Anda di halaman 1dari 20

TUGAS IDI

Dosen : Fitriany Amin S.Kep, Ns

ETIKA PERAWAT YANG ISLAMI

OLEH :

Kelompok III(Kelas B)

Anggota :

Brajakson Siokal (142270 141) Sudarman (142270 246)

Khairuddin uno (142270 256) Abdul muiz (142270 171)

Akbar Asfar (142270 247) Sitti Mardina N (142270 146)

Irnal Tando (142270 150) Sri Wahyuni (142270 157)

Ernawati (142270 149) Masna Koboo (142270 143)

Sunario (142270 226) Ruhandi HR (142270 159)

Hidayatullah (142270 214) Syarif Hidayatullah (142270

Jabal Nur jafar (142270 238)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2009
Menelusuri Sejarah Perawat Pada Zaman Nabi Muhammad

RUFAIDA Al aslamiya atau dikenal juga dengan Rufaida binti Safad bani Aslam, adalah
Perawat muslim yang pertama kali pada Zaman Nabi Muhammad SAW sebelum periode
keperawatan Florence Nightingale (perawat era modern).

Dia lahir di Yathrib sebelum migrasi nabi Muhammad. Ayahnya seorang tabib atau ahli
dibidang pengobatan, Rufaida pada waktu itu menjadi asisten untuk ayahnya, dan keahliannya
dalam merawat pasien didapatkan dari ayahnya sendiri. Seperti halnya Nightingale, Rufaida
memulai karirnya sebagai perawat pada saat perang di zaman Nabi Muhammad. Saat itu
Rufaida melakukan perawatan pada orang yang menderita luka akibat perang, dan membantu
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, memberikan rasa nyaman,
memberikan obat yang diperlukan dan transportasi bagi mereka yang sakit dan meninggal
untuk kembali ke Madinah. Untuk merawat penderita yang sakit, Rufaida mendirikan tenda
atau klinik di masjid, dan tempat inisangat terkenal pada zaman itu. Rufaida selalu hadir untuk
membantu setiap orang yang membutuhkannya.

Pada zaman itu Rufaida sangat dihormati sebagai seorang pemimpin dalam pelayanan
keperawatan. Beliau ikut andil bersama orang-orang yang ikut berperang pada saat perang
Badr, Uhud, Khandaq, Khibar dan lainnya. Dalam mengemban tugasnya beliau tidak sendiri
akan tetapi dibantu perawat lain sebagai sukarelawan (diantaranya Umm Ammara, Aminah,
Safiyat , Hind dan lainnya). Sejarah mencatat bahwa selain Rufaida merawat mereka yang sakit
di klinik, juga terjun langsung ke masyarakat dan mencoba memecahkan masalah kesehatan.
Beliau bukan hanya membantu bagi mereka yang menderita fisik dan mental akan tetapi
membantu mereka yang tidak mampu dan yatim piatu. Oleh karena itu tidak salah bila Rufaida
dikenal juga sebagai seorang perawat kesehatan masyarakat dan pekerja social. Beliau
diilustrasikan sebagai seorang perawat yang mempunyai kepribadian baik dan empati. Beliau
memiliki kecakapan dalam memimpin, sanggup untuk mobilisasi dan mempengaruhi orang lain
untuk bekerja dengan baik. Beliau memiliki keterampilan klinik dan mengajarkan kepada
perawat lain yang bekerja dengannya. Pada zaman itu Rufaida sudah menerapkan pelayanan
keperawatan secara komprehensif yang mencakup Bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual. Peran
perawat yang ditampilkan oleh Rufaida merupakan sentuhan manusia, dan perawatan yang
dilakukan oleh Beliau adalah prinsif gcaring (penuh perhatian, tulus iklas dan atau kasih
sayang).

Rufaida adalah pionir keperawatan muslim yang pertama, mendirikan sekolah perawat
pertama kali dan telah mengembangkan kode etik dan etika keperawatan sebelum periode
Florence Nigtingale. Beliau sudah dikenal oleh dunia sehingga tidak salah kalau nama Rufaida
diabadikan dalam pendidikan keperawatan seperti The Rufaida Collegge of Nursing, New Delhi
di India (sumber; Jan R, 1995. Rufaida Al-Aslmiy, The first muslim nurse. The Journal of Nursing
Scholarship).
suriadi"
ETIKA PERAWAT ISLAM

Etika perawat yang Islami adalah karakter atau sifat perawat terhadap orang lain
termasuk klien/pasien di rumah sakit, dimana seseorang perawat bertindak seperti halnya
perawat yang professional dengan berlandaskan sifat/sikap yang Islami.
Perawatan dapat dideskripsikan sebagai suatu tindakan, kebajikan pengaruh, suatu
prinsip etis atau suatu cara hidup di dunia. Perawatan sebagai etik tidak hanya dipandang
sebagai suatu revolusi dilemma etik, tetapi juga sebagai cara bagaimana seseorang saling
bertingkah laku. Etik perawat dihubungkan dengan hubungan antar masyarakat dan dengan
karakter serta sikap perawat terhadap orang lain, dan tidak kalah pentingnya adalah perlakuan
perawat yang harus bisa berlandaskan dengan ajaran dan syariat islam.
Seorang perawat professional akan memiliki perasaan empati pada orang lain. Perawat
harus bias memahami situasi yang dialami orang lain dan mencoba sebanyak mungkin
memahami kehidupan dan pengalaman orang lain. Pemberi perawatan professional akan
mampu melakukan perubahan pada diri sendiri dan terutama pada orang lain apalagi bila
semua tindakan perawatan berlandaskan pada kode etik dan ajaran islam.
Masalah yang timbul dalam dunia kesehatan terutama pada perawat yang melakukan
tindakan medis dalam merawat orang lain adalah karena tidak memiliki landasan akhlak yang
diajarkan. Sehingga menimbulkan kesalan besar pada persepsi mayarakat tentangnya. Tanpa
kode etik dan dasar moral, perawatan dapat dengan mudah terkikis di lingkungan yang
menekankan penyembuhan tehnis dan tidak melihat seseorang dalam konteks nilai dan
kehidupan tertentu.
Terdapat beberapa kode untuk perawat professional yang semuanya merefleksikan
autonomi (penentuan nasib diri oleh klien), kemurahan hati dengan bertindak baik,
nonmaleficiency (penghindaran dari bahaya), keadilan dimaksudkan dengan memperlakukan
semua secara adil, serta prinsip sekunder dari kejujuran dengan berbicara sejujurnya
berdasarkan kebenaran yang ada, dan kesetiaan memegang janji dan tidak menyebarluaskan
kerahasiaan klien sebagai penghormatan pada klien. Semua ini pun berkaitan erat dengan
ajaran islam yang selalu memerintahkan setiap manusia untuk hidup saling menghargai dan
menolong dengan yang lainnya dalam keadaan membutuhkan pertolongan. “ tolong –
menolonglah kamu dalam kebajikan, janganlah kamu tolong menolong dalam kejahatan”
Dan ayat yang menyebutkan: “Barang siapa menyelamatkan satu nyawa, maka seolah-olah ia
telah menyelamatkan umat manusia seluruhnya “ QS Al-Maidah,5:32 ,

Sistem pelayanan kesehatan yang Islamai dapat tercipta bila faktor-faktor dibawah ini
mendukung:
 Petugas kesehatan: (baik dokter, perawat, paramedic, petugas-petugas maupun
bagian administrasi)
- berakhlak dan berprilaku islami
- ramah ( senyum sebagian dari iman)
- memiliki sifat yang memenuhi 4 konsep akhlak dalam islam : yaitu farirnest
(adil), accountabilitas/amanah (bertanggung jawab), transparency ( jujur),
concistent (istiqamah)}
- dapat menahan hawa nafsunya
- menolong berdasarkan atas habluminannas dan habluminnAllah.
- Sebisa mungkin/ diusahakan agar dokter atau perawat memeriksa dan
merawat pasien yang sudah baligh sesama jenis ( laki-laki dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan, kecuali anak-anak yang belum mengerti)
Berdasarkan yang tertera dalam Al- Quran
Surat An-nur ayat 30-31:
Ayat 30: “katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman”hendaklah mereka
menahan pandangannyadasn memelihara kemaluannya, yang demikian itu adlah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat.””
Ayat ke 31:“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘ hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaklah
mereka meutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra2 mereka, atau putra2
suami mereka, atau sudara laki2 mereka, atau putra2 saudara laki2 mereka, atau
putra2 saudara perempuan mereka, atau wanita2 islam, atau budak2 yang
mereka miliki, atau pelayan2 laki2 yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak2 yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orant yang
beriman supaya kamu beruntung.”
ETIKA KEPERAWATAN
A. Latar Belakang

Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada
kesejahtraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun
yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-hariya. Salah satu yang mengatur
hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara
bergantian.

Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang
menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak
manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari
prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all,
1982).

Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat
memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang
dibutuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan
keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan dan setiap
penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata
tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang
yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan
suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)

Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Gallo, 1997). Dalam
pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana tercantum dalam
sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan.

TINJAUAN PUSTAKA

Kemajuan ilmu dan teknologi terutama dibidang biologi dan kedokteran telah menimbulkan
berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi
( catalano, 1991). 

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang
yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan
suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001)

Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah,
kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. 
Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral kedalam situasi nyata dan
berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak
dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang
menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya dengan
kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI. 

Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu
standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu
organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku
personal

Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau
salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan
praktek profesional

Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan asuhan yang berkualitas
berdasarkan standar perilaku yang etis dalam praktek asuhan profesional. Pengetahuan tentang
perilaku etis dimulai dari pendidikan perawat atau bidan, dan berlanjut pada diskusi formal
maupun informal dengan sejawat atau teman. Perilaku yang etis mencapai puncaknya bila
perawat atau bidan mencoba dan mencontoh perilaku pengambilan keputusan yang etis untuk
membantu memecahkan masalah etika. Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali
menggunakan dua pendekatan: yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan pendekatan
berdasarkan asuhan keperawatan /kebidanan

Pendekatan berdasarkan prinsip

Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika untuk menawarkan
bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress (1994) menyatakan empat pendekatan
prinsip dalam etika biomedik antara lain; (1) Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak
sebagai penghargaan terhadap kapasitas otonomi setiap orang: (2) Menghindarkan berbuat
suatu kesalahan; (3) Bersedia dengan murah hati memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan
segala konsekuensinya; (4) Keadilan menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi

Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam
bertindak. Contoh; seorang ibu yang memerlukan biaya untuk pengobatan progresif bagi
bayinya yang lahir tanpa otak dan secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati
kehidupan bahagia yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk
tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi dilain pihak
masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan diberikan kepada bayi yang masih
memungkinkan mempunyai harapan hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan
karena tidak ada satu metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip
mana yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang berlawanan.
Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik, hasilnya terkadang lebih
membingungkan. Hal ini dapat mengurangi perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu
yang penting dalam etika.

Terutama kemajuan di bidang biologi dan kedokteran, telah menimbulkan berbagai


permasalahan atau dilema etika kesehatan yang sebagian besar belum teratasi (cakalano,
1991). Kemajuan teknologi kesehatan saat ini telah meningkatkan kemampuan bidang
kesehatan dalam mengatasi kesehatan dan memperpanjang usia. Jumlah golongan usia lanjut
yang semakin banyak, keterbatasan tenaga perawat, biaya perawatan yang semakin mahal, dan
keterbatasan sarana kesehatan, telah menimbulkan etika keperawatan bagi individu perawat
atau persatuan perawat ( Mc. Croskey, 1990 )

A. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan dilema etik


1. Etik
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik secara
sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia, 1971 )
2. Etik Keperawatan
Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku
dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan
keperawatan yang bersifat professional. Prilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari pasien,
perawat dan interaksi sosial dalam lingkungan.
3. Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip imum yang telah diterima oleh suatu
profesi. Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang
memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik yang
berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim
kesehatan lain, yang berfungsi untuk
• Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antara perawat, pasien, tenaga kesehatan lain,
masyarakat dan profesi keperawatan.
• Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
• Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan praktek
keperawatan.
• Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan ( Kozier & Erb, 1989 )
4. Dilema Etik
Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu
tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap
alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan
yang benara atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang
harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat
nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul
pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1985 ) dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik
tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat
tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.

B. Prinsip-Prinsip Moral Dalam Praktek Keperawatan


Prinsip moral merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu
sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan
dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu. ( John Stone, 1989 )
1. Autonomi
Autonomi berarti kemampuan untuk menentukan sendiri atau mengatur diri sendiri, berarti
menghargai manusia sehingga memperlakukan mereka sebagai seseorang yang mempunyai
harga diri dan martabat serta mampu menentukan sesuatu bagi dirinya.
2. Benefesience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan pasien atau tidak
menimbulkan bahaya bagi pasien.
3. Justice
Merupakan prinsip moral untuk bertindak adil bagi semua individu, setiap individu mendapat
pperlakuan dan tindakan yang sama. Tindakan yang sama tidak selalu identik tetapi dalam hal
ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan hidup seseorang

4. Veracity
Merupakan prinsip moral dimana kita mempunyai suatu kewajiban untuk mengatakan yang
sebenarnya atau tidak membohongi orang lain / pasien. Kebenaran merupakan hal yang
fundamental dalam membangun suatu hubungan denganorang lain. Kewajiban untuk
mengatakan yang sebenarnya didasarkan atau penghargaan terhadap otonomi seseorang dan
mereka berhak untuk diberi tahu tentang hal yang sebenarnya.
5. Avoiding Killing
Merupakan prinsip yang menekankan kewajiban perawat untuk menghargai kehidupan. Bila
perawat berkewajiban melakukan hal-hal yang menguntungkan (Benefisience ) haruskah
perawat membantu pasien mengatasi penderitaannya ( misalnya akibat kanker ) dengan
mempercepat kematian ? Kewajiban perawat untuk menghargai eksistensi kemanusiaan yang
mempunyai konsekuensi untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan dengan berbagai
cara.
6. Fedelity
Merupakan prinsip moral yang menjelaskan kewajiban perawat untuk tetap setia pada
komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien. Kewajiban ini meliputi meenepati janji, menyimpan rahasia dan “caring “

C. Kerangka Proses Pemecahan Masalah Dilema Etik


Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya
menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah, antara lain :
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 1989 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
• Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
• Apa tindakan yang diusulkan
• Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
• Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan

3. Model Murphy dan Murphy


a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum
untuk perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi
tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.

4. Model Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan masalah
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan.
f. Memecahkan dilema
g. Melaksanakan keputusan

5. Model Levine – Ariff dan Gron


a. Mendefinisikan dilema
b. Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan.
c. Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayana
• Pasien dan keluarga
• Faktor-faktor eksternal
d. Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu
e. Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi
f. Identifikasi pengambil keputusan
g. Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik
h. Tentukan alternatif-alternatif
i. Menindaklanjuti

6. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)


Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan

7. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981) mengusulkan 10 langkah model


keputusan bioetis
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,
komponen etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

D. Strategi Penyelesaian Masalah Etik


Dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan etis, antara perawat dan dokter tidak
menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Bila ini berlanjut dapat menyebabkan
masalah komunikasi dan kerjasama, sehingga menghambat perawatan pada pasien dan
kenyamanan kerja. (Mac Phail, 1988)
Salah satu cara menyelesaikan permasalahan etis adalah dengan melakukan rounde ( Bioetics
Rounds ) yang melibatkan perawat dengan dokter. Rounde ini tidak difokuskan untuk
menyelesaikan masalah etis tetapi untuk melakukan diskusi secara terbuka tentang
kemungkinan terdapat permasalahan etis.
 
Eutanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian)
yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali
menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-
300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya
pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah
suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan

Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga
dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara
terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak
mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.
Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan
dengan pembunuhan.
• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki
hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal kontroversial.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
• Eutanasia hewan
• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif
secara sukarela
Eutanasia di berbagai Negara
1. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien
yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang
pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat
yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan
tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah
satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur
secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun
kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam
Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya
sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa
60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasi
2. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia,
undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang menjadikan
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life
International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak
tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis)
dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor
semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai
betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum

3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara
bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani
dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan
Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-
BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan
nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian
halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat
dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara
formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh
siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini
tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP
Eutanasia menuruit pandangan agama
1. Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:
66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga
Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan Euthanasia (tindakan
mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia itu kan pembunuhan,"
kata KH Ma`ruf Amin 
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI telah
lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan
mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita
tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin di Jakarta,
Jumat (22/10). 
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.
Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang
sangat khusus. 

Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi
ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat
peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya
dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan. 

Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan "euthanasia", dia menjelaskan
dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang
tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang
tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. "Hak untuk mematikan
seseorang ada pada Allah SWT," ujarnya menambahkan. 

Ketua komisi fatwa MUI itu mengatakan, MUI akan menjelaskan dan mengeluarkan fatwa
pelarangan euthanasia tersebut, apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau institusi lainnya
menanyakan kepada MUI. Dia menjelaskan, kasus permohonan euthanasia memang belum
pernah terjadi di Indonesia, tetapi MUI telah menetapkan fatwa pelarangan tersebut setelah
melakukan diskusi dan pembahasan tentang permasalahan euthanasia yang terjadi di luar
negeri. 
2. Kristen
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup
pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana
perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab
moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan
harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh
diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan
kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut

BAB III
TINJAUAN KASUS

Illustrasi kasus
Seorang wanita berusia 40 tahun menderita tumor dia menolak untuk di obati di karenakan
biaya yang kurang mencukupi, namun dia pernah mendatangi puskesmas terdekat untuk
berobat dan konsultasi untuk menyelamatkan hidup nya, maka di perlukan suatu operasi
dengan segera. Tetapi dia tetap saja menolak untuk dioperasi dengan alas an tidak adanya
biaya, tidak inggin orang lain (anak-anak nya) susah akan keberadaannya seperti itu dan
membiarkan tumor itu menjadi besar hingga ia meninggal.
Anak-anak nya pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menghargai keputusan ibunya
walaupun dengan berat hati. Begitu pula suaminya dia bekerja hanya sebagai kuli yang hanya
cukup untuk keperluan sehari-hari saja.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Dilema Etik


Kerangka pemecahan dilema etik, menurut kozier and Erb (1989)
1. Mengembangkan Data Dasar
a. Orang-orang yang terlibat dalam dilema etik tersebut : klien, suami, anak, perawat,
rohaniawan
b. Tindakan yang diusulkan
Sebagai klien dia mempunyai otonomi untuk membiarkan penyakitnya menggerogoti tubuhnya
walaupun sebenarnya bukan hal itu yang di inginkannya. Dalam hal ini, perawat mempunyai
peran dalam pemberi asuhan keperawatan, peran advocad (pendidik) serta sebagai konselor
yaitu membela dan melindungi ibu tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian.
c. Maksud dari tindakan
Dengan memberikan pendidikan, konselor, advokasi di harapkan klien mau menjalani operasi
serta dapat membuat keputusan yang tepat terhadap masalah yang saat ini dihadapi.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan
1) Operasi dilaksanakan
• Biaya 
Biaya yang dibutuhkan klien cukup besar untuk dilaksanakannya operasi
• Psikososial
Pasien merasa bersyukur diberi umur yang panjang (bila operasi itu lancar dan baik) namun
klien juga dihadapkan pada kecemasan akan kelanjutan hidupnya bila ternyata operasi itu gagal
serta biaya-biaya yang akan di keluarkan.
• Fisik 
Klien mempunyai bentuk tubuh yang normal tidak terdapat pembesaran dalam tubuhnya
(perut) dan bila dibiarkan begitu saja cepat atau lambat akan terjadilah kematian
2) Bila operasi tidak dilaksanakan
• Biaya
Tidak mengeluarkan biaya apa-apa
• Psikososial
Klien dihadapkan pada suatu ancaman kematian terjadi kecemasan dan rasa sedih dalam
hatinya
• Fisik 
Timbulnya pembesaran di daerah abdomen

2. Identifikasi Komplik Akibat Situasi Tersebut


a. Untuk memutuskan apakah operasi dilakukan pada wanita tersebut, perawat dihadapkan
pada konflik tidak menghormati otonomi klien
b. Apabila tindakan operasi tidak di lakukan perawat dihadapkan pada konflik :
1. tidak melaksanakan sumpah profesi
2. tidak melaksanakan kode etik profesi dan prinsip-prinsip moral : advokasi,benefesience,
justice, avoiding, killing.
3. tidak melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan
4. perasaan bersalah (quilty) akibat tidak melaksanakan tindakan operasi yang memungkinkan
timbulnya kematian.
3. Tindakan Alternatif Terhadap Tindakan Yang Diusulkan
a. mengusulkan dalam tim yang terlibat dalam masalah klien untuk dilakukannya operasi,
konsekuensi :
1. usul diterima atau ditolak aleh tim dan pihak yang terlibat dalam penanganan klien
2. mungkin klien secara psikologis akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan akan
kehidupan ini
3. resiko pengeluaran biaya yang tak terduga/ tidak dapat diprediksi
b. mengangkat dilema etik ini kepada komisi etik keperawatan yang lebih tinggi untuk
mempertimbangkan apakah operasi ini dilakukan atau tidak konsekuensi :
1. mungkin memperoleh tanggapan yang memuaskan
2. mungkin memperoleh tanggapan yang kurang memuaskan
3. tidak tertutup kemungkinan untuk tidak di tanggapi sama sekali
c. meminta izin kepada pimpinan lembaga pelayanan kesehatan (klinik kesehatan) untuk
menyampaikan informasi mengenai kondisi klien yang sebenarnya. Konsekuensi :
1. koordinator lembaga pelayanan menyetujui atau menolak
2. klien meperoleh informasi dan dapat memahami kondisinya, serta dapat mengambil sikap
untuk memutuskan tindakan yang terbaik untuk dirinya.
3. kondisi psikologis klien lebih baik atau bertambah buruk karena responnya terhadap
informasi yang diperoleh
4. Menetapkan Siapa Pembuat Keputusan
  Pada kasus wanita tersebut merupakan masalah yang komplek dan rumit, membuat
keputusan dilakukan operasi atau tidak dapat diputuskan oleh pihak tertentu saja tetapi harus
diputuskan secara bersama-sama.
a. pengambilan keputusan harus melibatkan tim yang terkait dan klien
b. keputusan dibuat untuk :
1. pihak yang terkait dengan wanita tersebut untuk melakukan operasi atau tidak
2. klien, keputusan yang dibuat dapat memperoleh kepastian apakah dilakukan operasi atau
tidak.
c. kriteria penetapan siapa pembuat keputusan
1. Tim
Kumpulan dari beberapa pihak yang berkepentingan dan yang paling memahami kondisi fisik
dan psikologis klien. Masalah yang dihadapi Sangay komplek dan rumit yang tidak hanya
memerlukan pertimbangan ilmiah, tetapi juga pertimbangan etik sehingga pembuat keputusan
akan lebih bijaksana dilakukan oleh tim.
2. klien
klien ádalah orang yang paling berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang dibuat oleh
klien bisa berubah secara tiba-tiba yang akan mempengaruhi keputusan tim
3. keluarga
keterlibatan keluarga dalam upaya penyelesaian masalah cukup menentukan mengingat secara
ekonomis klien masih Belem mendapatkan biaya diperoleh darimana sehingga keluarga
mempunyai peranan yang cukup menemtukan masalah
d. prinsip moral yang ditekankan berdasarkan prioritas dalam kasus ini :
1. otonomi
2. benefesiensi
3. justice
4. avoiding killing
5. Mengidentifikasi Kewajiban Perawat
a. menghindari klien dari ancaman kematian
b. menghargai otonomi klien dan berusaha menyeimbangkan dengan tanggung jawab pemberi
pelayanan kesehatan
c. menghindarkan klien dari tindakan yang tidak menguntungkan bagi dirinya
d. melaksanakan prinsip-prinsip kode etik keperawatan
e. membantu sistem pendukung yang terlibat
6. Membuat keputusan 
Keputusan yang dapat diambil sesuai dengan hak otonomi klien dan dari pertimbangan tim
kesehatan, sebagai seorang perawat, keputusan yang terbaik adalah dilakukan operasi berhasil
atau tidak itu adalah kehendak yang maha kuasa sebagai manusia setidaknya kita telah
berusaha.

Syukron Katsiroh…………

Anda mungkin juga menyukai