Sc
1. PENDAHULUAN
Setiap operasi penambangan memerlukan jalan tambang sebagai sarana infrastruktur yang
vital di dalam lokasi penambangan dan sekitar-nya. Jalan tambang berfungsi sebagai penghubung
lokasi-lokasi penting, antara lain lokasi tambang dengan area crushing plant, pengolahan bahan
galian, perkantoran, perumahan karyawan dan tempat-tempat lain di wilayah penambangan.
Konstruksi jalan tambang secara garis besar sama dengan jalan angkut di kota. Perbedaan
yang khas terletak pada permukaan jalannya (road surface) yang jarang sekali dilapisi oleh aspal
atau beton seperti pada jalan angkut di kota, karena jalan tambang sering dilalui oleh peralatan
mekanis yang memakai crawler track, misalnya bulldozer, excavator, crawler rock drill (CRD), track
loader dan sebagainya. Untuk membuat jalan angkut tambang diperlukan bermacam-macam alat
mekanis, antara lain:
Ü bulldozer yang berfungsi antara lain untuk pembersihan lahan dan pembabatan, perintisan
badan jalan, potong-timbun, perataan dll;
Ü alat garu (roater atau ripper) untuk membantu pembabatan dan meng-atasi batuan yang agak
keras;
Ü alat muat untuk memuat hasil galian yang volumenya besar;
Ü alat angkut untuk mengangkut hasil galian tanah yang tidak diperlukan dan membuangnya di
lokasi penimbunan;
Ü motor grader untuk meratakan dan merawat jalan angkut;
Ü alat gilas untuk memadatkan dan mempertinggi daya dukung jalan;
Seperti halnya jalan angkut di kota, jalan angkut di tambang pun harus dilengkapi
penyaliran (drainage) yang ukurannya memadai. Sistem penyaliran harus mampu menampung air
hujan pada kondisi curah hujan yang tinggi dan harus mampu pula mengatasi luncuran partikel-
partikel kerikil atau tanah pelapis permukaan jalan yang terseret arus air hujan menuju penyaliran.
Apabila jalan tambang melalui sungai atau parit, maka harus dibuat jembatan yang konstruksinya
mengikuti persyaratan yang biasa diterapkan pada konstruksi jembatan umum di jalan kota. Parit
yang dilalui jalan tambang mungkin dapat diatasi dengan pemasangan gorong-gorong (culvert),
kemudian dilapisi oleh campuran tanah dan batu sampai pada ketinggian jalan yang dikehendaki.
yang lebih lebar akibat jejak ban depan dan belakang yang ditinggalkan di atas jalan melebar. Di
samping itu, perhitungan lebar jalan pun harus mempertimbangkan jumlah lajur, yaitu lajur tunggal
untuk jalan satu arah atau lajur ganda untuk jalan dua arah.
Tabel 1
Lebar Jalan Angkut Minimum
JUMLAH LAJUR LEBAR JALAN
PERHITUNGAN
TRUCK ANGKUT MIN.
1 1 + (2 x ½) 2,00
2 2 + (3 x ½) 3,50
3 3 + (4 x ½) 5,00
4 4 + (5 x ½) 6,50
Dari kolom perhitungan pada Tabel 1 dapat ditetapkan rumus lebar jalan angkut minimum
pada jalan lurus. Seandainya lebar kendaraan dan jumlah lajur yang direncanakan masing-
masing adalah Wt dan n, maka lebar jalan angkut pada jalan lurus dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Dengan demikian, apabila lebar truck 773D-Caterpillar antara dua kaca spion kiri-kanan 5,076
m, maka lebar jalan lurus minimum dengan lajur ganda adalah sebagai berikut:
L min = n.Wt + (n + 1) (½.Wt)
= 17,77 m ≈ 18 m
CATERPILLAR
778 778
Tanggul
Parit
L min
• Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat
Misalnya akan dihitung lebar jalan membelok untuk dua lajur truck 773D-Caterpillar. Lebar
sebuah ban pada kondisi bermuatan dan bergerak pada jalan lurus adalah 0,70 m. Jarak
antara dua pusat ban 3,30 m. Pada saat membelok meninggalkan jejak di atas jalan selebar
0,80 m untuk ban depan dan 1,65 m untuk ban belakang. Bila jarak antar truck sekitar 4,50 m,
maka lebar jalan membelok adalah sebagai berikut:
Fa
Z
U
Fb
Fa
Fb
U
W
Z
• Jari-jari tikungan
normal.
Jari-jari tikungan jalan angkut berhubungan dengan konstruksi alat angkut yang digunakan,
khususnya jarak horizontal antara poros roda depan dan belakang. Gambar 3 memperlihatkan
jari-jari lingkaran yang dijalani oleh roda belakang dan roda depan berpotongan di pusat C
dengan besar sudut sama dengan sudut penyimpangan roda depan. Dengan demikian jari-jari
belokan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
β
W = jarak poros roda depan dan belakang, m
= sudut penyimpangan roda depan, °
C
Gambar 3. Sudut Maksimum Penyimpangan Kendaraan
VR adalah kecepatan kendaraan rencana dan hubungannya emak dan fmak terlihat pada Gambar
4, dimana titik-titik 1, 2 dan 3 pada kurva tersebut adalah harga emak 6%, 8% dan 10%. Untuk
pertimbangan perencanaan, digunakan emax = 10%. Dengan menggunakan rumus (5) dapat
dihitung jari-jari tikungan minimal (Rmin) untuk variasi VR dengan konstanta emax = 10%
serta harga fmax sesuai kurva pada Gambar 4. Hasil perhitungan terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Jari-Jari Tikungan Minimum Untuk emak = 10%
0,20
0,18
0,14
0,12
0,10
0,08
20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Gambar 4. Kurva Koefisien Gesek Untuk emax 6%, 8% dan 10% (menurut AASHTO)
∆
PI
T E
L
TS ST
R ½∆ ½∆ R
O
Gambar 5. Komponen-komponen Tikungan “FC”
kecepatan (km/jam), sudut ∆ diukur dari Gambar(°) dan jari-jari (m). Sedangkan panjang
Parameter-parameter yang ditetapkan di dalam merancang tikungan FC meliputi
T = R tan ½ ∆………………………….(8)
E = T tan ¼ ∆…………………………..(9)
L = 0,01744 ∆ R…………………………(10)
Batasan yang dipakai di Indonesia dengan menggunakan tikungan bentuk lingkaran (FC)
adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Batas Tikungan Bentuk “FC”
Dari Gambar 6 terlihat bahwa TS-SC atau CS-ST adalah panjang lengkung spiral atau
peralihan (Ls), sedangkan SC-CS adalah lengkung lingkaran dengan jari-jari Rc (Lc). Dengan
demikian panjang tikungan adalah:
Ltot = 2 Ls + Lc…………………………(13)
Parameter-parameter lain yang terdapat pada Gambar 6 dapat diterangkan sebagai berikut:
PI
Ts Es
Ys
»SC »
CS
Xs
Rc Rc
θs
k
θs θs
p
» ∆ »ST
TS
Xs = absis titik SC pada garis singgung jarak dari titik TS ke SC (jarak l lurus dari garis
lengkung peralihan).
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis singgung (jarak tegak l lurus ke titik
SC pada garis lengkung peralihan).
Ts = panjang garis singgung dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.
TS = titik antara garis lurus (singgung) dan spiral.
SC = titik antara spiral dan lingkaran.
θs
Es = jarak dari PI ke busur lingkaran.
= sudut lengkung spiral.
Rc = jari-jari lingkaran.
p = pergeseran garis singgung terhadap spiral.
k = absis dari p pada garis singgung spiral.
• Superelevasi
Pada jalan yang membelok, badan jalan dimiringkan ke arah titik pusat belokan yang disebut
superelevasi. Superelevasi berhubungan erat dengan jari-jari belokan, kecepatan kendaraan
dan perubahan kecepatan (0,40 m/det³) seperti terlihat pada persamaan (12). Superelevasi
dicapai secara bertahap dari kemiringan normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke
kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian jalan yang lengkung (Gambar 7).
Pada tikungan tipe S-C-S, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear dari bentuk normal
sampai titik TS kemudian awal lengkung peralihan sepanjang Ls dan akhirnya sampai pada
superelevasi penuh sepanjang Lc. Sedangkan pada tikungan tipe FC, pencapaian
superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 LS sampai
dengan bagian lingkaran penuh 1/3 Ls. Metoda untuk mencapai superelevasi yaitu dengan
membuat diagram superelevasi, baik untuk tikungan tipe FC maupun S-C-S seperti terlihat
pada Gambar 7.a dan Gambar 7.b.
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar
dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Harga landai relatif
disesuaikan dengan kecepatan rencana (VR) dan jumlah lajur yang tersedia. Persamaan (22)
dipakai untuk menghitung landai relatif dan Tabel 4 merupakan hasil perhitungan landai relatif
dengan variasi kecepatan.
Tabel 4
Landai Relatif Maksimum (untuk 2/2TB)
VR , km/jam 20 30 40 50 60 80
Kemiringan
1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150
Maksimum
2/3 Ls 1/3 Ls
sisi luar tikungan
e mak
e = 0%
enormal
en en en en
sisi dalam tikungan
e = 0% en e = 0%
en
en en
emak
emak
BAGIAN BAGIAN
BAGIAN LENGKUNG LENGKUNG BAGIAN
LURUS PERALIHAN BAGIAN LENGKUNG PENUH PERALIHAN LURUS
Ls Lc Ls
e = 0%
enormal
en en en en
sisi dalam tikungan
e = 0% en e = 0% en
en en
emak emak
Tabel 5
Kemiringan Maksimum Vs Kecepatan (data dari Bina Marga 1)
Pada jalan mendaki juga diperlukan adanya panjang kemiringan (kelandaian) kritis, yaitu suatu
jarak maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh VR. Lama
perjalanan pada jarak kritis tidak lebih dari 1 menit.
Tabel 6
Jarak Miring Kritis (meter), data dari Bina Marga 2)
b
α
a a
KETERANGAN :
1 Permukaan jalan angkut a Jarak horizontal
α Cross slope
2 Bidang horizontal b Tinggi vertikal pada poros memanjang jalan
Angka cross slope dinyatakan dalam perbandingan jarak vertikal (b) dan horizontal (a) dengan
satuan mm/m atau m/m’ (lihat rumus 22). Jalan angkut yang baik memiliki cross slope antara 1/50
sampai 1/25 atau 20 mm/m sampai 40 mm/m.
Yang sering digunakan dalam perkerasan jalan tambang adalah pengujian CBR yang
dikembangkan oleh California State High-way Department. Hasil pengujian CBR di laboratorium
mekanika tanah diplot ke dalam kurva CBR seperti terlihat pada Gambar 9. Hasil yang diharapkan
dari kurva CBR adalah ketebalan lapisan-lapisan perkerasan di atas sub-grade sesuai dengan
jenis-jenis tanah atau material yang digunakan untuk perkerasan jalan tersebut. Contoh
penggunaan kurva CBR diberikan sebagai berikut:
Suatu konstruksi jalan tambang akan dibuat di atas lapisan sub-grade berjenis lempung-lanauan dengan plastisitas
sedang (silty clay of medium plasticity) dengan harga CBR 5. Truck atau wheel loader yang melewati jalan tersebut
mempunyai berat maksimum 40.000 lbs. Disekitar jalan terdapat banyak pasir yang agak bersih dengan harga
CBR 15 yang dapat digunakan untuk lapisan diatasnya (sub-base). Diatas sub-base adalah lapisan permukaan
(road surface) yang dilapisi krakal yang baik (good gravel) dengan harga CBR 80. Berapa tebal lapisan sub-base
dan road surface agar daya dukung lapisan sub-grade stabil.
Jawaban:
Step A: Dari titik harga CBR lapisan sub-grade = 5 ditarik garis vertikal ke bawah hingga memotong kurva
lengkung berat kendaraan 40.000 lbs. Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat
“ketebalan sub-base” dan diperoleh angka tebal 28 inci. Artinya, bahwa ketebalan permukaan jalan akhir
paling tidak harus 28 inci di atas sub-grade.
Step B: Kemudian pasir bersih dengan CBR 15 dipotongkan dengan kurva lengkung berat kendaraan 40.000 lbs.
Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat “ketebalan sub-base” dan diperoleh
angka tebal 14 inci. Artinya, bahwa ketebalan material pasir bersih harus tetap 14 inci di bawah permukaan
jalan.
Step C: Perpotongan antara harga CBR krakal yang baik 80 dengan berat kendaraan 40.000 lbs menghasilkan
ketebalan lapisan 6 inci dari ordinat “ketebalan sub-base”. Krakal yang merupakan material dipermukaan
akhir jalan harus disebar-kan tetap 6 inci.
Dari contoh soal di atas diperoleh manfaat bahwa: (a) harga CBR sub-grade menentukan
ketebalan total lapisan perkerasan, (b) jumlah lapisan perkeras-an jalan paling tidak ada dua lapis
di atas sub-grade, dan (c) berat kendaraan berpengaruh terhadap penentuan ketebalan
perkerasan. Tabel 6 memperlihatkan daya dukung beberapa material.
0
GVW
00
40
LEGEND FOR GROUP SYMBOLS
40 C : Clay
0
00
F : Fines (material less than 0.1 mm)
70
G : Gravel
H : High compressibility
50 L : Low to medium compressibility
00
> 400,000 lbs
00
M : Mo very fine sand, silt, rock flour
10
O : Organic
GVW
00
00 P : Poorly graded
60 Pt : Peat
12
S : Sand
W : Well graded
70
GP GW
GRAVEL GC
GF
Artificial soil
classification
SF
SAND SC
SP SW
OH CL
CH ML
CLAY & SILT
OL
MH
Flexible
Very poor Poor Fair Good Excellent
pavement
2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 40 50 60 70 80 100
Gambar 11. Kurva Perkerasan Lentur Untuk Menentukan Tebal Perkerasan Semua
dengan Harga CBR Material
Tabel 6
Daya Dukung Material
Capacity in
Material
1,000 lb/sqft
Hard Sound Rock 120
Medium Hard Rock 80
Hard Pan Overlaying Rock 24
Compact Gravel and Boulder-Gravel Formations; Very Compact Sandy Gravel 20
Soft Rock 16
Loose Gravel and Sandy Gravel; Compact Sand and Gravelly Sand; Very Compact Sand-Inorganic Silt Soils 12
Hard Dry Consolidated Clay 10
Loose Coarse to Medium Sand; Medium Compact Fine Sand 8
Compact Sand-Clay Soils 6
Loose Fine Sand; Medium Compact Sand-Inorganic Silt Soils 4
Firm or Stiff Clay 3
Loose Saturated Sand Clay Soils, Medium Soft Clay 2
Pada jalan tambang jarang sekali digunakan material aspal atau beton semen karena
pemanfaatan jalannya tidak terlalu lama atau selalu berpindah-pindah dalam tempo yang relatif
singkat mengikuti area penambangan. Namun, di lokasi perkantoran, fasilitas kesehatan atau
perumahan karyawan tetap digunakan material perkerasan dari aspal atau beton semen. Tabel 7
memperlihatkan karakteristik keempat jenis material perkerasan.
• Material berbutir
Material berbutir terdiri atas kerikil dari sungai atau agregat batuan hasil mesin pemecah batu
(crusher). Distribusi ukuran butir material tersebut harus mengikuti standar baku, baik ASTM,
AASHTO, NAASRA atau SNI, agardapat menghasilkan kestabilan secara mekanis dan dapat
dipadatkan. Dalam proses perkerasannya dapat pula ditambahkan aditif untuk menambah
kestabilan tanpa menambah kekakuan.
• Material terikat
Material terikat adalah material perkerasan yang dihasilkan dengan menambahkan semen,
kapur, atau zat cair lainnya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan bahan yang terikat.
Ikatan antar butir akan menghasilkan kuat tarik yang besar, sehingga diharapkan lapisan
perkerasan dapat menahan beban kendaraan dengan baik dan berumur pakai lama.
• Aspal
Aspal adalah kombinasi bitumen dengan agregat yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan
dalam kondisi campuran yang masih panas, sehingga terbentuk lapisan perkerasan. Kekuatan
aspal diperoleh dari gesekan antara partikel-agregat, viskositas bitumen pada saat pelaksana-
an perkerasan, kohesi dalam massa bitumen, dan adhesi antara bitumen dengan agregat.
Adapun kegagalan perkerasan aspal yang umum terjadi adalah akibat stabilitas yang kurang
sehingga terjadi deformasi permanen, atau akibat kelelahan sehingga terjadi retakan-retakan.
• Beton semen
Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan semen PC secara basah. Lapisan beton
semen dapat digunakan sebagai lapisan fondasi bawah pada perkerasan lentur dan kaku dan
sebagai lapisan fondasi atas pada perkerasan kaku.
Sebagai lapisan fondasi bawah, beton semen dapat dituangkan begitu saja di atas lapisan sub-
grade yang jelek (poor sub-grade) tanpa digilas., Beton semen harus memiliki kuat tekan
minimum 5 MPa setelah 28 hari jika menggunakan campuran abubatu (flyash) dan jika tanpa
abubatu kuat tekan minimumnya 7 MPa.
Pada perkerasan kaku memang selalu menggunakan beton semen sebagai lapisan atau
landasan fondasi atas. Prinsip parameter perencanaan fondasi beton didasarkan atas kuat
lentur rencana 90 hari. Setelah 90 hari diestimasi bahwa kuat lentur fondasi cukup stabil pada
ketebalan perkerasan yang telah diperhitungkan.
Tabel 7
Karekteristik dan Kategori Material Perkerasan
KARAK- KATEGORI MATERIAL PERKERASAN
TERISTIK BUTIRAN LEPAS TERIKAT ASPAL BETON SEMEN
Jenis Material • Batu pecah • Material yang dista-bilisasi • Baton aspal Beton semen
• Krikil/krakal dengan kapur • Aspal
• Agregat tanah • Material yang dista-bilisasi
• Material yang distabilisasi secara dengan semen
mekanis • Material yang dista-bilisasi
• Material yang dista-bilisasi dengan dengan kapur/flyash
bitumen • Material yang dista-bilisasi
• Material yang dista-bilisasi secara dengan abubatu
kimiawi
• Material yang dimodifikasi: semen,
kapur, abubatu dan flyash
Sifat dasar • Pembentukan kuat geser melalui • Pembentukan kuat geser • Pembentukan • Pembentukan
gaya interlock antar partikel melalui gaya interlock dan kuat geser kuat geser melalui
• Tidak ada gaya tarik yang berarti ikatan kimiawi melalui gaya ikatan kimiawi dan
• Terjadi gaya tarik yang berarti interlock antar interlock antar
partikel dan partikel
kohesi • Terjadi gaya tarik
• Terjadi gaya yang sangat
tarik yang berarti
berarti
• Peka
terhadap suku
Model • Deformasi terjadi akibat geser dan • Pembentukan retak melalui • Retak Retak terjadi akibat
keruntuhan kepadatan penyusutan, kelelahan dan terbentuk penyusutan,
• Disintegrasi terjadi melalui kelebihan beban akibat kelelahan dan erosi
perpecahan • Terjadi erosi dan pemuaian kelelahan dan dari lapisan fondasi
akibat ada air kelebihan bawah
beban
• Deformasi
tetap
Masukan • Modulus elastisitas • Modulus elastisitas • Modulus • Kuat lentur 90
parameter • Nisbah Poisson • Nisbah Poisson elastisitas atau 28 hari
untuk • Derajat anisotropi • Nisbah • Kuat tekan 28 hari
perenca-naan Poisson
Kriteria Spesifikasi material umum Hubungannya dengan Hubungannya Hubungannya
penampil-an kelelahan dengan dengan kelelahan
kelelahan dan kuat beton
\ Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda yang mempunyai stabilitas tinggi untuk
a. Lapis permukaan
\ Lapis kedap air, sehingga air hujan yang mengalir diatasnya tidak meresap kedalamnya
menahan roda selama masa pelayanan
\ Sebagai lapis aus (wearing course), artinya lapisan yang langsung menderita gesekan
dan tidak pula melemahkan lapisan tersebut.
\ Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
akibat rem kendaraan, sehingga mengakibatkan keausan ban.
\
menyebarkannya ke lapisan dibawahnya.
\
Sebagai lapis peresapan untuk lapisan dibawahnya.
Sebagai bantalan bagi lapis permukaan.
\ Merupakan bagian perkerasan untuk menyebarkan beban roda kendaraan ke tanah dasar.
c. Lapis fondasi bawah
\ Untuk mengurangi tebal lapisan diatasnya karena material atau bahan untuk fondasi
bawah umumnya lebih murah dibanding perkerasan diatasnya, sehingga dapat
\ Merupakan lapis pertama yang harus dikerjakan cepat agar dapat menutup lapisan tanah
dasar dari pengaruh cuaca, atau melemahkan daya dukung tanah dasar akibat selalu
¬ Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga dapat memberi kenyaman-an bagi
susunan lapisan tersebut, maka jalan diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Untuk memperoleh kualitas jalan yang memadai agar sesuai dengan karakteristik di atas, maka
jenis material dan tebal lapisan masing-masing susunan lapisan harus diperhatikan. Tabel 8
memperlihatkan batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan dan bahan yang digunakannya.
Tabel 8
Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan dan Bahan yang Digunakan
TEBAL
BAHAN
MINIMUM, cm
1. LAPIS PERMUKAAN
5 Lapis pelindung (butiran aspal)
5 Aspal makadam (LAPEN)
7,5 Aspal makadam (LAPEN)
7,5 LASBUTAG, LASTON
10 LASTON
¬ Kekuatan lapisan tanah dasar atau harga CBR atau angka Modulus Reaksi Tanah Dasar
Terdapat dua jenis lapisan perkerasan kaku, yaitu (1) perkerasan beton semen dan (2)
perkerasan dengan permukaan aspal. Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai
perkerasan yang mempunyai lapisan dasar beton dari Portland Cement (PC); sedangkan
perkerasan dengan permukaan aspal adalah salah satu dari jenis komposit. Adapun tipikal
susunan lapisan perkerasan kaku secara umum seperti terlihat pada Gambar 13.
Persamaan (23) untuk jalan datar dan (24) untuk jalan dengan kemiringan tertentu,
di mana: VR = kecepatan rencana, km/jam
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,50 detik
fp = koefisien gesek memanjang antara ban dengan perkerasan jalan,
menurut AASHTO = 0,28 – 0,45; menurut Bina Marga = 0,35 – 0,55
L = kemiringan jalan, %
Tabel 8 memperlihatkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan rumus (23) dengan
pembulatan-pembulatan.
Tabel 8
Jarak Pandang Henti (Jh ) Minimum
VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh min, m 250 175 120 75 55 40 27 16
Tabel 9
Ketentuan Tinggi Untuk Jarak Pandang
40 40
BATAS JARAK UNTUK
MENGHINDARI KEGAGALAN
0% 35 %
35 =1 PENGEREMAN =5
O PE OP
E
5% SL SL
5% %
30 = =1 30 10
1%
KECEPATAN, MILE/JAM
KECEPATAN, MILE/JAM
E E =
OP OP PE
=
SL SL
PE
O
SL
O
15%
1%
SL
25 25 E=
=
0% OP
PE
=2 SL
O
PE
20 SL
O
20 SL
20%
E=
OP
% SL
15 = 25 15
PE
SLO
25%
PE =
10 10 SLO
5. PENUTUP
Ketentuan-ketentuan yang sudah dipaparkan pada bab-bab terdahulu merupakan bahan
pertimbangan di dalam merancang jalan tambang. Ada kemungkinan pada pelaksanaan
pembuatan jalan tambang harus dirancang suatu perhitungan di luar ketentuan tersebut. Misalnya
dalam menentukan jari-jari tikungan minimum, di mana lebar truck tambang bisa mencapai 2 – 3
kali lipat lebar truck tronton sementara kecepatan rata-ratanya hanya berkisar 30 km/jam, maka
kemungkinan terjadi penyimpangan dari yang telah ditentukan oleh Bina Marga. Artinya adalah
perhitungan rancangan jalan tambang menjadi lebih sederhana, yaitu mengutamakan jari-jari
tikungan yang lebar dan aman untuk dua lajur tanpa harus mempertimbangkan secara serius
kecepatan trucknya. Berbeda dengan rancangan jalan angkut yang menghubungkan daerah di
luar konsesi tambang atau jalan yang dilalui oleh kendaraan umum menuju lokasi penambangan.
Untuk kondisi tersebut perhitungan yang telah diuraikan sebelumnya patut dilaksanakan.
Dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya dalam merancang jalan angkut tambang ekuivalen
dengan jalan umum dari Bina Marga. Pengalaman menunjukkan bahwa penyimpangan di dalam
merancang jalan di lokasi tambang umumnya terpaksa harus dilakukan karena:
ö
kecepatan rendah;
ö
areal panambangan atau pit terbatas, sementara lalulintas alat angkut padat;
jalan tambang hanya dipadatkan oleh buldozer dengan perkerasan seadanya dan tanpa
ö
lapisan permukaan permanen, sehingga perawatan menjadi sangat intensif;
akibat jalan yang selalu berubah, maka drainase jalan dibuat seperlunya.
Walaupun demikian, perhitungan untuk merancang jalan tambang tetap memperhatikan aspek
keselamatan kerja pengangkutan, yaitu dengan memasang rambu-rambu dan jalur pengelak.
Rambu-rambu lalulintas di jalan umum sebagian dapat diterapkan di sepanjang jalan tambang,
namun ada pula rambu-rambu yang bersifat khas lokasi tambang, misalnya “Dahulukan Alat-alat
Berat” , “Keep Right (Jalan disebelah kanan)”, “Gunakan Retarder”, atau rambu lain yang
disesuaikan dengan situasi tambang setempat.
REFERENSI
1. Anon., 1992, Caterpillar Performance Handbook, Caterpillar Inc, Peoria, Illinois.
2. Hays R. M, 1989, Dozer, “Surface Mining 2nd Edition”, B.A.Kennedy (Ed), Society for Mining,
Metallurgy, and Exploration, Inc., Colorado, pp.716–723.
3. Hays R. M., 1989, Truck, “Surface Mining 2nd Edition”, B.A.Kennedy (Ed), Society for Mining,
Metallurgy, and Exploration, Inc., Colorado, pp.672– 686.
4. Shirley L.H., 2000, Perencanaan Teknik Jalan Raya (Penuntun Praktis), Politeknik Negeri
Bandung-Jurusan Teknik Sipil, Bandung, 377 p.
5. Sunggono, K.H., 1995, Buku Teknik Sipil, Penerbit Nova, Bandung, pp 363 – 386.