Anda di halaman 1dari 11

Nama : Najwa Amalia Zulma

Kelas : XI MIPA 3

Kamis, 21 Juli 2011

(Monolog) AKU SEEKOR KUCING

(Chaerul Ashar Hamid)

PROLOG

(suasana panggung yang masih gelap total.)

(diiringi dawai biola atau petikan gitar klasik yang melantunkan lagu indonesia raya, dan lagu ini akan
terus mengalun hingga suara anak perempuan pun terhenti.)

(seorang anak perempuan bercerita dari balik layar.)

“Seperti sayap patah yang terbengkalai dari pundak malaikat. Terjatuh bagai daun-daun kering di tanah
yang lembab, seperti derasnya air sungai yang mengalir dipertengahan kemarau panjang. Ini adalah
suara yang telah lama bungkam akan kehadiran derita-derita dan air mata, serta desahan napas panjang
yang mengharuskan tangan keriput mengurut dada. Sungguh malang, sungguh-sungguh malang...harus
ada cerita dalam sebuah naskah merah putih yang mencoreng dongeng sejarah yang menjadi bukti
keberanian akan sumpah dan janji.”

(suara alam; angin, gemericik air atau hujan, dan ombak pantai.)

(masih suara anak perempuan bercerita.)

“Gemercik air, gesekan daun-daun bambu, lolongan anjing, bunyi rintik hujan di genteng, rimbun
kehijauan, tanah yang becek, nyanyian pipit, serta lautan yang berayun-ayun menempa pasir di bibir
pantai. Itulah Sebongkah permata warisan sang moyang, sebongkah syair yang telah terpasung di depan
mata. Tak ada yang bisa menjadi penjaga, tak ada yang bisa menjadi sang pahlawan, semuanya hanya
mau memiliki, dengan gelak tawa yang sinis dan terbahak.”
(lampu perlahan menyorot pada satu titik = Spot Light, tepat di pertengahan panggung dengan cahaya
panggung yang tidak terlalu gelap = Temaram, tapi belum ada siapa-siapa di sana, hanya suara anak
perempuan yang terus berbicara.)

(suara anak perempuan itu menjadi sedih.)

“SELENDANG SUTERA telah terkubur, BEGAWAN SOLO telah kering, TANAH AIR BETA telah terjajah,
BENDERA MERAH PUTIH telah memudar dan luntur, HENING CIPTA telah mati, SYUKUR telah menjadi
Ego, MAJU TAK GENTAR telah lari terbirit-birit, GUGUR PAHLAWANKU telah menjadi bahan olok-olokan,
SATU NUSA SATU BANGSA menjadi ajang adu domba, INDONESIA PUSAKA telah tenoda, dan INDONESIA
RAYA telah menjadi Jalang. Jalang bagi mereka yang berdiam di meja bercap politik.”

(Spot Light menyala tepat di tengah panggung.)

(seorang laki-laki/perempuan “kita namai si kucing” berjalan dan bertingkah seperti kucing, memasuki
panggung. Mengais sana sini, mencari makan, mengejar tikus, dan berakhir di Spot Light bagian tengah
panggung.)

“meong...”

“meong”

“MEONG... ... ...”

(menjilati tangannya, dan menggaruk-garung telinganya.)

(Spot Light perlahan padam, dan suasana panggung menjadi terang.)

“ehm...tak ada susah kalau menjadi seekor kucing, tak perlu repot mencari makan, berjalan ke kubangan
sampah, itu sudah cukup. Meski hanya makan dengan tulang ikan, tapi rasanya sudah lumayan nikmat.
Tapi...tulang itu kadang-kadang terganjal di tenggorokanku, tapi...hmmm, MEONG...!!!”

(berdiri, bertingkah seperti manusia.)


“sudah malam rupanya...huh...dingin sudah menusuk tulangku. malam ini, aku makan apa ya...??? apa
aku harus menangkap tikus lagi...??? aku sudah bosan makan itu-itu terus, aku ingin makan makanan
yang enak, atau makan makanan yang mewah. Apa lagi, sekarang ini, di mana juga aku bisa
mendapatkan tikus...??? sawah para petani pun sudah berubah menjadi bangunan-bangunan megah,
bangunan-bangunan bertingkat. Yang ujung-ujungnya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan lagi.”

(berjalan mondar-mandir.)

“kalau aku mau makan mewah, kemana aku harus mencarinya...??? apa aku harus korupsi...??? apa aku
harus lebih bengis dari tikus-tikus berdasi...??? wah, mestinya aku yang memangsa mereka, bukan aku
yang harus takut. Aku kan kucing.”

(duduk, seperti sedang memikirkan sesuatu.)

“Kalau aku menjadi orang berdasi, dan korupsi sana-sini, aku bukan lagi si kucing dong...!!! aku menjadi
tikus putih yang berdasi...Wah...wah...waaahhh...!!! aku akan terlihat keren.”

(berdiri dan berjalan layaknya seorang pejabat tinggi, berjalan dengan gaya angkuh.)

“Aku ingin agar lahan di daerah ini dijadikan pusat perbelanjaan, (seperti berpikir.) tidak...tidak...aku
ingin membangun monorail di sini, atau hotel berbintang saja...??? atau malah restoran saja...???

“Ah...tidak-tidak, tidak semuanya, aku merasa lebih nyaman dengan menjadi seorang pejabat penting di
negeri ini. Aku hidup mewah, aku punya uang, dan simpanan di berbagai bank di dunia, serta aku bisa
liburan ke bali, membeli mobil Ferrari, atau bahkan liburan ke Yunani.”

“Ya...ya...itu bagus, banyak aset yang bisa aku jarah, ya...kalau ada yang kompalin, aku kan bisa main-
main dengan kolega-kolegaku, aku berlagak tidak tahu masalah, dan kolegaku, aku perintahkan saja
untuk bertindak demikian juga. Publik pun akan merasa bosan dan jenuh, akhirnya kasus ditutup dengan
sendirinya.”

“Aku ingat waktu aku mencoba mencalonkan diri jadi seorang pejabat tinggi, ya...dengan modal uang
yang nominalnya tidak dapat aku hitung lagi, aku bisa membuat surat MK palsu. Gampang kan...??? apa
sih yang tidak bisa dilakukan dengan uang...??? semuanya akan takluk dan tunduk dengan UANG.”
(tertawa terbahak-bahak, seperti sedang menikmati hidupnya yang mewah.)

(lalu...duduk murung, dan bermuka sedih.)

“Tapi aku kelaparan...aku tidak punya pekerjaan lagi, sawah ku telah kujual dengan terpaksa, dari pada
sawahku harus digusur. Aku hanya rakyat miskin yang tak punya kekuatan hukum. Aku hanya bisa
menjadi korban hukum secara massal. Aku ingin menjadi buruh bangunan, tapi buruh sekarang telah
terganti menjadi mesin-mesin yang bisa diatur-atur, bisa diperintah-perintah dan mampu bekerja tanpa
harus mengupahnya. Aku ingin menjadi seorang tenaga kerja, tapi aku takut, aku takut dihukum pacung,
ketakutanku menjadi-jadi kala harus mati duluan sebelum pemerintah bertindak tegas. Hukum hanya
seperti permainan petak umpet, hukum hanya seperti sebuah tameng yang entah untuk melindungi
siapa, hukum hanya mampu bernyanyi bagi kami yang tidak punya apa-apa. Apa gunanya kalau sudah
seperti itu...??? apa gunanya...???”

(berteriak lantang ke arah penonton.) “HEI..., aku bertanya, APA GUNANYA...???”

“ketika mayat telah dalam peti, barulah pemerintah berteriak-teriak, geram, marah, dan mengeluarkan
ultimatum. Keluarga telah berkalang duka, tak ada lagi yang patut kalian suarakan. Suara itu hanya
berkiasan sebagai bentuk rasa syukur. Syukur yang telah menjadi Ego, Syukur atas penderitaan kami,
syukur yang tak patut kalian ucapkan dengan mulut dan napas kotormu.”

(berlagak seperti presiden, disetai dengan iringan suara seperti dalam ruangan yang dipenuhi suara-
suara orang, yang sibuk bercerita pula.)

(berbicara layaknya di atas podium.)

“saudara-saudara, perbuatan Arab Saudi sudah tidak dapat ditolerir lagi, ini sudah melanggar hukum
universal, batas kode etik antar negara. Kita telah mengetahui bersama, kalau setiap warga negara yang
berada di negara lain, harus di usut berdasarkan hukum universal yang berlaku...”(pidato ini bisa diganti
dengan pidato kepresidenan yang lain.)

(berlagak seperti orang Arab.)


(berbicara dalam dialek Arab.) “maafkan Ana Bapak Presiden RI, tapi ini adalah hukum yang berlaku di
negera Ana, bukan di negara Ente, negara Ente kan bebas-bebas saja, beda dengan negara Ana. Di
negara Ana, bagi yang membunuh, harus pula dibunuh atau dihukum mati, kecuali ada maaf dari
keluarga yang terbunuh...Ente maklum lah, Maklum...!!!” (adegan ini bisa diganti sesuai dengan pidato
kepresidenan sebelumnya. Terkhusus untuk adegan ini, pemain dapat menghilangkannya.)

(seolah berbisik ke arah penonton.) “RI begok ya...??? lagi pula, Rakyat Ana telah puas dengan hukuman
ini, ya...cukup kasi santunan saja akan menuntaskan semua masalah...hhahahahaha, iya kan...???
Sumpah, Ana Zuzur” (adegan ini bisa diganti sesuai dengan pidato kepresidenan sebelumnya.Terkhusus
untuk adegan ini, pemain dapat menghilangkannya.)

(diam,...lampu tiba-tiba padam, hanya Spot Light yang menyinari “si kucing”.)

(menangis sejadi-jadinya.) “bangsaku membunuhku, bangsaku menindasku, bangsaku telah


menjajahku...aku ditikam, aku ditendang, aku dikesampingkan...mereka bagai parasit, yang
menggerogoti tubuhku dari dalam. Membuat indraku cacat, aku hanya bisa menjadi penonton layar
panggung diplomasi, aku hanya bisa menjadi pelengkap dan alat untuk mereka jadikan tumbal.”

“MANA JANJIMU...??? MANA SEMBOYANMU...??? DARI RAKYAT,UNTUK RAKYAT, DAN OLEH RAKYAT...”

“Yang ada hanya kepentingan kalian, aku menyerahkan semua urusan kepemerintahan kepada kalian,
karena kami tidak mampu melakukan itu, kami hanya lulusan SD, lulusan SMP, atau bahkan tak
berpendidikan sama sekali. Kalian mewakili Rakyat, kalian mewakili kami untuk urusan kenegaraan,
kalian mewakili kami untuk hubungan bilateral, kalian mewakili kami untuk urusan kesejahteran kami...”

(bersuara lantang dan geram...) “tapi kalian tidak mewakili kami untuk menderita dalam kemiskinan,
kalian tidak mewakili kami untuk melarat, kalian hanya makan dari uang kami, uang hasil keringat kami,
dan kalian hanya memberikan kami kebohongan...janji...dan topeng-topeng kepalsuan. Dimana hukum
itu...??? dimana hukum itu...??? Rakyat miskin, anak terlantar, dan kaum jelata dibiayai oleh
pemerintah...”

(panggung kembali terang, dan Spot Light padam.)


(merintih.) “pak...kasi uang pak...bu...kasi uang bu...saya belum makan dari tadi shubuh, kakiku buntung
pak, kakiku buntung bu, hanya belas kasih kalian yang bisa membuatku terus hidup...”

(marah.) “makanya kerja, jangan jadi orang yang mau tinggal enak. Ini jaman moderen, tidak ada yang
gratis. Orang susah-susah kerja, kamu enak-enakan minta sana sini. Sudah tahu miskin, anaknya banyak
pula. Bagaimana tidak melarat, dasar orang miskin.”

“memang kami miskin, memang kami melarat, tapi kami tidak tahu mau berbuat apa...tak ada pekerjaan
yang mau menerima orang yang tak berijasah, tak ada orang yang mau menerima kami yang memiliki
kaki buntung, jadi pencopet saja harus punya ijasah. (ke arah penonton) tidak percaya...???
sana...tanyakan pada para pejabat, seperti Gayus. Tanyakan pada orang-orang yang bermobil mewah
yang benilai satu miliyar, kalian tahu berapa satu miliyar itu...??? saya saja tidak tahu berapa jumlahnya.
Uang seribu rupiah saja susahnya minta ampun, bagaimana bisa menghitung uang satu miliyar itu.”

(bernyanyi.) “wahai presiden, kami yang baru...aku ingin kau dengar suara ini, suara yang keluar dari
mulut goa...”(harus menggunakan tekhnik Lipsync, sebagai simbolis ketenaran Briptu Norman Kamaru.
Lagu yang dinyanyikan, adalah lagu Iwan Fals – Manusia Dewa yang hanya dinyanyikan hingga reff
pertama. Atau tergantung dari ide.)

“Permisi mas, permisi bu, permisi pak...kasi upah seadanya...”

(duduk dengan santai.)

“ah...memang negara ini negara demokrasi bung, tapi jangan juga kesampingkan tugas dan tanggung
jawab. Jadi terkenal memang enak, tinggal pelantang-pelinting sana sini, melambai-lambai di depan
kamera, sudah dapat uang. Tapi ingat, pengayom masyarakat seperti apa...??? jangan mentang-
mentang sudah berseragam, tinggal enaknya pukul sana pukul sini, menembak sana menembak sini.
Habis uang rokok, tilang orang dengan alasan-alasan yang tidak jelas...”

(tiba-tiba tertawa.) hhahahahahaha...hhahahahaha...(menggaruk kepala, bertingkah orang gila untuk


beberapa lama.)

(Diam.)
(bertingkah seperti kucing.)“Aku lapar...hmmm, cari makanan dulu ah... MEONG...tapi cari makanan nya
di mana...??? semuanya serba instan, tidak ada lagi sebuah proses, mau makan tinggal beli, mau minum
tinggal pencet, aku jadi kebingungan mau cari makan di mana...nasib-nasib, eh...yang nasib tuh para
Rakyat negara ini...”

(seseorang berlalu, dan membuang sisa makanan.)

(berbinar...) “wah...aji mumpung, pas lapar, ada makanan sisa...memang enak jadi kucing, memang enak
jadi binatang saja, binatang yang masih memiliki rasa manusiawi. (sembari memakan makanan sisa.) tak
perlu bersusah payah untuk memikirkan uang, cukup mengemis dan bertingkah manis di depan para
manusia-manusia, dari pada manusia-manusia yang bertingkah kebinatangan...??? pilih mana coba.
hhahahaha, jadi kucing itu enak, tinggal mengeong sebentar, MEONG,...dapat makanan,
MEONG...MEONG...MEEEOOONG...”

“Meski ada sialnya sedikit sih, kadang ditendang atau disiksa, seperti para TKI...”

(berdiri dan berjalan selayaknya manusia, seperti sedang memikirkan sesuatu.)

“Aku masih mending hanya seekor kucing, bertingkah seperti binatang alias kucing, dari pada mereka-
mereka yang berdiam di parlemen, yang sibuk buka-buka video porno dalam rapat. Masa video orang
yang lagi gitu-gituan dibuka-buka, dan berkilah hanya buka sebentar saja. (Kepada Penonton.) hei bung,
sebentar atau lama, sama saja. Intinya buka-bukaan.(Heran.) kok buka-bukaan ya...???, (Kepada
penonton lagi) tapi kalian tahu kan...???”

(tiba-tiba kegaduhan terjadi, dan beberapa suara berteriak dan meminta tolong sembari beberapa suara
melantangkan “satpol pp datang”.)

(terheran-heran.) “satpol pp...??? hah...???” (panik.) “satpol pp...”

(lari monadr-mandir, seperti orang ketakutan. Dan berhenti menghadap penonton.)


“Tolong pak,tolong...jangan rubuhkan rumah kami, tolong pak...meski hanya rumah kardus, tapi di
sinilah kami berdiam dari panas dan hujan, di sinilah tempat kami berkumpul bersama keluarga kami
untuk sekedar makan, minum, tertawa dan juga tidur, tolong pak, kalau rumah kami dirubuhkan, kami
akan tinggal di mana pak...??? lahan telah terisi penuh oleh bangunan-bangunan bertingkat...

“Tolong pak, kami memang miskin, tapi setidaknya berikan kami tempat sebagai tempat tinggal kami
yang baru, pak...tolong kami pak...”

“akh...tidak ada alasan untuk kalian, kalian hanya merusak pemandangan kota, kalian hanya membuat
kota ini semakin padat akan rakyat miskin, tanah ini milik pemerintah, dan kalian tidak punya hak. Lagi
pula, kalau tanah ini dijadikan lahan pembangunan, entah pasar, entah mall, atau mungkin hotel, akan
lebih berguna dari pada kalian harus menghiasinya dengan rumah-rumah kardus seperti itu. Tidak ada
gunanya.”

(ke arah penonton.) “kalian mau apa...??? aku datang ke sini, atas suruhan atasanku. Lagi pula, aku ke
sini tidak dengan tangan kosong, aku punya kekuatan hukumnya. (memperliatkan sebuah surat.) Aku
punya surat keputusan atas lahan ini. Jadi kalian tidak bisa apa-apa...”

(diam sejenak, Panggung menjadi gelap, hanya Spot Light yang menyorot.)

“memang...memang kami miskin, kami memang tidak layak untuk hidup, dan kami memang layak untuk
kalian kesampingkan, tapi kami juga manusia, kami juga punya nurani dan harga diri...kami sama seperti
kalian, kita sama satu raga yang terbungkus daging, kulit, darah dan tulang. Namun dibalik semua itu,
kita pun sama, kita sama-sama memiliki perasaan, memiliki hati, dan juga air mata. Dimana lagi kami
akan memohon selain dari pada kalian...???”

“Air mata kami tak pernah pupus semenjak negeri ini dijajah oleh kompeni, air mata bangsa ini tak
pernah habis, bagsa ini tak ubahnya seperti bayi kecil yang hanya mampu menangis. Menangis,
menangis, menangis, menangis, menangis, menangis, dan menangis...”
(kepada penonton.) “kalian masih punya air mata...??? kalian masih punya nurani...??? kalian masih
punya harga diri...??? kalian masih punya...??? masih punya...???”

(diam, spot loght padam, dan panggung kembali terang.)

(lantang.) “PERSADAKU MENAGIS...”

(merayap, suasana menjadi tegang, suara senapan bertubi-tubi menghujam, meriam meledak sana sini,
tangis dan teriakan silih berganti menyerukan kepiluan.)

“Ini jaman perang...penjajah harus disingkirkan dari negeri ini, negeriku tercinta, tak rela aku berikan
kepada kalian kaum kompeni atau pun antek-anteknya. Meski hanya bermodalkan keberanian, aku tak
gentar melawan kalian. Penjajah telah merusak, membumihanguskan tanah warisan moyangku. Tanah
beribu pulau, tanah subur dan kaya.”

(berlari-lari, berlagak seperti dalam medan perang.)

“aku tak gentar akan meriammu, meski darahku harus habis, aku tak akan rela memberikan negeri ini
padamu. Aku percaya, aku percaya, meski ragaku telah terkubur dalam tanah, anak cucuku akan
mewarisi semangat dan Nasionalismeku. Aku rela mati, agar bangsa ini tetap jaya dan mampu menjadi
negeri panutan untuk semua negeri di dunia ini. “

“Negeriku hebat, kaya dan makmur. Para penjajah tahu apa yang ada di negeri ini, penjajah ingin
merebut rempah-rempah, ingin menguasai dan memonopoli semuanya, karena mereka tahu, mereka
tahu kalau negeri ini adalah satu-satunya sumber bahan baku terbesar di dunia, yang tak akan habis
walau dunia ini kiamat...!!!”

(suara tembakan.)

(terkapar.) “akh...” (mati.)

(Spot Light kembali menyala, panggung kembali gelap.)

(berdiri.) “tapi sekarang, negeriku menjadi penjajah bagi kaumnya, keserakahan, kesewenang-
wenangan, dan kearogansian, Hanya bisa kami rasakan seperti dalam drama, sandiwara yang dipenuhi
bumbu-bumbu konflik, semua hanya demi uang, semua hanya demi keuntungan. Kami dikorbankan,
kami dijadikan tumbal. Tumbal oleh mereka-mereka yang menabur janji kosong, menabur benih
perpecahan. Aku lebih rela mati menjadi seorang pahlawan, dari pada aku harus mati sebagai pengecut
bangsa, penghianat bangsa...seperti bedebah yang menjadikan Hukum seperti paduan suara, bernyanyi
ria untuk diri mereka sendiri, sedangkan kami hanya bisa menjadi pendengar setia.”

(panggung kembali terang.)

(kembali menjadi kucing.) “meong...meong...” (menggaruk telinga.) “meong...meong...”

(Berputar-putar mengelilingi panggung, bertingkah tak karuan, kadang bertingkah seperti pejabat,
bertingkah seperti pengemis, gelandangan, aparat, orang gila, pengamen, satpol pp, pahlawan/pejuang,
dan kembali menjadi kucing. Adegan ini berulang-ulang hingga “si kucing” merasa bosan.)

(panggung kembali gelap, hanya Spot Light yang menerangi “si kucing”, dan “si kucing” tidur dengan
lelap di bawah Spot Light itu.)

Epilog

(kembali diiringi dawai biola atau petikan gitar klasik yang melantunkan lagu Syukur.)

(suara anak perempuan kembali berbicara.)

“negeri ini adalah warisan, sayap patah sulit untuk kembali melebar. Negeri ini, bukan lagi negeri yang
dulu, yang elok akan padi yang menguning, ombak yang bernyanyi, dan angin lembut yang menjadi
pengantar mimpi disenja hari. Tapi negeri ini semakin menjadi parasit dan menjadi luka dalam dada,
luka dalam diri, dan luka sanubari.”

“bunga yang telah gugur pun telah kehilangan harumnya, terbawa angin yang telah berdiam diri di suatu
tempat yang tak lagi terlihat, dan sulit untuk dijamah oleh tangan-tangan yang bersuarakan kebenaran.
Ini negeriku, dimana Hukum hanya tinggal untuk bernyanyi padu.”

(suasana panggung menjadi gelap total.)

END
Bulukumba, Juli 2011.

Ashar Phantom di 10.21

Anda mungkin juga menyukai