Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon Fe8ac383
Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon Fe8ac383
Abstrak
Adanya kecenderungan beberapa daerah yang dahulunya merupakan pusat kerajaan
untuk membentuk provinsi sendiri merupakan fenomena yang muncul di era reformasi. Di
Jawa Barat, setelah Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat dan membentuk
Provinsi Banten, kini giliran Cirebon berkeinginan juga untuk memisahkan diri dan
membentuk provinsi tersendiri. Adanya fenomena untuk memisahkan diri itu tentu saja
menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan wilayah-wilayah yang dahulunya pernah menjadi
pusat kerajaan? Berbagai persoalan masa kini sesungguhnya dapat dimengerti dan dicarikan
solusinya melalui pendekatan ilmu sejarah. Begitu juga dengan fenomena keinginan Cirebon
untuk membentuk provinsi sendiri. Dari penelusuran sejarah dapatlah dikatakan bahwa
momentum reformasi dan otonomi daerah mendorong para elit Cirebon bernostalgia dengan
masa lalu. Romantisme akan masa keemasan Kerajaan Cirebon menjadi model ideal untuk
membangun wilayah Cirebon dan sekitarnya di masa yang akan datang. Memang pada masa
keemasan Kerajaan Cirebon, Cirebon mengalami perkembangan yang pesat dalam segala
bidang kehidupan.
Abstract
After reformation, some regions that were previously kingdoms claimed their status
for province. First, Banten in the Province of West Java has succeeded in doing it and
Cirebon is following to do the same. This is very interesting: claim for separation emerged
from regions that were previously great, independent kingdoms. What is really happening?
The author conducted history method to seek solution for this problem. The result shows that
the elites of Cirebon court want to revive old glory of their kingdom when it experieced many
great achievements in almost every areas of life. Those glorious time become model for them
to build future Cirebon. This romanticism has been driven by political situation, especially
reformation and regional autonomy.
berupa saluran transportasi melalui sungai dengan dakwah agama Islam sehingga
dan jalan darat. Mengenai jalan darat, aspek-aspek pemerintahan, pengendalian
pembangunan jalan besar dimulai dari alun- masyarakat, dan pengembangan agama
alun keraton Pakungwati ke pelabuhan menyatu menjadi bagian yang tidak
Muara Jati. Pembangunan jalan itu tujuan- terpisahkan (Herlina, et.al., 2003: 186).
nya agar para pedagang asing atau para Begitulah sistem pemerintahan di
utusan dari kerajaan lain yang masuk ke Kesultanan Cirebon. Artinya, dalam urusan
pelabuhan Muara Jati dapat secara mudah kenegaraan, pengembangan agama menda-
bertemu dengan Sunan Gunung Jati apabila pat prioritas yang utama. Penyebaran agama
mereka mau menghadap atau membicarakan Islam dilakukan di dalam dan di luar
sesuatu; (5) Untuk menjaga dan memelihara wilayah Cirebon, baik ke daerah pesisir
keamanan dibentuk pasukan keamanan yang maupun ke daerah pedalaman. Penyebaran
disebut Pasukan Jagabaya dengan jumlah agama Islam ke daerah pedalaman Tatar
dan kualitas yang memadai. Pasukan Sunda dilakukan melalui jalur: (a) Cirebon-
Jagabaya ini di tempatkan di pusat kerajaan Kuningan-Talaga-Ciamis, (b) Cirebon-
dan tentu saja di setiap wilayah yang sudah Kadipaten-Majalengka-Damaraja-Garut, (c)
dikuasai oleh Kesultanan Cirebon. Cirebon-Sumedang-Bandung, (d) Cirebon-
Sunan Gunung Jati yang menjadi raja Talaga-Sagalaherang-Cianjur, (e) Banten-
di Kesultanan Cirebon adalah seorang Jakarta-Bogor-Sukabumi, dan (f) Banten-
anggota Wali Songo. Dengan demikian, Banten Selatan-Bogor-Sukabumi.
segala aktivitasnya tentu saja tidak terlepas Sebagai manusia yang paripurna,
dari upaya menyebarkan agama Islam. Sunan Gunung Jati diyakini memiliki ilmu
Untuk itulah, pada tahun 1480, Sunan yang mumpuni baik di bidang agama
Gunung Jati mendirikan Masjid Agung Sang maupun di bidang kenegaraan, ekonomi,
Cipta Rasa yang terletak di samping kiri kemasyarakatan, kesehatan, keluarga, pendi-
keraton dan di sebelah barat alun-alun. dikan dan sebagainya. Di bidang agama,
Dalam membangun Masjid Agung Sang ilmunya meliputi ilmu fiqh, syari’ah,
Cipta Rasa itu, Sunan Gunung Jati dibantu tasawuf dan mistik. Di bidang kesehatan,
oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati berdakwah mengenai
Adapun yang menjadi arsitek dari masjid itu pengobatan herbal, yaitu penggunaan daun-
ialah Raden Sepat, mantan arsitek daunan dan akar-akaran untuk mengobati
Majapahit. Sunan Gunung Jati menjadikan penyakit. Selain itu, pengobatan batin yang
masjid sebagai pusat dakwah Islam, oleh semula diatasi dengan pengobatan spiritual,
karena itu di setiap wilayah bawahan firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra oleh
Cirebon dibangun masjid jami (Herlina, Sunan Gunung Jati diganti dengan memakai
dkk., 2003: 190). doa-doa Islam (Suryanegara, 1995: 75-94).
Sebagai pemimpin politik dan agama, Pada bidang kebudayaan, terlihat dari
Sunan Gunung Jati membentuk sistem dan gambaran simbol-simbol kosmis dan simbol
struktur kenegaraan yang didasarkan pada yang berasal dari ajaran agama Islam. Sim-
paham kekuasaan religius. Adapun esensi bol kosmis diwujudkan dalam bentuk
dari paham kekuasaan religius adalah payung sutera berwarna kuning dengan ke-
meletakan kekuasaan politik pada karakter pala naga. Payung itu melambangkan sema-
adiduniawi dan adimanusiawi (Suseno, ngat perlindungan dari raja kepada rakyat-
1994: 31-32). Menurut Moertono (1981: 26- nya. Adapun simbol-simbol yang berasal
27) sang pemimpin bukan lagi manusia dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat
biasa tetapi manusia yang memiliki kemam- tingkatan, yaitu: (a) syariat, yang disimbol-
puan supranatural. Raja menjadi medium kan dengan wayang, adapun wayang itu
yang menghubungkan manusia (mikrokos- sendiri adalah perwujudan dari manusia
mos) dengan alam gaib (makro-kosmos). dengan dalangnya Allah, (b) tarekat yang
Dengan demikian, misi pemerintahan Sunan disimbolkan dengan barong, (c) hakekat
Gunung Jati bentuknya merupakan perpa- yang disimbolkan dengan topeng, dan (d)
duan antara sistem pengelolaan negara ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng.
Keempat simbol itu, yakni wayang, barong, kedudukan Sunan Gunung Jati sebagai
topeng, dan ronggeng merupakan empat Panatagama (Siddque, 1977: 91).
jenis pertunjukan kese-nian masyarakat Sunardjo (1996: 38-40) merinci
Cirebon dan masyarakat Jawa pada umum- keberhasilan masa pemerintahan Sunan
nya (Siddique, 1977: 79-82). Gunung Jati sebagai berikut: (1) Wilayah
Simbol-simbol di atas senantiasa bawahan Kerajaan Cirebon sampai tahun
muncul dalam berbagai bentuk acara 1530 M sudah meliputi separuh dari
selamatan yang menjadi tradisi di bulan- Provinsi Jawa Barat (sekarang) dan Provinsi
bulan tertentu dan perayaan-perayaan hari Banten dengan jumlah penduduk pada saat
besar Islam yang berasal dari tradisi itu sekitar 600.000 orang yang sebagian
Walisongo, termasuk Sunan Gunung Jati, besar masih beragama nonIslam; (2)
seperti upacara sekaten sebagai perayaan Pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang
memperingati maulid Nabi Muhammad pantai utara Jawa Barat seluruhnya sudah
SAW, yang dilangsungkan di seluruh dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon; (3)
kerajaan Islam Jawa. Perayaan sekaten ini Telah dilakukan pembangunan masjid jami
biasanya dipusatkan di alun-alun ibu kota di ibu kota dan di berbagai wilayah bawahan
kerajaan yang dapat dinikmati bersama Kerajaan Cirebon, serta langgar-langgar di
khalayak ramai pada umumnya. Perayaan berbagai pelabuhan; (4) Perluasan dan
sekaten itu sendiri dimulai tujuh hari pembangunan Keraton Pakungwati sehingga
sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi sesuai dengan fungsi dan posisinya sebagai
Muhammad SAW yang tepatnya jatuh pada bangunan utama pusat pemerintahan keraja-
tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekaten diakhiri an yang berdasarkan Islam; (5) Tembok
dengan upacara Garebeg, yaitu upacara yang keliling keraton berikut beberapa pintu
berpuncak pada siratun nabiy (pembacaan gerbang, pangkalan perahu kerajaan, pos-
riwayat Nabi Muhammad SAW) dan pos penjagaan keamanan, instal kuda
sedekah sultan, yaitu membagi-bagikan kerajaan, bangunan untuk kereta kebesaran
makanan hadiah dari sultan di Masjid kerajaan, pedati-pedati untuk pengangkutan
Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan barang, dan sitinggil/pancaniti (bangunan
pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini untuk pengadilan), serta alun-alun telah
satu-satunya upacara dan perayaan terbesar selesai dibangun dan diperindah; (6) Telah
karena pergelarannya merupakan upacara selesai dibangun tembok keliling ibu kota
memperingati hari lahir Nabi Muhammad meliputi areal seluas 50 hektar dilengkapi
SAW. Pada saat Garebeg itulah, adipati- dengan beberapa pintu gerbang dan pos
adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, pem- jagabaya; (7) Telah selesai dibangun jalan
besar-pembesar wilayah kerajaan diterima besar utama menuju Pelabuhan Muarajati
menghadap sultan untuk menunjukkan sikap dan jalan-jalan di ibu kota serta jalan-jalan
hormat dan baktinya kepada sultan sembari yang menghubungkan ibu kota dengan
mangayu bagja pada hari yang mulia dan wilayah-wilayah bawahannya; (8) Pasukan
meriah itu (Saksono, 1995: 150-151). Jagabaya jumlahnya sudah cukup banyak,
Upacara peringatan maulid Nabi organisasinya sudah ditata dengan koman-
Muhammad SAW di Keraton Cirebon mulai dan tertingginya dipegang oleh seorang
diadakan dan dilaksanakan secara besar- tumenggung yang disebut Tumenggung
besaran ketika diadakan pengangkatan Jagabaya; (9) Dalam urusan penyelenggara-
Sunan Gunung Jati sebagai wali kutub pada an pemerintahan, baik di pusat kerajaan
tahun 1470 M. Perayaan itu di kalangan maupun di wilayah bawahan telah diatur
masyarakat Cirebon dikenal dengan iring- dalam tata aturan pemerintahan yang cukup
iringan panjang jimat (Herlina, et.al., 2003: rapi. Sunan Gunung Jati telah memberlaku-
184-185). Aktifitas perayaan keagamaan kan gelar-gelar jabatan.
Islami yang dilakukan oleh kerabat keraton
menunjukkan bahwa Sunan gunung Jati dan 3. Masa Surut Kerajaan Cirebon
keturunannya dalam struktur sosial Panggilan hati Sunan Gunung Jati
dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum rupanya lebih cenderung pada upaya
santri sebagai legitimasi peran, fungsi, dan penyebaran agama Islam dari pada menjadi
raja. Oleh karena itu pada tahun 1528 urusan Kesultanan Cirebon. Demikian pula dengan
pemerintahan kesultanan ia serahkan kepada Kerajaan Banten. Pada masa itu Banten
Pangeran Pasarean, putra Sunan Gunung Jati masih tetap konsisten memandang Cirebon
dari Nyai Tepasari. Selanjutnya, Sunan sebagai sumber pertama eksistensi kesul-
Gunung Jati lebih mengkhususkan diri tanannya. Selain itu, terjalin hubungan yang
menyebarkan agama Islam ke daerah erat dengan Kerajaan Pajang dan juga
pedalaman (Ekadjati, 1991: 107-108). Tentu hubungan dagang dengan luar negeri
saja Pangeran Pasarean statusnya hanya berjalan lancar. Pelabuhan-pelabuhan seba-
mewakili saja, artinya belum menjadi raja, gai aset Kesultanan Cirebon yang amat
sebab Sunan Gunung Jati masih hidup dan penting terjaga keamanannya sehingga
belum menyerahkan statusnya. Dengan kapal-kapal dagang asing makin banyak
posisinya itu, jelaslah bahwa Pangeran yang singgah untuk melakukan transaksi
Pasarean telah dipromosikan oleh Sunan dengan masyarakat Cirebon (Sunardjo,
Gunung Jati sebagai calon penggantinya 1996: 44).
dikemudian hari. Akan tetapi, meskipun ia Namun demikian, pada masa Panem-
telah mewakili Sunan Gunung Jati selama bahan Ratu I Kesultanan Cirebon tidak lagi
18 tahun, ia tidak sempat mewarisi tahta melebarkan wilayahnya ke daerah-daerah
kerajaan karena ia keburu meninggal dunia lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon
di Demak pada tahun 1546. Urusan terjepit di antara dua kerajaan besar, yaitu
pemerintahan kemudian diwakili oleh Banten di barat dan Mataram di timur.
Fadhillah Khan, menantu Sunan Gunung Sebenarnya Cirebon bisa saja diruntuhkan
Jati (Ekadjati, 1991: 64). baik oleh Banten maupun oleh Mataram
Setelah Pangeran Pasarean me- mengingat kekuatan angkatan bersenjata
ninggal dunia, selanjutnya yang dipromo- Banten atau Mataram lebih kuat dari
sikan untuk menggantikan Sunan Gunung Cirebon. Akan tetapi kedua kerajaan terse-
Jati ialah Pangeran Sawarga, putra Pangeran but masih menghormati Cirebon. Banten
Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Ia telah menghormati Cirebon sebagai tahta leluhur-
menduduki jabatan penting dalam birokrasi nya, yaitu Sunun Gunung Jati, sedangkan
Kesultanan Cirebon sehingga namanya Mataram memandang Cirebon sebagai guru
berubah menjadi Pangeran Dipati Carbon. dan keramat (Ekadjati, 1991).
Akan tetapi ia meninggal dunia terlebih Bukan mustahil Cirebon, yang selalu
dahulu, yaitu pada tahun 1565 (Ekadjati, bersahabat dengan Mataram, dalam banyak
1991: 88). hal menjadi teladan bagi Mataram. Mungkin
Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati Sitiinggil yang terdapat di Keraton Cirebon
meninggal dunia, roda pemerintahan Kesul- pada tahun 1625 ditiru oleh Susuhunan
tanan Cirebon tetap dijalankan oleh untuk keratonnya dan mungkin pula makam
Fadhillah Khan sampai ia meninggal pada keramat Sunan Gunung Jati dipakai sebagai
tahun 1570. Setelah itu, yang naik tahta contoh untuk makamnya di Wonogiri.
adalah cicit Sunan Gunung Jati yang Ketika Sidang Raya Kerajaan Mataram
bernama Pangeran Emas putra Pangeran berlangsung pada tahun 1636, rupanya
Swarga Dipati Carbon dari perkawinan Panembahan Ratu yang dituakan dan dihor-
dengan Nhay Mas Ratu Wanawati Raras, mati diundang untuk datang ke Mataram
putri Fadhillah Khan. dengan maksud untuk memperbesar kewi-
Pangeran Emas kemudian bergelar bawaan Susuhunan (De Graaf, 1986: 292).
Panembahan Ratu I, ia memerintah Kesul- Pada masa Panembahan Ratu I
tanan Cirebon selama 79 tahun, yaitu dari ternyata Cirebon lebih dekat ke Mataram
tahun 1570 sampai 1649 M. Pada masa daripada ke Banten. Sebagai contoh Putri
Panembahan Ratu I di Cirebon tidak terjadi Ratu Ayu Sakluh yang merupakan kakak
masalah apapun. Hal yang demikian itu perempuan Panembahan Ratu I menikah
terjadi karena kondisi Cirebon pada masa itu dengan Sultan Agung Mataram. Dari
sangat kondusif. Kerajaan Sunda sudah tidak pernikahan itu, Sultan Agung berputra
menjadi ancaman lagi bagi eksistensi Susuhunan Amangkurat I. Kelak salah
dunia dan dimakamkan di Girilaya. Sejak Cirebon. Adapun Sultan Cerbon (Panem-
saat itu Panembahan Ratu II sering disebut bahan Cirebon) untuk sementara waktu
dengan nama Panembahan Girilaya. Sepuluh tinggal bersama-sama dengan Sultan Sepuh
tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1677, di kompleks Keraton Pakungwati (Sunardjo,
Raden Trunojoyo mengadakan serangan 1983: 153).
besar- besaran terhadap keraton Mataram. Sejak saat itu pula pemakaian gelar di
Serangan itu bukan saja berhasil menduduki Cirebon berubah, yaitu dari panembahan
ibukota Mataram, melainkan juga dapat menjadi sultan. Pangeran Martawijaya
membebaskan kedua Pangeran Cirebon, memakai gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
yaitu Pangeran Martawidjaja dan Pangeran Muhammad Samsudin (1677-1703) dan
Kertawidjaja dari cengkraman Sunan Pangeran Kartawijaya memakai gelar Sultan
Amangkurat I. Selanjutnya kedua Pangeran Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
Cirebon itu dibawa oleh pasukan Raden (1677-1723). Gelar Sultan itu diberikan oleh
Trunojoyo ke Kediri. Dari Kediri kedua Sultan Ageng Tirtayasa ketika ia melantik
Pangeran tersebut diambil oleh utusan kedua Pangeran Cirebon itu di ibu kota
Sultan Ageng Tirtayasa ke Banten (Ekadjati, Banten. Sebagai Sultan, kedua pangeran dari
1991: 115-116; Sunardjo, 1983: 139; Atja, Cirebon itu mempunyai kekuasaan penuh
1988: 10). atas wilayah dan rakyatnya dan juga
Di Banten Sultan Ageng Tirtayasa memiliki keraton masing-masing. Namun
mengangkat kedua pangeran itu sebagai demikian, Sultan Ageng Tirtaysa tidak
sultan Cirebon dan menetapkan wilayah dan mengangkat anak laki-laki ketiga dari
rakyatnya masing-masing. Pangeran Marta- Panembahan Ratu II, yang bernama
wijaya menjadi Sultan Sepuh dan Pangeran Pangeran Wangsakerta sebagai sultan. Ia
Kartawijaya menjadi Sultan Anom. hanya diangkat sebagai Panembahan Cire-
Sedangkan Pangeran Wangsakerta diangkat bon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
menjadi Panembahan Cirebon tetapi tanpa Muhammad Nasarudin atau Panembahan
memiliki wilayah kekuasaan dan keraton Tohpati (1677-1713). Dengan demikian, ia
secara formal (Ekadjati, 1991: 93). tidak memiliki wilayah kekuasaan dan
Menurut catatan Brandes (1911: 24), keraton sendiri. Tempat tinggalnya hanya
mereka kembali ke Cirebon, tahun 1678. berupa rumah besar biasa yang terletak di
Dengan pengakuan Sultan Ageng Tirtayasa, sebelah Timur Keraton Pakungwati
maka Pangeran Martawidjaja (Pangeran (Subagja, 1990: 54-55).
Samsudin) menjadi Sultan Sepuh/Kasepuhan Dengan terbaginya Cirebon menjadi
yang pertama, Pangeran Kertawidjaja dua kesultanan yang sederajat dan satu
(Pangeran Badrudi/Komarudin) menjadi panembahan, sulit bagi Cirebon untuk
Sultan Anom/Kanoman yang pertama, mengembalikan lagi kebesaran dan kewi-
sedangkan Pangeran Wangsakerta (Raden bawaan yang pernah diraih semasa Cirebon
Godang) menjadi Panembahan Cirebon yang dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Ketiga
pertama/Sultan Cirebon (Atja, 1988: 10-11). orang itu mempunyai konsep yang berbeda.
Keputusan Sultan Ageng Tirtayasa menye- Sehingga muncullah persaingan bahkan
babkan Cirebon terbagi menjadi tiga bagian konflik di antara ketiganya. Untuk mere-
dan mulai saat itu Cirebon berada di bawah dakan persaingan yang keras itu, semua
pengaruh dominasi Banten. pihak meminta bantuan Kompeni Belanda
Sultan Sepuh (Pangeran Samsudin) untuk menyelesaikannya (Herlina, et.al.,
kemudian menempati Keraton Pakungwati 2003: 197).
sebagai keratonnya (sekarang letaknya di Kondisi semacam itu tentu saja
sebelah timur Keraton Kasepuhan). Sultan dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk
Anom (Pangeran Badrudin) menempati menanamkan kekuasaannya di Cirebon.
bekas rumah pertama Pangeran Cakrabuana Kompeni Belanda menyambut baik permin-
untuk dijadikan keratonnya. Tempat itu taan dari pihak Cirebon untuk bertindak
sekarang termasuk ke dalam wilayah sebagai penengah yang dapat menyelesaikan
kelurahan Lemah Wungkuk Kotamadya konflik di kalangan elit Cirebon, sambil
pribumi harus mendapatkan lisensi dari wali, ia mempunyai ilmu agama yang
VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal mumpuni dan berahlak mulia sehingga
boleh masuk, kecuali atas ijin dari VOC sangat terhormat di mata umatnya. Sebagai
(Herlina, et.al., 2003: 201). seorang raja, ia mempunyai keturunan
Dari isi perjanjian tersebut jelaslah bangsawan baik dari garis ayah maupun dari
bahwa secara politis maupun militer, garis ibu, sehingga ia memiliki legitimasi
Cirebon telah berada di bawah dominasi yang kuat.
Kompeni Belanda. Kota Cirebon berada di Selama kepemimpinannya (1479-
bawah kontrol Kompeni Belanda. Adapun 1568 M), Kerajaan Cirebon mengalami
para penguasa Kesultanan Cirebon pada masa keemasannya. Alasan mengapa pada
kondisi semacam itu hanyalah berperan masa kepemimpinannya disebut zaman
sebagai perantara antara kompeni dengan keemasan bagi Kerajaan Cirebon karena
masyarakat pedesaan di pedalaman. Namun alasan berikut ini: (1) Pada masa itulah yang
demikian, rupanya pihak kompeni masih pada awalnya status Cirebon sebagai
belum puas juga dengan keadaan itu, karena bawahan Kerajaan Sunda berubah menjadi
pihak keraton ternyata masih mempunyai negara yang merdeka; (2) Syarif Hida-
kekuatan ekonomis agraris. Untuk itulah yatullah (yang setelah meninggal disebut
pihak kompeni pun akhirnya berhubungan sebagai Sunan Gunung Jati) berhasil
langsung dengan masyarakat sehingga pihak melebarkan wilayah kekuasaannya meliputi
Keraton Cirebon kehilangan sumber daya separuh Jawa Barat dan Banten (sekarang)
ekonominya. dengan rakyat kurang lebih berjumlah
Dengan demikian, sumber ekonomi 600.000 jiwa; (3) Berhasil mengislamkan
Kesultanan Cirebon baik di pelabuhan penduduk yang berada di wilayah
maupun di pedalaman dikuasai sepenuhnya kerajaannya; (4) Melaksanakan pembangun-
oleh pihak kompeni. Benteng VOC menjadi an baik infra struktur maupun supra struktur
pusat perdagangan sedangkan keraton ber- dalam berbagai bidang kehidupan. Antara
henti dari aktifitas perdagangan. Keraton lain, berhasil menguasai pelabuhan-
akhirnya hanya bisa melakukan aktifitas di pelabuhan penting di pantai Utara Jawa
bidang kesenian, kerohanian, gaya hidup, Barat sekaligus membangunnya, memba-
dan upacara-upacara keraton yang adilu- ngun keraton, membuat jalan untuk
hung. Cirebon terpuruk dan akhirnya, pada memperlancar mobilitas dan mempercepat
tahun 1809, Gubernur Jenderal Daendels pertumbuhan perekonomian, membentuk
menghapus kekuasaan para Sultan Cirebon pasukan keamanan yang kuat, menyeleng-
(Herlina, et.al., 2003: 201-203). garakan sistem pemerintahan yang baik,
mendirikan masjid di seluruh wilayah
C. PENUTUP kekuasaannya, dan mengadakan hubungan
luar negeri yang bersahabat.
Kesultanan Cirebon didirikan oleh
Lewat berbagai langkah yang
Syarif Hidayatullah pada tahun 1479 M.
dilakukan oleh Sunan Gunung Jati,
Syarif Hidayatullah yang naik ke panggung
Kesultanan Cirebon mengalami kemajuan
kekuasaan dengan gelar Tumenggung Syarif
yang pesat di berbagai bidang sehingga
Hidayatullah bin Maulana Muhammad
Kesultanan Cirebon tumbuh menjadi negara
Syarif Abdullah disambut oleh para wali
yang kuat. Kesultanan Cirebon menjadi
tanah Jawa dengan memberi gelar Panetep
negara yang disegani oleh negara-negara
Panatagama Rasul di Tanah Sunda atau
lainnya. Adapun setelah Sunan Gunung Jati
Inkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati
meninggal dunia secara perlahan Kesultanan
Purba Panetep Panatagama Awlya Allah
Cirebon mengalami kemunduran bahkan
Kutubid zaman Khalifatur Rasulullah, sudah
keruntuhan. Namun demikian, nama Sunan
memberikan indikasi dari awal bahwa dia
Gunung Jati masih dihormati dan diidolakan
seorang pemimpin yang istimewa.
sampai zaman sekarang.
Istimewa karena ia seorang wali yang
sekaligus juga seorang raja. Sebagai seorang