Anda di halaman 1dari 67

PENAFSIRAN AYAT-AYAT THAHARAH DALAM KITAB

TAFSIR AL-MISBAH (STUDI TAFSIR TEMATIK)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Al-Qur‘an Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam

Oleh
AHMADIL BADRI
NIM. UT. 131586

JURUSAN ILMU AL-QUR‟AN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
DRS. H. Ishaq Abdul Aziz, M.Fil,I Jambi, Desember 2020
Ahmad Mustaniruddin, M.Ag

Alamat : Fak. Ushuluddin Dan Studi Agama Kepada Yth.


UIN STS Jambi Bapak Dekan
Jl. Raya Jambi-Ma. Bulian Fak. Ushuluddin Dan Studi Agama
Simp. Sungai Duren UIN STS Jambi
Muaro Jambi di-
JAMBI

NOTA DINAS

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca dan mengadakan perbaikan sesuai dengan persyaratan yang berlaku di Fakultas
Ushuluddin Dan Studi Agama UIN STS Jambi, maka kami berpendapat bahwa Skripsi saudara
(Ahmadil Badri) dengan judul ―(Penafsiran Ayat-ayat Thaharah dalam Kitab Tafsir Al-Misbah
(Studi Tafsir Tematik))‖ telah dapat diajukan untuk dimunaqashahkan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan (Ilmu Al-Qur‘an Dan Tafsir) pada Fakultas
Ushuluddin Dan Studi Agama UIN STS Jambi.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan kepada Bapak/Ibu, semoga bermanfaat bagi
kepentingan agama, nusa dan bangsa.

Wassalam

Pembimbing I
Pembimbing II

DRS. H. Ishaq Abdul Aziz, M.Fil,I Ahmad Mustaniruddin, M.Ag


NIP. 19551231 1786011 004 NIP.19910824 2019031 011

i
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Ahmadil Badri

Nim : UT. 131586

Tempat/Tanggal Lahir : Lopak aur/ 12.03.1994

Konsentrasi : Ilmu Al-Qur‘an Tafsir

Alamat : Desa Lopak aur, RT: 04

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi yang berjudul “PENAFSIRAN AYAT-
AYAT THAHARAH DALAM KITAB TAFSIR AL-MISBAH (STUDI TAFSIR TEMATIK)” adalah benar karya
asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang telas disebutkan sumbernya sesuai ketentuan yang
berlaku. Apabila dikemudian hari ternyata pernyataan ini tidak benar, maka saya sepenuhnya
bertanggung jawab sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan ketentuan di Fakultas
Ushuluddin UIN STS Jambi, termasuk pencabutan gelar yang saya peroleh melalui Skripsi ini.
Demikianlah Surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
seperlunya.

Jambi, 2020
Penulis,

Ahmadil Badri
UT.131586

ii
MOTTO

                

             

Artinya: ―Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.‖1

1
Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)

iii
TRANSLITERASI
A. Alphabet

Arab Indonesia Arab Indonesia


‫ا‬ Alif ‫ض‬ Dho
‫ب‬ Ba ‫ط‬ Tho
‫ت‬ Ta ‫ظ‬ Zho
‫ث‬ Tsa ‫ع‬ „ain
‫ج‬ Jim ‫غ‬ Ghin
‫ح‬ ha ‫ف‬ Fa
‫خ‬ Kho ‫ق‬ Qof
‫د‬ Dal ‫ك‬ Khaf
‫ذ‬ Dzal ‫ل‬ Lam
‫ر‬ Ro ‫م‬ Mim
‫ز‬ Zai ‫ن‬ Nun
‫ش‬ Sin ً Wau
‫ش‬ Syin ‫ه‬ Ha
‫ص‬ Sho ‫ي‬ Ya

B. Vokal dan Harkat

Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia

C. Ta’ Marbutah

iv
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini untuk :
orang-orang yang kucintai ayahanda H.Ilyas aziz dan ibunda Syamsinar
yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil
yang tak henti-hentinya,
semangat dan do'a, kasih sayang dan pengorbanan
yang tak terhitung nilainya.
Kakak pertamaku Feriadi, kakak keduaku Yunardi,
kakak ketigaku M.Taufiq dan kakak ke empatku Husni Mubaraq
dan seluruh keluargaku, keikhlasan dan dukungan mereka menumbuhkan semangatku agar
diriku bisa bergelar atau menjadi sarjana satu (S1),
dan kepada seluruh dosen IAT beserta sahabat-sahabatku IAT A dan B
senasib seperjuangan, makasih atas support dan kebersamaanya selama ini,
tanpa kalian hari-hariku dikampus takkan menjadi berwarna dan tak terlupakan juga untuk
sahabat-sahabatku non akademik,
mancak, ali, ade, erma, taqin, hambali, tiara, musdalifa, dewi, sauki, alfi, padli, yusuf, frans,
abd. karim, bng adi, bng haris, aa' wahyu, bj,
kk nana, tante muyu, rauf, mulyadi, wilda dan bujang mandiri printing
yang telah memberikan support terus menerus selama aku bersama kalian dan bantuan tenaga
waktu dan pikiran, terimakasih yg sebesar-besarnya aku ucapkan, tanpa semangat dari kalian
mungkin aku tidak akan sampai pada titik ini,
sekali lagi terimakasih banyak dan sungguh aku bangga memiliki kalian,
serta kepada orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan agama
dan almamater yang aku banggakan.
Semoga segenggam keberhasilan ini akan menjadi amal ibadah
demi keberhasilan pada masa yang akan datang,
aamin ya robbal'alamin

v
ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realitas yang memperhatinkan dan memerlukan perhatian,
yaitu banyaknya orang yang menganggap remeh thaharah/bersuci, oleh karena itu banyak sekali
penyakit yang menyerang tubuh pada orang-orang yang lalai dalam bersuci dalam setiap
perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT sangat menyukai orang-
orang yang suci, oleh karena itu islam mengajarkan wajib thaharah dalam melakukan ibadah
maupun thaharah jasmani dan rohani setiap manusia. Hal ini mendorong penulis untuk
mengemukakan kembali urgensi manusia dengan thaharah, ayat-ayat thaharah, fungsih thaharah ,
khususnya dalam konteks pemikiran Quraish shihab.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian Kepustakaan (Library
research). Dengan menjadikan bahan pustaka sebagai data penelitian. Dengan menekankan pada
sumber tertulis terutama karya Quraish shihab ―fungsi thaharah, pandangan thaharah menurut
Quraish shihab, serta penafsiran ayat-ayat thaharah‖. penelitian ini menggunakan pengumpulan
data dokumenasi, dengan merujuk terlebih dahulu pada kitab Al-Misbah, Al-Qur‘an dan
Terjemahannya, diteruskan dengan menganalisa terhadap beberapa literatur yang berkaitan
dengan pembahasan.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Penafsiran ayat-ayat Thaharah dalam
kitab Al-Misbah (Studi Tafsir Tematik) dapat dijadikan pengetahuan mengenai luasnya makna
thaharah, pentingnya thaharah dalam kehidupan sehari-hari dan fungsi thaharah dalam kehidupan
sehari-hari.

vi
KATA PENGANTAR

   

Alhamdulillah pujisyukurkepada Allah SWT, Tuhan yang Maha A‘lim yang kita tidak
mengetahui kecualiapa yang di ajarkannya, atas iradahnya hingga Skripsi ini dapat di
rampungkan. Sholawat dan salamat atas Nabi SAW pembawa risalah pencerahan bagi manusia.
Penulisan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat akademik guna
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ushuluddin dan studi Islam UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan dan arahan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Karena itu
penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. H. Su‘aidi asy‘ari, MA., ph.d selaku Rektor UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati selaku Wakil Rektor I UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. As‘ad Isma selaku Wakil Rektor II UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Bahrul Ulum selaku Wakil Rektor III UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak Dr. Abdul Halim, S.Ag., M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam
UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Bapak Drs. Masiyan, M.Ag selaku wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN
Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak Dr. Edy Kusnady, S.Ag., M.Phil selaku wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin dan Studi
Islam UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
8. Bapak Dr.M. Ied Al Munir. S.Ag., M.Ag., M.Hum selaku wakil Dekan III Fakultas
Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Bapak Dr. Bambang Husni Nugroho S.T selaku Ketua Jurusan IAT
10. Bapak Drs. H. Ishaq Abdul Aziz, M.Fil,I selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ahmad
Mustaniruddin, M.Ag sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan
mencurahkan pemikirannya demi mengarahkan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Para Dosen yang telah mendidik serta mengajarkan berbagai Ilmu Pengetahuan kepada
Penulis.
12. Para Karyawan/Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
13. Pemimpin Pustakaan di Lingkungan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
14. Sahabat-sahabat mahasiswa kelas IAT B angkatan 2013 yang telah menjadi patner diskusi
dalam penyusunan skripsiini.
15. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan motivasi tiada henti sehingga menjadi
kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

vii
Atas jasa mereka, penulis berdo‘a semoga Allah SWT memberikan imbalan yang
setimpal dan menjadi amal jariyah dan hanya kepada Allah SWT jualah Penulis memohon
ampun dan hanya kepada-Nya pula berserah diri, dan semoga Skripsi ini benar-benar dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jambi Desember 2020


Penulis,

Ahmadil Badri
Nim.UT. 131586

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................ii
NOTA DINAS ....................................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................................... v
MOTTO .................................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN ..................................................................................................vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalahan................................................................................. 7
C. Batasan Masalah ....................................................................................... 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 11

BAB II BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB


A. Riwayat Hidup M.Quraish Shihab ........................................................ 12
B. Latar Belakang Pendidikan M.Quraish Shihab ...................................... 14
C. Karya-karya M.Quraish Shihab .............................................................. 17

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG THAHARAH


A. Thaharah ................................................................................................. 21
B. Fungsi thaharah dalam kehidupan sehari-hari ........................................ 29
C. Pentingnya Thaharah dalam islam dan kehidupan sehari-hari ............... 31
D. Perbandingan pendapat mengenai Thaharah menurut ulama ................. 32

BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT THAHARAH DALAM KITAB TAFSIR AL-


MISBAH DAN THAHARAH MENURUT QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-
MISBAH
A. Penafsiran ayat-ayat Thaharah dalam kitab Al-Misbah .........................34
B. Pandangan Quraish Shihab tentang Thaharah dalam Tafsir Al-Misbah 51

BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ........................................................................................ 58
2. Saran-saran ........................................................................................ 59
3. Kata Penutup ...................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURICULUM VITAE

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Telah kita ketahui bahwa Al-Qur‘an yang secara harfiah berarti ―bacaan sempurna‖
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sangat tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak
manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu dapat menandingi Al-Qur‘an Al-Karim,
bacaan sempurna dan mulia. Al-Qur‘an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw melalui malaikat jibril, untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Dengan adanya Al-Qur‘an menjadi sangat jelas yang harus ditempuh. Kitab suci itu merupakan
pemisah antara yang halal dan yang haram antara yang sah dan bathil, kandungannya penuh
dengan penawar yang menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit. 2

Dalam kehidupan ini setiap insan pasti memerlukan bantuan kepada yang lainnya, tak ada
seorang pun yang tidak membutuhkan orang lain, sebagai makhluk sosial manusia saling
membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya dan ini merupakan fitrah manusia untuk
memohon pertolongan kepada orang yang lebih berkuasa, atau kepada orang yang kaya, atau
kepada orang yang memiliki kekuasaan apabila berada dalam kesulitan yang tidak dapat diatasi
sendiri.

Al-Qur‘an merupakan pilar bahasa tertinggi yaitu Bahasa Arab sebagai gantungan
kenabian dan kelestariannya, juga sandaran ilmu-ilmu dengan sekian ragam dan jumlahnya
sehingga mampu mengungguli semua bahasa di dunia, baik dalam pola maupun materinya. Al-
Qur‘an dari awal sampai akhir merupakan kekuatan yang mampu mengubah wajah dunia,
menggeser batas-batas wilayah kehambaan, mengubah laju sejarah dan menyelematkan manusia
yang sedang terpeleset, sehingga membuat format makhluk baru.3

Al-Qur‘an juga merupakan kitab suci yang menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat
manusia, dan merupakan kalam Allah ta‘ala, bagi siapa yang membacanya merupakan ibadah.
Al-Qur‘an sesunggunya ibarat lautan yang tidak bertepi. Tidak semua orang yang mampu

2
Supian, Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Praktis.(Jakarta: Gaung Persada.2012),02
3
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-„Urfan Fi „Ulum Al-Qur‟an, (Semarang:
Gaya Media Pratama, 1998), hlm. xxiii.

1
2

memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an, karena untuk menjadi seorang mufassir yang
ahli dalam bidang tafsir, maka Al-Qur‘an akan sulit dipahami oleh umat manusia terutama
orang-orang yang masih awam.4

Al-Qur‘an sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, di dalamnya terdapat
perihal keimanan, hukum-hukum, kisah-kisah, ibadah, muamalah dan lain-lain termasuk
petunjuk tentang Thaharah dalam kehidupan seorang muslim. Di dalam Al-Qu‘an surat Al-
Maidah ayat 6 terdapat perintah untuk mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu telah akan mengerjakan shalat, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk
melaksanakan shalat sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci/berhadas kecil, maka
berwudhulah, yakni basuhlah muka kamu seluruhnya dan tangan kam u ke siku , yakni sampai
dengan siku, dan sapulah,sedikit atau sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau
sapulah kedua kaki-kaki kamu sam pai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub , yakni
keluar mani dengan sebab apa pun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka
mandilah,yakni basahilah seluruh bagian badanmu5.
Setelah menjelaskan cara bersuci — wudhu dan mandi — dengan menggunakan air, lalu
dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan
itu adalah dan jika kamu sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir
bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang
dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari tem pat buang air. (kakus) setelah
selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat
kelamin, lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena tidak
ada atau tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik, yakni
suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu dan tangan kamu dengan tanah itu.
Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikit
kesulitan pun , karena itu disyariatkan-Nya kemudahan- kemudahan untuk kamu, karena Dia
hendak membersihkan kamu lahir dan batin dengan segala macam ketetapan-Nya, baik yang
kamu ketahui hikmahnya maupun tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmat-Nya bagi kamu,

4
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 1.
5
Opcit, 34
3

dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban
dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.6
Thaharah wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari karena, Selain menjadi bagian
utuh dari keimanan seseorang, masalah kesucian ini pun terkait erat dengan sah tidaknya ibadah
seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan banyaknya ibadah seseorang akan
menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak didasari dengan kesucian baik hakiki maupun hukmi.
Rasulullah saw bersabda: yang artinya : ―Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi
Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Ibnu 'Aqil dari Muhammad bin
Al Hanafiyyah dari Ali radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya (dari segala ucapan dan
gerakan di luar shalat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya kembali adalah salam 7."

Sangat banyak sekali tema-tema yang dibahas didalam Al-qur‘an, salah satunya adalah
mengenai thaharah.

Setelah saya melakukan penelusuran dalam kitab Fathur Rohman dan saya menemukan
sebanyak 18 surat serta 26 ayat yang membahas mengenai thaharah yaitu: Qs. al-Baqarah: 25,
125, 222, 232, Qs. ali-Imran: 15, 42, 55, Qs. an-Nisa: 57, Qs. al-Maidah: 6, 41, Qs. al-A‘raf: 82,
Qs. al-Anfal: 11, Qs. at-Taubah: 103,108, Qs. Hud: 78, Qs. al-Hajj: 26, Qs. al-Furqon: 48,Qs. an-
Naml: 56, Qs. al-Ahzab: 33, 53, Qs. al-Waqiah: 79, Qs. al-Mujadilah: 12, Qs.al-Mudatsir: 4, Qs.
al-Insan: 21, Qs. Abasa: 14, dan Qs. al-Bayyinah: 2. Dan sebagainya.

Menurut H. Ahmad Sarwat, Lc, MA, dalam bukunya Seri Fiqih Kehidupan bahwa
thaharah adalah bersih, akan tetapi bukan semata-mata kebersihan dalam arti bebas dari kotoran.8

Menurut Suad Ibrahim Shalih dalam bukunya Fiqih Ibadah Wanita bahwa thaharah
adalah suci dari kotoran dan najis dan kita boleh mengerjakan sholat, seperti wudhu, tayammum,
dan menghilangkan najis.9

6
Opcit, 34-35
7
HR. Abu Daud, Kitab Thaharah Bab Kewajiban Wudhu, Hadis No 56
8
Ali Zadah Faidullah, Fathurrohman, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro), hlm. 275.
9
Ahmad Saarwat, Seri Fiqih Kehidupan Jilid 2, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019), hlm.
45-46.
4

Menurut Yusuf Al-Qardawi, thaharah atau kebersihan merupakan salah satu unsur
penting dalam perilaku beradab. Islam menganggap kebersihan sebagai suatu sistem peradaban
dan ibadah. Karena itu, kebersihan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seorang muslim.10

Islam sangat memperhatikan masalah thaharah karena sesungguhnya Allah menyukai


kebersihan sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah (2): 222

              

               

Artinya: ―Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.‖ 11

Dalam hadis riwayat Muslim, sahabat Abu Malik Al-Asy‟ari ra berkata, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda:

―Artinya: ―Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami
Habban bin Hilal telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Yahya
bahwa Zaid telah menceritakan kepadanya, bahwa Abu Sallam telah menceritakan kepadanya
dari Abu Malik al-Asy'ari dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bersuci adalah setengah dari iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan
alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan
bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, kesabaran adalah sinar, dan al-Qur'an
adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia adalah
berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau
menghancurkannya." (HR. Muslim)12

10
Suad Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 83.
11
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan,
Penerjemah Faizah Firdaus, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 361.
12
Departeman Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010), hlm.35
5

Selain definisi di atas, Nasaruddin Razak berpendapat bahwa thaharah ialah suatu
keharusan yang tidak dapat ditawar lagi ia musti dilakukan menurut rukun dan syarat-
syaratnya.13

Sementara menurut Jalaluddin As-Syuyuthi dan Jalaluddin AlMahalli dalam kitab


Tafsir Jalalain mengungkapkan makna thaharah yaitu bersuci dari hadas dan dosa dengan cara
berwudhu, mandi dan tayammum.14

Menurut penulis, berdasarkan beberapa pengertian di atas secara ringkas, bahwa salah
satu karakter syariat Islam adalah sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan dan kesucian.
Ada begitu banyak detail perintah syariah yang secara langsung terkait dengan kebersihan,
sehingga penulis menyimpulkan bahwa Islam adalah kebersihan. Maka thaharah pada hakikatnya
adalah mensucikan diri dari najis atau dari hadas, sehingga di bolehkan untuk melakukan suatu
ibadah.Thaharah bisa dilakukan dengan berwudhu, mandi wajib,tayammum dan menghilangkan
najis, karena di dalam besuci terdapat dua bagian yaitu bersuci dari Hadats dan bersuci dari
Najis. Thaharah dari najis sering diistilahkan dengan thaharah haqiqi (‫)ٌقٍقح‬

Sedangkan thaharah dari hadas sering disebut dengan istilah thaharah hukmi ‫ًٌكح‬.15
Namun kalau dikaitkan dengan kenyataan bahwa sebagian umat Islam tidak melaksanakan apa
yang menjadi ajaran agamanya, tentu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk menuduh
bahwa syariat Islam identik dengan hal-hal yang jorok, kotor, dan bau. Memang sulit dipungkiri
asumsi bahwa masih cukup banyak umat Islam yang cenderung hidup kotor, jorok, dan tidak
perhatian pada kebersihan. Meski tidak sepenuhnya benar, namun dalam begitu banyak
kenyataan, agaknya banyak asumsi itu sulit untuk kita bantah. Hal itu karena begitu banyak fakta
yang terlihat dengan kasat mata. Sesungguhnya cukup banyak dalil dalam syariah Islam yang
menunjukkan bahwa agama ini benar-benar memberikan perhatian yang besar pada masalah ini.
Dan perhatian syariat Islam atas kesucian merupakan bukti nyata tentang konsistensi Islam atas
kebersihan. Dan juga bahwasanya Islam adalah agama yang sangat memperhatikan urusan
kebersihan dan kesucian. Inilah yang menjadikan saya tertarik mengangkat thaharah dalam

13
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Syuyuthi, Terjemah Kitab Tafsir Jalalain Berikut Asbabun
Nuzul, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 451.
14
HR. Muslim, Kitab Thaharah, Bab Keutamaan Wudhu, No. Hadis 328
15
Nasaruddin Razak, Disnul Islam cet II, (Bandung:Al-Ma‘arif, 1993), hlm.22
6

kitab tafsir Al-Miabah yang ditulis dalam bentuk skripsi berjudul ―Penafsiran Ayat-Ayat
Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah (Studi Tafsir Tematik).

B. Permasalahan
Pokok masalah yang diangkat dalam enelitian ini adalah: Bagaimana Penafsiran Ayat-
Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah ? Pokok masalah ini lebih jauh dapat
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Apa saja Fungsi Tharahah Dalam Kehidupan Sehari-hari?
2. Bagaimana pandangan Quraish shihab tentang thaharah dalam Tafsir Al-Misbah ?
3. Bagaimana Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah ?
C. Batasan Masalah
Disini saya akan membatasi pembahasan skripsi ini agar lebih terarah dan tidak meluas,
maka saya memberi batasan tentang permasalahan yang akan saya teliti agar mendapatkan
penjelasan yang lebih dalam dan terarah. Kalimat ―thaharah‖ dalam al- Qur‘an terdapat sebanyak
18 surat 26 ayat.16

Karena banyaknya ungkapan kata ―thaharah‖ dalam al-Qur‘an, maka saya membatasi
kajian ini hanya Qs.al-Muddatstsir: 4, Qs.al-Baqarah; 222, Qs.al-Anfal:11, Qs.al-Maidah: 6, dan
Qs. An-Nisa‘: 57

D. Tujuan dan Kegunaan penelitian


1. Tujuan penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan, tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai di dalam
setiap yang dilakukan. Dari uraian latar belakang masalah dan batasan masalah maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. Ingin mengetahui bagaimana Fungsi Tharahah Dalam Kehidupan Sehari-hari
b. Ingin mengetahui pandangan Quraish shihab tentang thaharah dalam Tafsir Al-Misbah
c. Ingin mengetahui Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah

2. Kegunan penelitan
Kegunaan penelitian ini adalah untuk:

16
Zadah Faidullah, Fathurrohman, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro), hlm. 275
7

a. Dapat di jadikan pengetahuan mengenai Fungsi Tharahah Dalam Kehidupan Sehari-hari.


b. Dapat digunakan sebagai acuhan dan strategi masyarakat dalam rangka untuk mengetahui
mengenai pandangan Quraish shihab tentang thaharah dalam Tafsir Al-Misbah
c. Agar tercapainya tujuan pengetahuan mengenai Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam
Kitab Tafsir Al-Misbah.
E. Tinjauan Pustaka
Melakukan kajian pustaka merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan pengetahuan
penulis tentang suatu kajian tertentu. Kajian pustaka memberikan informasi kepada para
pembaca tentang penulis dan kelompok penulis yang memiliki pengaruh dalam suatu bidang
tertentu.17

Pada kajian ini, setelah ditelusuri di penulisan karya ilmiah dan browsing internet,
ditemukan beberapa penelitian mengenai thaharah yaitu: Pertama, skripsi karya S. Afiyah,
mahasiswi asal UIN Walisongo Semarang, Fakultas Ushuluddin yang berjudul ―Hubungan
Pemahaman Materi Thaharah Dengan Kesadaran Menjaga Kebersihan.‖ Latar belakang
penelitian ini yaitu apabila siswa semakin faham dengan materi thaharah maka siswa akan
semakin sadar dalam menjaga kesehatan dan sebaliknya apabila siswa kurang faham dengan
materi thaharah, maka siswa akan kurang sadar dalam menjaga kebersihan 18.

Kedua, skripsi karya Nadliva Elan Nisa, Mahasiswa asal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam yang berjudul ― Implikasi Perbedaan Qira‘at
Mutawatirah Terhadap Penafsiran Ayat Thaharah, Sholat, Puasa (Studi Atas Kitab al-Jami‘
Ahkam al-Qur‘an karya al-Qurthubi). Latar belakang penelitian ini karena dalam al-Qur‘an
banyak terdapat kata-kata yang mengandung ayat-ayat ahkam khususnya mengenai thaharah,
sholat, dan puasa, sehingga penulis lebih ingin mengkaji dan meneliti lebih dalam tentang
thaharah, sholat, dan puasa dari segi qira‘at, ragam dan kualitas serta impilasinya menurut
pandangan al-Qurtubi.19

Adapun penelitian tentang penafsiran ayat-ayat thaharah dalam Tafsir Al-Misbah (Studi
Tafsir Tematik) belum saya temukan, dengan demikian pembahasan yang akan saya lakukan
dapat dilanjutkan.
17
Sudarwan Darmin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 105.
18
S. Afiyah, Hubungan Pemahaman Materi Thaharah Dengan Kesadaran Menjaga
Kebersihan, (Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, Semarang, 2009), hlm. 37
19
Nadliva Elan Nisa, Implikasi Perbedaan Qira‟at Mutawatirah Terhadap Penafsiran
Ayat Thaharah, Sholat, Puasa (Studi Atas Kitab al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an karya al-Qurthubi),
(Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016), hlm. 9-10
8

F. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam pembahasan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Jenis dan Pendekatan


Jenis penelitian yang penulis lakukan ini bersifat kajian pustaka (library research) yaitu
penelitian yang menekankan pada penelusuran dan penelaahan literatur terhadap berbagai kitab,
buku, literatur, atau karya yang ada. Semua ini sesuai dengan data yang berasal dari sumber-
sumber tertulis yang berkaitan dengan topik yang sedang dibahas 20.
Adapun pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif, yang
dimaksud untuk memahami fenomena tentang objek penelitian, dengan metode deskripsi dalam
bentuk kata-kata tertulis dan bahasa (naratif)21.
2. Sumber Data
Seperti biasa sumber data yang saya gunakan adalah sebagai berikut:
a. Data Primer

Data primer atau sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan kepada
pengumpul data.22 Berdasarkan dari penelitian yang penulis ajukan maka data primer yang
dimaksud merupaka data yang bersumber secara langsung dari kitab Tafsir Al-Misbah kaya
Quraish shihab.

b. Data sekunder
Data atau sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data.23 Data yang akan mendukung dalam penelitian ini, baik berupa buku-
buku, artikel-artikel ataupun karya ilmiah lainnya yang akan melengkapi data primer terkait
thaharah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang saya pakai merupakan tela‘ah pustaka (library research), maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara mengumpulkan atau mencari sumber data

20
Noeng Muhadjir, Metodologi Keilmuan Paradikma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007), hlm. 287
21
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), hlm. 4
22
Bekti Rahmasari, Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Hadis, (Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm. 17.
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 4.
9

dan bahan-bahan yang berkenaan dengan topik yang saya bahas. 24 Al-Qur‘an dan tafsir menjadi
sumber utama dalam penelitian ini, karena kajian ini membahas Al-Qur‘an dan tafsir secara
langsung, penafsiran, data-data, literatur, dan penelitian-penelitian yang masih terkait dengan
saya teliti.

4. Teknik Analisis Data

Ialah suatu jalan yang dilakukan bekerja dengan data-data, mencari data, mencatat, dan
mengumpulkannya. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji
secara maudhu‟i (tematik). Setelah data-data yang diperlukan semuanya terkumpul, langkah
selanjutnya adalah pengelolahan atau proses analisis data.25 Yang mana langkah-langkah
maudu‘I dalam penelitian ini adalah:

a. Penafsiran ayat-ayat thaharah dalam kitab al-misbah


b. Ayat-ayat yang di bahas yaitu: Qs. Al-Baqarah: 222, Qs. An-Nisa‘ 54, Qs. Al-Maidah: 6, Qs.
Al-Muddatsir: 4 dan Qs. Anfal: 11.
c. Menghimpun Hadits Nabi SAW. yang setema dan relevan dengan tema pembahasan skripsi
ini.
d. Menghimpun tafsir ayat-ayat yang di bahas dalam skrisi ini.
e. Menghimpun teori-teori ilmiah sebagai pendukung.
f. Mengolaborasikan dengan teori-teori ilmiah.
g. Menyimpulkan ajaran Al-Qur‘an tentang Penafsiran ayat-ayat thaharah dalam kitab al-
misbah.
Dilangkah ini peneliti berusaha mendeskripsikan secara komprehensif mengenai
penafsiran ayat-ayat thaharah menurut Quraish shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah yang
didapat dari berbagai data. Cara yang peneliti tempuh yaitu dengan memberikan gambaran
konsepsional tentang objek kajian penelitian secara sistematis sesuai dengan kerangka yang telah
ditentukan.

G. Sistematika Pembahasan

24
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 225.
25
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 225.
10

Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang isi penelitian ini dan agar
pembahasan tersusun secara sistematis, maka penelitian ini di tulis menjadi lima bab yaitu:

Bab pertama, saya menguraikan pendahuluan yang berupa latar belakang, rumusan
masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, saya menjelaskan tentang mengenal biografi Quraish Shihab

Bab ketiga, saya menjelaskan gambaran umum tentang thaharah

Bab keempat, saya membahas penafsiran ayat-ayat thaharah dalam kitab Al-Misbah dan
pandangan Quraish Shihab tentang thaharah dalam tafsir Al-Misbah.

Bab kelima, penutup yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan kata Penutup dalam
penelitian ini.
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB

A. Riwayat Quraish Shihab


M. Quraish Shihab, adalah salah seorang Cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia. Ia
lahir di Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. M. Quraish Shihab
berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof Abdurrahman Shihab
adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir dan mantan Rektor Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Alauddin (kini Universitas Islam Negeri Alauddin) Makassar. Sebagai
putra dari seorang guru besar, ia mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap
bidang studi tafsir dari ayahnya. M. Quraish Shihab kecil telah menjalani pergumulan dan
kecintaan terhadap Al-Quran sejak umur 6-7 tahun. Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota
Malang untuk ―nyantri‖ di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Karena ketekunannya
belajar di pesantren, dua tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa Arab. Melihat bakat bahasa
Arab yang dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislaman, M. Quraish Shihab
beserta adiknya Alwi Shihab dikirim ayahnya ke Al Azhar Cairo melalui beasiswa dari Provinsi
Sulawesi pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I‘dadiyah Al Azhar (setingkat
SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan Aliyah Al Azhar. 26
Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar pada Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967, ia meraih gelar Lc. Dua tahun kemudian (1969), M.
Quraish Shihab berhasil meraih gelar MA pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-I‘jaz
at-Tasryri‘i al-Qur‘an al-Karim (kemukjizatan alQur‘an al-Karim dari Segi Hukum). Pada tahun
1973, ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya mengabdi sebagai dosen di IAIN (kini UIN)
. Selain itu, iajuga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator
PerguruanTinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti
Pembantu Pemimpin Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di
Ujung Pandang, beliau juga sempat melakukan berbagai penelitian, antara lain: penelitian
dengan tema ―Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur‖ (1975) dan ―Masalah
Wakaf Sulawesi Selatan‖ (1978). Masih menurut catatan, pada 1980, M. Quraish Shihab kembali

26
Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab: 88

11
12

menuntut ilmu ke almamaternya, Universitas Al Azhar Cairo, Mesir. Ia mengambil spesialisasi


studi tafsir Al Quran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam
bidang ini. Disertasinya yang berjudulNazm ad-Durar li al-Biqa‘i Tahqiq wa Dirasah (Suatu
Kajian dan analisa terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa‘i)berhasil
dipertahankannya dengan predikat Mumtaz Ma‘a Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa
cumlude)27.
Sepulang ke Tanah Air, beliau mengabdi sebagai pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN
Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al Quran di Program S1, S2 dan S3
sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya
menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN (sekarang UIN) Jakarta selama dua periode (1992-1996
dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama RI selama
kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir
merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo. Selain mengajar, beliau juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama
(sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara
lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmuilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI). Di sela-sela segala kesibukannya itu, beliau juga terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, M.
QuraishShihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis, beliau juga tercatat sebagai anggota
Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur‘an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Dan
setiap bulan ramadhan, beliau juga mengasuh program khusus di sejumlah stasiun televisi swasta
di Indonesia, salah satu acaranya yaitu bertajuk tentang Tafsir Al Misbah. 28

27
Ibid:90
28
Mawaddah, Analisis Pendapat M. Quraish Shihab Tentang Konsep Kafa‘ah Dalam Mewujudkan Keluarga
Sakinah,(Makassar:UIN Alauddin Makassar, 2012) : 16-18
13

B. Latar Belakang Pendidikan Quraish Shihab


a) Pendidikan Quraish Shihab
Perjalanan pendidikan Quraish Shihab berawal pada pendidikan dasarnya yang
diselesaikan di Ujungpandang, kemudian pada tahun 1956,ia hijrah ke tanah Jawa tepatnya
dikotaMalang, Jawa Timur. Quraish Shihab melanjutkan pendidikanya di kota tersebut sambil
―nyantri‖ di pondok pesantren Darul-Hadits al-Faqihiyah.11Pondok pesantren Darul-Hadits al-
Faqihiyahdiasuh oleh al-Habib abdal-Qadir bilfaqih, perlu diketahui, sebagaimana pesantren
pada umumnya yang ada di Indonesia, pesantren ini beraliranSunni(Ahlu al-Sunnah wa al-
Jama‘ah). Walau demikian, penghormatan terhadap Ahlu al-Bayt dan Dzurriyah-nya cukup
tinggi, walau tidak berlebihan seperti kaum Syi‘ah. Hal ini, disamping faktor lain yang
kemudian membuat cara pandangnya terhadap kaum Syi‘ah sedikit lunak.29
Pada tahun 1958, Quraish Shihab berangkat ke Kairo, Mesir, atas bantuan beasiswa dari
pemerintah Sulawesi Selatan. Quraish Shihab bertolak ke mesir untuk mendalami studi ke-
Islaman, dan di terima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian tahun 1967
pendidikan strata satu diselesaikanya, ia mendapatkan gelar Lc (S1) pada Universitas al-Azhar,
pada fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Hadits. Selanjutnya ia mengambil pendidikan S.2 pada
fakultas yang sama di Universitas al-Azhar, dan memperoleh gelar Master (MA) pada tahun
1969 untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur‘an dengan menulis tesis berjudul Al-I‘jaz al-
Tashri‘li al-Qu‘ran al-Karim (Kemukjizatan Al-Qur‘an dari Segi Hukum).30
Setelah menyelesaikan pendidikanya di Mesir, Quraish Shihab kembali ke Ujung pandang
dan dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan pada IAIN
Alauddin Ujung pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus,
seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di
luar kampus, seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan
mental. Selama di Ujung pandang, ia sempat melakukan berbagai penelitian, antara lain:
penelitian dengan tema ―Penerapan Kerukunan Hidup beragama di Indonesia Timur‖ (1975) dan
―Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan‖ (1978).31
Quraish Shihabmenikah dengan Fatmawaty Assegaf pada 2 Februari 1975 di Solo. Mereka
dikaruniai lima orang anak, Najelaa, Najwa, Nasywa, Ahmad, dan Nahla. Najelaa menikah

29
Ibid: 33
30
Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‘an : 237
31
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: 81
14

dengan Ahmad Fikri Assegaf dan memiliki tiga anak, Fathi, Nishrin dan Nihlah. Putri kedua,
Najwa Shihab menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf dan memiliki dua orang anak, Izzat dan
almarhumah Namiya. Putri ketiga Nasywa, menikah dengan Muhammad Riza Alay drus, dan
memiliki dua orang putri, Naziha dan Nuha. Ahmad Shihab, satu-satunya anak laki-laki dari
Quraish Shihab, menikah dengan Sidah al-Hadad.32
Seorang Quraish Shihab adalah seorang yang selalu akan haus tentang keilmuan oleh
karenanya Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di
almamaternya yang lama, Universitasal-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nazm
al-Durar li al-Biqa‘iy: Tahqiq wa Dirasah,ia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-
Qur‘an dengan yudisium Summa Cumlaude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma‘a
martabat al-syaraf al-awla). Ia menjadi orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar
doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur‘an di Universitas al-Azhar.33
Mengamati perjalanan intelektual Quraish Shihab diatas, Nampak Quraish Shihab
dibesarkan di pusat dan bentenng ―ortodoksi‖ yakni universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Universitas al-Azhar adalah Universitas tertua dalam Islam yang didirikan oleh Dinasti
Fatimiah.34
Setelah kembali dari Mesir dengan membawa gelar doktoralnya, Sejak tahun 1984,
Quraish Shihab dipercaya untuk menjadi staf pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus kesibukan Quraish
Shihab antara lain: sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota
Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989) dan anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (sejak 1989), Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, pengurus

32
Opcit: 98
33
Opcit: 81
34
Secara umum, dengan tetap menyadari adanya kekecualian-kekecualian tertentu, tradisikeilmuan dalam studi
Islam di Universitas al-Azhar ditandai oleh tiga karakteristik. Pertama, dalam perkuliahan metode yang dipakai
umumnya adalah metode ceramah, dengan terutamamenekankan sistem hafalan. Karena itu, pengkajian pada satu
subyek cenderung terbatas padasatu kitab mukarrar atau buku teks: sikap kritis dari pihak mahasiswa belum
begitudipupuk danmetode penelitian tidak banyak berkembang. Kedua, paradigma yang dikembang dalam studiIslam
sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Memang benarbahwa arus pendekatan historis
dan sosiologis yang lebih liberal juga cukup kuat dalam diskursuskeislaman di Mesir, namun kecenderungan yang
disebut terakhir ini nampaknya tidak memasukitembok Universitas al-Azhar, sekurang-kurangnya ia tidak menjadi
mainstream dalam studi Islamdilingkungan Universitas al-Azhar. Ketiga, konsekuensi dari karakteristik kedua di atas,
orientasikemasyarakatan belum cukup berkembang atau kurang begitu dirasakan keperluannya dalamstudi Islam, dan
penyesuaian pengetahuan-pengetahuan keagamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
belum banyak dilakukan.Mambaul Ngadhimah dan Ridhol Huda.―Konsep Jihad Menurut M. Quraish Shihab dan
Kaitanya dengan Pendidikan Agama Islam ―dalam Cendekiavol. 13 no. 1, Januari -Juni 2015.Dalam footnote : 5
15

Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua
Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indenesia (ICMI). 35
Sebelum presiden Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang di
usung para mahasiwa, Quraish Shihab pernah menjabat sebagai Menteri Agama Kabinet
Pembangunan VII tahun 1998. Namun, tidak seberapa lama menjabat ia harus harus turun seiring
dengan lengsernya Soeharto, ia menjabat selama dua bulan lamanya. Namun tidak lama
kemudian Quraish Shihab diangkat mejadi Duta Besar untuk Republik Arab Mesir, Somalia,
dan Jibouti.36
Quraish Shihab adalah seorang ulama‘ yang memiliki sifat-sifat sebagai guru atau
pendidik yang patut diteladani. Penampilanya yang sederhana, tawadhu‘, sayang kepada
semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip.37 Demikian sifat-sifatnya yang mulia
tersebut pantas untuk kita tiru dalam kehidupan sehari-hari. Selain hal itu yang patut di tiru
adalah Quraish Shihab aktif menulis disela-sela kesibukanya yang padat. Quraish shihab
banyyak menulis di berbagai surat kabar, pada majalah Amanah,ia mengasuh rubrik tafsir, pada
harian Pelita ia mengasuh rubrik―Pelita Hati‖, pada harian Republika ia mengasuh rubrik―Tanya
Jawab Keagamaan dengan rubrik Mimbar Jum‘at‖. Disamping itu, ia mengasuh pengajia di
Masjid Istiqlal untuk para ―eksekutif‖ yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.38

C. Karya-karya Quraish Shihab

Meski disibukkan dengan berbagai aktivitas baik akademik maupun non-akademik,


Quraish Shihab termasuk penulis yang sangat produktif. Tulisan yang ia hasilkan mencakup
berbagai keilmuan Islam, baik di bidang syari‘ah (Fiqih), pendidikan islam, pemikiran islam,
maupun bidang tafsir al-Qur‘an. Tulisannya banyak dimuat dalam media massa seperti majalah,
surat kabar ataupun dalam bentuk buku tercetak. Adapun karya-karya yang ia hasilkan penulis
kumpulkan dalam empat kelompok: Pertama, karya-karya tafsir.
Kedua, artikel-artikel tafsir. Ketiga, ulumul qur‘an dan metodologi tafsir.
Keempat,wawasan keislaman :
1. Karya-karya Tafsir
35
Opcit: 81
36
Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab: 42
37
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan., hal. 366
38
Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab:. 42
16

a. Tafsir Mawdhu‘i(tematik)
Tafsir al-Qur‘an yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Berikut karya-karya M.
Quraish Shihab yang merupakan tafsir tematik atau menggunakan pendekatan tafsir tematik:
Wawasan al-Qur‘an (Mizan, 1996), Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000), Menyingkap Tabir
Ilahi: al-Asmâ‘ al-Husnâ dalam Perspektif al-Qur‘an(Lentera Hati,1998), Yang Tersembunyi:
Jin, Malaikat, Iblis, Setan(Lentera Hati, 1999) Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan
Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2004), Perempuan [Dari Cinta
Sampai Seks, Dari Nikah Mut‘ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru]
(Lentera Hati, 2004), Pengantin al-Qur‘an (Lentera Hati, 2007).
b. Tafsir Tahlili
Tafsir al-Qur‘an yang disusun berdasarkan urutan ayat ataupun surah dalam mushaf al-
Qur‘an dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan dengannya. Karya M. Quraish Shihab
yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-
Fâtihah (Untagma, 1988), Tafsir al-Qur‘an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah, 1997), Tafsir al-Mishbah : Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur‘an (Lentera Hati, 2000),
Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil (Lentera Hati,
2001), Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt. (Lentera Hati, 2002).
c. Tafsir Ijmali (global)
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‘an dengan cara mengemukakan makna ayat
secara garis besar, dengan mengikuti urutan surah-surah dalam al-Qur‘an sebagaimana metode
tahlili. Karya M. Quraish Shihab yang menjelaskan intisari kandungan ayat-ayat al-Qur‘an ini
yaitu:Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur‘an(Lentera Hati, 2012).
d. Terjemah al-Qur‘an
Berawal dari ketidak puasan M. Quraish Shihab terhadap terjemahan al-Qur‘an yang
banyak beredar selama ini, karya ini lahir. Banyak ulama menegaskan bahwa al-Qur‘an tidak
dapat diterjemahkan dalam arti dialih bahasakan, karena tak ada bahasa di dunia yang cukup
kaya untuk merangkum seluruh makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, karya beliau ini
diberi judul:Al-Qur‘an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010).
17

2. Maqalat Tafsiriyyah (Artikel-artikel Tafsir)


Artikel-artikel yang pernah ditulis Quraish Shihab yang selanjutnya dikumpulkan dan di
cetak menjadi sebuah buku, diantaranya: Membumikan al-Qur‘an(Mizan, 1992), Lentera Hati
(Mizan, 1994), Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‘an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Lentera
Hati, 2006) Membumikan al-Qur‘an Jilid 2 (Lentera Hati, 2011)3) Ulumul Qur‘an dan
Metodologi Tafsir. Diantara karya tulisnya dalam bidang ini seperti: Tafsir al-Manar:
Keistimewaan dan Kelemahannya (IAIN Alauddin, 1984), Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya
Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (Pustaka Hidayah Bandung, 1994), Rasionalitas al-
Qur‘an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar(Lentera Hati, 2005), Filsafat Hukum Islam
(Departemen Agama, 1987), Mukjizat al-Qur‘an (Mizan, 1996), Kaidah Tafsir(Lentera Hati,
2013).4) Tsaqafah Islamiyah (Wawasan Keislaman) Karya-karya Quraish Shihab dalam bidang
wawasan keislaman antara lain: Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998), Dia Di Mana-
Mana (Lentera Hati, 2004), Wawasan al-Qur‘an tentang Zikir dan Doa (Lentera Hati, 2006),
Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati, 2005),
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran
(Lentera Hati, 2007), Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati,2007), Yang Sarat dan yang Bijak
(Lentera Hati, 2007), M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui (Lentera Hati, 2008), Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah
Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi al-Qur‘an, 2008), Berbisnis dengan Allah (Lentera
Hati, 2008), Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2009), M. Quraish Shihab
Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010), Membaca
Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur‘an dan Hadits-Hadits Shahih(Lentera Hati,
2011), Doa Asmaul Husna: Doa yang Disukai Allah(Lentera Hati, 2011), Haji dan Umrah
Bersama M. Quraish Shihab(Lentera Hati, 2012), Kematian adalah Nikmat (Lentera Hati, 2013),
M. Quraish Shihab Menjawab pertanyaan Anak tentang Islam (Lentera Hati, 2014), Birrul
Walidain (Lentera Hati, 2014)39.
Dari berbagai karya tulis Quraish Shihab tersebut diatas, Kusmana memberikan
kesimpulan bahwa secara umum karakteristik pemikiran keislaman Quraish Shihab adalah
bersifat rasional dan moderat. Sifat rasional pemikiranya diabdikan tidak untuk, misalnya,

39
dirangkum dari satu bagian isi buku ―Berguru kepada Sang Mahaguru: Catatan Kecil (Seorang Murid)
tentang Karya-Karya dan Pemikiran M. Quraish Shihab‖ oleh Muchlis M. Hanafi. M. Quraish Shihab,
quraishshihab.com/work/ diakses pada 21 Agustus 2020
18

memaksakan agama menurut kehendak realitas kontemporer,tetapi lebih mencoba memberikan


penjelasan atau signifikansi pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap menjaga
kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, dia tetap berpegang pada adagium ulama‘ al-muhafazat
‗ala qadim al-salihwa al-akhz bi al-jadid al-aslah (memelihara tradisi lama yang masih relevan
dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).40

40
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan: 365-366
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG THAHARAH

A. Thaharah
a. Pengertian Thaharah
Thaharah merupakan ciri terpenting dalam Islam yang berarti bersih dan sucinya
seseorang secara lahir dan bathin. Dalam kamus bahasa arab,thaharah berasal dari kata ِ‫غٓر‬,
secara bahasa (etimologi) berarti membersikandan mensucikan.41 Sedangkan menurut istilah
(terminologi) bermaknamenghilangkan hadas dan najis.42 Thaharah berarti bersih dan terbebas
darikotoran atau noda, baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni ataulainnya), atau
yang bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat. Sedangkan secaraistilah adalah menghilangkan
hadas dan najis yang menghalangi pelaksanaansalat dengan menggunakan air atau yang
lainnya.43Dengan demikian, thaharah adalah bersih dan suci dari segala hadasdan najis,atau
dengan kata lain membersihkan dan mensucikan diri dari segalahadas dan najis yang dapat
menghalangi pelaksanakan ibadah seperti salat atauibadah lainnya.
Dasar HukumThaharahThaharah (bersuci) hukumnya ialah wajib berdasarkan penjelasan
alQuran ataupun as-Sunnah. Firman Allahdalam Q.S. al-Maidah/5: 6,

            

                

              

              

    

41
Abdul ‗Azhim Badawi,77
42
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim,87
43
Ibid,98

19
20

― Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit 44 atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh 45 perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur‖.46
Berdasarkan bunyi ayat di atas, Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
agar dalam melaksanakan ibadah kondisi tubuh atau badan harus bersih dan suci dari segala
kotoran baik yang terlihat maupun yang Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air. Artinya:
menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah:menyetubuhi.
Tidak terlihat, tidak ada alasan bagi orang yang beriman untuk tidak bersuci dalam
melaksanakan ibadah terutama salat.Suci yang dimaksud tidak hanya pada badan saja, tetapi juga
suci dariseluruh pakaian, tempat dan yang lainnya. Menjaga kesucian merupakan halyang
disenangi dan dicintaiAllah swt. Bahkan mendapatkan ampunan dari–
NyaSebagaimanadijelaskan dalam Al-Qur‘an berikut ini:FirmanAllah dalam Q.S. al-Baqarah/2:
222:

              

               



―Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri47 dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci48. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka

44
Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air
45
Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
46
Ibid: 47
47
Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
48
Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
21

itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.‖49
FirmanAllah swt.dalamQ.S. al-Muddatstsir/74: 4,

  

―Dan pakaianmu bersihkanlah‖.50


Teringat denganpengalaman dari salah seorangteman, dimana pada saatitu ia
inginmendirikansalat, tetapi pada saat yang bersamaan ia tidak bisa salatdisebabkan karena
pakaian yang ia pakaimeragukannya untuksalat.Melaluipengalaman ini, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa, kebersihan.51
Pakaian sangat berpengaruh pada aktivitas ibadah khususnya dalam melaksanakan
shalat.Berdasarkan bunyi ayat di atas,jelas bahwa thaharah sangat penting dilakukan dalam
melaksanakan ibadah terutama shalat. Ha ini juga di pertegas Rasulullah saw. dalam hadisnya
beliau bersabda:

‫مفتاح الصالة الطھور‬.


―Kunci shalat ialah bersuci‖.(HR. Tirmiziy:3) 52.
Dari beberapa dasar hukum thaharah diatas, makadapat dipahami bahwa bersuci adalah
wajib dilakukan bagi seorang muslim/muslimah apabila ingin melaksanakan ibadah seperti salat
atau yang lainnya, sedangkan ia dalam keadaan terkena hadas atau najis.
b. Macam-macam thaharah
Para ulama telah mengklasifikasikan thaharah menjadi dua macam:
 Thaharah haqiqiyyah
yaitu bersuci dari najis, yang meliputi badan,pakaian dan tempat
 Thaharah hukmiyyah
yaitu bersuci dari hadas53. Thaharah jenis ini hanya berkenaan dengan badan, yang terbagi
menjadi 3 bagian:
1) Thaharahqubrayaitu mandi.

49
Opcit :27
50
Opcit: 359
51
Ibid :. 35
52
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah: 85
53
Ibid: 85.
22

2) Thaharahshugrahyang berupa wudhu.


3) Pengganti keduanya dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan
keduanya (mandi dan wudhu), yaitu tayammum.
c. Alat thaharah dalam berthaharah
ada dua hal alat yang dapat digunakan yaitu:
1)Air mutlak, yaitu air yang suci dan mensucikan, yakni air yang masih murni dan belum
atau tidak tercampuri oleh sesuatu (najis). 54 Adapun air itu sendiri terdapat beberapa macam,
diantaranya ialah:
a)Air laut
dari Abu Hurairah, ia menceritakan:

‫سأل رجل رسول ﷲصلى ﷲ علیھ وسلم فقال یا رسول ﷲ إنا نركب البحر ونحمل معنا‬
‫القلیل من الماء فإن توضأنا بھ عطشنا أفنتوضأ من ماء البحر فقل رسول صلى ﷲ علیه‬
‫وسلم ھوالطھورماؤه الحل میتته‬
Artinya:―Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw:―Wahai Rasulullah, kami
berlayar di laut dan hanyamembawa sedikit air sebagai bekal. Jika kami pergunakan airitu untuk
berwudhu maka kami akan kehausan. Untuk ituapakah kami boleh berwudhu dengan
menggunakan air laut?Rasulullah menjawab:air laut itu mensucikan, di mana bangkai hewan
yang berada di dalamnya pun halal.‖(HR.Tirmiziy :69) 55
Air telaga Jenis air ini tergolong suci dan mensucikan, sehingga air tersebut dapat dipakai
bersuci.
c)Air sungaiAir sungai adalah air yangberjumlah banyak, dantergolong sucidan
mensucikan,sehingga dapat dipakai bersuci.
d)Air hujansebagaimana firman Alllah dalam Q.S. Al-Anfal/8: 11,

              

       

54
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah,Fiqih Wanita(Cet. XXVIII; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008): 6
55
Abi ‗Isa Muhammad bin ‗Isa bin Saurah: 130.
23

―(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-
Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan
itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan
mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)‖56.57
Air hujan adalah air yang diturunkan oleh Allah swt. darilangit, air hujan selain bermanfaat
bagi tanaman dan tumbuh-tumbuhan, juga juga kepada makhluk hidup lainnya. Khususnya
manusia, air hujan sangat bermanfaat dalam melakukan thaharah sebab air hujan tergolong air
suci dan mensucikan. Sebagaimanafirman Allah dalam Q.S. Al-Furqan/25: 48

              

― Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan
rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang Amat bersih‖.58
Air salju atau air es adalah air yang dapat dipakai bersuci, sebab jenis air ini tergolong suci
dan mensucikan.
f) Air embun
Air embun termasuk air yang dapat dipakai bersuci, sebab airtersebut tergolong suci
danmensucikan.
g) Air mata air atau air zam zam,
Air ini termasuk air yang suci dan mensucikan sehingga dapat digunakan untuk bersuci.
h) Air yang berubah karena lama tidak mengalir.
Air jenis inidi sebabkan karena tempatnya, tercampur dengan sesuatu yang memang tidak
bisa dipisahkan dari air itu sendiri,seperti lumut atau daun yang berada di permukaan air. Dalam
hal ini para ulama telah bersepakat menyebutnya sebagai air mutlak.59 Selain air mutlak, juga ada
beberapa air yang bisa dipakai bersuci diantaranya ialah:
 Air yang tercampur oleh sesuatu yang suci, Air dalam jumlahyang banyak apabila
berubah warnanya karena tidak mengalir.60

56
Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.
57
Opcit: 142
58
Opcit: 290
59
SyaikhKamil Muhammad Uwaidah: 8.
60
Ibid: 364.
24

 Air musta‘mal, yaitu air yang sudah terpakai atau terjatuh dari anggota badan orang yang
berwudhu. Hal ini berdasar pada sifat wudhu Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Juhaifah r.a.:
―Rasulullah saw. menemui kami pada tengah danair untuk berwudhu dibawa ke
hadapannya. Setelah Nabi saw diambil oleh sekelompok orang dan mereka mengolesi tubuh
mereka dengan air bekas whudu itu (sebagai suatu berkah).(HR. Bukhari:187).
Air yang terkena najis. Menurut kesepakatan ulama jika airbanyakyang terkena najis
mengalami perubahan,baik berubah rasa, warnah maupun baunya maka air tersebut tidak boleh
digunakan untuk bersuci. Sebaliknya, apabila air tersebut tidak mengalami perubahan (rasa,
warnah dan bau), air ini tetap suci dan mensucikan. Hal ini berlandaskan hadits dari Abu Sa‘id
Al-Khudri ra. Dia berkata:

ّ‫قٍم ٌب رسٕل ﷲصهىﷲ أَتٕظأ يٍ بئر بعبعت؟ فقبل رسٕل ﷲ إٌ انًبء غٕٓرالٌُجس‬
ً‫ش‬
―Pernah ditanyakan kepadaRasulullah:wahai Rasulullah,apakah kita akan berwudhu dengan air
sumur bidha‘ah(salah satu sumur yang ada di kota Madinah yang biasadigunakan untuk
membuang kain bekas pembalut wanita,daging anjing serta kotoran-kotoran lain)? Beliau
menjawab:air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh suatu apapun.‖ (HR.At-
Tirmiziy:66).61
Air banyak adalah air yang jumlahnya mencapai dua kullah (321liter). Sebagaima
Rasulullah Saw. pernah bersabda:

‫إذاكبٌ انًبء قهتٍٍ نى ٌحًم انخبث‬


.Artinya:―Apabilah jumlah air itu mencapai dua kullah, maka air itutidak mengandung
kotoran(tidak najis).‖ (HR. At-Tirmiziy:27).62
Imam Syafi‘i, telah menetapkan air yang tidak menjadi najis karena terkena atau
bercamp63ur benda najis, yaitu selama tidak berubah sifatnya sebanyak dua kullah atau lima
geribah.
 Air yang tidak diketahui kedudukannya.

61
Opcit: 128
62
Opcit 129
63
Syaikh Kamil Muhammad Uwaida: 13.
25

Hal ini berdasar padakisah Rasulullah pernah melakukan suatu perjalanan pada malamhari,
di mana beliau dan para sahabat melewati seorang yang tengah duduk di pinggir kolam yang
berisi air. Kemudian Umarra. bertanya:―Apakah ada binatang buas yang minum dikolammu ini
pada malam hari?‖maka Rasulullah berkata: Wahai pemilik kolam, jangan engkau beritahukan
kepadanya(Umar),karena itu suatu hal yang keterlaluan (mempersulit dirisendiri, red).‖(HR.
Ahmad dan Baihaqi).64
Air jenis ini seperti air yang berada di jalanan atau di suatu tempat yang tidak diketahui
kesuciannya, maka air tersebut tetap suci. Sebab Allah tidak membebani seseorang untuk
mencari hakikat air tersebut.
 Tanah yang suci diatas bumi, pasir, batu, tanah berair. Karena Rasululah
Saw. telah bersabda:

‫جعهت نً االرض يسجدا ٔغٕٓر‬


―Bumi dijadikan masjid, dan sucibagiku.‖ (HR.Bukhari:335). 65
Tanah bisa dijadikan sebagai alat thaharah jika air tidak ada,atau tidak bisa menggunakan
air karena sakit dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil beriku:
Firman Allah swt. dalamQ.S. an-Nisa‘: 43

‫ظ ٰی أَ ْٔ َعهَ ٰی َسفَ ٍر أَ ْٔ َجب َء أَ َح ٌد ِّيُکى ِّي ٍَ انْغَبئِ ِػ أَ ْٔ َال َي ْستُ ُى انُِّ َسب َء فَهَ ْى ت َِج ُدٔا َيب ًء‬
َ ْ‫َٔ ِإٌ کُتُى َّير‬
‫ص ِعٍدًا غٍَبًب فَب ْي َسحُٕا بِ ُٕجُٕ ِْک ْى َٔأٌَ ِدٌک ْى‬ َ ‫فَتٍَ ًَّ ًُٕا‬
―Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik suci (sapulah mukamu dan tanganmu). Sesungguhnya Allah Maha
Pema‘af lagi Maha Pengampun.‖66

Rasulullah Saw. Mengizinkan Amr bin Al-Ash ra. Bertayammum dari jinabat pada malam
yang sangat dingin, karena Amr-bin Al-Ash mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi
dengan air yang dingin.

64
Ibid: 13.
65
Muhammad Ahmad Abdul Azis Salim: 266.
66
Opcit:67
26

Dari uraian diatas, dapat di ambil pembelajaran bahwa, selain air yang suci lagi
mensucikan untuk bersuci, tanah bisa dijadikan sebagai alat thaharah jika air tidak ada, atau
tidak bisa menggunakan air karena sakit dan lain sebagainya, selain itu, dalam bersuci juga bisa
di lakukan dengan cara bertayamum, alat bertayamum bisa kita gunakan debu yang bersih
dengan syarat dan ketentuan yang diajarkan di dalam Al-Quran .

B. Fungsi Tharahah Dalam Kehidupan Sehari-hari


Dalam Kehiupan Sehari-hari , thaharah memiliki fungsi yaitu:
 Fungsi Thaharah Dalam kehidupan
Allah Telah menjadikan Thaharah (Kebersihan . Oleh karena itu, islam
mengajarkan untuk senantiasa hidup bersih, baik dalam kehiduan pribadi maupun
kehidupan masyarakat
Adapun yang perlu kita perhatikan dalam menjaga kebersihan adalah kebersihn
lingkungn tempat tinggal, lingkungan sekolah, tempat ibadah, dan tempat umum.
Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal kebersihan tidak hanya terbatas
pada jasmani dan rohani saja, tetapi pada kebersihan mempunyai ruang lingkup yang
luas. Diantaranya adalah kebesihan lingkungan tempat tinggal kita bersama-sama ayah,
ibu, kaka, adik, dan sebaginya. Oleh karena itu agar kita sehat danbetah tiggal dirumah
maka kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah harus di jaga dengan baik. Dengan
demikian, kebersihan lingkungan tempat tinggal yang bersih, rapi, dan nyaman
mengambarkan ciri pola hidup orang yang beriman kepada allah.
Menjaga kebersihan lingkungan skolah, sekolah adalah tempat kita menunut ilmu,
belajar, sekaligus tempatbermain pada waktu istirahat. Sekolah yang bersih, rapi, dan
nyaman sangat mempengaruhi ketenangan dan kegairahan belajar. Oleh karena itu, para
siswa hendaknya menjaga kebersihan kelas, seperti dinding, lantai, meja, kursi, dan
hiasan yang ada.
Kali yang pertama dicampur dengan tanah atau debu sehingga hilang zat, warna,
rasa, dan baunya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw:
‫قال النثي‬
) ‫صلي هللا عليو ًسلن طيٌ ر اناء احدكن اذا ًلغ فيو الكلة ان يغسلو سثع هسات اًال ىن تالثراب ( رًاه هسلن‬
27

Artinya: ― Nabi Muhammad saw bersabda: Sucinya tempat (perkakas) salah seorang dari kamu
apabila telah dijilat anjing, hendaklh mensuci benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan tujuh
kali harus dengan tanah atau debu (HR Muslim).

Di samping membersihkan ruang kelas, yang tidak kalah pentingnya adalah


memebersihkan lingkungan sekolah, karena kelancaran dan kebrhasilan pembelajaran ditunjang
oleh keberhsilan lingkunan sekolah, kenyaman di dalam kelas, tata ruang yang sesuai, keindahan
taman sekolah, serta para pendidik yang disiplin. Oleh karena itu, kita semu harus menjaga
kebershan, baik dirmah maupun di sekolah, agar kita betah serta terhindar dari berbagai penyakit.
Menjaga kebersihan lingkungan tempat ibadah kita mngetahui bahwa tempat ibadah:
masjid, musholah, atau langgar adalah tempat yang suci. Oleh karena itu, islam mengjarkan
untuk merawatnya supaya oang yang melakukan ibadah mendapatkan ketenangan, dan tidak
terganggu dengan mandangan yang kotor atau bau di sekelilingnya. Umat islam akan
mendapatkan kehusyukan dalam beribadah kalau tempatnya terawat dengan baik, dan orang
yang merawatnya akan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Dengan demikian, kita akan terpanggil untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan tempat
ibadah di sekitar kita. Apabila orang islam sendiri mengabaikan kebersihan, khususnya di
tempat-tempat ibadah, ini berarti tingkat keimanan mereka belum seperti yang di contohkan oleh
Rasulullah shallallau alaihi wa sallam.
Menjaga kebersihan lngkungan tempat umum menjaga dan memelihara kebersihan di
tempat umum dalam ajaran islam memilik nilai lebih besar daripada memelihara kebersihan di
ligkungan tempat tinggal.

C. Pentingnya Thaharah dalam islam dan kehidupan sehari-hari

Thaharah amat penting dalam Islam baik thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian, badan, dan
tempat shalat dari najis; ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota wudhu dari hadats, dan suci
seluruh anggota zahir dari janabah (junub); sebab ia menjadi syarat yang tetap bagi sahnya shalat
yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari. Oleh karena shalat adalah untuk menghadap
Allah Ta‘ala, maka menunaikannya dalam keadaan suci adalah untuk mengagungkan kebesaran
Allah Ta‘ala. Meskipun hadats dan janabah bukanlah najis yang dapat dilihat, tetapi ia tetap
28

merupakan najis ma'nawi yang menyebabkan tempat yang terkena olehnya menjadi kotor. Oleh
sebab itu, apabila ia ada, maka ia menyebabkan cacatnya kehormatan dan juga berlawanan
dengan prinsip kebersihan. Untuk menyucikannya, maka perlu mandi. Jadi, thaharah dapat
menyucikan rohani dan jasmani sekaligus.
Islam sangat memerhatikan supaya penganutnya senantiasa bersih dalam dua sisi; maddi
(lahiriah) dan ma'nawi (rohani). Thaharah lahiriyah tidak berfaedah jika tidak disertai dengan
thaharah batiniyah, yaitu ikhlas kepada Allah, tidak menipu, tidak berkhianat, tidak dengki dan
tidak menggantungkan hati kepada selain Allah. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat
mementingkan kebersihan, dan juga membuktikan bahwa Islam adalah contoh tertinggi bagi
keindahan, penjagaan kesehatan, dan pembinaan tubuh dalam bentuk yang paling sempurna, juga
menjaga lingkungan dan masyarakat supaya tidak menjadi lemah dan berpenyakit. Karena,
membasuh anggota lahir yang terbuka dan bisa terkena debu, tanah dan kuman-kuman setiap hari
serta membasuh badan dan mandi setiap kali berjunub, akan menyebabkan badan menjadi bersih
dari kotoran.
Menurut kedokteran, cara yang paling baik untuk mengobati penyakit berjangkit dan
penyakit-penyakit lain ialah dengan cara menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan adalah suatu
Iangkah untuk mengantisipasi diri dari terkena penyakit. Oleh karena itu thaharah dalam
kehidupan sehari-hari sangatlah penting, karena jika tidak menjaga kebersihan segala penyakit
besar kemungkinan akan menyerang karena kuman yang bersarang di tubuh. Sesungguhnya
antisipasi lebih baik dari pada mengobati. Allah Ta‘ala memuji orang yang suka bersuci
(mutathahhirin) berdasarkan firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 222 yang artinya, ―...
Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Allah SWT memuji ahli Masjid Quba' dengan firman-Nya dalam Surah At-Taubah ayat
108 yang artinya, ―... Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah
menyukai orang-orang yang bersih.‖
Seorang Muslim hendaklah menjadi contoh bagi orang lain dalam soal kebersihan dan
kesucian, baik dari segi lahir maupun batin. Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda
kepada sekelompok sahabatnya, “Apabila kamu datang ke tempat saudara-saudara kamu,
hendaklah kamu perindah atau perbaiki kendaraan dan pakaian kamu, sehingga kamu menjadi
perhatian di antara manusia. Karena, Allah tidak suka perbuatan keji dan juga keadaan yang
tidak teratur.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, juga diriwayatkan
29

oleh Imam Abu Dawud, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dan Sahal bin Al-Hanzaliyah. Ini adalah
hadis shahih)

d. Perbandingan pendapat mengenai Thaharah menurut ulama


Thaharah menurut imam syafi‘I adalah secara bahasa berarti bersuci atau bersih dan
membebaskan diri dari kotoran dan najis. Sementara menurut istilah (syara'), Thaharah berarti
menghilangkan hukum hadats untuk menunaikan shalat atau ibadah lainnya yang mensyaratkan
untuk bersuci dengan air atau pengganti air, tayammum.
Secara umum, Thaharah berarti menghilangkan kotoran dan najis yang dapat mencegah
sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang menempel di badan maupun pakaian. Menjaga
kebersihan dalam sebuah hadits disebut sebagian dari iman.
Thaharah juga memiliki kedudukan yang paling utama dalam ibadah. Apabila seseorang
sudah memahami dan menjalankan dengan baik, maka ibadahnya akan berjalan dengan lebih
baik. Sementara bagi yang belum paham, ibadahnya bisa jadi tidak sah.

Sedangkan thaharah menurut M.Quraish Shihab selain bersuci menggunakan air yang suci
lagi mensucikan, dapat juga di lakukan dengan cara bertayamum, tayamum adalah salah satu
cara bersuci dengan menggunakan debu. Bersuci dengan tayamum diperbolehkan jika seseorang
tidak bisa mendapatkan air untuk digunakan bersuci atau ketika dalam keadaan sakit yang tidak
boleh terkena air.

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, thaharah ialah thaharah / bersuci sangatlah
penting dalam kehidupan sehari-hari karena islam mengajarkan setiap ingin melakukan sesuatu
kita harus bersih / suci dari hadas besar dan kecil, kita ambil contoh pada ayat ini menjelaskan,
Allah memerintahkan suami untuk mengerti dan memahami bahwa tidak boleh mencampuri
istrinya yang sedang haid, sampai istrinya sudah bersih dari haid dan sudah bersuci.
30
BAB IV
PENAFSIRAN AYAT-AYAT THAHARAH DALAM KITAB TAFSIR AL-
MISBAH DAN PANDANGAN QURAISH SHIHAB TENTANG THAHARAH DALAM
TAFSIR AL-MISBAH

D. Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah


a. Surah Al-Baqarah : 222

              

               



―Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri67 dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci68. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri‖.69

Kata ( ‫ ) يحٍط‬mahidh adalah tempat atau waktu haid, atau haid itu sendiri. Pertanyaan
diatas muncul, karena pria-pria yahudi menghindari wanita-wanita yang sedang haid, bahkan
tidak makan bersama mereka dan meninggalkan rumah pada saat mereka sedang haid atau
datang bulan. Dengan demikian, pertanyaan mereka pada hakikatnya bukan tentang apa itu haid
tetapi bagaimana tuntunan ilahi kepada suami pada saat isterinya yang lagi haid. Jawaban diatas,
sangat singkat namun menginformasikan tentang keadaan wanita yang sedang mengalami haid,
dan bagaimana menghadapi mereka kala itu. Saat setelah turunnya ayat ini nabi SAW.
Menyampaikan maksud jawaban ilahi ini dengan menyatakan kepada para penanya dan seluruh

67
Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh
68
Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
69
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)

31
32

umat islam, ―lakukanlah segala sesuatu (yang selama ini dibenarkan) kecuali hubungan seks‖
(HR. Muslim).70
Ia yakni haid adalah gangguan. Maksudnya, haid mengakibatkan gangguan terhadap fisik
dan psikis wanita, juga terhadap pria. Secara fisik, dengan keluarnya darah yang segar,
mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita. Rasa sakit seringkali melilit perutnya akibat
rahim berkontraksi. Disisi lain, kedatangan tamu bulanan itu mengakibatkan nafsu seksual
wanita sangat menurun, emosinya seringkali tidak terkontrol. Hubungan seks ketika itu tidak
melahirkan hubungan intim antara pasangan apalagi dengan darah yang selalu siap keluar. Itu
adalah gangguan psikis bagi wanita. Darah yang aromanya tidak sedap serta tidak menyenagkan
untuk dilihat merupakan salah satu aspek gangguan kepda peria, disamping emosi istri yang
tidak stabil dan juga tidak jarang mengganggu ketenangan suami, atau siapapun di sekeliling
wanita. Sel telur pun, dengan datangnya haid, keluar serta belum ada gantinya, sampai beberapa
lam wanita suci, sehingga pembuahan yang merupakan salah satu tujuan hubungan seks tidak
mungkin terjadi pada masa haid. Oleh sebab itu – lanjut ayat diatas – hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita, dalam arti tidak bersetubuh, pada waktu mereka mengalami haid;
atau pada tempat haid yang keluar. Ini berarti bleh mendekati asal bukan pada tempat haid, yakni
bukan ada tempat gangguan itu. Nabi mengizinkan untuk becembu ada bagian atas, tidak
dibagian bawah.71
Ada dua bacaan yang diperkenalkan dalam ayat ini, ( ٌ‫ ) ٌطٓر‬yathhurna dan (ٌ‫) ٌتطٓر‬
yatathahharna; yang pertama berarti suci, yakni berhenti haid nya, yang kedua berarti amat suci,
yakni mandi setelah haidnya berhenti. Tentu saja yang kedua, lebih ketat dari yang ertama, dan
agaknya ini lebih baik dan memang lebih suci. Apabila mereka telah suci ( bersuci), maka
campurilah mereka itu di tempat yang di perintahkan Allah kepada kamu72.
Ayat ini ditutup dengan firmannya: sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri.
Bertaubat adalah menyucikan diri dari kotoran batin, sedangakan menyucikan diri dari
kotoran lahir adalah mandi atau berwudhu.

70
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Jakarta : Lentera
Hati 2002, hal :478
71
Ibid, 478-479
72
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Jakarta : Lentera
Hati 2002, hal : 479
33

Demikianlah penyucian jasmani dan rohani digabung oleh penutup ayat ini, sekaligus
member isyarat bahwa hubungan seks baru dapat dibenarkan jika haid telah berhenti dan istri
telah mandi.
Diatas dinyatakan, bahwa Allah memerintahkan untuk menggauli istri dari tempat yang di
perintahkannya.
Menurut saya, thaharah / bersuci sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari karena
islam mengajarkan setiap ingin melakukan sesuatu kita harus bersih / suci dari hadas besar dan
kecil, kita ambil contoh pada ayat ini menjelaskan, Allah memerintahkan suami untuk mengerti
dan memahami bahwa tidak boleh mencampuri istrinya yang sedang haid, sampai istrinya sudah
bersih dari haid dan sudah bersuci.
Hal ini dapat saya simpulkan bahwa suci secara jasmani dan rohani harus kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari agar kita senantiasa di lindungi dan di ridhoi oleh Allah swt segala
sesuatu yang kita lakukan.

b. Surah Al-Anfal : 11

              

       

―(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-
Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan
itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan
mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)73.
Ayat ini menguraikan nikmat lain yang dianugerahkan Allah swt. Sebelum berkecamuknya
perang, dan sungguh amat serasi bahwa setelah ayat yang lalu menyatakan bahwa berita tentang
turunnya malaikat antara lain bertujuan menanamkan ketenteraman, maka disini ketenteraman
hati itu ditandai antara lain dengan nikmat yang di perintahkan untuk diingat yakni:
Ketika kantuk meliputi kesadaran penuh kamu sehingga beberapa saat kamu terlena dan
tidak mengiraukan sesuatu, dan dengan demikian kamu dapat beristirahat dari perjalanan

73
Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan
pendirian.
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
34

panjang. Itu dilakukan Allah swt. Sebagai suatu penentraman dari-Nya, dan yakni disamping
itu, yang juga merupakan nikmat-Nya adalah memenuhi kebutuhan minum kamu di padang
pasir, dan untuk menyucikan kamu dengan-Nya yakni dengan menggunakannya untuk berwudhu
atau mandi wajib dan sunnah, dan juga hujan itu menghilangkan dari kamu kotoran yang
dilakukan setan yakni hadas besar atau gangguan setan yang menanamkan keraguan, pesimisme,
dan sebagainya dan untuk menguatkan hati kamu menghadapi musuh dan dengan turunnya
hujan itu pula pasir menjadi lebih mantap dan dengan demikian memperteguh dengannya telapak
kaki kamu sehingga kamu dapat berjalan lebih cepat lagi, karena kaki kamu menjadi mantap di
tanah dan tidak terbenam di pasir74.
Kata ( ‫ ) انرجس‬ar-rijz / kotoran dipahai oleh sementara ulama dalam arti hadas besar yang
mengharuskan mandi wajib karena – kata mereka – sebagian pasukan bermimpi ―basah‖ pada
saat mereka tidur75.
Kata ( ‫ ) نٍربػ‬li yurbitha terambil dari kata (‫ )ربػ‬rabatha yang berarti mengikat. Siapa
yang takut maka hatinya goncang, jantungnya berdebar, kakinya gemetar. Siapa yang dikuatkan
hatinya, maka hati dan jantungnya bagaikan diikat sehingga kuat dan tidak mengalami
kegoncangan76.
Hal ini dapat di simpulkan bahwa, Allah swt memberikan contoh sejarah terdahulu, bahwa
hujan adalah suatu nikmat dari – Nya agar kita selalu bersyukur karena hujan sangat bermanfaat
untuk kesuburan tumbuhan yang ada di bumi dan merupakan kebutuhan untuk manusia, selain
hujan bermanfaat sebagai air minum untuk tubuh kita, air hujan juga bermanfaat untuk kita
bersuci kepada Allah, seperti berwudhu, mandi wajib serta mandi sunnah.
c. Surah Al-Muddatstsir: 4

  

―Dan pakaianmu bersihkanlah‖77

Ayat diatas menyatakan: dan pakaianmu, bagaimanapun keadaanmu maka bersihkanlah.

74
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Jakarta : Lentera
Hati 2002, hal : 393 – 394
75
Ibid, 394
76
Ibid, 394
77
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
35

Kata (‫ )ثٍبة‬tsiyab adalah bentuk jamak dari kata ( ‫) ثٕة‬ tsaub / pakaian. Di samping

makna tersebut ia juga digunakan sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati, jiwa,
usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.
Kata (‫ ) غٓر‬thahhir adalah bentuk perintah, dari kata (‫ ) غٓر‬thahhira yang berarti
membersihkan dari kotoran. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan
diri dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua kemungkinan
makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendapat ulama yang dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok:78
1. Memahami kedua kosa kata tersebut dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan
hati, jiwa, usaha, budi pekerti dari segala macam pelanggaran, serta mendidik keluarga
agar tidak terjerumus didalam dosa dan atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali
wanita-wanita yang terhormat serta bertakwa.
2. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaiandari segala macam
kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai
dan di pandang.
3. Memahami tsiyab / pakaian dalam arti majaz dan thahhir dalam arti hakiki, sehingga ia
bermakna: ―bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran.‖
4. Memahami tsiyab / pakaian dalam arti hakiki dan thahhir dalam arti mjaz; yakni
perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara halal sesuai
ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) seelah memperolehnya denngan
cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti ―pakailah akaian pendek sehingga tidak
menyentuh tanah yang mengakibatkan kotornya pakaian tersebut‖ adat kebiasaan orang
arab ketika itu adalah memakai pakaian-akaian yang pnjang untuk memamerkannya,
yang memberikan kesan keangkuhan yang pemakainya walaupun mengakibatkan
pakaian tersebu kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya.

M. Quraish shihab cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut
dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan bahwa ―satu kata tidak
dialihkan pada pengertian kiasan (majazi) kecuali bila arti hakiki tidak tepat dan atau terdapat

78
Opcit, 553
36

petunjuk yang kuat untuk mengalihkan keada makna majaz ―tetapi juga karena memperhatikan
konteks yang meupakan sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, nabi
Muhammad SAW. Yang ketakutan melihat jibril, yang bertekuk lutut dan terjatuh ketanah
(sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau).
Memahami ayat di atas dalam arti hakiki yakni sandang, dapat dijabarkan sehingga
mencakup secara implisit makna-makna kiasan (majaz) yang dikemukakan diatas.
Semua pemeluk agama, apapun agamanya lebih-lebih lagi islam menyadari bahwa agama
pada dasarnya menganjurkan kebersihan batin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan
banyak artinya jika badan seseorang kotor; selanjutnya membersihkan pakaian dan badan belum
berarti jika jiwa masih ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin menempuh jalan pintas, dengan
berkata, ―yang penting adalah hati atau jiwa, biarlah badan atau pakaian kotor, karena tuhan
tidak memandang bentuk-bentuk lahir.‖ Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan pada ayat ini, jika
kita memahaminya dalam arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakn bahwa pengertian hakiki
tersebut mengantar kepada keharusan memperhatikan kebersihan badan dan jiwa, karena
jangankan jiwa atau badan, pakaian pun dierintahkan untuk dibersihkan.79
Dalam ayat diatas Rasulullah SAW. Diperintahkan untuk membersihkan pakaian beliau.
Perintah tersebut serupa dengan firmannya dalam (Qs. An-Nisa:136)

     

―Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…‖80

Perintah ini bukan berarti bahwa yang di seruh belum beriman dan diperintahkan beriman,
tetai maksudnya adalah perintah untuk mempertahankan, memantapkan dan meningkatkan iman
tersebut. Demikian pula halnya dengan perintah kepada Rasulullah SAW, untuk membersihkan
pakaian beliau, yakni, mempertahankan, memantapkan, dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama
ini dalam membersihkan pakianmu.
Sejarah menjelaskan bahwa pakaian yang aling disukai oleh Rasulullah saw. Dan yang
paling sering dipakainya adalah pakaian-pakaian yang berwarna putih. Hal ini tentunya bukan
saja disebkan karena warna tersebut menangkal panas yang merupakan iklim umum di daerah

79
Opcit, 555
80
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
37

mekah dan sekiarnya, tetapi juga mencerminkan kesenangan akaiannya terhadap kebersihan,
karena sedikit saja noda pada pakaian yang putih itu akan segera tampak sebelum diangkat
menjadi nabi, beliau juga telah di kenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan.
Tidak semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma yang tidak
menyenangkan, di hindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para sahabatnya untuk tidak
mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang. Noda dan kotoran yang mengotori dinding
(masjid) di besihkannya guna memberikan contoh pada umatnya. Pakaian-pakaian beliau
walaupun tidak mewah bahkan sobek, beliau jahit sendiri dan selalu nampak rapi dan bersih. Ini
merupakan sifat bawaan sejak masa kecil beliau, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan oleh
pendidikan Al-Quran demi suksesnya tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang
yang bertugas memimpin dan membimbing harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus
memberi contoh kepada mereka dan hal inilah yang dimintakan perhatian Rasulullah saw. Oleh
ayat diatas, dan itulah slah satu yang di tuntun pula kepada setiap orang, husus nya yang
mengemban tugas-tugas kemesyaakatan81.

d. Surah Al-Maidah: 6

            

                 

             

              

    

―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit 82 atau dalam

81
Opcit, 556
82
Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
38

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh83 perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur‖84.
Bila pendapat al-Biqa‗i yang mengartikan iman pada ayat yang lalu dengan shalat, dapat
diterima, maka sangat jelas hubungan ayat ini dengan ayat yang lalu. Lebih jauh al-Biqa‗i
menjelaskan bahwa surah ini dibuka dengan perintah memenuhi akad-akad perjanjian, disusul
dengan uraian tentang betapa Allah telah memenuhi pemeliharaan-Nya kepada manusia dengan
menyediakan buat mereka aneka kebutuhan pangan dan seks, dengan mendahulukan uraian
tentang pangan atas uraian tentang seks, karena kebutuhan pangan lebih utama. Selanjutnya,
disebutkan pemenuhan perjanjian yang berkaitan dengan ibadah kepada-Nya dan ini dimulai
dengan shalat, karena shalat adalah ibadah yang paling mulia setelah iman. Dalam konteks shalat
ini, terlebih dahulu diuraikan tentang wudhu, karena wudhu adalah syarat sahnya shalat.
Demikian al-Biqa‗i85.
Mutawalli asy-Sya‗rawi memberi gambaran lain. Menurutnya, setelah Allah swt.
menjelaskan faktor-faktor penunjang kelangsungan hidup pribadi, yakni makanan dan penunjang
kelangsungan jenis, yakni perkawinan, lalu Allah menjelaskan bahwa semua itu adalah anugerah
Ilahi, untuk mengantar manusia bertemu dan meligenal Allah swt. Tentu saja untuk bertemu dan
mengenal-Nya diperlukan aneka persiapan menyangkut jiwa, badan, tempat dan waktu.
Persiapan badan, dengan bersuci, persiapan waktu dengan ketentuan waktu-waktu shalat,
persiapan tempat dengan tempat suci dan arah kiblat. kesemuanya harus jelas dalam rangka
pertem uan dan pengenalan dengan penganugerahan nikmat-nikmat yang diuraikan pada ayat-
ayat sebelumnya. Nah, ayat ini memberi petunjuk tentang persiapan jasmani, yaitu dengan
menjelaskan cara mensucikan diri dengan wudhu dan tayamum 86.
Dari sini, ayat ini mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
telah akan mengerjakan shalat, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk melaksanakan
shalat sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci/berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni
basuhlah muka kamu seluruhnya dan tangan kam u ke siku , yakni sampai dengan siku, dan

83
Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
84
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
85
Opcit, 34
86
Opcit, 34
39

sapulah,sedikit atau sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau sapulah kedua kaki-
kaki kamu sam pai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub , yakni keluar mani dengan
sebab apa pun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka mandilah,yakni basahilah seluruh
bagian badanmu87.
Setelah menjelaskan cara bersuci — wudhu dan mandi — dengan menggunakan air, lalu
dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan
itu adalah dan jika kamu sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir
bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam perjalanan yang
dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari tem pat buang air. (kakus) setelah
selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat
kelamin, lalu kamu tidak memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena tidak
ada atau tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik, yakni
suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu dan tangan kamu dengan tanah itu.
Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikit
kesulitan pun , karena itu disyariatkan-Nya kemudahan- kemudahan untuk kamu, karena Dia
hendak membersihkan kamu lahir dan batin dengan segala macam ketetapan-Nya, baik yang
kamu ketahui hikmahnya maupun tidak dan agar Dia menyempurnakan nikmat-Nya bagi kamu,
dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban
dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.88
Firman-Nya; ( ‫ ) إذ اقًتى إنى انصالة‬idza qumtum ila ash-shalah/apabila kamu telah akan
mengerjakan shalat, menunjukkan perlunya niat bersuci guna sahnya wudhu, karena kalimat
telah akan mengerjakan berarti adanya tujuan mengerjakan, dan tujuan itu adalah niat, dan niat
yang dimaksud adalah untuk melaksan akan shalat, bukan untuk m em bersihkan diri atau
semacamnya, baik diucapkan maupun tidak.89
Apabila memahami redaksi ayat di atas, terlepas dari sunnah Nabi saw., maka boleh jadi
ada yang berkata bahwa berwudhu adalah tuntutan ayat ini, setiap kali seseorang akan
melaksanakan shalat. Tetapi bila memahaminya m elalui sunnah Nabi saw. Diketahui bahwa
perintah berwudhu hanya diwajibkan terhadap mereka yang tidak dalam keadaan suci.

87
Opcit, 34
88
Opcit, 34-35
89
Opcit, 35
40

Firman-Nya: ( ‫ ) فبغسهٕا‬faghsilu/basuhlah, berarti mengalirkan air pada anggota badan


yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan menggosok anggota badan saat
mengalirkan air.90
Yang dimaksud dengan wajah adalah dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai
ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga. Tidak termasuk apa yang di dalam mata, atau
dalam hidung, dan tidak juga harus berkumur. Membersihkan hidung dan berkumur, dinilai oleh
mayoritas ulama sebagai sunnah atau anjuran.
Kata ( ‫ ) أٌد‬aydin / tangan pada firman-Nya: ( ‫ ) ٔأٌد ٌكى إنى انًرافق‬waaydiyakum ila al-
marafiq dan tangan kamu sampai dengan siku , dapat dipahami dalam arti sempit dan luas.

Firman-Nya: (   ) ila al-marajiq/ke siku memberi batasan tentang makna tersebut.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang kata ila, apakah ia berarti sampai, sehingga
siku-siku termasuk yang wajib dibasuh atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa siku-siku
wajib dibasuh. Karena itu terjemahan di atas menyatakan sampai dengan. Sunnah Rasul saw.
pun menginformasikan bahwa beliau berwudhu dengan membasuh tangan bersama dengan siku
beliau91.
Firman-Nya: ( ‫ ) ٔايسحٕابرءٔسكى‬wa imsahu bi ru ‟usikum / sapulah kepala kamu. Setelah
disepakati oleh ulama tentang wajibnya mengenakan air ke kepala, mereka berbeda pendapat
tentang batas minimal yang wajib. Perbedaan itu lahir dari perbedaan pendapat tentang makna
huruf ba‘ (baca bi) pada firman-Nya bi ru‟usikum. Ada yang memahami bahwa huruf ba‟
mengandung makna tertentu, ada juga yang menilainya sebagai huruf tambahan untuk penguat
makna yang dikehendaki. Ulama-ulama bermazhab Syafi‗i dan Hanafi memahaminya bermakna
sebagian, sehingga ayat tersebut memerintahkan untuk membasuh sebagian kepala. Ulama
mazhab Hanafi menetapkan seperempat bagian kepala, sedang ulama mazhab Syafi‗i tidak
menentukan kadar sebagian itu, yang penting ada bagian kepala yang dibasuh, walau sekadar
beberapa lembar rambut. Mazhab M alik dan Hambali memahami huruf ba‘ diatas sebagai
tambahan huruf yang berfungsi penguat dan tidak mengandung makna tertentu. Dari sini, mereka
memahaminya dalam arti perintah membasuh seluruh kepala.92

90
Opcit 35
91
Opcit, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Jakarta : Lentera Hati
2002, 35-36
92
Ibid, 36
41

Fimnan-Nya: ( ‫ ) ٔأرجهكى‬wa arjulakum, ada juga yang membaca waarjulikum. Perbedaan


bacaan ini menimbulkan perbedaan pendapat tentang hukum berwudhu menyangkut kaki. Yang
membaca ( ‫ ) ٔأرجهكى‬wa arjulakum menghubungkannya dengan kata ( ‫ ) ٔجْٕكى‬wujuhakum /
wajah kamu,dan karena wajah harus dibasuh, maka kaki pun harus dibasuh. Di atas telah
dikemukakan apa yang dimaksud dengan kata basuh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Yang
membaca wa arjulikum mengaitkannya dengan kata ( ‫ ) برءٔسكى‬bi ru ‟usikum /dengan kepala
kamu,dan karena kepala disapu, yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup disapu dengan
air walau hanya sedikit air. Persoalan secara panjang lebar yang dibahas oleh para ulama dapat
dirujuk dalam bahasan-bahasan fiqh (hukum Islam)93.
Walaupun kata arjul/kaki-kaki dalam bentuk jamak, tetapi ayat di atas menggunakan
bentuk dual ketika menjelaskan mata kaki (al-ka'bain / kedua mata kaki).Hal ini, untuk
menunjukkan bahwa kedua mata kaki harus dibasuh (diusap). Seandainya digunakan bentuk
jamak sebagai ganti bentuk dual, maka dapat dipahami bahwa yang diperintahkan hanya salah
satu mata kaki.
Jika diamati di atas, terlihat bahwa anggota badan yang diperintahkan untuk disapu dan
dibasuh, disebut dalam susunan urutan dari wajah, tangan, kemudian kembali lagi ke atas yaitu
kepala dan terakhir kaki. Jika diambil urutan tubuh manusia, maka seharusnya yang disebut
terlebih dahulu adalah kepala, wajah, tangan dan kaki. Di sisi lain, kata yang digunakan pun
berbeda. Ini menunjukkan keharusan adanya urutan dalam melakukan wudhu sesuai dengan
urutan yang disebut ayat ini. Demikian pendapat mayoritas ulama. Hanya Abu Hanifah yang
tidak mensyaratkan tartib (perurutan) itu, apalagi dengan adanya kata maka, pada awal ayat ini,
yakni maka basuhlah wajahmu.
Kata (‫ )انغبئػ‬al-gha ‟ith,bermakna tempat yang tinggi. Tempat yang tinggi, biasanya
menjadi tempat aman karena tidak mudah dijangkau orang. Di sini kata tersebut dipahami dalam
arti tempat yang aman dan tenang. Dari sini kemudian maknanya berkembang, menjadi tempat
buang air (kakus).Ada juga yang memahami kata gha ‟ith dalam arti tempat yang rendah.
Demikian Thahir Ibn ‗Asyur dalam tafsirnya. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti
tempat yang rendah. Ketika menjelaskan kata serupa dalam QS. an-Nisa‘ [4]: 43, penulis
kemukakan bahwa biasanya sesuatu yang berada di tempat yang tinggi akan mudah terlihat

93
Ibid, 36
42

seperti bendera misalnya, berbeda dengan tempat yang rendah. Pada masa lalu tempat yang
rendah dipilih untuk membuarig air agar mereka tidak mudah dilihat orang94.
Betapapun redaksi yang digunakan, ayat ini mengajarkan kita bagaimana seharusnya
menggunakan kata-kata sopan dalam mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan.
Sehingga jangankan perbuatannya dirahasiakan, kata atau kalimat-kalimat yang digunakan pun
merupakan kalimat yang sepintas bagaikan rahasia. Bahkan, perhatikanlah bagaimana ayat di
atas tidak secara langsung berkata atau kamu kembali dst.,tetapi redaksinya adalah salah
seorang dari kamu kembali. Ini adalah untuk menghindarkan masing-masing mitra dialog dari
suatu perbuatan yang sebaiknya tidak diketahui orang, atau malu jika menyebutnya.
Demikian juga halnya dengan kata ( ‫ )اليستى انُسبء‬lamastum an-nisa‟ yang diterjemahkan
di atas dengan kamu menyentuh perempuan . Kata ini digunakan untuk mengekspresikan hal-hal
yang seharusnya dirahasiakan.
Kata ( ‫ ) صعٍدا‬sha'idan yang diterjemahkan tanah,dipahami oleh Imam Syafi'i dalam arti
tanah yang dapat menyuburkan tumbuhan. Pengertian ini antara lain karena kata tersebut disertai
dengan kata ( ‫ ) غٍبب‬thayyiban yang bukan saja dipahami dalam arti suci,tetapi juga berpotensi
menumbuhkan tumbuhan, sesuai firman-Nya: „Dan tanah yang baik, tanaman-tanaman nya
tumbuh subur dengan seizin Allah ‖(QS. al-A‘raf [7]: 58). Imam Ibn Hanbal juga memahaminya
dalam arti tanah, bukan selainnya. Kedua Imam Mazhab tersebut juga berpegang kepada hadits
Nabi saw. yang menyatakan: ―Kita diistimewakan atas (umat) manusia yang lain dalam tiga hal;
shaf (barisan) kita seperti shaf-shaf malaikat, dijadikan buat kita semua bumi sebagai masjid
(tempat sujud) dan dijadikan tanahnya sebagai sarana penyucian jika kita tidak mendapatkan air‖
(HR. Imam Muslim). Anda lihat — kata kedua Imam tersebut — tanah secara tegas yang
disebut, seandainya yang lain boleh pastilah disebut juga. Bukankah hadits ini dalam konteks
menyebut anugerah-Nya, yang membedakan umat Islam dari umat yang lain?95
Imam Abu Hanifah memahaminya dalam arti segala sesuatu yang merupakan bagian dari
bumi sehingga termasuk pula pasir, batu dan sem acam nya selam a ia tidak najis. Imam Malik
lebih memperluas pengertiannya, sehingga beliau memasukkan pula dalam pengertian kata
sha'idan, pepohonan, tumbuh dan semacamnya. Beliau memahami kata ini dalam arti segala
sesuatu yang menonjol dipermukaan bumi ini.

94
Ibid, 37
95
Ibid, 37-38
43

Pakar tafsir dan hukum , al-Qurthubi, m enyim pulkan setelah mengemukakan perbedaan
pendapat di atas bahwa: Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang bolehnya bertayamum
dengan tanah yang suci dan dapat m enum buhkan tumbuhan, bukan tanah yang dipindahkan
atau ditegakkan pada sesuatu. Ulama juga sepakat tidak memperkenankan bertayamum dengan
emas murni, perak, mutiara, makanan seperti roti atau daging, tidak juga dengan barang-barang
yang najis. Adapun barang tambang
selain yang disebut di atas, maka dibenarkan oleh mazhab Malik, dan dilarang oleh mazhab
Syafi'i.

Firman-Nya: ( ُّ‫ ) فبيسحٕا بٕ ْكى ٔأٌد ٌكى ي‬famsahu bi wujuhikum wa aydikum minhu /
maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum
hanya wajah dan tangan yang harus disapu dengan tanah, apapun sebab bertayamum dan
tujuannya, apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi. Selanjutnya ulama berbeda pendapat
tentang cakupan makna tangan. Ada yang memahaminya kedua tangan hingga siku, dan ada
juga yang memahaminya hingga pergelangannya saja. Ada lagi yang memahaminya sampai ke
ketiak, tetapi pendapat terakhir ini tidak populer. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa
bertayamum cukup
dengan memukulkan atau menyentuhkan telapak tangan sekali ke tanah, lalu dengan tanah yang
ada di telapak tangan itu wajah dan tangan dibasuh. Inilah mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Ada juga
yang mengharuskan dua kali pukulan (sentuhan), yang pertama untuk membasuh wajah dan yang
kedua untuk membasuh tangan. Yang terakhir ini adalah pendapat Imam Syafi'i. 96
Tayamum terbatas pada menyapu wajah dan tangan, karena tujuannya bukan
membersihkan diri, atau menyegarkan jiwa dan jasmani, sebagaimana halnya dengan mandi dan
berwudhu, tetapi sebagai ibadah kepada Allah swt., yang hikmahnya tidak diketahui oleh kita
selaku hamba-Nya.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ayat Tayamum turun berkaitan dengan kasus istri
Nabi saw., Aisyah ra., ketika dalam suatu perjalanan bersama Rasul dan sahabat-sahabatnya,
beliau kehilangan kalung di padang pasir. Rasul saw. singgah mencarinya — dan rombongan
beliau pun demikian — padahal ketika itu mereka tidak memiliki air. Ketika tiba waktu subuh,

96
Ibid, 38-39
44

dan mereka mencari air tetapi tidak menemukannya, turunlah ayat di atas yang memerintahkan
bertayamum.
Sebenarnya, kewajiban berwudhu untuk shalat, dem ikian juga tuntunan tayamum, telah
dikenal oleh umat Islam jauh sebelum turunnya ayat ini. Ulama sepakat menyatakan demikian,
karena sekian banyak riwayat menyatakan bahwa Nabi saw. tidak pernah shalat tanpa wudhu,
dan, seperti diketahui, Nabi saw. Telah melaksanakan shalat sejak dini di Mekah. Demikian
juga dengan mandi, bahkan boleh jadi kewajiban mandi wajib mendahului kewajiban berwudhu
dalam shalat, karena hal ini telah dikenal sebagai ajaran Nabi Ibrahim as. dan diamalkan oleh
masyarakat Jahiliah.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa, bersuci dapat juga dilakukan dengan cara
bertayamum, akan tetapi tayamum terbatas pada menyapu wajah dan tangan, karena tujuannya
bukan membersihkan diri, atau menyegarkan jiwa dan jasmani, sebagaimana halnya dengan
mandi dan berwudhu, tetapi sebagai ibadah kepada Allah swt., yang hikmahnya tidak diketahui
oleh kita selaku hamba-Nya.
e. Surah An-Nisa‘: 57

              

       

―Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami
masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di
dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka
ke tempat yang teduh lagi nyaman‖97.
Sebagaimana kebiasaan Al-Qur‘an menyebutkan sesuatu kemudian lawannya, maka setelah
menjelaskan apa yang menimpa orangorang kafir, disini dijelaskan apa yang akan dialami oleh
orang-orang beriman. Ini agar manusia dapat memilih yang terbaik untuk dirinya. Ayat ini
menyatakan, “orang-orang yang beriman dengan iman yang benar dan mengerjakan amal-amal
shaleh dalam kehidupan dunia sebagai bukti dan buah keimanan mereka, maka kelak di hari
kemudian akan kami masukkan mereka kedalam syurga-syurga yang dibawahnya, yakni

97
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
45

dibawah pohon-pohon dan disekitaristana-istananya, mengalir sungai-sungai;sehingga syurga


dengan kebun-kebunnya terlihat sangat indah dan subur,maka kekal selama-lamanya, yakni di
dalam syurga itu. Mereka si sana mempunyai pasangan-pasangan suami atau istri yang
disucikan, yakni yang telah berulang-ulang di sucikan dari segala macam kekotoran. Bukan
hanya dari haid – karena ini adalah salah satu bentuk penyucian buat wanita – tetapi juga dari
segala yang mengotori dari jasmani dan jiwa ria dan wanita yang merupakan asangan-pasangan
itu, seperti dengki, cemburu, kebohongan, keculasan, pengkhianatan, dan lain-lain; dan kai
masukkan mereka ke tempat yang telah berkesinambungan. Tidak terik, tidak juga dingin.
Firman-Nya: ketika berbicara tentang janji masuk syurga, menggunakan huruf sin yang di
baca sa pada firman-Nya: ( ‫ )سُد خهٓى‬sanudkhiluhum; sedangkan berbicara tentang ancaman
masuk ke neraka, ayat yang lalu menggunakan kata saufa dengan firman-Nya: ) ‫) سٕف َصهٍٓى َبرا‬
saufa nushlihim naran. Kata saufa biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang datang
relatif lebih lama disbanding dengan kata yang menggunakan huruf sin. Dari sini dapat timbul
kesan bahwa orang-orang kafir, betapapun usianya panjang dan kenikmatan yang mereka
rasakan di dunia ini besar, tetapi pada akhirnya akan masuk ke neraka. Atau bahwa mereka
diberi waktu yang lebih lama, diberi kesempatan berfikir untuk insaf, bertaubat dan kembali ke
jalan yang benar. Di sisi lain, orang beriman diteguhkan dan di hibur hatinya oleh Allah, bahwa
betapapun panjang perjuangan mereka untuk meraih syurga, tetapi waktunya tidak lama dan
mereka akan segera masuk ke syurga. Atau bahwa orang-orang beriman yang bisa jadi hidupnya
lebih singkat dari orang-orang kafir. Tetapi singkatnya usia mereka itu adalah untuk
mempercepat mereka melampaui dunia yang penuh cobaan menuju alam suci, dan bahwa
penantian mereka di padang mahsyar tidak akan terlalu lam, sehingga mereka segera masuk ke
syurga sebelum kelompok-kelompok lain juga masuk ke dalamnya.
Firman-Nya : ( ‫ ) ظالظهٍال‬zhillan zhalilan/ tempat yang telah berkesinambungan, terambil
dari kata yang berarti naungan. Bahasa arab yang melambangkan untuk kesempurnaan sesuatu
seringkali mengulangi akar kata dalam bentuk yang lain. Seperti pada ayat ini, zhill di ulang
sekali lagi, yaitu zhalilan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menjanjikan syurga untuk orang-
orang beriman, dan memberi kehidupan yang lama untuk orang-orang kafir agar ia menyadari
bahwa Allah adalah penciptanya dan bisa insaf sebelum ajal menjemputnya, karena nerakalah
tempat orang-orang kafir.
46

E. Pandangan Quraish shihab tentang Thaharah dalam Tafsir Al-Misbah


Di dalam Surah Al-Muddatstsir: 4, dalam kitab Al-Misbah telah di jelaskan mengenai
Thaharah, yang mana penjelasan itu sebagai berikut:

  

―Dan pakaianmu bersihkanlah‖98

Ayat diatas menyatakan: dan pakaianmu, bagaimanapun keadaanmu maka bersihkanlah.

Kata (‫ )ثٍبة‬tsiyab adalah bentuk jamak dari kata ( ‫) ثٕة‬ tsaub / pakaian. Di samping

makna tersebut ia juga digunakan sebagai majaz dengan makna-makna antara lain hati, jiwa,
usaha, badan, budi pekerti keluarga dan istri.
Kata (‫ ) غٓر‬thahhir adalah bentuk perintah, dari kata (‫ ) غٓر‬thahhira yang berarti
membersihkan dari kotoran. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan
diri dari dosa atau pelanggaran. Gabungan kedua kata tersebut dengan kedua kemungkinan
makna hakiki atau majaz itu mengakibatkan beragamnya pendapat ulama yang dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok:99
a. Memahami kedua kosa kata tersebut dalam arti majaz, yakni perintah untuk menyucikan
hati, jiwa, usaha, budi pekerti dari segala macam pelanggaran, serta mendidik keluarga
agar tidak terjerumus didalam dosa dan atau tidak memilih untuk dijadikan istri kecuali
wanita-wanita yang terhormat serta bertakwa.
b. Memahami keduanya dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaiandari segala macam
kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila ia bersih sehingga nyaman dipakai
dan di pandang.
c. Memahami tsiyab / pakaian dalam arti majaz dan thahhir dalam arti hakiki, sehingga ia
bermakna: ―bersihkanlah jiwa (hati) mu dari kotoran-kotoran.‖
d. Memahami tsiyab / pakaian dalam arti hakiki dan thahhir dalam arti mjaz; yakni
perintah untuk menyucikan pakaian dalam arti memakainya secara halal sesuai

98
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
99
Opcit, 553
47

ketentuan-ketentuan agama (antara lain menutup aurat) seelah memperolehnya denngan


cara-cara yang halal pula. Atau dalam arti ―pakailah akaian pendek sehingga tidak
menyentuh tanah yang mengakibatkan kotornya pakaian tersebut‖ adat kebiasaan orang
arab ketika itu adalah memakai pakaian-akaian yang pnjang untuk memamerkannya,
yang memberikan kesan keangkuhan yang pemakainya walaupun mengakibatkan
pakaian tersebu kotor karena menyentuh tanah, akibat panjangnya.

M. Quraish shihab cenderung memilih pendapat yang menjadikan kedua kata tersebut
dalam arti hakiki. Bukan saja karena kaidah tafsir yang menyatakan bahwa ―satu kata tidak
dialihkan pada pengertian kiasan (majazi) kecuali bila arti hakiki tidak tepat dan atau terdapat
petunjuk yang kuat untuk mengalihkan keada makna majaz ―tetapi juga karena memperhatikan
konteks yang meupakan sabab nuzul ayat ini yang menjelaskan bahwa ketika turunnya, nabi
Muhammad SAW. Yang ketakutan melihat jibril, yang bertekuk lutut dan terjatuh ketanah
(sehingga tentu mengakibatkan kotornya pakaian beliau).
Memahami ayat di atas dalam arti hakiki yakni sandang, dapat dijabarkan sehingga
mencakup secara implisit makna-makna kiasan (majaz) yang dikemukakan diatas.
M. Quraish Shihab menjabarkan dalam kita Al-Misbah bahwa, semua pemeluk agama,
apapun agamanya lebih-lebih lagi islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan
kebersihan batin seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika badan
seseorang kotor; selanjutnya membersihkan pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih
ternodai oleh dosa. Ada orang yang ingin menempuh jalan pintas, dengan berkata, ―yang penting
adalah hati atau jiwa, biarlah badan atau pakaian kotor, karena tuhan tidak memandang bentuk-
bentuk lahir.‖ Sikap tersebut jelas tidak dibenarkan pada ayat ini, jika kita memahaminya dalam
arti hakiki. Lebih jauh dapat dikatakn bahwa pengertian hakiki tersebut mengantar kepada
keharusan memperhatikan kebersihan badan dan jiwa, karena jangankan jiwa atau badan,
pakaian pun dierintahkan untuk dibersihkan.100
Dalam ayat diatas Rasulullah SAW. Diperintahkan untuk membersihkan pakaian beliau.
Perintah tersebut serupa dengan firmannya dalam (Qs. An-Nisa:136)

     

100
Opcit, 555
48

―Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…‖101

Perintah ini bukan berarti bahwa yang di seruh belum beriman dan diperintahkan beriman,
tetai maksudnya adalah perintah untuk mempertahankan, memantapkan dan meningkatkan iman
tersebut. Demikian pula halnya dengan perintah kepada Rasulullah SAW, untuk membersihkan
pakaian beliau, yakni, mempertahankan, memantapkan, dan tingkatkanlah kebiasaanmu selama
ini dalam membersihkan pakianmu.
Sejarah menjelaskan bahwa pakaian yang aling disukai oleh Rasulullah saw. Dan yang
paling sering dipakainya adalah pakaian-pakaian yang berwarna putih. Hal ini tentunya bukan
saja disebkan karena warna tersebut menangkal panas yang merupakan iklim umum di daerah
mekah dan sekiarnya, tetapi juga mencerminkan kesenangan akaiannya terhadap kebersihan,
karena sedikit saja noda pada pakaian yang putih itu akan segera tampak sebelum diangkat
menjadi nabi, beliau juga telah di kenal sebagai seorang yang sangat mendambakan kebersihan.
Tidak semua jenis makanan di makannya. Bawang misalnya, karena memiliki aroma yang tidak
menyenangkan, di hindarinya. Bahkan dianjurkan kepada para sahabatnya untuk tidak
mengunjungi masjid bila baru saja memakan bawang. Noda dan kotoran yang mengotori dinding
(masjid) di besihkannya guna memberikan contoh pada umatnya. Pakaian-pakaian beliau
walaupun tidak mewah bahkan sobek, beliau jahit sendiri dan selalu nampak rapi dan bersih. Ini
merupakan sifat bawaan sejak masa kecil beliau, kemudian dikukuhkan oleh pendidikan oleh
pendidikan Al-Quran demi suksesnya tugas-tugas pembinaan masyarakat. Karena, seseorang
yang bertugas memimpin dan membimbing harus mendapat simpati masyarakatnya sekaligus
memberi contoh kepada mereka dan hal inilah yang dimintakan perhatian Rasulullah saw. Oleh
ayat diatas, dan itulah slah satu yang di tuntun pula kepada setiap orang, husus nya yang
mengemban tugas-tugas kemesyaakatan102.

Thaharah menurut M.Quraish Shihab dapat juga di lakukan dengan cara bertayamum,
tayamum adalah salah satu cara bersuci dengan menggunakan debu. Bersuci dengan tayamum
diperbolehkan jika seseorang tidak bisa mendapatkan air untuk digunakan bersuci atau ketika
dalam keadaan sakit yang tidak boleh terkena air.

101
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
102
Opcit, 556
49

Ibnu Daqiq al-‗Id menjelaskan dalam kitab Ihkamu al-Ahkam bahwa tayamum telah
disyariatkan sejak perang al-Muraisi‘ atau perang Bani Mustaliq pada tahun ke 6 Hijriyah.
Dalam bab tentang tayamum, Ibnu Daqiq menjelaskan:

‫فإٌ يشرٔعٍت انتًٍى كبَت سببقت عهى زيٍ إسالو عًراٌ رأي انحدٌث فإَّ أسهى عبو خٍبر ٔيشرٔعٍت‬
‫انتًٍى كبَت قبم ذنك فً غسٔة انًرٌسٍع ًْٔ ٔاقعت يشٕٓرة ٔانظبْرة عهى انرجم بٓب نشٓرتٓب‬
―Sesungguhnya pensyariatan tayamum telah ada sebelum Amran –sahabat yang meriwayatkan
hadis tayamum- masuk islam. Dia masuk islam pada tahun khaibar dan perintah tayamum ada
sebelum itu yaitu pada gazwah (perang yang diikuti Nabi) al-Muraisi‘. Perang itu adalah
kejadian yang terkenal dan jelas orang mengetahuinya karena kemasyhuran kejadian itu‖

Perang al-Muraisi‘ lebih dikenal dengan perang Bani Musthaliq. Al-Muraisi‘ adalah
sebuah sungai dekat perkambungan Bani Musthaliq. Disebut juga dengan perang al-Muraisi‘
karena di sanalah perang berkecamuk.

Sementara kejadian terkenal yang dimaksudkan oleh Ibnu Daqiq adalah kejadian Hadistul
Ifki yang menimpa Aisyah ra, dalam perjalanan pulang dari perang al-Muraisi‘. Ayat ini turun
ketika para sahabat diutus oleh Rasulullah untuk kembali mencari Aisyah yang ternyata
tertinggal karena mencari kalungnya yang terjatuh.

Dalam perjalanan untuk mencari Aisyah tersebut masuklah waktu shalat. Akan tetapi pada
saat itu para sahabat tidak dapat menemukan air untuk berwudhu, maka turunlah QS al-Maidah
ayat 6 yang mensyariatkan perintah untuk melakukan tayamum. Sebagaimana berikut ini:

            

                 

             
50

              

    

―Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit103 atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh 104 perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur105.

Meski karena kejadian hadistul ifki tersebut Aisyah ra. sempat didiamkan Rasulullah
sampai akhirnya Allah mengklarifikasi Aisyah tidak bersalah dengan menurunkan QS. An-Nur
11-22, namun berkat kejadian tersebut ada hikmah yang besar bagi umat Islam yaitu dengan
diturunkannya perintah tayamum yang merupakan rukhshah atau kemudahan yang diberikan
Allah bagi hamba-Nya, saat tidak menemukan air untuk bersuci.

Menurut Quraish Syihab dalam tafsirnya, bersuci memiliki dua arti. Pertama mengarahkan
hati kepada Allah dengan jiwa ikhlas dan bersih, kedua bersuci secara lahiriyah dengan
membersihkan kotoran pada anggota badan yaitu dengan wudhu,mandi wajib dan mandi sunah.
Sedangkan tayamum mengandung makna bersuci dalam pengertian pertama. Tayamum adalah
bentuk keringanan yang diberikan Allah kepada umat Islam, Allah menetapkan ketentuan itu
semua dengan maksud untuk membersihkan umat-Nya secara lahir dan batin, dan
menyempurnakan nikmat-Nya dengan memberi petunjuk dan kemudahan.

103
Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
104
Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
105
Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya.(Jakarata: Pustaka Al-Mubin 2013)
51
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: Allah Telah menjadikan
Thaharah (Kebersihan . Oleh karena itu, islam mengajarkan untuk senantiasa hidup bersih, baik
dalam kehiduan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Adapun yang perlu kita perhatikan
dalam menjaga kebersihan adalah kebersihn lingkungn tempat tinggal, lingkungan sekolah,
tempat ibadah, dan tempat umum. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal kebersihan
tidak hanya terbatas pada jasmani dan rohani saja, tetapi pada kebersihan mempunyai ruang
lingkup yang luas. Diantaranya adalah kebesihan lingkungan tempat tinggal kita bersama-sama
ayah, ibu, kaka, adik, dan sebaginya. Oleh karena itu agar kita sehat danbetah tiggal dirumah
maka kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah harus di jaga dengan baik. Dengan demikian,
kebersihan lingkungan tempat tinggal yang bersih, rapi, dan nyaman mengambarkan ciri pola
hidup orang yang beriman kepada allah.
Penafsiran Ayat-Ayat Thaharah Dalam Kitab Tafsir Al-Misbah: Surah Al-Baqarah : 222,
yang menjelaskan mengenai haid, Saat setelah turunnya ayat ini nabi SAW. Menyampaikan
maksud jawaban ilahi ini dengan menyatakan kepada para penanya dan seluruh umat islam,
―lakukanlah segala sesuatu (yang selama ini dibenarkan) kecuali hubungan seks‖ (HR. Muslim).
Surah Al-Anfal : 11, Ayat ini menguraikan nikmat lain yang dianugerahkan Allah swt. Sebelum
berkecamuknya perang, dan sungguh amat serasi bahwa setelah ayat yang lalu menyatakan
bahwa berita tentang turunnya malaikat antara lain bertujuan menanamkan ketenteraman, maka
disini ketenteraman hati itu ditandai antara lain dengan nikmat yang di perintahkan untuk
diingat.Surah Al-Muddatstsir: 4, ayat ini menjelaskan mengenai membersihkan pakaianmu,
bagaimanapun keadaanmu maka bersihkanlah. Semua pemeluk agama, apapun agamanya lebih-
lebih lagi islam menyadari bahwa agama pada dasarnya menganjurkan kebersihan batin
seseorang. Membersihkan pakaian tidak akan banyak artinya jika badan seseorang kotor;
selanjutnya membersihkan pakaian dan badan belum berarti jika jiwa masih ternodai oleh
dosa.Surah Al-Maidah: 6 ayat ini mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu telah akan mengerjakan shalat, yakni telah berniat dan membulatkan hati untuk
melaksanakan shalat sedang saat itu kamu dalam keadaan tidak suci/berhadas kecil, maka

52
53

berwudhulah, yakni basuhlah muka kamu seluruhnya dan tangan kam u ke siku , yakni sampai
dengan siku, dan sapulah,sedikit atau sebagian atau seluruh kepala kamu dan basuhlah atau
sapulah kedua kaki-kaki kamu sam pai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub , yakni
keluar mani dengan sebab apa pun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka
mandilah,yakni basahilah seluruh bagian badanmu. Surah An-Nisa‟: 57 ayat ini menceritakan
tentang perintah Allah untuk menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan agar
apabila menetapkan hukum diantara manusia maka tetapkanlah dengan adil, sesungguhnya Allah
janji untuk memasukkan orang-orang yang suci ke dalam syurga-Nya.

Sedangkan Thaharah menurut M.Quraish Shihab dalam tafsirnya, bersuci memiliki dua
arti. Pertama mengarahkan hati kepada Allah dengan jiwa ikhlas dan bersih, kedua bersuci secara
lahiriyah dengan membersihkan kotoran pada anggota badan yaitu dengan wudhu, mandi wajib,
dan mandi sunah. Sedangkan tayamum mengandung makna bersuci dalam pengertian pertama.
Tayamum adalah bentuk keringanan yang diberikan Allah kepada umat Islam, Allah menetapkan
ketentuan itu semua dengan maksud untuk membersihkan umat-Nya secara lahir dan batin, dan
menyempurnakan nikmat-Nya dengan memberi petunjuk dan kemudahan.

B. Saran-saran
Sebagai bagian dari penutupan skripsi ini penulis ingin menyarankan kepada segenap
kaum muslimin agar:
1. Senantiasa meningkatkan amal ibadah dalam kehidupan agar kita menjadi salah satu orang
yang dekat dengan Allah SWT dan menjadi orang yang di lindungi oleh Allah dalam
menghadapi kehidupan yang panah berbentuk sementara di dunia ini.
2. Perbaiki diri agar menjadi orang yang sholeh dan di sayangi oleh Allah SWT serta perbanyak
membaca referensi mengenai Thaharah agar setiap perbuatan kita selalu dilakukan dalam
keadaan suci, karena Allah sangat menyukai orang-orang yang suci, agar terinsfirasi menjadi
orang yang selalu bertaqwa dan selalu bersyukur kepada Allah SWT.
C. Kata Penutup
Dengan iringan ucapan syukur Alhamdulillah, skripsi ini telah dapat di selesaikan dengan
baik dan tepat pada waktunya.
54

Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi segenap kaum muslimin, dan
menjadi amal ibadah nyata bagi penulis, serta menjadi penambah kekayaan bagi almamater.
Amin.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)

Photo 3X4

Warna

A. Informasi Diri
Ahmadil Badri dilahirkan di Desa. Lopak aur kec. pemayung kab. Batang Hari. pada 12
maret 1994. Putra dari H.Ilyas aziz dan Syamsinar. Yang beralamat Rt: 04, Rw: 05 Desa Lopak
aur kec. Pemayung, kab. Batang Hari.

B. Riwayat Pendidikan
Ahmadil Badri memperoleh Sarjana Agama dari Universitas Jambi Pada 2020, ijazah
Madrasah Aliah (MA) diperolehnya pada 2012, Madrasah Tsanawiyah (MTS) pada 2009 dan dia
memperoleh ijazah Sekolah Dasar (SD) pada 2006.

C. Riwayat Organisasi/Pekerjaan:
Madil mempunyai sejumlah organisasi yaitu : PMII 2013, HMI 2014, KAMMI 2014
Dan pengalaman kerja, yaitu sebagai : Jual Pulsa 2013-2015 mendapatkan penghargaan
dari HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia),Karyawan Mr Roti 2015-201, Usaha
pempek sambal, karyawan Nasi Uduk 2015-2015, Usaha Laundry 2015-2015, Guru Privat
2016-2016, Karyawan Konter kuota 2017-2017, Karyawan Hot Pangsit 2017-2017, Gojek
2018-2020.
DATAR PUSTAKA

Anonim, Al-Qur‟an dan terjemahannya. Jakarta:Depertemen Agama RI, 2013


M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, Jakarta : Lentera
Hati 2002
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

Ahmad Asyirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Ahmad Saarwat, Seri Fiqih Kehidupan Jilid 2, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019/

Ali Zadah Faidullah, Fathurrohman, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro), hlm. 275. Bekti
Rahmasari, Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Hadis,

(Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017.

Departeman Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2010

Dr. Aibdi Rahmat, M.Ag, kesesatan dalam perspektif Al-Qur‟an Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.

HR. Muslim, Kitab Thaharah, Bab Keutamaan Wudhu, No. Hadis 328.

Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Syuyuthi, Terjemah Kitab Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru, 1990.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Nasaruddin Razak, Dienul Islam cet.II, Bandung: Al-Ma‟arif, 1993.

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S. H., M. A., M. M, Ulumul Qur‟an, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa, 2013.

S. Afiyah, Hubungan Pemahaman Materi Thaharah Dengan Kesadaran Menjaga


Kebersihan, Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, Semarang, 2009.

Suad Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita, Jakarta: Amzah, 2011.


Sudarwan Darmin, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2007.

Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-„Urfan Fi „Ulum Al-Qur‟an,


Semarang: Gaya Media Pratama, 1998.

Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu

Pengetahuan, Penerjemah Faizah Firdaus, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

Zadah Faidullah, Fathurrohman, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro,2016.

Anda mungkin juga menyukai