Anda di halaman 1dari 146

MODUL 1

HUKUM PERKAWINAN

Pendidikan Kepemimpinan Pemuda


dalam Rumah Tangga

PKPRT
PENINGKATAN
KESEHATAN REPRODUKSI
BAGI PEMUDA

Modul 1
i
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
ii
HUKUM PERKAWINAN
MODUL 1

PKPRT
PENINGKATAN KESEHATAN
REPRODUKSI BAGI PEMUDA

Modul 1
iii
HUKUM PERKAWINAN
MODUL 1
HUKUM PERKAWINAN

TIM PENYUSUN
Dr. HM Asrorun Ni’am Sholeh, M.A
Dr. Jaswadi
Erlinda, M. Pd
Reza Indragiri Amriel, M.Crim
Rita Pranawati, S.S., M.A
Dr. Muhammad Maksum, M.A
Khaeron Sirin, M.A
Rosdiana, M.A
Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H

DESAIN COVER
Moh Zakaria Ishaq

EDITOR
Ahmad Wari

Modul 1
iv
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
v
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
vi
HUKUM PERKAWINAN
Daftar ISI
Daftar Isi ..................................................................... vii
Kata Pengantar ........................................................ ix
Tujuan Pembelajaran............................................... xvi

BAGIAN PERTAMA: Konsep Dasar


Perkawinan................................................................. 1
Materi 1 - Tujuan dan Hikmah Perkawinan...... 1
Materi 2 - Syarat dan Rukun Nikah.................... 6
Materi 3 - Batasan Usia Menikah........................ 13
Materi 4 - Pertunangan (Khitbah)..................... 15
Materi 5 - Mahar (Maskawin)............................... 19
Materi 6 - Perjanjian Perkawinan........................ 21
Materi 7 - Pencatatan Perkawinan..................... 23
Materi 8 - Perkawinan Campuran dan
Perkawinan Beda Agama................. 29
Materi 9 - Pencegahan Perkawinan................... 30
Materi 10 - Larangan Nikah................................... 36
Daftar Rujukan.......................................................... 43

Modul 1
vii
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN KEDUA : Pelaksanaan Perkawinan....... 45
Materi 1 - Akad Nikah dan Ijab Kabul..................... 45
Materi 2 - Hak dan Kewajiban suami Istri........ 48
Materi 3 - Kewajiban Orang Tua terhadap
Anak.............................................................................. 55
Materi 4 - Pergaulan yang Baik
(Mu’asyarah bil Ma’ruf)........................................... 57
Materi 5 - Poligami................................................... 59
Materi 6 Nafkah......................................................... 63
Daftar Rujukan.......................................................... 68

BBAGIAN KETIGA : Bagian Ketiga


Pasca Perkawinan.................................................... 71
Materi 1 - Pembatalan perkawinan..................... 71
Materi 1 - Pembatalan perkawinan..................... 76
Materi 3 - Harta dalam perkawinan................... 84
Materi 4 - Prosedur Perceraian........................... 89
Materi 5 - Hak Istri Pasca Perceraian................ 100
Materi 6 - Iddah, Ihdad dan Rujuk..................... 104
Daftar Rujukan.......................................................... 117

Tentang Penyusun................................................... 119

Modul 1
viii
HUKUM PERKAWINAN
Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan


Semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penyusunan buku
Modul Kegiatan Peningkatan Kesehatan
Reproduksi Pemuda dapat diselesaikan.
Dalam konteks pembangunan manusia,
pembinaan ketahanan pemuda memiliki peran
yang sangat strategis. Pertama, karena pemuda
merupakan individu-individu calon penduduk
usia produktif yang pada saatnya kelak akan
menjadi subjek/pelaku/aktor pembangunan
sehingga harus disiapkan agar menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas. Kedua, karena
pemuda merupakan individu-individu calon
pasangan yang akan membangun keluarga
dan calon orang tua bagi anak-anak yang
dilahirkannya sehingga perlu disiapkan agar
memiliki perencanaan dan kesiapan berkeluarga.
Kesiapan berkeluarga merupakan salah satu kunci

Modul 1
ix
HUKUM PERKAWINAN
terbangunnya ketahanan keluarga dan keluarga
yang berkualitas sehingga diharapkan mampu
melahirkan generasi yang juga berkualitas. 
Di era Revolusi Industri 4.0 saat ini, tantangan
pembinaan ketahanan pemuda sangat kompleks,
baik dari aspek pemudanya maupun orangtua/
keluarganya. Dari aspek pemudanya, di antaranya
pubertas/kematangan seksual yang semakin
dini (aspek internal) dan aksesibilitas terhadap
berbagai media serta pengaruh negatif sebaya
(aspek eksternal) menjadikan pemuda rentan
terhadap perilaku seksual berisiko. Pemuda
menjadi rentan mengalami pernikahan di usia
dini, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi
penyakit menular seksual hingga aborsi yang
tidak aman, Kepala BKKBN Dr. Hasto Wardoyo
menjelaskan organ reproduksi perempuan usia
dibawah 20 tahun masih belum matang, yang
sangat rentan terkena kanker mulut rahim 10-20
tahun yang akan datang apabila tersentuh oleh
alat kelamin laki-laki. Hasto juga berpesan untuk
para pemuda laki-laki dan perempuan, agar

Modul 1
x
HUKUM PERKAWINAN
menjauhkan diri pada hal-hal yang mendekati
perilaku seks pranikah.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) Tahun 2017, terutama yang
terkait dengan kesehatan reproduksi generasi
muda menunjukkan perilaku pacaran menjadi
titik masuk pada praktik perilaku berisiko
yang menjadikan pemuda rentan mengalami
kehamilan di usia dini, kehamilan di luar nikah,
kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi
penyakit menular seksual hingga aborsi yang
tidak aman. Survei tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar pemuda wanita (81%)
dan pemuda pria (84%) telah berpacaran.
Empat puluh lima persen pemuda wanita dan
44 persen pemuda pria mulai berpacaran pada
umur 15-17. Sebagian besar pemuda wanita
dan pemuda pria mengaku saat berpacaran
melakukan aktivitas berpegangan tangan (64%
wanita dan 75% pria), berpelukan (17% wanita
dan 33% pria), cium bibir (30% wanita dan 50%
pria) dan meraba/diraba (5% wanita dan 22%

Modul 1
xi
HUKUM PERKAWINAN
pria).
Meskipun 99 persen persen wanita dan 98
persen pria berpendapat keperawanan perlu
dipertahankan, namun terdapat 8% pria dan 2%
persen wanita yang melaporkan telah melakukan
hubungan seksual, dengan alasan antara lain:
47% saling mencintai, 30% penasaran/ingin
tahu, 16% terjadi begitu saja, masing-masing 3%
karena dipaksa dan terpengaruh teman. Di antara
wanita dan pria yang telah melakukan hubungan
seksual pra nikah, 59 persen wanita dan 74 persen
pria melaporkan mulai berhubungan seksual
pertama kali pada umur 15-19. Di antara wanita
dan pria, 12 persen kehamilan tidak diinginkan
dilaporkan oleh wanita dan 7 persen dilaporkan
oleh pria yang mempunyai pasangan dengan
kehamilan tidak diinginkan. Dua puluh tiga
persen wanita dan 19 persen pria mengetahui
seseorang teman yang mereka kenal yang
melakukan aborsi, satu persen di antara mereka
menemani/mempengaruhi teman/seseorang
untuk menggugurkan kandungannya.

Modul 1
xii
HUKUM PERKAWINAN
Selain itu, sejak 2016 lalu hingga 2030
mendatang, Indonesia telah memasuki era baru
yang dikenal dengan Sustainable Development
Goals (SDGs); sebuah program pembangunan
berkelanjutan dan meneruskan program/target
pada era sebelumnya, Millenium Development
Goals (MDGs). Di antara target yang belum
tercapai secara maksimal pada era MDGs
dan akan menjadi “PR” di era SDGs adalah
masalah kesehatan yang meliputi sebaran balita
kurang gizi, proporsi balita pendek, status gizi
anak, tingginya tingkat kematian ibu, dan lain
sebagainya. Maka dalam konteks kesehatan
reproduksi, harus ada upaya-upaya serius dalam
meningkatkan kesehatan reproduksi yang
komprehensif, masalah-masalah seperti rasio
kematian ibu, kematian anak, maupun penyakit
epidemi AIDS, dan lain sebagainya bisa terus
berkurang.
Berdasarkan hal di atas, maka upaya-upaya
dalam meningkatkan kesehatan reproduksi
bagi generasi muda menjadi sangat urgen.

Modul 1
xiii
HUKUM PERKAWINAN
Sebab itu, Deputi Bidang Pengembangan
Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga
RI menyelenggarakan kegiatan Peningkatan
Kesehatan Reproduksi Bagi Pemuda demi
peningkatan pengetahuan dan menambah
informasi kepada pemuda tentang pentingnya
kesehatan reproduksi bagi para pemuda
melalui buku modul “Kesehatan Reproduksi
Bagi Pemuda”. Modul ini terdiri dari 2 modul
yang menyajikan berbagai informasi tentang
kesehatan reproduksi yang penting untuk
diperhatikan oleh para pemuda, sehingga
pemuda lebih mampu untuk bersikap dan
berperilaku sehat dengan pola yang benar dan
tepat dalam menjaga kesehatan reproduksi.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih
dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT
memberikan pahala atas segala amal kebaikan
kita. Buku modul ini diharapkan mampu menjadi
sumber informasi lengkap bagi kita semua

Modul 1
xiv
HUKUM PERKAWINAN
untuk mendorong upaya peningkatan kesehatan
reproduksi pemuda, sehingga semakin banyak
pemuda yang mengerti arti penting kesehatan
reproduksi. Salam Pemuda !

Deputi Bidang
Pengembangan Pemuda

Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, M. A

Modul 1
xv
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN PERTAMA:
Konsep Dasar Perkawinan
Tujuan Pembelajaran:
Diharapkan peserta memiliki pemahaman
tentang konsep dasar dalam perkawinan.
Pokok Bahasan:
1. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
2. Syarat dan Rukun Perkawinan
3. Batasan Usia Perkawinan
4. Perkenalan (Ta’aruf) dan Khitbah (Pertunan-
gan)
5. Mahar
6. Perjanjian Perkawinan
7. Pencatatan Perkawinan
8. Perkawinan Campuran
9. Pencegahan Perkawinan
10. Larangan Nikah

Modul 1
xvi
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN KEDUA:
PELAKSANAAN DAN PEMBINAAN PERKAWINAN
Tujuan Pembelajaran:
Diharapkan peserta memiliki pemahaman
mengenai pelaksanaan perkawinan sampai
dengan bagaimana hak dan kewajiban masing-
masing.
Pokok Bahasan:
1. Akad Nikah dan Ijab Kabul
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri
3. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
4. Pergaulan Suami-Istri (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
5. Poligami
6. Nafkah
7. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Modul 1
xvii
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN KETIGA:
BERAKHIRNYA PERKAWINAN
Tujuan Pembelajaran:
Diharapkan peserta memiliki pemahaman
mengenai akibat hukum dari putusnya ikatan
perkawinan
Pokok Bahasan:
1. Pembatalan perkawinan
2. Putusnya ikatan perkawinan
3. Harta dalam perkawinan
4. Prosedur perceraian
5. Hak Istri Pasca-Perceraian
6. Iddah, Ihdad dan Rujuk

Modul 1
xviii
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
xix
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
xx
HUKUM PERKAWINAN
M AT E R I 1

PERLINDUNGAN ANAK
DAN PENGASUHAN
BERKUALITAS

BAGIAN PERTAMA:
Konsep Dasar
Perkawinan
Materi 1
Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Secara alamiah, manusia diciptakan untuk
hidup berpasang-pasangan dan saling mengisi
yang diwujudkan dalam sebuah perkawinan. Dari
perkawinan inilah, terjadi ‘pengembangbiakkan’
manusia. Karenanya, agama memandang

Modul 1
1
HUKUM PERKAWINAN
perkawinan sebagai ikatan yang sakral dan
kuat (mitsaqan ghalidha), karena adanya niat
dan tujuan yang mulia dalam perkawinan itu
sendiri, yaitu mengikat dua hati manusia untuk
membentuk rumah tangga yang harmonis,
tenteram, dan penuh kasih sayang (Mahmud
Syaltut, 1970). Dengan kata lain, perkawinan
bukan hanya semata-mata untuk memuaskan
nafsu birahi semata, tetapi juga memelihara
kemuliaan keturunan melalui perkawinan.
Dari sinilah, agama hadir untuk menjaga dan
memelihara garis keturunan, karena manusia
adalah makhluk mulia yang harus dijaga
kemuliaannya melalui perkawinan (Kemenag,
2012).
Agama Islam mensyariatkan pernikahan
untuk membentuk mahligai keluarga untuk
meraih kebahagiaan hidup. Karenanya, Islam
mendorong manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk bertekad membangun
sebuah bahtera rumah tangga melalui sebuah
perkawinan yang tentram (sakinah) yang
dibangun atas dasar relasi cinta dan sayang

Modul 1
2
HUKUM PERKAWINAN
(mawaddah wa rahmah), bukan atas dasar relasi
kuasa (QS. al-Rum: 30: 21).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan secara tegas mendefiniskan
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
seoran pria dan perempuan sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa (Pasal 1).
Perkawinan merupakan sarana legal
mengembangkan keturunan dan penyaluran
insting untuk melakukan relasi seksual.
Karenanya, agama dan UU Perkawinan telah
memberikan aturan-aturan dan batasan-batasan
untuk menjamin agar pernikahan itu bisa dicapai
oleh setiap orang (Ahmad Attabiq, 2014).
Agama menegaskan bahwa manusia
diciptakan untuk berpasangan dari jenisnya
sendiri (sesama manusia) untuk mencapai
ketenteraman hidup (sakinah) yang didasari oleh
perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah
dan rahmah) di antara mereka sebagai suami-

Modul 1
3
HUKUM PERKAWINAN
istri (QS. Ar-Rum (21):21). Keduanya adalah
ibarat pakaian yang saling melengkapi kelebihan
dan menutupi kekurangan masing- masing (QS.
al-Baqarah:187).
Kehidupan yang tenteram (sakinah) yang
dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling
pengertian di antara suami dan istri merupakan
tujuan utama terbentuknya institusi perkawinan.
Untuk itu, perkawinan sejatinya harus membawa
maslahat, baik bagi suami istri, maupun
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pernikahan yaitu:
a.
Memperoleh keturunan yang sah dan
memelihara keturunan dalam suatu kelompok,
suku, ras, dan bangsa;
b.
Menghalalkan hubungan kelamin antara
suami istri untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan;
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri
dari kejahatan dan kerusakan;
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga

Modul 1
4
HUKUM PERKAWINAN
yang menjadi basis pertama dari masyarakat
yang besar atas dasar kasih saying; dan,
e.
Menumbuhkan kesanggupan berusaha
mencari rezeki penghidupan yang halal, dan
memperbesar tanggung jawab.
Adapun hikmah dari perkawinan itu sendiri
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
perkawinan dan tujuan diciptakannya manusia
di muka bumi ini, yaitu:
1. Memenuhi tuntutan fitrah;
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan
batin;
3. Menghindari Dekadensi Moral; dan,
4. Mampu membuat perempuan melaksanakan
tuasnya sesuai dengan tabiat keperempuanan
yang diciptakan (Ahmad Attabiq, 2014).

Modul 1
5
HUKUM PERKAWINAN
Materi 2
Syarat dan Rukun Nikah

Rukun dan syarat menentukan suatu


perbuatan hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus
diadakan. Perkawinan dianggap sah apabila
dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-
rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan
agama.

Syarat Nikah
Syarat perkawinan adalah sesuatu yang
harus ada dalam perkawinan, tetapi tidak
termasuk hakikat perkawinan. Jika salah satu
syarat perkawinan tidak terpenuhi, maka
perkawinan itu tidak sah. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

Modul 1
6
HUKUM PERKAWINAN
menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya.
b.
Tiap tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernyataan seperti tersebut di atas juga
dijelaskan kembali pada bagian penjelasan
pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu
“dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945”.
Dari penjelasan itu dapat diambil
kesimpulan bahwa sah atau tidaknya
perkawinan itu tergantung pada ketentuan
agama dan kepercayaan dari masing- masing
individu atau orang yang akan melaksanakan
perkawinan tersebut dan dicatatkan pada
instansi berwenang. Artinya, perkawinan harus
sah secara hukum agama maupun secara hukum
negara. Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
NIKAH DI BAWAH TANGAN menyatakan bahwa
1. Pernikahan Di bawah Tangan hukumnya sah
karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah,

Modul 1
7
HUKUM PERKAWINAN
tetapi haram jika terdapat madharrat.
2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi
pada instansi berwenang, sebagai langkah
preventif untuk menolak dampak negatif/
madharrat (saddan lidz-dzari’ah).
Syarat perkawinan sangatlah penting,
karena suatu perkawinan yang dilakukan dengan
tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam undang-undang dapat diancam dengan
pembatalan atau dapat dibatalkan. Syarat-syarat
perkawinan terdapat pada pasal 6 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1.
Perkawinan harus didasarkan pada
persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk melangsungkan suatu perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua
telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksudkan ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup

Modul 1
8
HUKUM PERKAWINAN
atau orang tua yang mampu menyampaikan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendak, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang memiliki hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendak.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara
orang orang yang disebut dalam ayat (2),
(3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan
ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan

Modul 1
9
HUKUM PERKAWINAN
kepercayaanya, yaitu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain. Sedangkan pada pasal
7 disebutkan:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1)
pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak perempuan.
3)
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan
salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4)
undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dengan Pasal 6 ayat (6).

Rukun Nikah
Rukun perkawinan adalah hakikat dari
perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu
rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan.

Modul 1
10
HUKUM PERKAWINAN
Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah:
a. pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah,
yaitu mempelai pria dan perempuan; b. wali;
c. saksi; dan d. akad nikah (ijab dan kabul).
Dalam Islam, rukun perkawinan tersebut bias
dijabarkan sebagai berikut:
a. Adanya calon suami dan istri yang tidak
terhalang dan terlarang secara hukum untuk
menikah. Di antara perkara hukum yang
menghalangi keabsahan suatu pernikahan
misalnya si perempuan yang akan dinikahi
termasuk orang yang haram dinikahi oleh si
lelaki karena adanya hubungan nasab atau
hubungan penyusuan, atau si perempuan
sedang dalam masa iddahnya dan selainnya,
serta tidak berbeda keyakinan atau agama.
b.
Adanya ijab, yaitu lafal yang diucapkan
oleh wali atau yang menggantikan posisi
wali. Misalnya dengan si wali mengatakan,
“Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau
dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah”
(“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
c. Adanya kabul, yaitu lafadz yang diucapkan

Modul 1
11
HUKUM PERKAWINAN
oleh suami atau yang mewakilinya, dengan
menyatakan, “Qabiltu hadzan nikah” atau
“Qabiltu hadzat tazwij” (“Aku terima
pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam
ijab dan kabul dipakai lafal ankah dan tazwij
karena dua lafal ini datang dari al-Qur`an (QS
al-Ahzab: 37).
d.
Wali, wali adalah pengasuh pengantin
perempuan pada waktu menikah atau
orang yang melakukan janji nikah dengan
pengantin laki-laki. Seorang perempuan tidak
memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa
memiliki hak perwalian atasnya.
Karena keberadaan wali nikah merupakan
rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat.
Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai
berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
Wali nikah ada dua macam yaitu: 1.
wali nasab, yaitu wali yang hak perwalianya
didasarkan karena adanya hubungan darah.

Modul 1
12
HUKUM PERKAWINAN
Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali aqrab
dan ab’ad; 2. wali hakim, yaitu wali yang hak
perwalianya timbul karena orang tua mempelai
perempuan menolak (‘adhal) atau tidak ada,
atau karena sebab lain.
e. Dua orang saksi. Saksi adalah orang yang
menyaksikan sah atau tidaknya suatu
pernikahan.

Materi 3
Batasan Usia Menikah
Pada perkembangannya, penetapan
batasan usia perkawinan memang sangat
penting. Dalam hukum Indonesia perkawinan
tidak dapat dilangsungkan sebelum mecapai
umur 19, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hal ini berdasarkan hasil revisi UU Perkawinan
yang tertuang pada UU No. 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawianan.
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan hasil revisi
menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan

Modul 1
13
HUKUM PERKAWINAN
apabila pria dan wanita sudah mencapai
umur 19 tahun. Ketentuan ini didasarkan pada
pertimbangan pentingnya kedewasaan, yakni
kematanan jiwa dan raga dalam perkawinan
dan kecenderungan mengenai tinginya angka
kelahiran nasional.
Namun, UU Perkawinan juga memberikan
penyelesaian bagi mereka yang ingin menikah,
tetapi belum mencapai batas usia perkawinan
sebagaimana ketentuan UU. Dalam hal ini,
Pasal 7 ayat (2) menyatakan: “Dalam hal terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan umut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua
pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita pasal
ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-
bukti pendukung yang cukup”.

Dispensasi Nikah
Tujuan adanya pembatasan usia dalam
perkawinan secara jelas sudah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan yaitu bertujuan
untuk menjaga kesehatan suami istri maupun

Modul 1
14
HUKUM PERKAWINAN
keturunannya. Oleh karena itu, pasal 7 ayat (2)
UU Perkawinan membuka praktik terjadinya
pernikahan usia dini.
Hal tersebut memiliki konsekuensi,
apabila semua permohonan dispensasi nikah
di Pengadilan Agama dikabulkan dapat
memperburuk kondisi kualitas pertumbuhan
anak di Indonesia, karena akan kehilangan
akses terhadap pendidikan dan kesempatan
untuk berkemban dan memahami tangung
jawab dalam perkawinan sebelum melakukan
perkawinan tersebut.

Materi 4
Pertunangan (Khitbah)

Pernikahan merupakan hubungan jiwa,


hubungan harmonis dan kedamaian, cinta
dan kasih sayang, kemuliaan dan keindahan.
Dengan menikah, maksiat akan terjaga baik
dalam bentuk maksiat penglihatan atau maksiat
tubuh. Menurut pandangan Islam pernikahan
merupakan akad yang menghalalkan pergaulan

Modul 1
15
HUKUM PERKAWINAN
dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong
menolong antara lakilaki dan seorang perempuan
yang bukan mahram (Sudarsono, 2005).
Khitbah merupakan pendahuluan u n t u k
melangsungkan perkawinan, disyari’atkan
sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan
agar memasuki perkawinan didasarkan kepada
penelitian dan pengetahuan serta kesadaran
masing-masing pihak. Dasar nash tentang khitbah
termaktub dalam Alquran: “Tidak dosa bagimu
meminang perempuan-perempuan dengan
sindiran atau menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu, Allah SWT
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, dari pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia kecuali sekadar mengucapkan kepada
mereka perkataan ma’ruf (sindiran)…” (QS. Al-
Baqarah: 235). Hukum khitbah adalah sunah,
karena Rasulullah SAW melakukannya ketika
beliau meminang Siti Aisyah binti Abu Bakar
dan Hafshah binti Umar bin Khatab. “Dari Urwah,
bahwasanya Rasulullah saw telah meminang Siti

Modul 1
16
HUKUM PERKAWINAN
Aisyah kepada Abu Bakar. Abu Bakar berkata
kepada Rasulullah SAW: “Aku ini hanyalah
saudaramu”. Rasulullah SAW menjawab: “Ya,
saudaraku seagama, dan karenanya dia (Siti
Aisyah) halal bagi saya” (HR. Bukhari).

Syarat-syarat Khitbah
Khitbah dimaksudkan untuk mendapatkan
atau memperoleh calon istri yang ideal atau
memenuhi syarat menurut syariat Islam. Adapun
perempuan yang boleh dipinang (khitbah)
adalah yang memenuhi syarat, sebagai berikut:
1. Tidak dalam pinangan orang lain
2. Pada waktu dipinang tidak ada halangan
syar’i (seperti mahram, beda agama) yang
melarang dilangsungkannya pernikahan
3. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena
talak raj’i
4. Apabila perempuan dalam masa iddah karena
talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara
sirri.

Modul 1
17
HUKUM PERKAWINAN
Selain itu syarat-syarat perempuan yang
boleh dipinang terdapat pada pasal 12 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
1.
Peminangan dapat dilakukan terhadap
seorang perempuan yang masih perawan
atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahnya.
2. Perempuan yang ditalak suami yang masih
berada dalam masa iddah raj’iyyah, haram
dan dilarang untuk dipinang.
3. Dilarang juga meminang seorang perempuan
yang sedang dipinang orang lain selama
pinangan laki-laki tersebut belum putus atau
belum ada penolakan dari pihak perempuan.
4. Putusnya pinangan laki-laki, karena adanya
pernyataan tentang putusnya hubungan
pinangan atau secara diam-diam. Laki-laki
yang telah meminang telah menjauhi dan
meninggalkan perempuan yang dipinang.

Modul 1
18
HUKUM PERKAWINAN
Materi 5
Mahar (Maskawin)

Mahar adalah pemberian dari mempelai


pria kepada mempelai perempuan, baik bentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Pasal 32 Kompilasi Hukun
Islam mengemukakan bahwa “Mahar diberikan
langsung kepada mempelai perempuan dan
sejak itu menjadi hak pribadinya”. Pada dasarnya
mahar bukanlah merupakan syarat dari akad
nikah, tetapi merupakan suatu pemberian yang
berifat semi mengikat, yang harus diberikan
suami kepada istri sebelum terjadi hubungan
suami istri, walaupun dalam keadaan belum
sepenuhnya mahar yang disepakati itu diserahkan
(Abdul Aziz Dahlan, 2003).
Mahar adalah simbol dari kesetiaan dan
penghargaan dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan. Oleh karena itu, Islam
melarang mahar yang ditetapkan berlebihan.
Sebab, simbolitas itu tercapai dengan apa yang
mudah didapatkan, tanpa paksaan, dan tanpa

Modul 1
19
HUKUM PERKAWINAN
tipuan (QS. An-nisa: 3:4).
Dalam pasal 36, 37 dan 38 Kompilasi Hukum
Islam mengatur mengenai barang yang dijadikan
mahar itu sendiri. Apabila barang yang akan
dijadikan mahar itu hilang maka mahar bisa
diganti dengan barang yang sama bentuk dan
jenisnya tetapi boleh juga diganti dengan barang
lain atau dengan uang yang sama nilainya dengan
barang tersebut. Namun jika yang terjadi adalah
adanya cacat pada barang yang akan dijadikan
mahar dan mempelai perempuan menolak untuk
menerima mahar tersebut karna sebab adanya
kecacatan, maka suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak cacat. Namun, jika si
calon mempelai perempuan bersedia menerima
mahar tersebut, maka mahar tidak perlu diganti.

Modul 1
20
HUKUM PERKAWINAN
Materi 6
Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan adalah persetujuan


yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
untuk mengatur harta kekayaan beserta akibat-
akibatnya setelah terjadinya perkawinan.
Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak
dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga (Pasal 29 UU No.1/1974).

Modul 1
21
HUKUM PERKAWINAN
Perjanjian tersebut dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Di samping ketentuan yang disebutkan
sebelumnya, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi
dan harta bersama atau harta syarikat (Pasal 47
KHI).
Adapun syarat sah perjanjian perkawinan: 1.
Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati;
2. Harus sama idha dan ada pilihan; 3. Harus Jelas
dan gamblang.
Perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh
mereka yang tunduk pada hukum perdata
maupun hukum Islam dengan ketentuan dibuat
dengan akta otentitk dan wajib dicatatkan pada
Kantor Catatan Sipil maupun pada Kantor Urusan
Agama (KUA) untuk memenuhi ketentuan Pasal
29 UU Perkawinan dan agar perjanjian perkawinan
tersebut berlaku dan mengikat bagi pihak ketiga.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian perkawinan

Modul 1
22
HUKUM PERKAWINAN
tersebut, sebagiamana halnya dengan perjanjian
pada umumnya, kepada kedua belah pihak
diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-
luasnya asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang kesusilaan yang baik atau tidak
melanggar ketertiban umum.

Materi 7
Pencatatan Perkawinan

Perkawinan dianggap sah adalah


perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya
dan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Di Negara Indonesia
ada dua instansi atau Lembaga yang diberi
tugas untuk mencatat perkawinan, perceraian
dan rujuk. Adapun Instansi atau Lembaga yang
dimaksud adalah: Pertama, Kantor Urusan Agama
Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Rujuk bagi
orang beragama Islam (lihat Undang-Undang
No. 22 Tahun 1946 jo. Undang- Undang Nomor
32 Tahun 1954); dan Kedua, kantor Catatan Sipil

Modul 1
23
HUKUM PERKAWINAN
untuk perkawinan bagi yang nonmuslim.
Kantor Urusan Agama (KUA) harus
mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan
di wilayahnya masing-masing. Kelalaian
mencatat perkawinan ini dapat dikenakan
sanksi kepada petugas pencatat perkawinan
tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatatan
perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan
konkrit tentang data NTR.

Tujuan Pencatatan Perkawinan


Pencatatan perkawinan pada hakikatnya
bertujuan untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi pasangan suami
istri, termasuk kepastian dan perlindungan
hukum terhadap akibat yang ditimbulkan dari
perkawinan itu sendiri, yaitu tentang hak dan
kewajiban masing-masing secara timbal balik,
tentang anak-anak yang dilahirkan, dan hak-hak
anak berupa warisan dari orang tuanya kelak.
Pemerintah mengatur pencatatan
perkawinan adalah sesuai dengan epistemologi
hukum Islam dengan metode istishlah atau

Modul 1
24
HUKUM PERKAWINAN
maslahat. Secara formal tidak ada ketentuan ayat
atau sunnah yang memerintahkan pencatatan
perkawinan, namun karena kandungan
maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’
yang ingin mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
pencatatan perkawinan merupakan ketentuan
yang harus diterima dan dilaksanakan oleh
semua pihak, karena memiliki landasan yang
kokoh dan berimplikasi positif.
Pencatatan perkawinan merupakan salah
satu prinsip hukum perkawinan nasional yang
bersumberkan pada UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan. Dalam peraturan perundang-
undangan perkawinan di Indonesia, eksistensi
prinsip pencatatan perkawinan terkait dengan
dan menentukan kesahan suatu perkawinan,
artinya selain mengikuti ketentuan masing-
masing hukum agamanya atau kepercayaan
agamanya, juga sebagai syarat sahnya suatu
perkawinan. Oleh karena itu pencatatan dan
pembuatan akta perkawinan merupakan
suatu kewajiban dalam peraturan perundang-

Modul 1
25
HUKUM PERKAWINAN
undangan perkawinan di Indonesia. Namun
dalam praktiknya, kewajiban pencatatan dan
pembuatan akta perkawinan menimbulkan
makna hukum ambiguitas, karena kewajiban
pencatatan dan pembuatan akta perkawinan
bagi setiap perkawinan dianggap hanya sebagai
kewajiban administratif belaka, bukan penentu
kesahan suatu perkawinan, sehingga pencatatan
perkawinan merupakan hal yang tidak terkait
dan menentukan kesahan suatu perkawinan.
Meskipun perkawinan tersebut dilakukan
menurut masing- masing hukum agamanya atau
kepercayaan agamanya, tetapi tidak dicatat,
perkawinan tersebut dianggap tidak mempunyai
kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatat
ini menyebabkan suami istri dan anak-anak yang
dilahirkan tidak memperoleh perlindungan
hukum.

Dampak Perkawinan yang Tidak Dicatatkan


Fenomena perkawinan yang tidak
dicatatkan (termasuk nikah sirri) di tengah umat
Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan

Modul 1
26
HUKUM PERKAWINAN
saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah,
tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah ke
atas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa
faktor yang melatarbelakanginya, yaitu: a).
Kurangnya kesadaran hukum masyarakat; b).
Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap
hukum; c). Ketentuan pencatatan pernikahan
yang tidak jelas; dan d). Ketatnya izin poligami
Kemudian situasinya akan menjadi lain
bilamana perkawinan yang akan dilaksanakan
adalah perkawinan yang kedua dan seterusnya,
khususnya bagi suami yang masih terikat dengan
tali perkawinan dengan istrinya yang pertama,
ketika bermaksud untuk melakukan perkawinan
kedua, maka akan mendapatkan kendala,
dikarenakan sulitnya prosedur memperoleh izin
poligami melalui Pengadilan Agama, atau karena
takut diketahui oleh istri dan anak-anaknya, dan
lebih sulit lagi bila sebagai seorang Pegawai
Negeri Sipil (PNS), karena harus mendapatkan
izin atasan yang mengakibatkan mengambil
jalan pintas untuk melakukan perkawinan yang
dikenal dalam masyarakat luas dengan istilah

Modul 1
27
HUKUM PERKAWINAN
“nikah sirri” atau “nikah di bawah tangan”.
Bagi masyarakat Indonesia, pencatatan
perkawinan adalah sesuatu yang sangat
dibutuhkan, bahkan merupakan suatu keharusan,
demi terpeliharanya kemaslahatan semua pihak.
Bertolak dari hal tersebut, maka dirasakan oleh
masyarakat mengenai pentingnya hal dimaksud,
sehingga diatur melalui perundang-undangan,
baik Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974
maupun Kompilasi Hukum Islam.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, demikian juga aturan-aturan
perundang-undangan yang lain yang memuat
pencatatan perkawinan sebagai salah satu
ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi
adalah merupakan salah satu bentuk pembaruan
hukum perdata keluarga Islam.

Modul 1
28
HUKUM PERKAWINAN
Materi 8

Perkawinan Campuran dan Perkawinan Beda


Agama

Perkawinan campuran adalah perkawinan


antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan, dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Dengan
diundangkannya UU tersebut, maka pengertian
perkawinan campuran sebatas pada perkawinan
antara warga negara Indonesia dan warga negara
asing. Di samping itu juga tidak menentukan
menurut hukum pihak mana perkawinan
campuran itu harus dilangsungkan. Pasal 59
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menentukan bahwa “Perkawinan campuran yang
dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
UU ini”.
Terkait perkawinan beda agama, Pasal 2 UU
No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaanya. Atas

Modul 1
29
HUKUM PERKAWINAN
dasar itu, perkawinan harus didasarkan pada
aturan agama dan perkawinan beda agama
tidak sah. Fatwa MUI Nomor : 4/MUNAS/VII/
MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama
adalah :
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan
tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita
Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah
haram dan tidak sah.
Hal ini juga bertentangan dengan tujuan
pernikahan, membangun keluarga harmonis
dengan mencari titik temu sebanyak-banyaknya.

Materi 9
Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk


membatalkan perkawinan sebelum perkawinan
itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu
dapat dilakukan apabila calon suami atau calon
istri yang akan melangsungkan pernikahan
berdasarkan hukum islam yang termuat dalam

Modul 1
30
HUKUM PERKAWINAN
pasal 13 UU No. 1/1974, yaitu perkawinan dapat
dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat melangsungkan perkawinan.
Syarat pencegahan perkawianan dibagi
dalam dua segi, yaitu: Pertama, Syarat Materiil:
berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta
nikah, dan larangan perkawinan. Diantaranya
yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya
suatu perkawinan; dan, Kedua, Syarat
administratif: syarat perkawinan yang melekat
pada setiap rukun perkawinan (calon mempelai
laki-laki dan perempuan, saksi dan wali) dan
pelaksanaan akad nikahnya.
Hal-hal yang bisa menjadi alasan terjadinya
pencegahan perkawinan, telah disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu tentang
hal-hal yang menyebabkan dilarangnya kawin.
Di antaranya:
• Pertalian nasab;
• Pertalian kerabat semenda;
• Pertalian sesusuan;
• Perempuan yang bersangkutan masih terikat

Modul 1
31
HUKUM PERKAWINAN
satu perkawinan dengan pria lain;
• Perempuan yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain;
• Perempuan yang tidak beragama Islam;
• Pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat)
orang istri yang keempat-empatnya masih
terikat tali perkawinan atau masih dalam
iddah talak raj`i ataupun salah seorang di
antara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak
raj`i.
• Perempuan bekas istrinya yang ditalak tiga
kali, larangan gugur, kalau bekas istri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis
masa iddahnya.
• Perempuan bekas istrinya yang di-li`an;
• Perempuan Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan, suatu
perkawinan dapat dicegah berlangsungnya

Modul 1
32
HUKUM PERKAWINAN
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan yang dapat
dijadikan alas an untuk adanya pencegahan
perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU
Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:
1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1)
yaitu mengenai batasan umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Apabila calon
mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut,
maka perkawinan itu dapat dicegah untuk
dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan
pelaksanaannya sampai umur calon mempelai
memenuhi umur yang ditetapkan undang-
undang.
2. Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan
perkawinan. Misalnya saja antara kedua
calon mempelai tersebut satu sama lain
mempunyai hubungan darah dalam satu garis
keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas
berhubungan darah semenda, satu susuan
ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang

Modul 1
33
HUKUM PERKAWINAN
untuk melangsungkan perkawinan. Dalam
hal ini, perkawinan dapat ditangguhkan
pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan
pelaksanaannya untuk selama- lamanya
misalnya perkawinan yang akan dilakukan
oleh kakak-adik, bapak dengan anak kandung
dan lain-lain.
3. Pelanggaran terhadap pasal 9, yaitu mengenai
seseorang yang masih terikat perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang
suami yang diperbolehkan berpoligami.
4. Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan
bagi suami atau istri yang telah kawin
cerai dua kali tidak boleh melangsungkan
perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang
menurut agamanya (hukum) mengatur lain.
5.
Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu
melanggar syarat formal untuk melaksanakan
perkawinan yaitu tidak melalui prosedur
yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan

Modul 1
34
HUKUM PERKAWINAN
pemberitahuan, penelitian dan pengumuman
(lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
Sedangkan yang boleh melakukan
pencegahanberlangsungnya suatu perkawinan
adalah: 1. Para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah; 2. Saudara; 3.
Wali nikah; 4. Wali; 5. Pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Berdasarkan pasal 20 UU Perkawinan No.
I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan
tidak boleh melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan apabila dia
mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pasal
7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12
Undang-Undang ini.
Bahkan pegawai pencatat perkawinan
berhak dan berkewajiban untuk menolak
melangsungkan suatu perkawinan apabila
benar-benar adanya pelanggaran terhadap
Undang-Undang ini (Pasal 21 ayat (1)).
Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan
sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat

Modul 1
35
HUKUM PERKAWINAN
hukum dari pencegahan perkawinan ini adalah
adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan
bahkan menolak untuk selama-lamanya suatu
perkawinan dilangsungkan.

Materi
10 Larangan Nikah

Larangan perkawinan adalah kondisi di


mana perempuan dan laki-laki tidak dibolehkan
untuk menikah, baik kondisi itu bersifat
sementara maupun selamanya (abadi). Kondisi
yang bersifat sementara berimplikasi pada
larangan menikah yang bersifat sementara dan
kondisi yang bersifat permanen akan berdampak
pada larangan menikah untuk selamanya.
Menurut UU Perkawinan, larangan nikah
adalah sebagai berikut:
1. Larangan perkawinan berdasarkan hubungan
kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974)
disebabkan berhubungan darah yaitu larangan
perkawinan karena hubungan persaudaraan
(kekerabatan) yang terus menerus berlaku

Modul 1
36
HUKUM PERKAWINAN
dan tidak dapat disingkirkan berlakunya,
yaitu:
a. Hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah maupun ke atas yang terdiri
dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari
ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
b. Hubungan darah dalam garis keturunan
menyamping terdiri dari saudara
perempuan ayah, anak perempuan
saudara laki-laki, anak perempuan saudara
perempuan (kemanakan) (Pasal 8 sub b).
c. Hubungan semenda terdiri dari saudara
perempuan bibi (makcik), ibu dari istri
(mertua), anak tiri (Pasal 8 sub c).
d. Hubungan susuan yaitu orang tua susuan,
saudara susuan, anak susuan dan bibi atau
paman susuan (Pasal 8 sub d).
e.
Hubungan saudara dengan istri atau
sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang (Pasal 8 sub e).
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya

Modul 1
37
HUKUM PERKAWINAN
atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin (Pasal 8 sub f).
2. Larangan oleh karena salah satu pihak atau
masing-masing pihak masih terikat dengan
tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun
1974). Larangan bersifat sepihak artinya
larangan berlaku secara mutlak kepada pihak
perempuan saja yaitu seorang perempuan
yang masih terikat dalam perkawinan.
Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku
kepada seorang laki-laki yang sedang terikat
dengan perkawinan atau seoramg laki-laki
yang beristri tidak mutlak dilarang untuk
melakukan perkawinan dengan istri kedua.
3. Larangan kawin bagi suami istri yang telah
bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No. 1
Tahun 1974). Menurut Pasal 10, larangan kawin
bagi suami istri yang telah bercerai sebanyak
2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai
maksud agar suami istri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan
harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10

Modul 1
38
HUKUM PERKAWINAN
bermaksud untuk mencegah tindakan kawin
cerai berulang kali, sehingga suami maupun
istri saling menghargai satu sama lain.
5. Larangan kawin bagi seorang perempuan
selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun
1974). Larangan dalam Pasal 11 bersifat
sementara yang dapat hilang dengan
sendirinya apabila masa tunggu telah lewat
waktunya sesuai dengan ketentuan masa
lamanya waktu tunggu. Sesuai dengan pasal
8 masa lamanya waktu tunggu selama 300
hari, kecuali jika tidak hamil maka masa
tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi
karena perkawinan perempuan telah putus
karena: 1) Suaminya meninggal dunia, 2)
Perkawinan putus karena perceraian; dan 3)
Istri kehilangan suaminya.
Sementara menurut Kompilasi Hukum
Islam, larangan perkawinan disebutkan dalam
Pasal 39. Dalam hal ini, larangan melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang
perempuan disebabkan oleh:
1. Pertalian nasab:

Modul 1
39
HUKUM PERKAWINAN
a. Seorang perempuan yang melahirkan
atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. Seorang perempuan keturunan ayah atau
ibu; dan
c.
Seorang perempuan saudara yang
melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a.
Seorang perempuan yang melahirkan
istrinya atau bekas istrinya;
b. Seorang perempuan bekas istri orang yang
menurunkannya;
c. Seorang perempuan keturunan istri atau
bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla
al dukhul
d. dengan seorang perempuan bekas istri
keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan:
a. Perempuan yang menyusui dan seterusnya
menurut garis lurus ke atas;
b.
Perempuan sesusuan dan seterusnya

Modul 1
40
HUKUM PERKAWINAN
menurut garis lurus ke bawah;
c.
Perempuan saudara sesusuan, dan
kemanakan sesusuan ke bawah;
d. Perempuan bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e.
Anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya.
Juga dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang perempuan karena keadaan
tertentu:
a. Perempuan yang bersangkutan masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain;
b. Perempuan yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain;
c. Perempuan yang tidak beragama islam. Pasal
41 menyebutkan:
(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan seoarang perempuan yang
mempunyai hubungan pertalian nasab
atau sesusuan dengan istrinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau

Modul 1
41
HUKUM PERKAWINAN
keturunannya.
b.
perempuan dengan bibinya atau
kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap
berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak
raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 tertera larangan sebagai
berikut, Seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang perempuan apabila
pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat)
orang istri yang keempat-empatnya masih
terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah
talak raj`i ataupun salah seorang diantara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria:
a. Perempuan bekas istrinya yang ditalak
tiga kali.
b. Perempuan bekas istrinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a.

Modul 1
42
HUKUM PERKAWINAN
gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin
dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba`da dukhul dan telah
habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda
agama. Seorang perempuan Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.

Daftar Rujukan
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Bogor:
Kencana, 2003.
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: PT. Intermasa, 2003.
Ahmad Atabiq, Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan
dan Hikmahnya Perpektif Hukum Islam,
Jurnal Yudisia, Vol. 5, No. 2, Desember 2014.
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Toha
Putra, Cet I, TT.
Eliyyil Akbar: Ta’aruf dalam Khitbah Perspektif
Syafi’i dan Ja’fari, Jurnal Musawa, Vol 14, No.
1, Januari 2015.

Modul 1
43
HUKUM PERKAWINAN
Kaharudin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan Menurut
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undan
RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
(Jakarta: Mitra Wacana, 2015.
Kementerian Agama RI, Modul Keluarga Sakinah
Berperspektif Kesetaraan bagi Penghulu,
Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012.
Mahmud Syaltut, Tafsir Alquran Al Karim, TT, CV.
Diponegoro. Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.

Modul 1
44
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN KEDUA :
Pelaksanaan
Perkawinan
Materi 1
Akad Nikah dan Ijab Kabul

Akad nikah adalah perjanjian yang


berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab
dan kabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak
pertama, sedangkan kabul adalah penerimaan
dari pihak kedua. Ijab akad pernikahan ialah
serangkaian kata yang diucapkan oleh wali
nikah atau wakilnya dalam akad nikah, untuk
menikahkan calon istri atau wakilnya.
Kabul pernikahan adalah serangkaian
kata yang diucapkan oleh calon suami
atau wakilnya dalam akad nikah, untuk
menerima nikah yang disampaikan
oleh wali nikah atau wakilnya. Kabul

Modul 1
45
HUKUM PERKAWINAN
akad pernikahan merupakan pernyataan
dari pihak laki-laki yang menyatakan
persetujuan untuk menikahi calon
mempelai perempuan. Istilah ijab dan
kabul adalah dua kata dalam bahasa
arab yang merupakan sepasang kata
yang menandai sebuah akad. Istilah ijab
kabul dalam ilmu fiqih juga sering di sebut
dengan istilah al-shighah. Suatu akad
pernikahan dipandang sah apabila telah
memenuhi segala rukun dan syaratnya,
sehingga keadaan akad itu
diakui oleh hukum Syara’.

Syarat Sah Ijab Kabul


Ijab kabul adalah ucapan dari orangtua atau
wali mempelai perempuan untuk menikahkan
putrinya kepada sang calon mempelai pria.
Orangtua mempelai perempuan melepaskan
putrinya untuk dinikahi oleh seorang pria, dan
mempelai pria menerima mempelai perempuan
untuk dinikahi. Ijab kabul merupakan ucapan
sepakat antara kedua belah pihak untuk hidup

Modul 1
46
HUKUM PERKAWINAN
berumah tangga yang diresmikan di hadapan
manusia dan Tuhan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan
ijab kabul adalah sebagai berikut:
• Antara ijab dan kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas beruntun tidak
berselang waktu.
• Akad nikah dilaksanakan secara pribadi oleh
wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
dapat mewakilkan kepada orang lain.
• Yang berhak mengucapkan kabul adalah
calon mempelai pria secara pribadi. Dalam
hal-hal tertentu kabul nikah dapat diwakilkan
kepada pria lain dengan ketentuan calon
mempelai pria harus memberi kuasa yang
tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria dan disetujui oleh calon
mempelai perempuan atau walinya.

Modul 1
47
HUKUM PERKAWINAN
Materi 2
Hak dan Kewajiban suami Istri

Hak adalah sesuatu yang merupakan milik


atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang
diperoleh dari hasil perkawinannya. Kewajiban
adalah hal-hal yang harus dilaksanakan atau
diadakan oleh salah seorang dari suami atau
istri untuk memenuhi hak dari pihak yang lain.
Dalam hal ini, kewajiban suami adalah sesuatu
yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk
istrinya. Sedangkan kewajiban istri itu adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan dan dilakukan
untuk suaminya. Penegakan hak dan kewajiban
suami istri menjadi mutlak guna mencapai tujuan
perkawinan itu sendiri.
Hak dan kewajiban suami-istri dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat
dalam Bab VI pasal 30-34. Dalam pasal 30
disebutkan: “Suami-istri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendiri dasar dari susunan masyarakat.”

Modul 1
48
HUKUM PERKAWINAN
Dalam pasal 31 dijelaskan pula mengenai
hak dan kewajiban suami-istri, yaitu:
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukam suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat;
2.
Masing-masing pihak berhak melakukan
perbuatan hukum;
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu
rumah tangga. Pasal 32 menyatakan bahwa:
1. Suami-istri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap;
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam
ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami istri
bersama.
Pasal 33 menyatakan: “Suami-istri wajib
saling mencintai, menghormati, setia, dan
memberi bantuan lahir dan batin yang satu
kepada yang lain.”
Pasal 34 menyatakan sebagai berikut:
1. Suami waajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan

Modul 1
49
HUKUM PERKAWINAN
hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya;
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XII Hak
dan Kewajiban Suami Istri dibagi menjadi enam
bagian, yaitu:
1. Pasal 77 tentang kewajiban bersama (suami
istri):
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah yang
menjadi sendi dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta-mencintai
hormat-menghormati, setia dan memeberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain.
c.
Suami istri memiliki kewajiban untuk
mengasuh dan memelihara anak-anak

Modul 1
50
HUKUM PERKAWINAN
mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya
dan pendidikan agama.
d.
Suami istri wajib memelihara
kehormatannya.
e.
Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
2. Kewajiban Suami (Pasal 80-82):
a.
Suami adalah pembimbing terhadap
istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama.
b. Suami melindungi istrinya dan memeberikan
segala susuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
c.
Suami wajib memeberikan pendidikan
agama kepada istrinya dan memberikan
kesempatan belajar pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa
dan bangsa.

Modul 1
51
HUKUM PERKAWINAN
d.
Sesuai dengan pengasilannya, suami
menaggung:
e. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi
istri.
f. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak.
g. Baiaya pendidikan bagi anak.
h. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin
sempurna dari istrinya.
i. Istri dapat membebaskan suaminya dari
kewajiban terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
j. Kewajiaban suami sebagaimana dimaksud
ayat 5 gugur apabila istrinya nusyuz.
k. Suami wajib menyediakan tempat kediaman
bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri
yang masih dalam ‘iddah.
l. Tempat kediaman adalah tempat tinggal
yang layak untuk istri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau
‘iddah.

Modul 1
52
HUKUM PERKAWINAN
m.
Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi istri dan anak-anaknya dari
gangguan pihak lain sehingga mereka
merasa aman dan tentram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
n. Suami wajib melengkapi tempat kediaman
sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat-alat
perlengkapan rumah tangga maupun
sarana penunjang lainnya.
o. Suami yang mempunyai istri lebih dari
seseorang berkewajiban memberi tempat
tinggal dan biaya hidup kepada masing-
masing istri secara berimbang menurut
besar kecilnya jumlah keluarga yang
ditanggung masing-masing istri, kecuali
jika ada perjanjian perkawinan.
p. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami
dapat menempatkan istrinya dalam satu

Modul 1
53
HUKUM PERKAWINAN
tempat kediaman.
3. Kewajiban Istri (Pasal 83-84):
a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah
berbakti lahir dan batin kepada suami
didalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum islam.
b.
Istri menyelenggarakan dan mengatur
keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
c. Istri dapat dianggap nuyuz jika tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83
ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
d. Selama istri dalam nusyuz, kewaiban suami
terhadap istrinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) a dan b tidak berlaku kecuali hal-
hal untuk kepentingan anaknya.
e. Kewajiban suami pada ayat (2) diatas
berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
f. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya
nausyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah.

Modul 1
54
HUKUM PERKAWINAN
Materi 3
Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

Menurut UU Perkawinan Pasal 45 ayat (1)


disebutkan “kedua orangtua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya”. Ayat (2) menyebutkan: “kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antar kedua orang tua putus”.
Jadi secara rinci hak dan kewajiban orang
tua terhadap anak dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Memberikan perlindungan;
2. Memberikan pendidikan;
3. Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum
bagi yang umurnya delapan belas tahun
kebawah dan belum pernah kawin;
4.
Memberikan biaya pemeliharaan anak
walaupun kekuasaan orang tua telah dicabut.

Modul 1
55
HUKUM PERKAWINAN
Menurut pasal ini berarti orangtua
mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik
anak dengan sebaik-baiknya. Bila orang tua tidak
melaksanakannya atau orang tua berlaku buruk
terhadap anak, maka orangtua dapat dicabut
kekuasaannnya.
Apabila mereka dicabut kekuasaannya
maka akan timbul perwalian terhadap anak sesuai
dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang
Perkawinan, yaitu ayat (1): “Anak yang belum
mencapai umur delapan belas tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali”. Ayat (2), menyatakan:
“Perwalian itu mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya.”
Sedangkan mengenai pemeliharaan
kekayaan si anak diatur dalam Pasal 48 Undang-
undang Perkawinan yang menyebutkan:
“Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan
hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur
delapan belas tahun atau belum pernah

Modul 1
56
HUKUM PERKAWINAN
melangsungkan perkawinan, kecuali anak itu
menghendakinya.” Pasal ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap barang
tetap milik anak dari perbuatan orang tua yang
mungkin dapat merugikan anak tersebut.

Materi 4
Pergaulan yang Baik (Mu’asyarah bil Ma’ruf)

Salah satu tugas suami adalah


mempergauli istri dengan cara yang ma’ruf
(baik) atau mu’asyarah bil ma’ruf. Yang
dimaksud dengan “mu’asyarah bil ma’ruf”
adalah mempergauli istri dengan baik, tidak
menyakiti, tidak menangguhkan hak istri, serta
selalu menampakkan wajah manis dan ceria di
hadapan istri.
Mu’asyarah bil ma’ruf adalah bergaul secara
patut (baik). Secara istilah, kalimat ini bermakna
melakukan hubungan atau mempergauli istri
secara baik dan patut. Adapun maksud dari kata
mu’asyarah bil ma’ruf adalah perintah untuk
menggauli istri dengan baik yang dilakukan

Modul 1
57
HUKUM PERKAWINAN
oleh suami. Para ulama memahami kalimat ini
sebagai perintah untuk berbuat baik kepada istri
yang dicintai ataupun tidak, secara patut, tidak
memaksa, dan tidak menyakiti.
Mempergauli secara baik dan patut adalah
hak paling penting yang harus ditunaikan oleh
suami istri. Beliau menambahka bahwa ma’ruf
yang mereka lakukan harus sesuai dengan
adat kebiasaan masyarakat kebanyakan di
daerah dan tempat serta waktu seseorang.
Cara berkomunikasi antara suami dan istri harus
berdasarkan kebiasaan masyarakat yang bisa
diterima antara kaum muslimin. Perempuan
adalah amanah Allah yang ada di rumah seorang
suaminya, suami harus memenuhi segala
kebutuhan istrinya. Dan sebaik-baik seorang
mukmin adalah sebagaimana yang dijelaskan
pada sabda nabi: “Seorang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya dan yang paling baik di antara
kalian adalah yang paling baik sikapnya kepada
istrinya.”
Karena itu, dibutuhkan sikap toleransi

Modul 1
58
HUKUM PERKAWINAN
dan lapang dada untuk mempermudah peran
masing-masing suami dan istri dalam rumah
tangga dalam membentuk keluarga yang mulia.
Yang dimaksud dengan menggauli dengan
baik adalah: akhlak yang baik, lembut, bicara
pelan dan tidak kasar, mengakui kesalahan
dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah
melakukannya.
Adapun tujuan mu’asyarah yaitu agar
rumahtangga terjalin baik dan harmonis. Selain
itu juga melestarikan anak turunan, karena
anak turunan diharapkan dapat mengambil
alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah
tertanam didalam jiwa suami atau istri. Selain
itu juga melestarikan anak turunan, karena anak
turunan diharapkan dapat mengambil alih tugas,
perjuangan dan ide- ide yang pernah tertanam
di dalam jiwa suami atau istri. Tujuan mu’asyarah
lainnya adalah agar manusia dapat berkembang
biak mengisi bumi dan memakmurkannya.

Modul 1
59
HUKUM PERKAWINAN
Materi 5
Poligami

Poligami terdiri dari dua kata yaitu poli


(yang berarti banyak) dan gami (yang berarti
istri). Jadi poligami itu artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-
laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang
laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi
paling banyak empat orang.
Secara yuridis formal, poligami di Indonesia
diatur dalam:
1. Undang- undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,
2.
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan
3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi penganut
agama Islam.
UU Perkawinan Perkawinan menganut asas
monogami, poligami diperbolehkan di negara
Indonesia akan tetapi dengan persyaratan yang

Modul 1
60
HUKUM PERKAWINAN
begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan
dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu)
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan,
seorang pria hanya boleh memiliki seorang
istri, begitu juga sebaliknya seorang
perempuan hanya boleh memiliki seorang
suami.
2.
Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.
Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu)
Pasal ini hanya memberikan izin kepada

Modul 1
61
HUKUM PERKAWINAN
seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegas-
kan pula bahwa: untuk dapat mengajukan per-
mohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini
harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak- anak mereka.
d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1
huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak

Modul 1
62
HUKUM PERKAWINAN
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari hakim pengadilan.
Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-
undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan syarat alternatif yang harus dipenuhi.
Sedangkan Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan
syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin dari pengadilan.

Materi 6
Nafkah
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), nafkah adalah belanja untuk hidup;
uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal
hidup sehari-hari, rezeki. Dalam hal ini, nafkah
perkawinan adalah uang yang diberikan oleh
suami untuk belanja hidup keluarganya.

Modul 1
63
HUKUM PERKAWINAN
Pengaturan nafkah dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat
(2) dan ayat (4) KHI, yaitu bahwa suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan
penghasilannya, suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi
istri.
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak.
Sedangkan pengaturan nafkah dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan kita dapat melihatnya dalam Pasal
34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut
dikatakan bahwa suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Dalam pengaturan UU
Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah
yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai
dengan kemampuan si suami.

Modul 1
64
HUKUM PERKAWINAN
Lebih lanjut, dalam UU Perkawinan
dikatakan bahwa apabila suami atau istri
melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal
34 ayat (1) UU Perkawinan). Ini berarti apabila
suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan
hidup rumah tangganya, istri dapat menggugat
ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
(bergantung dari agama yang dianut oleh
pasangan suami istri tersebut).
Secara lebih rinci, nafkah rumah
tangga merupakan kewajiban suami
terhadap istri, kewajiban rumah tangga.
Nafkah terbagi menjadi dua, yaitu:

Nafkah lahir
Nafkah lahir itu terbagi tiga yaitu makan
dan minum, pakaian dan tempat tinggal (rumah).
Makan minum dalam fikih diambil ukurannya di
rumah orang tua sang Istri. Mengenai pakaian
sang istri menjadi kewajiban suami untuk
memberinya pakaian paling kurang dua stel
atau dua pakaian selama satu tahun. Mengenai

Modul 1
65
HUKUM PERKAWINAN
tempat tinggal, suami wajib menyediakan
tempat tinggal bagi istrinya dimana ada tempat
untuk tidur dan tempat makan tersendiri.
Tentang kewajiban suami untuk
menyediakan tempat tinggal, Kompilasi Hukum
Islam telah mengatur tersendiri dalam pasal 81
sebagai berikut:
a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman
bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri
yang masih dalam massa iddah.
b.
Tempat kediaman adalah tempat tinggal
yang layak untuk istri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam Iddah talak atau
Iddah wafat.
Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan
tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
Suami wajib melengkapi tempat kediaman

Modul 1
66
HUKUM PERKAWINAN
sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya,
baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.

Nafkah Batin
Nafkah batin ialah apabila suami
menggauli Istri secara seksual hingga terpenuhi
kebutuhannya. Yaitu suami menggauli istrinya
secara seksual hingga terpenuhi hajatnya. Dalam
bahasa ilmiah disebut hingga istrinya mencapai
orgasmus dari hubungan kelamin itu.
Dalam suatu perkawinan dan rumah tangga
sakinah, maka faktor pergaulan seksualitas ini
juga sangat mempengaruhi, harta kekayaan
yang melimpah ruah serta sikap yang demikian
memukau dan wajah yang elok bukanlah berarti
apabila salah seorang dari suami istri itu tidak
mampu memenuhi kebutuhan biologis.
Sebab-sebab wajibnya nafkah adalah
adanya akad nikah antara suami dan istri, dan
istri berada dalam kekuasaan suaminya, dan
suami berhak penuh untuk dirinya, serta istri

Modul 1
67
HUKUM PERKAWINAN
wajib taat kepada suaminya tinggal di rumah
suaminya, mengatur rumah tangga suaminya,
mengasuh anak suaminya dan sebagainya.
Maka agama menetapkan suami untuk
memberikan nafkah kepada istrinya selama
pernikahan berlangsung dan selama istri tidak
nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan
menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan
kaidah umum, yang mengakui bahwa orang yang
menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya
maka nafkahnya menjadi tanggungan orang
yang menguasainya.

Daftar Rujukan
Abu Zahrah, Muhammad, al-Ahwal al-
Syakhshiyyah, Qahirah: Dar al-Fikr, 1957.
al-Andalusiy, Abu al-Walid ibn Rusyd al-
Qurthubi, Bidayat al-Mujtahid fi al- Nihayat al-
Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
al-Jaziry, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh `ala
Madzahib al-Arba`ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa

Modul 1
68
HUKUM PERKAWINAN
adillatuhu, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984
At-Thahirah, Almira.
Kekerasan Rumah Tangga
Produk Kapitalisme (Kritik Atas Persoalan
KDRT). Bandung: UIN Carlson, 2006.
Departemen Hukum dan HAM. Undang-Undang
No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Jakarta: Eshlemen. Ross. 2004.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fikih Munakahat, Bogor:
Kencana, 2003
Lembaga Bantuan Hukum untuk Peremouan
dan Keadilan (LBH APIK) Jakarta.
Angka Kekerasan di Jakarta tahun 1998-2002.
Jakarta: LBH APIK. 2002.
Syarifuddi , Amir, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan,Jakarta:
Kencana’ 2006
Zastrow, Charles & Bowker, Lee. Social Problems:
Issues and Solutions, Chicago: Nelson-Hall.
(1984).

Modul 1
69
HUKUM PERKAWINAN
Modul 1
70
HUKUM PERKAWINAN
BAGIAN KETIGA :
Bagian Ketiga
Pasca Perkawinan
Materi 1
Pembatalan perkawinan

Di dalam Pasal 22 UU No. 1/1974 dinyatakan


dengan tegas: “Perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan.” Di dalam
penjelasan kata “dapat” dalam pasal ini bisa
diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
menurut ketentuan hukum agamanya masing-
masing tidak menentukan lain. Perkawinan
dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah
terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.
Ada kesan pembatalan perkawinan ini
terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan
baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang,
sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana

Modul 1
71
HUKUM PERKAWINAN
kendati setelah itu ditemukan pelanggaran
terhadap Undang-undang perkawinan atau
hukum munakahat. Jika ini terjadi maka
Pengadilan Agama dapat membatalkan
perkawinan tersebut atas permohonan pihak-
pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-
pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah para keluarga dalam garis
lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang
yang memiliki kepentingan langsung terhadap
perkawinan tersebut (Amir dan Azhari, 2006).
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
diatur dalam Pasal 37 dan 38 yang berbunyi:
“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh Pengadilan”.
Pasal 38: “(1). Permohonan pembatalan
suatu perkawinan diajukan oleh pihak- pihak
yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan atau di tempat
tinggal kedua suami istri, suami atau istri. (2).
Tata cara pengajuan permohonan pembatalan
perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara

Modul 1
72
HUKUM PERKAWINAN
pengajuan gugatan perceraian. (3). Hal-hal yang
berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan
Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara
tersebut dengan Pasal 20 sampai dengan Pasal
36 Peraturan Pemerintah ini”.

Faktor-faktor Pembatalan Perkawinan


Batalnya perkawinan bisa terjadi karena
tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, yaitu:
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa
istri merupakan saudara kandung atau
saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami istri masih kecil, dan diadakannya
akad nikah oleh selain ayah atau datuknya.
Setelah dewasa, ia berhak meneruskan ikatan
perkawinannya dahulu atau mengakhirinya.
Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika yang
dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal
ini disebut fasakh balig.
Selain itu, ada hal-hal lain yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungannya

Modul 1
73
HUKUM PERKAWINAN
perkawinan, yaitu:
a. Bila salah seorang dari suami istri murtad atau
keluar dari Islam dan tidak mau kembali sama
sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena
kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika yang suami tadinya kafir masuk Islam,
tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya
yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya
batal. Lain halnya kalau istri orang ahli kitab,
maka akadnya tetap sah seperti semula.
Sebab perkawinannya dengan ahli kitab
dari semulanya dipandang sah (Slamet dan
Aminuddin, 1999).

Akibat Pembatalan Perkawinan


Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda
dengan yang diakibatkan oleh talak. Pisahnya
suami istri karena fasakh tidak mengurangi
bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh
karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri
tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka
suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali
talak (Slamet dan Aminuddin, 1999).

Modul 1
74
HUKUM PERKAWINAN
Bila terjadi fasakh baik dalam bentuk
pelanggaran terhadap hukum perkawinan atau
terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan
melanjutkan perkawinan, terjadilah akibat
hukumnya. Khusus akibat hukum yang
ditimbulkan oleh putusnya perkawinan karena
fasakh itu adalah suami tidak boleh ruju’ kepada
mantan istrinya selama istrinya menjalani
masa iddah, oleh karena perceraian dalam
bentuk fasakh itu berstatus ba’in sughra (Amir
Syarifuddin, 2009).
Dengan demikian, dapat disebut bahwa
pembicaraan terkait pembatalan perkawinan
mengesankan bahwa perkawinan itu sebelumnya
telah berlangsung dan bisa jadi buah perkawinan
itu telah ada seperti anak dan harta bersama.
Undang-Undang Perkawinan Pasal 28 ayat 2
menjelaskan: “Keputusan tidak berlaku surut
terhadap: (a) anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut; (b) suami atau istri yang
bertindak dengan itikat baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan
didasarkan atas adanya perkawinan lain yang

Modul 1
75
HUKUM PERKAWINAN
lebih dahulu; dan (c) orang-orang ketiga
lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Materi 2
Putusnya ikatan perkawinan
Persoalan putusnya perkawinan diatur
dalam pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 38 yang disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena:
1. Kematian
Kematian atau ajal adalah akhir dari
kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme
biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya
akan mati secara permanen, baik karena
penyebab alami seperti penyakit atau karena
penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah
kematian, tubuh makhluk hidup mengalami
pembusukan.
2. Talak

Modul 1
76
HUKUM PERKAWINAN
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI).
Talak ada dua macam yaitu:
a. Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua,
dimana suami berhak rujuk selam istri dalam
masa iddah (pasal 188 KHI).
b. Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu:
1). Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak
boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam
masa iddah (pasal 119 KHI ayat (1) talak
ba’in sughra dapat dibagi menjadi:
• Talak yang terjdi qabla al-dukhul;
• Talak dengan tebusan atau khulu’;
• Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan
agama (pasal 119 KHI ayat 2).
2). Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi
untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak
dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah
kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas istri menikah

Modul 1
77
HUKUM PERKAWINAN
dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’da dukhul dan habis masa
iddah (pasal 120 KHI).
c. Talak sunni adalah talak yang dibolehkan,
yaitu talak yang dijatuhkan kepada seorang
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut (pasal 121 KHI).
d. Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu
talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci
tapi sitri dicampuri pada waktu suci tersebut
(pasal 122 KHI)

3. Khuluk
Khuluk adalah permintaan cerai yang
diajukan oleh istri kepada suami (melalui
pengadilan) dengan menyerahkan sebagian
harta miliknya sebagai bentuk (simbol) untuk
dirinya dari ikatan perkawainan.

Akibat Hukum Putusnya Perkawinan


Akibat yang muncul ketika putus ikatan

Modul 1
78
HUKUM PERKAWINAN
perkawinan antara seorang suami dengan
seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum,
baik yang tercantum dalam undang-undang
perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat
dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu:

Akibat talak
Ikatan perkawinan yang putus karena
suami mentalak istrinya mempunyai beberapa
akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI, yakni
sebagai berikut: Bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib:
a.)Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak
pada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali istri tersebut qabla al-dukhul.
b.) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat
tinggal dan pakaian) kepada istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
c.)Melunasi mahar yang masih terutang
seluruhnya dan separuh apabila qabla al-

Modul 1
79
HUKUM PERKAWINAN
dukhul.
d.)Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan
anak) untuk anak yang belum mencapai 21
tahun.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut
bersumber dari surat al-Baqarah ayat 235 dan
236 yang artinya sebagai berikut: “Dan tidak ada
dosa bagimu meminang perempuan-perempuan
itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada
mereka. Tetapi janganlah kamu membuat
perjanjian (untuk menikah) dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan
kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu
menetapkan akad nikah, sebelum habis masa
iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui
apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun”. Ayat berikutnya
menyebutkan yang artinya: “Tidak ada dosa
bagimu jika kamu menceraikan istri- istri kamu
yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum

Modul 1
80
HUKUM PERKAWINAN
kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
beri mereka mut’ah. Bagi yang mampu menurut
kemampuanya dan bagi yang tidak mampu
menurut kesanggupannya, yaitu pemberian
dengan cara yang patut, yang merupakan
kewajiban bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 235-236).

Akibat Cerai Gugat


Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat
suaminya untuk bercerai melalui pengadilan,
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan
gugatan yang dimaksud, sehingga putus
hubungan penggugat (istri) dengan tergugat
(suami) perkawinan. Cerai gugat berdasarkan
hadis Nabi Muhammad SAW: “seorang
perempuan berkata pada Rasulullah SAW: wahai
Rasulullah SAW. Saya yang mengandung anak
ini, air susuku yang diminumya, dan dibilikku
tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah
menceraikanku dan dia ingin memisahkannya
dariku” maka Rasulullah bersabda: “kamu lebih
berhak (memeliharanya) selama kamu tidak

Modul 1
81
HUKUM PERKAWINAN
menikah” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim
menshahihkanya)
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya
perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai
gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
a.
Anak yang belum mumayiz berhak
mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukan diganti oleh:
1. Perempuan-perempuan dalam garis lurus
keatas dari ibu
2. Ayah
3. Perempuan-perempuan dalam garis lurus
keatas ayah
4.
Saudara perempuan dari anak yang
bersangkutan
5.
Perempuan-perempuan dari kerabat
sedarah menrut garis samping ibu
6.
Perempuan-perempuan dari kerabat
sedarah menurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih
untuk mendapat hadanah dari ayah atau

Modul 1
82
HUKUM PERKAWINAN
ibunya.
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak
dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat
memindahkan hak hadanah kepada kerabat
lain yang memiliki hak hadanah pula.
d.
Semua biaya hadanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun).
e.
Bilamana terjadi perselisihan mengenai
hadanah dan nafkah anak, putusan hadanah
memberi putusanya berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat
kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut kepadanya.

Modul 1
83
HUKUM PERKAWINAN
Materi 3
Harta dalam perkawinan
UU Perkawinan telah membedakan harta
perkawinan atas “harta bersama”, “harta
bawaan” dan dan “harta perolehan” (Pasal 35).

Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa
masing-masing suami atau istri sebelum
terjadinya perkawinan. Misalnya, seorang
perempuan yang pada saat akan melangsungkan
perkawinan telah bekerja di sebuah perusahaan
selama empat tahun dan dari hasil kerjanya itu
ia mampu membeli mobil. Maka ketika terjadi
perkawinan, mobil tersebut merupakan harta
bawaan istri. Menurut UU Perkawinan harta
bawaan tersebut berada di bawah penguasaan
masing-masing suami dan istri. Masing-masing
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bawaannya tersebut. Namun meski demikian,
UU Perkawinan juga memberikan kesempatan
kepada suami istri untuk menentukan yang

Modul 1
84
HUKUM PERKAWINAN
lain, yaitu melepaskan hak atas harta bawaan
tersebut dari penguasaannya masing-masing
(misalnya: dimasukan ke dalam harta bersama).
Pengecualian ini tentunya harus dengan
perjanjian-perjanjian perkawinan.

Harta Bersama
Harta bersama berarti harta yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung, baik oleh
suami maupun istri. Harta bersama misalnya
gaji masing-masing suami dan istri, atau
pendapatan mereka dari usaha-usaha tertentu,
atau mungkin juga deviden dari saham yang
ditanam di sebuah perusahaan oleh salah satu
pihak. Harta bersama tersebut berada di dalam
kekauasaan suami dan istri secara bersama-
sama, sehingga penggunaannya harus dilakukan
dengan persetujuan kedua pihak.

Harta Perolehan
Harta perolehan adalah harta yang diperoleh
suami atau istri selama masa perkawinan yang
berupa hadiah atau hibah atau waris. Seperti

Modul 1
85
HUKUM PERKAWINAN
halnya harta bawaan, masing-masing suami dan
istri juga memiliki kekuasaan pribadi atas harta
perolehan tersebut. Masing-masing suami dan
istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta
yang diperolehnya dari hadiah, warisan, maupun
hibah. Pengecualian keadaan ini dapat diadakan
oleh suami istri dengan persetujuan masing-
masing melalui perjanjian perkawinan.

Harta Akibat Perceraian


Putusnya suatu perkawinan dapat terjadi
baik karena ‘kematian’, ‘putusan pengadilan’
maupun karena ‘perceraian’ (pasal 38 UU
Perkawinan). Dengan terjadinya kematian salah
satu pihak suami atau istri, maka otomatis
perkawinan mereka menjadi putus. Putusnya
perkawinan karena putusan pengadilan
dapat terjadi misalnya karena ada tuntutan ke
pengadilan dari pihak ketiga yang menghendaki
putusnya perkawinan tersebut, yaitu misalnya
pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang pasangan suami

Modul 1
86
HUKUM PERKAWINAN
istri, atau suami/istri yang masih terikat dengan
suatu perkawinan.
Putusnya perkawinan karena perceraian
dapat terjadi karena salah satu pihak
mengajukannya ke pengadilan. Jika suami yang
mengajukan perceraian maka pengajuan itu
disebut permohonan talak, sedangkan jika istri
yang mengajukan maka pengajuannya disebut
gugatan cerai. Menurut pasal 39 UU Perkawinan,
percerian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan. Perceraian itu diajukan dengan
alasan-alasan yang cukup, yaitu bahwa suami-
istri yang bersangkutan tidak dapat lagi hidup
rukun. Sebelum pengadilan menyidangkan
runtutan percerian, maka hakim wajib berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
Sebuah perceraian tentu saja menimbulkan
akibat terhadap harta kekayaan dalam
perkawinan, baik terhadap harta bawaan, harta
bersama, maupun harta perolehan berdasarkan
hukumnya masing-masing. Bagi orang
yang beragama Islam, pengaturan tersebut
dilakukan berdasarkan hukum Islam yang telah

Modul 1
87
HUKUM PERKAWINAN
diakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Secara umum, apabila tidak diadakan Perjanjian
Perkawinan terhadap harta perkawinan, maka
sebuah perceraian akan mengakibatkan:
1. Terhadap Harta Bersama
Harta bersama dibagi dua sama rata diantara
suami dan istri (gono-gini).
2. Terhadap Harta Bawaan
Harta bawaan menjadi hak masing-masing
istri dan suami yang membawanya kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
3. Terhadap Harta Perolehan
Harta perolehan menjadi hak masing-mas-
ing istri dan suami yang memperolehn-
ya, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.

Modul 1
88
HUKUM PERKAWINAN
Materi 4
Prosedur Perceraian
Dalam pernikahan, perceraian merupakan
suatu peristiwa yang kadang tidak dapat
dihindarkan oleh pasangan menikah, baik mereka
yang baru saja menikah atau mereka yang sudah
lama menikah. Perceraian merupakan salah
satu sebab putusnya ikatan perkawinan di luar
sebab lain yaitu kematian dan atau atas putusan
pengadilan seperti yang terdapat di dalam Pasal
38 UU Perkawinan. Dalam hal perceraian dapat
dilakukan dan diputuskan apabila memiliki
alasan-alasan, baik dari pihak suami maupun istri.
Saat berproses atau berperkara di
pengadilan, baik itu di Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri, sangat disarankan
pihak penggugat dan pihak tergugat dapat
didampingi oleh advokat (pengacara). Advokat
selain dapat mendampingi para pihak yang
beracara, ia juga dapat menjembatani dialog
antara para pihak yang akan bercerai terkait
dengan kesepakatan-kesepakatan, seperti harta
gono-gini, tunjangan hidup, hak asuh anak, dan

Modul 1
89
HUKUM PERKAWINAN
hal-hal penting lainnya.
Dasar hukum proses perceraian di Indonesia
adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Berdasarkan UU tersebut, dimungkinkan salah
satu pihak, yaitu suami atau istri melakukan
gugatan perceraian. Walaupun demikian, ada
pembeda antara warga negara Muslim dan non-
Muslim dalam hal perceraian.
Pasangan suami-istri Muslim dapat
bercerai dengan didahului oleh permohonan
talak oleh suami atau gugatan cerai oleh istri
yang didaftarkan pada pengadilan agama. Untuk
pasangan non-Muslim dapat bercerai dengan
mengajukan gugatan cerai (baik suami maupun
istri) melalui pengadilan negeri.

Perceraian Pasangan Muslim


Pasangan suami-istri beragama Islam
yang salah satunya berniat untuk bercerai harus
tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi

Modul 1
90
HUKUM PERKAWINAN
Hukum Islam.
Dengan demikian, dalam proses perceraian
berdasarkan KHI terdapat dua istilah yaitu
‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Pasal 116 KHI
menegaskan hal tersebut: “Putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapa
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.”
Berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU
Perkawinan dan PP 9/1975 diatur tentang cerai
talak yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan
pengadilan yang sesuai dengan hukum Islam.
Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di
hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
Seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada istrinya mengajukan permohonan
baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri
disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.

Modul 1
91
HUKUM PERKAWINAN
Mengacu pada UU Perkawinan, PP 9/1975,
dan KHI bahwa seorang suami Muslim yang telah
menikah secara Islam dan berniat menceraikan
istrinya, terlebih dahulu mengajukan surat
pemberitahuan tentang maksud menceraikan
istrinya diikuti dengan alasan-alasan. Surat
pemberitahuan tersebut disampaikan ke
Pengadilan Agama, tempat ia berdomisili.
Dengan demikian, sang suami meminta diadakan
sidang oleh Pengadilan Agama untuk maksud
tersebut.
Pengadilan Agama akan mempelajari
isi surat pemberitahuan tersebut dan dalam
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari akan
memanggil penggugat beserta istrinya guna
meminta penjelasan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan maksud perceraian
tersebut.
Hukum Negara Indonesia hanya mengakui
talak yang diucapkan suami di depan Pengadilan
Agama. Adapun talak yang diucapkan suami
di luar Pengadilan Agama hanya sah menurut
hukum agama. Di dalam artikel berjudul “Akibat

Modul 1
92
HUKUM PERKAWINAN
Hukum Talak di Luar Pengadilan” (Hukum
Online), Nasrulloh Nasution, S.H. menyatakan
bahwa cerai talak yang dilakukan suami di
luar Pengadilan Agama menyebabkan ikatan
perkawinan antara suami-istri tersebut belum
putus secara hukum sebagaimana diatur oleh
Negara.
Selain perceraian pasangan Muslim
hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan
Agama, Pasal 115 KHI juga menyebutkan
bahwa perceraian dapat dilakukan setelah
Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Tentang hal ini
dilakukan melalui mediasi oleh mediator yang
ditunjuk Pengadilan Agama.
Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya
dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat
dalam Pasal 132 ayat (1) KHI:
Gugatan perceraian diajukan oleh istri
atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang
daerah hukumnya mewilayai tempat tinggal
penggugat kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami. Gugatan perceraian

Modul 1
93
HUKUM PERKAWINAN
itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan
atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali
ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2)
KHI).

Perceraian Pasangan Non-muslim


Gugatan cerai pasangan non-Muslim dapat
dilakukan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan
Pasal 20 ayat (1) PP 9/1975 bahwa gugatan
perceraian diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Jadi, suami yang menggugat cerai istrinya harus
mengajukan permohonan ke pengadilan di
wilayah tempat tinggal istrinya saat itu. Namun,
jika tempat tinggal atau kediaman tergugat
tidak jelas dan tidak diketahui atau berpindah-
pindah, gugatan perceraian dapat diajukan ke
pengadilan di wilayah kediaman penggugat.

Syarat Perceraian
Perceraian adalah salah satu sebab
putusnya ikatan perkawinan yang diatur

Modul 1
94
HUKUM PERKAWINAN
oleh undang-undang yaitu UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 39 UU Perkawinan
menyebutkan
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3.
Tatacara perceraian di depan sidang
Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Baik pasangan Muslim maupun pasangan
non-Muslim wajib melakukan perceraian di
depan Pengadilan yaitu Pengadilan Agama
untuk pasangan Muslim dan Pengadilan Negeri
untuk Pasangan non-Muslim. Namun, ada
perbedaan syarat dan ketentuan perceraian
antara pasangan Muslim dan non-Muslim.
Pada Bab V Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 telah diatur tentang Tata Cara

Modul 1
95
HUKUM PERKAWINAN
Perceraian. Alasan perceraian sebagaimana
disebutkan dalam PP 9/1975 adalah sebagai
berikut.
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/
istri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

Modul 1
96
HUKUM PERKAWINAN
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

Syarat Administratif
Secara umum, syarat administrasi
umum yang harus dipenuhi penggugat untuk
mengajukan talak ataupun gugatan cerai, yaitu:
1. surat nikah asli;
2.
fotokopi surat nikah 2 (dua) lembar,
masing-masing dibubuhi materai, kemudian
dilegalisasi;
3. fotokopi kartu tanda penduduk (ktp) terbaru
penggugat;
4. fotokopi kartu keluarga (kk);
5. surat gugatan cerai sebanyak tujuh rangkap;
6. Menyiapkan saksi
7. panjar biaya perkara.
Sementara secara khusus, beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut:
1. surat keterangan tidak mampu dari kelurahan,
atau kartu BLT/BLSM atau Askin, jika ingin
berperkara secara prodeo (gratis/cuma-

Modul 1
97
HUKUM PERKAWINAN
cuma);
2. surat izin perceraian dari atasan bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS);
3. duplikat akta nikah, jika buku nikah hilang
atau rusak (dapat diminta di KUA);
4. fotokopi akta kelahiran anak dibubuhi materai,
jika disertai gugatan hak asuh anak.
5. Jika tidak bisa beracara karena sakit parah
atau harus berada di luar negeri selama
persidangan, penggugat dapat menggunakan
jasa advokat atau surat kuasa insidentil.
Hal-hal lain yang perlu diantisipasi untuk
perlengkapan persyaratan gugatan yaitu apabila
bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan
juga gugatan terhadap harta bersama. Untuk
itu, perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikan,
seperti sertifikat tanah (apabila atas nama
penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan
Kendaraan Bermotor)/STNK (Surat Tanda
Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor,
kuitansi, surat jual-beli, dan lain-lain atas nama
penggugat.

Modul 1
98
HUKUM PERKAWINAN
Pengajuan Gugatan
Perceraian termasuk perkara perdata yang
diawali dari adanya gugatan dari penggugat.
Menurut Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 Rbg)
disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke
vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang
mengandung sengketa dan lazimnya disebut
gugatan. Dalam hal ini gugatan tersebut dapat
diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR,
142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120
HIR, 144 ayat 1 Rbg).
Perceraian dan gugatan perceraian dalam
konteks hukum di Indonesia memiliki dasar
hukum yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
1975, dan Kompilasi Hukum Islam (khusus
mengatur perceraian pasangan Muslim).
Berdasarkan UU dan peraturan tersebut terdapat
tiga jenis gugatan perceraian, yaitu
1. Gugat talak dari seorang suami Muslim kepada
istrinya yang Muslim melalui Pengadilan
Agama;
2. Gugat cerai dari seorang istri Muslim kepada

Modul 1
99
HUKUM PERKAWINAN
suaminya yang Muslim melalui Pengadilan
Agama
3. Gugat cerai dari seorang suami/istri kepada
pasangannya melalui Pengadilan Negeri.

Materi 5
Hak Istri Pasca Perceraian
Seringkali ditemukan kondisi di mana suami
sebagai kepala rumah tangga tidak menafkahi
istri dan anak-anaknya, atau melakukan kekerasan
dalam rumah tangga istri. Dalam keadaan
seperti itu, seringkali sang istri mengajukan
permohonan cerai karena menganggap sang
suami tidak bertanggung jawab dan tidak
bersikap baik terhadap dirinya. Namun, apabila
perkawinan mereka telah terputus karena suatu
perceraian, maka istri yang dicerai masih berhak
menerima nafkah.
Nafkah merupakan suatu pemberian yang
diberikan oleh seseorang atau pihak yang berhak
menerimanya. Nafkah utama yang diberikan itu
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok

Modul 1
100
HUKUM PERKAWINAN
kehidupan, yakni makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Nafkah sudah menjadi ketetapan Allah
SWT atas para suami, dimana seorang suami
memberi nafkah kepada istrinya meskipun
telah bercerai dan masih dalam masa iddah.
Nafkah yang diwajibkan bagi suami antara lain
untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang
anak di bawah umur. Pemeliharaan tersebut
harus ditentukan menurut perbandingan
kebutuhan pihak yang berhak atas pemeliharaan
itu, disesuaikan dengan pendapatan dan
kemampuan pihak yang wajib membayar. Bila
suami atau istri yang melakukan perceraian
tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi
untuk biaya penghidupan, maka Pengadilan
akan menetapkan pembayaran tunjangan hidup
baginya dan harta pihak yang lain. Walaupun
sebuah perkawinan putus karena perceraian,
baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban
dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya.
Dalam hal ini, pengadilan dapat mewajibkan
kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu

Modul 1
101
HUKUM PERKAWINAN
kewajiban bagi mantan istri. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang
Perkawinan.
Jika perkawinan putus karena talak, maka
mantan suami wajib untuk memberikan mut`ah
yang layak kepada bekas istrinya (baik berupa
uang atau benda), kecuali mantan istri tersebut
qobla al dukhul alias belum disetubuhi. Selain itu,
mantan suami juga wajib untuk memberi nafkah,
maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil. Apabila suami belum melunasi mahar
yang masih terhutang seluruhnya, maka wajib
baginya untuk melunasi hutang mahar tersebut
setelah perceraian. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu,
menurut Pasal 156 KHI, semua biaya hadhanah
dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya, sekurang-
kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri yaitu berumur
21 tahun.

Modul 1
102
HUKUM PERKAWINAN
Jadi, terdapat tiga bentuk nafkah pasca
perceraian, yaitu: mut’ah, baik berupa uang
atau benda Memberi nafkah kepada istri selama
dalam masa iddah (nafkah iddah) Menanggung
semua biaya hadhanah dan nafkah anak sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri
sendiri (nafkah anak). Kewajiban memberi
nafkah masih berlaku sampai dengan terjadinya
perceraian sesudah jatuhnya talak, dengan
harapan dapat mengembalikan suami istri
menjadi pasangan seutuhnya kembali. Terdapat
pengecualian dalam pemberian nafkah, yaitu
dimana sang istri nusyuz, yaitu kondisi dimana
seorang perempuan bersikap durhaka yang
ditampakkannya di hadapan suami dengan jalan
tidak melaksanakan apa yang Allah wajibkan
padanya, yakni taat terhadap suami. Akibat
dari melakukan nusyuz adalah gugurnya hak
mendapatkan nafkah dari suami.

Modul 1
103
HUKUM PERKAWINAN
Materi 6
Iddah, Ihdad dan Rujuk

Islam, agama yang dianut oleh kebanyakan


orang Indonesia, mengenal yang namanya masa
iddah dalam perceraian. Masa iddah adalah
masa tunggu bagi janda setelah bercerai, baik
cerai hidup maupun cerai mati. Makna iddah
ialah dengan tenggang waktu tertentu untuk
meghilangkan bekas-bekas dari pernikahan
dahulu.
Masa iddah memiliki hikmah di antaranya
diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang
telah sempurna, untuk mengetahui apakah ada
tanda-tanda kehamilan di dalam rahim, agar
tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan
darinya, masa menunggu dan memutuskan
keturunan dari suami sebelumnya. Masa iddah
bervariasi jenisnya.
Adanya iddah dimaksudkan untuk:
1. Memberikan kesempatan kepada suami istri
untuk kembali kepada ke hidupan rumah
tangga, apabila keduanya masih melihat

Modul 1
104
HUKUM PERKAWINAN
adanya kebaikan di dalam hal itu.
2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau
tidak pada istri yang diceraikan. Untuk
selanjutnya memelihara jika terdapat bayi
di dalam kandungannya, agar menjadi jelas
siapa ayah dan bayi tersebut.
3.
Penghargaan terhadap hubungan suami-
istri, sehingga dia tidak langsung berpindah
kecuali setelah menunggu dan diakhirkan.
Seorang perempuan yang sedang dalam
masa iddah masih menjadi tanggungan suami.
Maka sang suami wajib memenuhi hak-hak
istrinya sampai masa iddahnya selesai, dan
berikut adalah hak-hak nya:
1. Istri yang menjalani masa iddah karena ditalak
raji’ (dapat dirujuk kembali) atau istrinya
terkena talak ba’in (tidak dapat rujuk kembali)
yang sedang hamil, apabila terjadi salah satu
hal tersebut maka ia berhak mendapatkan
tempat tinggal, pakaian, dan nafkah dari
suami yang menceraikannya selama masa
iddahnya.

Modul 1
105
HUKUM PERKAWINAN
2. Istri yang dalam masa iddah dikarenakan
suaminya wafat, maka ia hanya mendapat hak
waris, walaupun sedang hamil.
3. Perempuan yang dicerai dengan talak ba’in
(tidak dapat rujuk kembali) atau talak tebus
(khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak
tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
Masa iddah sudah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sebagai pijakan pengaturan
Hukum Islam di Indonesia. Berikut adalah
aturan mengenai masa iddah sebagaimana
yang dikenal di Indonesia.
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa
bagi seorang istri yang putus pernikahannya
tanpa sempat sebelumnya melakukan hubungan
suami istri dengan mantan suaminya dan
pernikahannya putus bukan karena kematian
suaminya, maka tak berlaku masa iddah. Artinya,
setelah terjadi perceraian, maka istri berhak
untuk langsung menikah lagi.

Modul 1
106
HUKUM PERKAWINAN
Sementara jika pernikahan tersebut putus
karena kematian suami, maka berlaku masa iddah
130 hari, meskipun belum pernah berhubungan
suami istri.
Lebih lanjut, masa iddah bagi seorang
janda menurut Pasal 153 Ayat (2) KHI adalah
sebagai berikut:
1. Apabila pernikahan putus karena perceraian,
masa iddah bagi janda yang masih haid
ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari. Dan bagi janda yang tidak
haid ditetapkan 90 hari.
2. Apabila pernikahan putus karena cerai mati
atau cerai hidup, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
3. Sementara masa iddah bagi istri yang pernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah
tidak haid karena menyusui, maka iddahnya
tiga kali waktu haid.
4. Apabila istri ditalak satu atau talak dua oleh
suami lalu suaminya meninggal, maka masa

Modul 1
107
HUKUM PERKAWINAN
iddahnya menjadi empat bulan sepuluh hari
setelah suaminya meninggal dunia.
Bagi perkawinan yang putus karena
cerai hidup, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
cerai mati, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak kematian suami.
Di masa iddah, ada nafkah yang wajib
diberikan kepada istri oleh mantan suami jika
perceraian terjadi karena talak, yaitu nafkah iddah.
Besarnya nafkah yang dikeluarkan disesuaikan
oleh Hakim dengan kemampuan suami. Menurut
Imam Syafi’i, suami wajib memberi nafkah pasca
perceraian sampai masa iddah untuk talak
raj’i, sedangkan untuk talak ba’in tidak wajib
dengan alasan sesudah talak ada hubungan
seksual (rujuk). Jika perceraian terjadi karena
pihak istri mengajukan gugatan cerai ke suami,
maka sang suami tidak berkewajiban untuk
memberikan nafkah kepada istri. Khusus untuk
yang beragama Islam, mantan istri berhak untuk

Modul 1
108
HUKUM PERKAWINAN
mendapatkan mut’ah dari mantan suami, yaitu
hadiah yang diberi suami kepada istri sebagai
kenang-kenangan. Banyak ditemukan kasus
dimana suami tidak memenuhi kewajibannya
selama masa iddah, pembagian harta gono gini,
melunasi mahar yang belum dituntaskan dan
memberi hadhanah terhadap anak-anaknya. Hal
ini terjadi karena minimnya kesadaran hukum
pada masing-masing pihak, sehingga seringkali
suami atau mantan suami lengah dalam
memenuhi kewajibannya walaupun sudah terjadi
perceraian antara dirinya dan istrinya.

Ihdad
Ihdad adalah meninggalkan perhiasan dan
wangi-wangian di waktu tertentu. Bila dikatakan
seorang istri berihdad atas kematian suaminya,
maknanya si istri yang sedang menjalani masa
ihdad karena meninggalnya suaminya, menahan
diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya
baik berupa make-up, wewangian (parfum),
dan selainnya serta segala hal yang menjadi
pendorong untuk melakukan jima’.

Modul 1
109
HUKUM PERKAWINAN
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani
seorang istri selama empat bulan sepuluh hari.
Adapun selain kematian suami, baik kematian
ayah, ibu saudara laki- laki, anak dan sebagainya,
maka haram hukumnya bila melebihi tiga hari.
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul
walad (budak perempuan yang telah melahirkan
anak untuk tuannya), tidak pula bagi budak
perempuan yang tuannya meninggal8. Demikian
juga istri yang ditalak raj’i (talak satu dan dua atau
talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya).
Adapun terhadap istri yang ditalak tiga
(talak ba’in), ‘Atha`, Rabi’ah, Malik, al- Laits,
Syafi’i, dan Ibnul Mundzir berpendapat tidak ada
ihdad baginya. Mereka berdalil dengan sabda
Rasulullah dan mengkhususkan kebolehan
berihdad disebabkan kematian seseorang
setelah mengharamkannya, bila bukan karena
kematian. Al-Qadhi berkata: “Wajibnya ihdad
bagi perempuan yang meninggal suaminya
diketahui dari kesepakatan ulama yang
membawa hadits tentang ihdad kepada hukum
wajib. Walaupun dalam lafal hadits tersebut

Modul 1
110
HUKUM PERKAWINAN
tidak ada yang menunjukkan wajibnya, akan
tetapi mereka sepakat membawa hadits tersebut
kepada hukum wajib (al-Minhaj, 9/351-352).
Lamanya masa ihdad adalah selama masa
‘iddah seorang perempuan yang ditinggal
mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari
sebagaimana ditunjukkan dalam hadis di atas.
Jika si istri dalam keadaan hamil, maka masa
iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan
kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat
sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya
saat itu telah berakhir dan halal baginya untuk
menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari
kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat yang
artinya: “Dan istri-istri yang sedang hamil waktu
iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (QS al-Thalaq: 4).
Sepanjang masa iddahnya, si istri
harus berihdad hingga selesai melahirkan
kandungannya, sama saja baik masanya pendek
atau panjang. Bila ia telah melahirkan maka tidak
ada ihdad setelahnya.
Masa iddah disertai ihdad yang harus

Modul 1
111
HUKUM PERKAWINAN
dijalani seorang istri yang ditinggal mati suami ini
terhitung masa yang pendek bila dibandingkan
dengan keadaan perempuan di masa jahiliahnya
bangsa Arab. Dalam al-Quran disebutkan yang
artinya: “Dan orang-orang yang meninggal dunia
di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri,
hendaklah para istri itu menangguhkan diri
mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh
hari …” (Al-Baqarah: 234).

Rujuk
Asal hukum rujuk adalah mubah atau jaiz,
yang berarti dibolehkan. Namun, hukum rujuk
dapat berkembang tergantung pada situasi
suami-istri tersebut. Hukum rujuk menjadi
wajib, khusus untuk laki-laki yang memiliki istri
lebih dari satu dan jika pernyataan talaknya jatuh
sebelum dirinya menyelesaikan hak-hak istrinya.
Kalau belum selesai, suami wajib mengajak istri
rujukan kembali.
Merujuk menjadi sunah hukumnya jika
bersatu kembali lebih bermanfaat daripada
meneruskan proses perceraian. Namun akan

Modul 1
112
HUKUM PERKAWINAN
menjadi makruh jika berpisah lebih baik daripada
bersama kembali. Hukum rujuk dapat menjadi
haram jika bersama kembali dalam pernikahan
justru membuat istri semakin menderita.
Syarat rujuk dari sisi istri adalah istri yang
telah ditalak pernah melakukan hubungan
seksual dengan sang suami. Jika suami menalak
istri yang belum pernah melakukan hubungan
seksual bersama, ia nggak berhak mengajak
rujukan. Hal ini sudah merupakan kesepakatan
para ulama. Syarat rujuk dari sisi suami adalah
ia nggak boleh merasa terpaksa kala mengajak
rujuk istrinya, berakal sehat, dan sudah akil
baligh atau dewasa. Talak yang jatuh bukanlah
talak tiga, melainkan talak raj’i. Talak yang
terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, istri
menjadi talak bain (talak yang dijatuhkan suami
pada istrinya yang telah habis masa iddah-nya)
dan suami nggak dapat mengajak istrinya untuk
rujukan.
Rujuk dilakukan pada masa iddah atau
masa menunggu istri. Jika sudah lewat masa
iddah, suami nggak dapat mengajak istri untuk

Modul 1
113
HUKUM PERKAWINAN
rujuk kembali dan ini sudah menjadi kesepakatan
para ulama fikih. Adanya ucapan jelas atau
tersirat untuk mengajak rujukan Adanya
saksi yang menyaksikan suami dan istri rujuk
kembali. Sebagaimana firman Allah swt yang
berbunyi: “Maka bila mereka telah mendekati
akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada)
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.” (Q.S. at-Talaq: 2).
Pada dasarnya, jika perceraian tersebut
terjadi karena talak satu, ada 2 (dua) cara yang
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
ingin rujuk kembali, yaitu dengan cara rujuk
kembali (sebagaimana terdapat dalam Pasal 118
KHI) atau bisa dengan kawin kembali.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan dalam
Pasal 118 KHI dan Pasal 163 KHI, dalam hal talak
raj’i (talak kesatu atau kedua), suami berhak
rujuk selama istri dalam masa iddah. Ini berarti
bahwa rujuk hanya dapat dilakukan dalam masa

Modul 1
114
HUKUM PERKAWINAN
iddah.
Pasal 118 KHI: “Talak raj’i adalah talak kesatu
atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah.”
Pasal 163 KHI:
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang
dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali
talak yang telah jatuh tiga kali, atau talak
yang dijatuhkan qabla al-dukhul (belum
berjimak).
b. putusnya perkawinan berdasar putusan
Pengadilan dengan alasan atau alasan-
alasan selain zina dan khuluk.
Mengenai masa iddah atau masa tunggu
dalam hal terjadi perceraian, dapat dilihat jangka
waktunya dalam Pasal 153 ayat (2) KHI:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian,
walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian

Modul 1
115
HUKUM PERKAWINAN
waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan
3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak
haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian,
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Jika perceraian tersebut telah berjalan
selama 1 (satu) tahun, maka si istri sudah tidak
berada dalam masa iddah lagi. Cara yang dapat
digunakan jika ingin rujuk kembali adalah dengan
menikah lagi dengan mantan istri tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sayuti Thalib,
jika masa tertentu atau iddah telah habis, maka
suami yang tadinya diperbolehkan rujuk,
sekarang tidak dapat rujuk lagi. Sungguh pun
demikian masih terbuka kemungkinan hidup
bersuami istri lagi dengan cara-cara biasa kawin
kembali (Sayuthi Thalib, 1982).

Modul 1
116
HUKUM PERKAWINAN
Lebih lanjut, Sayuti Thalib menjelaskan
bahwa arti kawin kembali ialah kedua bekas
suami istri memenuhi ketentuan sama seperti
perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi,
dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka
menjadi suami istri kembali.

Daftar Rujukan
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan tentang Perkawinan, Jakarta:
Akademika Pressindo, 1986.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, Jakarta:
Kencana, 2009.
Imam al-Nawawi, Al-Minhaj bi Syarh Shahih
Muslim, Mesir: Dar al-Aqidah, 1996.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum
Kaharudin, Nilai-nilai Filosofi Perkawinan
Menurut Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974

Modul 1
117
HUKUM PERKAWINAN
Tentang Perkawinan, Jakarta: Mitra Wacana,
2015.
Kementerian Agama RI, Modul Keluarga Sakinah
Berperspektif Kesetaraan bagi Penghulu,
Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,
Jakarta:UI Press, 1982.
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat
II, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Sudarsono,
Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Modul 1
118
HUKUM PERKAWINAN
Tentang
Penyusun

Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA


adalah Deputi Pengembangan Pemuda
Kemenpora RI sejak November 2017. Sebelumnya
Ni’am menjadi Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) periode 2011-2017 Ia juga
menjabat sebagai Sekretaris Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia periode 2015-2020.
Aktivis muda NU ini dikenal sebagai Ulama dan
Akademisi. Ia tercatat sebagai Staf pengajar
Fakultas Syari’ah dan Hukum di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga
mendapat amanah sebagai Katib Syuriyah PBNU
masa khidmat 2015-2020

Dr. Jaswadi, M. Si
Kabid Organisasi Kemahasiswaan pada Asdep
Keorganisasian dan Pengawasan Kepramukaan
pada Deputi Pengembangan Pemuda

Modul 1
119
HUKUM PERKAWINAN
Kemenpora Jakarta. Di samping tugas di
Kemenpora beliau juga aktif dalam organisasi
kepemudaan sebagai Ketua Umum Forum
Doktor Muda Indonesia (FDMI), Pengurus pada
Koperasi Pariwisata RI (KOPARRI) bidang
Kepemudaan dan Pengurus Koperasi Nasional
RI ( KOPNAS RI). Menamatkan D3 Pada Jurusan
Ekonomi Perpajakan Unsyiah. Menyelesaikan S1
pada Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry Banda
Aceh dan S2 bidang Ilmu Kebijakan Publik di
Unpad Bandung dan S3 bidang Ilmu Administrasi
Publik di Unpad Bandung. Memiliki hobi olah
raga terutama badminton yang mempunyai
motto hidup “berpikir dan bekerja cerdas”

Reza Indragiri Amriel, M. Crim


Ketua Delegasi Indonesia pada Program
Pertukaran Pemuda Indonesia Australia (1995-
1996) ini ditunjuk oleh Kemenpora sebagai
Anggota Tim Asistensi pemilihan Kabupaten/
Kota Layak Pemuda 2019 serta assessor pada
sejumlah program internal dan eksternal

Modul 1
120
HUKUM PERKAWINAN
Kemenpora. Lebih nyaman mengidentifikasi
dirinya sebagai Pembelajar Psikologi Forensik,
Reza juga merupakan konsultan sejumlah
lembaga nasional dan internasional serta
menerima penghargaan dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia terkait kontribusinya di
bidang perlindungan anak. Reza adalah Ketua
Bidang Pemantauan dan Kajian di Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia, sekaligus Anggota
Dewan Pembina di Yayasan Lentera Anak. Pada
satu sisi, terlahir sebagai Gen X, Reza menyambut
fajar dengan rutin (baca: ikhlas!) menyiapkan
sarapan dan perlengkapan sekolah bagi anak-
anaknya, plus mencuci piring dan gelas kotor.
Pada sisi lain, ayah yang bangga dengan kelima
putra-putrinya ini justru mempunyai mindset
dan pola kerja ala Gen Z. Itu tercermin pada
rangkuman profesional dirinya: “I hate office
building. But smartphone is my headquarter.”
Sebut saja dia sebagai kaum milenial yang ingin
terus mencari ilmu sembari menyebut nama
Tuhannya.

Modul 1
121
HUKUM PERKAWINAN
Rita Pranawati, S.S., M.A
adalah wakil ketua KPAI dan Komisioner Bidang
Keluarga dan Pengasuhan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Periode 2014-2017 dan
periode 2017-2022. Rita menamatkan dua
masternya dari Interdisciplinary Islamic Studies
(IIS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sosiologi
Monash University Australia. Saat ini ia merupakan
dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Rita
juga aktif menjadi koordinator Divisi Perundang-
Undangan dan Sosialisasi Majelis Hukum dan HAM
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan wakil ketua Majelis
Pelayanan Sosial Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Periode 2015-2020. Selain itu, Rita juga merupakan
peneliti pada Center for the Study of Religion and
Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia menjadi peneliti, fasilitator, sekaligus menjadi
penulis untuk berbagai buku pada isu Islam, HAM,
demokrasi, perdamaian. Sejak belia ia malang
melintang sebagai aktivis maupun peneliti pada isu
perempuan dan anak. Ia dapat dihubungi melalui
pranawati_rita2000@yahoo.com

Modul 1
122
HUKUM PERKAWINAN
Khaeron Sirin, M. A
adalah dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (Fidkom) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan
di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
sementara gelar masternya diraih di dua
perguruan tinggi, yaitu Pascasarjana UIN Jakarta
konsentrasi Hukum Islam dan Universitas
Perpignan Via Domitia Perancis konsentrasi
Hukum Perbandingan. Selain mengajar, ia juga
aktif melakukan penelitian dan pengabdian
di masyarakat sebagai bagian dari tugas
Tridharma Perguruan Tinggi, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Saat ini, ia juga
aktif menulis dan menyunting buku-buku sosial
keagamaan

Rosdiana, MA
Dosen dalam bidang hukum perkawinan
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di samping kesibukan
mengajar beliau juga sebagai peneliti.

Modul 1
123
HUKUM PERKAWINAN
Menamatkan S1 Pada Jurusan Peradilan Agama
Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan menyelesaikan S2 Program Studi Pengkajian
Islam Konsentrasi Syariah pada Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan S3 Pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Program Studi Pengkajian
Islam Konsentrasi Hukum Islam. Wanita yang
hobi membaca ini pernah menjabat sebagai
Sekretaris Program Studi Ahwal al-Shakhsiyah
tahun 2010-2014 dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah tahun 2014-2015. Kandidat DR
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga pernah
menjadi Koordinator Gender pada Pusat Studi
Gender dan Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta aktif di beberapa organisasi
Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) dan sebagai
Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan
dan Sarjana Syariah Indonesia (MPN HISSI) serta
sebagai Koordinator kualitas hidup perempuan
pada FORKOMNAS KPPPA (Forum Komunikasi
Nasional Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak)

Modul 1
124
HUKUM PERKAWINAN
Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H
Menyelesaikan Sarjana Syariah di FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, kemudian memperoleh
Sarjana Hukum di Kampus yang sama. Lulus
dari FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ia
menyelesaikan pendidikan Magister Hukum di
Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta. Saat ini aktif sebagai Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan
Legislasi Nasional (POSKOLEGNAS) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sebagai Penyuluh
Antikorupsi Pratama KPK RI. Selain itu, ia
juga aktif sebagai editor di beberapa terbitan
berkala ilmiah yaitu: Jurnal Cita Hukum, Ahkam:
Jurnal Ilmu Syariah, dan Salam: Jurnal Sosial
dan Budaya Syar-i. Karya ilmiah yang pernah
diterbitkan di antaranya: “Penerapan Asas
Equality Before The Law dalam Sistem Peradilan
Militer” (Jurnal Cita Hukum Volume 1 No. 2
Desember 2013); “Pengadilan Khusus KDRT:
Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana
Terpadu Penangan Kasus Kekerasan Terhadap

Modul 1
125
HUKUM PERKAWINAN
Perempuan” (Jurnal Cita Hukum Volume 2 No.
2 Desember 2014); “Ta’dib dalam Kacamata
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT)” (Mizan: Jurnal Ilmu Syariah Vol 2 No.
2 Desember 2014); Buku: Mengenang 70 Tahun
Hakim Agung Indonesia “Benteng Keadilan, Cita,
Dedikasi dan Pengabdian”, Mahkamah Agung,
2015; Inkonstitusional Perppu Hukuman Kebiri
(Tangsel Pos 2016); Independensi Hakim Ad-
Hoc Pada Peradilan Hubungan Industrial (Jurnal
Hukum Peradilan No 2 2017); Buku: Gagasan
Pengadilan Khusus KDRT (Depublish, Yogyakarta
2017); Tindak Pidana Ujaran Kebencian Di Media
Sosial, (Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i
Vol 4 No. 3 2017); Penyelesaian Satu Atap
Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi,
(Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 5
No. 3 2018); dan Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Sebagai Kurir Narkotika, (Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar-i Vol 5 No. 3 2018).

Modul 1
126
HUKUM PERKAWINAN

Anda mungkin juga menyukai