Anda di halaman 1dari 76

MODUL 4

PSIKOLOGI PEMUDA

Pendidikan Kepemimpinan Pemuda


dalam Rumah Tangga

PKPRT
PENINGKATAN
KESEHATAN REPRODUKSI
BAGI PEMUDA

Modul 4
i
PSIKOLOGI PEMUDA
Modul 4
ii
PSIKOLOGI PEMUDA
MODUL 4

PKPRT
PENINGKATAN KESEHATAN
REPRODUKSI BAGI PEMUDA

Modul 4
iii
PSIKOLOGI PEMUDA
MODUL 4
PSIKOLOGI PEMUDA

TIM PENYUSUN
Dr. HM Asrorun Ni’am Sholeh, M.A
Dr. Jaswadi
Erlinda, M. Pd
Reza Indragiri Amriel, M.Crim
Rita Pranawati, S.S., M.A
Dr. Muhammad Maksum, M.A
Khaeron Sirin, M.A
Rosdiana, M.A
Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H

DESAIN COVER
Moh Zakaria Ishaq

EDITOR
Ahmad Wari

Modul 4
iv
PSIKOLOGI PEMUDA
Modul 4
v
PSIKOLOGI PEMUDA
Modul 4
vi
PSIKOLOGI PEMUDA
Daftar ISI
Daftar Isi................................................................................vii
Kata Pengantar...................................................................ix

A. Potret Kematangan ....................................................1


B. Perkembangan Kognitif Remaja ............................5
C. Perkembangan Psikososial Remaja ......................8
D. Perkembangan Emosional dan Sosial ..................12
E. Remaja dan Sebutan Serba Positif ........................15
F. Hubungan Dini ...............................................................17
G. Kerawanan Ekonomi ...................................................20
H. Pendidikan Pranikah, Mujarabkah? .......................27
I. Seks dalam pernikahan ...............................................34
J. Alat kontrasepsi dan pengabaian nilai
sakral perkawinan...........................................................37
K. TERLANJUR MENIKAH, LANTAS?.........................45

Tentang Penyusun.............................................................53

Modul 4
vii
PSIKOLOGI PEMUDA
Modul 4
viii
PSIKOLOGI PEMUDA
Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan


Semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penyusunan buku
Modul Kegiatan Peningkatan Kesehatan
Reproduksi Pemuda dapat diselesaikan.
Dalam konteks pembangunan manusia,
pembinaan ketahanan pemuda memiliki peran
yang sangat strategis. Pertama, karena pemuda
merupakan individu-individu calon penduduk
usia produktif yang pada saatnya kelak akan
menjadi subjek/pelaku/aktor pembangunan
sehingga harus disiapkan agar menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas. Kedua, karena
pemuda merupakan individu-individu calon
pasangan yang akan membangun keluarga
dan calon orang tua bagi anak-anak yang
dilahirkannya sehingga perlu disiapkan agar
memiliki perencanaan dan kesiapan berkeluarga.

Modul 4
ix
PSIKOLOGI PEMUDA
Kesiapan berkeluarga merupakan salah satu kunci
terbangunnya ketahanan keluarga dan keluarga
yang berkualitas sehingga diharapkan mampu
melahirkan generasi yang juga berkualitas. 
Di era Revolusi Industri 4.0 saat ini, tantangan
pembinaan ketahanan pemuda sangat kompleks,
baik dari aspek pemudanya maupun orangtua/
keluarganya. Dari aspek pemudanya, di antaranya
pubertas/kematangan seksual yang semakin
dini (aspek internal) dan aksesibilitas terhadap
berbagai media serta pengaruh negatif sebaya
(aspek eksternal) menjadikan pemuda rentan
terhadap perilaku seksual berisiko. Pemuda
menjadi rentan mengalami pernikahan di usia
dini, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi
penyakit menular seksual hingga aborsi yang
tidak aman, Kepala BKKBN Dr. Hasto Wardoyo
menjelaskan organ reproduksi perempuan usia
dibawah 20 tahun masih belum matang, yang
sangat rentan terkena kanker mulut rahim 10-20
tahun yang akan datang apabila tersentuh oleh
alat kelamin laki-laki. Hasto juga berpesan untuk

Modul 4
x
PSIKOLOGI PEMUDA
para pemuda laki-laki dan perempuan, agar
menjauhkan diri pada hal-hal yang mendekati
perilaku seks pranikah.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) Tahun 2017, terutama yang
terkait dengan kesehatan reproduksi generasi
muda menunjukkan perilaku pacaran menjadi
titik masuk pada praktik perilaku berisiko
yang menjadikan pemuda rentan mengalami
kehamilan di usia dini, kehamilan di luar nikah,
kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi
penyakit menular seksual hingga aborsi yang
tidak aman. Survei tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar pemuda wanita (81%)
dan pemuda pria (84%) telah berpacaran.
Empat puluh lima persen pemuda wanita dan
44 persen pemuda pria mulai berpacaran pada
umur 15-17. Sebagian besar pemuda wanita
dan pemuda pria mengaku saat berpacaran
melakukan aktivitas berpegangan tangan (64%
wanita dan 75% pria), berpelukan (17% wanita
dan 33% pria), cium bibir (30% wanita dan 50%

Modul 4
xi
PSIKOLOGI PEMUDA
pria) dan meraba/diraba (5% wanita dan 22%
pria).
Meskipun 99 persen persen wanita dan 98
persen pria berpendapat keperawanan perlu
dipertahankan, namun terdapat 8% pria dan 2%
persen wanita yang melaporkan telah melakukan
hubungan seksual, dengan alasan antara lain:
47% saling mencintai, 30% penasaran/ingin
tahu, 16% terjadi begitu saja, masing-masing 3%
karena dipaksa dan terpengaruh teman. Di antara
wanita dan pria yang telah melakukan hubungan
seksual pra nikah, 59 persen wanita dan 74 persen
pria melaporkan mulai berhubungan seksual
pertama kali pada umur 15-19. Di antara wanita
dan pria, 12 persen kehamilan tidak diinginkan
dilaporkan oleh wanita dan 7 persen dilaporkan
oleh pria yang mempunyai pasangan dengan
kehamilan tidak diinginkan. Dua puluh tiga
persen wanita dan 19 persen pria mengetahui
seseorang teman yang mereka kenal yang
melakukan aborsi, satu persen di antara mereka
menemani/mempengaruhi teman/seseorang

Modul 4
xii
PSIKOLOGI PEMUDA
untuk menggugurkan kandungannya.
Selain itu, sejak 2016 lalu hingga 2030
mendatang, Indonesia telah memasuki era baru
yang dikenal dengan Sustainable Development
Goals (SDGs); sebuah program pembangunan
berkelanjutan dan meneruskan program/target
pada era sebelumnya, Millenium Development
Goals (MDGs). Di antara target yang belum
tercapai secara maksimal pada era MDGs
dan akan menjadi “PR” di era SDGs adalah
masalah kesehatan yang meliputi sebaran balita
kurang gizi, proporsi balita pendek, status gizi
anak, tingginya tingkat kematian ibu, dan lain
sebagainya. Maka dalam konteks kesehatan
reproduksi, harus ada upaya-upaya serius dalam
meningkatkan kesehatan reproduksi yang
komprehensif, masalah-masalah seperti rasio
kematian ibu, kematian anak, maupun penyakit
epidemi AIDS, dan lain sebagainya bisa terus
berkurang.
Berdasarkan hal di atas, maka upaya-upaya
dalam meningkatkan kesehatan reproduksi

Modul 4
xiii
PSIKOLOGI PEMUDA
bagi generasi muda menjadi sangat urgen.
Sebab itu, Deputi Bidang Pengembangan
Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga
RI menyelenggarakan kegiatan Peningkatan
Kesehatan Reproduksi Bagi Pemuda demi
peningkatan pengetahuan dan menambah
informasi kepada pemuda tentang pentingnya
kesehatan reproduksi bagi para pemuda
melalui buku modul “Kesehatan Reproduksi
Bagi Pemuda”. Modul ini terdiri dari 2 modul
yang menyajikan berbagai informasi tentang
kesehatan reproduksi yang penting untuk
diperhatikan oleh para pemuda, sehingga
pemuda lebih mampu untuk bersikap dan
berperilaku sehat dengan pola yang benar dan
tepat dalam menjaga kesehatan reproduksi.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih
dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT
memberikan pahala atas segala amal kebaikan
kita. Buku modul ini diharapkan mampu menjadi

Modul 4
xiv
PSIKOLOGI PEMUDA
sumber informasi lengkap bagi kita semua
untuk mendorong upaya peningkatan kesehatan
reproduksi pemuda, sehingga semakin banyak
pemuda yang mengerti arti penting kesehatan
reproduksi. Salam Pemuda !

Deputi Bidang
Pengembangan Pemuda

Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, M. A

Modul 4
xv
PSIKOLOGI PEMUDA
Modul 4
xvi
PSIKOLOGI PEMUDA
M AT E R I 4

PERLINDUNGAN ANAK
DAN PENGASUHAN
BERKUALITAS

PSIKOLOGI
PEMUDA
A. Potret kematangan
Pertumbuhan fisik, termasuk kematangan
seks, pada usia puber tidak memengaruhi
perkembangan kognitif (Orr, Brack, Ingersoll,
1988).
Pemuda, mengacu UU Kepemudaan, adalah
individu berusia 16-30 tahun. Dalam psikologi,
terdapat rentang usia yang disebut sebagai

Modul 4
1
PSIKOLOGI PEMUDA
remaja (adolescence). Usia ini merupakan masa
peralihan dari anak-anak ke dewasa. Dari situ
bisa dipahami bahwa usia pemuda mencakup
usia remaja hingga usia dewasa. Sebagian
usia dewasa, tepatnya. Karena, merujuk Erik H.
Erikson, usia dewasa pun dipilah ke dalam tiga
tahap. Mulai dari dewasa awal, dewasa madya,
hingga dewasa akhir.
Sulit dibayangkan? Begini saja: Pemuda
adalah orang-orang yang berusia remaja hingga
dewasa awal.
Dimulai sejak usia pra-remaja (pubertas),
individu mengalami perubahan fisik besar-
besaran. Usia remaja juga ditandai perubahan
yang sangat nyata, baik mental (kognitif) dan
psikososial. Bagaimana kita bisa memahami
interaksi antara dimensi fisik, mental (kognitif),
dan psikososial itu?
Semua bermula di otak manusia. Bagian
otak tertentu, yakni hipotalamus, menghasilkan
hormon tertentu. Namanya…nanti saja. Hormon
itu bergerak ke kelenjar tertentu yang namanya
juga kapan-kapan saja. Lalu, di kelenjar itu keluar

Modul 4
2
PSIKOLOGI PEMUDA
hormon-hormon lagi. Jadi, organ menghasilkan
hormon, organ memengaruhi organ, hormon
merangsang organ, hormon memengaruhi
hormon. Dan seterusnya, dan selanjutnya.
Begitu dahsyatnya kerja organ di dalam
kepala manusia itu. Ukurannya hanya sekepalan
manusia. Tapi bagian hipotalamusnya memantik
sebuah proses luar biasa yang menjadikan
manusia punya amat-sangat banyak perbedaan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup
lainnya. Jadi sekarang kita bisa paham mengapa
titah pertama Tuhan adalah, “Bacalah.” Apa
yang dibaca, yaitu proses penciptaan manusia.
Diri kita sendiri!
Di dalam disiplin ada istilah Psychophysic
Parallelism. Artinya, dimensi psikologi dan
dimensi fisik pada manusia laksana rel kereta
api. Selalu ada dua batang baja yang panjang
berjalan beriringan, dihubungkan satu sama lain
oleh logam-logam lainnya. Jadi, perkembangan
fisik niscaya disertai perkembangan psikis,
dan perkembangan psikis pasti diiringi
perkembangan fisik.

Modul 4
3
PSIKOLOGI PEMUDA
Sebagian besar perubahan fisik pada masa
pubertas berlangsung pada awal usia remaja.
Sedangkan perubahan-perubahan lainnya,
yaitu kognitif dan psikososial, berlangsung di
sepanjang usia remaja. Kita bisa bayangkan,
perubahan kognitif dan psikosial bersifat lebih
dinamis. Mereka berubah-ubah, terus-menerus,
dipengaruhi berbagai hal.
Ukuran otak, misalnya, tidak berubah
banyak selama usia remaja. Bahkan, perubahan
otak secara signifikan sesungguhnya telah
berlangsung sejak bayi dilahirkan. Pada usia
sekitar enam tahun, ukuran
Beda cerita dengan fungsi otak. Nah, otak
justru menjadi amat-sangat kompleks selama
manusia melalui usia remaja. Jumlah lekak-
lekuk otak muncul dalam jumlah besar-besaran.
Sebuah proses yang disebut “synaptic pruning”
juga terjadi. Dalam proses ini, jalur-jalur yang
tidak berguna ditiadakan. Hanya jalur-jalur
yang bermanfaat saja yang dipertahankan
keberadaannya, bahkan ditambah dan ditambah
lagi. Berkat itulah, kerja otak menjadi lebih

Modul 4
4
PSIKOLOGI PEMUDA
efisien dan fungsional selama usia remaja. Ini,
pada gilirannya, mengakibatkan perubahan-
perubahan utama pada kognisi manusia.
Sampai di sini, kita bisa katakan bahwa
usia remaja ditandai oleh perkembangan
kognitif yang berlangsung dengan spektakuler.
Di samping perkembangan kognitif, remaja
juga mengalami perkembangan psikososial dan
perkembangan emosional.

Paramitha Rusady:
“Nostalgia SMA kita
Indah lucu banyak cerita
Masa-masa remaja ceria
Masa paling indah”
Tuh, kesan sebanyak itu pasti hasil dari
kemampuan kerja otak remaja yang memang
istimewa….

B. Perkembangan Kognitif Remaja


Terdapat tiga area utama terkait
perkembangan kognitif yang berlangsung

Modul 4
5
PSIKOLOGI PEMUDA
selama masa remaja. Pertama, remaja
mengembangkan reasoning skills yang jauh lebih
maju. Termasuk kemampuan mengeksplorasi
berbagai kemungkinan dalam berbagai situasi
secara logis. Kedua, remaja mengembangkan
kemampuan berpikir abstrak. Beralih dari pemikir
serba konkret yang menautkan segala sesuatu
dengan pengalaman langsung dan objek nyata,
remaja sudah mampu membayangkan sesuatu
yang tidak mereka lihat dan tidak mereka alami.
Berkat kemampuan berpikir abstrak itulah,
remaja mampu merasakan cinta, memikirkan hal-
hal spiritualitas, dan mengerjakan tugas-tugas
matematika secara lebih rumit. Memasuki usia
16 tahun, banyak remaja dengan kemampuan
berpikir dasar yang mirip dengan orang dewasa.
Mereka bisa memeragakan tingkat perhatian,
memori, kecepatan memproses infromasi, dan
pengeloaan informasi yang setara.
Remaja yang terpaku pada tingkatan
berpikir konkret akan mengalami kesulitan ketika
sekolah sudah lebih intensif mengajarkan hal-hal
abstrak. Sekian banyak studi menemukan bahwa

Modul 4
6
PSIKOLOGI PEMUDA
ketimbang orang dewasa, remaja lebih dapat
memahami risiko-risiko yang bakal dihadapinya
pada berbagai situasi. Namun uniknya,
pemahaman itu tidak cukup kuat menghentikan
remaja untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang berisiko. Penelitian dengan memindai
kerja otak remaja memperlihatkan, remaja justru
mengalami kepuasan emosional yang lebih
tinggi manakala melakukan tindakan-tindakan
berisiko.
Baik karena keterbatasan kognitif maupun
karena ‘dorongan nekad’ untuk tetap melakukan
perbuatan-perbuatan berbahaya, keduanya
dapat membawa anak ke situasi lebih pelik
lagi. Mulai dari kehamilan, terjangkit penyakit
menular seksual, dan penyalahgunaan obat-
obatan terlarang. Atau juga pada skala ‘lebih
ringan’, semisal merokok, mengemudi secara
ugal-ugalan, nge-gank, dan lainnya.
Ketiga, karakteristik berpikir operasional
konkret memungkinkan remaja berpikir tentang
berpikir (metacognition). Dengan karakteristik
tersebut, remaja mampu mengembangkan

Modul 4
7
PSIKOLOGI PEMUDA
kapasitas untuk berpikir tentang apa yang
tengah mereka rasakan dan membayangkan apa
yang orang lain pikirkan tentang mereka.

C. Perkembangan Psikososial Remaja


Perkembangan psikososial pada periode
ini ditandai oleh terbentuknya otonomi,
terbangunnya identitas diri, dan terkonstruksinya
orientasi masa depan.
Perasaan otonom muncul seiring dengan
upaya remaja untuk lebih independen (mandiri)
dari orang tuanya, baik secara emosional
dan finansial. Perjuangan untuk mandiri itu
termanifestasikan ke dalam kuatnya ikatan
pertemanan sebaya. Sesama kelompok sebaya
itu, para remaja berpakaian sama, bergaya
rambut sama, berpendeharaan kata sama, dan
kesamaan-kesamaan ciri lainnya. Remaja yang
tidak tertarik untuk membangun kelompok
pertemanan sebaya akan mengalami kesulitan
psikologis pada periode ini. Mereka berisikolasi
terisolasi dari lingkungan sosialnya. Sebaliknya,
pergeseran minat remaja dari dirinya sendiri

Modul 4
8
PSIKOLOGI PEMUDA
ke serba-serbi kehidupan sesama teman
sebaya atau bahkan ke kehidupan orang-
orang yang lebih dewasa merupakan penanda
perkembangan kepribadian yang sehat.
Secara bertahap, pertemanan teman
sebaya dengan jenis kelamin yang sama juga
akan berkembang menjadi pertemanan dengan
jenis kelamin yang berbeda. Kasmaran menjadi
pengaya suasana hati para remaja. Bahkan tak
jarang remaja juga jatuh hati pada lawan jenis
yang berusia lebih dewasa daripada mereka.
Perasaan kian terlepas dari orang tua juga
acap memantik konflik di dalam keluarga. Rasa
tanggung jawab tumbuh lebih kuat, bersamaan
dengan terbangunnya perangkat nilai pribadi.
Transisi yang dialami remaja bisa
berlangsung sedemikian ekstrim. Beberapa
penelitian menemukan, remaja perempuan
berumur 11 tahun menghabiskan waktu 68
persen bersama keluarga dan 22 persen bersama
teman-temannya. Namun dengan cepat, alokasi
pembagian waktu berubah saat remaja yang
sama menginjak umur 18 tahun. Yakni, 46 persen

Modul 4
9
PSIKOLOGI PEMUDA
bersama keluarga dan 44 persen bersama
teman-temannya.
Setelah otonomi, mari kita bicarakan ihwal
identitas remaja. Identitas terbagi ke dalam dua
area, yakni self-image dan self-esteem. Self-
concept adalah persepsi remaja terhadap dirinya
sendiri. Apa agamaku, apa sukuku, apa identitas
seksualku, merupakan beberapa pertanyaan
yang mengindikasikan self-concept remaja. Self-
esteem bersangkut paut dengan bagaimana
remaja menghargai dirinya sendiri.
Ketika remaja bertransisi ke usia dewasa,
ia terdorong untuk melakukan uji coba tentang
peran-peran yang bisa ia mainkan sebagai orang
dewasa. Dari sekian banyak acuan peran dewasa
yang coba remaja adopsi, ia pada akhirnya
akan menautkan dirinya ke seperangkat peran
tertentu. Proses pencarian itu bisa ia lakukan
sendiri maupun dengan bantuan pihak lain.
Apabila remaja mengalami kebingungan
peran, ia berisiko memiliki self-esteem rendah.
Artinya, remaja akan menilai dirinya sendiri lebih
rendah daripada yang seharusnya. Perasaan

Modul 4
10
PSIKOLOGI PEMUDA
serba rendah itu dapat mengakibatkan anak
mengalami depresi, berprestasi buruk di
sekolah, serta mencoba cara-cara yang salah
untuk mengatasi penghargaan dirinya yang
rendah itu. Atas dasar itulah, selain belajar
mengeksplorasi dunia, remaja juga perlu memiliki
kemampuan (tepatnya kesediaan) untuk
memuji, mengapresiasi, melakukan otokritik
dengan porsi yang pas, serta bentuk-bentuk
penghargaan lainnya terhadap diri sendiri.
Kita sekarang beranjak ke pembahasan
tentang orientasi masa depan. Selama fase
remaja akhir, seiring dengan kapasitas berpikir
(kognitif) yang kian matang, remaja sudah
lebih mampu membangun tujuan-tujuan atau
sasaran-sasaran masa depannya secara lebih
realistis. Jati dirinya juga sudah lebih jelas. Nilai-
nilai moral juga sudah kian kokoh setelah melalui
revisi berulang kali. Pada titik itulah, remaja
menantikan adanya perlakuan sebagaimana
yang diterima oleh orang-orang dewasa. Mereka
sudah lebih siap menerima tanggung jawab
lebih besar.

Modul 4
11
PSIKOLOGI PEMUDA
D. Perkembangan Emosional dan Sosial
Perkembangan emosional berhubungan
dengan kemampuan remaja dalam mengelola
emosinya. Sedangkan perkembangan sosial
berpusat pada kemampuan remaja dalam
menautkan dirinya secara efektif dengan orang-
orang lain. Selama berlangsungnya proses
perkembangan emosional dan sosial ini, remaja
menjadi lebih sadar akan kemampuannya untuk
mengidentifikasi dan memberikan penamaan pada
perasaannya sendiri dan perasaan orang lain.
Kecepatan perkembangan emosional
dan kognitif remaja tidak selalu paralel dengan
kematangan fisiknya. Saat menyaksikan gambar-
gambar dengan ekspresi ketakutan, misalnya,
pola respon otak orang dewasa berbeda
dengan otak remaja. Pada orang dewasa terlihat
area limbic (pusat emosi) dan area prefrontal
(pusat pikiran) bereaksi bersamaan. Sementara
pada remaja, hanya area limbic-nya yang
memperlihatkan aktivitas. Pengelolaan atau
regulasi emosi merupakan proses yang penting
pada remaja. Terlebih karena produksi hormon

Modul 4
12
PSIKOLOGI PEMUDA
testosteron secara deras sejak usia pubertas
juga dapat mengakibatkan pembengkakan
pada amigdala, bagian otak lainnya yang
juga mengurusi masalah regulasi emosi.
Ketidaksinkronan antara pikiran dan perasaan
sedemikian rupa dapat berakibat remaja
diperlakukan secara keliru, sebagai akibat
respon emosinya yang ‘lebih matang’ daripada
respon berpikirnya.
Karena itulah, remaja perlu mengembangkan
kemampuan mengenali tanda-tanda ketika ia
akan mengalami ledakan emosional tertentu.
Dengan keterampilan tersebut, remaja akan
dapat mengambil jeda guna menahan reaksi
emosionalnya serta mengedepankan reaksi
berpikirnya. “Segera ngerem, jangan ngegas,
bayangkan kondisi lalu lintas di setelah
perempatan di depan.”

Modul 4
13
PSIKOLOGI PEMUDA
REMAJA BUKAN MASALAH

Uraian pada bagian terdahulu—sedikit banyak—


memberikan gambaran tentang perkembangan
remaja yang kerap kali suram. Bak lampu tua
yang sebentar lagi akan padam. Laksana pelita
kekurangan minyak, selalu temaram. Ibarat
tembok bercat kusam.
Psikologi Positif, sebagai sebuah mazhab yang
dikembangkan oleh Seligman, menepis semua
gambaran kelam tentang kehidupan manusia.
Tak terkecuali kehidupan remaja.
Keyes turut memperkuat pandangan Seligman
yang bercorak riang. Menurut Keyes, kondisi
sehat remaja tidak cukup ditandai oleh ketiadaan
penyakit. Sehat bukan hanya karena tidak sakit.
Sayangnya, jangankan awam, kalangan praktisi
profesional pun tidak sedikit yang masih punya
cara pandang minimalis bahwa sehat adalah
tidak sakit, titik.
Bahkan lebih jauh lagi, Keyes menempatkan
kesehatan mental sebagai lebih dari sekedar tidak

Modul 4
14
PSIKOLOGI PEMUDA
sakit serta lebih dari sekedar tenteram secara
psikologis dan emosional. Individu bermental
sehat adalah individu penebar manfaat di
masyarakat. Keterlibatan dalam masyarakat, di
mana individu merasa menjadi bagian di situ, di
mana orang-orang berkembang dengan baik,
serta bersumbangsih nyata bagi masyarakat,
patut dijadikan sebagai ciri dari orang-orang
dengan kondisi mental yang sehat.

E. Remaja dan Sebutan Serba Positif


Remaja dengan kondisi mental yang sehat
ditandai oleh:
Kompetensi emosional — mengenali
dan mengekspresikan emosinya sendiri secara
proporsional, mengelola emosi, memotivasi diri
sendiri, yakin akan kemampuan diri, mengenali
emosi orang lain, menjalin hubungan dengan
orang lain.
Kompetensi kognitif (pikir) — pemikiran
dengan berdasarkan pada hal-hal konkret,
penghargaan yang positif terhadap diri sendiri,

Modul 4
15
PSIKOLOGI PEMUDA
optimisme dalam memandang masa depan,
cerdas, mampu mempelajari hal-hal baru.
Kompetensi behavioral (perilaku) —
bertindak-tanduk secara pantas dan efektif, lihal
dalam berkomunikasi verbal dan non-verbal.
Dengan Psikologi Positif, remaja terlihat
sebagai sosok yang tangguh dan sumber daya
yang potensial.
Sekian banyak studi menunjukkan,
tingkat kegagalan pernikahan pada usia remaja
(teenager) sangat tinggi dan pernikahan belia
tak lagi lazim dilakukan pada masa kini. Tingkat
perceraian dari pernikahan semacam itu terus
meninggi, sehingga ketertarikan kalangan muda
untuk menikah pada usia belia terus menurun.
Pernikahan remaja (juga mari kita sebut sebagai
pernikahan remaja) sebagian besar berakhir
dengan perceraian. Penjelasan atas kerapuhan
pernikahan ini menjadi topik yang menarik
diteliti. Aida Edemariam, dalam artikelnya di
Guardian, menulis bahwa tingkat perceraian di
antara pasangan berusia dua puluhan tahun
adalah yang tertinggi. Penyebab yang berkaitan

Modul 4
16
PSIKOLOGI PEMUDA
dengan kegagalan pernikahan remaja adalah
psikologis, sosial, dan ekonomi. Perkawinan
remaja yang dibangun dengan imajinasi serba
indah ternyata tidak bisa bertahan lebih dari
beberapa musim, yang mengakibatkan pasangan
suami isteri belia itu frustrasi dengan keputusan
yang telah mereka ambil. Seiring menguapnya
fantasi-fantasi ala roman picisan, cinta dan ikatan
batiniah menghilang setelah beberapa waktu
dan salah satu atau pun kedua pihak selekasnya
mengajukan gugatan perceraian.

F. Hubungan Dini
Para peneliti menghubungkan sekian
banyak faktor dengan kegagalan pernikahan
remaja. Penyebab kegagalan yang paling sering
dikutip adalah kurangnya kedewasaan selama
remaja. Sebagian besar pernikahan remaja
gagal karena orang-orang pada usia tersebut
masih belum cukup matang untuk membuat
keputusan penting semisal pernikahan. Dalam
kasus-kasus semacam itu, menjelang perceraian,
yang paling sering terjadi adalah pasutri mulai

Modul 4
17
PSIKOLOGI PEMUDA
hidup terpisah karena mereka tidak mampu
mengemban tanggung jawab yang muncul
sebagai konsekuensi pernikahan. Jadi, tidak
butuh waktu lama bagi romansa untuk berakhir
dan kehangatan tergantikan oleh perselisihan
yang merusak ikatan-ikatan batiniah antar
pasutri. Pada banyak pernikahan remaja, konflik
bermula dengan begitu cepat. Tak satu pun dari
pasutri yang memiliki cukup kematangan untuk
mencegah terjadinya perselisihan.
Setiap pernikahan membutuhkan
pertimbangan yang cermat sebelum diresmikan.
Namun lingkungan modern penuh dengan
berbagai macam tekanan. Perselisihan kecil apa
pun di antara pasutri belia dapat berujung pada
perceraian.
Pada umumnya, pernikahan remaja
diselenggarakan dengan tergesa-gesa. Cinta
pada pandangan pertama, berlanjut dengan
masuknya dua insan yang tengah dilanda
kasmaran ke dalam episode-episode romansa,
lalu mereka memutuskan untuk melangsungkan
pernikahan. Mirip dongeng-dongeng di film

Modul 4
18
PSIKOLOGI PEMUDA
Walt Disney tentang cinta pada pandangan
pertama dan berakhir bahagia. Kehangatan
tetap ada untuk beberapa waktu, tetapi segera
pasutri menyadari bahwa mereka ternyata
belum sungguh-sungguh siap untuk peran yang
mereka pikul sebagai suami atau pun isteri.
Mulai muncul keinsafan bahwa mereka telah
berbuat kurang bijaksana dalam membuat salah
satu keputusan terpenting dalam kehidupan.
Menjadi seorang suami di usia muda boleh jadi
terasa amat membebani. Pada saat yang sama,
isteri mengalami kejenuhan untuk bermain
sebagai seorang isteri. Konflik secara berangsur-
angsur mulai naik ke permukaan. Pada titik itu,
sesungguhnya tak keliru apabila masyarakat
memandang individu-individu pada usia remaja
belum cukup matang untuk membuat keputusan
yang rasional. Itu pula penjelasan mengapa
keputusan yang dibuat selama remaja acap kali
tidak mencapai hasil yang diinginkan.

Modul 4
19
PSIKOLOGI PEMUDA
Natalie Cole
They tried to tell us we’re too young
Too young to really be in love
They said that love was a word we’ve only heard
But we can’t begin to know the meaning of
And yet we’re not too young to know
This love will last though years may go

G. Kerawanan Ekonomi
Uang memang bukan segala-galanya. Tapi
mari kita realistis. Tanpa stabilitas ekonomi,
sulit untuk mencapai keseimbangan dalam
hidup. Belum terbangunnya kemapanan—
atau, setidaknya, kesiapan—s ekonomi juga
merupakan salah satu faktor utama tidak
bertahan lamanya pernikahan remaja. Sebagian
besar pasangan remaja masih bergantung pada
orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan
keluarga muda mereka. Tambahan lagi, tanggung
jawab pernikahan tak jarang justru juga menjadi
‘kendala’ bagi remaja untuk bekerja. Apa
boleh buat, kenyataan menunjukkan bahwa
bagi remaja pernikahan tidak selalu mudah

Modul 4
20
PSIKOLOGI PEMUDA
untuk berjalan beriringan dengan karir. Getir,
bahwa pernikahan dini dapat mengakibatkan
kemiskinan. Kesulitan semakin besar ketika
pasutri remaja memutuskan untuk menjadi orang
tua pada usia muda. Ibu-ibu yang notabene masih
remaja akan kesulitan membesarkan anak-anak
sembari tetap mempertahankan ritme hidup
laiknya remaja yang belum menikah. Bersekolah,
bekerja, dan mengasuh anak-anak menjadi
tiga aktivitas pasutri remaja yang tidak mudah
diharmoniskan. Dalam kondisi sedemikian
rupa, pasutri remaja akan berhadapan dengan
kesulitan finansial dan stres susulannya. Padahal,
dewasa ini, kebanyakan orang belum mencapai
taraf cukup mandiri secara finansial sampai
mereka memasuki akhir usia dua puluhan atau
awal tiga puluhan.

Start-up business…peluang untuk menumpuk


harta di usia remaja?
Bagaimana prospeknya?
Caranya?

Modul 4
21
PSIKOLOGI PEMUDA
Kesulitan yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara kerja, studi, dan
mengasuh—cepat atau lambat—menyebabkan
antusiasme pasutri remaja meredup dan fokus
mereka pada kehidupan suami isteri terpecah.
Pernikahan yang diawali dengan mimpi indah
perlahan tergantikan oleh mimpi buruk.
Studi ilmiah menyimpulkan, perkawinan
yang terjadi pada usia belasan tahun punya
kecenderungan lebih tinggi untuk berakhir
dengan perceraian lebih cepat daripada pasutri
yang menikah setelah mencapai usia 25 tahun.
Penelitian juga menunjukkan, pernikahan
remaja dua kali lebih mungkin berakhir dengan
perceraian dalam kurun sepuluh tahun usia
pernikahan. Hal terpenting untuk disimpulkan
dari tren tersebut adalah bahwa pernikahan
remaja tergolong rumit karena remaja adalah
usia yang lembut (rapuh) untuk menikah.
Kematangan hormon—katakanlah—sudah
tercapai sebelum remaja menikah. Tetapi,
sebagaimana tertulis pada bab sebelumnya,
kedewasaan emosional juga merupakan faktor

Modul 4
22
PSIKOLOGI PEMUDA
yang tidak bisa diabaikan, apalagi ketika
konflik emosional berlangsung dan sungguh-
sungguh membutuhkan kedewawasaan untuk
meredakannya. Setelah remaja mencapai
kedewasaan emosional, mereka akan lebih
cakap untuk membuat keputusan yang matang.
Dan itu membuat mereka lebih siap beradaptasi
terhadap tekanan kehidupan pernikahan.
Kehidupan pernikahan berkonsekuensi
pada munculnya tuntutan dan tanggung jawab.
Kesiapan untuk memikul tuntutan dan tanggung
jawab merupakan hal penting dan memiliki
dampak besar pada berbagai aspek kehidupan
lainnya, termasuk pribadi dan profesional.
Unsur dominan dalam relasi remaja,
apalagi yang kemudian berlanjut dengan
keputusan untuk naik ke pelaminan, adalah
ketertarikan timbal balik. Namun, kepuasan yang
mereka harapkan dari pernikahan kerap tidak
tercapai karena fondasi kehidupan pernikahan
diletakkan pada emosi yang meluap-luap dan
keputusan yang belum matang. Perceraian, tak
pelak, terbuka peluangnya menjadi akhir yang

Modul 4
23
PSIKOLOGI PEMUDA
traumatis dari suatu ikatan pasutri. Bukan trauma
sebagai diksi hiperbola, melainkan senyatanya
merupakan guncangan psikologis nan hebat
yang penderitanya sampai harus menemui
profesional untuk mengatasinya.

Refleksi
Saya merasa sudah siap melangsungkan
pernikahan. Tetapi bagaimana dengan
kematangan fisik, kognitif dan emosional, serta
stabilitas ekonomi saya?

Adolescent Marriage--Social or Therapeutic


Problem?
Program Penyiapan Remaja sebelum
Memasuki Jenjang Pernikahan
Reiner dan Edwards melakukan kajian
terhadap lima puluh kasus konseling perkawinan
dengan pasutri berusia di bawah dua puluh
tahun. Mereka simpulkan, kerentanan pernikahan
remaja terletak pada minimnya pengalaman,

Modul 4
24
PSIKOLOGI PEMUDA
kurangnya persiapan, identitas diri yang belum
kokoh, dan adanya permasalahan yang pasutri
bawa dari keluarga mereka masing-masing.
Tidak berhenti sampai di situ. Reiner dan
Edwards menambahkan, risiko itu diperburuk
oleh kegagalan negara menyediakan kebutuhan
ekonomi mendasar serta dukungan yang
sebelumnya diperoleh pasutri dari keluarga
mereka.

“Kerentanan pernikahan usia remaja diperburuk


oleh pengabaian oleh negara….”

Idealnya, program untuk mempersiapkan


lelaki dan perempuan—termasuk remaja—
sebelum menapak ke pelaminan mencakup tiga
tujuan.
Pertama, membangun kesiapan calon
pasutri dengan memperkuat kesadaran akan
diri sendiri dan kesadaran akan orang lain.
Dengan kesadaran tersebut, pasutri akan
dapat mengenali sikap dan perilaku mereka

Modul 4
25
PSIKOLOGI PEMUDA
baik yang berpotensi menguatkan maupun
yang berisiko melemahkan perkawinan. Juga,
memberikan pengetahuan kerumah-tanggaan
semisal keuangan, seksualitas, dan pengasuhan
anak; menguatkan keterampilan berinteraksi,
mencakup komunikasi, pemecahan masalah,
dan pengelolaan stres. Pengetahuan tentang
akses-akses dukungan bagi keluarga juga
perlu ditransfer. Misalnya, jaminan kesehatan,
posyandu, layanan pekerja sosial, kepolisian,
dan modul pertolongan bagi diri sendiri.
Kedua, menyiapkan pasutri agar mampu
mencegah dan mengatasi stres hebat dalam
lingkungan keluarga. Sumber stres hebat itu
antara lain adalah kekerasan dalam rumah
tangga, perceraian, dan problem lanjutan
pascaperceraian.
Ketiga, penyediaan layanan intervensi
berkesinambungan, semisal pelatihan dan terapi
pasutri.

Modul 4
26
PSIKOLOGI PEMUDA
H. Pendidikan Pranikah, Mujarabkah?
Dulu, edukasi bagi para calon pasutri
dilangsungkan oleh lembaga-lembaga tradisional
dan keagamaan. Namun seiring perjalanan
waktu (salah satu catatan adalah sejak awal
abad ke-19), media massa mulai mengangkat
program atau rubrik tentang pernikahan.
Buku-buku manual penyiapan pernikahan juga
banyak dihasilkan. Kursus-kursus pranikah juga
bermunculkan pada tahun dua puluhan dan tiga
puluhan, diikuti oleh pembentukan berbagai
lembaga konseling perkawinan dan keluarga.
Penelitian tentang efektivitas program-
program tersebut juga diteliti oleh para ilmuwan.
Ambil misal, program pelatihan 24 jam dinilai
berhasil meningkatkan komunikasi, peredaan
konflik, dan keterampilan memecahkan
masalah para calon pasutri. Perubahan perilaku
sedemikian rupa bahkan terbukti menurunkan
angka perceraian. Temuan semacam ini
menumbuhkan keyakinan akan pentingnya
pendidikan pranikah, tak terkecuali bagi para
remaja.

Modul 4
27
PSIKOLOGI PEMUDA
Negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Australia juga
menyelenggarakan program-program serupa
berbasis masyarakat. Demikian pula di sekolah-
sekolah negeri. Melalui kampanya ke lapis akar
rumput, terbentuklah mentor-mentor lokal dan
jejaring bantuan. Penyebaran pengetahuan
berbasis riset tentang seluk-beluk pernikahan
juga berlangsung lebih masif.
Program-program pendidikan pranikah
akan memberikan dampak signifikan apabila
para peserta berkesempatan untuk melakukan
simulasi pemecahan masalah. Efektivitas yang
tinggi juga nampak pada situasi pelatihan
yang membangun optimisme peserta saat
berhadapan dengan berbagai bentuk perubahan
hidup pascaijab kabul. Pelatihan juga akan
bermanfaat ketika para peserta teryakinkan
akan kemampuan mereka dalam membina
perkawinan yang sehat.
Pencapaian-pencapaian positif sedemikian
rupa menitik-beratkan program pendidikan
pranikah yang (Markman, Floyd, Stanley, dan

Modul 4
28
PSIKOLOGI PEMUDA
Storaasli, 1988):
· Berbasis pada kekuatan.
Pelatihan yang berfokus pada membangun
maupun menguatkan kemampuan, alih-alih
berkutat pada masalah, akan cenderung
mengokohkan kepercayaan diri dan keterbukaan
terhadap proses pembelajaran baru. Calon
pasutri didorong untuk saling membantu
memanfaatkan aset pribadi, aset pasangan,
dan aset keluarga dalam rangka menghadapi
serbaneka tantangan dalam kehidupan rumah
tangga. Mereka juga disemangati untuk tetap
mempertahankan kasih sayang, kegembiraan,
dan kebersamaan agar kehangatan dan
kerjasama terus-menerus terpelihara.
· Mengarah pada perkembangan.
Bayangkan bahwa calon pasutri mampu
bertukar pikiran tentang kemungkinan-
kemungkinan tantangan hidup yang bakal
mereka hadapi. Tetapi kemampuan itu tidak
serta-merta disertai atau diikuti dengan
terasahnya keterampilan untuk mengatasi
berbagai tantangan tersebut. Calon pasutri

Modul 4
29
PSIKOLOGI PEMUDA
akan memperoleh manfaat besar ketika kursus
pranikah memuat modul pelatihan keterampilan
interpersonal, pengetahuan-pengetahuan
kerumah-tanggaan, serta penyadaran baru
tentang komitmen dan penyeimbangan
kehidupan keluarga dan kerja.
Keterampilan akan memberikan modal
bagi calon pasutri untuk mendengar dan
berbicara secara lebih efektif. Pengetahuan akan
meningkatkan pengertian timbal balik antara
pasutri dan memperbaiki kualitas keputusan-
keputusan yang mereka ambil nantinya.
Sementara penyadaran tentang diri sendiri, diri
pasangan, dan hubungan sebagai suami isteri
akan kian mematangkan calon pasutri berkenaan
dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuan mereka
dalam hidup berumah tangga. Keterampilan,
pengetahuan, dan penyadaran bersifat saling
komplementer.
Kegiatan experiential learning semacam
diskusi, bermain peran, mengerjakan tugas,
dan simulasi diketahui menciptakan situasi
belajar yang lebih efektif dan menekankan

Modul 4
30
PSIKOLOGI PEMUDA
pada praktik. Penambahan berupa aktivitas-
aktivitas yang mendukung calon pasutri untuk
mampu menolong diri mereka sendiri juga
akan mendukung efek jangka panjang proses
pelatihan.
· Intensif.
Riset menyimpulkan, durasi pelatihan tatap
muka perlu dikombinasikan pemberian tugas
(pekerjaan rumah) kepada calon pasutri. Semakin
dini calon pasutri berpartisipasi dalam pelatihan
dan semakin sering mereka berkesempatan
mempelajari kembali materi-materi yang telah
mereka terima, pengaruhnya adalah akan
semakin menetap pula efek pembelajaran itu
bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-
hari sebuah keluarga yang sesungguhnya (masa-
masa setelah bulan madu).
· Memenuhi nilai kepantasan.
Sangat banyak materi pendidikan pranikah
dan pendidikan seks/gender yang bersumber dari
referensi asing. Tema tentang homoseksualitas
(LGBT1), hubungan seks yang aman, dan
1 Pernyataan pada Rapat Kerja Komisi 8 DPR RI

Modul 4
31
PSIKOLOGI PEMUDA
aborsi, misalnya, disusun tanpa berpijak sama
sekali pada konteks keindonesiaan. Materi
asing semacam itu tentunya tidak sepatutnya
disebar-luaskan dan dipelajari begitu saja.
Sikap ekstra hati-hati perlu dibangun agar calon
pasutri—teristimewa para remaja—tetap mampu
membangun ekspektasi dan interaksi pernikahan
yang selaras dengan nilai-nilai agama, budaya,
dan hukum di Tanah Air.
Perbedaan tingkat kematangan,
latar belakang keluarga, dan pengalaman-
pengalaman pribadi calon pasutri membentuk
kesenjangan budaya yang bisa menjadi
permasalahan di kemudian hari. Hal tersebut
dapat diatasi dengan program pelatihan
pranikah yang mengedepankan keterbukaan,
dialog, dan penerapan keterampilan yang telah
dipelajari.

dengan Pemerintah (Menteri Agama sekaligus Kepala


Satgas Antipornografi): LGBT adalah “masalah sosial yang
mengancam kehidupan beragama, ketahanan keluarga,
kepribadian bangsa, serta ancaman potensial terhadap
sistem hukum perkawinan di Indonesia”, “ancaman bagi
kehidupan bangsa Indonesia yang relijius”, dan “masalah
LGBT yang mengancam generasi penerus”.

Modul 4
32
PSIKOLOGI PEMUDA
· Fokus pada pencapaian.
Program pelatihan pranikah yang
efektif akan menciptakan perbedaan pada
tataran praktik dalam kehidupan para
peserta. Keterampilan memecahkan masalah
dan mengatasi konflik serta keterampilan
berkomunikasi merupakan bentuk-bentuk
keahlian yang dapat diterjemahkan langsung
ke dalam perilaku dan persepsi calon pasutri.
Itu akan terlihat pada sikap penghormatan
satu sama lain, kerja sama, serta kepuasan dan
komitmen pasutri dalam menjalani perkawinan.
Pada kenyataannya, terdapat pasutri yang
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
distres. Masalah yang mungkin mereka hadapi
lebih dari ‘sekedar’ perceraian dan problem
pengasuhan. Termasuk di antara pasutri dengan
risiko lebih tinggi itu adalah mereka yang memiliki
gangguan kepribadian serta pasutri maupun
keluarganya yang mempunyai riwayat masalah
seksual, kekerasan, dan depresi. Mereka boleh
jadi membutuhkan program pelatihan dengan
muatan dan metode berbeda dibandingkan
pasutri pada umumnya.

Modul 4
33
PSIKOLOGI PEMUDA
I. SEKS DALAM PERNIKAHAN
Seks bukan semata-mata ihwal kontak
badaniah antara lelaki dan perempuan. Di Tanah
Air, penting untuk merumuskan ulang kalimat
tersebut agar sebangun dengan konteks hukum
dan sosial budaya, bahwa seks bukan semata-
mata ihwal kontak badaniah antara suami dan
isteri.
Seks mengandung sekian banyak nilai.
Pertama, nilai rekreasi. Nilai ini menempatkan
seks sebagai aktivitas untuk memperoleh
kesenangan. Nilai berikutnya adalah keintiman
(intimacy). Nilai ini memperkaya, bahkan
menggenapi, nilai rekreasi. Mengacu nilai
keintiman, seks bukan sebatas aktivitas untuk
meraih kesenangan fisik sebagaimana yang ada
pada nilai rekreasi.
Hubungan seks yang bertanggung jawab,
yaitu yang dilangsungkan dalam lembaga
perkawinan, memang menghasilkan sensasi
positif sebagai hasil dari pengaruh oxytocin
dan vasopressin. Kedua hormon ini mengalir
deras setelah suami dan isteri melakukan kontak

Modul 4
34
PSIKOLOGI PEMUDA
badaniah mereka. Efeknya adalah tubuh yang
terasa lebih rileks, suasana hati menjadi tenang,
dan terbitnya perasaan kian dekat satu sama
lain.
Ketiga, nilai prokreasi. Nilai yang satu
ini menjadikan seks sebagai aktivitas untuk
memperoleh keturunan. Program keluarga
berencana merupakan program yang ditujukan
untuk mengendalikan kehamilan. Dengan
kata lain, keluarga berencana menjadi strategi
yang dilakukan pasutri untuk mengatur
pengejawantahan nilai prokreasi dalam
seks. Sangat penting untuk dipahami bahwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah beberapa
kali mengeluarkan fatwa terkait keluarga
berencana. Calon pasutri muslim, termasuk
yang berusia remaja, semestinya mempelajari
dan menerapkan isi fatwa MUI tersebut dalam
kehidupan perkawinan mereka.
Keempat, seks bukanlah satu-satunya
kegiatan yang menautkan suami isteri. Namun
hubungan seks menjadikan pertalian suami
isteri kian utuh. Seks, sebagai nilai legitimasi,

Modul 4
35
PSIKOLOGI PEMUDA
merupakan pengabsah akan bentuk aktivitas
yang eksklusif hanya boleh dilakukan oleh suami
dan isteri.
Kelima, nilai reliji. Bagi komunitas muslim,
menikah adalah sunnah. Kegiatan hubungan
suami isteri didahului dan diakhiri dengan
kalimat pengagungan sekaligus permohonan
perlindungan kepada Zat yang Maha
Menciptakan. Islam juga menetapkan ketentuan
tentang adab pelaksanaan hubungan suami
isteri itu. Itu semua bermakna bahwa ketika
suami dan isteri tengah melangsungkan sebuah
relasi horizontal, pada saat yang sama mereka
diatur untuk juga menunjukkan sikap tunduk
secara vertikal.
Nilai kedua hingga kelima hanya bisa
ditegakkan dalam situasi perkawinan. Hanya
nilai pertama, yakni nilai rekreasi, yang
memungkinkan untuk dipenuhi oleh lelaki dan
perempuan di luar ikatan perkawinan. Dan itu
bukanlah keadaban yang memiliki pembenaran.

Modul 4
36
PSIKOLOGI PEMUDA
J. ALAT KONTRASEPSI DAN PENGABAIAN
NILAI SAKRAL PERKAWINAN
Tulisan di bawah ini merupakan nukilan dari
naskah Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia. Di dalam naskah
tersebut, Seto Mulyadi (akrab disapa “Kak Seto”)
menyampaikan kritisinya atas pasal tentang alat
kontrasepsi tersebut.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) memuat pasal tentang
alat kontrasepsi dan anak. Saat pengesahannya
ditunda pada bulan September 2019, rumusan
pasal itu adalah, “Setiap orang yang secara terang-
terangan mempertunjukkan, menawarkan,
menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk
dapat memperoleh alat pencegah kehamilan
kepada anak dipidana dengan pidana denda
paling banyak Kategori I.”
Kota Bogor adalah salah satu daerah
yang patut diapresiasi atas usahanya untuk
melindungi masyarakat, khususnya anak-anak,
dari bahaya rokok. Upaya Pemerintah Kota
Bogor itu antara lain adalah mengharuskan

Modul 4
37
PSIKOLOGI PEMUDA
toko-toko menutup display rokok mereka. Jadi,
betapa pun posisi rak peraga rokok di toko tetap
tidak bergeser sedikit pun dari posisinya semula,
namun paling tidak pandangan konsumen tidak
seleluasa dibandingkan saat melihat barang-
barang dagangan lainnya.
Ketentuan sedemikian rupa menjadi
pelengkap atas penolakan bahwa rokok tidak
boleh dikonsumsi oleh orang-orang berusia
di bawah delapan belas tahun. Sekaligus juga
menegaskan bahwa rokok merupakan benda
berbahaya, bersamaan dengan info peringatan
bahaya rokok yang terpampang di setiap
kemasannya.
Ironisnya, baik secara lokal maupun
nasional, perlakuan sedemikian itu tidak kita
jumpai terhadap alat kontrasepsi, terutama
kondom. Perlu ditegaskan sekali lagi: kondom!
Karena benda inilah yang juga diperdagangkan
di toko-toko namun dengan perlakuan yang
sangat berbeda dengan rokok.
Perbedaan pertama, di berbagai waralaba,
rokok dipajang di belakang mesin kasir,

Modul 4
38
PSIKOLOGI PEMUDA
sementara kondom justru diletakkan di bagian
depan meja kasir. Dengan posisi sedemikian
itu, rokok tidak mudah digapai secara langsung
oleh calon pembeli, sedangkan kondom dengan
sangat mudah dapat langsung diambil oleh
pembeli.
Kedua, di toko-toko tersebut, karena rak
rokok ditutup tirai, maka barang dagangan
tersebut tidak secara langsung tertangkap oleh
mata pembeli. Display kondom cukup kontras
dengan itu, tidak tertutup sama sekali dengan
apa pun. Siapa pun dapat dengan mudah melihat
dan mengambilnya, termasuk anak-anak.
Ketiga, karena terdapat penolakan
mengenai batasan usia pembeli rokok, maka
tersedia dasar bagi karyawan toko untuk
(seharusnya demikian) mengecek usia calon
pembeli rokok. Batasan usia justru tidak tersedia
sama sekali pada kondom. Sehingga, karyawan
toko tidak mempunyai dasar normatif untuk
memilah bahwa sebenarnya hanya calon pembeli
dengan umur tertentu saja yang diizinkan untuk
membeli kondom.

Modul 4
39
PSIKOLOGI PEMUDA
Dari semua perbandingan tersebut,
dengan mudah dapat disimpulkan, bahwa
rokok berbahaya, sedangkan kondom tidak.
Memperdagangkan rokok--sedikit banyak—
terlarang. Sedangkan, kondom seolah sah-
sah saja dibeli oleh segala lapisan usia. Secara
khusus, antara rokok dan anak dibangun sekat,
sedangkan antara kondom dan anak seolah
dibiarkan lapang begitu saja. Secara singkat,
saat penjualan rokok (seharusnya) terkontrol,
hingga saat ini penjualan kondom justru seolah
bebas sama sekali tidak terkontrol.
Masih terkait penjualan kondom, saat
ditanyakan ke sekian banyak karyawan toko
tentang kapan saat terlaris penjualan kondom
dan siapa saja pembelinya, jawaban karyawan
toko umumnya sama: setiap akhir pekan dan
remaja. Dengan respons sedemikian rupa,
spontan muncul di benak bahwa kondom di
toko-toko ritel modern kebanyakan dibeli untuk
tujuan rekreasional belaka oleh kaum muda
yang belum menikah. Ini sesuatu yang sangat
berbahaya dan tidak boleh dianggap wajar serta

Modul 4
40
PSIKOLOGI PEMUDA
tidak seharusnya dibiarkan begitu saja.
Anggaplah bahwa alat kontrasepsi
(kondom) memiliki dua manfaat, yakni
mencegah kehamilan serta mencegah penularan
penyakit menular seksual (faktanya, sangat
banyak studi yang menyanggah klaim tersebut).
Dua argumen itu pula yang selalu dibangun di
sekian banyak negara setiap kali berlangsung
pertukaran wacana tentang kondomisasi. Di
Indonesia, sama saja, sebagian kalangan juga
mengonstruksi hal-ihwal terkait alat kontrasepsi
(kondom) ini dengan penekanan hanya pada
dua manfaat tersebut.
Konstruksi sedemikian rupa tentu sangat
menyimpang. Kondom merupakan objek yang
tidak terlepas dari aktivitas seksual. Namun
hingga kini, konstruksi narasi tentang manfaat
kondom ternyata terputus sama sekali dari
konteks bahwa aktivitas seksual itu hanya boleh
dilakukan oleh suami dan isteri dalam ikatan
perkawinan yang sah. Apa pun nilai positif yang
ingin diambil dari kondom seharusnya tidak
boleh terlepas dari setting perkawinan ini. Tanpa

Modul 4
41
PSIKOLOGI PEMUDA
perkawinan, bahasan tentang manfaat-manfaat
kondom hanya menjadi sesuatu yang absurd,
kehilangan dasarnya.
Pengingkaran terhadap konteks suami
isteri atau setting perkawinan itu niscaya akan
merusak cakrawala berpikir masyarakat, terlebih
pada anak-anak dan remaja. Masyarakat tidak
akan melihat perkawinan atau ikatan suami isteri
sebagai sesuatu yang mutlak harus ada sebelum
masyarakat memfungsikan dan mengambil
manfaat dari kondom tersebut.
Kekacauan sedemikian rupa bukan lagi
sebatas kerisauan. Tidak sedikit kita jumpai
forum-forum bahasan tentang kesehatan
reproduksi, petugas-petugas berwenang,
serta bacaan dan modul pelatihan terkait yang
steril dari konteks perkawinan itu. Semuanya
mengangkat topik tentang alat kontrasepsi
(kondom), namun tanpa mengingatkan publik
akan keharusan adanya konteks perkawinan
atau suami isteri tersebut.

Modul 4
42
PSIKOLOGI PEMUDA
Perketat Kontrol
Bertitik tolak dari hal ini, kontrol terhadap
kondom dan alat kontrasepsi lainnya sepatutnya
diadakan sebagaimana kontrol yang sudah
lebih dulu ada terhadap rokok. Salah satu
yang mendesak untuk dilakukan adalah
penyempurnaan terhadap pasal RUU KUHP
tentang alat pencegah kehamilan. Secara
terperinci, pasal tersebut sebaiknya dipecah ke
dalam dua ayat.
Ayat pertama menjadi, “Setiap orang yang
mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan
tulisan atau gambar, atau menunjukkan untuk
dapat memperoleh, serta mempromosikan
penggunaan alat kontrasepsi kepada anak
dipidana dengan pidana denda paling banyak
Kategori I.”
Ayat kedua, “Pengecualian atas ayat
pertama berlaku apabila kegiatan-kegiatan
dimaksud dilakukan a) dalam rangka pelaksanaan
keluarga berencana, dan b) untuk penyakit infeksi
menular seksual, serta c) untuk kepentingan
pendidikan dan penyuluhan kesehatan.”

Modul 4
43
PSIKOLOGI PEMUDA
Perlu dicatat bahwa poin a, b, dan c idealnya
bersifat akumulatif, bukan alternatif. Artinya,
pembebasan pelaku dari pemidanaan hanya
diberlakukan saat hal-ihwal terkait kondom
(pada ayat 1) diselenggarakan dengan cakupan
tiga tujuan (pada ayat 2) secara keseluruhan,
bukan hanya sebagian. Jadi, manakala pelaku
memenuhi satu atau dua cakupan saja, maka
sudah cukup untuk memidanakan pelaku.

Dapatkah Secepatnya?
Finalisasi terhadap pasal tentang alat
pencegah kehamilan, beserta ayat-ayat lainnya
dalam KUHP, bukan agenda yang enteng
untuk dikunci selekasnya. Sambil menunggu
finalisasi tersebut, demi kepentingan terbaik
dan perlindungan bagi anak, masing-masing
daerah seharusnya dapat segera menetapkan
sejumlah kontrol cukup ketat terhadap kondom,
sebagaimana yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bogor terhadap rokok.
Begitu pula toko-toko kelontong modern
di berbagai daerah. Induk perusahaan toko-toko

Modul 4
44
PSIKOLOGI PEMUDA
tersebut sebaiknya dapat segera berinisiatif
menyusun ketentuan-ketentuan internal untuk
memastikan bahwa kondom diperdagangkan
dengan cara yang lebih ketat dan bijaksana, tidak
sebagaimana saat ini. Bahwa alat kontrasepsi
tidak untuk anak dan tidak sepatutnya berada
dalam jangkauan anak!

K. TERLANJUR MENIKAH, LANTAS?


Pada bagian terdahulu telah disinggung
bahwa situasi yang turut memperburuk
prospek kehidupan perkawinan remaja adalah
pengabaian oleh negara. Uraian di bawah ini
merupakan potret tentang kesenjangan itu.
***
Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak menyebut Indonesia
berada di peringkat 10 besar dunia dalam
masalah pernikahan dini, yakni sekitar 340
ribu anak menikah per tahunnya. Pernikahan
dini bisa berupa dua bentuk. Pertama,
pernikahan yang dilakukan dua orang yang

Modul 4
45
PSIKOLOGI PEMUDA
masih berumur anak-anak. Contoh mutakhir,
yang ramai menjadi pemberitaan hari-hari
belakangan ini, ialah pernikahan dua remaja
berumur 15 dan 14 tahun di Sulawesi Selatan.
      Kedua, pernikahan antara anak dan
orang dewasa. Salah satu contoh yang
mengemuka ialah ketika seorang perjaka,
berumur 16 tahun, mempersunting perempuan
berumur 71 tahun di Sumatra Selatan.
    Selama ini kepada masyarakat sudah
dikampanyekan pencegahan pernikahan
umur dini. Salah satu isu perlindungan anak di
tataran global juga mengenai tema itu. Dasar
pemikirannya, pernikahan mengharuskan
adanya kesiapan berbagai aspek.
Pengantin yang secara fisik telah siap
tidak serta-merta juga memiliki kematangan
psikis. Demikian pula dengan kesiapan-kesiapan
lainnya, misalnya sosial dan finansial, yang
realitasnya masih dijadikan sebagai kriteria bagi
orang-orang yang ingin mengikatkan diri dalam
pernikahan.
Saya mendukung penuh langkah

Modul 4
46
PSIKOLOGI PEMUDA
pencegahan pernikahan dini perlu digencarkan.
Persoalannya, bagaimana sikap masyarakat
terhadap anak-anak yang telanjur mengucap
janji dalam ikatan suami-istri? Pemerintah
tampaknya telah menunjukkan atensinya
untuk menangkal pernikahan dini. Akan tetapi,
terhadap pertanyaan di atas, pemerintah masih
perlu memperlihatkan sikap definitifnya.
Kadung menikah, lantas?
Lazimnya, diskursus tentang pernikahan umur
dini memosisikan anak perempuan sebagai
subjeknya. Unicef dan banyak organisasi anak
lainnya memiliki data melimpah tentang itu. Atas
dasar kelaziman itu, dalam rangka menghambat
pernikahan umur belia, sekelompok aktivis
beberapa waktu silam mengajukan judicial
review dengan berfokus hanya pada penaikan
umur perempuan boleh menikah, yakni dari 16
tahun ke 18 tahun.
Wacana lain yang juga berhubungan
dengan pernikahan dini ialah anak-anak
dinikahkan tanpa mereka kehendaki. Keluarga,
utamanya orangtua, diyakini sebagai pihak yang

Modul 4
47
PSIKOLOGI PEMUDA
memaksa dilangsungkannya pernikahan.
Namun, pernikahan belia di Sumatra Selatan
dan Sulawesi Selatan seperti diilustrasikan di atas
justru mengandung dua kekontrasan dengan
kejamakan itu semua. Pertama, berdasarkan
warta media, pengantin kanak-kanak itu tidak
dipaksa untuk berumah tangga. Mereka sendiri
yang memutuskan mengikat diri sehidup semati.      
    Dalam sejumlah peristiwa pernikahan dini,
pasutri belia mengaku pernikahan mereka
sebagai manifestasi cinta platonis alias cinta
batiniah. Bukan eros alias cinta badaniah.
Kedua, anak lelaki pun ternyata berinisiatif untuk
melangsungkan pernikahan.
Di samping masih berumur kanak-kanak
dengan mengacu UU Perlindungan Anak, umur
si mempelai lelaki memang juga berada di bawah
ketentuan UU Perkawinan. UU ini mencantumkan
umur 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi
perempuan sebagai batas umur minimal boleh
menikah.2 Kendati demikian, karena pengantin
2 Putusan Mahkamah Konstitusi menetapkan batas
usia minimal bagi perempuan yang akan menikah adalah 19
tahun.

Modul 4
48
PSIKOLOGI PEMUDA
lelaki sudah memperoleh izin atau dispensasi
dari negara, pernikahannya pun menjadi sah.
Walaupun pernikahan dini sudah dicatat
resmi oleh negara, sesungguhnya masih tersisa
satu masalah. Yakni, meski mempelai belia
secara administrasi kependudukan sudah keluar
dari kelompok umur anak, mengacu pada UU
Perlindungan Anak mereka tetap tergolong
anak-anak. Adapun anak-anak, merujuk pada
UU yang sama, tidak boleh melakukan kontak
seksual. ‘Gesekan’ antara UU Perkawinan dan
UU Perlindungan Anak ini menciptakan situasi
pelik yang perlu dicari titik temunya.
Inti persoalannya ialah legislasi manakah
yang menjadi lex specialis untuk dipedomani:
UU Perkawinan ataukah UU Perlindungan
Anak? Para aktivis perlindungan anak punya
perspektif terbelah. Sebagian memosisikan
UU Perkawinan sebagai hukum yang harus
diutamakan, sementara lainnya mendahulukan
UU Perlindungan Anak. Untuk mengatasi
ketidakharmonisan antar-UU itu, saya
menghindari sikap antipati dan mencoba lebih

Modul 4
49
PSIKOLOGI PEMUDA
berempati terhadap masalah pernikahan dini.
Saya meyakini anak-anak tidak
sepantasnya melangsungkan pernikahan.
Masyarakat perlu terus-menerus diedukasi
akan risiko-risiko negatif yang bisa dihadapi
mempelai usia ingusan. Akan tetapi, ketika
pernikahan sudah telanjur terjadi, sepahit apa
pun, pilihan itu seharusnya disikapi sebagai
keputusan hidup yang jauh lebih beradab dan
bertanggung jawab daripada mereka melakukan
hubungan seks di luar pernikahan ataupun
menyalurkan berahi ke pekerja seks komersial.
    
Konsekuensi sikap menghormati itu berhadapan
dengan keadaan di saat pernikahan dini kadung
dilangsungkan, negara mesti mendukung
keputusan pasutri belia. Para pasutri itu tetap
perlu didoakan serta dikuatkan agar bisa saling
mendewasakan secara jasmani dan rohani.
Secara fundamental, sangat tidak etis dan tidak
realistis memaksa pernikahan dini batal demi
hukum karena salah satu ataupu
n kedua mempelai masih berumur anak-

Modul 4
50
PSIKOLOGI PEMUDA
anak dan terlarang melakukan kontak seksual.
Juga tidak arif menuntut diadakannya perceraian
ketika kedua insan bau kencur yang menikah itu
sama sekali tidak memperlihatkan jalan keluar
saat ada masalah kecuali lewat perceraian.
Terhadap anak-anak yang telanjur menikah
dini, mereka patut tetap disikapi sebagai warga
negara berumur kanak-kanak. Tinggal lagi
agenda berikutnya ialah memastikan negara
gigih berupaya maksimal memenuhi hak-hak
pasutri yang, sekali lagi, dari sisi umur biologis
dan merujuk pada UU Perlindungan Anak masih
tergolong anak-anak.
Hak-hak anak seperti yang tercantum
pada klaster Konvensi Hak Anak, semisal hak
pendidikan, hidup sehat, dan hak atas standar
kesejahteraan merupakan sejumlah hak yang
sudah sepatutnya tetap melekat dan tidak
ternihilkan betapa pun anak-anak telanjur
menikah dini. Berbagai kebijakan dan anggaran
negara untuk urusan perlindungan anak harus
tetap teralokasikan bagi para pasutri belia
sampai mereka masuk ke umur dewasa.

Modul 4
51
PSIKOLOGI PEMUDA
Ketika hak-hak mereka terpenuhi, masuk
akal untuk berharap bahwa para pasutri baru
gede itu akan bisa berperan sebagai suami-istri
secara optimal. Lebih krusial lagi, sekaligus inilah
esensi kepedulian atas fenomena pernikahan
dini, ketika negara menjamin pemenuhan
hak-hak anak-anak yang menikah dini serta
membekali mereka dengan program-program
edukasi keterampilan pengasuhan. Semoga
para pasutri belia itu akan mampu menjadi ayah-
bunda yang efektif bagi anak-anak mereka.
Melalui pendekatan itu pula tersedia solusi
bagi gesekan antara UU Perkawinan dan UU
Perlindungan Anak.

Modul 4
52
PSIKOLOGI PEMUDA
Tentang
Penyusun

Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA


adalah Deputi Pengembangan Pemuda
Kemenpora RI sejak November 2017. Sebelumnya
Ni’am menjadi Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) periode 2011-2017 Ia juga
menjabat sebagai Sekretaris Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia periode 2015-2020.
Aktivis muda NU ini dikenal sebagai Ulama dan
Akademisi. Ia tercatat sebagai Staf pengajar
Fakultas Syari’ah dan Hukum di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga
mendapat amanah sebagai Katib Syuriyah PBNU
masa khidmat 2015-2020

Dr. Jaswadi, M. Si
Kabid Organisasi Kemahasiswaan pada Asdep
Keorganisasian dan Pengawasan Kepramukaan
pada Deputi Pengembangan Pemuda

Modul 4
53
PSIKOLOGI PEMUDA
Kemenpora Jakarta. Di samping tugas di
Kemenpora beliau juga aktif dalam organisasi
kepemudaan sebagai Ketua Umum Forum
Doktor Muda Indonesia (FDMI), Pengurus pada
Koperasi Pariwisata RI (KOPARRI) bidang
Kepemudaan dan Pengurus Koperasi Nasional
RI ( KOPNAS RI). Menamatkan D3 Pada Jurusan
Ekonomi Perpajakan Unsyiah. Menyelesaikan S1
pada Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry Banda
Aceh dan S2 bidang Ilmu Kebijakan Publik di
Unpad Bandung dan S3 bidang Ilmu Administrasi
Publik di Unpad Bandung. Memiliki hobi olah
raga terutama badminton yang mempunyai
motto hidup “berpikir dan bekerja cerdas”

Reza Indragiri Amriel, M. Crim


Ketua Delegasi Indonesia pada Program
Pertukaran Pemuda Indonesia Australia (1995-
1996) ini ditunjuk oleh Kemenpora sebagai
Anggota Tim Asistensi pemilihan Kabupaten/
Kota Layak Pemuda 2019 serta assessor pada
sejumlah program internal dan eksternal

Modul 4
54
PSIKOLOGI PEMUDA
Kemenpora. Lebih nyaman mengidentifikasi
dirinya sebagai Pembelajar Psikologi Forensik,
Reza juga merupakan konsultan sejumlah
lembaga nasional dan internasional serta
menerima penghargaan dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia terkait kontribusinya di
bidang perlindungan anak. Reza adalah Ketua
Bidang Pemantauan dan Kajian di Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia, sekaligus Anggota
Dewan Pembina di Yayasan Lentera Anak. Pada
satu sisi, terlahir sebagai Gen X, Reza menyambut
fajar dengan rutin (baca: ikhlas!) menyiapkan
sarapan dan perlengkapan sekolah bagi anak-
anaknya, plus mencuci piring dan gelas kotor.
Pada sisi lain, ayah yang bangga dengan kelima
putra-putrinya ini justru mempunyai mindset
dan pola kerja ala Gen Z. Itu tercermin pada
rangkuman profesional dirinya: “I hate office
building. But smartphone is my headquarter.”
Sebut saja dia sebagai kaum milenial yang ingin
terus mencari ilmu sembari menyebut nama
Tuhannya.

Modul 4
55
PSIKOLOGI PEMUDA
Rita Pranawati, S.S., M.A
adalah wakil ketua KPAI dan Komisioner Bidang
Keluarga dan Pengasuhan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Periode 2014-2017 dan
periode 2017-2022. Rita menamatkan dua
masternya dari Interdisciplinary Islamic Studies
(IIS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sosiologi
Monash University Australia. Saat ini ia merupakan
dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Rita
juga aktif menjadi koordinator Divisi Perundang-
Undangan dan Sosialisasi Majelis Hukum dan HAM
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan wakil ketua Majelis
Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Periode 2015-2020. Selain itu, Rita juga merupakan
peneliti pada Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia menjadi peneliti, fasilitator, sekaligus menjadi
penulis untuk berbagai buku pada isu Islam, HAM,
demokrasi, perdamaian. Sejak belia ia malang
melintang sebagai aktivis maupun peneliti pada isu
perempuan dan anak. Ia dapat dihubungi melalui
pranawati_rita2000@yahoo.com

Modul 4
56
PSIKOLOGI PEMUDA
Khaeron Sirin, M. A
adalah dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (Fidkom) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan
di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
sementara gelar masternya diraih di dua
perguruan tinggi, yaitu Pascasarjana UIN Jakarta
konsentrasi Hukum Islam dan Universitas
Perpignan Via Domitia Perancis konsentrasi
Hukum Perbandingan. Selain mengajar, ia juga
aktif melakukan penelitian dan pengabdian
di masyarakat sebagai bagian dari tugas
Tridharma Perguruan Tinggi, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Saat ini, ia juga
aktif menulis dan menyunting buku-buku sosial
keagamaan

Rosdiana, MA
Dosen dalam bidang hukum perkawinan
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di samping kesibukan
mengajar beliau juga sebagai peneliti.

Modul 4
57
PSIKOLOGI PEMUDA
Menamatkan S1 Pada Jurusan Peradilan Agama
Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan menyelesaikan S2 Program Studi Pengkajian
Islam Konsentrasi Syariah pada Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan S3 Pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Program Studi Pengkajian
Islam Konsentrasi Hukum Islam. Wanita yang
hobi membaca ini pernah menjabat sebagai
Sekretaris Program Studi Ahwal al-Shakhsiyah
tahun 2010-2014 dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah tahun 2014-2015. Kandidat DR
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga pernah
menjadi Koordinator Gender pada Pusat Studi
Gender dan Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta aktif di beberapa organisasi
Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) dan sebagai
Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan
dan Sarjana Syariah Indonesia (MPN HISSI) serta
sebagai Koordinator kualitas hidup perempuan
pada FORKOMNAS KPPPA (Forum Komunikasi
Nasional Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak)

Modul 4
58
PSIKOLOGI PEMUDA
Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H
Menyelesaikan Sarjana Syariah di FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, kemudian memperoleh
Sarjana Hukum di Kampus yang sama. Lulus
dari FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ia
menyelesaikan pendidikan Magister Hukum di
Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta. Saat ini aktif sebagai Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan
Legislasi Nasional (POSKOLEGNAS) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sebagai Penyuluh
Antikorupsi Pratama KPK RI. Selain itu, ia
juga aktif sebagai editor di beberapa terbitan
berkala ilmiah yaitu: Jurnal Cita Hukum, Ahkam:
Jurnal Ilmu Syariah, dan Salam: Jurnal Sosial
dan Budaya Syar-i. Karya ilmiah yang pernah
diterbitkan di antaranya: “Penerapan Asas
Equality Before The Law dalam Sistem Peradilan
Militer” (Jurnal Cita Hukum Volume 1 No. 2
Desember 2013); “Pengadilan Khusus KDRT:
Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Penangan Kasus Kekerasan Terhadap

Modul 4
59
PSIKOLOGI PEMUDA
Perempuan” (Jurnal Cita Hukum Volume 2 No.
2 Desember 2014); “Ta’dib dalam Kacamata
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT)” (Mizan: Jurnal Ilmu Syariah Vol 2 No.
2 Desember 2014); Buku: Mengenang 70 Tahun
Hakim Agung Indonesia “Benteng Keadilan, Cita,
Dedikasi dan Pengabdian”, Mahkamah Agung,
2015; Inkonstitusional Perppu Hukuman Kebiri
(Tangsel Pos 2016); Independensi Hakim Ad-
Hoc Pada Peradilan Hubungan Industrial (Jurnal
Hukum Peradilan No 2 2017); Buku: Gagasan
Pengadilan Khusus KDRT (Depublish, Yogyakarta
2017); Tindak Pidana Ujaran Kebencian Di Media
Sosial, (Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i
Vol 4 No. 3 2017); Penyelesaian Satu Atap
Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi,
(Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 5
No. 3 2018); dan Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Sebagai Kurir Narkotika, (Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar-i Vol 5 No. 3 2018).

Modul 4
60
PSIKOLOGI PEMUDA

Anda mungkin juga menyukai