Anda di halaman 1dari 11

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI KLINIS

UNIVERSITAS GUNADARMA

“Analisis Gangguan Kepribadian Narsistik Pada Setting Kerja”

Di susun Oleh :

1. Abednego Saragih (94318019)


2. Adithya Rahman (94318020)
3. Dwi Yulianti Purwaningtyas (94318025)
4. Rizka Aghnia Budiarti (94318037)

Mata Kuliah : Keselamatan Kerja Pada Setting Klinis

JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan komponen penting dalam organisasi/perusahaan yang


akan bergerak dan melakukan aktifitas untuk mencapai tujuan. Keberhasilan suatu
organisasi/perusahaan ditentukan dari kualitas orang-orang yang berada di
dalamnya yang biasa dikenal dengan istilakh sumber daya manusia (SDM).
Pengertian Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks
bisnis merupakan orang yang bekerja dalam suatu organisasi/perusahaan yang
sering pula disebut karyawan. (Taufiqurrohman, 2009). Setiap sumber daya
manusia memiliki jenis kepribadian dan keunikan yang berbeda-beda.
Kepribadian yang dimiliki akan membentuk perilaku individu tersebut, salah satu
faktor yang mendorong individu untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
secara terus-menerus adalah perkembangan teknologi serta interaksi dengan
individu ataupun lingkungan. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah
lingkungan kerja yang terdapat banyak keberagaman, baik dari jenis kelamin,
suku, kebiasaan, dan banyak hal lainnya. Kepribadian sendiri itu menurut Allport
(dalam Robbins dan Judge,2008) adalah organisasi dinamis dalam sistem
psikologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara
unik terhadap lingkungannya.
Karakter di tempat kerja sangat diperlukan demi berlangsungnya kinerja
yang efektif dan produktif, agar mampu menghasilkan produk dan mencapai visi
misi perusahaan secara maksimal. Namun demikian ketika bekerja sama dengan
pegawai lain ataupun klien, sering timbul kesulitan yang diakibatkan keragaman
pribadi dari masing-masing individu. Akibatnya ini bisa berpengaruh terhadap
hasil yang ingin dicapai. Salah satu kepribadian yang menonjol dan erat kaitannya
dengan setting kerja yang menarik untuk dibahas adalah karyawan dengan
kepribadian narsistik. Orang dengan kepribadian narsistik atau disebut juga
dengan narisisis ditandai dengan rasa kepentingan diri dan memiliki perasaan
kebesaran akan kepentingan dirinya. Karyawan dengan tipe ini, mereka akan
menganngap bahwa dirinya sendiri sebagai orang yang khusus dan mengharapkan
perlakuan yang khusus, dalam menanggapi kritik mereka melakukannya dengan
buruk dan akan menjadi sangat marah apabila ada orang lain yang mengkritiknya.
Orang dengan kerpibadian ini tidak mampu untuk menunjukan empati, seringkali
orang dengan kepribadian ini berpura-pura simpati hanya untuk mencapai
kepentingan mereka sendiri. Epidimologi gangguan kepribadian narsistik itu
sendiri menurut DSM IV perkiraan prevalensi orang dengan gangguan ini adalah
terentang antara 2 sd. 16 % dalam populasi klinis dan 1 persen dalam populasi
umum. (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010).
Dalam setting kerja, orang dengan kepribadian narsistis menilai dirinya
sebagai seseorang yang spesial. Kemudian, orang tersebut akan menganggap
bahwa jarang ada orang yang sekompeten, sepenting, sehebat, atau semenarik
dirinya. Mereka tidak sungkan untuk mengumbar kehebatan mereka dalam
berbagai kesempatan demi mendapatkan pengakuan dan menjadi pusat perhatian.
Dalam berinteraksi, mereka cenderung manipulatif atau mengambil keuntungan
dari orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka tidak ragu untuk
mengklaim sebuah keberhasilan sebagai pencapaian mereka walaupun itu adalah
jerih payah orang lain. Meski butuh dihargai, mereka tidak dapat berperilaku
sebaliknya, yaitu menghargai orang lain. Intinya, mereka butuh merasa lebih
dibandingkan orang lain. Jadi, orientasi mereka searah saja, lebih ke diri mereka
sendiri. Mereka tidak peka terhadap kebutuhan atau perasaan orang lain. Mudah
merasa iri dan merasa bahwa banyak orang yang iri terhadap dirinya. Mereka
tampil sebagai sosok yang tinggi hati dan angkuh, serta hanya mau bergaul
dengan kelompok orang yang dinilai setara dengan dirinya (Anindjayati, 2015).
Berdasarkan paparan di atas merupakan dasar pemikiran tim peneliti untuk
melatar belakangi penulisan ini, peneliti menduga bahwa narsisme itu sendiri akan
bersifat maladaptif, mengganggu lingkungan sekitar, serta terganggunya fungsi
diri, baik dalam bekerja maupun interaksi sosial. Peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana gambaran karyawan dengan kepribadian narsistik dan apa saja dampak
negatif yang ditimbulkan dalam setting kerja
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Narsistik
Legenda narcissus dalam mitologi yunani, yang berasal dari istilah
narsisme, telah menjadi satu mitos paling prototipikal zaman modern. Versi
paling populer dari cerita ini adalah oleh ovid dalam karyanya, di mana
echolives bertemu dengan narcissus seorang pria muda yang cantik di sebuah
gunung peri. Echolives patah hati karena narcissus. Echolives meninggalkan
hidupnya dalam kesedihan sampai hanya gema suaranya yang tersisa. Dewi
nemesis, balas dendam dengan menghukum narcissus dengan memikat
narcissus ke genangan air. Pada saat itu narcissus menangkap citra dirinya
sendiri dan, tidak menyadarinya bayangannya sendiri, sampai narcissus jatuh
cinta pada bayangannya sendiri. (Yakeley, 2018).
Menurut Kacel, Ennis, dan Pereira (2017) Narsistik adalah
kecenderungan narsistik ditandai dengan adanya fantasi atau perilaku
berlebihan terhadap kekuasaan, kecantikan, cinta ideal kebutuhan besar untuk
dikagumi oleh orang lain dan keinginan untuk mendapatkan perlakuan khusus.
Nugraheni dan Wahyuni (2016) menyatakan bahwa narsistik adalah sesuatu
yang dinamis, secara sosial mendefinisikan dengan dua elemen kunci yaitu
positif, berlebihan dan pandangan terhadap diri yang begitu tinggi. Serta
adanya strategi diri sendiri untuk mempertahankan dan meningkatkan
pandangan positif terhadap dirinya. Sedangkan menurut (Chapplin, 2014)
Narsistik adalah cinta diri dimana memperhatikan diri sendiri secara
berlebihan, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amat
penting, menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat,
paling berkuasa, paling bagus dan paling segalanya.
Dari hasil definisi diatas dapat disimpulkan bahwa narsistik adalah
kecenderungan individu yang memiliki keinginan besar untuk diakui, dan
diakui oleh orang lain. Serta individu yang memiliki pandangan berlebihan
terhadap dirinya, dan menganggap dirinya paling hebat dan berkuasa
dibandingkan orang lain.
B. Karakteristik Narsistik
Menurut Yeomans, Levy, dan Caligor (2015) terdapat sembilan
karakteristik narsistik, yaitu :
1. Memiliki perasaan mementingkan diri sendiri yang muluk-muluk (mis.,
Melebih-lebihkan prestasi dan talenta, mengharapkan untuk diakui sebagai
superior tanpa prestasi yang sepadan).
2. Disibukkan dengan fantasi keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan,
keindahan, atau cinta yang ideal.
3. Percaya bahwa dia "istimewa" dan unik dan hanya bisa dipahami oleh atau
harus bergaul dengan, orang-orang istimewa atau berstatus tinggi (atau
institusi) lainnya.
4. Membutuhkan kekaguman yang berlebihan.
5. Memiliki rasa memiliki hak (yaitu, harapan yang tidak masuk akal dari
harapan yang menguntungkan)
6. Mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuan sendiri
7. Kurang empati: tidak mau mengenali atau mengidentifikasi dengan
perasaan dan kebutuhan lainnya.
8. Sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.
9. Menunjukkan perilaku dan sikap sombong, angkuh.
C. Faktor Pembentukan Narsisme
Menurut Wright dan Furnham terdapat empat faktor pembentuk narsisme
yaitu :
1. Faktor genetik
Faktor genetik sangat menunjang sebagai faktor biologi pada orang
narsistik, karena gen narsisme diwariskan dari orang tua. Meskipun
evidensinya masih kurang pernyataan ini didukung sejumlah pengamatan
yang menilai adanya perbedaan tempramen antara anak yang dasarnya
memiliki dasar biologi narsisme atau tidak kepribadian seseorang
diturunkan dari orang tuanya sedangkan sisanya terbentuk dengan
interaksi lingkungan
2. Pola Asuh Orang tua
Narsisme terjadi karena kegagalan orang tua membentuk "the self" yang
sehat, Hal ini karena orang tua hanya memfokuskan pada pembentukan
diri yang sehat, dan tidak memberi ruang untuk grandious pada anak.
Dengan demikian, anak akan mengalami hambatan dalam idealisasi orang
tua sebagai role model.
3. Pengaruh Budaya
Temuan dari penelitian yang mengatakan bahwa budaya setempat
mempengaruhi derajat narsisme. Orang barat ditemukan memiliki
narsisme lebih tinggi dibandingkan orang timur. Hal ini konsisten dengan
tingkat self esteem dari keduanya, dimana self esteem orang barat lebih
tinggi disbanding orang timur. Budaya memiliki pengaruh pada
kepribadian narsistik. Semakin individualistis suatu bangsa dan periode
waktu yang menghasilkan lebih banyak produk budaya narsistik, maka
semakin banyak pula individu yang menyatakan dirinya sebagai seorang
narsistik
4. Jenis Kelamin
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, telah disebutkan bahwa terdapat
perbedaan dalam mengekspresikan narsismenya. Perempuan dengan
subtype exploitativenessnya dominan, cenderung cerdik dalam merayu
serta senang melakukan bullying. Sedangkan laki-laki dengan
exploitativeness tinggi lebih mengekspresikan dalam sikap seperti suka
memanipulasi, dan ingkar janji
BAB III
ANALISA PROBLEM

FAKTOR
GENETIK DAMPAK POSITIF
a. Peningkatan karir
b. menikmati pekerjaan
1.POLA ASUH
ORANG TUA

NARSISTIK
PENGARUH
BUDAYA Dampak Negatif
a. Terhambatnya fungsi diri
b. terganggu lingkungan sosial
c. Terhambatnya tujuan
1.JENIS
perusahaan
KELAMIN

Berdasarkan hasil analisa dari tim penulis, tim menulis merumuskan dampak
yang ditimbulkan dari adanya kepribadian narsistik ditempat kerja, peneliti
mengelompokkan dampak tersebut ke dalam dua kelompok yaitu dampak negatif
dan dampak positif, berikut diantaranya adalah :
1) Dampak Negatif
a) Terhambatnya fungsi diri
Narsisis butuh merasa lebih dibandingkan orang lain. Jadi, orientasi
mereka searah saja, lebih ke diri mereka sendiri hal ini tentu dapat
merusak fungsi diri mereka sendiri. Narsisis mudah merasa iri dan
merasa bahwa banyak orang yang iri terhadap dirinya. (Anindjayati,
2015).
b) Terganggunya lingkungan sosial
Bushman & Baumeister (1998) menyatakan orang dengan
kepribadian narsistik mempunyai dimensi otoritas, superioritas dan
harga diri yang tinggi di dalam dirinya. Mereka sangat sensitif
terhadap umpan balik atau informasi yang negatif. Narsisis
menganggap kehidupan sosial sebagai perjuangan untuk menjadi
dominan.
c) Terhambatnya pencapaian tujuan di perusahaan
Hochwarter & Thompson (2012) menyatakan bahwa pemimpin yang
narsistik dalam sebuah perusahaan dapat menyebabkan kinerja
karyawan menurun karena adanya frustasi dan ketegangan saat
bekerja pada karyawan. Ketika para karyawan dalam kondisi yang
tidak baik maka tujuan perusahaan juga tidak dapat tercapai.
2) Dampak Positif
a) Peningkatan Karier
Menurut penelitian terbaru Dr. Jeff Foster, Direktur Hogan Research
Department dan Dara Pickering, konsultan riset menyatakan bahwa
narsisme dapat memberikan pengaruh positif pada karier individu.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang
memperoleh skor rendah di skala Bold, lebih cenderung berperilaku
tidak mempromosikan diri sendiri. Sedangkan individu dengan skala
tinggi, lebih memahami pekerjaan mereka, berinisiatif, dapat
mencapai hasil yang ditetapkan sehingga ia mendapatkan promosi
untuk suatu posisi penting di perusahaan.
b) Menikmati Pekerjaan
Andreassen, Ursin, Eriksen dan Pallesen (2012) menyatakan bahwa
Manager yang narsistik memiliki dorongan kenikmatan dan
keterlibatan dalam bekerja. Mereka yang narsitik cenderung
menikmati pekerjaan mereka dan berusaha sebaik-baiknya sampai
menjadi yang terbaik di kantor
BAB IV
KESIMPULAN

Narsistik adalah kecenderungan individu yang memiliki keinginan besar


untuk diakui, dan diakui oleh orang lain. Serta individu yang memiliki pandangan
berlebihan terhadap dirinya, dan menganggap dirinya paling hebat dan berkuasa
dibandingkan orang lain. Faktor pembentuk kepribadian narsistik antara lain
adalah faktor genetik, pola asuh orangtua, faktor budaya, dan faktor jenis kelamin.
Peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian narsistik dapat memberikan dampak
terhadap lingkungan kerja yaitu dampak negative dan dampak positif, dampak
negative yaitu terhambatnya fungsi diri, terganggunya lingkungan sosial, dan
terhambatnya pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu tetrdapat pula dampak
negative diantaranya yaitu peningkatan karier dan menikmati pekerjaan.

RANCANGAN PREFENSI
Terdapat dua rancangan prefensi yang dapat dilakukan dalam menangani
gangguan kepribadian narsistik, yang pertama adalah prevensi dari individu
narsistik. Prevensi dari dalam individu dapat dilakukan dengan terapi seperti
psikoterapi dan terapi perilaku kognitif. Psikoterapi ini diharapkan nantinya akan
membantu pasien dengan gangguan kepribadian narsistik lebih peka kepada orang
lain serta membantu pasien untuk bisa memahami perasaan serta perilaku yang
dilakukan sendiri. Metode selanjutnya adalah metode terapi perilaku kognitif yang
mana bisa membantu untuk menemukan perilaku-perilaku yang kurang sehat dan
mengubahnya ke bentuk perilaku yang sehat. Kedua adalah prevensi dari luar,
yaitu pencegahan konflik dari rekan kerja. Bagi orang yang memiliki rekan kerja
narsistik dapat meyakini bahwa yang memiliki masalah adalah orang yang
narsistik atau rekan kerja mereka yang narsistik dan batasi interaksi dengan rekan
kerja yang narsistik. Selanjutnya jika memiliki kewenangan, bangunlah tim kerja
yang kohesif. Dalam latar kelompok, perilaku berlebihan yang ditampilkan oleh
karyawan yang narsistik akan mudah diidentifikasi, dikendalikan, dibahas, dan
juga tidak terima karena bertentangan dengan secara normatif.
DAFTAR PUSTAKA

Andreassen, C. S., Ursin, H., ERIKSEN, , H.R., PALLESEN, S. (2012) The


Relationship Of Narcissism With Workaholism, Work Engagement, And
Professional Position. 40(6), 881-890.

Anindjayati, M. (2015). Menangani karyawan narsistik. Dari: https://ppm-


manajemen.ac.id/id_ID/blog/artikel-manajemen-18/post/menangani-
karyawan-narsistis-1502, diakses pada 06 November 2019.

Bushman, B.J. and Baumeister, R.F. (1998) Threatened egotism, narcissism, self-
esteem, and direct and displaced aggression: Does self-love or self-hate lead
to violence?. Journal of Personality and Social Psychology, 75 : 219-229.

Chaplin, J ., P. (2014). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada

Hochwarter, W. A., Thompson, K.W. (2012). Mirror, mirror on my boss’s wall:Engaged


enactment’s moderating role on the relationship between perceived narcissistic
supervision and work outcomes. 65(3) 335–366

Hogan, R., & Hogan, J. (2009). Hogan Development Survey manual (2nd ed.).
Tulsa, OK: Hogan Press

Kacel, E. L., Ennis, E., dan Pereira, D. B. (2017). Narcissistic Personality


Disorder in Clinical Health Psychology Practice: Case Studies of
Comorbid Psychological Distress and Life-Limiting Illness. Florida :
Department of Clinical and Health Psychology. 43(3): 156–164.
doi:10.1080/08964289.2017.1301875.

Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Terjemahan
Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.

Nugraheni, H., dan Wahyuni, S. (2016). Pengaruh Narsisme Dan Job Stressor
Pada Perilaku Kerja Kontra Produktif Dengan Respon Emosional Negatif
(Anger) Sebagai Mediator. Univerasitas sebelas maret : Jurnal Bisnis &
Manajemen. Vol. 16, No. 2, 2016 : 49 – 66

Robbins, S. P. & Judge. T. A. (2008). Perilaku Organisasi Edisi ke-12. Jakarta:


Salemba Empat.

Sedikides, C. dkk. (2004). Are Normal Narcissist Psychologically Healthy?: Self-


Esteem Matters. Journal of Personality and Social Psychology.
Southampton: American Psychogical Association. Vol 87
Taufiqurrohman. (2009). Mengenal manajemen sumber daya manusia. Jakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Prof. Dr. Moestopo
(Beragama).

Wright, K., dan Furnham, A. (2014) What Is Narcissistic Personality Disorder?


Lay Theories of Narcissism. 1120-1130

Yakeley, J. (2018). Current understanding of narcissism and narcissistic


personality disorder. London : BJPsych Advances. vol. 24, 305–315 doi:
10.1192/bja.2018.20.

Yeomans, F. E. M.D., Eve Caligor, E. M.D., and Kenneth N. Levy, K. N. (2015).


Narcissistic Personality Disorder: Diagnostic and Clinical Challenges. Am
J Psychiatry. 172:5

Anda mungkin juga menyukai