3. Patung Pancoran
Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan
dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh
Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono. Berat
patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri
adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses pembangunannya dilakukan
oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana.
Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30
September PKI pada tahun 1965.
Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan
keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut
berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur,
Berani dan Bersemangat.
Proses pemasangan Patung Dirgantara sering ditunggui oleh Bung Karno, sehingga
kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang kepala
negara. Alat pemasangannya sederhana saja yaitu dengan menggunakan Derek tarikan
tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan
yang masing-masing beratnya 1 ton.[1]
Pemasangan patung Dirgantara akhirnya dapat selesai pada akhir tahun 1966. Patung
Dirgantara ditempatkan di lokasi ini karena strategis, merupakan pintu gerbang kawasan
Jakarta Selatan dari Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah selain itu dekat dengan
(dahulu) Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia.
5. Patung Asmat
Suku Asmat merupakan salah satu suku yang ada di nusantara. Suku ini mendiami
kawasan timur Indonesia, tepatnya di sepanjang pesisir pantai selatan Pulau Irian Jaya.
Wilayah tinggal Suku Asmat kaya akan pohon sagu dan pohon bakau. Pohon-pohon ini
yang berperan sangat penting dalam kehidupan Suku Asmat. Tidak hanya menjadi sumber
kehidupan, tapi juga sebagai media yang digunakan untuk mengimplementasikan nilai seni
yang dimiliki masyarakat suku tersebut.
Berbagai patung ukiran Suku Asmat merupakan salah satu bentuk nilai seni yang
dimiliki masyarakat suku ini. Bagi masyarakat Suku Asmat, patung bukan sekadar benda
yang bernilai estetis. Patung juga menjadi penghubung mereka dengan arwah nenek
moyang. Patung mbis misalnya.
Patung mbis dibuat sebagai perlambang adanya sosok nenek moyang dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Masyarakat Suku Asmat percaya bahwa orang yang sudah meninggal
mampu ditemukan kembali di dalam bentuk patung mbis. Karenanya, setiap
patung mbis yang dibuat diberi nama sesuai dengan nama orang yang telah meninggal.
Tapi, tidak semua orang yang sudah meninggal dibuatkan patung mbis. Hanya orang
tertentu yang dibuatkan patung mbis.
Pembuatan patung yang terbuat dari kayu bakau ini melewati proses yang panjang.
Awalnya, kaum pria Suku Asmat berkumpul. Sambil berteriak yang membuat suasana jadi
hiruk pikuk, mereka merubuhkan pohon bakau. Setelah rubuh, batang pohon bakau
dibersihkan dari ranting-ranting dan kulitnya dikupas. Batang pohon bakau lalu dilumuri
cairan berwarna merah – yang bahannya juga dari pohon bakau. Selesai dilumuri cairan
merah, batang pohon bakau dibawa ke desa.
Konon, masyarakat Suku Asmat percaya bahwa batang pohon bakau merupakan
perwujudan tubuh nenek moyang. Sementara, cairan merah yang dioleskan ke batang
pohon bakau merupakan darahnya.
Menjadi bagian dalam rombongan penebangan pohon bakau merupakan suatu
kebanggaan tersendiri bagi laki-laki dewasa Suku Asmat. Ketika sampai di desa,
masyarakat pun menyambut rombongan penebang pohon ini layaknya pahlawan yang
kembali dari medan perang.
Batang pohon bakau kemudian diberikan kepada wow ipits. Wow ipits merupakan
sebutan bagi orang-orang yang memiliki keahlian dalam membuat ukiran patung.
Biasanya, pengerjaan sebuah patung mbis dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.
Setelah jadi, patung mbis dipajang di depan rumah sebagai simbol adanya komunikasi
antara dunia kematian dan dunia kehidupan.
Jenis patung lain yang dimiliki Suku Asmat adalah patung kewenak. Berbeda
dengan mbis, kewenak lebih berfungsi dalam sistem keluarga. Patung kewenak merupakan
patung yang dibuat untuk mengenang suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu keluarga.
Patung jenis ini biasanya disimpan di rumah yeu atau rumah laki-laki Suku Asmat. Dengan
ukuran tinggi yang tidak lebih dari satu meter, kewenak bisa dikatakan sebagai
dokumentasi keluarga layaknya foto.
Ada pula patung tunggal atau patung rangkap. Patung jenis ini biasanya
mendokumentasikan dongeng atau cerita rakyat, belakangan ada juga yang menceritakan
perjalanan hidup seseorang.
Sama dengan patung mbis, patung kewenak serta patung tunggal dan patung rangkap
juga dibuat dari batang pohon bakau. Hanya saja, proses pembuatan patung-patung
tersebut tidak memerlukan upacara khusus seperti pada patung mbis.
Masyarakat Suku Asmat masih menggunakan peralatan yang sederhana dalam
pembuatan patung-patung tersebut. Peralatan yang biasa digunakan seperti kapak batu,
pisau yang terbuat dari tulang, serta paku yang telah dipipihkan. Meski begitu, patung
yang dihasilkan memiliki nilai estetis yang tinggi – selain juga mengandung nilai-nilai
religius di dalamnya