Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DAN KAFEINDENGAN METODE HIGH


PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC)

Dosen Pengampu : apt. Iin Hardiyati, M.Farm.

Disusun oleh:

1. Della Eka Nursanti (201951055)


2. Muhamad Ridwan (201951136)
3. Reyan Putra Pratama (201951165)
4. Anis Rahmayanti (202051027)
5. Dewi Setyowati (202051200)
6. Ricky Surya Silalahi (202051202)

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

2021
DAFTAR ISI

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DAN KAFEIN ................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2
BAB I ................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 3
BAB II .................................................................................................................................. 4
BAHAN DAN METODE...................................................................................................... 4
BAB III ................................................................................................................................. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 6
BAB IV............................................................................................................................... 10
SARAN DAN KESIMPULAN ........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11
BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan obat pada saat menjadi sudah banyak bentuk dan persediaanya
sehingga obat penggunaan obat telah mengalami banyak peningkatan. Kombinasi obat dapat
memberikan potensi dan reaksi yang semakin meningkat untuk dapat memberikan keringanan
pada rasa sakit dengan cepat dan efek samping yang lebih rendah. Hal ini menjadikan
kombinasi obat seperti parasetamol dan kafein menjadi kombinasi yang efektif dalam
farmasetik. Parasetamol menjadi obat analgetik antipiretik yang dapat dikombinasikan
dengan kafein yang dapat digunakan dalam terapi dengan kombinasi antara obat tersebut.

Dalam persediaanya obat yang memiliki kandungan parasetamol dan kafein dapat
memberikan efek analgetik dan antipiretik pada sakit kepada dan flu. Penggunaan obat ini
semakin meningkat sehingga penggunaannya menjadi penting dalam mengawasi dalam
menjamin pencapaian efek yang terjadi dengan baik.

Kombinasi antara obat dalam sediaannya harus memenuhi persyaratan mutu, efikasi,
dan keamanan untuk dapat digunakan dan dianalisis untuk memastikan obat tersebut
mengandung jumlah yang sesuai dengan memberikan efek yang diharapkan. Penelitian ini
menggunakan metode HPLC dengan menggunakan kromatografi cair untuk analisis dalam
tujuan efektivitas yang lebih banyak dalam fase gerak.

HPLC ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam proses pemisahan
dalam zat cair. Prinsip kerja HPLC adalah pemisahan komponen analit berdasarkan
kepolarannya, setiap campuran yang keluar akan terdeteksi dengan detektor dan direkam
dalam bentuk kromatogram, dimana jumlah peak (jumlah puncak) menyatakan jumlah
komponen, sedangkan luas peak menyatakan konsentrasi komponen dalam campuran.
Dengan demikian, perlu dilakukan penetapan kadar parasetamol, dan kafein untuk dapat
memperoleh metode analisis yang presisi dan akurat dalam analisis kadar parasetamol dan
kafein.
BAB II

BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan


Tablet parasetamol dan kafein (Panadol 65mg kafein, 500mg parasetamol).
Berdasarkan data pada USP-32, jumlah tabel parasetamol dan kafein yang digunakan dalam
pembuatan larutan sampel sebanyak 20 tablet. Digunakan 60 tablet panadol karena akan
dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. Pengkondisian instrument HPLC dilakukan dengan cara
mengalirkan fase gerak melalui membran filter. Fase gerak yang digunakan adalah kecepatan
alir 2 mL/menit. Kolom reversed phase C18 yang digunakan adalah kolom panjang 4,6 mm x
10 cm dengan versus data konsentrasi larusan seri. Nilai r mendekati 1, berarti parameter
linieritas terpenuhi. temperatur kolom 45 ± 1oC. Sedangkan detektor yang digunakan adalah
detector UV 275 nm dan seperangkat alat-alat gelas temperatur kolom 45 ± 1 oC. Sedangkan
detektor yang digunakan adalah detector UV 275 nm dan seperangkat alat-alat gelas.

B. Pembuatan Larutan Seri Parasetamol


Diperlukan larutan standar parasetamol dalam pembuatan larutan seri. Pembuatan
larutan seri parasetamol 5 mL dengan konsentrasi 60, 70, 80, 90, 100 ppm. Pembuatan
larutan seri paracetamol dilakukan dengan cara dipipet masing – masing larutan standar
parasetamol 200 ppm dengan volume masing – masing 1,5 mL; 1,75 mL; 2 mL; 2,25 mL; 2,5
mL ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan A sampai tanda batas 5 mL.

C. Pembuatan Larutan Seri Kafein


Diperlukan larutan standar kafein dalam pembuatan larutan seri. Pembuatan larutan
seri kafein 5 mL dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25 ppm. Pembuatan larutan seri kafein
dilakukan dengan cara dipipet masing – masing larutan standar kafein 200 ppm dengan
volume masing – masing 0,125 mL; 0,25 mL; 0,375 mL; 0,5 mL; 0,625 mL ke dalam labu
ukur 5 mL. Ditambahkan larutan A sampai tanda batas 5 mL.

D. Pembuatan Fase Gerak


Pembuatan 100 mL fase gerak, diperlukan methanol sebanyak 28 mL, asam asetat
glacial sebanyak 3 mL, dan aquadest sebanyak 69 mL.

E. Pembuatan Larutan Sampel


Pembuatan larutan sampel yang akan dianalisis dilakukan dengan cara dipipet 0,2 mL
larutan stok sampel ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan larutan A hingga batas 5 mL.
F. Validasi Metode Analisis
Dilakukan validasi metode analisis dengan beberapa parameter yaitu linearitas, LOD
dan LOQ, akurasi, dan presisi. Linieritas Luas area di bawah kurva (area under the curve,
AUC) dari setiap konsentrasi larutan seri pada panjang gelombang maksimum ditentukan
sehingga persamaan regresi linier dengan memasukkan data AUC yang diperoleh versus data
konsentrasi larusan seri. Nilai r mendekati 1, berarti parameter linieritas terpenuhi.

G. LOD dan LOQ


Untuk LOD dan LOQ, kadar sebenarnya dari larutan seri disubstitusi ke dalam
persamaan regresi linier sehingga diperoleh nilai y”. Simpangan baku residualnya ditentukan
lalu dihitung nilai LOD dan LOQ. Apabila LOD lebih kecil dari kadar sampel maka sampel
dapat terdeteksi, apabila nilai LOQ lebih kecil dari kadar sampel maka sampel dapat
dikuantifikasi.
H. Akurasi
Nilai perolehan kembali kadar parasetamol dan kafein terhadap kadar pada kemasan
diperoleh dengan menggunakan 3 konsentrasi berbeda dengan 3 kali replikasi (80 ppm, 100
ppm, 120 ppm). Data AUC yang diperoleh disubstitusi ke dalam persamaan regresi linier dan
persentase perolehan kembali dapat dihitung,
I. Presisi
Tiga konsentrasi berbeda dengan 3 kali replikasi (80 ppm, 100 ppm, 120 ppm)
digunakan untuk mencari data presisi. Data AUC yang diperoleh disubstitusi ke dalam
persamaan regresi linier, diperoleh nilai kadar uji. Nilai SD dan RSD dihitung dan apabila
nilai RSD <2% maka metode yang digunakan valid.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam menentukan kadar parasetamol


dan kafein dalam sampel obat dengan instrumen HPLC. Sampel obat yang digunakan adalah
jenis obat sakit kepala yaitu panadol. Adapun prinsip dasar dari HPLC (High Performance
Liquid Chromatography) yaitu pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan
kepolarannya pada aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam
dimana pemisahan komponen-komponen terjadi karena perbedaan kekuatan interaksi antara
solut-solut terhadap fasa diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan setiap
komponen dalam campuran.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat larutan standar internal asam
benzoate dengan metanol. Penggunaan standar internal dalam preparasi sampel yang rumit
dan panjang diperlukan untuk mengkoreksi sampel yang hilang selama preparasi [5].
Langkah berikutnya yaitu pembuatan larutan A berupa campuran Metanol : asam asetat
glasial 95:5. Larutan A digunakan sebagai pelarut untuk melarutkan sampel dan pembuatan
larutan seri berbagai konsentrasi serta sebagai pelarut pada pembuatan larutan uji.
Penggunaan campuran pelarut Metanol : Asam Asetat Glasial di dasarkan pada perbedaan
kepolaran senyawa parasetamol dan kafein. Campuran pelarut Metanol : Asam asetat Glasial
bersifat polar sehingga mampu melarutkan kafein dan parasetamol.
Larutan stok parasetamol dan kafein dengan konsentrasi 0,25 mg/mL dimana larutan
stok adalah larutan yang mengandung satu atau lebih komponen media yang konsentrasinya
lebih tinggi dari konsentrasi larutan lain yang akan dibuat [7]. Setelah pembuatan larutan stok
dilanjutkan dengan pembuatan larutan standar parasetamol dan kafein (0,1 mg/mL.). Langkah
berikutnya yaitu pembuatan larutan seri parasetamol dan kafein dengan variasi konsentrasi
yang digunakan untuk parasetamol secara berturutturut adalah 60: 70 : 80 : 90 dan 100 ppm.
Sementara untuk standar kafein berturut turut adalah 5 : 10 : 15 : 20 dan 25 ppm.
Pemilihan fase gerak campuran metanol: asam asetat: air (28:3:69) tersebut
didasarkan pada kondisi kromatografi yang dipilih yaitu kromatografi partisi fase terbalik,
karena kedua senyawa analit bersifat polar sehingga untuk mengelusinya dengan cepat
digunakan fase gerak yang polar sesuai dengan kepolaran kedua senyawa analit, serta
menggunakan kolom C-18 yang bersifat non polar agar kedua analit dapat terpisah akibat
perbedaaan interaksi tiap analit dengan fase diam.
14000
R² = 0,9976
10000
AU 12000 A y = 20,857x - 12575
8000
6000

4000

2000
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
C (ppm)

B
1000

900
y = 2,114x + 524 R² =
800
0,9986
700

C
AU 500

400

300

200

100
0 50 100 150 200 250

C (ppm)

Gambar 1. Kurva baku kalibrasi parasetamol (A) dan kafein (B).

Larutan uji Parasetamol Kafein dengan konsentrasi 80, 100 dan 120 ppm. Larutan uji
adalah larutan yang diperlakukan sama dengan larutan sampel yang konsentrasinya telah
diketahui sebelumnya [9]. Replikasi larutan uji sebanyak 3 kali digunakan untuk validasi
metode presisi dan akurasi. Dokumen ICH merekomendasikan bahwa akurasi ditetapkan
dengan menggunakan minimal 9 penetapan meliputi 3 tingkat konsentrasi berbeda yang telah
ditetapkan (misalnya 3 konsentrasi dan 3 replikasi untuk masing-masing konsentrasi) dan
repetabilitas (Presisi) ditentukan dengan menggunakan minimal 9 penetapan meliputi suatu
rentang konsentrasi khusus untuk prosedur (misalnya 3 konsentrasi dan 3 replikasi untuk
masing-masing konsentrasi, atau minimal 6 penetapan pada konsentrasi uji 100%).
Sampel yang digunakan adalah sediaan farmasi berupa obat sakit kepala yaitu
Panadol. Pelarut yang digunakan merupakan campuran metanol : asam asetat glasial 95:5
yang merupakan pelarut polar. Pemilihan campuran pelarut metanol : asam asetat glasial 95:5
diharapkan mampu melarutkan parasetamol dan kafein yang bersifat polar.
Larutan fase gerak berupa metanol : asam asetat glasial : aquadest (28:3:69) difiltrasi
melalui membran. Diatur suhu kolom menjadi 45 ± 1°C, kemudian sebanyak 10 μL fase
gerak diinjeksi melalui selang pelarut ke dalam alat yang kecepatan alirnya sudah diatur 2
mL/menit. Fase gerak yang berupa metanol : asam asetat glasial : aquadest (28:3:69) akan
secara otomatis di-degassing dalam instrument (USP, 2009). Pengaturan suhu kolom menjadi
45 ± 1°C bertujuan untuk membantu proses pemisahan analit. Kecepatan laju alir 2 mL/menit
bertujuan agar fase gerak lebih cepat menuju kolom serta agar analit lebih cepat terpisahkan
karena sampel yang diinjeksikan sedikit sehingga waktu yang perlukan relative singkat.
Analisis senyawa dilakukan dengan penginjeksian larutan seri pada panjang gelombang 200-
300 nm. Penginjeksian dilakukan dari konsentrasi terendah hingga konsentrasi tertinggi. Hal
ini dilakukan agar tidak mempengaruhi hasil kromatogram yang diperoleh dimana apabila
penginjeksian dilakukan dari konsentrasi tinggi ke rendah ditakutkan akan tersisa larutan
dengan konsentrasi tinggi pada larutan dengan konsentrasi rendah sehingga hasil
kromatogramnya menghasilkan puncak yang tinggi.
 Linearitas
Linieritas diperoleh dari data AUC dan konsentrasi seri masing-masing sampel yakni
parasetamol dan kafein. Berdasarkan data yang diperoleh, kurva baku larutan seri
parasetamol diperoleh R 2 = 0,9976 dengan persamaan regresi yang diperoleh adalah y =
20.857x – 12575 . Sedangkan kurva baku larutan seri kafein diperoleh R 2 = 0,9986, dengan
persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 2.114x + 524.
 LOD dan LOQ
Untuk validasi metode LOD dan LOQ diperoleh nilai batas deteksi (26.7489
ng/10µL) dan batas kuantifikasi (89,1628 ng/10µL) dan Kadar larutan sampel parasetamol
998,226 ng/10µL karena kadar sampel parasetamol melebihi nilai batas deteksi sehingga
sampel parasetamol dapat dideteksi namun tidak dapat dikuantifikasi. Untuk sampel kafein
nilai batas deteksi (172,3503 ng/10µL) dan batas kuantifikasi (574,5012 ng/10µL) dan Kadar
larutan sampel kafein 17,265 ng/10µL karena kadar sampel kafein tidak melebihi nilai batas
deteksi dan kuantifikasi maka sampel kafein tidak dapat dideteksi dan dikuantifikasi.
Penetapan kadar parasetamol dan kafein diperoleh kadar %b/b parasetamol 36,676 % b/b
dengan nilai %recovery 100.0176% dan kadar %b/b kafein 0,632 % b/b dengan nilai %
recovery 97.4295% Kadar yang diperoleh sesuai dengan rentang yang tertera pada monografi
dimana kadar parasetamol dalam tablet mengandung 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari
jumlah yang tertera pada etiket dan tablet Kofein mengandung C8H10N4O2 tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.
 Akurasi dan Presisi
Berdasarkan data yang diperoleh, nilai RSD larutan uji parasetamol adalah 0,4437%
dan nilai RSD larutan uji kafein 2.8959%. Karena nilai RSD larutan uji parasetamol < 2%
maka validasi metode parameter presisi valid. Sedangkan pada kafein nilai RSD > 2% maka
validasi metode parameter presisi tidak valid. Untuk validasi presisi diperoleh rata-rata %
recovery larutan uji parasetamol adalah 100.0176% dan rata-rata % recovery larutan uji
kafein adalah 97.4295%. Karena nilai % recovery berada di rentang 95% - 105% maka
validasi metode parameter akurasi valid. Hasil ini menunjukkan bahwa metode yang
digunakan memiliki akurasi yang baik pada validasi metode.
BAB IV

SARAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil preparasi pada sediaan tablet Panadol extra yang mengandung
parasetamol dan kafein dilakukan dengan menyerbukkan 20 tablet dan ditimbang setara 25
mg parasetamol lalu dilarutkan dengan campuran pelarut methanol : asam asetat glasial
(95:5). Hasil validasi metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu validasi metode
presisi; akurasi; linieritas; LOD dan LOQ dapat diterima. Namun nilai LOQ dari larutan seri
parasetamol menunjukkan bahwa konsentrasi sampel tersebut tidak dapat dikuantifikasi serta
LOD dan LOQ dalam larutan seri kafein menunjukan konsentrasi sampel tersebut tidak
dapat dideteksi dan dikuantifikasi karena konsentrasi terendah untuk dapat dikuantifikasi dan
dideteksi melebihi konsentrasi larutan sampel. Sehingga tidak dapat mendeteksi dan
menguantifikasi kafein dalam sampel .
DAFTAR PUSTAKA

Chaudhary, J., Jain A., and Saini, V. 2011. Simultaneous Estimation of Multicomponent
Formulations by UVVisible Spectroscopy: An Overview. International Research Journal of
Pharmacy. 2(12), 81-83
Weston, A., and R.P. Brown.1997.HPLC and CE Principles and Practic. USA : Academic
Press.
Convention, U.S.P.2009.USP 32 NF 32 :United States Pharmacopeia and National
Formulary.Vol.2.Rockville :United States Pharmacopeial Convention.
Basset, J., R. C. Denney, G. H. Jeffery, J. Mendham. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis
Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Goicoechae, H. C. and Olivieri, A. C. 1999. Simultaneous multivariale spectrophotometric
analysis of parasetamol and minor components (Diphenhydramine or Phenylpropanolamine)
in tablet preparation. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis. 20:255-261.
Kuwana, 1980. Physical Methods in Modern Chemical Analysis. 13. New York: Academic
Press.
Svehla, G. 1985. Analisis Kualitatif Makro dan Semimakro. Edisi V. Jakarta: Kalman Media
Pusaka.Skoog, D.A., West, D.M, Holler, F.J. 1994. Analytical Chemistry : An Introduction.
6th edition. 490. Florida: Harcourt Brace College Publishers.
Watson, 1999, Pharmaceutical Analysis, 98, 238, Churchill Livingstone, London.
Kemenkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta : Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Hendayana, Sumar.2006.Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis Modern.
Bandung : Remaja Rosdakarya Offset.
Day, R. A. dan A. L. Underwood. 1980. Analisa Kimia Kuantitatif. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
MAKALAH ANALISIS INSTRUMEN

VALIDASI METODE ANALISIS CEMARAN LOGAM BERAT: TIMBAL (Pb) DAN


KADMIUM (Cd) DENGAN VARIASI OKSIDATOR SECARA SPEKTROFOTOMETRI
SERAPAN ATOM DALAM SEDIAAN OBAT HERBAL

Dosen Pengampu : apt. Iin Hardiyati, M.Farm.

Disusun oleh:

1. Della Eka Nursanti (201951055)


2. Muhamad Ridwan (201951136)
3. Reyan Putra Pratama (201951165)
4. Anis Rahmayanti (202051027)
5. Dewi Setyowati (202051200)
6. Ricky Surya Silalahi (202051202)

PRODI FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

JAKARTA

2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Analisis Instrumen tepat waktu.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan
kelak.

Penulisan makalah dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak. Kami berharap makalah ini
dapat menjadi referensi bagi pihak yang membutuhkannya. Selain itu, kami juga berharap agar
pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah bertema spektrofotometri serapan atom ini masih memerlukan
penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran
pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Analisis Instrumen ini
dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, Januari 2022

2
DAFTAR ISI
Cover....................................................................................................................................................... 1
Kata pengantar ........................................................................................................................................ 2
Daftar Isi.................................................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4
BAB II BAHAN DAN METODE .................................................................................................................... 6
A. Alat dan Bahan ………………..………………………………………………………………………………………………….…6

B. Preparasi Sampel ……………………………………………………………………………………………………………………6


C. Analisis Spektrofotometri Serapan Atom …………………………………………………………………………………6

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................................ 9

BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………………………………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam dekade belakangan ini di tengah banyaknya jenis obat modern di pasaran dan
munculnya berbagai jenis obat modern yang baru, terdapat kecenderungan global untuk kembali
ke alam (back to nature). Faktor yang mendorong masyarakat untuk mendayagunakan obat bahan
alam atau obat herbal antara lain mahalnya harga obat modern/sintetis dan banyaknya efek
samping. Selain itu faktor promosi melalui media masa juga ikut berperan dalam meningkatkan
penggunaan obat herbal. Oleh karena itu obat herbal menjadi semakin populer dan penggunaannya
meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada negara maju
misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Jenis obat herbal yang digunakan dapat berupa obat
tradisional buatan sendiri, jamu gendong maupun obat tradisional industri pabrik (Dewoto,2007).

Sehubungan dengan sumber dan kualitas bahan baku obat herbal maka efektifitas dan
keamanan merupakan peran penting dalam pengendalian kualitas formulasi obat herbal. World
Healthy Organization (WHO) telah melakukan beberapa resolusi menggunakan beberapa teknik
analisis untuk memastikan kualitas kontrol tanaman. Kontaminasi logam telah banyak ditemukan
dalam obat herbal karena penyimpanan yang tidak higienis, kondisi kemasan atau dari bahan
bakunya. Kontaminasi logam yang tinggi ini dapat terjadi karena efek lingkungan yang rusak yaitu
dari tanah, air dan udara. Untuk itu WHO meningkatkan upaya meniadakan kontaminasi logam
berat dalam obat herbal agar jaminan kualitas tetap terjaga (Tamiselvi&Kannan, 2014). Logam
berat dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian tubuh
yang terikat logam. Logam berat yang bersifat racun di dalam tubuh akan membahayakan
kesehatan bahkan menyebabkan kematian (Murniasih&Taftazani, 2013). Sesuai Peraturan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan No 13 tahun 2014 batas cemaran logam berat dalam obat herbal
adalah sebesar 0,3 mg/Kg untuk kadmium (Cd) dan 10 mg/Kg untuk timbal (Pb) (BPOM, 2014).
Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Zulharmita, et al., 2017 analisis cemaran logam berat
(Pb dan Cd) dalam sediaan obat herbal di Rumah Sakit Islam Siti Rahmah Padang secara
spektrofotometri serapan atom. Sampel terdiri dari 4 jenis obat herbal. Hasil penelitiaan ini
menunjukan bahwa keempat sampel tidak melebihi ambang batas cemaran logam berat yang
ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia No 13 tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi metode analisis dan

4
uji kadar cemaran logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dengan variasi oksidator secara
spektrofotometri serapan atom dalam sediaan obat herbal yang dijual di daerah Kota Tasikmalaya.
Spektroskopi Serapan Atom (SSA) adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan
kadar suatu logam dalam suatu senyawa dengan mengatomisasinya terlebih dahulu. Atomisasi
dapat dilakukan dengan nyala. Metode SSA berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom, yang
berakibat suatu atom pada keadaan dasarnya, dinaikkan ke tingkat energi eksitasi. (Solikha, 2019)
Urgensi dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk penetapan kadar
logam berat timbal dan kadmium dalam sediaan obat herbal yang telah tervalidasi dengan cara
destruksi basah yang menggunakan optimasi variasi oksidator dan pengujiannya diukur dengan
Spektrofotometri Serapan Atom, mengingat semakin banyaknya jenis obat herbal yang sudah
beredar di pasaran baik produksi dari industri besar ataupun industri rumah tangga.

5
BAB II

BAHAN DAN METODE

A. ALAT DAN BAHAN


 Alat:
Atomic Absorption Spectrofotometry 55B SpectrAA Varian, lampu katoda
berongga (untuk logam Pb dan Cd), labu detruksi, heating mantle, vial cap SPD 35
mL, pipet volum 1,0 mL, 2,0 mL, 5,0 mL, 10,0 mL, labu terukur 50,0 mL, labu
terukur 100,0 mL, dan alat timbang analitik Mettler Toledo Dragon 204.
 Bahan:
Larutan baku induk Pb 1000 mg/L (Merck), Cd 1000 mg/L (Merck), asam nitrat
65% (Merck), hidrogen peroksida 30% (Merck), aquabidest dan sampel obat herbal
yang didapatkan di daerah Kota Tasikmalaya.
B. PREPARASI SAMPEL
 Penyiapan Larutan Baku Kerja
Larutan baku 1000 ppm untuk logam Pb dan 1000 ppm untuk logam Cd diencerkan
hingga diperoleh baku seri dengan konsentrasi baku seri dengan konsentrasi 1, 2,
5, 6, 8, ppm untuk Pb dan Cd.
 Pembuatan Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan menghubungkan antara konsentrasi dengan serapan
dari larutan baku logam Pb dan Cd. Konsentrasi baku yang digunakan adalah 1, 2,
5, 6, 8 ppm.
C. ANALISIS SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM
 Validasi Metode
Validasi metode penetapan kadar logam berat timbal dan kadmium dengan
destruksi basah meliputi linieritas, batas deteksi, batas kuantisasi, akurasi dan
presisi.

6
 Linieritas
Uji linieritas metode analisis dilakukan dengan menggunakan satu seri larutan baku
logam Pb dan Cd dengan yang berbeda. Kurva kalibrasi diperoleh dengan memplot
hubungan antara konsentrasi dengan serapan atau absorbansi yang terukur. Sebagai
parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien kolerasi (r) dan koefisen
variansi fungsi regresi pada analisis regresi linier y = bx + a. Berdasarkan kurva
kalibrasi yang diperoleh, dilakukan perhitungan dan uji statistik meliputi
homogenitas variansi, linieritas, batas deteksi, dan batas kuantisasi. Penentuan
kelinieran dilakukan dengan memplot respon instrumen yang dinyatakan dengan
serapan, dengan konsentras larutan baku logam Pb dan Cd yang terdiri dari 5
tingkat konsentrasi. Satu level konsentrasi baku disuntikan masing – masing
sebanyak 3 kali. Kemudian diperoleh kurva kalibrasi dan ditentukan parameter
korelasi (r) dan koefisien fungsi regresi.
 Batas Deteksi Dan Batas Kuantisasi
Penentuan batas deteksi dan batas kuantisasi dilakukan dengan menggunakan data
dari penentuan linieritas. Penentuan batas deteksi dan batas kuantisasi berdasarkan
dihitung secara statistik dari kurva kalibrasi.
 Akurasi
Parameter akurasi ditentukan dengan menghitung persen perolehan kembali
melalui metode penambahan baku (standard addition method) untuk sampel obat
herbal. Pada sampel sabun kosmetika, ditambahkan baku logam Pb dan Cd dengan
konsentrasi yang diketahui dan dihitung persen perolehan kembali.
 Presisi
Presisi diukur dengan mengulang pengukuran suatu konsentrasi senyawa baku Pb
dan Cd dalam produk sebanyak 6 kali. Ditimbang saksama sejumlah lebih kurang
ditimbang lebih kurang 1 gram sampel obat herbal, lalu dimasukkan ke dalam labu
destruksi untuk dilakukan destruksi basah dengan menggunakan campuran asam
nitrat 65% dan hidrogen peroksida 30%. Destruksi lakukan dengan asam nitrat 65%
sebanyak 15 ml ditambahkan ke dalam labu destruksi dan sambil dipanaskan pada
suhu lebih kurang 100oC. Proses ini dilakukan sampai hilangnya asap berwarna
coklat. Setelah itu larutan ditambakhkan dengan hidrogen peroksida 30% sebanyak

7
5 ml sedikit demi sedikit sambil dilakukan pemanasan pada suhu lebih kurang
100oC. Proses destruksi dihentikan sampai larutan jernih yang menandakan bahwa
proses destruksi telah sempurna. Setelah proses destruksi selesai, larutan didiamkan
sampai dingin, lalu larutan dimasukan ke labu ukur 50 ml dan tambahkan aquabides
sampai tanda batas labu ukur, kemudian larutan dihomogenkan. Lalu disaring
dengan menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam vial. Destruksi
dampel dilakukan dua kali ulangan. Hasil pengukuran presisi dinyatakan sebagai
simpangan baku relatif (SBR).(Endah & Nofriyaldi, 2019)

8
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Destruksi merupakan suatu cara perlakuan sampel untuk menguraikan zat – zat organik
menjadi bentuk yang lebih sederhana dan melarutka analit logam menjadi kation sehingga dapat
dilakukan pengukuran. Metode destruksi dalam preparasi sampel sebelum diukur dengan AAS
dapat dilkukan dengan cara yaitu metode destruksi kering (dry ashing) dan metode destruksi basah
(wet digesiton). Pada metode destruksi basah, penguraian sampel dilakukan menggunakan asam
kuat baik tunggal maupun campuran. Asam kuat yang dapat digunakan untuk mendestruksi sampel
adalah asam nitrat (HNO3), yang divariasikan dengan oksidator asam peroksida (H2O2) asam
sulfat (H2SO4), dan asam klorida (HCl) dengan perbandingan 3:1. Kesempurnaan destruksi
ditandai dengan diperolehnya larutan jernih setelah destruksi selesai, yang menunjukkan bahwa
semua konsituen yang ada telah larut sempurna atau penguraian senyawa – senyawa organik telah
berjalan dengan baik. Setelah kondisi AAS dan destruksi sudah optimum, maka dilanjutkan untuk
melakukan validasi metode meliputi linieritas, batas deteksi, batas kuantitas, akurasi dan presisi.
Hasil optimasi validasi metode menunjukkan pereaksi terbaik yaitu dengan menggunakan asam
kuat asam nitrat (HNO3) dengan oksidator asam peroksida (H2O2). Penentuan kelinieran
dilakukan dengan memplot respon instrumen yang dinyatakan dengan nilai serapan/absorbansi
yang terukur, dengan konsentrasi larutan baku logam Pb dan Cd yang terdiri dari 5 tingkat
konsentrasi. Setiap konsentrasi baku disuntikan masing – masing sebanyak 3 kali. Kemudian
diperoleh kurva kalibrasi dan ditentukan parameter korelasi (r) dan koefisien fungsi regresi (Vx0).
(Endah & Nofriyaldi, 2019)

9
Tabel 1. Parameter regresi linier kurva kalibrasi logam Pb dan Cd

Parameter Regresi linier Pb Regresi linier Cd


Persamaan regresi y= 0,0125x + 0,0014 y= 0,1237x+0,0247
Kemiringan garis regresi/ 0,0125 0,1237
slope (b)
Perpotongan dengan garis 0,0014 0,0247
sumbu y (a)
X rata-rata (ppm) 0,0000007 0,0004521
Sy/x (simpangan baku residu) 0,0010075 0,0260404
(Sy/x)/b 0,0805978 0,2105122
Vx0 / koefisien variasi regresi 2,1981209 5,7412405
(%)
r (koefisien korelasi) 0,9998 0,9982
LOD / batas deteksi (ppm) 0,242 0,163
LOQ / batas kuantisasi (ppm) 0.806 0,205
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa parameter regresi linier logam Pb pada rentang
konsentrasi 1,0 – 8,0 ppm seluruhnya menunjukkan hasil yang baik dengan persamaan garis regresi
y =0,0125x + 0,0014 dan koefisien kolerasi r = 0,9998 . Batas deteksi (BD) dan batas kuantisasi
(KB) dihitung secara statistik dari kurva kalibrasi yaitu 0,242 ppm dan 0,806 ppm. Sedangkan
parameter regresi linier logam Cd pedal rentang konsentrasi 1 – 8 ppm seluruhnya menunjukkan
hasil yang baik dengan persamaan garis regresi y = 0,1237x + 0,0247 dan koefisien korelasi r =
0,9982 . Batas deteksi (BD) dan batas kuantisasi (BK) dihitung secara statistik dari kuva kalibrasi
yaitu 0,163 ppm dan 0,205 ppm (Endah & Nofriyaldi, 2019)

10
Tabel 2. Presisi antar hari logam Pb dalam obat herbal

Hari ke- Konsentrasi (µg/g)


1 54,4
2 54,3
3 54,4
Rata-rata 54,4
SB 0,11
SBR (%) 0,20
KV Horwitz 24,64
0,67 KV Horwitz 16,43
HORRAT 0,01
Dari tabel diatas diperoleh SBR 0,20% memenuhi persyaratan < 0,67 KV Horwitz dan
HORRAT < 2%. Dengan demikian hasil untuk parameter presisi logam Pb memenuhi persyaratan
baik antar hari dan intra hari.

Tabel 3. Presisi antar hari logam Cd obat herbal

Hari ke- Konsentrasi (ppm)


1 47,00
2 46,60
3 46,20
Rata-rata 46,60
SB 0,69
SBR (%) 0,22
KV Horwitz 19,01
0,67 KV Horwitz 12,67
HORRAT 0,02
Dari table diatas diperoleh SBR 0,22%, memenuhi persyaratan < 0,67 KV Horwitz dan
HORRAT < 2%. Dengan demikian hasil untuk parameter presisi memenuhi persyaratan baik antar
hari dan intra hari.

11
Tabel 4. Akurasi logam Pb dalam obat herbal

No Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Perolehan


analit tanpa analit analit analit yang Kembali (%)
spike (µg/g) dengan spike perolehan ditambahkan
(µg/g) (µg/g) (µg/g)
1 127,5 180,5 53,0 50 106,0
2 127,5 182,4 54,9 50 109,8
3 127,5 181,5 54,0 50 108,0
4 127,5 230,4 102,9 100 102,9
5 127,5 225,6 98,1 100 98,1
6 127,5 238,4 110,9 100 110,9
7 127,5 380,4 252,9 250 101,2
8 127,5 377,5 250,0 250 100,0
9 127,5 375,8 248,3 250 99,3
Rata-rata perolehan Kembali (%) 104,02

12
Tabel 5. Akurasi logam Cd dalam obat herbal

No Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi Perolehan


analit tanpa analit analit analit yang Kembali (%)
spike (µg/g) dengan spike perolehan ditambahkan
(µg/g) (µg/g) (µg/g)
1 10,20 61,96 51,76 50 103,52
2 10,20 60,95 50,75 50 101,50
3 10,20 60,35 50,15 50 100,30
4 10,20 125,16 101,99 100 101,99
5 10,20 124,96 105,49 100 105,49
6 10,20 114,11 114,76 100 114,76
7 10,20 275,65 265,45 250 106,18
8 10,20 277,90 267,70 250 107,08
9 10,20 265,08 254,88 250 101,95
Rata-rata perolehan Kembali (%) 104,75
Akurasi logam Pb dan Cd dinyatakan dengan persen perolehan kembali yang dihitung
dengan perhitungan recovery Dari tabel diatas diperoleh kembali logam Pb dan Cd dalam sabun
masing – masing antara 98,1 – 110,9 % dan 100,30 – 107,08 %.Hal ini memenuhi syarat
keberterimaan untuk akurasi yaitu pada rentang 80 - 120 %. (Endah & Nofriyaldi, 2019)

13
BAB IV

KESIMPULAN

Metode penentuan Pb dan Cd dalam obat herbal menggunakan teknik analisis


Spektrofotometer Serapan Atom dengan variasi oksidator telah berhasil didapatkan dan memenuhi
persyaratan validasi metode analisis sesuai dengan persyaratan validasi. (Endah & Nofriyaldi,
2019)

14
DAFTAR PUSTAKA

Endah, S. R. N., & Nofriyaldi, A. (2019). VALIDASI METODE ANALISIS CEMARAN

LOGAM BERAT: TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DENGAN VARIASI

OKSIDATOR SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM DALAM

SEDIAAN OBAT HERBAL. 2(3), 6.

Solikha, D. F. (2019). PENENTUAN KADAR TEMBAGA (II) PADA SAMPEL

MENGGUNAKAN SPEKTROSKOPI SERAPAN ATOM (SSA) PERKIN ERLMER

ANALYST 100 METODE KURVA KALIBRASI. 4(2), 11.

15
VALIDASI METODE ANALISA ZEA TIN MENGGUNAKAN TEKNIK ULTRA HIGH
PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY SEBAGAI INSTRUMEN STUDI KULTUR IN
VITRO KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

DISUSUN OLEH :
REYAN PUTRA PRATAMA
201951165

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL- KAMAL


PRODI FARMASI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul“VALIDASI METODE ANALISA
ZEA TIN MENGGUNAKAN TEKNIK ULTRA HIGH PERFORMANCE LIQUID
CHROMATOGRAPHY SEBAGAI INSTRUMEN STUDI KULTUR IN VITRO KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)”.Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah “ANALISIS INSTRUMEN” di Institut Sains dan Teknologi
Al-Kamal.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik
dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

JAKARTA, 4 JANUARI 2022


PENULIS

REYAN PUTRA PRATAMA


i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………................i
BAB I
Pendahuluan……..……………...…………………………………………………………………......1
BAB II
Bahan Dan Metode…………………………………………………………………………………….3
BAB III
Hasil Dan Pembahasan……………………………………………………………………………...…5
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………………………......14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas dengan tingkat produksi dan konsumsi terbesar di
Indonesia. Diproyeksikan pada tahun 2021 jumlah produksi mencapai 38,85 juta ton dengan ekspor sebesar 24,58
juta ton dan konsumsi domestik mencapai 13,99 juta ton (Pusdatin 2017). Selain untuk konsumsi, kelapa sawit juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri dan sumber energi. Sekitar 20% produksi kelapa sawit terutama
minyak intinya digunakan untuk kebutuhan non-pangan seperti kosmetik, deterjen, plastik dan lain sebagainya
(World Growth 2011). Jumlah kalori yang dihasilkan kelapa sawit hampir 4 kali lebih tinggi dibanding kedelai untuk
hasil dari luasan areal pertanaman yang sama (MacDonald et al., 2015) dan jumlah karbon residunya lebih baik
dari batu bara sub-bituminus (Loh 2016) sehingga cocok digunakan sebagai sumber energi alternatif.
Perbanyakan klonal kelapa sawit melalui kultur in vitro merupakan pendekatan yang berpotensi untuk
dikembangkan, mengingat bahan tanaman asal klon mampu menghasilkan tandan buah segar mencapai 20 – 25%
(Harahap et al., 2010) dan CPO 13% lebih tinggi dibanding kelapa sawit asal perbanyakan biji. Kelemahan
perbanyakan kelapa sawit secara in vitro yaitu rendahnya laju embriogenesis (3% – 6%) (Kushairi et al., 2010)
dan laju embriogenesis yang bervariasi tergantung dari genotipe sumber eksplannya (Nugroho et al.,
2014). Pemberian auksin yang berbeda juga menghasilkan respon induksi kalus yang berbeda antar genotipe
sumber eksplan (Jayanthi et al., 2015).
Formulasi media induksi kalus maupun embrio umumnya bersifat trial-error dan kajian melalui
pendekatan genotipe maupun fitohormon yang terkandung pada eksplan dan korelasinya dengan laju
kalogenesis maupun embriogenesis belum banyak dilakukan. Kajian korelasi fitohormon dan genotipe terhadap
laju kalogenesis dan embriogenesis pernah dilakukan, di antaranya pada kultur jelai (Hisano et al., 2016) dan
kohlrabi/lobak Jerman (Cosic et al., 2015).
Zeatin merupakan salah satu jenis sitokinin yang umum dan paling banyak disintesis pada tumbuhan dan secara
terbatas berperan dalam regulasi transisi dari fase Gap2 menuju mitosis pada siklus pembelahan sel (Roef
dan Van Onckelen 2010). Konfigurasi zeatin biasanya dalam bentuk trans dan cis, di mana trans-Zeatin (tZ)
merupakan zeatin yang aktif berperan dalam kegiatan sel sedangkan cis- Zeatin (cZ) hanya aktif pada bagian
tertentu saja (Gajdosova et al., 2011). Pada Arabidopsis, pengamatan terhadap interaksi reseptor
dengan ligannya menunjukkan bahwa aktivitas cZ jauh lebih rendah dibandingkan dengan tZ (Heyl et al., 2012).
Zhang et al. (2013) menemukan bahwa sitokinin terlibat dalam regulasi pembelahan sel di bagian quiescent
center akar dengan menekan ekspresi dari gen pendistribusi auksin LAX2. Sitokinin bersama- sama dengan auksin
secara dinamis berinteraksi dan terkadang berperan secara unik dengan saling mendukung atau
menghambat pada proses perkembangan sel (Davies et al., 1995; Schaller et al., 2015; Jain dan Nakhooda 2017).
Analisis kuantitatif sitokinin yang terkandung di dalam eksplan dibutuhkan untuk memonitor tingkat
konsentrasi sitokinin pada fase-fase perkembangan kultur seperti misalnya pada kalus atau embrio. Ooi et al.
(2013) melaporkan bahwa total level konsentrasi sitokinin meningkat secara bertahap seiring fase
perkembangan kultur pada kultur in vitro kelapa sawit asal klon normal dan mantel. Level sitokinin juga
cenderung rendah pada tahap kalogenesis dan pemberian auksin secara eksternal untuk
menstimulasi embriogenesis mungkin menekan biosintesis sitokinin (Moubayidin et al., 2009).
Berdasarkan hal ini perlu dilakukan analisis kuantitatif terhadap tingkat konsentrasi sitokinin pada fase-fase kultur
tertentu. Hal ini mungkin dapat dijadikan sebagai gambaran interaksi antara sitokinin endogen dengan ZPT sintetis
yang ditambahkan pada jenis media untuk fase kultur tertentu.
3
Metode analisis kandungan sitokinin telah banyak dilakukan. Prosedur ekstraksi umumnya melibatkan
berbagai jenis pelarut seperti air, metanol, etil asetat, larutan Bielski dan sebagainya (Bai et al., 2010). Metanol
(MeOH) adalah pelarut yang umum digunakan dalam jumlah terbesar pada ekstraksi fitohormon dari
bahan segar atau kering. Dihasilkan ekstrak fitohormon tertinggi seperti misalnya pada jewawut dengan MeOH
100% (Nakurte et al., 2012), Arabidopsis dengan MeOH : air (7 : 3) (Trapp et al., 2014), Sargassum horneli dengan
MeOH : air : asam metanoat (15 : 4 : 1) (Li et al., 2016) dengan separasi menggunakan kolom C18. Demikian juga
halnya dengan ekstraksi pada cabai dan gandum, dimana digunakan MeOH 80% dengan separasi pada kolom
C18 (Chen et al., 2017). Kolom C8 atau C18 yang kurang polar disarankan untuk digunakan pada separasi
dari sampel segar yang bersifat umumnya netral (mengandung kedua ion positif dan negatif) (Synder et al.,
2010). Selain itu, kolom C18 dikenal sangat efisien memisahkan lemak dan beberapa pigmen daun (Fu et al.,
2011).
Prosedur ekstraksi sekaligus purifikasi menggunakan metode liquid-liquid extraction (LLE) seperti
yang dilakukan Muller dan Munne-Bosch (2011) cenderung lebih mudah untuk dilaksanakan terutama di
laboratorium-laboratorium dasar. Metode analisis fitohormon yang telah dipublikasi sering menggunakan
standar internal berlabel isotop yang mungkin cukup rumit untuk direproduksi, sehingga penggunaan standar
eksternal lebih mudah untuk dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode analisis kandungan zeatin yang optimum, cepat dan mudah
untuk direproduksi sehingga dapat diaplikasikan pada kajian-kajian penelitian yang melibatkan
analisis fitohormon pada tumbuhan. Metode ini diharapkan mampu mengekstraksi dan mengidentifikasi
zeatin baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari bahan sampel segar yang umumnya mengandung banyak
komponen lainnya seperti misalnya protein, lemak, klorofil, jenis fitohormon lainnya (IAA, BA) dan sebagainya.
Metode yang akan dipilih merupakan metode yang mampu menghasilkan puncak area yang sesuai standar nilai uji
kesesuaian sistem dan validasi serta memiliki nilai RSD (relative standard deviation) yang kecil. Nilai RSD yang
kecil menunjukkan konsistensi metode maupun alat dalam menghasilkan luaran analisis untuk sampel segar yang diuji.
Selain itu, kemudahan dalam pengerjaan analisis seperti ekstraksi dan persiapan alat kromatografi juga menjadi
pertimbangan dalam memilih metode yang digunakan.
satu individu per varietas) dan potongan daun yang mewakili setiap area atau topofisis gelendong daun
(pangkal, tengah dan ujung) ditimbang sebanyak 50 mg dan dimasukkan ke microtube 2 ml bersama dengan
tungsten bead dan diberi pelarut berupa campuran MeOH (Merck, LiChrosolv® : 1060181000) : isopropanol
(Merck, EMSURE® : 1096341000) : asam asetat glasial (Merck, EMSURE® : 1000631000) dengan rasio 60 : 39 : 1
(v/v) sebanyak 200 µL. Sampel kemudian dihaluskan menggunakan TissueLyser II (Qiagen) dengan frekuensi 30
Hertz selama 3 menit. Sampel dibalik kemudian dihaluskan lagi selama 2 menit. Sampel sedikit digoyang lalu
didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya sampel disentrifugasi (Thermo Scientific) selama 15 menit dengan
kecepatan 10.000 rpm pada suhu 40 C. Supernatan yang diperoleh kemudian dipindahkan ke microtube 2 ml
yang baru sebagai tempat pengumpulan ekstrak. Kemudian ditambahkan kembali pelarut sebanyak 100 µL.
Setelah digoyang-goyang selama 15 menit, sampel kembali disentrifugasi selama 15 menit. Supernatan
kemudian dipindahkan ke microtube pengumpul ekstrak. Ekstraksi dilakukan sebanyak 5 kali dan seluruh
ekstrak yang terkumpul disentrifugasi selama 5 menit dan supernatan dipindahkan ke microtube baru.

2
BAB II
BAHAN DAN METODE

Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi zeatin yang digunakan merupakan metode yang dikembangkan Muller dan Munne-Bosch
(2011) tanpa penambahan standar internal dan sonikasi. Potongan daun segar dari gelendong daun muda kelapa
sawit varietas La Me, Avros, Simalungun dan PPKS 239 (masing-masing)
Penentuan sistem UHPLC
Larutan standar zeatin (PhytoTechnology Laboratories : Z125) diinjeksi ke UHPLC (Acquity, Waters) dan
pembentukan kromatogramnya dibandingkan. Perl akuannya adalah rasio penggunaan larutan fase gerak
(mobile phase) dan tipe kolom yaitu metanol (MeOH) : air (90 : 10) dan (100 : 0) pada kolom Acquity UHPLC BEH C18
Waters (C18 (90 : 10), C18 (100 : 0)) dengan laju alir 0,2 mL/menit (50 mm x 2.1 mm, 1.7 µm) serta MeOH : air (100 : 0)
TM
pada kolom dengan Partisil 10 SCX Whatman (250 mm x 4.6 mm, 10µm) (SCX (100 : 0)) dengan laju alir 0,8
mL/menit secara isookratik. Digunakan kondisi dengan suhu kolom 30 C dan detektor UV λ = 280 nm.

Uji kesesuaian sistem dan validasi


Sampel berupa larutan standar zeatin diinjeksi sebanyak 3 µL ke UHPLC dan diulang sebanyak 6 kali untuk masing-
masing perlakuan. Selanjutnya dari data kromatogram yang terbentuk dihitung nilai peubah berupa faktor ikutan
(tailing factor), K prime (capacity/retention factor), nilai N (lempeng teoritis) dan HETP (height equivalent to
theoretical plate). Nilai peubah perlakuan yang sesuai dengan rekomendasi U.S Federal Drug Administration (FDA) (1994)
atau Synder et al. (2010) dan memiliki standar deviasi relatif (relative standard deviation, RSD) ≤ 2 akan dipilih sebagai
sistem yang digunakan untuk selanjutnya divalidasi.
Kurva validasi/kalibrasi dibentuk melalui pembacaan area puncak yang dihasilkan dari injeksi larutan
standar zeatin dengan pelarut metanol sebanyak 8 konsentrasi (15,5 – 124 ppm). Selanjutnya dihitung slope, intercept dan
koefisien determinasi dari kurva yang terbentuk.
Nilai persentase perolehan kembali dihitung dari nilai konsentrasi zeatin yang dihasilkan dari ekstraksi
sampel segar potongan daun muda kelapa sawit dengan penggunaan pelarut blanko dan pelarut yang telah
ditambahkan standar zeatin sebanyak 200 ppm. Sampel segar diambil dari individu dan bagian yang sama agar
diperoleh data konsentrasi zeatin yang relatif sama. Selanjutnya hasil ekstrak diinjeksi ke UHPLC dan dihitung
persentase perolehan kembali (% recovery) yang dinyatakan sebagai akurasi. Persentase perolehan kembali yang
direkomendasikan pada sampel segar yaitu sebesar 80% – 120% dengan RSD ≤ 15% (Synder et al., 2010).
Larutan standar zeatin dibuat sebanyak 8 kali pada konsentrasi yang sama kemudian diinjeksi secara duplo ke
UHPLC. Selanjutnya nilai area yang dihasilkan dari kromatogram yang terbentuk dihitung nilai simpangan baku
relatifnya (RSD). Nilai RSD yang dihasilkan dari pembacaan nilai area kromatogram yang dibentuk dari
3
injeksi standar zeatin disebut sebagai nilai presisi pembacaan instrumen. Di lain pihak, nilai presisi metode dihitung
berdasarkan pembacaan nilai area kromatogram zeatin dari injeksi sampel hasil ekstraksi potongan daun (sampel
segar) dari setiap individu varietas maupun topofisis. Nilai area yang dihasilkan selanjutnya dihitung nilai RSD-
nya untuk setiap sampel yang mewakili individu dan topofisis. Rerata nilai RSD pembacaan kromatogram sampel
segar digunakan sebagai nilai pembacaan presisi metode analisis. Nilai RSD yang dapat diterima adalah ≤ 2% untuk
injeksi sejumlah n ≥ 5 (USP 2016).
Batas deteksi (Limit of Detection, LoD) dihitung dengan nilai simpangan baku residual (standard error, SE)
dikali 3,3 dan dibagi dengan nilai kemiringan (slope) (a) pada persamaan regresi kurva kalibrasi Y = aX + b.
Batas kuantifikasi (Limit of Quantification, LoQ) dihitung dengan nilai SE dikali 10 dan dibagi dengan nilai slope-
nya.

Nilai konsentrasi zeatin setiap sampel genotipe/varietas dan topofisis daun kelapa sawit dihitung
menggunakan persamaan (Y =aX +b) yang d i h a s i l k a n d a r i p e m b e n t u k a n k u r v a validasi/kalibrasi. Nilai
area kromatogram yang dihasilkan dari setiap sampel dinyatakan sebagai Y dengan X adalah konsentrasi zeatin
sampel (ppm). Selanjutnya dilakukan analisis ragam untuk data konsentrasi zeatin yang diperoleh. Apabila berbeda
nyata dilakukan uji lanjut Duncan (DMRT) dengan α = 0,05.

4
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metanol merupakan jenis pelarut yang secara luas digunakan dalam ekstraksi fitohormon karena memiliki ukuran
partikel yang kecil dan berat molekul yang rendah sehingga mudah mempenetrasi sel tumbuhan (Fu et al., 2011).
Metanol yang telah diasamkan (biasanya ditambahkan asam metanoat atau asam asetat) umumnya digunakan
sebagai larutan ekstraksi maupun fase gerak (mobile phase) untuk meningkatkan polaritasnya pada analisis HPLC.
Namun, Hou et al. (2008) menemukan bahwa penggunaan metanol tanpa penambahan asam metanoat pada analisis
HPLC menghasilkan kemampuan elusi fitohormon yang lebih kuat.
Hasil uji rasio fase gerak MeOH : air dan tipe kolom (Tabel 1) menunjukkan bahwa penggunaan fase gerak MeOH
90% maupun 100% menggunakan kolom C18 menghasilkan nilai RSD 1,96 dan 1,87 (RSD ≤ 2), sedangkan
perlakuan MeOH 100% dengan kolom Partisil SCX menghasilkan nilai RSD 2,04 (RSD > 2). Nilai RSD menunjukkan
seberapa akurat dan presisi data yang dihasilkan dari metode dan instrumen yang digunakan. Semakin kecil nilai RSD-
nya semakin baik (FDA 1994). Penggunaan fase gerak dengan MeOH 100% lebih dipilih karena kemudahan
penggunaannya. Namun demikian, nilai N untuk kolom C18 dengan fase gerak metanol 100% belum memenuhi nilai
yang direkomendasikan (N > 2000). Sebaliknya, penggunaan fase gerak MeOH 100% dengan kolom Partisil
mampu menghasilkan nilai lempeng teoritis lebih besar dari yang direkomendasikan (N > 2000). Nilai N
menunjukkan tingkat efisiensi kolom untuk membentuk puncak kromatogram dalam setiap satuan unit
run-time (FDA 1994). Umumnya, semakin tinggi nilai N, maka resolusi kromatogram yang dihasilkan semakin baik,
namun membutuhkan waktu retensi yang lebih lama. Besaran nilai N dapat disesuaikan sebagai kompromi dalam capaian
untuk meningkatkan resolusi atau run-time yang lebih pendek (Synder et al., 2010).

Tabel 1. Hasil uji perlakuan rasio MeOH : air dan tipe kolom dalam analisis zeatin menggunakan Ultra High
Performance Liquid Chromatography (UHPLC)
Table 1. Result of MeOH : water ratio and column type treatments for zeatin analysis using suitability test for zeatin analysis
using Ultra High Performance Liquid Chromatography (UHPLC)

Tipekolom(MeOH:air)
Peubah pengamatan
C18 (90 : 10) C18 (100 : 0) Partisil SCX (100 : 0)
Waktu retensi (min) 0.684 0.646 3.563
Lebar @tangent 0.079 0.064 0.243
Lempeng teoritis (N) 1173.069 1625.109 3450.744
HETP (cm) 4.26E-04 3.08E-04 1.45E-04
K Prime (Retention factor, k) 5.841 5.465 34.631
Tailing Factor, TF 1.218 1.856 1.004
RSD (%) 1.96 1.87 2.04
5
Penggunaan sampel segar yang sering kali memiliki banyak matriks. mengharuskan waktu kontak yang
seimbang antara fase gerak dengan kolom yang ditunjukkan oleh nilai K Prime (capacity/retention factor, k)
(Synder et al., 2010). FDA (1994) merekomendasikan nilai k > 2 dan Synder et al.et al. (2010) merekomendasikan
nilai 2 < k ≤ 10 agar kromatogram yang dihasilkan lebih sempit dan tinggi serta memiliki waktu retensi yang singkat
sehingga meningkatkan kemampuan deteksinya. Dalam evaluasi ini, semua perlakuan dengan kolom C18
memberikan nilai 2 < k ≤ 10 dan lebih besar dari 10 untuk kolom Partisil SCX (Tabel 1). Contoh tampilan
kromatogram hasil analisis UHPLC disajikan pada Gambar 1. Gambar 1a dan 1b menunjukkan kromatogram yang
sempit dan tinggi serta cenderung simetris. Selain itu, analit juga terdeteksi secara jelas yang ditunjukkan dengan
nilai absorbansi (absorbance unit, AU) yang cukup tinggi yang juga menunjukkan nilai rasio signal to noise (S/N) yang tinggi.
Sedangkan sampel yang dilewatkan pada kolom Partisil SCX (1c) tidak menghasilkan kromatogram yang
terabsorbansi dengan baik dan mungkin memiliki rasio signal to noise (S/N) yang rendah.
Faktor ikutan (tailing factor, TF) merupakan nilai yang menunjukkan kesimetrisan kromatogram yang dihasilkan
yang dapat mempengaruhi akurasi saat k u a n t i f i k a s i ( F D A 1 9 9 4 ) . N i l a i y a n g direkomendasikan yaitu
TF ≤ 2 (FDA 1994; Synder et al., 2010; USP 2016). Nilai TF yang dihasilkan dari perlakuan kolom C18 dan Partisil
SCX lebih kecil dari 2 Sehingga apabila merujuk kepada faktor TF, s e m u a p e r l a k u a n m e m e n u h i n i l a i y
a n g direkomendasikan.
Pada prinsipnya, tipe kolom dan fase gerak yang digunakan dalam analsis kromatografi cair merupakan
pilihan yang diserahkan kepada masing- masing analis berdasarkan tujuan analisis yang dilakukan. Bagaimana pun,
sistem yang digunakan nantinya harus tervalidasi terlebih dahulu di mana pembacaan nilai kromatogram
dengan injeksi berulang mampu mencapai syarat umum yaitu
standar deviasi relatif (RSD) ≤ 2.0% (USP; FDA). Berdasarkan hasil yang diperoleh, pemakaian kolom C18 dan fase
gerak MeOH 100% (100 : 0) dapat digunakan untuk analisis kandungan zeatin menggunakan UHPLC.
Penggunaan kolom C18 dan fase gerak MeOH 100% menghasilkan kromatogram dengan absorbansi dan bentuk yang
baik (Gambar
1) dan nilai peubah yang memenuhi kriteria yang disarankan serta nilai keseluruhan RSD terbaik yaitu 1,87% (Tabel
1). Nilai RSD yang kecil (≤ 2) menunjukkan bahwa pemakaian kolom C18 dan fase gerak MeOH 100%
menghasilkan data kromatogram yang akurat dan presisi. Sebelum digunakan untuk melakukan analisis kandungan zeatin
pada jaringan kelapa sawit, kondisi terpilih yang telah ditentukan perlu dilakukan validasi lebih lanjut.

Validasi kondisi terpilih untuk analisis kandungan zeatin dengan UHPLC dapat dilakukan dengan
analisis regresi kurva konsentrasi standar zeatin versus luas area kromatogram hasil pengukuran
konsentrasi standar zeatin, serta penentuan presisi dan akurasi pengukuran konsentrasi zeatin standar.
Hasil analisis regresi akan menghasilkan model persamaan, nila2 i koefisien korelasi (r) dan koefisien
determinasi (r ) (Moosavi dan Ghassabian 2018). Selanjutnya, U. S. F e d e r al Dr u g A d m i ni s t r at i o n (
F D A ) merekomendasikan untuk menganalisis ragam terhadap data injeksi dan Van Loco et al. (2002)
menyarankan tes lack-of-fit (LoF) maupun tes Mantel's fitting untuk memvalidasi model regresi yang
dihasilkan.

6
Gambar 1. Kromatogram hasil analisis UHPLC untuk standar zeatin dengan kolom C18 dan menggunakan (a)
fase gerak MeOH : air (90 : 10) atau (b) fase gerak MeOH : air (100 : 0) serta (c) dengan kolom Patisil SCX dengan
fase gerak MeOH air (100 : 0)
Figure 1. Chromatogram of UHPLC analysis results of zeatin standard using C18 column and (a) mobile phase MeOH :
water (90 : 10), (b) MeOH : water (100 : 0) and (c) using Partisil SCX column with mobile phase MeOH : water (100 : 0)

2
Dari hasil analisis regresi diperoleh nilai r = 0,9996 (Gambar 2). Selain itu, hasil analisis ragam dan tes LoF
diperoleh bahwa model regresi yang digunakan memenuhi persyaratan linearitas (Tabel 2, Gambar 2). Dengan
demikian, kondisi analisis UHPLC yang dapat digunakan untuk analisis kandungan zeatin adalah
menggunakan kolom C18 dan fase gerak MeOH 100%.
Akurasi diartikan sebagai ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis sampel secara
keseluruhan dengan kadar analit yang sebenarnya di dalam matriks sampel. A k u r a s i d i n y a t a k a n
d e n g a n p e r s e n t a s e perolehan kembali (% recovery) (Betz et al., 2011). Presisi dapat diartikan sebagai
kedekatan antar data hasil dari beberapa kali pengukuran pada kondisi analisis yang sama (FDA 1994). N i l a
i p r e s i s i b i a s a n y a t e r d i r i da r i n i l a i keterulangan. keterulangan intermediet dan reproduksibilitas.

Tabel 2. Analisis ragam dan tes Lack-of-Fit (LoF) sebagai validasi model regresi yang dihasilkan pada
pembentukan kurva linearitas
Table 2. ANOVAand Lackof Fittest asvalidation forregression model resulting fromlinearity curve construction
Derajat Kuadrat
Sumber keragaman Jumlah Kuadrat Nilai F Nilai P
Bebas Tengah
Regresi 1 4,55E+13 4,55E+13 15408,14 0
Konsentrasi 1 4,55E+13 4,55E+13 15408,14 0
Galat 14 4,1381E+10 2,96E+09
LoF 6 1,6287E+10 2,71E+09 0,87 0,558

7
7E+06

6E+06

5E+06
Area

4E+06

3E+06

2E+06

1E+06

0E+00

8
y = 49480x + 60076
r² = 0,9996

0 20 40 60 80 100 120 140

Konsentrasi
(ppm)

Gambar 2. Kurva hubungan


konsentrasi standar zeatin dengan
luas area kromatogram yang
dihasilkan pada penentuan linearitas
Figure 2. Curve constructed by
zeatin standard concentration
against chromatogram peak area
as result in linearity
determination

9
Penelitian ini hanya mengukur komponen keterulangan karena dilakukan di satu laboratorium saja.
Nilai keterulangan yang diukur adalah nilai keterulangan instrumen dan keterulangan metode. USP
merekomendasikan nilai RSD ≤ 2 dengan injeksi minimal 5 – 6 kali dan FDA merekomendasikan nilai RSD ≤ 1
dengan injeksi minimal 5 kali (n ≥ 5). Nilai RSD yang lebih besar dapat diterima pada pengukuran
impuritis level rendah pada analisis bahan aktif atau produk obat-obatan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase perolehan kembali sampel segar yang diekstraksi yaitu sebesar
107,30% - 117,67% dengan nilai RSD 3,47% (Tabel 3) sehingga memenuhi standar validasi untuk akurasi pada
analisis sampel segar. Hasil pengukuran nilai keterulangan (Tabel 4) menunjukkan nilai RSD masing-masing
keterulangan baik instrumen maupun metode sebesar 0,56 dan 1,03 sehingga memperkuat kesimpulan
sebelumnya bahwa kondisi analisis UHPLC yang dapat digunakan untuk analisis kandungan zeatin
adalah menggunakan kolom C18 dan fase gerak MeOH 100%.
Batas deteksi merupakan batas di mana instrumen dapat mendeteksi keberadaan analit dalam sampel tanpa
mempertimbangkan presisi nilai respon yang diperoleh dan dapat dibedakan dengan noise yang muncul.
Batas kuantifikasi adalah batas nilai respon yang dihasilkan instrumen yang masih dapat mengikuti kaidah
linearitas dan presisi ketika divalidasi (Armburster dan Pry 2008). Beberapa metode penentuan
LoD dan LoQ antara lain berupa evaluasi visual. pengukuran rasio sinyal/noise (S/N) serta perhitungan
berdasarkan simpangan baku residual (Sy/x)dan slope pada model regresi linear (ICH 1996).

Tabel 3. Persentase perolehan kembali (akurasi) pada pengukuran konsentrasi zeatin pada sampel segar dengan
penambahan standar 200 ppm
Table 3. Recovery percentage (accuracy) of zeatin analysis in fresh sample extraction with standard addition 200 ppm

Konsentrasi zeatin Konsentrasi zeatin sampel + Persentase


n
sampel (ppm) standar 200 (ppm) Perolehan Kembali
1 56,52 291,87 117,67
2 57,97 293,40 117,72
3 71,33 288,96 108,81
4 75,50 309,04 116,77
5 76,48 297,41 110,46
6 76,32 299,94 111,81
7 76,38 303,76 113,69
8 72,14 286,73 107,30
9 72,11 293,04 110,46
Rata-rata 112,74
SD 3,91
RSD 3,47

10
Gambar 3. Profil kromatogram yang dihasilkan dari analisis zeatin pada sampel eksplan murni (respon detektor
UV = 0,60 AU) dan sampel yang telah ditambahkan standar zeatin 200 ppm (respon detektor UV = 2,60 AU) Figure
3.Chromatogram profile of zeatin analysis obtained from blank sample (UV detector response = 0,60 AU) and sample
spiked with 200 ppm of zeatin standard (UV detector response = 2,60 AU)

Kromatogram yang dihasilkan pada analisis zeatin berupa puncak tunggal sehingga aplikasi model
regresi linear dalam penentuan LoD dan LoQ relevan untuk digunakan (Shrivastava dan Gupta 2011).
Diperoleh nilai LoD sebesar 2,457 ppm dan LoQ = 7,446 ppm (Tabel 4). Adapun nilai terkecil
konsentrasi zeatin yang diperoleh pada sampel yang dianalisis yaitu sebesar 13,183 ppm.
menunjukkan bahwa akar menjadi jaringan yang pertama mensintesis sitokinin karena
kehadiran nitrat. Akar juga memiliki kelimpahan sitokinin terbanyak yang kemudian didistribusikan
dari akar ke xilem lalu ke daun. Sitokinin bertindak sebagai sinyal jarak jauh ketersediaan nitrogen
dari akar hingga tunas dan mengatur arah perkembangan keduanya (Haberer dan Kieber 2002).
Analisis kandungan zeatin pada daun muda eksplan kelapa sawit
Studi terdahulu menyebutkan sitokinin umumnya hanya disintesis di akar. Namun. beberapa
hasil penelitian terkini menjabarkan bahwa biosintesis sitokinin terjadi di hampir seluruh bagian
tumbuhan yang ditandai dengan adanya ekspresi gen IPT (Feng et al., 2017). Percobaan Takei et
al. (2001) pada pemberian nitrat secara eksogen pada tanaman jagung yang telah
dihilangkan nitrogennya.
Analisis zeatin menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi diperoleh dari eksplan bagian ujung
pada seluruh genotipe/varietas kecuali Avros. Konsentrasi zeatin tertinggi pada varietas Avros
berasal dari eksplan bagian tengah. namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi zeatin eksplan
bagian ujungnya (Gambar 5). Sitokinin dalam bentuk trans-zeatin riboside (tZR) disintesis di
akar dan ditranslokasikan menuju daun melalui xilem. Akibat akumulasi gen respon sitokinin di
daun (Takei et al., 2001) tZR membentuk trans-zeatin (tZ) untuk digunakan di daun. Adapun
sitokinin dalam bentuk isopentil (iP) disintesis

11
Tabel 4. Nilai keterulangan pada pengukuran area pembacaan kromatogram standar (instrumen)
dan set berbagai sampel (metode)
Table 4. Repeatability value obtained from chromatogram peak area of standard (as instrument precision) and set of
sample (as method precision)

Instrumen Metode
n Area RSD
(standar) (per set sampel)
1 2341199 2,66
2 2321087 0,81
3 2313921 0,49
4 2320899 1,52
5 2299734 0,66
6 2320821 0,17
7 2335636 0,87
8 2330744 1,03
Rata-rata 2323005
SD 13024 1,03*
RSD 0,56
Keterangan : *Rerata RSD seluruh set sampel
Note : *Mean of RSD whole sample set
Tabel 5. Penentuan nilai LoD dan LoQ berdasarkan model linear yang dihasilkan oleh kurva kalibrasi
Table 5. Determination of LoD and LoQ value based on linearity model obtained from curve calibration

n Konsentrasi (ppm) Area


1 15,50 764670
2 17,67 928690
3 20,77 1097293
4 24,80 1276461
5 31,00 1629279
6 46,50 2383742
7 62,00 3166424
8 124,00 6168026
Sy/x 36841,327
Slope 49479,827

12
Intercept 60075,879
r2 0,9996
LoD
2,457 ppm
LoQ
7,446 ppm

di daun dan ditranslokasikan melalui floem (Kudo et al., 2010). Konsentrasi zeatin yang tinggi di ujung
gelendong daun sumber eksplan mungkin berkaitan dengan ekspresi gen respon sitokinin yang tinggi akiba t
tingginya aktivitas pembelahan dan perkembangan sel pada lokasi tersebut. Di samping itu. perlu
diingat bahwa sitokinin disintesis pada hampir seluruh bagian tumbuhan. termasuk daun. sehingga
tingginya konsentrasi juga mungkin disebabkan akumulasi produk hasil sintesis.

13
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Metode yang dikembangkan untuk analisis zeatin yang terkandung pada eksplan daun kelapa sawit menggunakan
UHPLC dengan ekstraksi dan purifikasi sampel secara LLE mampu mengkuantifikasi zeatin dengan baik dan
memenuhi uji kesesuaian sistem dan validasi metode. Metode yang cukup praktis ini berpotensi untuk
digunakan sebagai metode kuantifikasi zeatin pada seluruh jaringan tumbuhan dan mampu diaplikasikan pada
kajian-kajian penelitian yang melibatkan analisis fitohormon pada tumbuhan dan fenomena fisiologisnya.

14
15
MAKALAH
ANALISIS DAN IDENTIFIKASI SENYAWA SAPONIN DARI
DAUN BIDARA (Zhizipus mauritania L.)

Dosen Pengampu : apt. Iin Hardiyati, M.Farm.

Disusun oleh:

1. Della Eka Nursanti (201951055)


2. Muhamad Ridwan (201951136)
3. Reyan Putra Pratama (201951165)
4. Anis Rahmayanti (202051027)
5. Dewi Setyowati (202051200)
6. Ricky Surya Silalahi (202051202)

FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
2021
i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

BAB 2 BAHAN DAN METODE ..................................................................................... 2

A. Alat dan bahan ....................................................................................................... 2


B. Preparasi Sampel .................................................................................................... 2
C. Analisis FTIR dan GC-MS ................................................................................... 2

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 3

BAB IV KESIMPULAN .................................................................................................. 6

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 6

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Tanaman bidara adalah sejenis pohon kecil yang selalu hijau, penghasil buah yang
tumbuh di daerah afrika utara dan tropis serta asia barat, tumbuh di Israel di lembah-lembah
sampai ketinggian 500 mdpl. Khususnya di Indonesia tanaman ini banyak tumbuh di daerah
sumbawa (Nusa Tenggara Barat).

Bidara banyak digunakan dalam pengobatan tradisional antara lain semua bagiannya
(daun, buah, biji, akar, dan batang). Manfaat yang lain yaitu daun bidara dapat menghasilkan
busa jika diremas, dan menghasilkan aroma yang sangat wangi seperti sabun dan digunakan
untuk memandikan orang yang sakit demam. Tanaman daun bidara dalam hukum islam
disunahkan untuk digunakan memandikan jenazah. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian
sebelumnya kandungan kimia yang berperan sebagai pengobatan dalam tanaman bidara antara
lain alkaloid, fenol, flavonoid, saponin, kuercetin, dan terpenoid (Hadizadeh et al., 2009;
Hussen et al., 2010; Michel et al., 2011). Tanaman daun bidara memiliki senyawa saponin yang
kaya akan manfaat. Senyawa saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yaitu terdiri dari
senyawa hasil kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik yang apabila
dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Struktur saponin tersebut
menyebabkan saponin bersifat seperti sabun atau deterjen sehingga saponin disebut sebagai
surfaktan alami (nama saponin diambil dari sifat utama ini yaitu “sapo” dalam bahasa latin
yaitu sabun (Hawley, 2004 dan Calabria, 2008). Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan
melalui metode ekstraksi.

Berdasakan hasil penelusuran pustaka yang didapat dan masalah yang ada sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk melihat adanya senyawa saponin yang terdapat pada daun
bidara dari ekstrak etil asetat. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi total menggunakan
pelarut etil asetat kemudian dilanjutkan pengidentifikasian gugus fungsi senyawa saponin
dalam daun bidara dengan Fourier transform infra red (FTIR) dan pengujian senyawa saponin
berdasarkan bobot molekul (BM) dengan gas chromatography-mass spectroscopy (GC-MS)
sebagai data pendukung dari data FTIR.

Instrumen GC-MS (Gas Cromatography and Mass Spectroscopy) adalah alat yang digunakan
untuk menganalisa senyawa didalam sampel. Dalam hal ini untuk mengetahui atau melihat
adanya senyawa saponin pada daun bidara

1
BAB II

BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu neraca analitik, alumunium foil, oven,
blender, sudip, gelas ukur 1000 mL, tabung reaksi, pipet mohr 10 mL, pipet tetes,
penangas air, erlenmeyer 1000 mL, kertas saring, corong gelas, rotary evaporator, gelas
piala 1000 mL, spektroskopi FT-IR, dan GC-MS. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini yaitu daun bidara (Ziziphus mauritania L.) yang berasal dari daerah Tegal
Cabe, kecamatan Citangkil kota Cilegon, aquades, asam klorida 2 N, kloroform,
pereaksi Lieberman Burchard (LB), metanol, dan etil asetat.

B. Preparasi sampel
Sampel daun bidara dibersihkan dengan air, dirajam kemudian dikeringkan di udara
terbuka selama 2 hari, kemudian dilanjutkan pengeringan menggunakan oven pada
suhu 40 oC selama 7 jam. Setelah kering dihancurkan menggunakan blender agar
didapatkan serbuk sampel atau simplisia.

C. Analisis FTIR dan GC-MS


(Bintoro dkk., 2017)Identifikasi dilakukan dengan cara diambil sedikit sampel ekstrak
yang mengandung saponin dengan menggunakan sudip kemudian diidentifikasi dengan
spektrofotometer FTIR dengan bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Identifikasi
menggunakan GC-MS dengan cara mencocokan bobot molekul dan pola fragmentasi
dari senyawa yang diuji pada library system GC-MS, diperkuat dengan referensi bobot
molekul senyawa aktif saponin berdasarkan literatur. (Bintoro dkk., 2017)

2
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi ekstrak daun bidara menggunakan GC-MS


Identifikasi ekstrak daun bidara menggunakan instrumen GC-MS bertujuan menganalisis
keberadaan senyawa saponin berdasarkan bobot molekul. Berdasarkan spektrum hasil analisis,
terjadi pemisahan yang kurang sempurna karena di dalamnya terdapat banyak sekali puncak
yang saling berhimpit dengan puncak yang lain. Hal ini diduga karena di dalam ekstrak masih
banyak terdapat senyawa selain senyawa saponin yang belum dapat dipisahkan secara
sempurna melalui proses ekstraksi. (Bintoro dkk., 2017)

Puncak yang muncul pada waktu retensi 15,472 menit merupakan senyawa yang paling
dominan/senyawa aktif yang paling banyak terkandung di dalam sampel daun bidara, dengan
bobot molekul sebesar 446,2 g/mol.
menunjukkan pola fragmentasi GC-MS pada ekstrak daun bidara pada waktu retensi 15.473
menit.

3
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya bahwa ditemukan bobot molekul
saponin sekitar 842,49 g/mol (Khamikov et al., 2016), sementara berdasarkan hasil identifikasi
didapat nilai bobot molekul saponin sekitar 873,0 g/mol pada waktu retensi 19,287 menit. Hasil
fragmentasi spektra GC-MS pada waktu retensi 19,287 menit menunjukkan keberadaan
senyawa saponin dalam daun bidara tetapi tidak dominan (kadarnya rendah) karena puncak
yang muncul sangat kecil (Gambar 5).

4
5
BAB IV
KESIMPULAN

Hasil identifikasi ekstrak daun bidara menggunakan GC-MS sebagai data Pendukung
FTIR menunjukan adanya senyawa saponin dengan bobot molekul sebesar 873,0 g/mol pada waktu
retensi 19,287 menit namun puncak yang dihasilkan tidak dominan.(Bintoro dkk., 2017)

6
DAFTAR PUSTAKA
Bintoro, A., Ibrahim, A. M., & Situmeang, B. (2017). DAUN BIDARA (Zhizipus mauritania

L.). 11.

Anda mungkin juga menyukai