mirisnya perilaku orang Indonesia pada umumnya saat 1998. Isu rasialisme menjadi topik utama
dari cerita pendek yang secara tidak langsung mengkritisi betapa parahnya diskriminasi etnis
Tionghoa pada saat itu. Hal rasialisme sangat tampak pada kutipan cerita:
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian. (kalimat ini
terkesan negatif atau lebih tepatnya rasis)
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan.
Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang
keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!”(padahal etnis
Tionghoa termasuk dalam etnis di Indonesia yang disebut “Tionghoa-Indonesia)
Cerita pendek yang sarat akan kritisme ini diawali dengan seorang petugas yang bertugas
untuk mencatat secara rinci tentang apa yang terjadi terhadap Clara. Di sini, Clara harus
menceritakan apa yang sudah menimpanya. Clara merupakan seorang wanita dengan etnis
Tionghoa yang mengurusi bisnis milik ayahnya yang nyaris bangkrut. Hal ini terbukti pada
paragraf:
Tiba-tiba saja ia memperoleh telepon dari ayahnya untuk tidak pulang dan segera
melarikan diri ke negeri lain saja. Ternyata, kompleks di mana keluarga Clara tinggal sudah
dikepung, api merah kejinggaan sudah berkobar-kobar di langit. Pupus sudah harapan keluarga
Clara untuk menyingsing esok hari.
Clara mengebut, membawa mobil BMW miliknya dengan liar di tengah jalan. Dia tiba-
tiba terhenti. Terdapat dua puluh lima laki-laki di depan. Seorang dari dua puluh lima orang
menyuruh Clara untuk membuka jendela mobil. Maka, mata mereka membesar seolah baru saja
melihat intan permata. Segeralah mereka memecahkan kaca, mengobrak-abrik barang milik
Clara, melihat foto pacarnya yang ternyata orang Jawa. Salah seorang dari kedua puluh lima itu
berseru-berseru dengan konotasi yang terkesan negatif dan satu-satu dari mereka bergiliran
memperkosa Clara hanya karena ia berasal dari etnis Tionghoa.
Petugas yang bertugas mencatat mungkin sebenarnya tak beda dengan kedua puluh lima
orang yang telah merebut keperawanan Clara. Bukankah sudah jelas bahwa Clara diperkosa? Ia
masih seolah meragukan kenyataan itu. Hal ini tampak sekali pada kutipan dialog berikut:
Petugas sendiri itu bahkan bernafsu bejat melihat tubuh Clara yang hanya terbungkus
kain. Ini menunjukkan jelas betapa “rusaknya” mindset orang-orang pada saat itu. Clara sudah
cukup menderita tetapi mengapa si petugas masih bisa berpikir demikian? Masih sempat saja
petugas memperhatikan hal-hal seperti itu. Nafsu bejat petugas itu dapat terlihat jelas di kutipan
cerita pendek sebagai berikut.
“Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak
menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya
dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya.”
Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang
babi — tapi aku mengenakan seragam.
Sebenarnya, justru ada kemungkinan juga petugas itu juga malah memperkosa Clara
kemudian. Hal itu disiratkan pada paragraf terakhir yakni:
“Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan.
Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan — semua
ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.”
Secara pendekatan Alkitab, rasialisme harusnya tidak pernah ada sejak awal. Semua etnis
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan (Kej 1: 26-27). Dalam Galatia 3:28,
disampaikan “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus
Yesus”. Alkitab pun sudah mendeklarasikan bahwa semua manusia ialah satu dalam Tuhan.
Entah apakah dia berbeda agama, suku maupun ras. Bukan agama, suku atau ras yang
memperbolehkan manusia masuk Surga, melainkan perbuatan baik di bumi dan imanlah yang
akan membawa manusia menuju keselamatan.
Isu etnis masih menjadi masalah hingga pada saat ini. Menurut pengalaman saya, isu
rasialisme ini memang masih ada hingga sekarang. Salah satu contohnya saat saya pernah
berlibur ke Papua, anak-anak kecil di sana entah tidak terdidik atau hanya sekedar “main-main”
tetapi kelewat batas. Saya dipanggil “ih, Cina! Ih, Cina!”. Saya diolok-olok walaupun mereka
tidak mengganggu saya secara fisik, hanya secara verbal. Selain itu mereka mengolok-ngolok
saya seolah saya tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia. Jadi mereka ketawa-ketawa sambil
berseru “cing cong cing cong” sambil menunjuk saya. Padahal Bahasa Mandarin juga bunyinya
tidak begitu melulu. Rasialisme masih ada di Indonesia. Kadang, Indonesia menjadi Negara yang
menjijikan karena berseru “persatuan” tetapi masih saja ada “rasialisme”. Munafik namanya.
Selain hal itu juga, isu rasialisme pernah terlihat di dalam jenjang pendidikan di Indonesia.
Formulir SNMPTN dulu pernah menanyakan suku/ras peserta didik dan sebagian besar peserta
didik beretnis Tionghoa dinyatakan gugur dalam SNMPTN padahal mereka adalah peserta didik
yang berprestasi dan kompenten. Sungguh, di mana itu “Persatuan” apabila terjadi perpecahan
hanya karena suku, ras dan agama? Masuk PTN saja, rasialisme menjadi penghalang. Semoga
Pancasila di Indonesia sungguh dihidupkan dan dihayati benar-benar. Bukan hanya dijadikan
pajangan hampa makna.
Saya menentang keras rasialisme. Cerita pendek “Clara” ini menunjukkan betapa
kelamnya Indonesia pada Mei 1998. Sungguh tidak menyenangkan dan tidak manusiawi.
Apakah kita memilih untuk terlahir sebagai orang Jawa? Apakah kita memilih untuk menjadi
orang Tionghoa, Makassar atau Manado? Semua itu bukan kita yang pilih. Kita terlahir demikian
dan kita semua memiliki hak, kodrat dan kewajiban yang sama. Kita semua memiliki hak untuk
hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Semua manusia tercipta menurut gambaran Allah.
Diskriminasi jenis kelamin, ras, suku dan agama harus segera dihentikan.