Anda di halaman 1dari 21

ii

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan…..…………………………………………………… i
Daftar Isi……………………………………………………………………. ii
Daftar Gambar……………………………………………………………… iii
Daftar Tabel………………………………………………………………… iv
ABSTRAK………………………………………………………………...... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 2
TUJUAN ....................................................................................................... 3
METODE PENELITIAN .............................................................................. 3
III.1 Tahap Inventarisasi ................................................................... 4
III.2 Tahap Kuantifikasi .................................................................... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 5
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 9
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 10
LAMPIRAN 1 ............................................................................................... 11
LAMPIRAN 2 ............................................................................................... 15
LAMPIRAN 3 ............................................................................................... 16

iii
iii

DAFTAR TABEL

Gambar 1 Peta Geomorfologi Bukit Baginda, Pulau Belitung (Peneliti, 2016) ...................... 6
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Analisis dari penilaian numerik untuk kedua jenis penilaian numerik ....................... 5
Tabel 2. Hasil penilaian numerik menggunakan metode Pereira, dkk., (2007) .......................... 7
Tabel 3. Hasil penilaian numerik menggunakan metode Kubalíková (2013)........................... 7
1

BUKIT BAGINDA: GEOHERITAGE DARI PULAU BELITUNG,


INDONESIA
Ichsan Ramadhan1*, Putra Herianto1, Dhyani Natasha Kartikasari2,
Anastasia Dewi Titisari3
1
Mahasiswa Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
2
Mahasiswa Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
3
Dosen Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*) penulis korespondensi : ichsan.ramadhan@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Pulau Belitung adalah salah satu pulau yang paling terkenal di Indonesia. Bukit
Baginda terletak pada bagian Selatan dari pulau tersebut, dimana bukit tersebut
belum menjadi objek utama para wisatawan yang menuju pulau Belitung. Selain
itu, bukit dengan ketinggian 110 meter ini belum cukup terkenal dan cerita di balik
bukit tersebut masih jarang dipublikasikan. Akan tetapi, terdapat banyak tempat di
pulau Belitung yang sudah sangat terkenal dan sudah dipromosikan dengan baik
untuk pariwisata. Riset ini menggunakan metodologi penilaian geomorphosite dan
studi pustaka. Riset ini juga menggarisbawahi kondisi geologi dan geomorfologi
dari bukit Baginda untuk tujuan geowisata. Bukit ini terdiri oleh Adamelit Baginda
(Granit tipe ‘I’) dan umur absolutnya berkisar 216 ± 6 juta tahun yang lalu. Terdapat
beberapa kelurusan disekitar bukit, dengan arah kelurusan secara umum Timur Laut
– Barat Daya dan Barat Laut – Tenggara. Bukit ini mempunyai peran penting
sebagai identitas lokal, karena mitos tentang bukit ini dan banyaknya kegiatan-
kegiatan kebudayaan yang dilakukan di atas bukit ini oleh warga setempat. Riset
ini mempertimbangkan tantangan dari kondisi geologi dan geomorfologi bukit
Baginda dan juga aspek geomitologi, termasuk mitos dan legenda-legenda tentang
bukit tersebut sebagai pertimbangan untuk pengembangan geowisata di pulau
Belitung.
Kata kunci: Geowisata, Penilaian Geomorphosite, Warisan Geologi, Bukit
Baginda, Indonesia
ABSTRACT
The Belitung Island is one of the most famous islands in Indonesia. Baginda Hill is
located on the south part of it, which has not become the major attraction yet for
visitors to the island. Moreover, this 110-meters-height hill is not well known to the
visitors and the story behind of it is rarely published. Besides, there are many other
places in Belitung Island which are very well known either well promoted for
tourism. This paper uses the methodological guidelines for geomorphosite
assessment and literature review. This paper also highlights the geological and
geomorphological conditions of Baginda Hill for geotourism purposes. The hill is
composed of Baginda Adamellite (the “I” type granite) and its absolute age is
ranging from 216 ± 6 Million years ago. There are also some lineaments around the
hill, which directions are North-East – South-West and North-West – South-East.
These hill plays an important role in local identity, as the myths behind of it and the
cultural events that are frequently hold on this hill. This paper considers the
challenges of geological and geomorphological conditions from the Baginda Hill
and also its geomythological aspect, not to mention, its myths and legends to be the
consideration for a further geotourism advancement in Belitung Island.
Keywords: Geotourism, Geomorphosite assessment, Geological Heritage, Baginda
Hill, Indonesia
2

PENDAHULUAN

Pulau Belitung terletak di bagian Barat dari Indonesia. Luas pulau tersebut
kurang lebih seluas 4800,6 kilometer persegi dengan total populasi pada tahun 2014
sebesar 271.868 Jiwa (Wikipedia, 2015). Secara administratif, pulau Belitung
merupakan bagian dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pulau Belitung memiliki banyak pantai dan pulau-pulau kecil disekitarnya
yang sering dijadikan objek wisata, misalnya, pantai Tanjung Tinggi, pantai
Tanjung Kelayang, pulau Batu Berlayar, pulau Lengkuas dan pulau Seliu. Kegiatan
yang sering dilakukan oleh wisatawan di pulau Belitung biasanya merupakan
kegiatan olahraga air seperti snorkeling dan scuba diving.
Destinasi wisata yang terkenal di pulau Belitung secara umum berada di
bagian Barat dan Utara dari pulau Belitung. Sedangkan, bagian Barat Laut atau
bagian Selatan dari pulau Belitung tidak terlalu terkenal seperti yang berada pada
bagian Baratnya. Walaupun bagian Barat Laut dari pulau Belitung mempunyai
destinasi wisata yang tidak kalah bagusnya, tetapi jumlah wisatawan yang
mengunjungi daerah tersebut tidak sebanyak wisatawan yang mengunjungi bagian
Barat. Faktor penyebab hal tersebut antara lain sulitnya akses jalan pada waktu
dulu, transportasi publik yang terbatas, dan fasilitas yang masih kurang memadai.
Destinasi wisata yang baik tetapi aksesibilitas yang rendah merupakan suatu hal
yang patut diperhatikan. Walaupun bagian Barat Laut dari pulau Belitung sekarang
sudah mempunyai akses wisata yang baik, tapi tetap saja daerah ini belum terlalu
terkenal dan dipandang sebagai objek wisata utama seperti bagian Baratnya.
Bagian Barat Laut dari pulau Belitung terletak pada kecamatan Membalong.
Kecamatan Membalong terdiri dari 12 desa, dan salah satunya adalah desa Padang
Kandis. Seperti desa lainnya yang berada di pulau Belitung yang menawarkan
keindahan alamnya, Padang Kandis juga menawarkan destinasi yang siap dijajaki
dan dibuka untuk publik. Terdapat beberapa tempat di desa Padang Kandis yang
telah menjadi bagian dari destinasi wisata para wisatawan, contohnya, pantai
Tanjung Kiras dan pantai Penyabong. Sebenarnya, masih ada beberapa destinasi
menarik lainnya yang ada di desa Padang Kandis, salah satunya adalah bukit
Baginda.
Bukit Baginda terletak di dusun Batu Lubang, desa Padang Kandis. Bukit
ini terdiri dari dua bukit, yang pertama disebut bukit “Laki” yang terletak di
3°13'03.6"S; 107°37'23.9"E, yang tidak dapat dinaiki oleh pemula. Bukit yang
kedua disebut bukit “Bini”, yang terletak di 3°12'56.7"S; 107°37'09.0"E, yang
dapat didaki tanpa peralataun ataupun teknik khusus. Tinggi dari bukit Laki kurang
lebih 92 meter dengan slope berkisar 40°-65°, sedangkan tinggi dari bukit Bini
kurang lebih 110 meter dengan slope berkisar 20°-25°. Karena perbedaan
kecuraman dari kedua bukit tersebut, dimana bukit Laki lebih curam dibanding
bukit Bini, maka bukit Bini merupakan bukit yang biasa disebut sebagai Bukit
Baginda, karena bukit inilah yang dapat didaki dengan normal oleh para wisatawan.
3

Dari puncak bukit Bini, dapat terlihat bukit Laki dengan kecuramannya yang
memang nampak lebih curam dan banyaknya pohon disekitar bukit tersebut.
Bukit baginda terdiri atas Granit tipe I (Baharuddin dan Sidarto, 1995), dan
umur absolutnya berkisar antara 216 ± 6 juta tahun yang lalu (Barber, A.J., et al.,
2005).
Bukit baginda tidak seterkenal destinasi lainnya yang berada didekatnya,
seperti pantai Penyabong. Hal tersebut disebabkan karena kesulitan dalam mendaki
bukit bagi sebagian turis. Infrastruktur yang sudah ada dan yang digunakan untuk
mendaki bukit ini hanyalah dua buah tangga tradisional yang diikatkan dan
dipancangkan ke batuan dari bukit Baginda itu sendiri, yang dimana hal tersebut
tidak terlalu aman apabila terdapat banyak turis yang datang. Rendahnya tingkat
keamanan tersebut juga menjadi salah satu faktor pertimbangan mengapa banyak
turis yang memilih untuk tidak mendaki bukit tersebut.
Hal lainnya adalah faktor istimewa, informasi ilmiah dan cerita atau mitos
tentang bukit ini tidak tersedia atau tidak ditunjukkan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Masyarakat setempat sebenarnya tau beberapa mitos dibalik bukit ini,
namun mereka tidak paham bagaimana bukit ini dapat terbentuk baik secara geologi
maupun geomorfologi. Dengan mengkombinasikan aspek geologi dari bukit
Baginda dan beberapa mitos serta cerita tentang bukit ini, bisa didapatkan
kombinasi yang baik untuk menarik turis mengunjungi tempat wisata ini.
Riset ini akan membuat bukit Baginda sebagai tempat yang lebih terkenal
lagi nantinya untuk para penggiat riset ilmiah yang ingin melakukan risetnya di
tempat ini, dan juga memberikan informasi ilmiah terkait bukit Baginda, sehingga
bukit Baginda tidak hanya dikenal dari latar belakang sejarahnya saja namun juga
dari informasi ilmiahnya, kemudian bukit Baginda akan menjadi lebih terkenal dan
mendapatkan banyak wisatawan. Riset ini juga akan memberikan gambaran kepada
masyarakat sekitar, pemerintah dan sektor swasta untuk turut andil dalam
pengembangan geoheritage dari pulau Belitung.

TUJUAN

1. Untuk memberikan gambaran singkat tentang bukit Baginda, informasi


ilmiah terkait bukit tersebut dan mempublikasikan geowisatanya.
2. Untuk mendeskripsikan aspek geologi dan geomorfologi dari bukit Baginda
3. Untuk mengolah karakteristik geomorphosite dari bukit Baginda
4. Untuk mendefinisikan tantangan dan kesempatan dalam pengembangan
bukit Baginda sebagai salah satu geoheritage di pulau Belitung.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam riset ini yaitu menggunakan metode yang
dikenalkan oleh Pereira dan Pereira (2010) dengan modifikasi. Metode ini terbagi
4

menjadi dua tahapan, yang pertama adalah tahapan inventarisasi dan yang kedua
adalah tahapan kuantifikasi. Tahap inventarisasi mengandung empat sub-tahapan
dan tahap kuantifikasi mengandung dua sub-tahapan.
1. Tahap Inventarisasi
a. Identifikasi potensi geomorphosites
Tujuan utama dari tahap inventarisasi adalah memilih daerah yang dapat
didefinisikan sebagai geomorphosites berdasarkan empat faktor identifikasi.
b. Penilaian kualitatif
Sub-tahapan ini dipakai untuk menentukan nilai intrinsik, potensi kegunaan,
dan kebutuhan akan perlindungan. Nilai geomorfologi yang terkandung dari
intrinsik antara lain adalah ilmiah, ekologi, budaya dan keindahan. Potensi
kegunaan didefinisikan sebagai aksesibilitas, kemudahan untuk dilihat, dan
kegunaan lain seperti nilai-nilai budaya dan alamiah. Aspek terakhir yaitu
kebutuhan akan perlindungan didefinisikan berdasarkan dua kriteria, yaitu
kerusakan dan kerentanan.
c. Pemilihan Geomorphosite
Pemilihan geomorphosite berdasarkan peringkat di sub-tahapan
sebelumnya, yaitu penilaian kualitatif. Dari sub-tahapan tersebut, total nilai
tertinggi akan dipilih untuk pengkarakterisasian. Pemilihan geomorphosite
mempunyai nilai kriteria dari penilaian kualitatif, kemudian dikelompokkan
menjadi empat kelompok yang berbeda (tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4).
d. Karakterisasi Geomorphosite
Deskripsi mendetail pada kriteria yang akan terpilih untuk geomorphosite
sekaligus memperlengkap proses kompilasi pada tahapan inventarisasi. Informasi
yang sudah didapat dapat digunakan untuk tahapan selanjutnya yaitu tahap
kuantifikasi.
2. Tahap Kuantifikasi
a. Penilaian Numerik
Pada tahap ini, kriteria yang sudah didapatkan pada tahap inventarisasi
dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu indikator utama dan indikator tambahan.
Total dari semua indikator pada sub-tahapan ini menjelaskan nilai keseluruhan dari
geomorphosites.
Di sub-tahapan ini, digunakan dua jenis penilaian numerik. Penilaian yang
pertama adalah menurut Pereira, et al., (2007) dan penilaian yang kedua adalah
menurut Kubalíková (2013).
b. Analisis dari hasil
Pada analisis dari hasil, digunakan metode yang berbeda dengan yang
disarankan oleh Pereira. Pada sub-tahapan ini, digunakan metode baru, seperti yang
bisa dilihat pada tabel 1. Tabel tersebut membagi 100% menjadi tiga kelompok
yang berbeda dengan persentasenya masing-masing. Persentase tersebut dihitung
dari total nilai pemrosesan geomorphosites pada penilaian numerik kemudian
dibagi nilai maksimum yang bisa didapat, kemudian dikalikan 100%. Untuk
5

pemrosesan numerik oleh Pereira, nilai maksimumnya adalah 20 dan Kubalíková


adalah 18,5. Kemudian mengklasifikasian hasil akhir nilai presentase tersebut yang
mempunyai deskripsinya masing-masing pada tiap kelasnya (lihat tabel 1)
Tabel. 1 Analisis dari penilaian numerik untuk kedua jenis penilaian numerik
Kelompok Persentase Deskripsi
I <33% Kurang direkomendasikan untuk geowisata
II 33-66% Direkomendasikan untuk geowisata
III >66% Sangat direkomendasikan untuk geowisata

HASIL DAN PEMBAHASAN

Geoheritage didefinisikan sebagai komponen dari keberagaman geologi di


alam akan nilai-nilai yang signifikan terhadap manusia, termasuk riset ilmiah,
pendidikan, keindahan dan inspirasi, pengembangan kultur dan budaya, dan sebagai
tempat yang digunakan oleh komunitas (Kubalíková, 2013). Geomorphosites
didefinisikan sebagai bagian dari geomorfologi yang merupakan warisan geologi,
dimana geomorphosites ini merupakan singkatan dari geomorphological sites atau
situs geomorfologi (Pereira dan Pereira, 2010, dan Kubalíková, 2013). Jika kedua
definisi tersebut diterima dengan baik, maka beberapa geosites dan geomorphosites
dapat dijadikan contoh spesifik dari geoheritage (Kubalíková, 2013)
Data riset yang didapat dari observasi langsung dilapangan memenuhi
semua kriteria yang dibutuhkan di tiap metode, kemudian dihasilkan data dan
diskusi lebih lanjut tentang data tersebut. Bukit Baginda memenuhi syarat-syarat
dasar dari warisan geomorfologi dan geologi atau geoheritage. Kenampakan
panoramanya dapat memperlihatkan banyak bentang alam disekitarnya. Komposisi
utama dari bukit tersebut adalah Adamelit Baginda.. Secara ilmiah, Baginda pun
sudah diketahui sebagai lokasi tipe geologi dan nama dari formasi Adamelit
Baginda (Baharuddin dan Sidarto, 1995). Flora yang dapat dilihat disekitar bukit
antara lain adalah pohon kelapa sawit dan lada yang ditanam oleh masyarakat
setempat, sehingga kriteria yang dibutuhkan terpenuhi.
Bukit Baginda dinilai secara kualitatif dari nilai intrinsik (IV), potensi
kegunaan (PU), dan kebutuhan akan perlindungan (NP). Dari nilai intrinsik (IV),
keilmiahan (Sc) dinilai 3 (menengah), ekologi (Ec) dinilai 3 (menengah), budaya
(Cul) dinilai 5 (sangat tinggi), keindahan (Ae) dinilai 4 (tinggi). Dari potensi
kegunaan (PU), aksesibilitas (Ac) dinilai 4 (mudah/bagus), dan kemudahan untuk
dilihat (Vi) dinilai 5 (sangat mudah/sangat bagus). Dari kebutuhan akan
perlindungan (NP), kerusakan dan kerentanan dinilai 1 (rendah).
Dari nilai yang diberikan pada tiap kriteria dalam sub-tahapan pemilihan
geomorphosites (Pereira dan Pereira, 2010), bukit Baginda masuk kedalam
kelompok 2, karena kriteria tersebut memenuhi kriteria yang dibutuhkan yaitu nilai
Sc = 3, Cul ≥4 atau Ae≥4, Ac≥3 dan Vi≥4, De≤2 dan Vu=1.
6

Bukit baginda adalah bukit yang terisolasi karena terletak diantara dataran
rendah yang dekat dengan pantai. Kelerengan nya berkisar antara 20°-25°. Titik
tertinggi adalah 110 meter dan titik terendahnya adalah 20 meter di atas permukaan
laut. Pola penyalurannya adalah radial. Terdapat beberapa kelurusan disekitar bukit,
dengan arah utama Barat Laut – Tenggara dan Timur Laut – Barat Daya. Proses-
proses eksogenik yang terjadi pada bukit antara lain adalah erosi dan pelapukan.
Kegunaan lahan disekitarnya antara lain adalah perkebunan, pertambangan dan
perumahan. Bencana geologi yang mungkin terjadi adalah tanah longsor atau
gerakan massa.
Bukit Baginda memiliki hubungan yang erat dengan penduduk sekitarnya.
Banyak masyarakat yang mengadakan upacara tradisional di atas bukit tersebut
setiap mereka sembuh dari suatu penyakit, berhasil menangkap banyak ikan, atau
pada kesempatan-kesempatan khusus lainnya. Perayaan-perayaan tersebut
dipimpin oleh seorang dukun setempat. Penduduk lokal mempunyai kepercayaan
bahwa bongkahan batu yang berada di atas bukit merupakan sebuah media
perantara antara manusia dan makhluk gaib yang tinggal di Bukit Baginda. Mereka
juga meyakini bahwa pengunjung yang datang dengan niatan yang buruk dan
pengunjung wanita yang sedang datang bulan akan tersesat dalam perjalanannya.
Dukun setempat pun mengatakan bahwa Bukit Baginda merupakan peninggalan
dari leluhur terdahulu dengan adanya kepercayaan masyarakat setempat tersebut.

Gambar 1. Peta Geomorfologi Bukit Baginda, Pulau Belitung (Peneliti, 2016)

Jalan masuk ke area parkir Bukit Baginda sudah sangat baik. Setelah sampai
di tempat parkir, pengunjung dapat mendaki puncak Bukit Baginda hanya dengan
jalan kaki melalui jalan setapak sejauh kira-kira 200 meter.
7

Sepanjang jalan setapak dari area parkir terdapat tumbuhan-tumbuhan yang


mungkin akan menarik perhatian pengunjung yang lewat. Pada saat momen yang
tepat, pengunjung juga bisa melihat monyet dan babi hutan.
Tidak terdapat satu bangunan pun pada lokasi ataupun jalan menuju puncak
bukit. Kerusakan yang mungkin terjadi disebabkan oleh proses-proses alam, seperti
erosi dan pelapukan. Kemungkinan geomorphosite di masa mendatang akan
dimanfaatkan sebagai objek geowisata. Seiring dengan bertambahnya jumlah
pengunjung, jumlah bangunan dan infrastruktur, hal-hal pendukung lainnya pun
akan meningkat.
Bukit Baginda belum memiliki dasar hukum, baik dari pemerintah maupun
dari sektor swasta. Ada beberapa hotel dan restoran dengan jarak kurang dari 5
kilometer dari Bukit Baginda. Cinderamata belumlah menjadi daya tarik utama dari
lokasi ini karena rendahnya minat penduduk setempat untuk membuat hal tersebut.
Selain itu, masyarakat memang tidak berniat untuk mengembangkan lokasi ini
sebagai objek pariwisata lantaran bukit ini masih belum dikenal banyak orang
dibandingkan dengan lokasi wisata lainnya disekitarnya.
Pengetahuan dan informasi lebih lanjut mengenai geomorfologi dan
geologi, infrastruktur keamanan yang lebih baik serta pengakuan hukum oleh
pemerintah sangat dibutuhukan untuk prakualifikasi dan penerapannya sebagai
suatu geomorphosite.
Setelah tahap inventarisasi selesai, tahap berikutnya merupakan tahap
kuantifikasi. Sub-tahapan pertama (penilaian numerik) menggunakan dua jenis
penilaian numerik. Yang pertama adalah penilaian oleh Pereira (2007) dan yang
kedua oleh Kubaliková (2013).
Pertama, penilaian numerik yang dikemukakan oleh Pereira, dkk., (2007).
Total nilai Bukit Baginda dengan menggunakan penilaian numerik ini adalah 13,66
(dari nilai maksimal 20), seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil penilaian numerik menggunakan metode Pereira, dkk., (2007).

Pereira, et al ., (2007)
ScV AdV PrV UsV Total Maximum Score Percentage Group Descri
3,75 2,68 1,75 5,48 13,66 20 68,3% III More Recommende

Kedua merupakan penilaian numerik oleh Kubalikova (2013). Total nilai


Bukit Baginda dengan menggunakan penilaian numerik ini adalah 12,5 (nilai
maksimal 18.5), seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil penilaian numerik menggunakan metode Kubalíková (2013).
Kubalíková (2013)
ScIV EdV EcV CV AV Total Maximum Score Percentage Group Description
3 2 2 3 2,5 12,5 18,5 67,57% III More Recommended fo
8

Sub-tahap penilaian numerik menunjukkan nilai total dari kedua jenis


penilaian yang kemudian dihitung dan dikelompokkan dalam hasil analisis. Nilai
total untuk penilaian Pereira adalah 13,66 sedangkan Kubalikova 12,5. Angka-
angka perolehan tersebut dapat digunakan untuk menghitung presentasi dari kedua
jenis penilaian numerik seperti yang tertera pada persamaan 1 dan persamaan
2.
Pereira, et al., (2007)
13.66 (1)
× 100% = 68.3%
20
Kubalíková (2013)
12.5 (2)
× 100% = 67.57%
18.5
Dari persamaan 1 dan persamaan 2, nilai total dari setiap penilaian numerik
membuktikan bahwa Bukit Baginda memiliki nilai antara 66-100% (dengan
menggunakan klasifikasi di Tabel 1). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa
Bukit Baginda tergolong dalam kelompok III, yaitu kelompok yang sangat
disarankan untuk menjadi objek geowisata.
Objektif dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan geomorphosite
dan perbandingan antara dua metode penilaian numerik. Fokus utama dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan sudut pandang paling objektif secara
kualitatif dan kuantitatif mengenai parameter yang ada dalam pontensi situs
geomorfologi.
Mengenai hasil dari metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat
diasumsikan bahwa Bukit Baginda tidak dapat dipandang sebelah mata mengingat
bukit tersebut tergolong dalam Kelompok III, yang juga merupakan kelompok yang
sangat direkomendasikan sebagai menjadi objek geowisata.
Namun, masih terdapat beberapa hambatan yang harus disingkirkan, yaitu:
1. Susahnya mendapatkan material untuk studi pendahuluan karena kurangnya
penelitian dan makalah yang diterbitkan dalam bidang ini,
2. Tangga tradisional yang digunakan oleh para pengunjung untuk mencapai
puncak Bukit Baginda tidak pantas untuk penggunaan jangka
panjang karena tangga tersebut sudah usang dan butuh perbaikan,
3. Banyak hewan buas yang perannya dapat menguntungkan dan sekaligus
merugikan pengunjung. Di satu sisi mereka dapat menarik perhatian turis
dengan keanekaragaman faunanya, sedangkan di sisi yang lain mereka juga
dapat menjadi penghambat pengunjung untuk mencapai puncak bukit,
4. Bukit Baginda bukan merupakan objek wisata populer di Pulau Belitung,
5. Keragaman cinderamata di Pulau Belitung tidak berhubungan dengan Bukit
Baginda,
9

6. Promosi mengenai Bukit Baginda dari pemerintah maupun sektor swasta


belum dilakukan dengan maksimal.

Solusi dari permasalahan di atas dapat diselesaikan secara komprehensif


dan kronologis. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan penelitian
sehingga semua aspek geologi dan geomorfologi Bukit Baginda dapat diamati dan
diterbitkan dalam khalayak internasional. Setelah itu, pengembangan infrastruktur,
yang mestinya berbasis ramah lingkungan, sebaiknya dilakukan oleh pemerintah
dengan dukungan dari sektor swasta dan kerjasama penduduk setempat untuk
menjadikan Bukit Baginda sebagai geoheritage di Pulau Belitung. Hal ini bukan
hanya perlu diketahui bersama, tetapi juga untuk disetujui dan diakui secara legal
oleh segala pihak.
Selain itu, pembangunan infrastruktur dan pengembangan kepeminatan
penelitian harus bisa menjadi lebih baik di masa mendatang. Nantinya, ketika Bukit
Baginda sudah menjadi salah satu tujuan wisata yang paling sering dikunjungi di
Pulau Belitung, pemerintah dan swasta-lah yang harus bertanggung jawab untuk
menjaga dan memelihara sisi estetika, promosi, dan cinderamata Bukit Baginda.
Dukungan penuh dari masyarakat setempat juga hendaknya jangan sampai terlupa
dan dijadikan faktor pelengkap belaka.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada dasarnya, adalah suatu hal yang sangat menarik untuk mengkaji
kondisi geologi dan geomorfologi Bukit Baginda yang terdiri dari Adamelit dan
pemandangan panorama yang sangat indah dari sisi Barat Daya Pulau Belitung ini,
yang merupakan bagian dari Satuan Perbukitan intrusi adamelit berlereng landai-
terjal.
Berdasarkan analisis kedua metode, baik kualitatif dan kuantitatif, Bukit
Baginda telah terbukti mempunyai kriteria dan karakter yang mencukupi untuk
menjadi objek geowisata.
Meskipun metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
penilaian numerik sebagai bagian dari tahap perhitungan yang diharapakan dapat
mengeliminasi subjektivitas, subjektivitas akan selalu ada dalam pemberian nilai
pada beberapa kriteria karena kriteria tersebut tidak bisa diukur dengan persis.
Walaupun demikian, metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini
perlu disempurnakan dan ditingkatkan karena kriteria untuk daftar penilaian
kelayakan suatu lokasi sebagai lokasi yang berpotensi sebagai objek geowisata
belumlah lengkap dan membutuhkan diskusi lebih lanjut.
Dengan tujuan menjadikan Bukit Baginda sebagai objek geoheritage dari
Pulau Belitung, hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
 Meningkatkan jumlah makalah penelitian yang diterbitkan
 Menyampaikan lebih banyak informasi ilmiah mengenai Bukit Baginda
10

 Membangun infrastruktur Bukit Baginda, dan


 Memastikan segala pihak paham dan terlibat dalam situasi yang sedang
dihadapi sekarang terkait perkembangan bukit Baginda.

Dengan demikian, target untuk menjadikan bukit Baginda sebagai objek


geowisata akan benar-benar terlaksana.
Saran lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwa masih banyak
sekali tempat-tempat di Indonesia yang belum diamati dengan baik yang
sebenarnya memiliki kondisi geologi dan geomorfologi yang menarik, seperti Bukit
Rammang-Rammang, Gunung Bambapuang, dan Gunung Latimojong di bagian
Selatan dari Pulau Sulawesi, Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada seluruh tim KKN-PPM BBL-10 dan warga desa Padang
Kandis, Membalong, Belitung, atas segala bantuan dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin and Sidarto. 1995. Geological Map of the Belitung Sheet, Sumatera.
Geological Research and Development Center. Bandung.
Barber, A. J., Crow, M. J., and Milsom, J. S. (eds) 2005. Sumatra: Geology,
Resources and Tectonic Evolution. Geological Society. London, Memoirs.
Brahmantyo, B. and Bandono. 2006. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform)
untuk Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk
Penataan Ruang. Jurnal Geoaplika, Volume 1, No. 2, p. 071-078
Kubalíková, L. 2013. Geomorphosite assesment for geotourism purposes. Czech
Journal of Tourism 02/2013.
Pereira, P. 2006. Património geomorfológico : conceptualização, avaliação e
divulgação. Aplicação ao Parque Natural de Montesinho. PhD thesis,
Departmento de Ciências da Terra, universidade do Minho.
Pereira, P., Pereira, D. I., Alves, M. I. C. 2007. Geomorphosite assessment in
Montesinho Natural Park. Geographica Helvetica. Portugal.
Pereira, P. and Pereira, D. I. 2010. Methodological guidelines for geomorphosite
assessment.
Van Bemmelen, R.W., 1949. the Geology of Indonesia, Vol. 1 A. Government
Printing Office, The Hauge, Amsterdam.
Van Zuidam, R.A., 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic
Interpretation And Mapping, ITC. Enchede, the Netherlands.
Belitung (2015, November 30). http://wikipedia.org/wiki/Belitung.
15

Anda mungkin juga menyukai