Anda di halaman 1dari 10

REVIEW JOURNAL

MATA KULIAH AGAMA ISLAM II

Wahyu dan Akal dalam Perspektif Al-Qur’an

DISUSUN OLEH :
Devia Citra Silviana 0419112331
Aura Pancar Nirmala 041911233117
Agita Carmina 0419112331
Rania Divia Nurrahmani 0419112331
Reina Larasati 041911233155

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021

I. Identitas
A. Judul : Wahyu dan Akal dalam Perspektif Islam
B. Jurnal : Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
C. Volume : 02
D. Tahun : 2018
E. Penulis: Ade Wahidin
F. SINTA: S4
II. Gap Penelitian
III. Novelty Penelitian
IV. Ringkasan Isi Jurnal

Salah satu makhluk yang mendapat keagungan kemuliaan Allah SWT adalah
manusia. Sisi kemuliaannya terletak pada perintah Allah SWT diabadikan dalam al-
Qur;an ketika Allah SWT memerintahkan semua yang hadir saat itu untuk sujud
kepada Nabi Adam. Di samping itu, bentuk pemuliaan yang paling agung lainnya
adalah anugerah akal yang Allah berikan kepada manusia. Hal ini disebutkan dalam
surat al-Isra ayat 70, yang menyatakan bahwa Allah SWT telah memuliakan dan
melebihkan manusia di atas hamba-hambanya yang lain.

Tetapi, dengan adanya akal, bisa jadi ia tidak difungsikan dengan baik dan malah
mengantarkan mereka kepada situasi buruk. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
akal itu memiliki potensi ganda, bisa membawa manusia ke arah positif, dan bisa juga
ke arah negatif. Maka, untuk meminimalisir dampak negatif dari adanya akal, Allah
menurunkan wahyunya.

1. Wahyu dalam Perspektif Etimologi dan al-Qur’an


a. Definisi Wahyu Secara Etimologi
i. Dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘petunjuk dari Allah
SWT yang diturunkan hanya kepada Nabi dan Rasul melalui
mimpi dsb.’
ii. Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-’Arab, wahyu dalam
bahasa Arab berasal dari kata al-Wahy yang berarti indikasi,
tulisan, pesan, ilham, dan ungkapan yang tersembunyi, serta
“Setiap yang saya sampaikan kepada selain engkau”
iii. Menurut Ibrahim Musthafa dkk dalam al-Mu’jam al-Washith,
artinya berkisar pada menunjuk, mengisyaratkan, berbicara
dengan perkataan yang tidak diketahui oleh orang lain.
Diartikan juga menulis, memerintahkannya, mengutus,
memberikan ilham, dan menurunkannya.
iv. Menurut al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, wahyu
secara bahasa diambil dari kata wahaitu ilai wa awhaitu yang
bermakna “Jika engkau berbicara kepada dia dengan ungkapan
yang tidak didengar oleh yang lainnya.. Dan kata al-wahy
adalah isyarat yang cepat, dan itu dapat direalisasikan berupa
simbol dan sindiran.
b. Wahyu dalam Perspektif al-Qur’an
i. Wahyu bermakna ilham fitri kepada manusia, seperti wahyu
Allah kepada ibunya Nabi Musa (al-Qashash ayat 7)
ii. Wahyu bermakna ilham naluri kepada binatang, seperti wahyu
kepada lebah (an-Nahl ayat 67)
iii. Isyarat cepat yang didemonstrasikan berupa simbol atau
lambang, seperti isyarat yang didemonstrasikan oleh Nabi
Zakariya dalam al-Qur’an (Maryam ayat 11)
iv. Wahyu bermakna bisikan setan dan menjadikan perbuatan
buruk terasa indah dalam jiwa manusia (al-An’am ayat 112)
v. Wahyu bermakna pesan yang Allah sampaikan kepada malaikat
berupa perintah supaya dikerjakan oleh mereka (al-Anfal ayat
12)

Dari penjabaran diatas, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik.

Pertama, makna wahyu dalam perspektif etimologi adalah sebuah pesan yang
disampaikan pihak pertama kepada pihak kedua, baik melalui perantara ataupun tidak.
Di samping itu, pesan ini juga baik berupa isyarat, tulisan maupun lisan.

Kedua, makna wahyu dalam perspektif al-Qur’an memiliki ruang lingkup yang lebih
luas. Di mana wahyu tidak khusus disampaikan kepada Nabi dan Rasul, tetapi juga
dialami oleh lainnya. Oleh karena itu, inilah makna wahyu dalam tinjauan syar’i,
yaitu segala firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
2. Akal dalam Perspektif al-Qur’an
a. Definisi Akal
i. Dalam KBBI, akal didefinisikan dengan daya pikir (untuk
memahami sesuatu dsb); pikiran, ingatan.
ii. Ibnu Masur mendefinisikan akal dengan al-‘Aql maknanya
adalah al-Hijr (akal) dan al-Nuhâ (akal) lawan dari al-Humq
(kebodohan dan kepandiran), dan bentuk pluralnya adalah
‘Uqûl. Al-‘Aql juga dapat diartikan sebagai al-Diyah (ganti
rugi).
iii. Ibrahim Musthafa, dkk menyatakan bahwa ‘aqal ya’qil ‘aqlan
bermakna mengetahui sesuatu dengan sebenarnya. Di samping
itu kata al-‘Aql bermakna antonim dari kata al-Gharîzah
(naluri) yang tidak mampu memilih. Menurutnya, akal dapat
didefinisikan dengan sesuatu yang berfungsi untuk berpikir,
berdalil, dan menyusun gambaran-gambaran (suatu masalah)
dan pembenaran pembenarannya. Akal juga dapat diartikan
dengan suatu sarana yang dapat membedakan antara yang
bagus dan jelek, antara yang baik dan buruk, dan antara yang
hak dan yang batil.
iv. al-Ghazali menyebutkan bahwa akal memiliki empat makna:
1. Akal adalah sebuah sifat yang menjadikan manusia
berbeda dengan semua binatang.
2. Akal adalah ilmu-ilmu yang mewujud dalam realita di
kalangan anak kecil yang mampu membedakan antara
perkara-perkara yang boleh atau mungkin dan perkara-
perkara yang tidak mungkin.
3. Akal adalah ilmu-ilmu yang diserap dari al-Tajâru
(percobaan/pengalaman) terhadap situasi-situasi yang
pernah dialaminya.
4. Akal adalah kekuatan naluri yang telah mencapai
tingkatan yang mampu mengetahui segala konsekuensi
perbuatan-perbuatannya.
b. Akal dalam Perspektif al-Qur’an
i. Eksistensi term akal, derivasi, dan substansinya.

Di dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menyebutkan kata akal


dalam bentuk ketiganya, yaitu ‘aqlan. Adapun bentuk
derivatifnya yang berupa kata kerja menunjukkan makna
tentang proses al-idrak (mengetahui), al-tafkir (berpikir) dan al-
fahm (memahami) yang ada pada manusia. Berikut beberapa
ayat yang menjelaskan tentang kata kerja akal:

1. Menggunakan kata kerja ta’qilun (kalian memahami)


2. Menggunakan kata kerja ya’qilun (mereka memahami)
3. Menggunakan kata kerja ya’qiluha (dia memahaminya).
4. Menggunakan kata kerja na’qilu (kami memahami).
5. Menggunakan kata kerja ‘aqaluh (mereka
memahaminya).
ii. Istilah Lain yang Bermakna Akal
1. Al-Albab - Al-Albab adalah bentuk plural dari kata
lubb. Biasanya kata al-Albab ini diawali dengan kata ul
atau ul yang berarti para pemilik, menjadi Ulu al-Albab
2. An-Nuha - Biasanya kata an-Nuha ini diawali dengan
kata ul atau ul yang berarti para pemilik, menjadi Uli al-
Nuha.
3. Al-Qalb - Banyak diartikan dengan hati, tetapi ada
beberapa ayat yang menyebut kata al-Qalb bermakna
akal.
4. Al-Hijr
5. Al-Fikr - Memiliki banyak derivasi
a. Menggunakan kata Fakkara artinya dia berpikir.
b. Menggunakan kata Tatafakkaru yang artinya
kalian berpikir.
c. Menggunakan kata Tatafakkarun yang artinya
kalian berpikir.
d. Menggunakan kata Yatafakkar yang artinya
mereka berpikir
e. Menggunakan kata YatafakkarUna yang artinya
mereka berpikir.
c. Makna Akal Berdasarkan Objek yang Dipahami
i. Akal berarti memahami pembicaraan
ii. Adanya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan
iii. Memilih perkara yang bermanfaat dan meninggalkan perkara
yang berbahaya baik itu duniawi maupun ukhrawi.
iv. Berkorban dengan sesuatu yang sedikit didunia dalam rangka
meraih kebahagiaan di akhirat.
v. Memahami tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta
3. Korelasi Wahyu dan Akal
a. Fungsi Akal dan Kedudukannya.

Akal berfungsi untuk menganalisis dan berpikir telah menjadi bagian


penting dalam syariat islam. Ini dapat dilihat dengan ada satu syarat
yang selalu melekat dalam hukum-hukum dalam Islam sebelum
hukum-hukum tersebut dikerjakan. Syarat itu adalah akal, artinya
orang yang akan melaksanakan ibadah tersebut adalah orang yang
berakal.

Walaupun demikian, akal memiliki keterbatasan. Hal itu adalah tidak


mungkin bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu.

b. Posisi Wahyu dan Akal

Semua ulama Islam sepakat bahwa wahyu dan akal merupakan bagian
yang terpenting dalam sumber agama Islam.

Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, ada perselisihan diantara


cendekiawan muslim terkait posisi dan kedudukan akal terhadap
wahyu. Pendapat ini dibagi menjadi dua; pertama, bahwa wahyu lebih
didahulukan daripada akal. Kedua, akal lebih dikedepankan daripada
wahyu.
Pendapat pertama, yaitu wahyu lebih didahulukan daripada akal,
adalah pendapat para ulama Ahlussunnah dari kalangan ahli hadits,
ahli fiqih, dan ahli tafsir.

Sayyid Quthb mengatakan bahwa sesungguhnya akal yang


dianugerahkan Allah kepada manusia mampu untuk menerima wahyu,
mengetahui kandungan-kandungan maknanya. Ini adalah tugas akal,
dan kesempatan untuk mendapatkan cahaya dan hidayah, serta disiplin
dengan aturan yang benar.

Sedangkan jika akal manusia jauh dari wahyu, maka akal sangat rentan
menjadi sesat dan menyimpang.

Orang-orang yang menganggap bahwa akal manusia memiliki akurasi


kebenaran yang fundamental dan definitif seperti halnya wahyu,
datang dari pernyataan-pernyataan tentang agungnya akal menurut
manusia filsafat, bukan dari Allah S.W.T.

Orang-orang yang berpendapat bahwa akal tidak membutuhkan wahyu


–walaupun pada satu orang yang memiliki kecerdasan akal yang luar
biasa- sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan apa yang
difirmankan Allah. Karena Allah S.W.T telah menegakkan hujjah
kepada manusia dengan wahyu dan risalah, bukan dengan akal
manusia.

Al-Sam’ani mengatakan sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam


kitabnya Shaun al-Manthiq bahwa Ahlussunnah berpendapat, pada
dasarnya agama Islam itu dibagun di atas dasar ittibâ’ (mengikuti dalil)
sedangkan akal adalah sebagai pengikutnya (wahyu).

Oleh karena itu, tidak ada seorangpun di antara mereka yang


mengkontraskan wahyu dengan akal, dan tidak ada yang membangun
agama ini kecuali berdasarkan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah
S.A.W

Dari uraian di atas, maka jelaslah referensi utama Ahlussunnah dalam


beragama yaitu wahyu kemudian akal. Dan akal dalam pandangan
Ahlussunnah berfungsi sebagai sarana untuk memahami teks-teks
wahyu dan sebagai syarat taklîf (pembebanan hukum).

Pendapat kedua, bahwa akal lebih didahulukan daripada wahyu


dipegang oleh para ulama kalam dari kalangan Mu'tazilah, Asy’ariyah,
dan Maturidiyah.

Pemikiran Mu'tazilah berpendapat bahwa mereka mengandalkan akal


secara penuh dalam masalah akidah. Bahkan yang menjadi tolak ukur
baik buruknya sesuatu adalah akal. Mereka juga mengatakan bahwa
seseorang itu menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu,
dikarenakan baik dan buruk itu bisa diukur dengan akal.

Aliran pemikiran berikutnya adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah,


secara umum antara keduanya memiliki konsep yang sama tentang
wahyu dan akal dalam Islam. Pada dasarnya, aliran pemikiran ini
muncul dalam rangka mengkritisi pemikiran-pemikiran teologi yang
diusung oleh Mu'tazilah, meskipun ada beberapa bagian dari pemikiran
ini yang serupa dengan Mu'tazilah.

Dalam masalah wahyu dan akal, ada satu teori yang menjadi bagian
dari akidah aliran ini. Yaitu, apabila ada kontradiksi antara wahyu dan
akal, maka bisa jadi keduanya dapat dikompromikan. Tetapi hal ini
tidak mungkin, karena hal itu telah mengkompromikan dua hal yang
berlawanan. Atau dua-duanya ditolak. Atau wahyu didahulukan
daripada akal, tapi ini mustahil. Karena pada dasarnya wahyu adalah
inti akidah, jika kita mendahulukan wahyu daripada akal maka kita
telah berani mencederai akal, yang merupakan dasar pijakan wahyu.

Dari kedua pendapat di atas, yang râjih (tepat) adalah pendapat yang
pertama, yaitu bahwa wahyu harus didahulukan daripada akal. Karena
bagaimanapun, akal memiliki keterbatasan. Sehingga tidak mungkin
untuk mengetahui segala sesuatu. Di samping itu, andaikan akal lebih
didahulukan bahkan dijadikan dasar utama dalam beragama, maka hal
itu akan melahirkan kekacauan pemikiran yang variatif dan tak
berujung.
Walaupun demikian, bukan berarti akal tidak boleh berinteraksi secara
total dalam beragama. Ini merupakan bentuk pemuliaan Islam terhadap
akal, yang telah membebaninya sesuai dengan batas kemampuannya.
Karena ketika akal dibebani tidak sesuai dengan kapasitas
kemampuannya, maka ini merupakan kezaliman terhadap akal itu
sendiri.

V. Review Jurnal
A. Kualitas

Akreditasi jurnal Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an


dan Tafsir yang ditulis oleh Ade Wahidin pada tahun 2018
dengan judul Wahyu dan Akal dalam Perspektif Islam
mendapatkan score S4 dari sinta.kemdikbud.go.id dengan
peringkat 4 (tiga) dengan nilai (n), 50 (lima puluh) ≤ n <
60 (enam puluh).

B. Keunggulan dan Novelty Penelitian


1. Keunggulan

Keunggulan dari jurnal yang ditulis oleh Ade Wahidin dengan kajian,
Wahyu dan Akal dalam Perspektif Al-Qur’an ini diantaranya pada
teori dasar, dan nilai pendidikan dari perspektif islam. Akal dan Wahyu
adalah dua hal penting dalam aliran pemikiran atau teologi islam. Akal
adalah pemberian Tuhan kepada manusia sebagai pembeda dari
makhluk lainnya. Sedangkan Wahyu adalah Penguat, petunjuk, dan
penyempurna bagi akal. Hal ini sangat menarik bagi pembaca untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang wahyu dan akal dalam
perspektif lainnya.

2. Novelty
Novelty bisa diartikan sebagai informasi baru dimana peneliti
merupakan orang pertama yang melakukannya (new theoritical
derivatif). Kebaruan bisa dalam teori dasar, metodologi maupun
masalah. Kebaruan juga bisa ditemukan dengan mengidentifikasi dan
menemukan adanya perbedaan konteks masalah penelitian dengan
konteks-konteks penelitian sebelumnya. Dalam jurnal ini, terdapat
beberapa kebaruan yaitu:
a. Mengulangi penelitian dalam konteks yang lain, Terdapat
beberapa jurnal yang membahas tentang wahyu dan akal dalam
perspektif islam, namun jurnal ini mengerucutkannya dengan
membahas wahyu dan akal dalam perspektif al quran
b. Menghasilkan suatu analisis yang kritis yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Jurnal ini mengkaji teori-teori lain yang
belum pernah digunakan dalam mengkaji topik tersebut.
C. Kelemahan dan Gap Penelitian
D. Implikasi Riset

Akal tidak dapat bekerja dengan baik tanpa didasari oleh perintah dan
larangan yang ada dalam wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi dan
Rasul. Al-Sam’ani mengatakan sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam
kitabnya Shaun al-Manthiq bahwa Ahlussunnah berpendapat, pada dasarnya
agama Islam itu dibagun di atas dasar ittibâ’ (mengikuti dalil). Andaikan dasar
agama itu berasal dari akal sendiri, maka umat manusia tidak akan
membutuhkan wahyu dan gugurlah esensi dari adanya perintah dan larangan
yang Allah turunkan dalam wahyu. Akibatnya siapa saja akan bebas berbicara
dan berperilaku sesuai dengan keinginannya. Akal yang diturunkan oleh Allah
kepada manusia merupakan karunia hebat yang membedakan manusia dari
makhluk lain. Namun akal dapat memberikan efek negatif bagi manusia yang
menggunakannya untuk perbuatan yang tidak terpuji. Karena walau
bagaimanapun, akal memiliki keterbatasan. Sehingga tidak mungkin bagi
manusia untuk mengetahui segala sesuatu. Orang Islam yang telah diberikan
akal, harus menggunakannya berdasarkan petunjuk yang telah diturunkan
Allah kepada Nabi dan Rasul melalui wahyu. Dengan kata lain wahyu adalah
pembimbing bagi akal.

Anda mungkin juga menyukai