Anda di halaman 1dari 28

MENULIS ESAI BERLITERASI

DI TENGAH PANDEMI
COVID-19
Oleh : Cucu Agus Hidayat

Pelatihan
Guru Menulis
SMAN 9
Depok Jabar

Pelatihan Guru Menulis


SMA Negeri 9 Depok
2020
MENULIS ESAI
Oleh: Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd.

A. Pengertian Esai
Di dalam KBBI (1990:236), esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah sepintas
lalu dari sudut pandang penulisnya. Secara umum, esai adalah tulisan prosais yang menyajikan gagasan,
pendapat, atau pandangan yang bersifat subjektif dan personal tentang suatu masalah aktual, penting,
perlu, dan menarik perhatian berdasarkan sudut pandang pribadi penulisnya dengan mengutamakan
ketajaman interpretasi, refleksi, analisis; kedalaman uraian; dan kekuatan argumentasi dengan dukungan
data atau fakta yang diakhiri simpulan. Dengan demikian, kata kunci dari pengertian esai ialah tulisan
berbentuk prosa; berisi pendapat atau gagasan pribadi penulis; berisi tentang suatu permasalahan aktual,
menarik, penting atau perlu disampaikan; ditulis berdasarkan sudut pandang penulis; memiliki ketajaman
analisis, kedalaman uraian, dan kekuatan argumentasi.
Sebuah esai ditulis secara padat dan kompak sebagai suatu pandangan, pendirian, penilaian atau
evaluasi penulis terhadap suatu permasalahan untuk kemudian diambil suatu simpulan. Di dalam esai
perlu disertakan fakta atau fenomena yang dibahas atau dikritisi. Esai ditulis dengan tujuan meyakinkan
pembaca agar percaya atau memahami pendapat, pendirian, atau penilaian penulis terhadap topik yang
ditulis. Dengan tujuan tersebut, pendapat yang disampaikan di dalam esai hendaknya ditunjang atau
diperkuat dengan data, fakta, rujukan, agar pembaca memperoleh keyakinan terhadap uraian penulis.

B. Ciri-ciri Esai
Berdasarkan uraian di muka, suatu karya tulis dapat digolongkan ke dalam bentuk esai, apabila
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tulisan dalam bentuk paparan (prosa) yang diwujudkan dalam sejumlah kalimat dan paragraf, bukan
prosa fiksi dan bukan puisi prosais.
2. Tulisan yang tidak terlalu panjang, relatif ringkas, dapat dibaca dalam waktu singkat, tetapi padat,
kompak, dan sistematis.
3. Tulisan yang membahas atau mengkaji suatu permasalahan yang hangat (aktual), penting atau perlu,
menarik untuk dibahas.
4. Tulisan personal dan subjektif dengan gaya atau nada pribadi yang khas berisi pendapat, pandangan,
pikiran, pendirian, sikap penulis tentang suatu permasalahan dengan ditunjang data dan fakta serta
memiliki kekuatan ide, interpretasi, analisis, argumentasi, refleksi, dan konklusi.
5. Tulisan yang disusun secara sistematis dan secara tersirat mengandung tiga struktur umum, yaitu:
pendahuluan/pengantar, isi uraian, dan simpulan/penutup.

C. Sifat dan Tipe Esai


Berdasarkan sifatnya, esai dapat digolongkan menjadi dua, yaitu esai formal dan esai informal
(esai personal/pribadi/esai familiar). Esai formal ditulis dengan bahasa formal yang baku atau resmi,
mengikuti aturan-aturan penulisan yang baku, dan sangat mementingkan unsur pemikiran dan analisis.
Pada esai formal, penulis secara serius menggarap pokok masalah yang penting dan ditandai oleh

1
pembatasan struktural yang agak ketat yang biasanya ditulis untuk memberitahukan atau menyampaikan
sesuatu kepada pembaca. Kelebihan esai formal antara lain ialah segala sesuatunya serba lugas, setia pada
fakta (objektif), sistematis, dan logis.
Sementara itu, esai informal ditulis dengan nada pribadi, gaya pengungkapan yang lebih bebas
atau leluasa, tidak hanya melibatkan pemikiran, tetapi juga perasaan subjektif penulisnya sehingga lebih
segar, hidup, dan menarik. Nada dan gaya ungkap personal membuat esai informal cenderung lebih bebas
dalam struktur dibanding esai formal. Nadanya biasanya santai, riang, ramah, agak menggelitik, agak
satiris, menyindir, membangkitkan kegembiraan, dan bersifat percakapan atau dialogis. Karena esai
pribadi mengungkapkan sikap atau kesan penulis tentang suatu topik, maka pada umumnya ditulis dengan
gaya orang pertama. Bagaimana pun, sebuah esai (formal maupun informal) yang baik adalah esai yang
terorganisir dengan rapi dan baik sehingga mudah dan enak dibaca serta memberikan kejelasan, inspirasi,
dan imajinasi.
Berdasarkan cara mengupas suatu fakta atau peruntukannya, tulisan esai terdiri atas beberapa
genre, yaitu : esai deskripsi, esai eksposisi, esai argumentasi, esai narasi, esai eksplanasi, esai diskusi, esai
prosedur, esai review, esai spoof, esai recount, esai anekdot, dan esai new item.
1. Esai deskripsi, yaitu esai yang berisi penggambaran suatu fakta seperti apa adanya, tanpa ada
kecenderungan penulisnya untuk menjelaskan atau menafsirkan fakta. Esai ini bertujuan memotret
dan menyampaikan apa yang diketahui oleh penulisnya tanpa usaha komentar terhadapnya.
2. Esai eksposisi, yaitu esai yang menjelaskan fakta selengkap mungkin atau menyodorkan pendapat,
ide, pandangan penulis akan suatu perkara, topik, permasalahan, atau fenomena. Dalam esai ini
penulis tidak hanya menggambarkan fakta, tetapi juga menjelaskan rangkaian sebab-akibatnya,
kegunaannya, cacat-tidaknya dari sudut pandang tertentu.
3. Esai argumentasi, yaitu yang bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga menunjukkan
permasalahannya dan kemudian menganalisisnya dengan argument yang kuat serta mengambil
kesimpulan daripadanya. Esai ini bertujuan memecahkan suatu masalah yang berakhir dengan
kesimpulan penulisnya.
4. Esai narasi, yaitu esai yang menggambarkan sesuatu fakta dalam bentuk urutan yang kronologis
dalam bentuk cerita. Misalnya, esai tentang kisah kunjungan dan pertemuan para pegiat literasi dalam
berkarya, cerita atau kisah nyata yang dibumbui imajinasi, dan lain-lain. Esai ini umumnya memiliki
struktur orientasi, komplikasi, resolusi, reorientasi, dan koda.
5. Esai report, yaitu esai yang mengupas hasil pengamatan, penelaahan, penelitian, observasi, atau studi
tentang benda, binatang, orang, atau tempat. Partisipan pada esai report cenderung general. Data
yang tersaji umumnya berupa simpulan umum akan karakteristik, ciri, dan atau keberadaan dan
keadaan partisipan. Tujuan esai report adalah untuk menggambarkan partisipan apa adanya. Bila
menyoroti benda, maka disoroti fungsi benda tersebut. Esai ini memiliki struktur pernyataan umum,
deskripsi, dan generalisasi.
6. Esai eksplanasi, yaitu esai yang bertujuan menerangkan proses sesuatu ada/terbentuk, atau
membahas suatu teori, paham, fenomena, definsi, ideologi, dan hal yang bertalian dengan fenomena
alam. Esai jenis ini juga bisa digunakan untuk menggambarkan atau menerangkan fungsi dari suatu
hal, benda, alat, dan lain-lain. Esai eksplanasi memiliki struktur pernyataan umum dan penjelasan
proses.

2
7.Esai diskusi, yaitu esai yang bertujuan menyodorkan dua atau lebih
pendapat/ide/pandangan/argumen akan sesuatu perkara/topik/permasalahan/fenomena. Lazimnya,
esai diskusi menyuguhkan dua atau lebih perspektif yang berbeda akan suatu persoalan. Esai jenis ini
biasanya memiliki struktur isu, argumen, dan konklusi/rekomendasi.
8. Esai prosedur, yaitu esai yang bertujuan memberi petunjuk tentang langkahlangkah/metode/cara-
cara melakukan sesuatu. Esai prosedur sering disebut esai directory yang memiliki struktur tujuan,
bahan/materi, serangkaian langkah.
9. Esai review, yaitu esai yang bertujuan memberi ulasan tentang suatu karya, seperti : film, musik, buku,
pameran, pertunjukan, dan sejenisnya. Dalam esai ini umumnya disajikan kritik atau apresiasi akan
karya tersebut. Esai review boleh menyodorkan paparan/ulasan, telaahan, pendapat, perbandingan
pendapat, saran, dan usul. Esensi esai ini adalah mengupas suatu karya dengan struktur orientasi,
interpretasi, evaluasi, summary.
10. Esai spoof pada dasarnya sama dengan esai naratif, yakni jenis esai yang bercerita atau mengisahkan
sesuatu untuk menghibur pembaca. Namun, dalam esai spoof ditambah dengan unsur joke, lelucon,
humor di luar dugaan. Struktur esai spoof ialah orientasi, event, twist.
11. Esai recount merupakan jenis esai yang kontennya melaporkan peristiwa, kejadian, atau kegiatan yang
menimpa seseorang atau berupa pengalaman seseorang. Tujuan esai recount adalah untuk
memberitahukan atau hiburan. Esai recount umumnya memiliki struktur orientasi, event, reorientasi,
komentar pribadi.
12. Esai anekdot pada dasarnya mirip dengan esai recount, yakni jenis esai yang kontennya melaporkan
peristiwa, kejadian, atau kegiatan yang menimpa seseorang, atau berupa pengalaman seseorang.
Namun, dalam esai anekdot diakhiri hal-hal lucu atau plesetan. Tujuan esai anekdot adalah berbagi
pengalaman lucu dan aneh. Struktur esai ini umumnya adalah oreintasi, event, krisis, reaksi, koda,
reorientasi.
13. Esai new item merupakan esai yang kontennya memberitakan peristiwa atau kejadian yang dipandang
layak diketahui public atau bermuatan berita. Esai ini lazimnya diawali dengan kejadian/peristiwa dan
diikuti nama media pelapornya, baru kemudian paparan/informasi peristiwa, kejadian, atau aktivitas.
Tujuan esai ini adalah agar publik mengetahui akan suatu peristiwa penting. Esai ini memiliki struktur
kejadian inti, latar belakang kejadian, komentar/pendapat saksi dan ahli, dan pemunculan masalah.

D. Struktur Esai
Struktur mengacu pada pola penataan susunan isi yang tertata secara sistematis. Sebuah tulisan
dikatakan mempuyai struktur, bila tulisan itu terdiri atas bagian-bagian yang secara fungsional
berhubungan satu sama lain. Esai sebagai genre tulisan, dalam tipe apa pun mengandung tiga
bagian/unsur struktur, yaitu bagian awal (a beginning) atau bagian pembuka/pengantar/pendahuluan
(introductory), bagian tengah (a midle) atau isi tulisan (body), dan bagian akhir (ending), atau
penutup/simpulan (concluding). Secara sederhana, dalam tulisan esai, ada bagian pendahuluan yang
berfungsi mengawali tulisan, ada bagian isi yang berfungsi mengembangkan tulisan, dan ada bagian
penutup yang berfungsi mengakhiri tulisan.
Sebagai analogi, struktur esai dapat disandingkan atau dianalogikan dengan pola pikir penataan
paragraf. Dalam sebuah paragraf terdapat tiga kompenen utama, yaitu kalimat pokok/utama, kalimat-
kalimat pengembang/penjelas, dan kalimat penegas. Demikian pula dengan struktur esai. Dalam sebuah

3
esai terdapat paragraf pembuka/pengantar/pendahuluan (introductory paragraph), paragraf-paragraf isi
(body paragraphs), dan paragraf penutup (concluding paragraph). Setiap bagian dalam struktur esai
memiliki fungsi, motif, dan tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap penulis, sehingga dapat
menuangkan ide, gagasan, pikiran, pendapat sesuai fungsi dan motif setiap bagian. Struktur esai tidak
perlu dipandang sebagai belenggu untuk menulis, tapi dipandang sebagai pemandu atau pedoman dalam
menuangkan ide secara sistematis, logis, kritis dan kreatif dalam tulisan.

1. Bagian Awal
Bagian awal, bagian pendahuluan, pembuka, atau pengantar merupakan permulaan tulisan yang
berisi pernyataan topik atau pokok masalah yang berfungsi mendudukan inti bahasan dan memberi
gambaran umum tentang isi kepada pembaca. Bagian ini menjadi kunci pembuka dan kendali uraian pada
bagian selanjutnya. Aristoteles dalam "Rhetorics" mengemukakan bahwa pada bagian awal tulisan,
penulis harus dapat memberi pembacanya attentive (ingin membaca apa yang akan disajikan pada bagian
selanjutnya), benevolent (berkemauan/berharap baik terhadap penulis), dan docile (dapat kita persuasi).
Dengan perkataan lain, bagian pembuka menjadi senjata untuk mendapatkan atau menghilangkan
pembaca. Bagian ini harus mampu menarik perhatian pembaca, mengetuk hati pembaca, memberi kesan
kuat dan mempesona, dan mengajak pembaca bersedia membaca uraian selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa bagian pembuka esai berfungsi untuk
memberi identitas masalah yang dibahas, memberi indikasi gagasan tulisan yang akan diungkapkan,
menunjukkan bagaimana masalah akan dipaparkan, dan memberi kerangka berpikir tentang masalah
yang akan dibahas. Namun, masalah yang sering dihadapi penulis pada bagian ini ialah bagaimana saya
memulainya? Dengan rumusan kalimat atau paragraf apa saya memulai menulis? Inisiatif penulisan
bagian pembuka bisa dimulai dengan beragam cara. Misalnya, dengan pernyataan kebenaran universal,
pernyataan mengagetkan, informasi ganjil/aneh, analogi, anekdot/joke, kutipan yang mencengangkan,
suatu thesis statement, pesan langsung, suatu pertanyaan, kondisi umum, kata kiasan, ungkapan,
pepatah, suatu temuan data, definisi, putar balik, kuriositas (rasa ingin tahu), sajian data dan fakta,
ringkasan, kisah, dan deskripsi.
Berikut ini contoh bagian pembuka.
Kebenaran Universal
Kebanyakan orang masih percaya bahwa untuk menjadi sehat harus tidur selama delapan jam. Jika kurang
tidur selama waktu tersebut, kita akan mendapatkan garis-garis di kantung mata, penglihatan menjadi
kabur, dan terburuk tidak dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara efektif.

Informasi Ganjil/Aneh
Bencana yang disebut kematian besar yang terjadi pada priode Permian dan Trias menyapu bersih 90%
kehidupan laut dan 70% dari semua tumbahan dan hewan di planet ini. Keyakinan ilmiah popular terbaru
tentang apa yang menyebabkannya adalah dampak besar dari ruang angkasa. Namun, penyelidikan
terhadap fosil yang tersimpan telah menyebabkan dua kelompok ilmuan merevisi keyakinan tersebut.

Analogi
Filsafat dapat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut pantai dan pendaratan pasukan
diibaratkan sebagai ilmu pengetahuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung, merambat hutan,
dan menyempurnakan kemenangan ini.

4
Kutipan Mencengangkan
Bencana alam sering disebabkan oleh ulah manusia. Hutan gundul akibat dari penebangan poohon tanpa
penghijauan. Banjir bandang seringkali karena erosi di tebing yang tergerus air hujan dan membawa
malapetaka. Namun, manusia seringkali melupakannya, sehingga setiap waktu bencana selalu
menghampiri kita.

Thesis Statement
Karena ekspedisi Willaim Sang Penakluk ke Inggris, negara itu mengembangkan kekuatan dan kebudayaan
yang akan dibutuhkan untuk membangun kerajaan Inggris Raya.

Kondisi Umum
Teknologi memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Banyak perkembangan teknologi yang
bermanfaat bagi manuisa, misalnya hasil teknologi di bidang kedokteran. Namuu, ada pula hasil teknologi
yang kurang bermanfaat bagi manusia. Misalnya, teknologi senjata pemusnah massal.

Temuan Data
Dari sekitar 30.000-an jenis flora yang ada di Indonsia, baru sekitar 10% yang dimanfaatkan. Pemanfaatan
terbanyak adalah untuk makanan dan obat-obatan. Khusus mengenai obat-obatan, setelah dikenal sejak
nenek moyang, tapi kajian ilmu tentang obat-obatan tersebut baru diteliti belakangan ini. Flora yang
berguna sebagai bahan pangan dapat dikelompokkan sebagai rumput-rumputa, kacang-kacangan, talas-
talasan, dsn umni-umbian.

Pepatah
Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendapat kuno yang mengatakan bahwa wanita adalah penghias
rumah tangga dan pengabdi suami yang tanpa reserve tidak dapat diterima dan dipertahankan lagi. Juga,
pendapat bawa wanita itu “suwarga nurut, neraka katut” atau masuk ke surge hanya nunut suami dan
masuk neraka karens suaminya juga ke neraka, tidak dapat diterima lagi.

2. Bagian Tengah/Isi
Bagian tengah atau isi esai (body) merupakan inti atau jantung esai mengingat fungsinya dalam
tulisan untuk menjelaskan, mengupas, menguraikan, mempreteli, memaparkan, atau memerikan topik.
Bagian ini berisi sekumpulan paragraf yang menguraikan dan membahas gagasan pokok dengan
pendapat, pemikiran, pendirian, keyakinan, penilaian, analisis, interpretasi, atau pembahasan yang
bertujuan menjelaskan topik atau pokok masalah yang sudah dikemukakan pada bagian pendahuluan.
Gagasan, opini, interpretasi, pembahasan penulis disertai fakta dan argumentasi yang kuat serta
dilengkapi dengan wawasan dan kreativitas berpikir. Hal ini akan menguatkan uraian isi esai yang ditulis.
Dalam menulis bagian isi, sangat penting untuk memperhatikan struktur isi sebaik mungkin.
Susunan uraian pada bagian isi diusahakan berkaitan dengan isi yang terdapat pada bagian pembuka.
Apabila pada bagian pembuka telah ditulis kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf pokok masalah, maka
uraian bagian isi terfokus pada masalah tersebut. Pada bagian isi, setiap paragraf harus mengusung
kepaduan (unity), yaitu mengupas topik utama; memiliki kesatuan ide (coherence), yaitu
mendemonstrasikan kebertalian dan kelogisan ide atau alur pikir; dan kontrol ide agar tidak melebar ke
luar topik. Pengembangan bagian isi bisa disusun dengan beragam cara atau pola pengembangan, antara
lain dengan : uraian contoh, klasifikasi, sebab-akibat (cause-effect), komparasi/perbandingan (analogi,

5
langsung, probabilitas), kronologis, deskripsi, induktif, logika Toulmin, narasi, klimaks, clearing the ground
before (or after building).

3. Bagian Akhir
Bagian akhir atau penutup merupakan bagian yang mengakhiri tulisan atau bingkai bahasan
dengan memunculkan pengakhiran. Bagian akhir atau penutup disusun dengan tujuan untuk mengikat
uraian, mengkonfirmasi ulang atau menegaskan point-point yang dinyatakan pada bagian paparan isi.
Apa yang ditulis dalam bagian penutup? Setiap penutup dapat berupa konfirmasi/pernyataan
ulang, simpulan akhir, pernyataan solusi, menyatakan kembali tesis, pandangan akhir. Paragraf pada
bagian penutup bisa disajikan dengan beragam cara, antara lain dengan : menyatakan ulang poin-poin
penting, generalisasi permasalahan, simpulan, penilaian, pengharapan, spekulasi, kutipan, prediksi, dan
lain-lain.

E. Prosedur Menulis Esai


Menulis merupakan proses yang menyarankan pada sejumlah langkah atau prosedur yang
memandu kegiatan menulis. Proses menulis bersifat umum dan kelak dapat dimodifikasi menjadi cara
khusus dan unik secara alami menjadi proses kreatif disesuaikan dengan tingkat kemahiran seseorang
dalam menulis. Seringkali didapati perbedaan prosedur menulis, termasuk gaya dan cara khas yang
dibawa oleh setiap penulis. Namun, secara umum, prosedur menulis menjadi panduan setiap penulis
untuk menuangkan ide, gagasan, dan perasaan dalam wujud tulisan. Menulis esai dapat dilakukan dengan
melewati langkah-langkah : (1) pramenulis (prewriting), (2) menulis draf (writing/drafting), (3) pascatulis
(postwriting). Pada yang terdiri atas kegiatan merevisi (revising), mengedit (editing), dan menulis draf
akhir. Pada tahap post-writing, terdapat dua kegiatan utama, yaitu revisi draf dan editing. Setelah
melewati ketiga tahap tersebut, selanjutnya mempublikasikan (publishing).
Proses menulis dapat divisualisasikan seperti tampak pada gambar berikut.

TAHAP

PRAMENULIS (PRE-WRITING)

TAHAP

PENULISAN (WRITING)

TAHAP

PASCAMENULIS (POST-WRITING)

Gambar
Prosedur Menulis

6
1. Tahap Pramenulis (Prewriting)
Tahap pramenulis (pre-writing) merupakan aktivitas untuk mengarahkan pikiran dan rencana sebelum
menulis draf pertama. Tahap pramenulis menjadi tahap pertama yang penting, sekaligus krusial. Pada tahap ini, kita
merencanakan tulisan dengan mempersiapkan ide dan bahan sebagai rambu-rambu dan arah pembahasan yang akan
ditulis. Kesulitan yang umum dialami hampir semua orang adalah, bagaimana cara menemukan ide? Setiap penulis
memiliki karakter dan cara sendiri-sendiri. Tidak sedikit yang kesulitan menemukan dan menentukan ide. Karena
alasan itulah, seseorang tidak mampu (memulai) menulis.
Pada tahap pramenulis (pre-writing), terdapat beberapa aktivitas, yaitu : menemukan dan menentukan ide,
baik ide besar atau utama/sentral yang sering disebut tema dan ide bahawan sebagai subjek bahasan yang sering
disebut topik; menetapkan tujuan dan bentuk tulisan; mengumpulkan dan mengorganisasikan bahan dan informasi;
menetapkan sasaran pembaca; menyusun ragangan atau kerangka (outline); dan membuat ikhtisar penerbitan
(khusus untuk penulisan buku). Tahap ini menjadi awal dari proses kreatif dalam menulis. Akan muncul beberapa
pertanyaan retoris yang harus kita jawab : Apa yang akan dibahas ? (topik); Untuk apa dituliskan? (tujuan); Dalam
bentuk apa yang dipilih? (bentuk); Siapa pembaca yang dituju? (sasaran); Apa saja yang akan dituliskan? (bahan);
Bagaimana agar tulisan fokus dan konsisten? (kerangka).
Tahap pramenulis merupakan tahap awal dalam membuat perencanaan atau persiapan dan
mengarahkan pikiran atau konsentrasi sebelum menulis draf pertama. Pada tahap ini, penulis harus
berkonsentrasi pada lima hal, yaitu : (1) konsentrasi pada genre tulisan, (2)konsentrasi pada tema/topik,
(3) konsentrasi pada tujuan penulisan, (4) konsentrasi pada kriteria calon pembaca, dan (5) konsentrasi
pada bahan tulisan. Aktivitas inti pada tahap pramenulis ialah menetapkan tema dan topik, menetapkan
tujuan, meriset dan mengumpulkan bahan, menyusun kerangka karangan/garis besar karangan/ragangan
(outline).

a. Menentukan Tema/Topik
Tema merupakan pokok persoalan, pokok pikiran, atau ide yang mendasari tulisan dan memiliki
kedudukan dominan sebagai pangkal tolak tulisan sehingga mampu mempersatukan atau membangun
keutuhan sebuah tulisan. Lebih sempit dari tema adalah topik sebagai pokok pembicaraan atau
permasalahan yang dibahas. Tema untuk tulisan bisa disediakan atau mencari sendiri. Dalam lomba
menulis, biasanya tema memilih dari tema/topik yang ada atau juga hanya sebuah tema/topik sebagai
ketentuan. Apabila tidak ada tema/topik yang ditentukan untuk ditulis, maka kita harus mencari dan
menentukan tema/topik secara mandiri. Dalam hal ini, seringkali kita bingung dalam menentukan tema.
Untuk mengatasi masalah tersebut, disarankan agar kita memilih tema/topik tulisan yang menarik
perhatian kita, disukai atau dikenal baik, dikuasai atau tersedia bahan, diyakini bermanfaat dan layak
dibahas, penting atau perlu, dan yang dipahami. Pemilihan tema/topik harus juga didasari oleh butir-butir
pengalaman, pemahaman, pengetahuan yang relevan dan menunjang proses penulisan. Dengan
demikian, kita akan mudah mengembangkan ide dalam tulisan.
Pengembangan ide yang tertuang dalam topik tulisan seringkali macet. Bagaimana mengatasinya?
Gunakan modalitas manusia untuk mengembangkan ide, yaitu membangkitkan penglihatan,
pendengaran, gerak, penciuman, dan perasa/pencecap. Selain itu, lewat membaca, menonton film,
berwisata, bersilaturahmi, berdiskusi, dan lain-lain dapat membangkitkan ide. Tidak akan ada tulisan jika
ide masih di dalam pikiran. Karena itu, eksplorasi ide diperlukan kepekaan dan kesungguhan.

7
b. Menetapkan Tujuan
Tujuan tulisan cukup penting sebagai titik tolak dalam seluruh kegiatan menulis. Dengan
menetapkan tujuan penulisan, akan diketahui apa yang harus dilakukan, bahan-bahan yang diperlukan,
bentuk organisasi tulisan, sudut pandang yang dipilih, dan genre tulisan. Perumusan tujuan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan tesis atau pernyataan maksud. Apabila tujuan telah dirumuskan,
tentu akan memudahkan kita dalam mencari inspirasi, bahan, membuat analisis, memberikan
interpretasi, membuat argumen, atau menyusun uraian isi yang akan disajikan. Kesadaran mengenai
tujuan selama proses menulis akan menjaga keutuhan tulisan.
Salah satu contoh rumusan tujuan dalam kaitan dengan tema dan topik ialah seperti berikut.
Tema : Pendidikan Nasional
Topik : Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Kelas, Budaya Sekolah, dan Masyarakat
Tujuan : Menjelaskan implementasi pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat
sehingga diharapkan para pembaca memahami implemetasi Pendidikan karakter tersebut.

c. Mengumpulkan Bahan
Bahan tulisan merupakan segala informasi atau data yang dibutuhkan untuk dijadikan tulisan.
Salah satu syarat sebuah ide layak untuk dieksekusi menjadi tulisan ialah jika tersedia bahan tulisan
berupa data fakta, informasi yang memadai, dan lain-lain. Anda tidak bisa memaksakan menulis tanpa
adanya bahan atau dengan bahan yang minim, karena akan berdampak pada kebuntuan, hilangnya mood,
dan lahirnya keputusasaan. Mungkin juga tulisan tidak aka nada atau selesai ditulis.
Setiap penulis harus dekat dengan bahan tulisan. Karena itu, selepas memiliki topik, kita harus
segera mengidentifikasi sumber bahan. Bahan tulisan dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain
dari hasil membaca beberapa referensi yang relevan, baik membaca analitis mapun membaca sintopikal;
melakukan riset untuk mencari data atau fakta yang mendukung, berdiskusi di ruang rumpi atau ruang
maya dan berdiskusi tatap muka, merenung atau berefleksi, bertukar pikiran dengan teman yang memiliki
pandangan tentang topik, membuka catatan harian, membuka memori pengalaman, melakukan
pengamatan, melakukan wawancara, membuat formula jurnalistik, studi kepustakaan,
inferensi/penalaran, dan lain-lain.

d. Membuat Outline (Kerangka Tulisan)


Tema atau topik ibarat clue dalam tulisan, sedangkan outline ibarat desain atau blue print dalam
tulisan. Outline disusun untuk memastikan apakah semua ide yang akan ditulis cukup lengkap? Apakah
semua ide kohesif? Apakah semua ide disusun dengan sistematis? Apakah urutan ide itu logis? Outline
dapat disusun dalam bentuk kerangka topik atau kerangka kalimat. Dalam outline harus diperhatikan
kesederajatan logis, kesetaraan struktur, kepaduan, dan penekanan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah menulis esai, sehingga esai koheren dan tidak keluar jalur dari topik yang dibahas. Selain
itu, outline digunakan untuk membuat tulisan menjadi terorganisir dengan menyusun pikiran dan data ke
dalam satu kesatuan.
Dalam menulis esai, matriks kerangka (outkine) disusun dari mulai tema atau topik, subtopik atau
kerangka uraian pada tiap-tiap bagian esai. Misalnya seperti contoh berikut.
Tema : Pendidikan Nasional
Topik : Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Kelas, Budaya Sekolah, dan Masyarakat

8
Tujuan : Menjelaskan implementasi pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat
sehingga diharapkan para pembaca memahami implemetasi Pendidikan karakter tersebut.
Uraian Bagian Pembuka :
-Kondisi perubahan zaman di era sekarang
-Perubahan zaman yang beroengaruh pada perubahan pola piker, pola iksp, dan perilaku
-Perlunya Pendidikan karakter
Uraian Bagian Isi :
-Hakikat Pendidikan karakter
-Pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat
-Implmentasi Pendidikan karakter, kendala, dan solusinya
Uraian Bagian Penutup :
-Generalisasi, pernyataan ulang, atau simpulan akhir.

2. Tahap Menulis Draf (Drafting)


Tahap menulis (writing) menjadi kegiatan utama dari proses menulis, karena tahap ini merupakan tahap
penuangan ide ke dalam bahasa tulis secara nyata. Referensi lain menyamakan tahap ini sebagai drafting atau menulis
draf. Draf dalam Bahasa Indonesia berarti buram atau bentuk kasar dari sesuatu yang dituliskan. Sesuai dengan
maknanya ‘bentuk kasar’, maka kita tidak harus mengejar kesempurnaan saat menulis draf pertama. Drafting
merupakan tahap gaya bebas kita menulis (free writing). Di tahap ini, kita menulis secara bebas, menulis tanpa beban,
menulis dengan mengesampingkan dulu aspek EYD, typo, atau ketidaksesuaian kata dan kalimat. Namun, tetap
memperhatikan ragangan (kerangka tulisan).
Prinsip dari proses drafting adalah mengutamakan kreativitas dan inovasi penulis. Kreativitas itu akan muncul
dan mengalir ketika diberi ruang dan kebebasan. Inovasi akan hadir jika memiliki elastisitas yang tinggi dalam berpikir,
produktif dalam mencipta, sensitive terhadap keadaan dan tantangan, dan original dalam berkarya. Menulis secara
kreatif dan inovatis memberi keleluasaan untuk berkarya tanpa terlalu dikekang dan diatur yang akan membatasi
kreativitas penulis. Beberapa panduan untuk menulis draf, antara lain : menyesuaikan dengan situasi dan konsdisi yang
melatari proses menulis; menulis sesuatu yang disukai atau disenangi; menulis sesuai dengan rencana; menulis bebas
dan mengalir; menulis tidak sambil mengedit; menulis hal-hal ringan dan tidak terlalu panjang; dan menulis draf sekali
duduk.
Meskipun pada tahap ini penulis bebas menuangkan gagasan dan ide, kemampuan kebahasaan dan
mekanika tulisan dalam menggunakan diksi, menyusun kalimat, menyusun paragraf tetap penting. Ketika tahap
drafting selesai, inilah yang disebut dengan draft pertama. Dalam menulis esai atau tulisan lainnya perlu diperhatikan
konsistensi dan fokus pada ide utama yang dikembangkan, judul yang menarik, dan menggunakan teknik yang tepat.
Memfokuskan pada maksud gagasan diperlukan. Dalam arti, hanya memfokuskan diri untuk membahas tema atau
topik yang sedang diangkat, bukan membumbui banyak basa basi yang tidak sesuai konteks. Hal-hal yang barangkali
penting, tetapi tidak relevan dengan topik yang sedang dibahas sebaiknya juga dikesampingkan agar tidak melenceng
dari tujuan awal menulis. Strategi ini untuk menghindarkan diri penulis agar tidak pecah konsentrasi, tidak membahas
topik yang sebelumnya direncanakan, tetapi malah menulis topik yang lain.

9
Dalam menulis esai bisa menggunakan konsep P-D-K (Pendirian-Dukungan-Kesimpulan) atau P-S-
P (Pendapat Sanggahan-Pendirian). Konsep tersebut untuk mempermudah dalam menentukan model esai
seperti apa yang akan kita tulis. Untuk memberikan dukungan atau sanggahan, bahannya dari pemikiran
atau penelitian yang telah kita siapkan sebelumnya. Dengan modal tersebut argumentasi kita akan lebih
meyakinkan, berbobot, dan bisa diterima baik oleh khalayak pembaca.
Kesulitan terbesar yang dihadapi penulis adalah kelemahan menarik benang merah atas sebuah
persoalan. Benang merah ini sebenarnya bukan persoalan dalam keterampilan menulis, tetapi lebih
didasarkan pada kapasitas pemikiran atau penggunaan logika. Untuk bisa menarik benang merah, resep
yang cukup jitu tak lain tak bukan adalah meramu dua unsur sekaligus, yaitu referensi dan ketajaman
analisis. Hasil ramuan kedua hal ini yang kemudian bisa melahirkan benang merah pemikiran kritis. Tanda-
tanda keberhasilannya adalah pembaca akan manggut-manggut mengiyakan setelah membaca tulisan
kita.
Ada beberapa prasyarat atau kondisi yang turut menentukan kelancaran dan kesuksekan kegiatan menulis.
Kelancaran menulis ditentukan oleh kesiapan penulis dalam menyusun beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap
pramenulis. Semua persiapan yang telah disusun pada tahap pratulis dijadikan acuan dalam menulis. Selain itu,
kesuksesan menulis ditentukan pula oleh kemampuan penulis dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan
pemilihan diksi, penyusunan kalimat yang efektif sehingga menjadi paragraf yang koheren, dan penyusunan paragraf-
paragraf sehingga menjadi karangan yang padu. Dalam kaitan ini, Winterowd (1981:8) berpendapat sebagai berikut.
The subject of all prewriting is, of course, to produce writing. The writer must be able to produce in order to be
successful : sentences, which go together to make up coherent paragraphs, and paragraphs that make up
coherent essay. Therefore, we can say that major problems in the writing process are producing effective
sentences, contructing paragraphs, creating a coherent overall from for the assay. (Pokok persoalan dari
semua tahap pratulis ialah menghasilkan tulisan. Penulis harus mampu menulis dalam suatu urutan agar
sukses : menyusun kalimat-kalimat yang secara bersama-sama menciptakan paragraf yang koheren, dan
paragraf-paragraf yang menghasilkan karangan yang koheren. Karena itu, dapat kita katakan bahwa masalah
utama dalam proses menulis ialah membuat kalimat efektif, membangun paragraf, dan menciptakan
koherensi dari keseluruhan karangan).

Kemampuan kebahasaan sangat penting, selain pengetahuan sistem penyajian. Selain itu, penulis
harus berkonsentrasi terhadap topik tulisan, tujuan tulisan, kerangka karangan, kriteria calon pembaca,
yang dipadukan dengan kemampuan merakit unsur-unsur kebahasaan dan non-kebahasaan. Dengan
memperhatikan hal itu, gagasan yang dituangkan relatif dapat dikomunikasikan dengan lancar dan efektif.
Dalam proses penuangan gagasan ini, memang dibutuhkan kemampuan komposisi, yaitu kemampuan
kebahasaan berupa kesanggupan membahasakan gagasan (melahirkan gagasan) atau meracik gagasan
dalam suatu sistem tulisan dan kemampuan non-kebahasaan berupa penggunakan logika, konsistensi
terhadap isi, dan maksud tulisan, serta sistem penyajian tulisan. Aspek kebahasaan meliputi penggunaan
ejaan, tanda baca, pembentukan kata, pemilihan kata/diksi, peyusunan dan penggunaan kalimat efektif,
penyusunan paragraf dan wacana. Dengan perkataan lain, pada tahap ini penulis harus mampu memilih
kata dan merangkaikannya menjadi kalimat-kaimat yang efektif. Selanjutnya, kalimat-kalimat disusun
menjadi paragraf-paragraf yang memenuhi persyaratan sehingga menjadi karangan yang utuh. Di samping
itu, tulisan harus ditulis dengan ejaan yang berlaku disertai tanda baca yang tepat.

10
Esai yang baik ditulis berdasarkan outline yang telah disusun. Ikutilah struktur kerangka tulisan
saat menulis esai secara sistematis dengan memperhatikan bagian awal/pendahuluan, isi/ pembahasan,
dan akhir/ penutup/simpulan. Awali esai dengan kalimat yang memikat dan menarik. Gunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Perhatikan penggunaan ejaan, tanda baca, dan diksi yang baik. Gunakan
kalimat efektif dan paragraf-paragraf yang baik. Sehingga tujuan menulis esai terwujud melalui bahasa
yang komunikatif, relevan dengan sasaran pembaca, dan menstimuli rasa ingin tahu dan pengembangan
wawasan para pembaca. Pada saat menulis draft pertama ini, selain melihat outline, disarankan agar
menciptakan kondisi yang mendukung (waktu, tempat, alat, dll.), menulis secara bebas dan mengalir,
menulis tidak sambil mengedit, menulis draf sekali duduk (tidak ditunda), dan menulislah dengan hati dan
suasana tenteram.

3. Tahap Pascatulis (Postwriting)


Rahap pascamenulis (post-wrtiting) nerupakan aktivitas yang dilakukan setelah proses menulis
draf pertama selesai dilakukan. Tahap ini sangat penting mengingat hasil kegiatan penulisan masih berupa
draf awal yang belum rapi atau masih serba kasar yang perlu diperbaiki dan disempurnakan. Tahap ini
disebut tahap revisi dan editing. Winterowd (1981:15) mengistilahkan rewriting (menulis kembali) sebagai
padanan dari revisi dan editing (menyunting). Kegiatan menulis kembali (rewriting) meliputi
penghilangan, pencoretan, penghapusan, penambahan, menyusun kembali, atau pengantian kata, frase,
kalimat, dan paragraf. Sementara kegiatan penyuntingan (editing) mencakup kegiatan perbaikan tanda
baca dan ejaan. Secara lengkap, Winterowd (1981:15) menyatakan sebagai berikut.
Rewriting is the process of making deletions, additions, rearrangements, and subtitutions [words, phrases,
sentences, paragraphs sections]. When rewrites, one makes significants change in the paper. Rewriting should
not be confused with editing [whish will be dissused in the next section of this chapter], for by “editing” we
mean “cleaning up the manuscript”; punctuating correctly, eliminiting misspellings, making sure that verbs
agrres with their subjects, and so on. (Menulis kembali merupakan proses penghilangan, penambahan,
penyusunan kembali, dan penggantian [beberapa kata, frase, kalimat, paragraf]. Ketika menulis kembali, ada
sebuah perubahan yang dihasilkan dalam tulisan. Menulis kembali tidak akan bertumpang tindih dengan
penyuntingan [hal itu akan dibahas pada bab berikutnya], “penyuntingan” kita artikan sebagai “pembersihan
naskah” : memperbaiki tanda baca, menghapus kesalahan ejaan, memastikan kata kerja memiliki kecocokan
atau ketepatan dengan pokok masalahnya, dan lain sebagainya).

Setelah draf pertama selesai, langkah selanjutnya adalah merevisi dan mengedit. Sebaiknya Anda
merevisi dan mengedit sendiri draf awal Anda. Dengan swasunting, Anda akan menjadi penulis andal dan
bijak.
a. Revisi (revise) adalah aktivitas mengubah draf pertama dengan maksud mengoreksi atau
mengembangkan tulisan agar lebih baik. Merevisi draf dilakukan dengan cara mengurangi,
menambahi, atau mengubah naskah, yang meliputi penghilangan, pencoretan, penghapusan,
penambahan, menyusun kembali atau penggantian kata, frase, kalimat, dan paragraf. Dalam merevisi
draf pertama, kita bisa mengecek kembali dan menetapkan hal-hal berikut : (1) memaklumkan
struktur tulisan sudah benar; (2) mengubah struktur tulisan pada urutannya; (3) menghilangkan salah
satu atau lebih bagian pada struktur tulisan; dan menambahi satu atau lebih bagian pada struktur
tulisan. Dengan demikian, merevisi draf pertama berkelindan dengan memperbaiki struktur tulisan,
konsistensi isi, kelogisan gagasan, atau mengecek penyajian.

11
b. Editing diistilahkan dengan menyunting. Menyunting adalah mengedit atau menyempurnakan naskah
atau merapikan naskah agar siap cetak dengan melihat kembali, membaca, atau memperbaiki naskah
secara keseluruhan, baik dari segi bahasa maupun dari segi materinya, penyajiannya, kelayakannya,
dan kebenaran materi (isi) naskah yang akan diterbitkan. Perbaikan itu dilakukan berdasarkan
beberapa pertimbangan berkaitan dengan kaidah penulisan.
Menyunting naskah merupakan bagian dari proses penulisan sekaligus sebagai strategi
penulisan yang baik. Dengan menyunting, kita dapat mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam
tulisan dan memperbaiki kesalahan yang ada, baik dari segi bahasa, isi, maupun tipografinya, sehingga
tulisan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi dan layak untuk dipublikasikan.
Penyuntingan tulisan dimaksudkan bukan saja untuk menghasilkan tulisan yang enak dibaca,
tetapi juga menghindari tulisan dari berbagai kesalahan. Dengan diedit, tulisan dapat dijaga
kualitasnya, seperti keruntutan, kelogisan, ketepatan pemakaian bahasa, atau kelengkapan unsur
tulisan lainnya. Dengan demikian, seorang penyunting atau editor dapat menjaga kelayakan,
keterbacaan, dan kepantasan tulisan itu untuk dibaca, dipublikasikan, atau disampaikan kepada orang
lain yang menjadi sasaran tulisan tersebut. Melalui kegiatan menyunting, sebenarnya editor dapat
melakukan kritik dan otokritik, saran, atau catatan-catatan demi perbaikan tulisannnya.
Aspek menyunting dalam tulisan mencakup penyuntingan bahasa, penyuntingan teknik
(ejaan, tanda baca, dan sistematika), dan penyuntingan isi. Apabila dijabarkan aspek-aspek bahasa
yang diedit mencakup penulisan ejaan (pemakaian huruf, penulisan huruf, penulisan huruf kapital,
penulisan huruf miring), penulisan kata (kata dasar, kata turunan, bentuk ulang, gabungan kata, kata
ganti, kata depan, partikel, singkatan, akronim), penulisan angka dan lambang bilangan, penulisan
unsur serapan, pemakaian tanda baca, penulisan kalimat (keefektifan), penulisan paragraf (kepaduan,
kesatuan, kelengkapan), dan penyusunan wacana secara keseluruhan. Sementara itu, aspek isi
menyangkut kejelasan pengembangan isi (gagasan dan logika) tulisan dan aspek teknik penyajian atau
perwajahan mencakup tata urutan, tata letak, jenis dan bentuk huruf, pemanfaatan ruang, dan
gambar, ilustrasi, dan lain-lain.
Editing dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu oleh penulis sendiri atau swasunting (self
editing) dan oleh orang lain yang bekerja sebagai editor. Swasunting (self editing) sangat penting
dilakukan oleh penulisnya agar memiliki kemampuan menulis sekaligus menyunting tulisannya secara
baik. Beberapa aspek swasunting mencakup penyuntingan isi, organisasi, dan bahasa, antara lain
menyunting kesalahan tipografi atau typographical error (huruf terbalik, huruf hilang, huruf
bertambah, huruf berganti); menyunting kebahasaan dengan menggunakan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia (PUBEI), baik pada ejaan (penulisan huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca,
penulisan unsur serapan), diksi (denotasi dan konotasi), kalimat (efektif dan bernalar), maupun
paragraf; mengecek legalitas dan etika penulisan; dan mengecek ketelitian isi data dan fakta.
Kegiatan menyunting dapat dilakukan melalui beberapa proses, yaitu melihat kembali,
membaca, atau memperbaiki naskah secara keseluruhan, baik dari segi bahasa maupun dari segi
materinya, penyajiannya, kelayakannya, dan kebenaran materi (isi) naskah. Ada tiga langkah
menyunting, yaitu membaca dengan kritis, memotong atau menambah, dan susun serta periksa
kembali. Membaca dengan kritis dilakukan untuk memeriksa apakah esai yang kita tulis sudah baik,
yaitu dengan memeriksa apakah ide-ide yang ditulis logis dan koheren, apakah diksi yang digunakan
tepat, apakah kalimat yang digunakan efektif, apakah ejaan dan tanda baca sudah benar, dan lain-

12
lain. Aspek yang diperiksa berkaitan dengan mekanika, bahasa, dan isi dari esai. Seringkali ada
perubahan sudut pandang isi yang masih perlu diperkuat dengan sumber baru. Setelah esai diedit,
langkah selanjutnya menulis ulang dan melengkapi esai dengan referensi. Cantumkan semua sumber
yang dikutip dalam daftar pustaka. Tulis juga biodata penulis esai secara singkat.

REFERENSI
Syamsuddn, A.R. 1992. Studi Wacana : Teori, Analisis, Pengajaran. Bandung : FPBS IKIP.
Syafi’I, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa
Tarigan, H.G. 1992. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Winterowd, W. Ross. 1981. The Contemporary Writer A Practical Rhetoric. Second Edition. New York :
Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

13
PROFIL PENULIS

Cucu Agus Hidayat, S.Pd., M.Pd. dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 31 Agustus 1970. Sekarang
berdomisili di Jl. Raya Warungkandang Gg. Coklat RT. 13 / RW. 04 Desa/Kec. Plered Kabupaten
Purwakarta. Penulis menyelesaikan studi S-1 pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FPBS IKIP Bandung pada tahun 1995. Pada tahun 2009 penulis menyelesakan studi S-2 pada Prorgam Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Suryakancana Cianjur Jawa
Barat. Sekarang, penulis sebagai Kepala SMPN 1 Maniis Purwakarta Jabar, Pengurus FKPPI Kab.
Purwakarta, Pengurus PGRI Kabupaten Purwakarta, Pengurus Komunitas Literasi Purbasari Dinas
Pendidikan Kabupaten Purwakarta, dan Pengurus Komunitas Guru Penulis Jawa Barat (KGPJB).
Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2013, penulis menjadi Dosen Luar Biasa pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STIKP Purwakarta dan Subang. Sebagai penulis, beliau
telah menyusun beberapa buku sejak 1997, antara lain : Buku Teks Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
untuk SMP Kelas VII, VIII, dan IX 1997, Buku Pedoman Guru Bahasa dan Sastra Indonesia 1997 yang
diterbitkan oleh Penerbit Angkasa Bandung, Buku “Cara Gampang Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah”
pada tahun 2017 yang diterbitkan MG Publisher, beberapa Modul dan Diktat Materi Perkuliahan Mata
Kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia yang diampu telah disusun dan digunakan oleh para siswa dan
mahasiswa. Penulis juga menjadi narasumber sekaligus menulis beragam genre tulisan di kelas virtual
WAG yang membuahkan buku antologi, antara lain Antologi Esai “Pendidikan Literasi dan Jati Diri bangsa
di Ujung Lidah:, Antologi Esai “Gagasan Pendidikan dalam Goresan Kalam”, Antologi Puisi Sonian
“Selengkung Bulan”, Antologi Puisi Sonian “Jejak Kata Lentera Jiwa”, Antologi Akrostik “Purnama
Merindu”, “Sehimpun Dongeng Nusantara”, “Ajisaka dan Cerita Legenda Lainnya”, “Sehimpun Best
Practice”, dan lain-lain. Beliau juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah Pendidikan “Serat
Karesian” di Purwakarta. Beberapa tulisannya dimuat di jurnal ilmiah, majalah, bulletin, dan surat kabar.
Beberapa naskah sedang dibukukan, antara lain Panduan Menulis PTK/PTS; Menulis Karya Ilmiah Best
Practice, Esai, dan Artikel Ilmiah; Kreatif Menulis Prosa Fiksi, Model Pembelajaran Keterampilan
Berbahasa dan Bersastra.

14
GURU MENGGORESKAN KUNCUP PENA : RESPONS KECAKAPAN ABAD 21
(Urgensi Peningkatan Kompetensi Guru)

oleh : Cucu Agus Hidayat

"We are made wise not by the recollection of our past, but by the responsibility for our future"
(George B. Shaw).

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengais ingatan, menolak lupa, dan menemukan kita ada di satu
masa. Karena itu, pada pembuka dikutip pendapat George B. Shaw, peraih Nobel Sastra yang mengatakan
"kita menjadi bijak bukan oleh ingatan masa lalu, tetapi untuk tanggung jawab masa depan". Masa lalu
adalah lembaran-lembaran hikmah sebagai cermin sekaligus bekal untuk masa kini dan masa depan yang
lebih baik. Konstruk masa depan dapat diprediksi berdasarkan kondisi dan kapasitas masa kini.
Dalam kaitan dengan konstelasi dunia pendidikan abad ke-21, tentu banyak tantangan yang harus
mampu dipahami, direspon, dihadapi, dan diatasi oleh guru dan para pihak yang terkait dengan
pendidikan. Tantangan Pendidikan Abad ke-21 antara lain ialah harus mampu melahirkan peserta didik
yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan (beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa),
berkepribadian/ berkarakter, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berilmu, cakap, kreatif, terampil, mandiri,
dan bertanggung jawab. Sebuah misi membentuk peserta didik sebagai manusia seutuhnya. Tantangan
bagi guru ialah harus mampu mengkader peserta didik agar siap dan mampu menghadapi keadaan jaman
dan perubahan yang begitu cepat, selaras dengan akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, globalisasi, dan transformasi sosial budaya. Sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat harus
mampu bersinergi, bermutualisme, memiliki koneksi, dan menjadi bagian dari laboratorium belajar untuk
melahirkan generasi milineal yang siap menghadapi tantangan dan perubahan jaman tanpa tercerabut
dari identitas, jati diri, atau akar budayanya. Kita tidak bisa dengan mudah memberi penilaian secara
'hitam-putih' pada setiap generasi, sebab tiap jaman ada kelebihan dan kelemahan serta strategi yang
berbeda dalam menyikapinya.
Pendidikan pada abad ke-21 sekurang-kurangnya perlu berorientasi pada tiga isu penting, yaitu
pendidikan karakter, pendidikan kompetensi berpikir, dan pendidikan literasi. Pendidikan karakter
dilaksanakan melalui Integrasi Penguatan Pendidikan Karakter berbasis nilai moral, nilai religi, dan etos
kerja dengan melibatkan tiga pihak sebagai tripusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tujuan pokoknya ialah agar peserta didik memiliki karakter utama, yaitu religius, nasionalis, mandiri,
gotong royong, dan integritas. Kelima nilai utama karakter tersebut saling berinteraksi dan berkembang
secara dinamis membentuk keutuhan pribadi. Di setiap sekolah, guru harus menjadi rujukan bagi siswa
dalam penguatan karakter tersebut, melalui pembiasaan, pembelajaran, dan keteladanan. Sementara, di
lingkungan keluarga dan masyarakat, keteladan menjadi kunci transformasi pendidikan karakter.
Keteladanan merupakan metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam membentuk
sikap moral, spiritual, dan sosial peserta didik.
Tantangan lain ialah pengembangan kompetensi berpikir. Siswa harus mampu memanfaatkan
potensi intelegensi dalam periode perkembangan dirinya. Secara umum, potensi intelegensi anak dimulai
dari LOTS _(Lower Order Thinking Skill)_ menuju HOTS _(Higher Order Thinking Skill)_ atau 5 C, yaitu

15
_creative, critival thinking, comunivative, and collaborative_ sebagai kecakapan berpikir kritis, kreatif,
logis, reflektif, dan metakognitif. Lagi-lagi, guru memiliki peran untuk selalu meningkatkan kapasitas
intelektualnya sebagai sumber belajar dan rujukan bagi siswa. Berpikir menjadi kunci dalam
pengembangan kesadaran, pemahaman, kebijakan. Berpikir menjadi instrumen utama pengembangan
kognitif peserta didik yang berimplikasi pada kesadaran dan keinginan untuk beroleh kompetensi kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Tantangan berikutnya ialah pendidikan literasi. Pendidikan literasi dalam konteks Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui berbagai aktivitas. GLS dilakukan secara holistik, sekuensial, kolaboratif, dan integratif dengan
tujuan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat
melalui pelibatan publik. Di sekolah, GLS menyangkut kebijakan pembiasaan, pengembangan, dan
pembelajaran, baik tahap literasi dasar _(basic literacy),_ literasi perpustakaan _(library literacy),_ literasi
media _(media literacy),_ literasi teknologi _(technology literacy),_ dan literasi visual _(visual literacy)._
Literasi menjadi kunci dalam kesiapan dan keberhasilan dunia pendidikan di era akselerasi informasi,
kemajuan teknologi, globlisasi, dan trasformasi nilai-nilai sosial budaya. Insan pendidikan yang literat akan
menjadi sumber daya menuju gerbang peradaban dan kebudayaan bangsa yang maju dan cemerlang.
Agar mampu bertahan di abad 21, dunia pendidikan dan masyarakat harus menguasai enam
literasi dasar, yaitu literasi baca tulis, literasi berhitung/numerik, literasi sains, literasi teknologi informasi
dan komunikasi, literasi keuangan, dan literasi budaya dan kewargaan. Literasi bukan sekedar
'keberaksaraan' 'keterpahaman' atau 'melek baca-tulis', melainkan melek berbagai hal atau 'multiliterasi',
yakni kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai
aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, berbicara. Dengan kata lain, multiliterasi
dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide
dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun teks inovatif, simbol, dan
multimedia.
Sekolah sebagai bagian dari pusat kebudayaan merepesentasikan miniatur masyarakat yang
memiliki nilai, norma, sikap, kebiasaan, tindakan yang membangun sistem budaya. Guru harus mampu
mewujudkan siswanya memiliki budaya literat dalam arti luas, bukan sekedar keterampilan teknis
membaca dan menulis yang bersifat individual, melainkan kultur literat yang mencakup kompetensi,
minat, kegemaran, kebiasaan, dan kebutuhan dalam berliterasi yang memola atau mengakar kuat dalam
komunitas sekolah. Hal ini sulit diwujudkan apabila budaya literat guru masih rendah.
Dalam kaitan pengembangan literasi, guru dan siswa harus mampu menyerap, mengakses, dan
menyampaikan informasi melalui teks berita, features, artikel, opini, esai, dan bentuk tulisan lain dengan
etika, prinsip-prinsip, dan kaidah penulisan yang baik. Sebagai pendidik, guru harus mampu mengenali
teks berita yang baik dan yang hoaks. Dalam dunia jurnalistik ada jargon _bad news is a good news_ (berita
tentang kejadian buruk adalah berita yang baik, menarik, layak muat). Misalanya, kebakaran, mencuri
ayam, menjambret, atau yang buruk menjadi topik yang disukai pers dan dikonsumsi publik. Bagi pers,
orang yang digigit ular, bukan berita yang laku dijual. Namun, bila ada orang yang menggigit ular, itu baru
disebut berita. Bila hal ini terus-menerus terjadi, resikonya, banyak berita yang baik, justru kurang
diangkat dan tidak menjadi perhatian wartawan. Misalnya, wartawan datang ke sekolah biasanya kalau
ada "kejadian kurang baik". Tapi, mana ada dan mau mempublikasikan prestasi akademik dan
nonakademik siswa, perubahan dan kemajuan program sekolah, harmonisasi sekolah dengan orang tua

16
dan masyarakat. Kekosongan ini menjadi market bagi guru untuk menulis dan menginformasikan kondisi
yang bagus.
Kaitan dengan uraian di atas, di era sekarang, jurnalisme publik _(citizon journalism)_ dengan
media sosial, mulai bangkit kesadaran bahwa _goods news is a good news_ (berita yang baik adalah sangat
baik untuk diberitakan). Ada ruang bagi guru untuk menggunakan kemajuan media teknologi informasi
dalam menyampaikan informasi positif terkait kemajuan sekolah dengan etika dan prinsip-prinsip
jurnalistik. Keriuhan informasi di dunia maya juga bisa diimbangi secara cerdas dengan sajian informasi
yang baik. Media publikasi yang perlu dikembangkan juga ialah majalah atau buletin guru, sebagai media
bagi guru dan insan pendidikan untuk menghadirkan beragam tulisan yang baik dan bermanfaat. Pada
akhirnya, guru yang literat akan terwujud. Guru yang menulis akan semakin banyak. Bahkan, buku-buku
pun dapat ditulis oleh para guru.

17
PJJ DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM KISAH INSPIRATIF
Oleh : Cucu Agus Hidayat

"Kisah mampu menginspirasi orang : menjadikan kendala sebagai penghela; menjadikan masalah sebagai
ibrah; dan menjadikan problem sebagai stimulus untuk berpikir dan bertindak inovatif, kreatif, dan solutif,
sehingga keberhasilannya menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain".

Istilah inspirasi sama dengan ilham, yaitu sesuatu yang dapat menggerakkan hati dan pikiran
untuk mencipta atau berbuat sesuatu. Dalam beberapa literatur literasi ditemukan makna inspirasi
sebagai percikan ide-ide kreatif yang timbul akibat proses pembelajaran dan kepedulian terhadap situasi
dan kondisi lingkungan sekitar. Sementara itu, kisah adalah cerita tentang kejadian (riwayat, peristiwa,
pengalaman, dan sebagainya) dalam kehidupan seseorang. Kisah atau cerita yang ditulis menghasilkan
bentuk tulisan berupa kisahan, yaitu teks atau wacana yang bersifat cerita, baik berdasarkan pengamatan
maupun berdasarkan rekaan. Seringkali disebut narasi, yaitu jenis tulisan yang menceritakan rangkaian
peristiwa yang dialami tokoh dari waktu ke waktu yang dijabarkan dengan urutan awal, tengah, dan akhir.
Berdasarkan deskripsi di atas, kisah inspiratif adalah cerita tentang kejadian (riwayat, peristiwa,
pengalaman, dsb.) dalam kehidupan seseorang yang dapat menggerakkan hati atau pikiran orang lain
untuk mencipta atau berbuat sesuatu. Sebagai teks atau wacana, kisah inspiratif adalah teks prosa yang
berisi kisah seseorang dalam melakukan sesuatu secara inovatif dan kreatif yang bertujuan memberi
inspirasi, motivasi, dan spirit bagi pembaca untuk melakukan hal yang sama atau mentransformasikannya
dalam bentuk inovasi lainnya.
Kisah inspiratif biasanya bersumber dari pengalaman nyata pribadi seseorang yang diceritakan
kembali dalam bentuk prosa naratif. Pengalaman seseorang berangkat dari hasil pemikiran dan tindakan
kreatif dan inovatif dalam menghadapi dan mengatasi kendala, masalah, atau problema. Secara inovatif,
kendala dijadikan penghela, masalah dijadikan ibrah, dan problem dijadikan stimulus untuk berpikir dan
bertindak inovatif, kreatif, dan solutif, sehingga keberhasilannya menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang
lain. Dengan kata lain, teks inspiratif mampu mengilhami pembaca untuk melakukan sesuatu yang penting
dan berguna bagi dirinya dan orang lain.
Sebagai teks naratif, kisah inspirasi mengandung unsur-unsur kisahan, yaitu tokoh, karakter, latar,
alur, tema, amanat, sudut pandang, dan lain-lain. Semua unsur dikemas dalam struktur teks naratif yang
terdiri dari orientasi, peristiwa, komplikasi, resolusi, dan koda. Bagian orientasi adalah bagian pengenalan
atau penyituasian, misalnya pengenalan tokoh, latar, atau latar belakang cerita. Bagian rangkaian
peristiwa merupakan bagian pentahapan cerita, dimulai dari awal terjadinya sebuah peristiwa sampai
pada puncak masalah. Bagian komplikasi merupakan tahapan puncak dari peristiwa yang dikembangkan
pada tahap rangkaian peristiwa sampai masalah tersebut ditemukan jalan keluarnya. Bagian resolusi
merupakan tahap penyelesaian masalah. Bagian koda adalah bagian penutup yang berisi simpulan atau
pesan moral yang dapat diambil dari kisah tersebut.
Bagaimana menulis teks kisah inspiratif? Untuk menulis kisah inspiratif dari pengalaman nyata
pribadi, kita bisa melalui beberapa tahapan, yaitu : (1) menetukan tema dan amanat yang akan
disampaikan; (2) menetapkan sasaran pembaca; (3) merancang peristiwa-peristiwa utama yang akan
ditampilkan dalam bentuk skema alur; (4) membuat rincian peristiwa utama itu ke dalam bagian awal,
perkembangan, dan akhir cerita; (5) merinci peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail peristiwa

18
sebagai pendukung cerita; (6) menyusun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut pandangan; (7) menulis
kisah inspiratif berdasarkan tahapan persiapan dengan mengunakan kaidah bahasa yang baik dan benar.
Prosedur tersebut dipandang sebagai rujukan panduan. Seringkali ditemukan modifikasi proses menulis
kisah inspiratif oleh setiap penulis. Cara mana yang digunakan bergantung pada pengalaman, kebiasaan,
dan pendekatan masing-masing. Sasaran utmanya adalah menghasilkan teks naratif berupa kisah
inspiratif.
Menulis kisah inspiratif harus benar-benar dari pengalaman nyata pribadi penulisnya, bukan
plagiat, bukan fiktif, bukan rekayasa, dalam menghadapi masalah dan upaya inovatif dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Inovatif merupakan kemampuan atau daya upaya untuk menciptakan
sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Berinovasi setidaknya harus memiliki
elastisitas yang tinggi dalam berpikir. Selain itu, produktif dalam mencipta, sensitif terhadap keadaan dan
tantangan, kreatif dalam melakukan sesuatu, dan original dalam mencipta sesuatu yang baru, bahkan
tidak terpikirkan oleh orang lain.
Ada beberapa contoh kisah inspiratif guru dalam mengelola pembelajaran di masa pandemi covid-
19. Misalnya, kisah inspiratif Ibu Titis Kartikawati, guru SD di Sanggau, Kalimantan Barat dan Titik Nur
Istiqomah, guru SD Muhammadiyah, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Mereka diundang dalam acara
"Inspirasi Tokoh Pendidikan pada Masa Pandemi" yang digelar bertepatan dengan peringatan Hari
Pendidikan Nasional (Denty A,/Aline/ gln.kemdikbud.go.id/gln). Kisah inspiratif Ibu Titis Kartikawati ialah
mengatasi kendala dalam proses pembelajaran jarak jauh karena letak geografis yang beragam yang tidak
mendapat akses internet secara merata. Guna mengatasi masalah tersebut, Ibu Titis bersama dengan
Komunitas Guru Belajar berkolaborasi dengan RRI Sanggau mengadakan Program Belajar selama satu jam
dengan menggunakan radio. Siswa bisa belajar melalui siaran RRI yang menjangkau beberapa kabupaten
hingga ke pelosok perbatasan. Lain lagi dengan kisah inspiratif Ibu Titik Nur Istiqomah, yang menggunakan
media Tik Tok untuk pembelajaran, dengan tujuan menciptkan pembelajaran yang menyenangkan bagi
para peserta didik, terlebih-lebih anak-anak sekarang banyak yang menggunakan media tersebut.
Bagaimana dengan Anda? Mari menuangkan kisah inspiratif tentang pengalaman guru dalam
mengajar di masa pandemi covid-19 dalam tulisan dengan tema "Perjuangan Guru Melampaui
Keterbatasan". Kisah yang berisi problem guru dalam mengajar di masa pandemi covid-19 dan langkah-
langkah inovatif yang diambil dalam mengatasi masalah, sehingga peserta didik mendapat pembelajaran
yang terbaik. Selamat menulis kisah inspiratif.

19
MENINGKATKAN MINAT BACA ATAU MENGGIATKAN BUDAYA TULIS?
Mungkin Kita Bukan Pujangga, Tapi Jadilah Literat
oleh: Cucu Agus Hidayat

"Dalam kuliah-kuliah Ibn 'Abbas, aku biasa mencatat pada lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya
di kulit sepatuku, kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata kepadaku : 'Hafalkanlah, tetapi terutama
sekali tuliskanlah. Bila kau telah sampai di rumah, tuliskanlah apa yang kau dapat dari kuliahmu. Dan jika
kau memerlukan, atau kau tidak ingat lagi, maka bukumu akan membantumu." (Sa'ad Ibn Jubair).

Berbicara mengenai asal mula tulisan, tidak mudah dipastikan kapan manusia mulai
menggunakan tulisan. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisan ditemukan oleh Cadmus, seorang
Pangeran dari Phunisia, lalu membawanya ke Yunani. Dalam fabel China dikisahkan bahwa T'sang Chien,
naga Tuhan bermata empat yang pertama-tama menentukan tulisan. Dalam cerita lain, disebutkan bahwa
Nebo, Tuhan bangsa Babilonia, dan Thoth, Tuhan bangsa Mesir Kuno memberi manusia kepandaian
menulis dan berbicara. Lainnya lagi, Rabbi Akiba, sarjana bangsa Talmud, percaya bahwa alfabet sudah
ada di dunia sebelum adanya manusia. Dalam pendidikan Islam dipercaya bahwa Alloh SWT menciptakan
tulisan, lalu memberikannya kepada manusia (Chaer, 1994:85).
Para ahli dewasa ini --dari temuan-- memperkirakan tulisan berawal dari gambar-gambar
sederhana yang melambangkan sifat benda, yang mengusung satu makna atau satu konsep, yang disebut
_piktogram_ dan sistem tulisannya disebut piktograf._ Dari piktograf, kemudian lahir _ideograf,_ yang
menggambarkan gagasan, ide, atau konsep dari gambar. Dalam perkembangan selanjutnya, dari piktograf
dan ideograf, muncul aksara paku atau aksara silabis yang menggambarkan suku kata. Selanjutnya,
muncul tulisan dengan aksara fonemis yang bersifat alfabetis. Aksara merupakan sebuah sistem penulisan
suatu bahasa dengan menggunakan simbol-simbol atau keseluruhan sistem tulisan, misalnya Aksara Latin,
Aksara Arab, Aksara Jawa, Aksara Sunda, dan lain-lain. Bahasa Indonesia menggunakan Aksara Latin
dengan alfabet dimulai dari huruf A sampai dengan huruf Z.
Bahasa melekat pada diri manusia yang digunakan untuk berkomunikasi, bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Ronald Wardhaugh (dalam Hidayat A. Ahmad, 2006:22)
mengatakan bahwa "language is a system of arbitrary vocal symbols used for human communication".
Dari definisi ini, dan kalau dikaji lebih jauh, terdapat beberapa butir ciri atau sifat bahasa (universal), yaitu
bahwa bahasa adalah : sebuah sistem, berwujud simbol, berupa bunyi ujaran, bersifat arbitrer
(manasuka), bermakna, konvensional, produktif, bervariasi, dinamis, alat komunikasi, dan sebagai
identitas penggunanya. Karena bahasa hadir dan dihadirkan oleh Tuhan kepada manusia, maka manusia
disebut makhluk berbahasa (homo/animal symbolicum). Selain itu, manusia juga disebut makhluk berpikir
(homo sapien), makhluk bermain (homo ludens), mahkluk bersastra (homo fabulans), makhluk pencipta
alat (homo faber), dan makhluk bermasyarakat (homo sosio).
Sebelum dikenal sistem tulisan (aksara), tradisi lisan dalam bentuk bunyi ujaran (speech sound),
yang berupa satuan-satuan bunyi bahasa yang dihasilkan alat artikulasi manusia, mendominasi sistem
atau menjadi alat utama komunikasi manusia dalam menerima dan menyampaikan beragam informasi,

20
pesan, gagasan, perasaan, kehendak, dan sebagainya. Setelah sistem tulisan ditemukan --dari yang
primitif hingga modern-- tradisi tulis menjadi sarana penting dalam komunikasi. Belakangan, menjadi jelas
bahwa tuturan lisan dan ingatan tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Lembaran-lembaran catatan pun
mulai bermunculan, berkembang, dan berlaku di antara penuntut ilmu, kalangan pembelajar, dan
masyarakat umum disertai inovasi media tulisan. Tulisan menjadi semacam "rekaman" bahasa lisan yang
ditulis dengan bimbingan logika, pertimbangan, atau pemikiran, sehingga logis dan sistematis, sebagai
usaha manusia untuk "menyimpan" ekspresi bahasanya atau untuk menyampaikan beragam hal kepada
orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Kutipan di awal tulisan di atas merefleksikan pentingnya tradisi tulis untuk merekam "bahasa
lisan", mencatat sesuatu agar tidak mudah dilupakan, mendokumentasikan informasi penting, dan
menyebarluaskan informasi atau ilmu pengetahuan. Tradisi tulis berperan besar di dalam kehidupan
modern. Tulisan bisa menembus ruang dan waktu, sementara bahasa lisan bisa hilang tak berbekas
selepas dituturkan. Tulisan dapat disimpan dalam waktu lama, tetapi tidak melalaui bahasa lisan. Hanya
teknologi yang mampu memfungsikan bahasa lisan agar menembus ruang dan waktu serta tahan lama
melalui rekaman atau video. Kendati demikian, peranan bahasa tulis yang besar tidak menafikan peranan
bahasa lisan dalam berinteraksi atau berkomunikasi. Tuturan lisan dan kecakapan berbahasa lisan yang
baik, tetap penting untuk dikuasai, misalnya untuk berdialog, berdebat, berdiskusi, berpidato,
berceramah, berdeklamasi, dan ekspresi lisan yang lainnya.
Dalam konteks baca-tulis, aktivitas manusia sebagai pembelajar sepanjang hayat bersingungan
dengan budaya baca-tulis. Nyaris tidak ada satu bidang kehidupan pun yang tidak dapat lepas dari aktivitas
baca-tulis. Sebuah forum literasi internasional memiliki semboyan yang bagus : _Read the Word, Read
The World_ (Membaca Kata, Membaca Dunia). Semboyan itu merupakan sintesa dari ikhtiar memahami
teks dan konteks, yaitu aktivitas intelektual dalam menyerap dan memahami informasi tekstual dan
keseluruhan tanda-tanda alam. Konsep pertama terkait pemahaman dari tulisan, sedangkan konsep
kedua dari _alam terkembang menjadi guru_ sebagai hamparan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa,
tempat manusia belajar dari tanda-tanda kekuasaan ilahi. Lewat membaca teks dan konteks, terbukalah
jendela cakrawala ilmu pengetahuan manusia.
Membaca dan menulis adalah strategi kebudayaan yang sangat canggih. Semua peradaban dunia
ditandai oleh daya dan hasil literat masyarakatnya. Mari kita lihat sejarah peradaban bangsa-bangsa di
dunia. Semua mengejar pencapaian ilmu sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban. Ilmu terekam
dalam buku. Buku laksana setetes ilmu. Mendapat ilmu lewat membaca. Karena itu, buku, penulis,
pembaca, dan perpustakaan menginisiasi kemajuan sebuah bangsa. Transformasi dan distribusi ilmu
dilakukan lewat baca-tulis. Literasi menjadi sebuah tradisi budaya sangat tinggi sebagai ciri intelektualitas
masyarakat sebuah bangsa.
Menulis tidak dapat dikatakan lebih rendah kepentingannya daripada membaca. Demikian pula
sebaliknya. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai dwitunggal aktivitas intelektual yang saling
melengkapi. Jika salah satu di antaranya mendapat penekanan berlebihan, maka akan muncul "kekacauan
intelektual" atau ketidakseimbangan berbahasa dalam diri seseorang. Apabila kita ingin meningkatkan
minat baca, maka selayaknya kita juga berupaya menggiatkan budaya tulis. Aktivitas membaca akan
memiliki manfaat lebih jika diikuti dan dilanjutkan dengan aktivitas menulis. Sebaliknya, aktivitas menulis
akan lebih berbobot jika dilengkapi beragam sumber referensi sebagai hasil dari kegiatan membaca.
Menulis dengan baik dan benar menjadi "lengan" progres dari membaca dengan baik. Menulis bisa berati

21
"mengungkapkan" hasil proses membaca dengan baik secara konkret lewat tulisan. Menulis akan
"memaksa" kita belajar menentukan, memunculkan, dan mengorganisasikan ide baru sebagai hasil
sintesis dari beragam gagasan secara logis. Menulis mengajari kita mengatur gaya ungkap dan daya
linguistik secara tertib, logis, dan sistematis. Menulis membimbing kerja motorik kita untuk berlatih dan
menjadikannya budaya. Menulis ibarat "lidah bertulang" sebab ditulis dengan daya intelektualitas yang
terkontrol, bukan "lidah tak bertulang" layaknya berbicara yang seringkali kurang terstruktur dan
terpeleset.
Lantas, mengapa tradisi menulis terasa sepi? Mengapa menulis sering dianggap sulit? Bukankah
sejak dari SD, SMP/MTs, SMA/SMK, hingga Universitas, kita menerima pelajaran menulis? Mungkin 16
tahun kita belajar membaca dan menulis. Beberapa pakar berpendapat kesulitan menulis disebabkan oleh
beberapa faktor, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik terkait antarfaktor. Penyebab tersebut antara
lain : kurang berhasrat/motivasi untuk menulis; menulis dianggap kurang penting; kurang bahan atau ide;
lemah dalam sistem kebahasaan; lemah dalam penguasaan mekanisme menulis; tidak ada waktu luang;
kurang frekuensi latihan; malu atau kurang percaya diri; kurang mendapat apresiasi; dan sarana/media
tulisan kurang mendukung semarak baca-tulis.
Demikian juga dengan tradisi membaca masih harus terus ditumbuhkan. Kemampuan membaca
sebagai proses kognitif dan emotif untuk memperoleh informasi sekaligus memahami cara pengarang
menyajikan gagasan sangat penting. Aspek-aspek yang terlibat dalam ikhtiar pengembangan kemampuan
membaca cukup kompleks. Minat dan kebiasaan membaca perlu terus dibina dengan memperhatikan
perkembangan bahasa, faktor kesiapan membaca, diagnosis sendiri, kemampuan mata, fleksibilitas
membaca, kelemahan daya baca, ketersediaan bahan bacaan yang layak, dan sebagainya.
Daya baca-tulis dapat dilihat dari indikator pencapaian melek aksara. Melek aksara atau melek
huruf secara harfiah adalah kemampuan membaca dan menulis. Lawan kata melek aksara adalah tuna
aksara atau buta huruf, yakni ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Secara luas,
melek aksara dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain
: memahami isi bacaan, mengungkapkan isi bacaan secara tertulis, bercerita atau berbicara dalam
beragam bentuk. Dalam perkembangan selanjutnya, melek huruf juga dimaknai sebagai kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa, baik kemampuan reseptif-apresiatif maupun ekspresif-produktif dengan
sarana bahasa lisan maupun tulisan, sehingga terwujud masayarakat literat yang belajar sepanjang hayat.
Bahkan UNESCO mendefinisikan melek aksara sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti,
menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat
pada bahan-bahan cetak atau tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi.
Angka melek aksara menjadi tolak ukur dalam menetapkan standar SDM di suatu daerah atau
negara yang melibatkan indikator kesejahteraan, akses kelanjutan belajar, kesehatan, status sosial,
tingkat ekonomi, kesempatan bekerja, kualitas hidup, daya saing, dan indikator lainnya. Dengan kata lain,
kemampuan baca-tulis sangat penting sebagai kegiatan berkelanjutan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, menggali potensi diri, berpartisifasi penuh dalam kemajuan, membina kebudayaan, dan
pilar keunggulan bangsa. Dengan demikian, keberaksaraan dan literasi perlu terus dibina dan
dikembangkan di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat agar terwujud tingkat keberaksaraan dan
literasi yang tinggi sebagai ciri peradaban bangsa yang maju.

22
Dalam kaitan dengan konstelasi dunia pendidikan abad ke-21 sebagai era milenium, era digital,
atau revolusi industri 4.0, banyak tantangan bangsa yang harus dipahami, direspons, dihadapi, dan diatasi
bersama. Tantangan pendidikan di era kekinian antara lain adalah harus mampu melahirkan peserta didik
yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan (beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa),
berkepribadian/berkarakter, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berilmu, cakap, kreatif, terampil, mandiri,
dan bertanggung jawab. Pendidikan pada abad ke-21 sekurang-kurangnya perlu berorientasi pada tiga isu
penting, yaitu pendidikan karakter, pendidikan kompetensi berpikir, dan pendidikan literasi. Peserta didik
harus memiliki nilai-nilai karakter yang saling berinteraksi dan berkembang secara dinamis sehingga
membentuk keutuhan pribadi, yaitu nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Peserta didik juga harus memiliki kompetensi berpikir dengan membina dan mengembangkan potensi
intelegensi dalam periode perkembangan dirinya yang dimulai dari LOTS _(Lower Order Thinking Skill)_
menuju HOTS _(Higer Order Thinking Skill)_ atau 5 C, yaitu : _Creative, Critical Thinking, Communicative,
and Collaborative_ sebagai kecakapan berpikir kritis, kreatif, logis, reflektif, dan metakognitif. Selain itu,
peserta didik juga harus memiliki kemampuan literasi.
Literasi dalam kemasaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan aktivitas integratif dan
kontinum guna mewujudkan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara
cerdas melalui aktivitas membaca, menulis, menyimak, wicara. GLS dilakukan secara holistik, sekuensial,
kolaboratif, integratif, kontinu dengan tujuan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran
dengan warganya yang literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Di sekolah, GLS dilakukan dalam
tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran dengan fase literasi dasar _(basic literacy),_ literasi
perpustakaan _(library literacy),_ literasi media _(media literacy),_ literasi teknologi _(technologi
literacy),_ dan literasi visual _(visual literacy)._ Agar mampu bertahan di era digital ini, dunia pendidikan
dan masyarakat harus menguasai minimal 6 literasi dasar, yaitu literasi baca tulis, literasi
berhitung/numerik, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi keuangan, literasi
budaya dan kewargaan.
Literasi bukan sekedar "keberaksaraan" atau "melek huruf", melainkan melek berbagai hal atau
"multikiterasi", yaitu kemampuan menggunakan beragam cara untuk memahami dan menyatakan ide,
gagasan, konsep, informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional, teks inovatif, dan
multimedia yang dilakukan antara lain melalui membaca dan menulis. Membaca dan menulis menjadi
aktivitas utama dalam literasi dasar. Sekolah sebagai bagian dari pusat kebudayaan merepresentasikan
miniatur masyarakat yang memiliki nilai, norma, sikap, pandangan, kebiasaan, dan tindakan, ikut terlibat
membangun budaya dan peradaban. Karena itu, insan pendidikan harus memiliki kultur literat, yakni
adanya minat, kebiasaan, kegemaran, dan kebutuhan untuk berliterasi yang memola dan berakat kuat
dalam komunitas sekolah dengan pelibatan publik. Literasi menjadi kunci dalam keberhasilan dunia
pendidikan di era akselerasi teknologi informasi, globalisasi, digitalisasi yang membawa transformasi nilai
religi, moral, sosial, budaya. Insan pendidikan yang literat akan menjadi sumber daya menuju gerbang
kebudayaan dan peradaban bangsa yang maju, berkarakter, dan cemerlang.
Mengembangkan literasi dengan aktivitas dasar baca-tulis perlu dilakukan terus-menerus dengan
mengikis berbagai kendala, terutama kendala internal pada diri kita dalam membaca dan menulis.
Mungkin kita bukanlah pujangga, sebuah nama yang disematkan pada sastrawan lama yang terkungkung
tradisi penulisan dan latar sosial budaya. Mungkin juga kita bukanlah pujangga yang pandai meracik
untaian kata menjadi bahasa berirama dan bersayap. Kita juga mungkin bukan pujangga yang hidup di

23
masa silam yang terbatas akan sarana media tulisan. Kita juga mungkin bukan pujangga yang beraktivitas
di jaman kolonial yang penuh kesulitan dalam resepsi dan ekspresi. Kita juga bukan pujangga yang
bertarung dengan penulis kerajaan yang diberi _privillege._ Kita adalah kita yang hadir di jaman _now_
yang memiliki kapasitas untuk berliterasi. Membaca dan menulis adalah persoalan persepsi, kebutuhan,
pembiasaan, pendampingan, latihan, dan apresiasi. Semoga kita dapat meningkatkan kapasitas literasi
dan budaya literat kita. Guru sebagai tokoh penting di balik penanaman kemampuan literasi siswa harus
literat. Jangan sampai guru jarang membaca dan menulis, tetapi menyuruh siswa untuk rajin membaca
dan menulis. Siswa akan menjadikan guru sebagai _role model_ dalam pembelajaran dan pembiasaan.

Referensi :
Chaer, Abdul. 1994. _Linguistik Umum._ Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Crystal, David. 1989. _The Cambridge Encyclopedia of Language._ New York, Ny 1001 USA. Press Syndicate
of the University of Cambridge.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. _Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda._ Bandung
: PT Remaja Rosda Karya.
Hidayat, Amir F dan Elis N.R. 2006. _Ensiklopedia Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan dalam Bahasa._
Bandung : CV Pustaka Grafika.
Lubis, Hamid Hasan. 1994. _Glosarium Bahasa dan Sastra._ Bandung : Angkasa.
Tampubolon, DP. 1990. _Kemampuan Membaca, Teknik Membaca Efektif dan Efisien._ Bandung :
Angkasa.

24
BERBAHASA SANTUN;
KACA BENGGALA BUDAYA BANGSA
Oleh: Cucu Agus Hidayat

P ara sarjana antropologi mengungkapkan bahwa kebudayaan manusia memiliki unsur-unsur


universal yang dapat ditemukan pada semua kebudayaan manusia di mana pun di dunia ini.
Unsur-unsur kebudayaan universal (universal culture) dianggap sebagai substansi dari kebudayaan
manusia atau sebagai subjek pokok etnologi. Beberapa unsur kebudayaan universal tersebut ialah
sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan, kesenian, dan bahasa.
Bahasa merupakan unsur kebudayaan yang dimiliki dan digunakan oleh manusia untuk
mengidentifikasi diri, bekerja sama, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan menggunakan sistem
simbol atau lambang arbitrer, sehingga manusia disebut makhluk berbahasa (homo longuens).
Menurut beberapa linguis, bahasa merupakan suatu sistem simbol-simbol bunyi arbitrer yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi antarsesama. Dalam mengemban fungsinya, bahasa
sebagai elemen budaya berperan sebagai sarana pengembangan kebudayaan, jalur penerus
kebudayaan, dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan. Dengan demikian, berbahasa sebagai sikap, sifat,
dan perilaku tindak tutur merupakan wujud budaya observable yang memantulkan karakteristik
anggota masyarakat pemakainya.
Berbahasa dalam manifestasi tutur kata yang kompleks mencerminkan kaca benggala budaya
bangsa. Unsur segmental bahasa bersama-sama dengan aspek non-segmental bahasa
(suprasegmental, paralingiustik, semantik) yang digunakan, tidak saja menjadi instrumen
komunikasi, melainkan juga menjadi ciri dan derajat pemakai bahasa, gambaran peradaban, dan
geliat kebudayaan masyarakat pemakainya. Karena itu, kaca benggala budaya bangsa tercermin juga
dari tindak tutur berbahasa masyarakat penuturnya. Barangkali karena hal tersebut, kita bisa
memahami adanya ungkapan yang berbunyi "Bahasa menunjukkan bangsa".
Sebagai cermin diri dari budaya dan kepribadian bangsa, penggunaan bahasa selayaknya
memperhatikan teori dan praktik berbahasa dalam hubungannya dengan norma religi, norma sosial,
dan norma budaya yang memberikan nilai (value) dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang
memperhatikan norma, etika, dan nilai-nilai menentukan derajat pemakainya, kualitas
berbahasanya, keharmonisan, keakraban, dan menumbuhkan budi pekerti, perilaku, dan
kepribadian yang memandu akal dan hati dalam menimbang beragam bentuk, makna, dan efek
komunikasi itu baik atau buruk. Manusia berkepribadian adalah manusia yang memiliki keutuhan
pribadi, yakni akal, kalbu, nurani, jasmani, dan selarasnya niat, pikir, ucap, perilaku baik. Dalam
komunikasi, kepribadian seseorang terpancar dari kemampuan seseorang berbahasa sebagai sistem
simbol dengan mengusung etika, moralitas, estetika, dan nilai-nilai yang mendukung keutuhan
kepribadiannya.
Bahasa yang membawa makna, moral, dan nilai bagi penuturnya adalah bahasa yang santun.
Menurut Geertz (Sauri, 2006:51) bahasa santun merupakan bahasa yang dipergunakan oleh
masyarakat dengan memperhatikan adanya hubungan sosial antara pembicara dan penyimak dan
bentuk status serta keakraban. Sumber kesantunan berbahasa antara lain adalah dari nilai-nilai
agama, adat istiadat, budaya, sosial, naluri, nurani, keluarga, lingkungan, pengalaman, kebiasaan, dan
peradaban bangsa.

25
Upaya untuk mewujudkan penutur bahasa yang santun merupakan hal yang sangat penting.
Komunikasi antarmanusia akan terjalin dengan baik yang berdampak pada ketenteraman,
ketenangan, dan keharmonisan relasi sosial. Namun, secara empirik masih banyak orang yang
berbahasa kurang atau tidak santun. Hal ini, bukan sekedar persoalan sikap berbahasa, melainkan
juga akibat adanya evolusi sosial budaya yang kompleks dengan membawa tatanan nilai yang
berpengaruh terhadap aktivitas berbahasa. Faktor waktu, tempat, struktur sosial, dan situasi turut
berperan.
Beberapa fenomena berbahasa kurang santun di masyarakat, antara lain masih banyak orang
yang menggunakan lidahnya secara bebas tanpa didasari oleh pertimbangan nilai, moral, etika,
logika, nurani, yang berujung pada kesalahpahaman, perselisihan, pertentangan, dan beragam
konflik. Ucapan dan perilaku ketidaksantunan terwujud dari ekspresi bahasa imperatif, bahkan
afirmatif. Beberapa ahli berpendapat bahwa ketidaksantunan berbahasa, baik pada penutur maupun
lawan tutur dipengaruhi oleh watak, status sosial di masyarakat, unsur feodalisme, dan perubahan
perilaku berbahasa (Suari, 2006:10).
Bentuk-bentuk ujaran berbahasa tidak/kurang santun dalam wujud kosa kata yang disertai
isyarat badan, pemeran serta, dan situasi dikemukakan oleh Sauri (2006:114) secara terperinci,
antara lain: abis, aing, anjing, anjir, biarin, bokap, boloho, edan, elu, goblog, gue, manéh, monyet,
nyokap, setan, udah, dan lain-lain masih biasa kita simak dalam tindak tutur kata sehari-hari. Tingkat
tutur (undak-usuk) bahasa yang mendudukan posisi penutur dengan mitra tutur sebagai unsur
budaya sudah kurang dianggap sebagai panduan akal, hati, dan ekspresi berbahasa santun. Hal ini
sungguh fakta anomali dengan konsepsi bahwa perbedaan usia penutur dengan mitra tutur, jenis
kelamin, posisi dalam pekerjaan seharusnya menentukan realisasi kesantunan berbahasa.
Diksi yang sesuai dengan tingkatan tuturan selayaknya hadir dalam bertutur sapa atau
berbahasa dengan sesama. Menurut Kunjana (2006:14) aspek-aspek kebahasaan, seperti ragam,
genre, dialek, register khusus, tata format pertuturan, jarak dalam bertutur, dan lain-lain akan
banyak menunjukkan apakah orang yang bersangkutan memiliki pengalaman kebahasaan dan
kebudayaan yang luas sepanjang hidupnya. Kesantunan berbahasa bukan hanya diwujudkan dalam
bentuk bahasa, tetapi juga non-bahasa dan pragmatik sebagai wujud fungsi-fungsi bahasa. Dalam
pragmatik, potensi kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa terrealisasikan dalam beragam
wujud tuturan imperatif (perintah/suruh).
Menciptakan dan mengembangkan kondisi berbahasa santun sangat penting. Ketidaksantunan
berbahasa yang difragmentasikan oleh penutur dan mitra tutur tentu berdampak negatif pada relasi
personal-sosial, ketahanan bangsa, dan keharmonisan kehidupan. Perwujudan berbahasa santun
harus dilakukan oleh semua pihak, mulai dari keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah atau dunia
pendidikan, pemerintah, dan segenap komponen bangsa.
Berbahasa santun perlu dibina sejak dini di lingkungan keluarga sebagai bagian dari
internalisasi tata nilai, pembiasaan, dan keteladanan untuk ketahanan keluarga. Demikian pula di
lingkungan masyarakat, perlu bersinergi dalam mewujudkan dan melestarikan berbahasa santun.
Peranan sekolah atau pendidikan tidak berhenti pada upaya pewarisan dan pelestarian nilai dalam
berbahasa santun, tetapi juga menjadi lokomotif dan pembaruan berbahasa santun di masyarakat
melalui berbagai program peningkatan karakter siswa. Sinergitas, konsistensi, komitmen,
pembiasaan, dan keteladanan menjadi modal dalam berbahasa santun.

26
Berbahasa santun merupakan bagian dari karakter, kepribadian, dan jati diri bangsa.
Berbahasa santun menjadi cerminan budaya bangsa. Sigmund Freud pernah berujar "character is a
striving system which underly behaviour." Karakter adalah sekumpulan tata nilai yang mewujud
dalam suatu sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku. Berbahasa santun
membutuhkan tata nilai yang diwujudkan dengan daya juang, baik dalam pemikiran, sikap, dan
tindakan.

Sumber Rujukan
Rahardi, Kunjana. 2006. _Bahasa Kaya, Bahasa Berwibawa._ Yogyakarta : CV. Andi Offset.
Sauri, Sofyan. 2006. _Pendidikan Berbahasa Santun._ Bandung : PT. Genesindo.

27

Anda mungkin juga menyukai