikasi Efektif-Advokasi
1) Jelas (clear)
2) Benar (correct)
3) Konkret (concrete)
4) Lengkap (complete)
5) Ringkas (concise)
6) Meyakinkan (Convince)

13
7) Konstekstual (contexual)
8) Berani (courage)
9) Hati –hati (coutious)
10) Sopan (courteous)
2.3.4 SPGDT (sistem penanggulangan gawat darurat terpadu)
SPGDT (sistem penanggulangan gawat darurat terpadu) adalah suatu sistem
pelayanan penderita gawat darurat yang terdiri dari unsur pelayanan pra rumah
sakit,pelayanan di rumah sakit dan pelayanan antar rumah sakit. Pelayanan berpedoman
pada respon cepat yang menekankan time saving is life saving. yang melibatkan
pelayanan oleh masyarakat awam umum, awam khusus, petugas medis, pelayanan
ambulan gawat darurat dan sistem komunikasi.
1) Fase Pra Rumah Sakit
Fase pelayanan pra rumah sakit adalah pelayanan kepada penderita gawat
darurat yang melibatkat masyarakat atau orang awam dan petugas kesehatan.
Pada umunya yang pertma yang menemukan pendrita gawat darurat di tempat
musibah adalah masyarakat ynag dikenl oleh orang awam. Oleh karena
bermanfaat bila orang awam diberi dan dilatih pengetahuan dan keterampilan
penanggulanganan gawat darurat. Komunikasi ynag dilkukan pada fase pra rumah
sakit yaitu dengan meyakin warga bahwa seorang perawat, mengecek kesadaran
korban dengan menmanggil nama korban, menghubungi organisasi gawat darurat
terdekat untuk pertolongan lanjut ke rumah sakit.
2) Fase Pelayanan Rumah Sakit
Fase pelayanan rumah sakit adalah fase pelayanan yang melibatkan tenagan
kesehatn yang dilakukan di dalam rumh sakit seperti pertolonga di unit gawat
darurat. Komunikasi yang dilakukan pada tahap ini sama dengan komunikasi
terapeutik, tetapi dalam hal ini tindakan yang cepat dan tepat lebih utama
dilakuka kepada korban.
3) Pelayanan Antar Rumah Sakit (Rujukan)
Fase pelayanan antar rumah sakit (rujukan) adalah fase pelayanan yang
melibatkan petugas kesehatan dengan petugas kesehatan rumah sakit lain atau
rumah sakit satu dengan rumah sakit yang lain sebagai rujukan. Tindakan ini
dilakukan apabila korban membutuhkan penanganan lebih lanjut tetapi rumah
sakit yang pertama tidak bisa memberi pertolonan sehinga dirujuk ke rumah sakit
lain yang bisa menanggani korban sebut.

14
2.3.5 Tujuan Komunikasi Pada Gawat Darurat
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan
kerjasama antar perawat dan klien melalui hubungan perawat dan klien. Perawat
berusaha mengungkap perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta
mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan (Purwanto, 1994).
2.3.6 Tehknik Komunikasi Pada Gawat Darurat
1) Mendengarkan
Perawat harus berusaha untuk mendengarkan informasi yang disampaikan
oleh klien dengan penuh empati dan perhatian. Ini dapat ditunjukkan dengan
memandang kearah klien selama berbicara, menjaga kontak pandang yang
menunjukkan keingintahuan, dan menganggukkan kepala pada saat berbicara
tentang hal yang dirasakan penting atau memerlukan ummpan balik. Teknik
dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada klien dalam
mengungkapkan perasaan dan menjaga kestabilan emosi klien.
2) Menunjukkan Penerimaan
Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan sikap ragu atau penolakan. Dalam
hal ini sebaiknya perawat tidak menunjukkan ekspresi wajah yang menunjukkan
ketidaksetujuan atau penolakan. Selama klien berbicara sebaiknya perawat tidak
menyela atau membantah. Untuk menunjukkan sikap penerimaan
sebaiknya perawat menganggukkan kepala dalam merespon pembicaraan klien.
3) Mengulang Pernyataan Klien
Dengan mengulang pernyataan klien, perawat memberikan umpan balik
sehingga klien mengetahui bahwa pesannya mendapat respond an berharap
komunikasi dapat berlanjut. Mengulang pokok pikiran klien menunjukkan
indikasi bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.
4) Klarifikasi
Apabila terjadi kesalahpahaman, perawta perlu mengehentikan pembicaraan
untuk meminta penjelasan dengan menyamakan pengertian. Ini berkaitan dengan
pentingnya informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan. Klarifikasi
diperlukan untuk memperoleh kejelasan dan kesamaan ide, perasaan, dan
persepsi.

15
5) Menyampaikan Hasil Pengamatan/Menyimpulkan
Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap klien untuk
mengetahui bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik. Perawat menjelaskan
kesan yang didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan oleh klien. Dengan
demikian akan menjadikan klien berkomunikasi dengan lebih baik dan
terfokus pada permasalahan yang sedang dibicarakan
2.3.7 Prinsip Komunikasi Gawat Darurat
Ciptakan lingkungan terapeutik dengan menunjukan prilaku dan sikap:
1) Caring (sikap pengasuhan yang ditnjukan peduli dan selalu ingin memberikan
bantuan)
2) Acceptance (menerima pasien apa adanya)
3) Respect (hormatati keyakinan pasien apa adanya)
4) Empaty (merasakan perasaan pasien)
5) Trust (memberi kepercayaan)
6) Integrity (berpegang pd prinsip profesional yang kokoh)
7) Identifikasikan bantuan yang diperlukan
8) Terapkan teknik komunikasi: terfokus, bertanya, dan validasi
9) Bahasa yang mudah dimengerti
10) Pastikan hubungan profesional dimengerti oleh pasien/keluarga
11) Motivasi dan hargai pendapat & respon klien
12) Hindari: menyalahkan, memojokkan, dan memberikan sebutan yang negatif.
2.3.8 Komunikasi Terapeutik dalam Keadaan Tak Sadarkan Diri
2.3.8.1 Pengertian
Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi
dengan menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan fungsi
sensorik dan motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus
dari luar tidak dapat diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali
stimulus tersebut.

16
2.3.8.2 Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses
keperawatan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1) Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak
memiliki respon dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan pasien
ini tidak berfungsi sebagai pengendali prilaku. Secara tepatnya pasien
hanya memiliki satu prilaku yaitu pasien hanya berbaring, imobilitas dan
tidak melakukan suatu gerakan yang berarti. Walaupun dengan berbaring
ini pasien tetap memiliki prilaku negatif yaitu tidak bisa mandiri.
2) Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan
kesadaran, tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada
pendengarannya. Perawat dapat menggunakan kesempatan ini untuk
berkomunikasi yang berfungsi untuk pengembangan motivasi pada klien.
Motivasi adalah pendorong pada setiap klien, kekuatan dari diri klien untuk
menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami. Fungsi ini akan
terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas dari motivasi kita
sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya selama 24 jam.
3) Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada,
sebaliknya perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat
berinteraksi dengan klien. Perawat dapat mengungkapan kegembiraan,
kepuasan terhadap peningkatan yang terjadi dan semua hal positif yang
dapat perawat katakan pada klien. Pada setiap fase kita dituntut untuk tidak
bersikap negatif terhadap klien, karena itu akan berpengaruh secara tidak
langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat tidak akan
mendapatkan pengungkapan positif maupun negatif dari klien. Kita dapat
menyimpulkan apa yang dirasakan klien terhadap apa yang selama ini kita
komunikasikan pada klien bila klien telah sadar kembali dan mengingat
memori tentang apa yang telah kita lakukan terhadapnya.

17
4) Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses
keperawatan yang akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan
harus dikomunikasikan untuk menginformasikan pada klien karena itu
merupakan hak klien.. Pada pasien tidak sadar ini, kita dapat meminta
persetujuan terhadap keluarga, dan selanjutnya pada klien sendiri. Pasien
berhak mengetahui apa saja yang akan perawat lakukan pada klien. Perawat
dapat memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan apa yang
akan terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.
2.3.8.3 Cara Berkomunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
1) Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan
perawat lakukan terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang
akan dilakukan kepada klien. Dengan menjelaskan pesan secara spesifik,
kemungkinan untuk dipahami menjadi lebih besar oleh klien.
2) Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau
konsep kunci dari pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi
yang akan diberikan pada klien untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam
komunikasi.
3) Memberikan Informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan
informasi. Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien, perawat dapat
memberi informasi kepada klien. Informasi itu dapat berupa intervensi yang
akan dilakukan maupun kemajuan dari status kesehatannya, karena dengan
keterbukaan yang dilakukan oleh perawat dapat menumbuhkan kepercayaan
klien dan pendorongnya untuk menjadi lebih baik.
4) Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketengan pada pasien tidak sadar, perawat dapat
menujukkan dengan kesabaran dalam merawat klien. Ketenagan yang
perawat berikan dapat membantu atau mendorong klien menjadi lebih baik.

18
Ketenagan perawat dapat ditunjukan kepada klien yang tidak sadar dengan
komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal dapat berupa sentuhan yang
hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata, merupakan salah
satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pasan kepada
orang lain. Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara
perawat dan klien.
2.3.8.4 Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang
tidak sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
1) Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada
keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang
mengalami penurunan penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar.
Klien yang tidak sadar seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan
walaupun klien tidak mampu meresponnya sama sekali.
2) Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat.
Usahakan mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan
memperhatikan materi ucapan yang perawat sampaikan dekat klien.
3) Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini dapat
menjadi salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien
dengan penurunan kesadaran.
4) Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu
klien fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.
2.3.8.5 Tahap Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
1) Fase Prainteraksi
Pada fase prainteraksi ini, petugas harus mengeksplorasi perasaan,
fantasi dan ketakutan sendiri. Petugas juga perlu menganalisa kekuatan
kelemahan profesional diri. Selanjutnya mencari data tentang klien jika
mungkin, dan merencanakan pertemuan pertama dengan pasien
2) Fase Orientasi
Fase ini meliputi pengenalan dengan pasien, persetujuan komunikasi
atau kontrak komunikasi dengan pasien, serta penentuan program orientasi.
Program orientasi tersebut meliputi penentuan batas hubungan,
pengidentifikasian masalah, mengakaji tingkat kecemasan diri sendiri dan
pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi yang akan

19
dilakukan bersama antara petugas dan klien.Tugas petugas pada fase ini
adalah menentukan alasan klien minta pertolongan, kemudian membina
rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka. Merumuskan kontrak
bersama klien, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien sangat
penting dilakukan petugas pada tahap orientasi ini. Dengan demikian
petugas dapat mengidentifikasi masalah klien, dan selanjutnya merumuskan
tujuan dengan klien.
3) Fase Kerja / Lanjutan
Pada fase kerja ini petugas perlu meningkatkan interaksi dan
mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang
dilakukan. Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap
penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, atau dengan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan
dalam mengembangkan hubungan kerja sama..Tugas petugas pada fase
kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yang terjadi pada klien dengan
tepat. Petugas juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien
dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau
mengatasi penolakan perilaku adaptif.
4) Fase Terminasi
Fase terminasi ini merupakan fase persiapan mental untuk membuat
perencanaan tentang kesimpulan pengobatan yang telah didapatkan dan
mempertahankan batas hubungan yang telah ditentukan. Petugas harus
mengantisipasi masalah yang akan timbul pada fase ini karena pasien
mungkin menjadi tergantung pada petugas. Pada fase ini memungkinkan
ingatan pasien pada pengalaman perpisahan sebelumnya, sehingga pasien
merasa sunyi, menolak dan depresi. Diskusikan perasaan-perasaan tentang
terminasi.
2.3.9 Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Yang Rewel/Complain
2.3.9.1 Pengertian
Rewel adalah tindakan atau ekspresi saat mereka ingin menyampaikan
apa yang mereka inginkan, dengan menyampaikan dengan banyak bicara atau
dengan sering dan terkadang menggangu orang lain.
Komplain adalah bentuk ekspresi negative yang dihasilkan dari
ketidaksesuaian antara kenyataan dan keinginan pasien.

20
2.3.9.2 Penyebab
1) Faktor fisik
a. Kelelahan yang berlebihan
b. Adanya zat-zat tertentu yang menyebabkan marah
c. Umur
2) Faktor psikis
a. Rendah hati
b. Sombong
c. Egoistis
2.3.9.3 Sikap dan cara menghadapi
1) Didengarkan
2) Berusaha sependapat dengan pasien
3) Tahap tenang dan kuasai sendiri
2.3.9.4 Cara Perawat Menangani Pasien Dengan Keluhan Yang Benar
1) Tatap mata pasien dan dengarkan dengan baik
2) Selalu beri tanggapan
3) Perlu kesabaran untuk keluhan pelayanan

2.4 Peran Dan Fungsi Advokasi Perawat Gawat Darurat


2.4.1 Advokasi Dalam Praktek Keperawatan
Melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan
praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh
siapa pun.
2.4.2 Sebagai Advokat Klien
a) Penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain
b) Dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan
membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang
diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun
professional.
c) Perawat bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap
pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani

21
d) Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, klien.

2.4.3 Tanggung Jawab Perawat Advokat


a) Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan
b) Sebagai mediator (penghubung) antara pasien dan orang- orang disekeliling
pasien
c) Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien
2.4.4 Nilai-nilai Dasar yang Harus Dimiliki oleh Perawat Advokat
a) Pasien adalah makhluk holistik dan otonom
b) Pasien berhak untuk mempunyai hubungan perawat-pasien yang didasarkan
atas dasar saling menghargai, percaya, bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan
perawatan kesehatan, dan saling bebas dalam berpikir dan berperasaan
c) Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien telah mengetahui
cara memelihara kesehatannya.
2.4.5 Sikap Perawat Dalam Advokasi
a) Bersikap asertif
b) Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama
c) Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi,
konfrontasi atau negosiasi
d) Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain
e) Tahu bahwa peran advokat membutuhkan tindakan yang politis,
2.4.6 Pertimbangan Prinsip-Prinsip Etik
a) Otonomi (Autonomy)
b) Berbuat baik (Beneficience)
c) Keadilan (Justice)
d) Tidak merugikan (Nonmaleficience)
e) Kejujuran (Veracity)
f) Menepati janji (Fidelity)
g) Karahasiaan (Confidentiality)
2.4.7 Hasil Yang Diharapkan Dari Peran Advokat Pasien
a) Menjamin bahwa pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain adalah partner
dalam perawatan pasien.

22
b) Melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan
c) Memiliki saran untuk alternatif pilihan
d) Menerima keputusan pasien walaupun keputusan tersebut bertentangan dengan
pengobatannya.
e) Membantu pasien melakukan yang mereka ingin lakukan
2.4.8 Outcome Advokasi Pada Pasien
a) Mengerti hak-haknya sebagai pasien
b) Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan, prognosis, dan pilihan-
pilihannya
c) Bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
d) Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan sendiri
e) Perasaan cemas, frustrasi, dan marah akan berkurang
f) Mendapatkan pengobatan yang optimal
g) Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain
h) Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan
i) Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keperawatan gawat darurat merupakan pelayanan keperawatan komprehensif
diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat
memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan
mengalami kecelakaan sesuai dengan standar. End of life merupakan salah satu tindakan
yang membantu meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup
(Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang
yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of
life akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam
fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan
kenyamanan pasien tersebut.
3.2 Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi
penulis, khususnya bagi pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anis, M, 2011, Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat terhadap Tingkat Kepuasan


Pasien di RSUD dr Soebandu Jember, Journal keperawatan. Diakses Mei 2011.
Hermawan, Hadi, 2009, Persepsi pasien tentang pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat
dalam asuhan keperawatan pada pasien di Unit Gawat Darurat Rs. MARDI
RAHAYU
KUDUS. Journal Kesehatan. Diakses November 2009.
Hanafi I & Richard S.D, 2012, Keterampilan komunikasi interpersonal perawat berpengaruh
peningkatan kepuasan pasien, Journal Keperawatan Vol 5, no 2. Diakses 29 Januari
2016.
Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi dan Praktik keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.
Leebov, Wendy, Vergare, Michal, Scott Gail, (1990), Patient Satisfaction, PMIC Health
Journal, Los Angeles, California.
Liang & Tang, 2013, „The chinese community patient’s life statisfication, assesment
ofcommunity medical service and trust in Community health delivery system health
and quality of life outcomes. Health Journal.nih.gov.
Meyana, Fakhirah. 2009. Hubungan Sikap Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien Rawat
Inap di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah.Stikes
Aisyah.Yogyakarta
Nasir, M, 2013, Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Tingkat Kepuasan
Pasien dan Keluarga Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Konsep dan Praktik Keperawatan Profesional Buku
Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep Proses dan Klinik (Vol. 1, pp. 265).
Jakarta: EGC.
Priyoto, 2015, Komunikasi & Sikap Empati dalam Keperawatan. Cetakan Pertama, Graha
Ilmu: Yogyakarta.
PUSBANKES 118, 2012. Komunikasi di Ruang Instalasi Gawat Darurat. Jakarta: EGC.
Suib. (2020). Efek Kondisi Kegawat Daruratan terhadap Pasien dan Keluarga. Efek Kondisi
Kegawat Daruratan Terhadap Pasien Dan Keluarga.
Sutrisno, Mulyadi, Jiil, 2015. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Kepuasan
Pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUD DR.H. CHASAN BOESOIRE Ternate, e
journal keperawatan. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Sugiyono. 2015. Metode penelitian manajemen. Alfabeta, Bandung.
Yulita, Ari. 2015. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Tingkat Kepuasan
Pasien Rawat Inap dibangsal Kelas III RSUD, Wates Kulon Progo, Karya Tulis
Ilmiah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai