Anda di halaman 1dari 20

Good Corporate Governance (GCG)

Tugas Mata Kuliah

Etika Bisnis dan Profesi

Oleh :

Kelompok 9

Savira Nur Aldira (190810301031)

Jessica Tabitha N (190810301066)

Zulfa Puspita Sari (190810301132)

Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi

Universitas Jember

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................4
LATAR BELAKANG MUNCULNYA GCG..............................................................................4
PENGERTIAN GCG...................................................................................................................5
PRINSIP-PRINSIP GCG............................................................................................................7
MANFAAT GCG..........................................................................................................................9
GCG DAN HUKUM PERSEROAN DI INDONESIA.............................................................11
ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG..................................................................12
GCG DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN).................................................15
GCG DAN PENGAWASAN PASAR MODAL DI INDONESIA...........................................16
GOOD CORPORATE GOVERNANCE  PERBANKAN DI INDONESIA...........................16
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................................18
REFERENSI...................................................................................................................................20

ii
BAB I PENDAHULUAN
Berkat arus globalisasi dan perdagangan bebas mengakibatkan maraknya skandal
perusahaan-perusahaan besar. Runtuhnya sistem ekonomi komunis pada akhir abad ke-
20 yang menjadikan ekonomi kapitalis sebagai satu-satunya sistem yang paling dominan
di seluruh dunia. Akibatnya, arus globlasisasi dan perdagangan bebas mampu dipaksakan
oleh negara-negara maju yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Sering kali terjadi
pemerintah suatu negara yang merupakan kekuatan terakhir sebagai pengawas, penegak
hukum, dan pengendali perusahaan-perusahaan tidak berdaya menghadapi
penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh.

Oleh karena itu, dibentuklah GCG dikarenakan kepanikan dan kehilanagan


kepercayaan yang dimana para investor tersebut melakukan penarikan modal besar-
besaran dan GCG disini merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan
para investor dan institusi terkait di pasar modal dan tujuan penerapan GCG adalah untuk
meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang praktik
manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi.

Organ khusus dalam penerapan GCG terdapat komisaris dan direktur independen
yang diangkat dan diberhentikan oleh RPUS, sedangkan keputusan yang diambil dalam
RPUS didasarkan atas perbandingan jumlah suara para pemegang saham, terdapat juga
Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor SE-03/PM/2002 (bagi
perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-103/MBU/2002 (bagi
BUMN). Lalu, ada sekretaris perusahaan yang menempati posisi yang sangat tinggi dan
strategis karena berfungsi sebagai penjabat pejabat penghubung antara perusahaan
dengan pigak di luar perusahaan.

Menyadari bahwa tata kelola perbangkan di Indonesia masih lemah dan masih
banyak muculnya skandal di perusahaan-perusahaan besar maka Bank Indonesia
mengeluarlan peraturan No 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 Januari 2006 yang mengatur
tentang implementasi GCG oleh bank-bank komersial. Pada akhirnya, harus disadari
bahwa sebaik nya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada di Indonesia, pada
akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan
spiritual dari pelaku bisnis itu sendiri

3
BAB II PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG MUNCULNYA GCG


Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya skandal
perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Runtuhnya sistem ekonomi
komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan sistem ekonomi kapitalis sebagai satu-
satunya sistem ekonomi yang paling dominan di seluruh dunia. Sistem ekonomi kapitalis
ini makin kuat mengakar berkat arus globalisasi dan perdagangan bebas yang mampu
dipaksakan oleh negara-negara maju penganut sistem ekonomi kapitalis. Ciri utama
sistem ekonomi kapitalis adalah kegiatan bisnis dan kepemilikan perusahaan dikuasai
oleh individu-individu / sektor swasta. Dalam perjalanannya, beberapa perusahaan akan
muncul sebagai perusahaan-perusahaan swasta raksasa yang bahkan aktivitas dan
kekuasaannya telah melebihi batas-batas suatu negara. Para pemilik dan pengelola
kelompok perusahaan-perusahaan raksasa ini bahkan mampu memengaruhi dan
mengarahkan berbagai kebijakan yang diambil para pemimpin politik suatu negara untuk
kepentingan kelompok perusahaan mereka dengan kekuatan uangnya.

Perusahaan saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relatif tidak jelas menjadi
institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Pengaruh dan kekuatan perusahaan ini besar
sehingga hampir mendikte seluruh hidup kita. Sering kali terjadi pemerintah suatu negara
yang seharusnya menjadi kekuatan terakhir sebagai pengawas, penegak hukum, dan
pengendali perusahaan-perusahaan tidak berdaya menghadapi penyimpangan perilaku
yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh.
Salah satu contoh akibat dari praktik bisnis yang tidak etis adalah krisis ekonomi
yang menimpa Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, serta mega skandal yang
menimpa perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Semua hal ini terjadi
karena perilaku tidak etis bahkan cenderung kriminal yang dilakukan oleh para pelaku
bisnis karena kekuatan mereka yang besar dan tidak berdayanya aparat pemerintah
dalam menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku pelaku bisnis ini.
Timbulnya krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tata kelola perusahaan
yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintahan yang buruk

4
sehingga memberi peluang besar timbulnya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal ini dapat ditunjukkan pada beberapa fakta berikut:

1. Mudahnya para spekulan mata uang untuk mempermainkan pasar valuta asing
karena tidak ada alat kendali yang efektif.
2. Konglomerat mudah memperoleh dana pinjaman dari perbankan.
3. Banyak direksi BUMN termasuk di bank-bank pemerintah juga tidak independen.
4. Komisaris di BUMN sering kali bukan orang yang professional, melainkan oknum-
oknum birokrasi yang telah memasuki usia pensiun.
5. Banyaknya profesi yang terkait dengan kegiatan ini seperti akuntan publik dan
sebagainya yang mudah diajak bekerja sama untuk merekayasa laporan audit,
laporan keuangan, dan laporan penilaian harta perusahaan untuk berbagai
keperluan seperti :tender, aplikasi kredit bank, dan sebagainya.
6. Saat timbul krisis moneter Bank Indonesia mengucurkan dana berupa bantuan
likuiditas Bank Indonesia yang mencapai triliunan rupiah kepada sektor perbankan
nasional dalam upaya membantu perbankan agar tidak ambruk akibat penarikan
dana nasabah secara besar-besaran tetapi hal ini disalahgunakan oleh pemilik
bank. 

Kasus manipulasi dan kebangkrutan perusahaan juga pernah terjadi di Amerika


Serikat, hal ini disebabkan lemahnya tata kelola perusahaan, yaitu kasus yang terjadi
sekitar awal tahun 2000-an menimpa perusahaan-perusahaan raksasa seperti: Enro,
Tyco, Adelphia, Global Crossing, Williams Companies, WorldCom, Dynegy, JPMorgan
Chase, Citicrop, AOL, TimeWarner, dan Lucent Technologies (Tuanakotta, 2007). Bahkan
beberapa perusahaan seperti Cendant, Wase Management, Bank of America, 3Com, Rite
Aid, Micri Strategy, Informix, Sunbeam, Consejo, dan Ikon harus membayar denda
sebesar lebih dari US$100 juta atas kasus yang menimpa mereka.

PENGERTIAN GCG
Beberapa definisi GCG dari berbagai sumber, yaitu:

1. Cadbury Committee of United Kingdom:


Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang

5
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka.
2. Forum for Corporate Governance in Indonesia – FCGI (2006) - tidak membuat
definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of United
Kingdom.
3. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai
suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan komisaris, peran Direksi,
pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.
4. Organization for Economic Cooperation and Development – OECD (dalam Tjager
dkk, 2004) – mendefinisikan suatu struktur yang terdiri atas pemegang saham,
direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat
yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.
5. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mendefiniskan mekanisme
administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan,
komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain.

GCG dapat diberi pengertian dalam arti sempit dan luas. Kedua pengertian ini
dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini.

Setelah mengutip dari berbagai definisi, dapat dirangkum bahwa konsep GCG
pada intinya mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)

6
2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan,
termasuk prinsip-rinsip, serta nilai-nilai yang melandasi
praktis bisnis yang sehat
3. Tujuan a. Meningkatkan kinerja organisasi
b. Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku
kepentingan
c. Mencegah dan mengurangi manipulasi serta
kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan
organisasi
d. Meningkatkan upaya agar para pemangku
kepentingan tidak dirugikan
4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran,
wewenang, dan tanggung jawab:
a. Dalam arti sempit: antar pemilik/ pemegang saham,
dewan komisaris, dan dewan direksi
b. Dalam arti luas: antar seluruh pemangku
kepentingan 

PRINSIP-PRINSIP GCG
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mencoba
mengembangkan beberapa prinsip yang dijadikan acuan oleh pemerintah maupun para
pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan.
Prinsip-prinsip OECD (dalam Sukrisno Agoes, 2006) secara ringkas dirangkum sebagai
berikut:

1. Perlakuan yang setara antara pemangku kepentingan (fairness)


2. Transparansi (transparency)
3. Akuntabilitas (accountability)
4. Responsibilitas (responsibility)

Dalam hubungannya dengan tata kelola BUMN, Menteri Negara BUMN juga
mengeluarkan Keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan GCG. Ada 5
prinsip menurut keputusan ini, yaitu:

7
1. Kewajaran (fairness)
2. Transparansi
3. Akuntabilitas
4. Pertanggungjawaban
5. Kemandirian

Selanjutnya, National Committee on Governance (NCG, 2006) mempublikasikan


“Kode Indonesia tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik” pada tanggal 17 Oktober
2006. Walaupun Kode Indonesia tentang GCG bukan merupakan suatu peraturan tetapi
dapat menjadi pedoman dasar bagi seluruh perusahaan di Indonesia dalam menjalankan
usaha agar kelangsungan hidup perusahaan lebih terjamin dalam jangka panjang dalam
koridor etika bisnis yang pantas. NCG mengemukakan 5 prinsip GCG, yaitu:

1. Transparansi (transparency)
2. Akuntabilitas (accountability)
3. Responsibilitas (responsibility)
4. Independensi (independency)
5. Kesetaraan (fairness)

Prinsip-prinsip yang dikemukakan NCG hampir sama dengan yang diungkapkan


menteri negara BUMN. Penjelasan singkat masing-masing prinsip yang telah
dikemukakan, yaitu:

1. Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar para pengelola


memperlakukan semua pemangku kepentingan secara adil dan setara baik
pemangku kepentingan primer maupun sekunder.
2. Prinsip transparansi, artinya kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan
prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. Jadi
Informasi yang disampaikan harus lengkap benar dan tepat waktu kepada semua
pemangku kepentingan.
3. Prinsip akuntabilitas adalah prinsip di mana para pengelola berkewajiban untuk
membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan
yang dapat dipercaya.
4. Prinsip Responsibiltas adalah prinsip di mana para pengelola wajib memberikan
pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada

8
para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Prinsip tanggung jawab ini mempunyai 5 dimensi yaitu itu ekonomi,
hukum, moral, sosial, dan spiritual.
5. Kemandirian, artinya suatu keadaan di mana para pengelola dalam mengambil
keputusan bersifat professional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, dan
bebas dari tekanan/pengaruh dari mana pun yang bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan yang sehat (prinsip
mengelola BUMN).

Prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab merupakan


jawaban langsung atas permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha. Sebagaimana
telah di singgung sebelumnya berbagai skandal yang marak dihadapi oleh dunia usaha
terjadi dalam bentuk:
1. Perlakuan tidak adil yang dihadapi oleh satu atau beberapa pemangku
kepentingan sehingga harus ada prinsip perlakuan yang setara di antara
pemangku kepentingan.
2. Maraknya rekayasa laporan keuangan dan sering timbulnya insider trading yang
dilakukan oleh para eksekutif puncak bahkan melibatkan beberapa akuntan publik
ternama akhirnya mempertegas kembali pentingnya penerapan prinsip
transparansi dan akuntabilitas
3. Munculnya berbagai kejahatan kerah putih yang sangat canggih, korupsi, kolusi
dan nepotisme yang melibatkan para pelaku bisnis dan oknum birokrasi
pemerintahan yang yang merugikan masyarakat dan perekonomian. Timbulnya
kerusakan hutan, pencemaran udara dan air, pemanasan global, dan sebagainya,
semua ini mencerminkan lemahnya wujud kesadaran dan tanggung jawab para
eksekutif puncak dan oknum pejabat pemerintahan. Hal ini mempertegas kembali
pentingnya prinsip tanggung jawab yang harus diikuti.

MANFAAT GCG
Akibat kepanikan dan kehilangan kepercayaan, para investor tersebut melakukan
penarikaan modal besar-besaran secara beruntun dari bursa sehingga menimbulkan
tekanan berat pada indeks harga saham di bursa. Penerapan konsep GCG merupakan
salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan para investor dan institusi terkait di

9
pasar modal. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan penerapan GCG
adalah untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil peluang
praktik manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi.
Tjager dkk. (2013) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan
GCG itu bermanfaat, yaitu:

1. Berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan


bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap
perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya
krisis financial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola
perusahaan.
3. Internasioanalisasi pasar-termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal-
menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat
menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan
lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat
dari penerapan GCG adalah:

1. Memudahkan akses terhadap investasi domestic maupun asing.


2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah.
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingn
terhadap perusahaan.
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

Namun harus disadari bahwa betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum
yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan tingkat
kesadaran moral dan spiritual dari para aktor/pelaku bisnis itu sendiri.

10
GCG DAN HUKUM PERSEROAN DI INDONESIA
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU nomor 40 Tahun 2007, yang
dimaksud dengan Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Beberapa ketentuan lama yang
masih relevan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 masih
dipertahankan. Namun ada beberapa ketentuan baru yang ditambahkan, yang kalau
dicermati dengan baik sebenarnya merupakan penyempurnaan rambu-rambu secara garis
besar yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan (corporate governance).

Ketentuan yang disempurnakan ini, antara lain:

1. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi


yang ada, seperti: telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik
lainnya (pasal 77)
2. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status
badan hukum dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan (Bab II).
3. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris
utusan (Bab VII).
4. Kewajiban perseoran untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(Bab V)
Wewenang dari Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris diatur dalam
Bab I pasal I sebagai berikut:

Ayat 4 Rapat Umum Pemegang Saham,


yang selanjutnya disebut RUPS,
adalah Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar.
Ayat 5 Direksi adalah Organ Perseroan yang

11
berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseoran, sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan
serta mewakili Perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan,
baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
Ayat 6 Dewan Komisaris adalah organ yang
bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta
memberi nasehat kepada Direksi.

Dewan Komisaris bertugas untuk mengawasi tindakan Dewan Direksi serta memberikan
nasehat dan arahan kepada Dewan Direksi dalam menjalankan operasi perusahaan.
Dewan Direksi bertugas untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan berdasarkan
arahan dan garis besar kebijakan yang telah ditetapkan oleh RUPS, Dewan Komisaris,
serta Anggaran Dasar Perseroan yang berlaku dalam koridor hukum.

ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG


Indra Surya dan Ivan Yustiavananda (2006) menyebutkan paling tidak diperlukan
empat organ tambahan untuk melengkapi penerapan GCG, yaitu:

1. Komisaris Independen
2. Direktut Independen
3. Komite Audit
4. Sekretaris Perusahaan (Corprate Secretary)

12
1. Komisaris dan Direktur Independen

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2006) mengungkapkan ada dua pengertian
independen terkait konsep Komisaris Direktur Independen tersebut

Pertama, Komisaris dan Direktur Independen adalah seseorang yang ditunjuk untuk


mewakili pemegang saham independen (pemegang saham minoritas). Sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Perseroan, anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan
diberhentikan oleh RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan
atas perbandingan jumlah suara para pemegang saham. Kedua, Komisaris dan Direktur
Independen adalah pihak yang ditunjuk tidak dalam kapasitas mewakili pihak manapun
dan semata-mata ditunjuk berdasarkan latar belakang pengetahuan, pengalaman dan
keahlian hukum yang dimilikinya untuk sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan
perusahaan. Keberadaan Komisaris Independen telah diatur Bursa Efek Indonesia
melalui peraturan BEI sejak tanggal 20 Juli 2001 mengenai beberapa hukum
tentang Komisaris Independen adalah sebagai berikut:

1) Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham


Pengendali Perusahaan tercatat yang bersangkutan sekurang-kurangnya enam bulan
sebelum menunjukkan sebagai direktur tidak terafiliasi.
2) Tidak memiliki hubungan afiliasi Komisaris  dan Direktur lainnya dari perusahaan
Tercatat yang bersangkutan.
3) Tidak bekerja rangkap sebagai direksi pada perusahaan lain
4) Tidak menjadi Orang Dalam pada lembaga atau profesi perpanjang pada pasar modal
yang jasanya digunakan oleh Perusahaan Tercatat selama enam bulan sebelum
penunjukan sebagai direktur.

2. Komite Audit
Menurut Subur (2003) yang dikutip I Putu Sugiartha Sanjaya, syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi anggota Komite Audit adalah sebagaiberikut:

1) Anggota Komite Audit harus memiliki keseimbangan keterampilan dan pengalaman


dengan latar belakang usaha yang luas.
2) Anggota Komite Audit harus independen, objektif dan hokumlonal.

13
3) Anggota Komite Audit harus memiliki integritas, dedikasi, pemahaman yang baik
mengenai organisasi, lingkungan bisnis serta risiko dan hokuml.
4) Paling sedikit anggota komite audit harus memiliki pengertian yang baik tentang
analisa dan penyusunan laporan keuangan.
5) Ketua Komite Audit harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan terampil
berkomunikasi dengan baik. Selain hal tersebut, menurut Keputusan Ketua
Bapepam Nomor: Kep-41/PM/2003 menambahkan bahwa anggota Komite Audit
tidak merangkap jabatan yang sama pada perusahaan lain pada periode yang
sama.

Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor


SE-03/PM/2002 (bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor  KEP-
103/MBU/2002 (bagi BUMN). Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh
Komisaris Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta
menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Dalam pelaksanaan
tugasnya, Komite Audit mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris untuk (i)
meningkatkan kualitas Laporan Keuangan, (ii) menciptakan iklim disiplin dan pengendalian
yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan
perusahaan, (iii) meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI) maupun eksternal
audit, serta (iv) Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas.

Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu DK,
sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas rekomendasi kepada
DK), kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari DK,
misalmya mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan memimpin
suatu investigasi khusus. Peran dan tanggung jawab Komite Audit akan dituangkan dalam
Charter Komite Audit yang secara umum dikelompokkan menjadi tiga bagian besar,
yaitufinancial reporting, corporate governance, dan risk and control management.

Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif, canggih, ahli, beragam dan
yang terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara efektif dan dibantu oleh
Komite Audit adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam memastikan

14
implementasi Good Corporate Governance  berjalan dengan baik sehingga kecurangan
(fraud) maupun keterpurukan bisnis dapat dihindari (Alison).
3. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)
Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis
karena orang dalam jabatan ini berfungsi sebagai pejabat penghubung (liason officer) tau
semacam public relations / investor relations antara perusahaan dengan pihak diluar
perusahaan.tugas utama sekretaris perusahaan antara lain menyimpan dokumen
perusahaan, Daftar Pemegang Saham, risalah rapat direksi dan RUPS, serta menyimpan
dan menyediakan informasi penting lainnya bagi kepentingan seluruh pemangku
kepentingan.

GCG DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)


Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan
implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.” Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk
hokum BUMN yaitu Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan
(Perjan). Tjager dkk (2003) selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN
ini ada kaitannya dengan belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di
BUMN tersebut. Contohnya pemberian remunerasi yang berlebihan kepada direksi.
Tujuan GCG diatur dalam pasal 4 adalah:

1) Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,


akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki
daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
2) Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.
3) Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN
terhadap para pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar
BUMN.
4) Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.

15
5) Menyukseskan program privatisasi.

 GCG DAN PENGAWASAN PASAR MODAL DI INDONESIA


Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai
instrument keuangan jangka panjang dan diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang
maupun modal sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta.
Keberadaan pasar modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal,
antara lain:

1) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;


2) Bursa Efek;
3) Lembaga Kliring;
4) Emiten;
5) Underwriter;
6) Investor / calon investor;
7) Akuntan publik;
8) Notaris;
9) Konsultan Hukum; dan
10) Konsultan Keuangan.

 GOOD CORPORATE GOVERNANCE  PERBANKAN DI INDONESIA


Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata
kembali manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan
peraturan No 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 Januari 2006 tentang implementasi GCG oleh
Bank-bank komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang :

1) Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung


jawab, independensi dan kesetaraan.
2) Tujuan implementasi GCE, minimal untuk merealisasikan:
a. Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan Dereksi.
b. Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana fungsi internal
audit bank.
c. Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal.

16
d. Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian internal.
e. Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar.
f. Rencana strategi bank.
g. Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan.
3) Jumlah komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris.
4) Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi.
5) Komite.
6) Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal.
7) Implementasi Management Resiko.
8) Ketentuan Dana.
9) Rencana Strategis Bank.
10) Aspek Transparansi Kondisi Bank.
11) Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal.
12) Laporan dan Asesmen Implementasi GCG.
13) Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri.
14) Sanksi-sanksi.
15) Ketentuan Peralihan.
16) Ketentuan Penut

17
BAB III KESIMPULAN
Maraknya praktik bisnis yang tidak etis dan krisis ekonomi yang menimpa
beberapa negara, serta mega skandal yang menimpa perusahaan-perusahaan
raksasa di Amerika Serikat yang terjadi karena perilaku tidak etis dan cenderung
kriminal yang besar dan tidak berdayanya aparat pemerintah dalam menegakkan
hukum dan pengawasan atas perilaku bisnis ini. Tata kelola pemerintah yang buruk
sehingga memberi peluang besar timbulnya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Sehingga munculnya penerapan konsep Good Corporate Governance
(GCG) yang menurut Sukrisno Agoes (2006) merupakan tata kelola perusahaan yang
baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan komisaris, peran
Direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Dewan Komisaris
bertugas untuk mengawasi tindakan Dewan Direksi dalam menjalankan operasi
perusahaan. Dewan Direksi bertugas untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan
berdasarkan arahan dan garis kebijakan yang telah ditetapkan oleh RPUS, Dewan
Komisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan yang berlaku dalam koridor hukum. Selain
itu, salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan para investor dan institusi terkait
di pasar modal.

Hubungan GCG dan hukum perseroan di Indonesia, yang dimaksud dengan


Persereoan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Terdapat beberapa organ khusus dalam penerapan GCG menurut Indra Surya
dan Ivan Yustiavandana (2006), yaitu Komisaris dan Direktur Independen, Komite
Audit, Sekretaris Perusahaan. Komisaris dan Direktur Independen yang merupakan
seseorang yang ditunjuk untuk mewakili pemegang saham independen (pemegang
saham minoritas), Komite Audit yang mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris
dalam beberapa bidang. Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif, canggih,
ahli, beragam dan yang terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara
efektif dan dibantu oleh Komiete Audit yang paling baik untuk ditempatkan dalam
memastikan implementasi Good Corporate Governance berjalan dengan baik sehingga
kecurangan (fraud) maupun keterpurukan bisnis dapat dihindari. Sedangkan, sekretaris
perusahaan memiliki tujuan yaitu menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis

18
karena merupakan pejabat penghubung antara perusahaan dengan pihak luar
perusahaan.

Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia dan perangkat hukum


yang masih lemah dalam menata kembali manajemen dan perangkat hukum
yang ada, pada akhirnya yang menjadi penentu utama adalah kualitas dan
tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para aktor/pelaku bisnis itu sendiri.

19
REFERENSI

Sukrisno Agoes dan I.C. Ardana. 2014. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya. Bab I. Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat

20

Anda mungkin juga menyukai