Anda di halaman 1dari 18

PARADIGMA, PEMIKIRAN,

DAN SUMBER KEKUATAN DAKWAH

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Dakwah Pada Program Studi
Komunikasi Dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung

Disusun Oleh:
Yulianingsih (10020219082)
Dhiniana Shara (10020219086)
Sabila Nur Aryani (10020219093)
Rikeu Ainul Fadilah (10020219097)
Syifa Andhiya (10020219101)

PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1443 H/2022 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
BAB 1.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
D. Manfaat Makalah..........................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Paradigma Ilmu Dakwah.............................................................................................3
B. Pemikiran Dakwah........................................................................................................8
C. Sumber Kekuatan Dakwah........................................................................................12
BAB III....................................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

i
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dakwah pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw terjadi dalam dua fase yakni
dakwah Sirriyyah dan dakwah jahriyyah, dalam dua fase tersebut mempunyai tantangan
dan hambatan yang berbeda. Pada fase dakwah sirriyah atau dakwah yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun pertama dakwahnya. Hal
tersebut karena kedudukan Rasulullah Saw. yang  masih  lemah,  ditambah  isi dakwah
beliau yang sangat bertolak belakang dengan keyakinan masyarkatnya yang penuh
dengan kesyirikan. Meskipun dakwah tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun
lambat laun akhirnya berita tersebut sampai juga ke telinga orang-orang kafir Quraisy.
Pada awalnya mereka tidak terlalu menghiraukannya.
Mereka menganggap apa yang dilakukan Rasulullah Saw tak berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya yang sekedar ingin menghidupkan nilai
keberagamaan. Akan tetapi, lama-kelamaan ke khawatiran tersebut muncul juga
setelah pengaruh Rasulullah Saw kian lama kian kuat dan meluas, mulailah mereka
memperhatikan dan mengawasi dakwah Rasululullah Saw. Hingga pada masa dakwah
Jahriyyah, Rasulullah mendapatkan tekanan yang luar biasa hebat dari kaum kafir
Quraisy. Namun dengan pertolongan Allah Swt dan juga kesempurnaan iman Rasulullah
Saw. tekanan kaum kafir Quraisy bisa teratasi.
Jika kita bandingkan dengan zaman sekarang umat islam semakin difasilitasi
dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang terbarukan, namun hal itu ternyata menjadi
hambatan berat yang bersaing dengan dakwah. Masyarakat, lebih banyak bersenang-
senang dengan informasi melenakan yang beredar di social media. Maka dari itu untuk
menguatkan strategi dakwah para ulama di era saat ini diperlukan Paradigma, pemikiran
dan sumber kekuatan dakwah yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Untuk
itu, penyusun membuat makalah ini sebagai bahan ajar mahasiswa dalam mengetahui
segala hal penting yang berkaitan dengan Dakwah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana paradigma ilmu dakwah ?
2. Bagaimana pemikiran ilmu dakwah?
3. Apa saja yang menjadi sumber kekuatan ilmu dakwah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana paradigma ilmu dakwah.
2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran ilmu dakwah.
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi sumber kekuatan ilmu dakwah.

D. Manfaat Makalah
1. Agar mahasiwa dapat menggunakan materi sebagai salah satu bahan ajar.
2. Agar mahasiswa dapat memahami paradigma, pemikiran, dan sumber kekuatan
dakwah.
3. Agar mahasiswa dapat mengaplikasikan paradigma, pemikiran, dan sumber kekuatan
dakwah dalam kehidupan sehari-hari.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Paradigma Ilmu Dakwah


1. Sistem Umum Paradigma Ilmu Dakwah
Sistem umum paradigma ilmu dakwah memiliki lima unsur, diantara yaitu :
(1) Dimensi-dimensi Islam,
(2) Komunikasi,
(3) Penerima pesan,
(4) Tujuan dakwah, dan
(5) Evaluasi dakwah.
Lima unsur tersebut saling terkait secara sistemik, sehingga satu unsur dengan
unsur lainnya memiliki keterhubungan dengan kejelasan sifat atau kondisi hubungannya.
Lalu, kaitannya dengan fungsi teori sebagai penjelasan ilmiah yang tentunya mesti ada
dalam setiap ilmu, maka pada setiap unsur tersebut dikaji oleh teori-teori yang serumpun
juga relevan. Dan terkait teori-teori yang digunakan, bukanlah buatan atau pesan dari
Tuhan (God’s construction), tetapi buatan manusia (Human’s construction) namun dari
pemahamannya terhadap pesan Tuhan atau ajaran agama. Sehingga hal itulah yang perlu
dipahami terlebih dahulu, agar nantinya dapat dipahami dengan jelas terkait pemahaman
tentang ajaran dan ilmu.
a. Dimensi- Dimensi Islam
Dimensi- Dimensi Islam memiliki potensi dalam menduduki unsur pertama dalam
sistem umum paradigma ilmu dakwah. Karena dari sanalah dakwah muncul sebagai
suatu ilmu disamping dakwah sebagai aktivitas. Konsep metodologis Al-Faruqi
menjelaskan bahwa Islam memiliki tiga dimensi, diantaranya:
(1) The form (bentuk),
(2) The essence (esensi/ hakikat/ makna), dan
(3) The manifestation (manifestasi/ perwujudan) .
Dapat dipahami dari ketiga dimensi tersebut, bahwa Islam merupakan suatu
agama atau suatu ide ajaran yang memiliki bentuk, esensi, dan manifestasi tertentu
dalam realitas kesejarahannya. Aktivitas dakwah menjadikan ketiga dimensi tersebut
memperoleh tempatnya dalam realitas kesejarahan umat manusia. Sehingga, tanpa
adanya aktivitas dakwah tersebut, tentu Islam tidak ada dalam sebuah realitas sejarah
manusia. Hasil penelitian Thomas W. Arnold yang mengatakan adanya predikat bahwa
Islam sebagai agama dakwah, karena terlebih dulu adanya peran dakwah, bukan karena
semata-mata dari substansi Islam sebagai agama dan ide ajaran an sich.
Persoalan pokok (subject matter) yang paling mendasar dalam paradigma ilmu
dakwah ialah bahwa secara paradigmatik menyatakan manifestasi terhadap esensi dan
forma Islam bisa terealisasi dalam kenyataan (historisitas) hidup manusia apabila pesan-
pesan Islam ditransformasikan kedalam sebuah aktivitas yang disebut dakwah. Dari hal

3
tersebut, menjadikan realitas ide ajaran Islam sebagai hasil dari sebuah realiasi terhadap
manifestasi Islam dalam kehidupan umat manusia yang mengarah kepada tujuan dakwah
yang merupakan suatu kondisi ideal hidup manusia yang dikehendaki oleh Islam. Pada
unsur pertama, yaitu dimensi-dimensi Islam dikaji teori-teori kematerian dan kesejarahan
Islam yang sudah ada, dan mencakup 7 hal, yang terdiri dari :
(1) al-Qur’an dan Hadis (dalam arti juga Sunnah Nabi),
(2) Teologi Islam,
(3) Pemikiran Islam,
(4) Hukum Islam,
(5) Akhlak Islam,
(6) Spiritualitas Islam, dan
(7) Sejarah dan Peradaban Islam.
Demi mencapai pada sebuah realitas historisitas yang ingin diciptakan, maka
dimensi-dimensi Islam perlu untuk diterjemahkan ke dalam bentuk komunikasi. Karena
hal tersebut dapat disebut sebagai proses “penerjemahan” yang merupakan upaya
pemahaman atau interpretasi Islam ke pola komunikasi.
b. Komunikasi
Unsur yang kedua, yaitu komunikasi. Secara konsepual-filosofis dalam paradigma
ilmu dakwah, komunikasi merupakan sebuah pola yang sengaja diciptakan agar
terciptanya manifestasi Islam dalam realitas hidup manusia. Ada enam hal yang mengkaji
komunikasi, yaitu :
(1) teori-teori komunikasi,
(2) pesan-pesan dakwah
(3) perintah berdakwah,
(4) etika dakwah,
(5) prinsip-prinsip dakwah, dan
(6) kualifikasi pelaku dakwah (da’i).
Dari keenam hal tersebut, lima diantaranya merupakan referensi normatif dari
khazanah Islam dan ini diperlukan sebagai referensi sekunder ilmiah. Lima hal tersebut
dimulai dari pesan-pesan dakwah hingga kepada kualifikasi pelaku dakwah (da’i). Juga
tidak dapat ditemukan dalam komunikasi secara umum, kecuali dalam komunikasi
dakwah. Kelima hal tersebut dikatakan sebagai referensi sekunder ilmu, karena hal yang
primer dalam ilmu adalah teori, sedangkan hal yang selain teori bernilai sekunder. Jika
begitu, maka dalam ajaran, akan berlaku sebaliknya. Bahwa kelima hal itu bernilai
primer, sedangkan teori bernilai sekunder.
Komunikasi sebagai sebuah pola yang sengaja diciptakan untuk terciptanya
manifestasi Islam, masih merupakan rancangan dasar sehingga perlu ditransformasikan
kepada mad’u atau penerima pesan yang lazim. Dari transformasi ini, akan menciptakan
proses pemahaman terhadap penerima pesan dan proses penyampaian pesan (pemahaman
yang diikuti oleh aksinya). Dari hal itu, nantinya sebuah pemahaman terhadap penerima

4
pesan akan melahirkan metode, media, dan strategi dakwah, yang bekalnya telah
diberikan oleh keenam hal tersebut di atas.
c. Penerima Pesan (Mad’u)
Unsur yang ketiga, penerima pesan (mad’u). Adapun mad’u terdiri dari individu
dan masyarakat. Posisi penting dalam mad’u yaitu terletak pada pemahamannya. Karena
pemahaman mad'u yang akan menentukan akurasi metode, media, dan strategi
komunikasi dakwah dan secara ikhtiari dapat menjadi jaminan bagi keberhasilan dakwah
yaitu tercapainya tujuan dari dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, ada empat teori yang
mengkaji seputar kemanusiaan dan kemasyarakatan, yaitu sebagai berikut :
(1) Humaniora,
(2) Sosiologi,
(3) Antropologi, dan
(4) Psikologi.
d. Tujuan Dakwah
Unsur yang keempat, yaitu tujuan dakwah. Tujuan dakwah merupakan hal yang
sentral dalam paradigma ilmu dakwah, karena akan membedakan ilmu dakwah dengan
ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu komunikasi sendiri. Terdapat dua klasifikasi dalam hal ini,
yaitu :
(1) Tujuan antara (sementara) dan
(2) Ttujuan final.
Perbedaan antara kedua tujuan tersebut ialah bahwa dalam tujuan antara
(sementara) bersifat duniawi karena tidak lain adalah terlaksananya ajaran Islam dan
tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia. Sedangkan tujuan final bersifat ukhrawi
(eskatologis), yaitu agar tercapainya kebahagiaan hidup manusia di akhirat.
e. Evaluasi Dakwah
Unsur yang terakhir, yaitu evaluasi dakwah. Evaluasi dakwah merupakan hal
yang harus dilakukan bagi sesuatu yang sudah memiliki tujuan tertentu. Demikian juga
evaluasi dakwah terhadap pencapaian tujuan dakwah. Sehingga, karena hal itulah
evaluasi dakwah termasuk ke dalam unsur sistem paradigma ilmu dakwah. Adapun hasil
yang diharapkan dari adanya evaluasi ini yaitu akan dilahirkan teori-teori dakwah dan
teori-teori pengembangan dakwah.
Khusus teori-teori pengembangan dakwah, terdapat empat jurusan dalam lembaga
studi ilmu dakwah yang sudah ada (KPI, BPI, MD, dan PMI), jurusan PMI
(Pengembangan Masyarakat Islam) merupakan jurusan yang menjadi konsumen dan
penanggungjawab utama kaitannya dengan studi dan produksi teori-teori pengembangan
dakwah. Sedangkan ketiga jurusan yang lainnya memiliki kedudukan sebagai pendukung.
Kelima unsur yang telah dibahas dalam sistem umum paradigma ilmu dakwah
digambarkan secara ringkas dalam skema berikut ini :

5
2. Karakteristik Paradigma Ilmu Dakwah
a. Kekhasan Paradigma Ilmu Dakwah
Karakter khas ilmu dakwah yang membedakannya dengan paradigma ilmu
yaitu tujuan dalam dakwah merupakan komponen dakwah. Dakwah secara sistematis
mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan dalam pola komunikasi yang sengaja
diciptakan untuk manifestasi Islam. Sedangkan tujuan dalam komunikasi bersifat
arbitrer yaitu komunikasi hanya mengarah kepada kesuksesan penyampaian pesan.
Diantara dua tipe tujuan dakwah, tipe yang dapat dikaji oleh Paradigma Ilmu
dakwah adalah terlaksananya ajaran Islam dan tercapainya kebahagiaan hidup di
dunia melalui pelaksanaan tersebut, dalam kehidupan manusia. Sedangkan tujuan
utamanya yaitu kebahagiaan hidup di akhirat, dipercayakan kepada penerima pesan
dalam relasinya dengan The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi/ Tuhan).
b. Profil Paradigma Ilmu Dakwah dan Aplikasi Kajiannya
Konstruksi sosial merupakan salah satu unsur dalam interparadigma ilmu
dakwah. Dalam paradigma konstruksi sosial niscaya terdapat paradigma definisi
sosial dan perilaku sosial. Paradigma definisi sosial ditetapkan sebagai bagian
interparadigma ilmu dakwah, karena mentransformasikan “the essence of Islam"
kepada penerima pesan. Dalam paradigma tersebut dikaji makna (esensi) Islam dalam

6
kehidupan manusia/masyarakat, lebih dalam daripada kandungan formalistik Islam
yang dinikmati oleh penerima pesan dakwah.
c. Konsekuensi Paradigmatik
Konsekuensi paradigmatik ini sistem paradigma Thomas S. Kuhn, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1) Setiap paradigma memiliki siklus kerja dan siklus ini sebagai ciri dinamika
paradigma yang bersangkutan. Untuk Paradigma ilmu dakwah siklus tersebut
merupakan sistem utama kerja ilmu dakwah.
2) Peta komposisi ilmuwan (ilmuwan filosofis dan ilmuwan biasa/ praktisi) harus
diciptakan dalam sistem kelembagaan ilmu dakwah, meskipun pada awalnya
bersifat kultural-akademik dan prestasius individual.
3) Relatifitas Paradigma ilmu dakwah berwujud beberapa jurusan dalam
kelembagaan studinya: KPI, BPI, MD, dan PMI.

3. Macam-Macam Paradigma Ilmu Dakwah


Dalam ilmu dakwah merupakan sebagian dari ilmu agama. Adapun dalam
ilmu dakwah terdapat 5 macam paradigma keilmuan dakwah, yaitu sebagai berikut:
a. Paradigma Faktor
Paradigma Faktor merupakan sebuah ilmu dakwah yang dipengaruhi oleh ilmu
komunikasi, karena secara struktural ilmu dakwah adalah bagian dari ilmu
komunikasi. Ilmu dakwah memiliki sifat yang khusus, berbeda dengan ilmu
komunikasi yang memiliki sifat yang umum. Sehingga, pengertian ilmu dakwah ialah
sebuah proses penyampaian pesan oleh da’i terhadap mad’u dengan menggunakan
media dan metode tertentu agar dapat memperoleh perubahan perilaku mad’u
tersebut.
b. Paradigma Sistem Dakwah
Sistem dakwah merupakan suatu keterkaitan antar sub-sistem dakwah yang
membentuk sebuah jaringan integral dan sistemik. Sehingga antara satu sub-sistem
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Adapun antar sub-sistem atau antar
faktor dakwah menyatu dalam sebuah proses. Maka hal tersebut termasuk dalam
kajian dalam paradigma sistem dakwah, dan yang menjadi ciri khasnya yaitu bersifat
problem solving.
Problem solving merupakan sebuah upaya untuk memecahkan problem
keagamaan pada suatu masyarakat atau individu. Yang dimana problem tersebut bisa
berupa suatu relasi antara agama, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Dengan
demikian, ciri dari paradigma sistem dakwah adalah sebuah kekuatan proses dan
upaya problem solving. Sebagai contoh yaitu studi-studi behavioralistik (perubahan
suatu perilaku) yang disebabkan oleh faktor eksternal yang berbasis proses terpaan
integralisik subsistem dan dapat diklasifikasikan sebagai studi dalam paradigma
sistem dakwah.
c. Paradigma Developmentalisme
7
Paradigma Developmentalisme adalah sebuah paradigma yang memiliki
target kajiannya ialah pengembangan model dari suatu kajian dakwah. Makna
pengembangan model tersebut dapat diartikan sebagai sesuatu yang belum ada atau
mengembangkan model yang sudah ada yang dapat diperkuat atau dikembangkan
lebih lanjut lagi. Dengan demikian, paradigma developmentalisme dakwah
merupakan suatu usaha yang dapat menghasilkan sebuah inovasi yang bermanfaat
untuk masyarakat sekitar. Paradigma developmentalisme memiliki dua ciri khas,
yaitu: model dan hasil atau produk.
d. Paradigma Interpretif
Paradigma Interpretif merupakan sebuah pemikiran yang mendasar dari para
ahli, yang dimana sasaran dakwah ialah suatu realitas dakwah yang memiliki makna
tersendiri. Disebut realitas karena yang akan dikaji ialah sesuatu yang terjadi dibalik
tindakan tersebut. Sehingga, yang dapat digali ialah sebuah ide, gagasan dan tindakan
individu yang ada keterkaitannya dengan pesan-pesan dakwah yang dapat diterima
atau yang telah dialami. Seperti halnya pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i
kepada mad’u.
e. Paradigma Pastisipatoris
Paradigma Pastisipatoris merupakan sebuah pemikiran yang paling mendasar
dari para ahli mengenai apa yang menjadi sasaran dakwah, yaitu perilaku partisipatif
masyarakat dalam kegiatan berdakwah. Dengan begitu, yang dapat dikaji ialah sebuah
program pemberdayaan masyarakat yang mengacu pada program dakwah yang
dirancang, dirumuskan, ditetapkan secara bersama-sama oleh subjek dakwah dan
objek dakwah untuk penguatan atau pemberdayaan di dalam berbagai aspek
kehidupannya.

B. Pemikiran Dakwah
1. Pengertian Pemikiran
Pengertian pemikiran di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah cara
atau hasil berfikir, Berasal dari kata dasar “pikir”, yang berarti dalam kamus Bahasa
Indonesia adalah akal budi, ingatan, angan-angan. Dengan mendapatkan imbuhan
pe-an dalam tata Bahasa Indonesia menunjukkan suatu atau perbuatan, maka
“pemikiran” maka bisa diartikan cara atau hasil berfikir terhadap sesuatu, sehingga
melahirkan gagasan, ide-ide, atau konsep yang tertuang dalam bentuk tulisan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002: 767). Sedangkan menurut
Poespoprodjo (1999: 178-179), pemikiran adalah aksi (act) yang menyebabkan
pikiran mendapatkan pengertian baru dengan perantara hal yang sudah diketahui.
Sebetulnya yang beraksi disini bukanlah hanya pikiran atau akal budi, melainkan
sesungguhnya seluruhan diri manusia (the whole man). Selanjutnya proses pemikiran
adalah suatu pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain dari apa yang sudah
diketahui menuju hal yang belum diketahui. Pemikiran merupakan suatu buah,

8
dimana sumbernya terdapat dalam akal, dalam kalbu, dalam jiwa, dalam roh, dalam
batin. Yang terpenting dari pemikiran adalah hasil guna dan buahnya. Firman Allah
QS. Ar-Ra’ad: 19

ِ ‫ق َك َم ْن هُ َو َأ ْع َم ٰى ۚ ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأولُو اَأْل ْلبَا‬


‫ب‬ َ ‫َأفَ َم ْن يَ ْعلَ ُم َأنَّ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي‬
ُّ ‫ك ِم ْن َربِّكَ ْال َح‬
Artinya : “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu
(Nabi Muhammad) dari Tuhanmu adalah kebenaran sama dengan orang yang buta?
Hanya orang yang berakal sehat sajalah yang dapat mengambil pelajaran”.

2. Jenis Klasifikasi Pemikiran Dakwah


Pemikiran dakwah Islam merupakan suatu format konstruktif bagi suatu program
transmisi, transformasi, dan sosialisasi, bahkan upaya asimilasi-prinsip-prinsip dan
nilai-nilai (value) Islam dalam kehidupan sehari-hari kaum muslim (penganut agama
Islam), baik yang bersifat individual maupun kolektif guna membentuk konsepsi
masyarakat yang Islami (Anas, 2006: 30). Setelah dijelaskan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa, setiap pemikiran dakwah harus memiliki landasan yang sesuai
dengan tuntutan dan ajaran Islam. Adapun klasifikasi pemikiran dakwah yaitu
paradigma dakwah kutural dan paradigma dakwah struktural.
a. Paradigma Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pada Islam secara
kultural (Amin, 2009: 161). Dakwah kultural merupakan turunan dari penafsiran
Islam yang bercorak kultural dinamis-teologis. Penafsiran teologis ini menawarkan
pemikiran tentang bagaimana cara yang obyektif untuk membaca serta memaknai
teks dan tradisi keagamaan. Dakwah kultural tidak menganggap power politik sebagai
satu-satunya alat perjuangan dakwah. Menurut pemikiran Islam kultural, Islam
sebagai agama universal terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan konteks budaya
lokal tanpa perlu takut kehilangan orisinalitasnya (Ismail, 2011: 243). Alur pemikiran
ini menegaskan, Islam itu pada dasarnya natural, artinya Islam selaras dengan
kecenderungan alamiah manusia dimana pun berada. Islam tidak dibatasai oleh kultur
tertentu. Karena Islam mampu mengakomodasi setiap budaya dan turut memberi
warna (Ismail, 2011: 244).
Jadi Islam dalam pemikiran kultural, dibedakan oleh budaya. Islam untuk
menegaskan nilai-nilai kemanusiaan universal melalui pelaksanaan sistem
moral.Secara subtansial, sistem moral ini dijadikan inspirasi bagi norma-norma
budaya lokal. Hal ini sebagai akulturasi Islam-budaya atau dapat dikatakan
kebudayaan Islam (Ismail, 2011: 243- 244). Abdurrahman Wahid merupakan tokoh
pemikiran dakwah kultural dengan mengemukakan ide pribumisasi Islam sebagai
kritik Arabisasi Islam. Islam harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-

9
faktor konstekstual, inilah ide pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid (Ismail, 2011:
244).
Islam kultural tidak mengabaikan ketentuan atau hukum-hukum yang mutlak
dalam Islam. Tujuan subtantif ini tidak lain adalah nilai-nilai moral kemanusiaan
yang universal. Untuk menemukannya, pembacaan teks-teks keagamaan tidak boleh
berhenti pada sisi eksoteriknya, tetapi harus menyebrang melampaui sisi esoterisnya.
Karena cara tersebut dipandag mampu berdialog dengan kultur atau budaya lokal
tanpa kehilangan kedinamisannya meskipun berpindah dari suatu budaya ke budaya
lain (Ismail, 2011: 245-246). Dakwah kultural menganggap bahwa sejarah dakwah
Islam selalu di warnai oleh proses akulturasi timbal balik. Dakwah Islam untuk
memberikan corak warna dalam budaya, dengan budaya akan memberikan warna
terhadap suatu pemahaman Islam. kemudian muncul akuturasi budaya dan Islam
“perkawinan”.
Kemudian lahir kulturasi, yaitu ketika Islam menginspirasi untuk membentuk
suatu model budaya baru dari budaya lokal yang sudah ada. Karena itu, sekalipun
Islam itu tunggal, namun wujudnya dapat bermacam-macam, dan semuanya itu tidak
boleh dianggap sebagai tidak orisinal. Karena jika demikian, makaakan kesulitan
mencari suatu entitas Islam yang orisinal. Masing-masing bentuk Islam ini syarat di
pengaruhi oleh konteks kultural-situasional. Keunggulan lain dakwah kultural yakni
universalisme Islam melalui kehadiran yang indegeneous di tengah-tengah budaya
baru. Berbeda dengan mereka yang memandang universalisme Islam sebagai sistem
hidup yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Pemikiran kultural lebih
memandang universalisme Islam sebagai kemampuan mengakomodasi pluralitas
budaya manusia. Berangkat dari pandangan humanism dakwah Islam masuk ke dalam
pola budaya yang bermacam-macam tanpa membawa kesan asing. Ini semua karena
dakwah dilakukan dengan pendekatan kemanusian. Yaitu suatu pendekatan dakwah
yang menekankan natur (karakter ilmiah) manusia sebagai suatu yang konstan, tidak
terpengaruh oleh tempat dan zaman, asal usul rasial maupun kebahasaan (Ismail,
2011: 251).
Dengan pendekatan budaya lokal ini, dakwah Islam tidak mampu mengadopsi
aneka ragam bentuk budaya, serta mengisinya dengan muatan-muatan yang bernilai
Islam. Paradigma kultural menegaskan bahwa universalisme Islam tidak ingin hanya
sebatas wacana dan ide, maka dakwah mesti ditampilkan secara terbuka (inklusif),
bukan tertutup (eksklusif). Dari keterbukaan maka muncul “budaya Islam
kosmopolitan” (Ismail, 2011: 252). Contoh yang paling tepat dalam soal ini adalah
kebudayaan dan peradaban Islam pada periode klasik. Sejatiya adalah hasil dari
dakwah kultural Islam melalui kemampuan dalam mengakomodasi budaya lokal.
Paradigma kultural sangat akomodatif terhadap budaya lokal, membuka peluang bagi
timbulnya “sinkretisme”. Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Rasyid Ridha
adalah ulama yang gigih memberikan kritik bentuk sinkretisme yang terdapat dalam
budaya Islam.
10
b. Paradigma Dakwah Struktural
Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan.
Aktivis dakwah struktural yang bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan
memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi yang ada guna menjadikan
Islam menjadi ideologi negara, nilai-nilai Islam mengejewantahkan dalam kehidupan
bernegara, dan berbangsa. Negara dipandang sebagai alat dakwah yang paling
strategis.
Dakwah struktural memegang tesis bahwa dakwah yang sesungguhnya adalah
aktivisme Islam yang berusaha mewujudkan negara bangsa yang berdasarkan Islam,
para pelaku politik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam perilaku politik
mereka serta penegakan ajaran Islam menjadi tanggung jawab negara dan kekuasaan.
Dalam perspektif dakwah struktural, negara adalah instrumen penting dalam kegiatan
dakwah (Amin, 2009: 162-163). Contoh dakwah struktural sudah dapat ditemukan
pada gerakan politik umat Islam pada zaman klasik.
Gerakan politik berupa penggulingan dinasti Umayyah dan kursi kekhalifahan
yang dilakukan oleh eksponen dinasti Abbaasiyah, dianggap sebagai bagian dari
gerakan dakwah. Fenomena politik itu dianggap sebagai salah satu realitas 65 dakwah
ditandai, antara lain oleh slogan ridha bi Ali Muhammad yang menjadi penyemangat
gerakan itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syiah Ismailiyyah. Gerakan
politiknya yang diawali dengan pengiriman para aktivis politik ke Afrika Utara
sebagai langkah strategis bagi persiapan pembentukan dinasti Fatimiyyah, disebut
sebagai gerakan dakwah. Bahkan, istilah dakwah juga telah dipakai untuk menyebut
wilayah politik dinasti Fatimiyyah (Amin, 2009: 163). Dalam kepemimpinan dinasti
Fatimiyyah, dakwah struktural mewujud secara hierarki dalam bentuk
tingkatantingkatan pada da’i sejak dari wilayah paling rendah hingga ke pusat
pemerintahan. Da’i pada masa itu mempunyai kekuasaan untuk membina keragaman
pengikut pemula aliran Ismailiyyah sekaligus untuk membimbing kegiatan
spiritualnya agar sampai pada tahap setinggi-tingginya dalam tradisi Syiah.
Keberadaan Islam secara struktural tidak akan bertahan lama apabila tidak diikuti
penguatan sosial masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada rekayasa sosial yang
dilakukan di tengah masyarakat. Kebesaran Islam di Andalusia selama 6 abad harus
pudar oleh kegagalan Islam struktural. Maka antara pergerakan dakwah Islam secara
struktural maupun kultural tidak dapat dipisahkan. Karena pengkotak-kotakan
dakwah merupakan masalah bagi perkembangan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Apalagi ada yang saling memusuhi antar gerakan dakwah yang lain. Sehingga akan
terbentuk negara yang madani dan berlandaskan nilai-nilai Islam. Konsep dakwah
stuktural lebih menekankan pada tercapainya tujuan dakwah dengan ciri ciri:
Pertama, menggunakan rasionalisasi akal dari pada dalil. Kedua, lebih menekankan
pemaksaan dan kondisi sehingga sang mad‟u belum tentu memiliki kesadaran.
Ketiga, mengharuskan sang da’i masuk ke struktur.

11
C. Sumber Kekuatan Dakwah
Kekuatan dakwah Islam secara umum dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu
dari segi konsep dakwah, potensi umat dan peranan organisasi dakwah. Pertama, dari segi
konsep, Dakwah merupakan watak yang melekat pada ajaran Islam, yaitu antara Islam
dengan dakwah tidak bisa dipisahkan. Sayyid Quthb (w. 1966) menegaskan bahwa Islam
adalah agama dakwah, yaitu agama yang mewajibkan umat Muslim untuk mengajak dan
menyampaikan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT, supaya nilai rahmat Islam
dapat bersemi dan tumbuh dalam kehidupan pribadi muslim (syakhshiyah), keluarga
(usrah), masyarakat dan negara (daulah). Dakwah juga merupakan sifat nubuwwah, yaitu
sifat para Nabi dan Rasul sebagai manusia terpilih yang diutus oleh Allah SWT. untuk
mengajak manusia kepada ajaran kebenaran yang dibawanya (QS. Al-Ahzâb/33: 45-46).
Kemudian tugas itu dilanjutkan oleh para pengikut Rasul, hal ini juga tercatat dalam
sejarah dakwah Islam. Tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, khususnya ke
Indonesia oleh para saudagar, menjadi bukti bahwa pemahaman dakwah dan semangat
memperjuangkan kebenaran telah tertanam dalam setiap lini kehidupan Muslim, apapun
profesinya. Hal ini merupakan kekuatan dakwah dari segi konsep.
Selanjutnya, menurut M. Natsir (w. 1993), dakwah dalam makna yang luas adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukalaf dan tidak bisa
seorang pun menghindari kewajiban tersebut. 9 Menurutnya, dakwah yang berpegang
pada al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahyi ‘an al-munkar merupakan syarat mutlak bagi
kesempurnaan dan keselamatan hidup manusia. Ditegaskan bahwa kewajiban sebagai
pembawa fitrah manusia yang selalu cenderung kepada kebenaran, di samping manusia
juga sebagai makhluk yang bermasyarakat. Jika dakwah berhenti, maka kemungkaran
akan semakin melejit. Tugas berdakwah bukan hanya menjadi tanggung jawab ulama, dai
dan khatib, melainkan tugas seluruh umat musim sesuai dengan kemampuan, keahlian
dan profesi masing-masing. 10 Ulama berdakwah dengan ilmu yang mereka miliki, baik
bil-lisân maupun bil-kitâbah. Penguasa atau pemerintah berdakwah dengan kekuasaan
dan jabatan yang disebutkan dengan dakwah struktural. Sementara para hartawan
(aghniyâ’) berdakwah dengan harta yang mereka miliki, yaitu dakwah bi al-hâl. Di
samping itu, bagi orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, kekuasaan dan harta, juga
dituntut untuk membenci setiap kemungkaran dan ia sendiri harus menjauhi
kemungkaran tersebut.
Dalam konteks dakwah sebagai upaya perubahan, khususnya merubah
kemungkaran, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan uraian tugas berdasarkan
keahlian, jabatan dan kedudukan seorang Muslim. Hal itu berdasarkan Hadis berikut:
“Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya
dengan tangannya, jika tidak bisa, maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak bisa maka
dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Pemahaman
terhadap konsep dakwah seperti dipaparkan di atas, kemudian diiringi dengan bentuk

12
operasional di tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka hal ini benar-benar akan
menjadi suatu kekuatan bagi dakwah Islam. Apalagi realisasinya dilaksanakan secara
kelompok yang diorganisir oleh organisasi atau lembaga dakwah maupun kegiatan
dakwah yang dilaksanakan oleh person dai dalam makna yang luas. Pada sisi lain,
dakwah Islam tidak hanya terbatas pada kegiatan dakwah yang dilakukan oleh lembaga
dakwah dan dai terhadap jamaah atau umat yang disebut dakwah jamaah. Tetapi juga
dikenal dengan konsep dakwah fardiyah, yaitu dakwah yang dilakukan oleh dai terhadap
satu orang atau beberapa orang mad‘u secara tidak formal. Dakwah fardiyah mempunyai
beberapa keunggulan dan keistimewaan dibandingkan dakwah jamaah.12 Dakwah
fardiyah dalam operasionalnya dapat berlangsung di mana saja, kapan saja dan dengan
siapa saja mad‘u-nya, karena tidak terikat dengan acara protokoler seperti telah dibahas
sebelum ini. Karena itu, jika dakwah dipahami dalam arti luas dan menjadi gerakan
bersama di kalangan umat Islam, maka ini akan menjadi suatu kekuatan untuk perubahan
sosial sesuai dengan cita-cita al-Qur’an, agar komunitas Muslim menjadi umat terbaik
(khair ummah).
Kedua, kekuatan dakwah dilihat dari segi kuantitas dan kualitas serta potensi umat
Islam di Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia, yaitu 87% adalah beragama Islam,
bahkan bangsa Indonesia merupakan pemeluk agama Islam terbesar di muka bumi.13
Kondisi ini pada suatu sisi merupakan kekuatan bagi dakwah Islam, apabila potensi,
kualitas dan partisipasi umat yang mayoritas ini dapat digerakkan, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan dakwah Islam.
Ketiga, kekuatan dakwah dilihat dari segi keberadaan organisasi keagamaan di
Indonesia yang bergerak dalam bidang dakwah. Kekuatan dakwah terletak pada peran
aktif organisasi keagamaan atau organisasi Islam di Indonesia, yang ikut mengemban
dakwah. Tidak ada satu pun organisasi keagamaan yang tidak ikut berkiprah dalam
bidang dakwah. Karena dakwah dalam terminologi yang luas meliputi bidang politik,
ekonomi, usaha-usaha sosial, kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi seni, dan kodifikasi
hukum. Hal itu bagi seorang Muslim harus menjadi alat dakwah. Di kalangan mahasiswa
dikenal beberapa organisasi yang menamakan diri sebagai organisasi Islam, seperti
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (1998), Himpunan Mahasiswa Islam
(1947),17 Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (1959), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (1964), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1964). Semua
organisasi kemahasiswaan yang disebutkan di atas dan organisasi Islam lainnya, baik
yang bersifat nasional maupun kedaerahan, kehadirannya adalah cukup penting, karena
mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu sama-sama untuk memajukan kehidupan umat
beragama di Tanah Air.

Terlepas dari kelemahan masing-masing, bahwa tidak dapat dipungkiri, peran


organisasi-organisasi tersebut cukup besar dalam pembinaan kualitas keberagamaan di
kalangan umat Islam. Setiap organisasi telah berperan sesuai dengan program dan skala
prioritas, yang merupakan refleksi dari tujuan berdirinya organisasi tersebut. Dakwah
13
yang bersifat multi dimensional dan integratif, tentunya akan menjadi kuat dan lebih
mampu memecahkan masalah-masalah aktual dan strategis di kalangan umat. Hal yang
sangat diperlukan adalah terbentuknya kerjasama yang baik di antara organisasi tersebut.
Kemudian, jika terjadi kompetisi, tentunya dalam rangka fastabiqul-khairât. Namun sikap
yang diperlukan dari dai dan organisasi dakwah bukan sekedar reaktif melainkan sikap
proaktif, atau tidak sekedar mengkritik, tetapi juga mengusulkan bahkan menawarkan
program alternatif untuk kemajuan umat.

BAB III
PENUTUP

14
A. Kesimpulan
1. Paradigma Ilmu Dakwah memiliki 5 unsur, diantaranya yaitu : dimensi – dimensi islam,
komunikasi, penerimaan pesan, tujuan dakwah dan evaluasi dakwah. 5 unsur tersebut saling
terkait sacara sistematik, sehingga 1 unsur dengan unsur lainnya memiliki keterhubungan
sifat atau kondisi hubungan lainnya. Karakteristik paradigma ilmu dakwah secara sistematis
mengarah pada tujuam yang telah ditetapkan oleh pola komunikasi, yang diciptakan untuk
menifestasi islam. Sedangkan tujuan dalam komunikasi bersifat arbitrer, yaitu komunikasi
hanya mengarah kepada kesuksesan penyampaian pesan. Paradigma ilmu dakwah memiliki 5
macam, yaitu : paradigm factor, paradigm system dakwah, paradigm developmentalisme,
paradigma interpretif dan paradigm partisipatoris.
2. Pemikiran ilmu dakwah dalam kamu umum Bahasa Indonesia adalah cara atau hasil berfikir.
Jenis pemikiran dakwah terbagi menjadi 2, yaitu dakwah kultural dan structural. Kultural
adalah aktifitas dakwah yang menekankan pada islam secara kultural, dakwah structural
adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan.
3. Sumber kekuatan dakwah memiliki 3 sudut pandang yaitu segi konsep, segi kuantitas,
kualitas dan segi keberadaan organisasi.

B. Saran
Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan.
Adapun nantinya penulisan bersedia melakukan perbaikan agar kualitas makalah ini
dapat semakin baik lagi. Serta dengan adanya materi ini dapat dijadikan sebagai salah
satu bahan ajar untuk mengetahui bagaimana paradigma, pemikiran, dan sumber
kekuatan dakwah dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. (2012). Analisis Swot Dakwah Di Indonesia:. Jurnal Miqat , 409 - 42.
15
Huda, S. (2004). Paradigma Ilmu Dakwah dan Pengembangan Melalui Kajian Empiris . Jurnal
Ilmu Dakwah, 14-29.
Syam, N. (2020). Paradigma dan Teori Ilmu Dakwah : Perspektif Sosiologis. Jurnal Ilmiah
Syiar, 1-18.

16

Anda mungkin juga menyukai