Anda di halaman 1dari 6

Berada di Bali, patung Garuda Wisnu Kencana merupakan wujud dari Dewa Wisnu yang merupakan

Dewa Pemelihara (Sthiti) dalam agama Hindu. Penggambaran Dewa Wisnu diperlihatkan sedang
mengendarai seekor burung Garuda. Bentuk ini berasal dari kisah Garuda dan Kerajaannya, yaitu Dewa
Wisnu yang melindungi burung Garuda karena telah berbakti dan berkorban untuk menyelamatkan
ibunya dari perbudakan.

Nama patung ini berasal dari nama karakter patung itu sendiri, yaitu Garuda dan Wisnu. Kencana
memiliki arti emas, merujuk pada tahta tempat patung burung Garuda dan Dewa Wisnu berdiri yang
dilapisi emas.

Diresmikan pada 22 September 2018, salah satu fakta menarik dari Patung Garuda Wisnu Kencana
adalah statusnya sebagai patung tertinggi di Indonesia. Tinggi patung ini melebihi Patung Liberty di
Amerika, yaitu mencapai 120 meter.

Patung yang merupakan karya pematung I Nyoman Nuarta ini dikenal akan keindahan dan keunikannya,
menjadikan Garuda Wisnu Kencana sebagai salah satu landmark kebangaan Bali.

Sejarah Patung Garuda Wisnu Kencana

Patung Garuda Wisnu Kencana pertama kali dibangun pada tahun 1997 oleh seniman I Nyoman Nuarta
dengan biaya dari Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Patung ini adalah wujud dari Dewa
Wisnu sebagai Dewa Pemelihara (Sthiti) dalam agama Hindu yang sedang mengendarai seekor burung
Garuda.

Itulah sebabnya, patung ini diberi nama Garuda Wisnu Kencana atau sering disingkat GWK. Kencana
berarti emas, karena patung burung Garuda dan Dewa Wisnu ini berdiri di sebuah tempat berlapis emas.
Di tahun 1998, ketika terjadi krisis moneter, pembangunan patung ini sempat terhenti meskipun I
Nyoman Nuarta sudah menargetkan untuk menyelesaikan Garuda Wisnu Kencana pada akhir tahun
2017.

Tak hanya itu, sebagian besar pemuka agama Hindu di Bali juga sempat menolak berdirinya patung
berukuran besar ini, karena dianggap dapat mengganggu keseimbangan spiritual Pulau Bali dan tak etis
dijadikan tempat wisata. Meski begitu, pembangunan patung ini tetap dilanjutkan hingga kini karena
sebagian besar masyarakat Pulau Dewata menganggap keberadaan Garuda Wisnu Kencana dapat
meningkatkan kunjungan wisatawan ke Pulau Bali.

Patung selamat datang


Patung/monumen Selamat Datang memiliki letak di tengah-tengah Bundaran HI, menjadikannya sebagai
patung yang sering dijumpai masyarakat. Khususnya, bagi yang berkunjung ke Jakarta.

Patung ini dibangun pada 1962 atas gagasan Ir. Soekarno untuk menyambut tamu-tamu dari berbagai
negara datang ke Jakarta, yang pada saat itu menjadi tuan rumah perhelatan Asian Games IV.

Kini, patung itu menjadi salah satu patung paling terkenal di Indonesia. Ada fakta menarik, ternyata
pembuatan Monumen Selamat Datang ini berlangsung selama satu tahun dengan peresmian dilakukan
langsung oleh Soekarno.

Patung Selamat Datang dibuat dengan bahan perunggu menggunakan sistem cor. Hasilnya, ia memiliki
berat 5 ton, dengan tinggi kepala sampai kaki 5 meter. Tinggi seluruh monumen ini secara keseluruhan
sampai ujung tangan adalah 7 meter, dan tinggi penyangga atau voetstuk dudukan sebesar 10 meter.

Pada tahun 1962, Jakarta menyambut tamu-tamu kenegaraan di Bundaran Hotel Indonesia. Ketika itu,
Presiden Sukarno membangun Monumen Selamat Datang dalam rangka Asian Games IV yang diadakan
di Jakarta. Para atlet dan ofisial menginap di Hotel Indonesia dan bertanding di komplek olahraga Ikada,
sekarang komplek Gelora Bung Karno, Senayan. Stadion Senayan pada saat itu adalah stadion terbesar
di Asia Tenggara yang mampu menampung 120.000 penonton.[1]

Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Sukarno dan rancangan awalnya dikerjakan oleh Henk
Ngantung yang pada saat itu merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tinggi patung perunggu ini dari
kepala sampai kaki 5 m, sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah +-7
m, dan tinggi kaki patung adalah 10 m. Pelaksana pembuatan patung ini adalah tim pematung Keluarga
Arca pimpinan Edhi Sunarso di Karangwuni. Pada saat pembuatannya, Presiden Sukarno didampingi
Duta Besar Amerika Serikat, Howard P. Jones beserta para menteri sempat berkunjung ke sanggar Edhi
Sunarso. Pembuatan patung ini memakan waktu sekitar satu tahun. Monumen Selamat Datang
kemudian diresmikan oleh Sukarno pada tahun 1962.[1]

Patung Dirgantara (Patung Pancuran)

Siapa yang tak kenal dengan Patung Pancoran? Salah satu patung yang paling sering muncul dalam
sinema dan layar kaca ini memiliki nama lain Patung Dirgantara dengan lokasi di daerah Pancoran,
Jakarta.

Patung Dirgantara adalah salah satu patung ikonik yang ada di Indonesia. Dirancang oleh Edhi Sunarso
pada 1964-1965, patung yang terbuat dari perunggu ini memiliki berat mencapai 11 ton.
Patung ini dibuat pada masa pemerintahan Soekarno yang memiliki visi soal dunia kedirgantaraan
Indonesia. Kepada Edhi Sunarso, Soekarno menyampaikan keinginannya menghormati para pahlawan
penerbang Indonesia melalui monumen.

Patung ini dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca
Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik
Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono. Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11
Ton. Sementara tinggi patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses
pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana.

Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI pada
tahun 1965.Proses pemasangan Patung Dirgantara sering ditunggui oleh Bung Karno, sehingga
kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang kepala negara.
Alat pemasangannya sederhana saja yaitu dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang
berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya
1 ton.[2]

Pemasangan patung Dirgantara akhirnya dapat selesai pada akhir tahun 1966. Patung Dirgantara
ditempatkan di lokasi ini karena strategis, merupakan pintu gerbang kawasan Jakarta Selatan dari
Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah selain itu dekat dengan (dahulu) Markas Besar Angkatan
Udara Republik Indonesia.

Patung ini menggambarkan kekuatan Indonesia, berupa lambang manusia, yang memiliki semangat kuat
untuk menjelajah angkasa. Wajah Tugu Dirgantara mengekspresikan wajah gagah berani penuh
semangat membara dari Gatotkaca. Lokasi tempat patung ini juga dipilih karena Markas Besar Angkatan
Udara RI sempat berada di tempat tersebut.

Monumen Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran adalah salah satu
monumen patung yang terdapat di Jakarta. Letak monumen ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta
Selatan.[1] Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan
Markas Besar TNI Angkatan Udara. Posisinya yang strategis karena merupakan pintu gerbang menuju
Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Ide pertama pembuatan patung adalah dari Presiden Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah
patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan
manusia angkasa, yang berarti menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk
menjelajah angkasa
Monumen Pancasila Sakti

Indonesia memiliki beragam patung-patung dan monumen-monumen yang dibangun sebagai bentuk
penghormatan kepada suatu sosok dalam cerita rakyat maupun tokoh penting bangsa. Monumen
Pancasila Sakti menjadi salah satunya.

Monumen Pancasila Sakti didirikan di atas areal tanah seluas 14,6 hektar pada pertengahan tahun 1967
dan diresmikan pada 1 Oktober 1973 oleh Soeharto. Sejak itu berdasarkan Surat Keputusan Menpangad
No. Kep 977/9/1966 tanggal 17 September 1966, setiap tahun dimulai tradisi Hari Peringatan Kesaktian
Pancasila. Monumen ini digunakan untuk mengenang, menghormati, dan menghargai jasa-jasa para
pahlawan tanah air.

Monumen ini memperlihatkan sosok Jenderal Ahmad Yani, Jenderal S. Parman, Jenderal Suprapto,
Jenderal Sutoyo, Jenderal MT Haryono, Jenderal Panjaitan, dan Kapten P. Tendean berdiri kokoh dengan
sebuah Patung Garuda Pancasila yang berdiri di belakangnya.

Tak hanya menjadi simbol, patung ini juga menyimpan nilai sejarah. Lubang dan rumah penyiksaan
menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah, yang merenggut nyawa para Jendral tersebut.

Fungsi

Monumen Pancasila Sakti dibangun atas gagasan Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Dibangun di atas
tanah seluas 14,6 hektare. Monumen ini dibangun dengan tujuan mengingat perjuangan para Pahlawan
Revolusi yang berjuang mempertahankan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila dari ancaman
ideologi komunis.[1]

Ketujuh pahlawan revolusi tersebut adalah:

Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI (Jenderal TNI (Anumerta)) Ahmad Yani,

Mayor Jenderal TNI (Letnan Jenderal TNI (Anumerta)) R. Suprapto

Mayor Jenderal TNI (Letnan Jenderal TNI (Anumerta)) M.T. Haryono

Mayor Jenderal TNI (Letnan Jenderal TNI (Anumerta)) Siswondo Parman

Brigadir Jenderal TNI (Mayor Jenderal TNI (Anumerta)) DI Panjaitan

Brigadir Jenderal TNI (Mayor Jenderal TNI (Anumerta)) Sutoyo Siswomiharjo

Perwira TNI Letnan Satu (Kapten CZI (Anumerta)) Pierre Tendean Ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Letnan
Satu Pierre Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Monumen yang terletak di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini, berisikan bermacam-
macam hal dari masa pemberontakan G30S - PKI, seperti pakaian asli para Pahlawan Revolusi.

Patung Ikan Sura dan Baya

Patung Ikan Sura dan Baya merupakan salah satu monumen paling populer di Indonesia sekaligus
menjadi ikon dari Kota Surabaya. Diamati dari bentuknya, patung ini menggambarkan pertarungan
antara ikan sura (hiu) dan baya (buaya) yang sangat erat dengan legenda dan kisah rakyat mengenai
Kota Surabaya.

Konon, di lautan yang sangat luas, terjadilah perkelahian antara hiu dan buaya. Pertarungan ini
membuat sang hiu kelelahan dan membuat kesepakatan pembagian wilayah dengan buaya. Pembagian
ini berupa lautan untuk hiu dan daratan untuk buaya.

Tak berhenti di situ, konflik sura dan baya ini dilanjutkan dengan habisnya ikan di laut yang
menyebabkan sang hiu mencari mangsa di sungai yang merupakan daerah kekuasaan buaya. Kejadian
ini menyebabkan buaya murka kepada hiu sehingga pertarungan dimulai kembali.

Seperti pada adegan di patung Surabaya, terlihat hiu menggigit ekor buaya dan buaya membalas dengan
menggigit ekor hiu. Singkat cerita, pertarungan ini diakhiri dengan kembalinya hiu ke lautan dan buaya
tetap di daratan.

Patung ikonik ini terletak di depan Kebun Binatang Surabaya (KBS), yaitu Jalan Diponegoro, Wonokromo,
Surabaya. Patung Sura dan Baya dari Kota Jawa Timur ini merupakan lambang dari Kota Surabaya.
Kemudian, ikan sura dan baya merupakan simbol dari sifat keberanian pemuda Surabaya yang tidak
gentar menghadapi bahaya.

Patung ini juga difungsikan oleh para wisatawan domestik dan mancanegara untuk dijadikan tempat
berfoto. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa kurang rasanya kalau belum melakukan foto
bersama Patung Sura dan Buaya ketika berada di Surabaya.*
Fungsi

Patung ini melambangkan Sura (ikan) dan Baya (buaya) yang konon kabarnya nama patung itu menjadi
inspirasi untuk nama Kota Surabaya. Terlepas dari cerita perkelahian yang terjadi antara Sura dan Baya,
makna dari patung Sura dan Baya menjadi simbol keberanian pemuda-pemuda Surabaya dalam
mempertahankan wilayahnya dengan menentang bahaya.

Selain menjadi simbol Kota Surabaya, Patung Sura dan Baya juga pernah beberapa kali digunakan untuk
latar syuting sebuah film. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan film tersebut benar-benar berada di
Surabaya.

Patung Sura dan Baya juga sering dijadikan sebagai latar untuk berfoto oleh wisatawan domestik dan
wisatawan asing. Mereka ingin mengabadikan momen dengan menyambangi patung tersebut yang
memang sangat terkenal

Anda mungkin juga menyukai