Anda di halaman 1dari 22

METODE DAN TEKNIK DAKWAH TENTANG ISLAM WASATHIYAH DI

KALANGAN MAHASISWA
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Webinar Mata Kuliah Ilmu Dakwah

Oleh Kelompok 2 :

Dwi Arta Melvia 04010421006


Eva Ayu Werdaningsih 04010421007
Ihda Hana Asyiqotun Nabilah 04010421009
Izam Lisa’iharodiyah 04010421010
Rizky Isnaini Aulia Cyntia 04010421013
Saila Siti Nur Khodijah 04010421014
Siti Nurvia Nisfatimah B94218114
Sri Nawang Syh 04010421015
Tiara Shefy Pratama 04010421016
Zahra Fitri Anjani 04010421017

Kelas : Ilmu Dakwah D1

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Moh Ali Aziz, M.Ag


Asisten Dosen: Baiti Rahmawati, M.Sos

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, yang telah
diimplementasikan secara utuh dan menyeluruh (kaffah) oleh Rasulullah SAW. Salah
satu dari kesempurnaan ajaran Islam adalah mampu membentuk manusia yang
berakhlak mulia (akhlakul karimah). Membangun akhlak mulia pada diri manusia
dibutuhkan proses pembiasaan sejak dini dan melalui proses pendidikan secara
bertahap dan berjenjang yang polanya bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah yang
dilaksanakan secara dinamis dan komprehenship termasuk dalam menghadapi era
globalisasi saat ini.
Islam wasathiyah sebagai tema Musyawarah Nasional ke-9 Majelis Ulama
Indonesia (MUI) adalah upaya menunjukan wajah Islam Indonesia yang layak menjadi
contoh bagi dunia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menggelar Musyawarah
Nasional (Munas) ke-9 pada tanggal 24 hingga 27 Agustus di Surabaya Jawa Timur
dengan mengusung tema “Islam wasathiyah untuk Indonesia dan Dunia yang
Berkeadilan dan Berkemajuan”. KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI menjelaskan
Islam wasathiyah adalah Islam moderat, yang toleran, damai, dan santun. Ia
mengatakan, Islam wasathiyah tidak menghendaki terjadinya konflik. Selain itu, model
tersebut juga tidak memaksakan diri dan menghargai perbedaan. Tiga Ormas Islam
terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional (Munas), tidak hanya menyusun
kepengurusan baru, namun merumuskan konsep Islam yang dinilai mampu menjawab
problematika di Indonesia. Konsep tersebut, yakni Islam berkemajuan
(Muhammadiyah), Islam nusantara (Nahdlatul Ulama), dan Islam wasathiyah (Majelis
Ulama Indonesia). 1
Dakwah merupakan fenomena keagamaan yang bersifat ideal normatif
sekaligus juga fenomena sosial yang rasional, aktual dan empiris sebagai sunatullah.
Oleh karena itu dakwah erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pandangan bahwa dakwah merupakan alam shaleh (syariah dan akhlak)
yang bersumber dari iman (aqidah), taqwa (apresiasi ketuhanan) yang harus
dilaksanakan dan dipahami manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan. Sehingga

1
U. Kusoy Anwarudin. 2020. “Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah dalam Mengembangkan
Pemikiran Holistik Mahasiswa. Sukabumi” : Jurnal at-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 30
Nomor 2.

1
dakwah harus sejalan dengan dunia modern.2 Siapapun baik individu maupun
masyarakat selalu menginginkan keadaan sebelumnya. Dakwah tidak hanya sebatas
aktivitas oral communication, tetapi dakwah perlu dipahami sebagai sebuah sistem
untuk merealisasikan aaran Islam.3
Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan ;
Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan
ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut
di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan;
Kedua, kecenderungan ekstrem yang bersikap longgar dalam beragama dan tunduk
pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.
Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadits)
dan karya-karya ulama klasik (turats) sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi
dengan memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga
tak ayal mereka seperti generasi yang terlambat lahir, sebab hidup di tengah
masyarakat modern dengan cara berfikir generasi terdahulu.4
Dalam menghadapi masyarakat majemuk, sebagai mahasiswa yang disebut
sebagai generasi yang telambat lahir ini harus memiliki senjata yang paling ampuh
untuk mengatur agar tidak terjadi radikalisme dan bentrokan. Senjata tersebut adalah
berdakwah tentang Islam yang moderat dan inklusif. 5Mengingat begitu esensialnya isu
tersebut, maka dalam makalah webinar ini kami mengangkat topik tentang “Metode
Dan Teknik Dakwah Tentang Islam Wasathiyah di Kalangan Mahasiswa”. Dengan
adanya webinar tersebut diharapkan masyarakat mengetahui tentang bagaimana
metode dan teknik Dakwah Islam Wasathiyah dikalangan Mahasiswa dan memahami
makna yang terkandung dalam pembahasan tersebut.

B. Metode dan Teknik Dakwah


Menurut Yusuf Qardhawani esensi dakwah adalah bermakna membangun
gerakan yang akan membawa manusia ke jalan Islam meliputi akidah dan syariah,
dunia dan negara, mental dan kekuatan fisik, peradaban dan umat, kebudayaan dan
politik serta jihad yang ditegakkan di kalangan umat Islam sendiri, agar terjadi

2
Anwar Arifin. 2011. “Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi”. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 17
3
Amrullah Ahmad. 1983. “Dakwah Islam dan Perubahan Sosial”. Yogyakarta: Prima Duta. Hal. 12
4
Muchlis M. Hanafi. 2013. “Moderasi Islam” Ciputat: Ikatan Alumni Al-Azhar dan PSQ. Hal. 1-2
5
Mansur Alam. 2017. “Studi Implementasi Pendidikan Islam Moderat dalam Mencegah Ancaman Radikalisme
di Kota Sungai Penuh Jambi”. Jurnal Islamika Vol. 1, No 2 tahun 2017. Hal. 36

2
sinkronisasi antara realitas kehidupan muslim dengan aqidahnya. Di dalam dakwah
terdapat jalan atau cara yang dipakai untuk menyampaikan ajaran materi dakwah
(Islam). Saat menyampaikan pesan dakwah,  metode sangat berperan penting,
misalnya walaupun baik tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar pesan itu
bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.
Zaman dakwah Rasulullah, beliau membawa misi agamanya menggunakan
berbagai macam metode, yaitu dakwah bawah tanah, politik pemerintahan, surat
menyurat, dan peperangan. Jika dikelompokkan, metode berpijak pada dua aktivitas
yaitu tulisan dan badan atau lisan. Aktivitas lisan dalam menyampaikan pesan dapat
berupa pertama, metode ceramah. Metode yang dilakukan untuk menyampaikan
keterangan, petunjuk, pengertian, penjelasan, dan tentang sesuatu masalah dihadapan
orang banyak. Kedua, metode diskusi. Metode dalam arti mempelajari atau
menyampaikan bahan dengan jalan mendiskusikan sehingga menimbulkan pengertian
serta perubahan kepada masing-masing pihak sebagai penerima dakwah.
Ketiga, metode tanya jawab. Metode yang dilakukan dengan mengadakan
tanya jawab untuk mengetahui sampai sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang
dalam memahami atau menguasai sesuai materi dakwah. Keempat, metode konseling
yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang terdiri dari konselor sebagai
pendakwah dan klien sebagai mitra dakwah. Kelima, metode propaganda yang
bertujuan untuk menyiarkan Islam dengan cara mempengaruhi dan membujuk, tapi
bukan bersifat otoritatif (paksaan). Selain itu, juga bisa dalam bentuk petuah, nasehat,
wasiat, ta’lim, peringatan, dan lain-lain.
Aktivitas tulisan berupa penyampaian pesan dakwah melalui berbagai media
massa cetak (buku, majalah, koran, pamflet, dan lain-lain). Aktivitas badan dapat
berupa berbagai aksi amal sholeh, contohnya tolong menolong melalui materi,
lingkungan, penataan, organisasi atau lembaga-lembaga keislaman.6
Untuk menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam penyampaian
materi dakwah, menurut Quraish Shihab Al-Qur’an menempuh beberapa metode,
yaitu :
1. Mengemukakan kisah-kisah yang berhubungan dengan salah satu tujuan
materi. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an berkisar berkisar pada peristiwa-
peristiwa sejarah yang terjadi dengan menyebut pelaku-pelaku dan tempat

6
Miftakhul Lina Hidayati, “Metode Dakwah K.H. Abdurrahman Navis Dalam Program Fajar Syiar Di Radio El-
Victor Surabaya” (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018).

3
terjadinya (seperti kisah nabi-nabi), peristiwa yang sudah terjadi dan masih
dapat berulang kejadiannya, atau kisah simbolik yang tidak menggambarkan
suatu peristiwa yang telah terjadi sewaktu-waktu.
2. Nasihat dan panutan Al-Qur’an menggunakan kalimat-kalimat yang
menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang
dikehendakinya seperti dalam QS. Luqman ayat 13 -19. Tetapi nasihat yang
dikemukakan tidak banyak manfaatnya jika tidak disertai dengan contoh
teladan dan pemberi atau penyampai nasihat, dalam hal pribadi Rasulullah
SAW. Pada diri beliau telah terkumpul segala macam keistimewaan,
sehingga orang-orang yang mendengr ajran-ajaran Al-Qur’an melihat
penjelmaan ajaran tersebut dalam dirinya, yang pada akhirnya mendorong
mereka untuk meyakini keistimewaan dan mencontoh pelaksanaanya.
3. Pembiasaan. Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam
kehidupan manusia, karena dengan pembiasaan seseorang dapat melakukan
hal-hal yang penting dan beragam tanpa menggunakan energi dan waktu
yang banyak, dari sini dijumpai Al-Qur’an menggunakan “pembiasaan”
sebagai proses mencapai target yang diinginkannya dalam penyajian materi.
Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif (meninggalkan sesuatu) atau
pun aktif (melaksanakan sesuatu). 7
Para mahasiswa dapat melakukan dakwah wasathiyah dengan berbagai hal.
Secara umum yaitu dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, problem
solving, halaqoh, penugasan, eksplorasi, dan praktek kepemimpinan praktis. Rata-rata
program pembinaan ini dilakukan sejak mahasiswa berada pada semester empat
hingga semester delapan (4 semester/2 tahun).8
Sebagai mahasiswa, kita dapat membangun citra sebagai manusia yang
sempurna dan umat yang baik secara pribadi maupun kolektif yang bersedia dan
mampu mengemban amanah : 9
a. Amar ma’ruf nahi munkar dengan menumbuhkan karakter siddiq, amanah,
dan istiqamah.

7
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (Bandung: KP Hadid Fakultas Dakwah
IAIN Bandung, 1999) 62.
8
U. Kusoy Anwarudin. 2020. “Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah dalam Mengembangkan
Pemikiran Holistik Mahasiswa. Sukabumi” : Jurnal at-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 30 Nomor
2.
9
“Moderasi-Beragama.pdf.”

4
b. Menumbuh kembangkan sikap dan perilaku sosial yaitu, tawasuth, i’tidal,
tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap dan perilaku sosial tersebut akan membentuk komitmen, antara lain :
a) Menjunjung nilai dan norma ajaran Islam
b) Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c) Menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan serta nilai kasih sayang
d) Menjunjung tinggi kejujuran dalam berpikir, bersikap, dan bertindak
e) Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, bangsa, dan negara
f) Menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Adapun teknik berdakwah yang dapat dilakukan dikalangan mahasiswa, antara lain :
a) Belajar dan belajar dari dan dengan sumber yang otoritatif
b) Selalu klarifikasi setiap ada info yang diterima
c) Tidak memproduksi atau mereproduksi berita yang hoaks
d) Selalu silaturahim dan silatul fikri
e) Menginisiasi kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi interaksi umat dapat
merajut harmoni

C. Ciri-Ciri Islam Wasathiyah


Kehidupan Islam wasathiyah atau Islam moderat wajib dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari. Terlebih negara Indonesia adalah negara yang penuh dengan
keberagaman. Kehidupan Islam wasathiyah atau Islam moderat ditujukan untuk
menciptakan kehidupan yang jauh dari kekerasan, cinta kedamaian, toleransi, menjaga
nilai luruh yang baik, menerima setiap perubahan, dan pembaharuan demi
kemaslahatan. Menurut Mustaqim Hasan, ciri-ciri Islam Wasathiyah yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah)
Pandangan yang mengambil jalan pertengahan dengan tidak berlebihan dalam
beragama dan tidak mengurangi ajaran agama, jalan tengah ini dapat berarti
pemahaman yang memadukan antara teks ajaran agama dan konteks kondisi
masyarakat. Umat Islam tidak boleh hanya berpedoman teks saja kemudian
melupakan konteks sehingga menjadikan pemahaman yang ekstrim, radikal,
kaku, dan keras (fundamentalis) sehingga bersifat egois menganggap yang lain
tidak serupa dengan pemahamannya dianggap hal yang keliru. Begitu juga umat
Islam yang tidak boleh mengedepankan konteks saja dan mengesampingkan teks

5
ajaran agama sebagai pedoman (Al-Qur’an dan Hadist), sehingga menjadikan
pemahaman yang liberalisme, bebas tanpa arah, sesuka hati, dan tak terkendali.
Seorang hamba wajib taat kepada Allah SWT sebagai Tuhannya, dengan
menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Namun, hendaknya seorang
hamba juga harus memahami bahwa ia tidak dibenarkan bila memutuskan
aktivitas dunia dan menjauhkan dirinya dengan masyarakat. Keduanya harus
seimbang antara urusan dunia dan akhirat serta tidak mendominasi dari keduanya.
2. Tawazun (berseimbangan)
Istilah tawazun berakar dari kata mizan yang berarti timbangan. Namun, dalam
konteks moderasi beragama, mizan tidak diartikan sebagai alat atau benda untuk
menimbang melainkan keadilan dalam semua aspek kehidupan baik terkait
dengan dunia ataupun kehidupan akhirat. Islam adalah agama yang seimbang,
menyeimbangkan antar peranan wahtu ilahi dengan mendayagunakan akal rasio,
serta memberikan bagian tersendiri bagi wahyu dan akal. Dalam menjalankan
hidup Islam mengajarkan untuk bersikap seimbang antar ruh dengan akal, akal
dengan hati, hati nurani dan nafsu dan sebagainya. Tawazun dalam konteks
moderasi adalah berperilaku adil, seimbang tidak berat sebelah dibarengi dengan
kejujuran sehingga tidak bergeser dari garis yang telah ditentukan. Sebab,
ketidakadilan merupakan cara merusak keseimbangan dan kesesuaian jalannya
alam raya yang ditetapkan oleh Allah SWT.
3. I’tidal (lurus dan tegas)
Istilah i’tidal berasal dari kata bahasa Arab yaitu adil yang berarti sama.
I’tidal merupakan pandangan yang menempatkan sesuatu pada tempatnya,
membagi sesuatu dengan porsinya, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban.
Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan berlaku adil kepada siapa saja dalam
hal apa saja dan kita diperintahkan untuk senantiasa berbuat ikhsan dengan siapa
saja. Karena keadilan inilah menjadi nilai luhur ajaran agama.10
4. Tasamuh (toleransi)
Secara etimologis, toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu toleration yang
artinya toleransi. Dalam bahasa Arab toleransi disebut al-tasamuh, yang berarti
antar lain, sikap tenggang rasa, teposelero, dan sikap membiarkan. Sedangkan
secara terminologi, toleransi adalah sikap membiarkan orang lain melakukan

10
Mustaqim Hasan, Prinsip Moderasi Beragama Dalam Kehidupan Berbangsa, Jurnal Mubtadiin (Vol. 7, No.2,
2021) 111-118.

6
sesuatu sesuai kepentingannya. Selain itu, ada toleransi umat beragama yang
berarti membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain untuk
melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalang-halangi. Islam
menyadari dan mengakui adanya pluralisme agama sebagai kodrat yang
diciptakan oleh Allah SWT pada diri setiap manusia, bahwa setiap manusia
secara naluriah memang memiliki kecenderungan berbeda, termsuk dalam
memilih dan menentukan agama yang dianutnya. Allah SWT tidak menciptakan
dan atau memaksa manusia untuk memeluk agama tertentu melainkan
membebaskan kepada manusia untuk menentukan pilihan yang saling berbeda,
sebagaimana disampaikan dalam ayat berikut ini:
ۖ
َ‫اس ُأ َّم ٗة ٰ َو ِحد َٗة َواَل يَزَالُونَ ُم ۡختَلِفِين‬
َ َّ‫ك لَ َج َع َل ٱلن‬
َ ُّ‫َولَ ۡو َشٓا َء َرب‬
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Hud [11]: 118).
Islam memiliki prinsip dan ketentuan sendiri, yang harus dipegang teguh oleh
muslimin di dalam bertoleransi, antara lain :
a. Toleransi Islam terbatas dan fokus pada masalah hukum sosial
kemasyarakatan yang dibangun atas dasar kemanusiaan dan kasih sayang ,
sejauh tidak bertentangan atau tidak melanggar ketentuan agama Islam.
b. Toleransi Islam dalam konteks beragama hanya sebatas membiarkan dan
membrikan suasana kondusif bagi umat agama lain untuk beribadah dan
melaksanakan ajaran agamanya. Bukan menghalang-halangi umat lain untuk
beribadah.
c. Di dalam toleransi kemurnian akidah dan syariah wajib dipelihara. Maka
Islam sangat melarang toleransi yang kebablasan, yakni sikap toleransi yang
bersifat kompromistis yang bernuansa sinkretis.11
5. Musawah (Persamaan)
Musawah (persamaan) yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain
disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi, dan asal usul seseorang.12Musawah juga
diartikan persamaan derajat, Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia dari
segi personalnya semua manusia memiliki derajat yang sama diantara manusia

11
Surya A. Jamrah, Toleransi Antarumat Beragama : Prespektif Islam, Jurnal Ushuluddin (Vol. 23, No.2, 2017)
186 & 192
12
Abu Amar, Pendidikan Islam Wasathiyah ke-Indonesia-an, Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman (Vol. 2, No.1,
2018) 25

7
lainnya. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita saling menghargai satu sama
lain.
6. Syura (Musyawarah)
Musyawarah merupakan jalan atau cara untuk menyelesaikan setiap masalah
dengan jalan duduk bersama berdialog dan berdiskusi satu sama lain untuk
mencapai mufakat dengan prinsip kebaikan bersama diatas segalanya. Dalam
konteks moderasi, musyawarah merupakan solusi untuk meminimalisir dan
menghilangkan prasangkan dan perseliihan antar individu dan kelompok, karena
musyawarah mampu menjalin komunikasi, keterbukaan, kebebasan berpendapat,
serta sebagai media silaturrahmi sehingga akan terjalin sebuah hubungan
persaudaraan dan persatuan yang erat dalam ukhuwah islamiyah, ukhuwah
watoniyah, ukhuwah basariyah, dan ukhuwah insaniyah.
7. Ishlah (Reformasi)
Islah berakar dari kosa kata bahasa Arab yang brarti memperbaiki atau
mendamaikan. Dalam konsep moderasi, islah memberikan kondisi yang lebih
baik untuk merespon perubahan dan kemajuan zaman atas dasar kepentingan
umum dengan berpegang pada prinsip memelihara nilai-nilai tradisi lama yang
baik dan menerapkan nilai-nilai tradisi baru yang lebih baik demi kemaslahatan
bersama. Pemahaman ini akan menciptakan msyarakat yang senantiasa
menyebarkan pesan perdamaian dan persatuan dalam kehidupan berbangsa dan
beragama.
8. Aluwiyah (Mendahulukan yang Prioritas)
Al- awlawiyyah adalah bentuk jamak dari kata al-aulaa, yang berarti penting
atau prioritas. Awlawiyyah juga dapat diartikan sebagai mengutamakan
kepentingan yang lebih prioritas atau utama. Awlawiyyah dalam konteks moderasi
beragama, aulawiyah diartikan sebagai kemampuan mengidentifikasi hal ihwal
yang lebih penting harus diutamakan untuk dilakukan dibandingkan dengan
kepentingan yang lain.
9. Tathawur wa Ibtikar (Dinamis dan Inovatif)
Tathawur wa ibtikar merupakan sifat dinamis dan inovatif yang memiliki
pengertian bergerak dan pembaharu, selalu membuka diri untuk bergerak aktif
berpartisipasi untuk melakukan pembaharuan sesuai dengan perkembangan
zaman untuk kemajuan dan kemaslahatan umat. Berpikir secara pasif dan statis
akan membuat kita tertinggal dari perkembangan zaman yang begitu pesat. Oleh

8
karena itu, dengan Islam Wasathiyah atau Islam moderat dapat membuka peluang
kita untuk menciptakan pembaharuan dan terobosan baru dalam keidupan
beragama di Indonesia.
10. Tahadhdhur (Berkeadaban)
Menjunjung tinggi moralitas, kepribadian, budi luhur, identitas, dan integrasi
dalam kehidupan dan peradaban manusia. Dalam moderasi beragama kita sebagai
orang muslim harus bersikap baik dan memiliki adab yang baik. Baik kepada
sesama agama Islam maupun kepada umat beragama lain.
Dari 10 ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa Islam wasathiyah atau Islam
moderat wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan mahasiswa, untuk
menciptakan perdamaian dan persatuan diatas segala perbedaan beragama yang terjadi di
negara Indonesia.13 Adapun beberapa gambaran tentang Islam wasathiyah yang dikaji dari
beberapa aspek, aspek-aspek tersebut terdiri dari:
1. Aspek Akidah Ketuhanan
Aspek terpenting dalam ajaran Islam adalah aspek akidah. Tanpa akidah yang
benar, keislaman tidak terwujud. Akidah Islamiyah mewujud dalam diri manusia
sesuai dengan fitrahnya. Dalam fitrah manusia tertampung berbagai emosi seperti
rasa takut, harap, cemas, cinta, kesetiaan, pengagungan, penyucian, dan
bermacam lainnya. Tanpa mendefinisikannya, kita dapat berkata bahwa dalam
diri manusia ada dorongan untuk melakukan hubungan antara jiwa manusia dan
suatu kekuatan yang diyakini sebagai Maha agung. Manusia merasa bahwa
kekuatan itu adalah andalannya. Masa depannya berkaitan erat dengan kekuatan
itu dan kemaslahatannya tercapai melalui hubungan baik dengan-Nya. Puncak
akidah Islamiyah adalah kesadaran dan pengakuan tentang wujud Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam kepercayaan ini, Islam berada di tengah antara mereka yang
mengingkari wujud Tuhan dan mereka yang mempercayai banyak Tuhan. Islam
datang dengan akidah yang moderat, sehingga ada bahkan banyak sekali
ajarannya yang terjangkau nalar, tapi ada juga yang irasional, dan adalagi yang di
tengah keduanya, yakni suprarasional.
2. Aspek Hubungan Kuasa Allah dengan Aktivitas atau Nasib Manusia

13
Mustaqim Hasan, Prinsip Moderasi Beragama Dalam Kehidupan Berbangsa, Jurnal Mubtadiin (Vol. 7, No.2,
2021) 118-121

9
Dalam pandangan akidah Islam, Allah Maha kuasa. Apa yang dikehendaki-
Nya dapat terjadi dengan mudah sesuai dengan kehendak-Nya. Dialah Pencipta
alam raya dan Dia tetapkan keharusannya tunduk kepada-Nya suka atau tidak
suka (QS. Fushshilat [41]: 11). Allah menunjukkan kebiasaan-kebiasaan tentang
“kepastian” terjadinya hukum-hukum itu, serta kemampuan manusia
memanfaatkannya. Dari uraian di atas terlihat keseimbangan dalam pandangan
muslim antara keyakinan tentang kuasa Allah yang Maha mutlak dan anugrah-
Nya menetapkan Sunnatullah yang dapat dimanfaatkan manusia atas izin-Nya.
Demikian juga, berdampingan sekali lagi dalam pandangan muslim, kesadaran
tentang kuasa Allah yang mutlak dengan kesadaran tentang kemampuan manusia
yang terbatas. Kemudian, mengantarkannya melakukan aktivitas sepanjang
kemampuannya tapi tetap mengingat dan yakin bahwa Allah Maha kuasa atas
segala sesuatu.
3. Aspek Syariat (Moderasi dalam Beribadah)
Syariat adalah ketentuan Ilahi yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam
konteks kegiatan manusia. Kegiatan yang dimaksudkan dapat berbentuk ibadah
murni maupun non-ibadah murni. Pada prinsipnya, dalam konteks apapun, Allah
tidak menjadikan sedikit kesulitan pun bagi manusia. Ketentuan Ilahi ini
menghasilkan kemudahan dan moderasi sekaligus melahirkan larangan
menambah-nambah ibadah murni dan memberatkan diri dengan memilih ibadah
yang berat dan sulit jika ada pilihannya yang mudah.
4. Aspek Hukum
Wasathiyah yang diajarkan Islam di bidang hokum ditemukan antara lain
dengan adanya apa yang dinamai Maqashid Asy-Syari’ah, yakni tujuan tuntutan-
tuntutan agama yang mestinya selalu diperhatikan dalam konteks memahami
agama Islam serta menetapkan hukum-hukumnya. Di samping Maqashid yang
harus selalu menjadi perhatian dalam penetapan dan penegakan hukum, juga
harus diperhatikan prinsip-prinsip rincian hukum-hukum-Nya.
5. Aspek Kehidupan Bermasyarakat
Al-Qur’an menghendaki agar individu-individu yang hidup dalam satu
masyarakat hendaknya hidup dalam satu ikatan umat yang didasari oleh akidah

10
dan syariatnya. Islam memperhatikan dua hal yakni kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu, tanpa mengorbankan salah satunya. Itu demikian karena
tidak dapat disangkal adanya pengaruh lingkungan terhadap sikap baik atau buruk
seseorang. Namun, juga harus diingat bahwa ada potensi dalam diri manusia yang
dapat menjadikannya bebas memilih yang baik atau yang buruk.
6. Aspek Politik dan Pengelolaan Negara
Hal pertama yang perlu ditilik dalam konteks pemahaman wasathiyah terkait
politik dan pengelolaan negara adalah menyangkut keterlibatan agama dalam
politik serta hubungan agama dan negara. Jika berbicara tentang hubungan Islam
dan negara, maka jika itu dipahami sebagai ketetapan-ketetapan terperinci yang
telah ditetapkan sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi SAW dan para
sahabatnya setelah kepulangan beliau, maka ini adalah sesuatu yang perlu juga
didudukkan untuk didiskusikan. Dalam pandangan Islam Wasathiyah, persoalan
politik dalam Islam lebih-lebih dalam rinciannya diserahkan kepada pemikiran
pakar-pakar guna menyesuaikan rincian itu dengan pengembangan masyarakat
dan kemaslahatannya sambal memperhatikan dasar-dasar pokok ajaran Islam.
7. Aspek Ekonomi
Islam wasathiyah dalam persoalan ekonomi dan kepemilikan harta benda

adalah istikhlaf yang mewujudkan keseimbangan antara kepemilikan mutlak

yang disertai dengan kebebasan mengelola dan penghapusan kepemilikan

pribadi dan hak pengelolaan yang amat terbatas. Wasathiyah mengaturnya

demikian karena pemilik hakiki dari harta benda adalah Allah, maka Dia pula

yang berwenang mengatur tata cara pemerolehan dan peruntukannya. Namun,

dalam kedudukannya sebagai mustakhlaf (yang ditugasi oleh Allah), manusia

dituntut untuk melakukan keseimbangan antara kepentingan pribadinya dan

kepentingan masyarakat yang kesemuanya adalah hamba-hamba Allah.

8. Aspek Hubungan Sosial


Dalam pandangan Islam tentang hubungan antar manusia seluruhnya tanpa

perbedaan jenis, suku, atau agama dan mereka semua berasal dari satu

keturunan. Tiada perbedaan antara mereka dari segi kemanusiaan, karena itu

11
tidak wajar ada istilah “pihak lain” karena semua sama dari pandangan

kemanusiaan. Yang ada adalah “kita” bukan “kami”. Apa yang dikemukakan di

atas pada hakikatnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua

macam hubungan yang disebut di atas tidak boleh dipertentangkan karena

“hubungan keagamaan” tidak membatalkan “hubungan kemanusiaan”.

9. Aspek Kehidupan Rumah Tangga


Dalam kehidupan rumah tangga, keseimbangan suami-istri ditekankan-

Nya. Istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya, suami pun

demikian. Suami-istri harus sadar bahwa mereka sama-samah hidup, sama-

sama manusia, sama-sama dewasa, dan sama-sama cinta. Yang berbeda,

hanyalah seorang lelaki dan seorang perempuan, perbedaan yang dimaksudkan

agar mereka saling melengkapi. Sekian banyak petunjuk Al-Qur’an dan As-

Sunnah yang tujuannya menyadarkan suami-istri agar hidup rukun dan saling

menyadari ketidaksempurnaan masing-masing, sehingga “kalau kalian tidak

mencintainya lagi pasangan kalian maka (bersabarlah) karena bisa jadi di balik

ketidaksenangan itu Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS.

An-Nisa’ [4]: 19).

10. Aspek Pemikiran


Dalam Islam wasathiyah, menekankan pentingnya menggunakan daya akal

(berpikir logis dan sistematis). Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan agar

manusia berpikir tentang alam raya dan fenomenanya, tentang diri manusia

dan masyarakatnya, serta apa yang terbentang di alam raya ini dan yang

terhidang di sekelilingnya. Manusia diberi kebebasan penuh untuk berpikir

dalam objek-objek tersebut. Tetapi, ada banyak sekian “wujud” yang tidak

terjangkau oleh indra bahkan pikiran manusia. Dari sini Islam memerintahkan

untuk menggunakan daya ruh guna menyadari wujud-Nya. Selain itu, Islam

wasathiyah juga menekankan bahwa prinsip dasarnya adalah mempertahankan

pendapat masa lampau yang masih relevan atau sesuai dan menerima bahkan

memilih yang baru lebih baik selama tidak bertentangan dengan prinsip-

12
prinsip dasar Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, para penganut

wasathiyah terikat dengan masa lalu dalam prinsip dasar dan berhubungan

dengan masa kini dan masa datang dalam rinciannya.

11. Aspek Pemahaman Teks Keagamaan


Dalam konteks pemahaman teks-teks keagamaan, Islam wasathiyah

menjunjung tinggi teks dan mempertahankan yang sahih sedapat mungkin,

tetapi tidak kaku dalam pemaknaannya, tidak sampai melarang pengalihan

makna (takwil). Wasathiyah membenarkan takwil jika makna yang dikandung

teks tidak sejalan dengan pemikiran logis, apalagi jika bertentangan dengan

hakikat keagamaan. Namun, Ketika wasathiyah membolehkan takwil,

ditetapkan syarat-syarat yang harus dijadikan pertimbangan. 14

Dari ke-11 aspek yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Islam wasathiyah itu mencakup keseluruhan aspek dalam kehidupan
manusia, bahkan dari hal kecil pun sudah diatur sedemikian rupa tata cara
aturannya. Dengan tujuan, agar manusia melakukan sebuah kegiatan yang
memiliki kebermanfaatan untuk dirinya, sekaligus memperoleh pahala karena
telah mentaati apa yang telah diperintahkan oleh Allah.

D. Pola Pikir Mahasiswa


Mahasiswa adalah suatu kelompok pemuda yang diuntungkan oleh kondisi,
mereka dapat menikmati pendidikan tinggi dengan segala nilai-nilai akademis yang
ada dalam pendidikan tersebut. kebebasan akademis di kampus telah memberikan
ruang kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan pola pikir melalui berbagai
macam sarana, buku-buku, teori-teori yang diperoleh dari ruang perkuliahan, akses
informasi seperti internet ditambah dengan pola pikir yang terbentuk menjadikan
mahasiswa mampu merasa, melihat, dan mengamati setiap realita yang terjadi di
sekelilingnya.15
Pola pikir akan terbentuk melalui “imprint “ yaitu proses pembiasaan diri atau
pengalaman yang direkam sejak masa kecil pada seseorang. Sedangkan imprinting
14
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, (Lentera Hari: Tangerang
Selatan, 2020), 45-91.
15
Dedy Arfiyanto, Aprilina Susandini, “Pola Pikir dan Kepemimpinan Mahasiswa Pada Ketua BEM Fakultas di
Universitas Wiraraja Sumenep “ Jurnal “Performance” Bisnis & Akuntansi (Vol. 4, No. 2, 2014) 62

13
adalah suatu proses reaksi tingkah laku yang diperoleh orang selama masih sangat
muda dalam kehidupan.16 Setiap mahasiswa memiliki pola pikir yang berbeda-beda.
Ada beberapa pola pikir dikalangan mahasiswa, antara lain :
1. Pola Pikir Berkembang (Growth mindset)
Growth mindset dapat pula dikenal dengan istilah pola pikir dinamis. Pola pikir
berkembang dikatakan dinamis karena adanya kepercayaan bahwa kualitas diri
maupun daya intelektualitas mansia memiliki potensi besar untuk dapat terus
dikembangkan dan mengalami peningkatan.
2. Pola Pikir Tetap (Fixed mindset)
Fixed mindset sering disebut sebagai pola pikir statis yaitu, jenis pola pikir yang
menempatkan kualitas diri (bakat) dan intelektualitas individu sebagai sebuah
penentu utama yang telah ditetapkan serta tidak dapat diubah, dikembangkan
dan ditingkatkan.
3. Pola Pikir Positif
Pola pikir positif adalah suatu cara memandang segala sesuatu dari sudut
positifnya. Individu yang selalu berpikir positif akan cenderung antusias untuk
memecahkan masalah melalui proses intelektual yang sehat.
4. Pola Pikir Negatif
Pola pikir negatif adalah kecenderungan seseorang mempercayai segala fakta
dari sisi negatif. Kriteria individu yang berpikiran negatif adalah menilai diri
sendiri tidak mampu menghadapi sebuah permasalahan dan kerap dihantui rasa
takut.17

E. Dakwah Wasathiyah di Kalangan Mahasiswa


Pada zaman sekarang, pemahaman keagamaan mahasiswa di perguruan tinggi
umum beragam. Heterogenitas pemahaman keagamaan mahasiswa terefleks dalam
berbagai hal, antara lain :
a. Beragamnya lembaga atau struktur yang membidangi pendidikan agama
Islam di kampus.

16
Muhammad Syafi’i, Analisis Pola Pikir dan Perilaku Lingkungan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika
FKIP Universitas Riau. Hal. 54
17
Kasmia, “Pengaruh Pola Pikir Terhadap Kemampuan Presentasi Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam IAIN Parepare”, (Skripsi Sarjana, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam: Parepare, 2020), h.
17

14
b. Beragamnya organisasi ekstra kampus yang ada di lingkungan kampus
perguruan tinggi umum
c. Beragamnya cara berpakaian, terutama yang wanita
d. Beragamanya tema kajian dan atau pengisi kegiatan keagamaan di
kampus, dan
e. Beragamnya pandangan mahasiswa terhadap isu-isu keagamaan dan
kebangsaan.
Selain itu, gerakan keagamaan mahasiswa Muslim di perguruan tinggi umum
cenderung mudah disusupi pemahaman keagamaan yang bertentangan dengan nilai-
nilai kebangsaan. Organisasi keagamaan intrakampus sebagian besarnya berjejaring
dengan kelompok-kelompok dari luar kampus yang bersifat transnasional.
Karakteristik pemahaman keagamaan mahasiswa Muslim di perguruan tinggi umum
bersifat tekstualis, moralis, dan revivalis. Kondisi ini menjadikan cara pandang
keagamaan mahasiswa menjadi kaku dan bahkan cenderung ekstrim. Sebagian
mahasiswa memiliki pandangan yang negatif dalam konteks kebangsaan bahkan
pemikiran radikalisme. Ditambah juga dengan adanya literatur keagamaan mahasiswa
di kampus banyak diwarnai buku populer karya Felix Siauw, Habiburrahman El-
Shirazy, dan, Salim A. Fillah. Mahasiswa memiliki kecenderungan lebih suka
mendengar daripada membaca. Mahasiswa juga memiliki kecenderungan untuk tidak
menyisihkan uang saku untuk membeli buku keagamaan.18
Melihat fenomena di atas, dapat disikapi dalam keilmuan dakwah, ada salah
satu istilah yang sepadan dengan berdakwah. Istilah tersebut yaitu tarbiyah
(pendidikan) dan ta’lim (pengajaran). Artinya dalam proses pendidikan atau
pengajaran itu sama dengan berdakwah. Tarbiyah dapat melangsungkan kehidupan
manusia, sedangkan ta’lim meningkatkan kualitasnya. Di sisi lain ada yang
menjelaskan ta’lim sebagai proses pengajaran yang hanya pada tingkat pemahaman,
sedangkan tarbiyah adalah upaya mendorong untuk melaksanakannya.19 Maka dari
itu, dakwah wasathiyah di kalangan mahasiswa salah satunya dapat dilakukan melalui
pendidikan. Beberapa prinsip yang dapat ditanamkan kepada mahasiswa dalam proses
dakwah wasathiyah yaitu sebagai berikut :

18
“Perlunya Pengarus utamaan Islam Wasatiyah Di Kalangan Mahasiswa.”
19
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. 2017. Ilmu Dakwah. Jakarta : Kencana. Hal. 30.

15
a. Sebagai mahasiswa muslim yang baik keyakinan akan keselamatan dan
kebahagiaan yang hakiki baik di dunia dan akhirat hanya akan deperoleh oleh
konsistensi Iman dan Takwa. Dan dipastikan akan senantiasa berhadapan
dengan tantangan baik bersifat internal maupun eksternal. Kekuatan Iman dan
taqwa dalam segala aspek kehidupan akan mencerminkan kejujuran, keadilan
dan amanah dan kondisi yang stabil.
b. Sebagai generasi muda yang beriman wajib meyakin bahwa setiap manusia
dari sudut pandang penciptaannya (ontologis) memiliki kemuliaan, apapun ras,
warna, kulit, suku bangsa bahkan termasuk agamanya. Maka hak kemuliaan
sebagai manusia ciptaan Allah wajb untuk dihormati dan dilindungi dan
dipelihara. Kecuali, dengan pelanggaran yang telah ditentukan dalam syariat
Islam dan perundang-undangan yang berlaku.
c. Sebagai seorang generasi muda muslim yang ditakdirkan Allah menjadi warga
negara Indonessia perlu disyukuri, karera telah dianugrahi wilayah yang luas,
subur, dan, mayoritas muslim, sebagai generasi muda harus memiliki
kesiapan, kemampuhan (skill) untuk senantiasa memberikan yang terbaik dan
bermanfaat, menjaga keanekaragaman, bersaing dan bersanding secara sehat,
dan demokratis, bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab untuk menjagaa
bangsa yang maju dan bermartabat.
d. Bersikap apresiatif terhadap fakta keragaman dan berlapang dada terutama
kelak menjadi pemimpin dalam level apapun, karena perbedaan keyakinan dan
agama merupakan sesuatu yang qodrati dari Allah SWT. Karenanya, tidaklah
mungkin bagi seorang muslim memaksakan atau intimidasi, apalagi bersifat
radikal dan teror terhadap orang lain untuk masuk ke dalam Islam. Jiwa
pemimpin harus akomodatif dan proporsional, serta teguh memegang prinsip.
Jiwa persatuan dan nasionalisme harus mampu jadi perekat dalam
kepemimpinan (pemerintahan, pendidikan, pengadilan, atau kepemimpinan
sosial lainnya), sebab hanya oleh generasi muslim yang mayoritas ini nasib
negara-bangsa Indonesia akan memperoleh kemajuan dan kejayaan.
e. Memahami bahwa perintah dakwah dalam Islam bertujuan terwujudnya
transformasi dan perubahan kepada kebaikan dan kebenaran, baik pada level
pribadi, keluarga maupun masyarakat, dilakukan dengan cara persuasif dan
edukatif serta komunikatif dan elegan, bukan indoktrinasi, ektrim dan
memfitnah. Disertai sebuah pemahaman bahwa, Allah tidak membebani kita

16
untuk bertanggungjawab atas kekufuran orang-orang kafir. Jadilah sosok
mubaligh yang disegani oleh semua kalangan dengan sumber yang tekstual
dan kontekstual secara dinamis.
f. Allah SWT telah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, Sebagai generasi
muda muslim hendaknya tidak merasa puas dengan ilmu yang telah diperoleh,
kembangkan, dan manfaatkan serta terus lakukan pendalaman dan kajian
terhadap berbagai referensi yang pasti akan bermanfaat.
Para mahasiswa dapat melakukan pendidikan Islam wasathiyah dengan
berbagai hal. Secara umum yaitu dengan ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok,
problem solving, khalaqoh, penugasan, eksplorasi, dan praktek kepemimpinan praktis.
Program pembinaan ini dilakukan sejak mahasiswa berada pada semester empat
hingga semester delapan (4 semester/2 tahun).20 Selain itu, Islam wasathiyah di
Perguruan Tinggi Islam dapat diterapkan dengan sejumlah protokol, seperti
pendampingan, pemonitoran, dan evaluasi, hingga melakukan rehabilitasi untuk
individu yang sudah terpapar ekstremisme21. Untuk mengaktifkan kembali paradigma
Islam wasathiyyah di Perguruan Tinggi perlu dilakukan berbagai upaya. Upaya
tersebut antara lain adalah: menekankan tujuan pembelajaran agama sebagai
pengamalan bukan sebagai pengetahuan semata. Mengembangkan materi
pembelajaran kearah pengetahuan metakognitif, menggunakan pendekatan
multiperspektif yang memungkinkan terjadinya dialektika pemahaman dan pemikiran
keagamaan. Aam Abdussalam (2018:2). Pendidik perlu mengajarkan multi perspektif
kepada mahasiswa agar mampu menghargai cara pandang orang lain yang berbeda
dengannya. Kemampuan ini penting, agar mampu bersikap lebih bijaksana dalam
menyikapi keragaman dalam kehidupan sosial keagamaan22. Contoh sikap moderat
dalam kehidupan sehari hari, yaitu :23 Pertama, memahami realitas. Dikemukakan
bahwa Islam itu relevan untuk setiap zaman dan waktu (shalih li kulli zaman wa
makan). Disebutkan juga bahwa ajaran Islam itu ada yang tetap dan tidak bisa dirubah

20
U. Kusoy Anwarudin. 2020. “Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah dalam Mengembangkan
Pemikiran Holistik Mahasiswa. Sukabumi” : Jurnal at-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 30
Nomor 2.
21
https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/02/26/moderasi-beragama-perlu-diterapkan-di-
perguruan-tinggi-islam/
22
Uswatun Hasanah, Akhmad Shunhaji, Saifuddin Zuhri, Reaktivasi Paradigma Islam Wasathiyyah di
Perguruan Tinggi Berdasar Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama Dunia 2018, Kordinat, Vol. XIX, No. 2, 2020
23
https://brainly.co.id/tugas/29146172

17
–seperti shalat lima waktu, dan ada juga yang bisa dirubah karena waktu dan tempat –
seperti zakat fitrah dengan beras, gandum, atau sagu tergantung yang menjadi
makanan pokok pada masyarakat itu. Kedua, memahami fikih prioritas. Umat Islam
yang bersikap moderat sudah semestinya mampu memahami mana-mana saja ajaran
Islam yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Mana yang fardlu ‘ain
(kewajiban individual) dan mana yang fardlu kifayah (kewajiban komunal). Di
samping memahami mana yang dasar atau pokok (ushul) dan mana yang cabang
(furu). Ketiga, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama. Ada
istilah bahwa agama itu mudah, tapi jangan dipermudah. Pada saat mengutus Muadz
bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman untuk berdakwah, Nabi Muhammad
saw. Berpesan agar keduanya memberikan kemudahan dan tidak mempersulit
masyarakat setempat.

18
F. Kesimpulan
Islam sebagai agama berperan sebagai pandangan hidup, Ia mempengaruhi
pikiran, perasaan, sikap dan perilaku seseorang, keluarga dan masyarakat serta
lingkungannnya. Dakwah di lingkungan Kampus sangat penting dilakukan dalam
menciptakan suasana agamis dan harmonis. Diharapkan setelah lulus dan mendapat
gelar sarjana, mereka akan terjun ke tengah masyarakat sebagai akademisi, birokrat,
teknokrat, politisi, atau pengusaha yang berkarakter baik dan mengaplikasikan nilai-
nilai Islam.
Para mahasiswa dapat melakukan dakwah wasathiyah ini dengan berbagai hal.
Secara umum dakwah wasathiyah dapat dilakukan dengan metode dan teknik
berceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, problem solving, halaqoh, penugasan,
eksplorasi, dan praktek kepemimpinan praktis. Rata-rata program pembinaan ini
dilakukan sejak mahasiswa berada pada semester empat hingga semester delapan (4
semester/2 tahun). Metode dakwah tentang Islam wasatiyah ini diharapkan dapat
mengembalikan kewibawaan Islam di mata dunia, yang dimulai dari kalangan
mahasiswa. Diketahui bahwasannya Islam merupakan agama yang rahmatan
lil-‘alamin, yang berarti membawa rahmat bagi seluruh alam. Proses dakwah dalam
Islam perlu adanya penyesuaian dengan lajunya zaman yang semakin kompleks dan
modern.
Seperti halnya dalam bentuk kajian yang dibarengi dengan metode yang tepat
sasaran, serta bersumber secara tekstual yakni dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Lalu
dikombinasikan dengan nilai-nilai dan perkembangan secara kontekstual, sehingga
pesan-pesan materi ajaran Islam dapat diterima secara sejuk oleh mahasiswa millenial
sekarang.

19
G. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad , Amrullah. 1983. “Dakwah Islam dan Perubahan Sosial”. Yogyakarta: Prima
Duta. Hal. 12
Alam,Mansur. 2017. “Studi Implementasi Pendidikan Islam Moderat dalam Mencegah
Ancaman Radikalisme di Kota Sungai Penuh Jambi”. Jurnal Islamika Vol. 1, No 2
tahun 2017. Hal. 36
Amar,Abu. Pendidikan Islam Wasathiyah ke-Indonesia-an, Al-Insyiroh: Jurnal Studi
Keislaman (Vol. 2, No.1, 2018) 25
Anwarudin , U. Kusoy. 2020. “Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah
dalam Mengembangkan Pemikiran Holistik Mahasiswa. Sukabumi” : Jurnal at-
Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 30 Nomor 2.
Arfiyanto, Dedy. Aprilina Susandini, “Pola Pikir dan Kepemimpinan Mahasiswa Pada
Ketua BEM Fakultas di Universitas Wiraraja Sumenep “ Jurnal “Performance”
Bisnis & Akuntansi (Vol. 4, No. 2, 2014) 62
Arifin , Anwar. 2011. “Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi”. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Hal. 17
Aziz, Prof. Dr. Moh. Ali M.Ag. 2017. Ilmu Dakwah. Jakarta : Kencana. Hal. 30.
Hanafi , Muchlis M.. 2013. “Moderasi Islam” Ciputat: Ikatan Alumni Al-Azhar dan
PSQ. Hal. 1-2
Hasan, Mustaqim .Prinsip Moderasi Beragama Dalam Kehidupan Berbangsa, Jurnal
Mubtadiin (Vol. 7, No.2, 2021) 111-118.
Hasan,Mustaqim .Prinsip Moderasi Beragama Dalam Kehidupan Berbangsa, Jurnal
Mubtadiin (Vol. 7, No.2, 2021) 118-121
Hasanah, Akhmad. Shunhaji, Saifuddin Zuhri, Reaktivasi Paradigma Islam
Wasathiyyah di Perguruan Tinggi Berdasar Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama
Dunia 2018, Kordinat, Vol. XIX, No. 2, 2020
Hidayati,Miftakhul Lina, “Metode Dakwah K.H. Abdurrahman Navis Dalam Program
Fajar Syiar Di Radio El-Victor Surabaya” (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018).
Jamrah,Surya A. Toleransi Antarumat Beragama : Prespektif Islam, Jurnal Ushuluddin
(Vol. 23, No.2, 2017) 186 & 192

20
Kasmia, “Pengaruh Pola Pikir Terhadap Kemampuan Presentasi Mahasiswa Program
Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Parepare”, (Skripsi Sarjana, Prodi
Komunikasi dan Penyiaran Islam: Parepare, 2020), h. 17
Kompas,https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/02/26/moderasi-beragama-perlu-
diterapkan-di-perguruan-tinggi-islam/
Sambas,Syukriadi. Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (Bandung: KP Hadid
Fakultas Dakwah IAIN Bandung, 1999) 62.
Shihab, M. Quraish.Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama,
(Lentera Hari: Tangerang Selatan, 2020), 45-91.
Syafi’i,Muhammad.Analisis Pola Pikir dan Perilaku Lingkungan Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Riau. Hal. 54
U. Kusoy Anwarudin. 2020. “Analisis Implementasi Pendidikan Islam Wasathiyah
dalam Mengembangkan Pemikiran Holistik Mahasiswa. Sukabumi” : Jurnal at-
Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan Volume 30 Nomor 2.

21

Anda mungkin juga menyukai