Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM KEGAWATDARURATAN

KELAS B15 A

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


STIKES WIRA MEDIKA BALI
2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan salah satu tugas dari
Keperawatan Gawat Darurat.

Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan


dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai bantuan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga semangat, buku-buku dan
beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bisa terwujud. Oleh karena itu, melalui
media ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang kami miliki.
Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat
memotivasi saya agar dapat lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar, 21 Februari 2023

Penulis

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iiii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang .................................................................................................... 6

Rumusan Masalah ............................................................................................... 7

Tujuan ................................................................................................................. 7

Manfaat ............................................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Efek Kondisi Kegawat Daruratan Terhadap Pasien dan Keluarga………………..8

Komunikasi dalam Keperawatan Gawat Darurat .................................................. 9

Pendidikan Kesehatan dalam Kegawatdaruratan ................................................ 12

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ....................................................................................................... 18

Saran ................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….22

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan


informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya dengan klien sehingga
klien akan merasa puas dengan pelayanan keperawatan yang diterimanya. Pada pasien
gawat darurat perlu memperhatikan tehnik-tehnik dan tahapan baku komunikasi
terapeutik yang baik dan benar.

Komunikasi terapeutik merupakan cara yang efektif untuk mempengaruhi


tingkah laku manusia dan bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit, sehingga komunikasi harus dikembangkan secara terus – menerus( Kariyo,
1998). Hubungan antara perawat dan klien yang terapeutik bisa terwujud dengan adanya
interaksi yang terapeutik antar keduanya, interaksi tersebut harus dilakukan sesuai
dengan tahapan – tahapan baku interaksi terapeutik perawat klien, tahapan itu adalah
tahap pre orientasi, tahap orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi (Stuart and
Sunden.1998 ). Pelayanan kesehatan menggunakan komunikasi yang langsung seperti
pelayanan kesehatan, Rumah Sakit merupakan tempat untuk mendapatkan pelayanan
baik yang bersifat medik maupun keperawatan.

Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Gawat darurat adalah Suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan / pertolongan
segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Dalam pelaksanaan
tindakan denagn klien gawat darurat perawat perlu melakukan komunikasi terapiotik
pada klien harus dengan jujur, memberikan gambaran situasi yang sesunguhnya sedang
terjadi dengan tidak menambahkn kecemasan dan memberikan suport verbal maupun
non verbal . Klien dapat merasakan puas ataupun tidak puas apabila klien sudah
mendapatkan pelayanan kesehatan yang diberikanpetugas di IGD, baik yang bersifat
fisik, kenyamanan dan keamanan serta komunikasi terpeutik yang baik

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan


masalah sebagai berikut :

1.Bagimana komunikasi dalam keperawatan gawat darurat?


2.Bagaimana Pendidikan Kesehatan dalam kegawatdaruratan?
3.Bagaimana kegawatdaruratan terkait multi system pada individu dengan berbagai
tingkat usia?

1.3 Tujuan

1.3.1Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu mengetahui Simulasi Pendidikan Kesehatan dalam


kegawatdaruratan dengan kasus kedaruratan dan kegawatdaruratan terkait multi system
pada individu dengan berbagai tingkat usia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa diharapkan mampu :

1.Mengetahui bagaimana komunikasi dalam keperawatan gawat darurat.

2.Mengetahui bagimana Pendidikan Kesehatan dalam kegawatdaruratan.

3.Mengetahui apa saja peran dan fungsi Pendidikan Kesehatan dalam kegawatdaruratan
dengan kasus kedaruratan dan kegawatdaruratan terkait multi system pada individu
dengan berbagai tingkat usia.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dalam penulisan makalah ini adalah apa saja peran
dan fungsi Pendidikan Kesehatan dalam kegawatdaruratan dengan kasus
kedaruratan dan kegawatdaruratan terkait multi system pada individu dengan
berbagai tingkat usia

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Efek Kondisi Kegawat Daruratan Terhadap Pasien dan Keluarga

Sakit kritis adalah kejadian tiba-tiba dan tidak diharapkan serta


membahayakan hidup bagi pasien dan keluarga yang mengancam ekuilibrium internal,
yang biasanya terpelihara dalam unit keluarga tersebut. Kejadian tersebut dapat berupa
sakit akut atau trauma & perburukan akut penyakit kronis (Morton et al, 2011).
Keadaan ini mengancam kesejahteraan keluarga dan dapat memicu respon stres pada
pasien maupun keluarga (Morton et al, 2011).

2.1.1Efek Kondisi Kritis Terhadap Pasien yaitu ada Psikologis dan Non psikologis

1.Efek Psikologis

a.Stres akibat kondisi penyakit

b.Rasa cemas dan takut bahwa hidup terancam (kematian)

c.Perasaan isolasi

d.Depresi

e.Perasaan rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional (Morton et al,


2011).
Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif
pada pasien yang dirawat diruang ICU menemukan bahwa pasien mengalami stres
yang berhubungan dengan 3 tema besar, yaitu:
a. Stres berkaitan dengan tubuh mereka

b.Stres berkaitan dengan ruangan ICU

c. Stres berkaitan dengan relationship dengan orang lain (Jastremski, 2000


dalam Suryani, 2012)

8
2.Efek Non Psikologis

a.Ketidakberdayaan

b.Pukulan (perubahan) konsep diri

c.Perubahan citra diri

d.Perubahan pola hidup

e.Perubahan pada aspek sosial-ekonomi (pekerjaan, financial pasien,


kesejahteraan pasien dan keluarga)

f.Keterbatasan komunikasi (tidak mampu berkomunikasi), (Morton et al, 2011).

2.1.2Efek Kondisi Kritis Terhadap Keluarga Psikologis Non Psikologis


1.Efek Psikologis
a.Stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga),
prosedur penanganan
b.Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien (anggota keluarga)
c.Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga) (Hudak & Gallo,
1997)
2.Efek Non Psikologis
a.Perubahan struktur peran dalam keluarga
b.Perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
c.Terbatasnya komunikasi dan waktu Bersama
d.Masalah financial keluarga
e.Perubahan pola hidup keluarga (Morton et al, 2011)

2.2 Komunikasi dalam Keperawatan Gawat Darurat


2.2.1Pengertian Komunikasi Terapeutik Kegawatdaruratan
Komunikasi terapeutik merupakan cara yang efektif untuk mempengaruhi tingkah laku manusia
dan bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, sehingga
komunikasi harus dikembangkan secara terus – menerus (Kariyo,1998).

9
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Gawat darurat adalah Suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan atau
pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila
tidak
mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan mati atau cacat atau
kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.

2.2.2Tujuan Komunikasi Terapeutik Dalam Keadaan Gawat Darurat

Adapun tujuan dari komunikasi terapeutik dalam keadaan gawat darurat adalah :

1. Untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antar perawat dan klien melalui
hubungan perawat dan klien. Perawat berusaha mengungkap perasaan,
mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang
dilakukan dalam perawatan (Purwanto, 1994).
2. Menciptakan kepercayaan antara perawat dengan klien yang mengalami kondidi
kritis atau gawat darurat dalam melakakan tindakan, sehingga klien cepat tertolong
dan tidak terjadi hal yang fatal.

2.2.3Prinsip Komunikasi Terapeutik Dalam Keadaan Gawat Daruat

Ciptakan lingkungan terapeutik dengan menunjukan prilaku dan sikap

1. Caring (sikap pengasuhan yang ditnjukan peduli dan selalu ingin memberikan
bantuan).
2. Acceptance (menerima pasien apa adanya)

3. Respect (hormatati keyakinan pasien apa adanya)

4. Empaty (merasakan perasaan pasien)

5. Trust (memberi kepercayaan)

6. Integrity (berpegang pd prinsip profesional yang kokoh)

7. Identifikasikan bantuan yang diperlukan

8. Terapkan teknik komunikasi: terfokus, bertanya, dan validasi

9. Bahasa yang mudah dimengerti

10
10.Pastikan hubungan profesional dimengerti oleh pasien/keluarga

11.Motivasi dan hargai pendapat & respon klien

12.Hindari: menyalahkan, memojokkan, dan memberikan sebutan yang negatif.

2.2.4Teknik Komunikasi Terapeutik Dalam Keadaan Gawat Daruat


a.Mendengarkan
Perawat harus berusaha untuk mendengarkan informasi yang disampaikan oleh klien
dengan penuh empati dan perhatian. Ini dapat ditunjukkan dengan memandang kearah
klien selama berbicara, menjaga kontak pandang yang menunjukkan keingintahuan, dan
menganggukkan kepala pada saat berbicara tentang hal yang dirasakan penting atau
memerlukan ummpan balik. Teknik dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada klien
dalam mengungkapkan perasaan dan menjaga kestabilan emosi klien.

b.Menunjukkan penerimaan
Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan bersedia untuk mendengarkan orang
lain tanpa menunjukkan sikap ragu atau penolakan. Dalam hal ini sebaiknya perawat
tidak menunjukkan ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaksetujuan atau
penolakan. Selama klien berbicara sebaiknya perawat tidak menyela atau
membantah.
Untuk menunjukkan sikap penerimaan sebaiknya perawat
menganggukkan kepala dalam merespon pembicaraan klien.

c.Mengulang Pernyataan Klien


Dengan mengulang pernyataan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga
klien mengetahui bahwa pesannya mendapat respond an berharap komunikasi dapat
berlanjut. Mengulang pokok pikiran klien menunjukkan indikasi bahwa perawat
mengikuti pembicaraan klien.

d.Klarifikasi
Apabila terjadi kesalahpahaman, perawta perlu mengehentikan pembicaraan untuk
meminta penjelasan dengan menyamakan pengertian. Ini berkaitan dengan
pentingnya informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan. Klarifikasi
diperlukan untuk memperoleh kejelasan dan kesamaan ide, perasaan, dan persepsi.

11
e.Menyampaikan Hasil Pengamatan
Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap klien untuk mengetahui
bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik. Perawat menjelaskan kesan yang
didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan oleh klien. Dengan demikian akan
menjadikan klien berkomunikasi dengan lebih baik dan terfokus pada permasalahan
yang sedang dibicarakan.

2.3 Pendidikan Kesehatan dalam Kegawatdaruratan


1.Pada Ibu Hamil dan Anak
Sebelum Bencana :
Melihat dampak bencana yang dapat terjadi, ibu hamil dan bayi perlu dibekali
pengetahuan dan ketrampilan menghadapi bencana. Beberapa hal yang dapat
dilakukan antara lain:
a.Membekali ibu hamil pengetahuan mengenai umur kehamilan, gambaran proses
kelahiran, ASI eksklusif dan MPASI
b.Melibatkan ibu hamil dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana, misalnya dalam
simulasi bencana.

c.Menyiapkan tenaga kesehatan dan relawan yang trampil menangani kegawat


daruratan pada ibu hamil dan bayi melalui pelatihan atau workshop.
d.Menyiapkan stok obat khusus untuk ibu hamil dalam logistik bencana seperti
tablet Fe dan obat hormonal untuk menstimulasi produksi ASI.

Setelah Bencana :
Setelah masa bencana, ibu dan bayi menjalani kehidupan yang baru.
Pengalaman menghadapi bencana menjadi pelajaran untuk ibu untuk memperbaiki
hidupnya. Ibu yang masih dapat dipertahankan kehamilannya dipantau terus
kondisi ibu dan janinnya agar dapat melahirkan dengan selamat pada waktunya.
Bagi ibu yang sudah melahirkan, fungsi dan tugas ibu merawat bayi harus tetap
dijalankan, baik di tempat pengungsian atau pun di lingkungan keluarga terdekat.
Tujuan keperawatan bencana pada fase setelah bencana adalah untuk membantu ibu
menjalani tugas ibu seperti uraian dibawah ini.

12
1.Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Pemberian ASI eksklusif bagi bayi yang berusia 0-6
bulan dan tetap menyusui hingga 2 tahun pada kondisi darurat.Pemberian susu
formula hanya dapat diberikan jika ibu bayi meninggal, tidak adanya ibu susuan
atau donor ASI. Selain itu, pemberian susu formula harus dengan indikasi khusus
yang dikeluarkan dokter dan tenaga kesehatan terampil. Seperti halnya obat, susu
formula tidak bisa diberikan sembarangan, harus diresepkan oleh dokter.

Pendistribusian susu formula dalam situasi bencana pun harus dengan persetujuan
dinas kesehatan setempat. Bukan berarti ketika terjadi bencana, kita bebas
mendonasikan susu formula maupun susu bubuk, UHT yang bisa menggantikan
pemberian ASI hingga berusia 2 tahun.

2.Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) Berkualitas Intervensi terbaik


untuk menyelamatkan hidup bayi dan anak. ASI dan MPASI berkualitas bukan
hanya sebagai pemenuhan kebutuhan tubuh bayi dan anak, akan tetapi merupakan
“life saving untuk keberlangsungan hidup jangka pendek maupun jangka panjang.

Tetaplah menyusui hingga 2 tahun. Adapun syarat MPASI berkualitas adalah


sebagai berikut:
a.MPASI disediakan berdasarkan bahan lokal dengan menggunakan peralatan
makan yang higienis.

b.MPASI harus yang mudah dimakan, dicerna dan dengan penyiapan yang
higienis.
c.Pemberian MPASI disesuaikan dengan umur dan kebutuhan gizi bayi.
d.MPASI harusmengandung kalori dan mikronutrien yang cukup (energi,
protein, vitamin dan mineral yang cukup terutama Fe, vitamin A dan vitamin
C).
e.MPASI pabrikan hanya alternatif darurat. Penggunaannya setidaknya tidak
lebih dari 5 hari pasca bencana.

2.Pada Anak
Sebelum Bencana :
Kesiapsiagaan bukan berarti hanya menyiapkan peralatan dan materi yang
diperlukan tetapi memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup agar
dapat bertindak dengan baik ketika terjadi bencana. Persiapan terlebih dahulu
sebelum bencana mampu memperkecil kerugian. Penting juga berbicara dengan
anak tentang keselamatan dan mengikutsertakan mereka dalam perencanaan

13
untuk suatu bencana. Hal ini membuat anak merasa lebih nyaman. Anak harus
mengetahui apa saja perlengkapan untuk mempertahankan hidup dan mengapa
barang-barang itu diperlukan. Anakjuga perlu mengetahui nomor telepon darurat
dan mengetahui bagaimana dan kapan meminta bantuan. Anak harus
mengetahui bagaimana cara mengkonfirmasikan keselamatan keluarga mereka,
dimana tempat penampungan atau lokasi evakuasi, dan bagaimana cara
menghubungi anggota keluarga. Mereka harus mengetahui segala informasi
terpenting tentang keluarganya seperti nama, alamat, nomor telepon keluarga
dan dimana harus bertemu dalam keadaan darurat. Kesiapsiagaan seperti itu
untuk menghindari atau mengurangi kebingungan dan dampak terhadap anak
pada saat bencanaHal itu dapat mencegah anak menderita krisis kesehatan
mental yang disebabkan oleh stres dalam bencana, dan untuk belajar bagaimana
cara menghadapinya dengan manajemen stres.

Setelah Bencana :
Pada fase ini, sistem pertolongan yang terorganisir mulai bubar dan
dilaksanakan upaya untuk rekonstruksi kehidupan sehari-hari dan komunitas
dalam keadaan yang menghadapi kehilangan fisik dan non-fisik yang disebabkan
oleh bencana dan perubahan gaya hidup secara drastis namun kehidupan sehari-
hari semakin pulih. Keluarga dan pengasuh sepertinya menjadi kurang
memperhatikan anak mereka sebab mereka lebih dilibatkan membangun kembali
hidup mereka sendiri dan pemecahan permasalahan pribadi mereka, terutama
pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi ini. Dengan demikian, mereka mungkin
terlewatkan kondisi anak yang tidak stabil. Orang-orang yang belum ada visi
rekonstruksi hidup akan terasa gelisah, dan perasaan dari orang dewasa itu
dirasakan oleh anak, maka stres anak seperti itu memuncak. Penting bagi
keluarga dan pengasuh untuk bercerita kepada anak bahwa mereka sedang
berupaya secara positif sehingga dapat menjamin keselamatan dan keamanan
keluarga dan mempertahankan kehidupan keluarga dengan tepat. Dengan mereka
berbagi rasa dengan anak dan terus menunjukkan suatu model perilaku yang
tepat, maka hal itu dapat menghilangkan kecemasan anak.

14
Jika reaksi stres anak nampak berlanjut sampai satu bulan atau lebih setelah
bencana, keluarga dan pengasuh harus mencari bantuan dari spesialis kesehatan
mental. Hal ini bukanlah satu tanda kegagalan. Ini merupakan sebuah cara untuk
menghindari permasalahan yang lebih serius.

3.Pada Lansia
Sebelum Bencana:
a.Rekonstruksi Komunitas
Bantuan untuk mengungsi terhadap orang lansia di komunitas berdasarkan
kemampuan membantu diri sendiri dan membantu bersama di daerah setempat.
Diperlukan penyusunan perencanaan bantuan pengungsian yang konkret dan
bekerjasama dengan komunitas untuk mengetahui lokasi dimana orang lansia
berada, menentukan orang yang membantu pengungsian, mendirikan jalur
penyampaian informasi, menentukan isi dari bantuan yang dibutuhkan secara
konkret berdasarkan keadaan fisik masing-masing sebagai kesiapsiagaan pada
bencana.

b.Persiapan untuk Memanfaatkan Tempat Pengungsian


Dari pengalaman pahit terhadap bencana terutama saat hidup di pengungsian,

dipandang perlu dibuat peraturan mengenai penempatan ‘tempat


pengungsian sekunder’. Hal ini bermaksud untuk memanfaatkan sarana yang
sudah ada bagi orang-orang yang membutuhkan perawatan. Kita perlu
menginspeksi lingkungan tempat pengungsian dari pandangan keperawatan
lansia supaya sarana-sarana tersebut segera bisa dimanfaatkan jika terjadi
bencana. Selain itu, diperlukan upaya untuk menyusun perencanaan
pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya
pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. Lansia yang
berhasil mengatasi dampak bencana didorong untuk mewarisi pengalaman
dan pengetahuan yang diperoleh dari bencana kepada generasi berikutnya.
Kita dapat memfasilitasi lansia untuk berbagi pengalaman mengenai betapa
bagusnya hidup bersama di pengungsian dan betapa tinggi nilai nyawa kita

15
Misalnya beberapa orang lansia bertugas sebagai pencerita relawan
menjelaskan fenomena yang terjadi pada saat gempa bumi dengan
memperagakan alat-alat kepada anak anak TK atau SD. Diharapkan anak
tidak memiliki efek psikologis dan lansia dapat merasa lebih bermanfaat
secara psikologis.

Setelah Bencana :
a.Rekonstruksi Kehidupan
Orang lansia yang sebelumnya hidup di pemukiman sementara masuk ke
tahap baru, yakni pindah ke pemukiman rekonstruksi atau mulai hidup
bersama di rumah kerabat. Yang disebut pemukiman rekonstruksi memiliki
keunggulan di sisi keamanan dan lingkungan dalam rumah dibandingkan
dengan pemukiman sementara, maka kondisi tidur/istirahat dari orang lansia
akan membaik. Namun demikian, pemukiman sementara tidak perlu ongkos
sewa, sedangkan pemukiman rekonstruksi membutuhkan ongkos sewa. Hal
ini menjadi masalah ekonomi bagi orang lansia. Ada lansia yang merasa
tidak puas dan marah, dan ada pula lansia yang merasa puas dan berterima
kasih kepada pemerintah. Diperlukan penanganan dari pemerintah seperti
keringanan ongkos sewa, dan memberikan bimbingan kehidupan tepat yang
sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebiasaan hidup dari orang lansia.

b.Mental Care
Stres terbesar bagi orang lansia pada saat bencana adalah ‘kematian keluarga
dan saudara’. Dukungan pengganti bagi orang lansia adalah tetangga. Di
pemukiman rekonstruksi, dimulai hubungan manusia yang baru, dan dokter
keluarga pun dianggap pemberi sokongan yang penting. Menurut Ikeda dkk,
peranan yang dimainkan oleh keluarga sangat penting bagi orang lansia
karena masalah kesehatan paling banyak adalah stres seputar kehidupan.
Pada fase ini dengan jelas SDM untuk rekonstruksi berkurang dan sistem
pemberian pelayanan individu pun melemah, namun diperlukan memberikan
bantuan dari berbagai orang di sekeliling orang lansia supaya mereka bisa
memiliki tujuan dan harapan untuk masa depan.

16
Selain itu, sangat efektif jika dilaksanakan upaya untuk memberikan makna
hidup kepada orang lansia, memperbesar lingkup dan ruang aktivitas dalam
kehidupan, dan melaksanakan kegiatan bantuan untuk mencegah orang
lansia menyendiri di rumah. Misalnya dengan melibatkan lansia dalam
kegiatan sehari-hari seperti membersihkan rumah, merawat tanaman dan lain
sebagainya.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan tindakan denagn klien gawat darurat perawat perlu
melakukan komunikasi terapiotik pada klien harus dengan jujur, memberikan gambaran situasi
yang sesunguhnya sedang terjadi dengan tidak menambahkn kecemasan dan memberikan
suport verbal maupun non verbal. Klien dapat merasakan puas ataupun tidak puas apabila klien
sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang diberikan petugas di IGD, baik yang bersifat
fisik, kenyamanan dan keamanan serta komunikasi terpeutik yang baik.

3.2 Saran

Diharapkan makalah ini dapat menambah sumber bacaan bagi mahasiswa keperawatan khusus
pada mata kuliah keperawatan gawat darurat.

18
19
20
21
22
DAFTAR PUSTAKA

Kariyo, Pengantar Komunikasi Bagi Siswa Perawat, EGC. Jakarta.1998.

Stuart and Sunden. Principle and Practice of psychiartric Nursing, Sixth –Edition.
Toronto; CV Masby. Co. 1998

Kusnanto. (2004). Pengantar Profesi dan Praktik keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Konsep dan Praktik Keperawatan Profesional Buku
Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep Proses dan Klinik (Vol. 1, pp. 265). Jakarta:
EGC.

Ruland, Cornelia M. RN, PhD & Moore, Shirley, M. RN, PhD. Theory Construction
Based on Standards of Care: A Proposed Theory of the Peaceful End of Life.
Nursing Outlook, 1998, 46 (4), p.169-75.

Friedman, et al. (2010). Buku ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, & Praktik.
Edisi 5. Jakarta: EGC

Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC Morton,

et al. (2011). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi 8.


Volume 1. Jakarta: EGC

Suryani. (2012). Aspek Psikososial dalam Merawat Pasien Kritis (Converence Paper).
Universitas Padjajaran

23

Anda mungkin juga menyukai