Anda di halaman 1dari 69

KAMPANYE PEMERINTAH JEPANG DALAM MEMBENTUK KARAKTER

MASYARAKAT JEPANG PERIODE TRANSISI


TOKUGAWA-MEIJI

SKRIPSI

MUHAMAD IDRIS RAUF


2014110247

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
JAKARTA
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI
Skripsi Sarjana yang berjudul :
Kampanye Pemerintah dalam Membentuk Karakter
Masyarakat Jepang Periode Transisi Tokugawa-Meiji
Telah diuji dan diterima baik pada :
Di hadapan Panitia Ujian Skripsi Sarjana Sastra Fakultas Sastra
Program Studi Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Yessy Harun, M.Pd. Tia Martia, M.Si.

Ketua Panitia / Penguji

Dr. Nani Dewi Sunengsih

Disahkan Oleh :

Ketua Jurusan Sastra Jepang Dekan Fakultas Sastra

Ari Artadi, Ph.D. Dr. Eko Cahyono

i
HALAMAN PERNYATAAN

Skripsi Sarjana yang berjudul :


Kampanye Pemerintah Dalam Membentuk Karakter Masyarakat Jepang
Periode Transisi Tokugawa-Meiji

Merupakan karya ilmiah yang saya susun di bawah bimbingan Yessy Harun, M.Pd.
selaku Pembimbing I dan Tia Martia, M.Pd. selaku pembimbing II, tidak
merupakan jiplakan skripsi atau karya orang lain. Sebagian atau seluruh isinya
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pernyataan ini saya buat dengan
sungguh-sungguh.

Penulis

Muhamad Idris Rauf

ii
ABSTRAK

Nama : Muhamad Idris Rauf


Judul : Kampanye Pemerintah Dalam Membentuk Karakter Masyarakat Jepang
Periode Transisi Tokugawa-Meiji

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang gerakan kampanye


nasional pemerintah Jepang periode transisi Tokugawa-Meiji dan mengetahui apa
hubungan antara karakter yang dibangun oleh kampanye pemerintah dengan
kemajuan Jepang saat ini melalui metode penelitian kualitatif studi kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, antara karakter yang dibangun dan
kemajuan Jepang memiliki hubungan yang cukup erat karena adanya usaha yang
ditempuh untuk mencapai kemajuan negara Jepang melalui pembentukan karakter
yang di kampanyekan oleh pemerintah baik dalam bentuk slogan, pedoman etika,
aturan pemerintah, pembentukan lembaga, fiksionalisasi tokoh, dan lain
sebagainya, untuk membentuk karakter serta membangkitkan kesadaran bersama
guna memajukan Jepang baik dari pemerintah dan masyarakatnya. Adapun yang
melatarbelakangi gerakan kampanye nasional ini yakni sifat-sifat yang dianggap
memberikan kerugian berlebih terhadap usaha Jepang dalam memajukan
negaranya yang merupakan dampak dari kebijakan rezim sebelumnya (Rezim
Tokugawa) serta tidak adanya tolak ukur yang menjadi perbandingan.

Kata kunci : Kampanye, Karakter, Negara Maju, Rezim Tokugawa

iii
概要

名前 :ムハマドイドリスラウフ
題名 :日本社会の性格形成における政府運動徳川明治移行期

本研究は、徳川明治移行期における日本政府の全国キャンペーン運動の背
景を明らかにし、図書館キャンペーンの質的研究方法を通して、政府キャ
ンペーンによって構築されたキャラクターと日本の現在の進歩との関係を
明らかにする。本研究の結果は、構築されたキャラクターと日本の進歩と
の間には、政府によってスローガンの形でキャンペーンされたキャラクタ
ーの形成を通して日本国家の進歩を達成するために取られた努力のために
かなり密接な関係がある。倫理的な指針、政府の規制、制度の確立、人物
の架空化など、性格を形成し、意識を高め、政府と国民の両方から日本を
前進させる。国内キャンペーン運動の背景については、日本の自国進出へ
の努力に過度の損失を与えると考えられていたのは、前政権(徳川政権)
の政策の影響と比較となるベンチマークの欠如であった。

キーワード :キャンペーン、性格、先進国、徳川政権

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
serta shalawat salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW berserta
keluarga dan para sahabatnya. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Sastra di Universitas Darma
Persada.
Dalam penyelesaian tugas ini, tentunya penulis melalui berbagai proses yang
tidak mudah, dengan berbagai keterbatasan ataupun kekurangan yang dimiliki
oleh penulis. Namun demikian, diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian. Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan karena dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dan dapat terlewati berkat banyaknya bantuan
yang penulis peroleh. Dengan segala kerendahan hati di kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu Yessy Harun, M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang telah


meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Tia Martia, M.Si. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu
dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Nani Dewi Sunengsih selaku ketua sidang yang telah menguji
peulisan skripsi ini sehingga dapat diperbaiki dan menjadi rujukan bagi
pembaca yang membutuhkan referensi.
4. Bapak Hargo Saptaji, M.A. selaku pembimbing akademik yang telah
membantu penulis dan memberikan pengarahan selama proses belajar di
Universitas Darma Persada
5. Bapak Ari Artadi, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang yang telah
membantu penulis dalam pengurusan akademik.
6. Bapak Dr. Eko Cahyono selaku Dekan Jurusan Sastra Jepang yang telah
membantu penulis dalam pengurusan akademik.

v
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sastra Jepang untuk kesabarannya dalam
memberikan pengajaran yang bermanfaat selama masa perkuliahan.
8. Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Perpustakaan Universitas Darma
Persada yang telah membantu dalam pengurusan akademik dan
peminjaman buku selama penyusunan skripsi ini.
9. Kedua Orang Tua serta keluarga penulis yang telah menjamin perihal
finansial saat penulis mengalami krisis moneter dan terus mendoakan
penulis sehingga mencapai titik ini.
10. Ariella Darmakusumah, S.T. yang sudah mau meminjami laptopnya
kepada penulis saat laptop pribadi rusak serta
11. Teman-teman Sahabat Kansas : Shinggo, Fajar, Lintang, Ibuun, Acid,
Jausha, Arif, Adit, Salomo, Oribee, Ifa yang telah mau menjadi teman
diskusi penulis meskipun terkadang melelahkan.
12. Teman-teman kelas H : Iren, Lulu, Desti, Edo, Pendi, Rizky, Idris, Toni,
Alm. Steven, Jo, Cahya yang telah memberi warna selama masa
perkuliahan dan memberi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi.

Akhir kata, penulis menyadari akan segala keterbatasan dan kekurangan


yang dimiliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
pembaca, sangat diharapkan dalam membantu penyempurnaan skripsi ini.

Penulis

Muhamad Idris Rauf

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI.....................................................i

HALAMAN PERNYATAAN...............................................................................ii

ABSTRAK.............................................................................................................iii

概要 ..................................................................................................................iv

KATA PENGANTAR............................................................................................v

DAFTAR ISI........................................................................................................vii

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah..........................................................................1

1.2. Identifikasi Masalah................................................................................3

1.3. Pembatasan Masalah..............................................................................3

1.4. Rumusan Masalah..................................................................................3

1.5. Tujuan Penelitian....................................................................................4

1.6. Landasan Teori.......................................................................................4

1.7. Metode Penelitian...................................................................................7

1.8. Manfaat Penelitian..................................................................................7

1.9. Sistematika Penulisan.............................................................................7

BAB 2 ZAMAN MEIJI SEBAGAI PINTU GERBANG KAMPANYE


NASIONAL OLEH PEMERINTAH JEPANG....................................9

2.1. Letak Geografis Sebagai Dasar Alamiah Karakter Masyarakat pada


Suatu Wilayah Tertentu.........................................................................10

2.2. Dibukanya ‘Gerbang Karakterisasi’ pada Restorasi Meiji......................12

2.2.1. Dorongan Perubahan Melalui Misi Besar Jepang ‘Misi Iwakura’. . .13

vii
2.2.2. Agama Sebagai Politik Kepentingan................................................16

2.2.3. Diskritisasi Wanita dalam Peranannya.............................................20

2.2.4. Western Shock Sebagai Fenomena Perubahan Mentah....................23

BAB 3 KAMPANYE PEMERINTAH JEPANG DALAM MEMBENTUK


KARAKTER MASYARAKAT JEPANG...........................................25

3.1. Reformasi Budaya di dalam Restorasi..................................................25

3.1.1. Fiksionalisasi Semangat Juang Jepang.............................................28

3.1.2. Fiksionalisasi Melalui Dunia Pendidikan.........................................33

3.1.3. Manifestasi Budaya Nasional dalam ‘Local Improvement Movement’


(1909)................................................................................................39

3.1.4. Pedoman Etika Nasional...................................................................43

3.2. Revolusi yang Bersifat Teknis dalam Upaya Peningkatan Produktivitas


sebagai Bentuk Manifestasi Kampanye Nasional Pemerintah Jepang
yang Tujuannya Membangun Karakter Bangsa....................................46

3.3. Manifestasi ‘Budaya’ Kerja...................................................................48

BAB 4 KESIMPULAN......................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Masyarakat Indonesia berasumsi bahwa Jepang merupakan negara maju.
Asumsi ini mungkin saja berlaku bagi masyarakat dunia lainnya. Tercatat pada
data IMF GDP negara Jepang mencapai 4,567.441 milyar Dollar Amerika Serikat
pada tahun 2005. Selain itu, seperti yang dilansir dari CNN Indonesia
mengungkapkan “... dan tak tanggung-tanggung, ekonomi Indonesia melesat dari
peringkat, ataupun juga masuk menjadi peringkat lima besar dunia. Mengalahkan
negara maju seperti Jepang. Jerman, dan Inggris. ...” (CNN Indonesia, 10 Februari
2017) dan keberhasilan Jepang dalam memajukan negaranya tidak lepas oleh
karakter masyarakat Jepang diantaranya disiplin, pekerja keras dan pantang
menyerah (website: Tempo.co). Masyarakat Jepang bersungguh-sungguh untuk
membangun Jepang.
Menurut sejarahnya, dimulai pada abad ke-16, orang-orang Portugis
(misionaris dan pedagang) datang ke Jepang untuk berdagang dan
menyebarluaskan ajaran agama katolik, tetapi karena adanya konflik kepentingan
dengan penguasa, penguasa saat itu rezim Tokugawa mengusir orang asing agar
pergi dari Jepang dan melarang warga Jepang untuk ke luar negeri serta melarang
orang luar negeri kecuali Belanda untuk datang ke Jepang. Saat itu orang Belanda
mewakili VOC dan hanya diizinkan di satu lokasi yang berada di wilayah Jepang
Selatan serta hanya dapat melakukan hubungan transaksional dengan pemerintah
(monopoli dagang). Tindakan memberlakukannya pelarangan negara asing masuk
ke Jepang ini disebut dengan sakoku.
Berlanjut setelah zaman Edo (1603-1867) berakhir, Jepang memasuki
zaman Meiji (1868-1912) dimana pelarangan negara asing untuk datang ke Jepang
ditiadakan dimulai pada tahun 1854 melalui Perjanjian Kanagawa. Jepang mulai
membangun negaranya menjadi negara maju. Rezim Meiji yang meniadakan
kebijakan sakoku membuat banyak orang-orang Barat berdatangan. Datangnya

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


orang-orang Barat ini memaksa Jepang membuka pasar komoditas luar negeri
serta lebih aktif dalam interaksi internasional.
Setelah Jepang menjadi negara yang kaya dan kuat dalam militer, Jepang
terlibat dalam Perang Dunia (PD) II melawan sekutu yang di antaranya adalah
Amerika, Inggris dan Belanda. Dalam perang tersebut pada awalnya Jepang selalu
memenangkan perangnya, namun pada akhirnya Jepang harus tunduk dan
menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah Jepang dijatuhi bom di Hiroshima
dan Nagasaki. Pasca pemboman di Hiroshima dan Nagasaki ini, negara Jepang
hancur total, saat itu Jepang harus membayar rampasan perang dan diduduki
sekutu. Pada kondisi seperti ini, dalam Bombing Civilians: A Twentieth Century
History memprediksi bahwa sangat sulit bagi Jepang untuk membangun kembali
negaranya, namun nyatanya Jepang mampu membangun kembali negaranya
dalam waktu relatif singkat jika dilihat dengan kehancuran Jepang saat itu (Yuki
dalam Andrew, 2008). Oleh karena itu, sejarah kembali mencatat keberhasilan
Jepang yang tidak hanya mampu membangun kembali negaranya, tetapi mampu
menjadikan negaranya sebagai negara maju dalam berbagai bidang.

“Tiba-tiba saja proses sejarah mengerikan dan perkembangan yang


biasanya memakan waktu yang diperlukan berabad-abad lamanya
melompat seperti mahluk halus (phantoms) dalam hitungan bulanan
atau mingguan saja selesailah prosesnya” (Jacob dalam C. Vann
Woodward, 1960: 19.)

Kesuksesan Jepang dalam membangun negara menjadi negara maju


tersebut tidak terlepas dari karakter masyarakatnya yang mengandung konsep
dasar, baik itu yang berkaitan secara normatif ataupun yang berkaitan secara
teknis. Secara normatif, masyarakat Jepang memiliki watak dan kepribadian yang
sangat mendukung kesuksesan, secara teknis masyarakat Jepang memiliki etos
kerja yang sangat baik dan memiliki kemauan yang keras untuk mengusai ilmu
pengetahuan. Dalam hal etos kerja, orang Jepang benar-benar memanfaatkan
waktu dengan efektif dan efisien. Orang Jepang bekerja dengan disiplin, tanggung
jawab dan tidak mengenal lelah. Watak dan kepribadian orang Jepang tersebut
merupakan faktor pendukung kemajuan Jepang. Watak dan kepribadian

2
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
masyarakat Jepang ini merupakan karakter masyarakat Jepang yang dibentuk
melalui kampanye-kampanye pemerintah yang bekerjasama dengan para
cendekiawan pada masanya. Baik berupa karya sastra, maupun kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
tentang kampanye pemerintah dalam membentuk karakter masyarakat Jepang.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah:

1. Diberlakukannya politik isolasi (sakoku) pada masa pemerintahan


Tokugawa.
2. Keruntuhan hirarkial Edo Bakufu.
3. Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II.
4. Bangkitnya Jepang dari keterpurukan pasca bom Hiroshima dan Nagasaki
dalam waktu singkat.
5. Karakter masyarakat Jepang dan dampak kemajuan negara Jepang.
6. Kampanye-kampanye pemerintah yang bekerjasama dengan para
cendekiawan.

1.3. Pembatasan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah hanya
pada “Kampanye Pemerintah Jepang dalam Pembentukan Karakter Masyarakat
Jepang Periode Transisi Tokugawa-Meiji”.

1.4. Rumusan Masalah


Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apa latar belakang pemerintah Jepang melakukan kampanye
membentuk karakter masyarakat Jepang?

3
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
2. Karakter masyarakat Jepang yang bagaimana yang terbentuk akibat
kampanye pemerintah tersebut?
3. Apa hubungan karakter masyarakat Jepang dengan kemajuan
Jepang?

1.5. Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui latar belakang pemerintah Jepang melakukan kampanye.
2. Mengetahui karakter masyarakat Jepang yang terbentuk akibat kampanye
pemerintah tersebut.
3. Mengetahui hubungan karakter masyarakat Jepang dengan kemajuan
Jepang.

1.6. Landasan Teori


1. Kampanye
Kampanye secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, mengadakan aksi, dan sebagainya) ;
kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing
memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan
dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Kemudian, Rogers dan
Storey menjelaskan kampanye adalah rangkaian tindakan komunikasi yang
terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak
yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu (Everett M.
Rogers, & Douglas Storey, 1987).
Bukan hanya itu, menurut Cangara dalam bukunya Pengantar Ilmu
Komunikasi, kampanye adalah aktivitas komunikasi yang dilakukan untuk
memengaruhi masyarakat agar memiliki wawasan terhadap perilaku yang menjadi
keinginan pemberi informasi. Sebagian teori yang dijelaskan oleh Kotler dan
Roberto mengenai kampanye merupakan upaya yang dilakukan individu atau
sekelompok orang untuk menanamkan ide, sikap, perilaku yang diinginkan oleh
pelaku kampanye (Bates, D., Kotler, P., Roberto, E. L., & Fine, S. H, 1991). 

4
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dr. Antar Venus, MA seorang dosen Fisip UPNVJ menerangkan,
kampanye adalah upaya yang ditujukan untuk menciptakan perubahan dan
dampak tertentu dalam kehidupan bermasyarakat yang dilakukan dalam kurun
waktu tertentu (Antar Venus, 2004).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kampanye tidak
terbatas pada kegiatan organisasi politik tertentu untuk mendapatkan dukungan
massa dalam suatu pemilihan umum, melainkan upaya komunikasi persuasif yang
dilakukan guna menanamkan informasi, ide serta gagasan untuk menciptakan efek
tertentu secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.

2. Karakter
Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan teori mengenai karakter,
dimana secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah
tabiat; sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain; watak. Karakter atau watak adalah sifat batin yang
memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki
manusia (website: www.kbbi.web.id). Sejalan dengan Maxwell, karakter
merupakan pilihan yang dapat menentukan sebuah tingkat kesuksesan dari
seseorang. Dalam artian pikiran, perilaku, budi pekerti yang ada pada individu,
akan menjadi penentu tingkat kesuksesannya di dalam masyarakat dan dalam
hidup bersosial (Maxwell, 2001).

Wynne berpendapat, karakter menandai bagaimana teknis maupun cara yang


digunakan dalam memfokuskan penerapan dari nilai-nilai kebaikan ke dalam
sebuah tingkah laku maupun tindakan (B. Wynne, 1991). Sedangkan menurut
Kemendikbud, karakter merupakan bentuk cara berpikir serta berperilaku
seseorang yang nantinya akan menjadi ciri khasnya dan perihal karakter sendiri
terdapat beberapa penjelasan lain seperti yang dijelaskan Pusat Bahasa Depdiknas
(2008), karakter merupakan bawaan dari hati, jiwa, budi pekerti, kepribadian,
sifat, tabiat, personalitas, temperamen, dan watak. Menurut Ryan dan Bohlin,
karakter adalah sebuah pola perilaku seseorang. Orang dengan karakter yang baik

5
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
tentu saja akan paham mengenai kebaikan, menyenangi kebaikan, serta
mengerjakan sesuatu yang baik pula. Orang dengan perilaku yang memang sesuai
dengan kaidah moral disebut orang yang berkarakter mulia (Ryan & Bohlin,
2003).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa karakter adalah


bawaan dari pilihan hati yang membentuk pola perilaku seseorang kepada hal-hal
yang baik hingga akhirnya membedakan seseorang dengan yang lainnya.

3. Etos Kerja
Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos kerja berarti
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Sedangkan menurut Chong dan Tai (dalam Wirawan, 2007) etos kerja adalah
mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh
positif bekerja terhadap individu. Berbeda dengan Chong dan Tai yang
menekankan pada individu sebagai subjek, Sinamo (2005) menekankan,
kesadaran individulah yang menjadi subjek kemudian mengobjekan perilaku kerja
dan menyatakan bahwa “etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang
berakal pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai
komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral”. Paradigma berarti
konsep utama tentang kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari,
prinsip-prinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakan, sikap-sikap yang
dilahirkan, standar-standar yang hendak dicapai, termasuk karakter utama, pikiran
dasar, kode etik, kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya.
Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat
terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai
suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung
tinggi. Sebaliknya, sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang
bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah
(Anoraga, 1992).

6
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan, etos kerja
adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakal pada kesadaran Individu,
keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja
yang integral yang bermakna semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau kelompok serta mengandung nilai-nilai dan kode etik
bagi suatu individu maupun kelompok.

1.7. Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dengan memanfaatkan berbagai macam
pustaka yang relevan dengan penelitian yang dicermati (Mestika Zed, 2004). Data
diperoleh dari perpustakaan Universitas Darma Persada, Perpustakaan Pusat Studi
Jepang Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Japan
Foundation dan koleksi pribadi. Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
bertujuan menemukan informasi sebanyak-banyaknya.

1.8. Manfaat Penelitian


1) Bagi penulis dapat menambah wawasan dan memahami tentang makna
kampanye pemerintah Jepang dalam membentuk karakter masyarakat
Jepang yang berdampak pada kemajuan Jepang.

2) Bagi pembaca, menambah wawasan dan penelitian ini dapat dijadikan


sebagai refrensi dalam penelitian selanjutnya yang relevan.

1.9. Sistematika Penulisan


Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
landasan teori, metode penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab 2, merupakan pemaparan tentang latar belakang pemerintah Jepang


mengkampanyekan untuk membentuk karakter masyarakat Jepang.

7
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Bab 3, merupakan pembahasan tentang kampanye pemerintah Jepang dalam
membentuk karakter masyarakat Jepang dan hubungannya dengan kemajuan
negara Jepang.

Bab 4, kesimpulan.

8
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 2
ZAMAN MEIJI SEBAGAI PINTU GERBANG KAMPANYE
NASIONAL OLEH PEMERINTAH JEPANG

Setelah runtuhnya era ke-shogunan Tokugawa (1600-1868) (Louis Frédéric,


2005), Negara Jepang banyak mengalami perubahan yang sangat drastis di mana
negara Jepang harus memulainya semua dari nol. Dimulai dari penggalangan
kekuatan (barisan sakit hati) yang berhasil merebut pemerintahan dari rezim
Tokugawa karena ketidakpuasannya, serta mendatangkan keturunan Kaisar dari
Kyoto dan menobatkannya sebagai Kaisar di istana Tokyo ibu kota baru dengan
memberi gelar Meiji pada Kaisar baru yang dinobatkan.
Adanya Restorasi Meiji menjadikan Jepang menjelma sebagai negara kuat
dan modern yang dapat disejajarkan dengan negara Barat dan Eropa. Hal ini
dicapai melalui kerja keras masyarakat Jepang yang tidak ingin diremehkan oleh
negara asing untuk maju sangat besar. Restorasi Meiji bisa dikatakan sebagai
zaman ‘pencerahan’ Jepang setelah selama 200 tahun lebih menutup diri dari
hubungan luar di bawah kepemimpinan rezim Tokugawa, dengan adanya
Restorasi Meiji ini, masa di mana Jepang akan menjelma menjadi negara maju
pun dimulai.
Jepang yang seperti diketahui saat itu merupakan negara terbelakang dan
miskin dengan sakokunya, kemudian berbenah diri dan berusaha mengejar
ketertinggalannya dari bangsa Eropa Barat menjelma menjadi salah satu kekuatan
besar yang disegani di Asia Timur. Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai
dalam bidang industri, pemerintahan, pendidikan, maupun militer akibat dari
Restorasi Meiji. Namun dibalik itu semua ada hal-hal yang melatarbelakangi
perubahan ekstrim tersebut dan tidak lepas dari usaha pemerintah melalui
kampanye nasional.

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


2.1. Letak Geografis Sebagai Dasar Alamiah Karakter Masyarakat pada
Suatu Wilayah Tertentu
Karakteristik geografi suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat, dan
watak bangsa tersebut. Demikian pula Jepang, lokasi, iklim dan anugerah-
anugerah alamnya merupakan kenyataan demikian yang mana memiliki empat
musim dan sumber daya alam yang tidak begitu melimpah tidak seperti halnya
Indonesia sehingga masyarakat Jepang mempunyai hubungan yang erat dengan
alam dan sekitarnya.
Jepang merupakan negara kepulauan. Kepulauan Jepang terletak di lepas
pantai Timur benua Asia yang membentang dari Utara hingga ke selatan seperti
busur yang ramping sepanjang 3.800 kilometer. Istilah dari kepulauan Jepang
merujuk pada empat pulau besar dari Utara ke Selatan, Hokkaido, Honshu,
Shikoku, Kyushu, dan kepulauan Ryukyu yang berada di Selatan Kyushu
(Ministry of Internal Affairs and Communications Japan, Statistics Bureau,
2008/10/01:17).
Wilayah Jepang terdiri dari wilayah pegunungan, sehingga tanah datarannya
berwujud sempit yaitu letaknya antara pegunungan dengan pantai lautan Pasifik
dan laut Jepang. Letak Jepang yang ada di tengah-tengah lautan Pasifik
menyebabkan Jepang harus menghadapi datangnya angin topan yang disebut
Taifu. Taifu adalah angin kencang dengan kecepatan sekitar 30 meter perdetik dan
membawa hujan yang deras.
Jepang juga mengalami perubahan alam yang sangat menyolok melalui
empat musimnya, misalnya ketika musim salju, maka seluruh dataran tanah
Jepang akan berwarna putih karena ditutupi oleh salju, dan dengan suhu rendah
tersebut masyarakat Jepang harus tetap melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Sebaliknya ketika musim panas, suhu udara dapat mencapai 35 derajat celcius.
Selain adanya angin topan dan pergantian musim, di Jepang diperkirakan
terdapat 50 gunung berapi yang masih aktif. Akibatnya sering terjadi gempa bumi.
Gempa terbesar terjadi pada 1923 di daerah Kanto. Gempa ini menghancurkan
seluruh kota Yokohama dan setengah kota Tokyo. Tercatat kira-kira 150.000

10
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
orang meninggal. Namun demikian, gunung berapi di Jepang tidak saja
mengakibatkan bahaya, tetapi juga memberi manfaat, di antaranya sumber air
kesehatan dan menjadi tempat rekreasi (website: www.Liputan 6.com).
Kondisi alam di Jepang lainnya adalah sering terjadinya bencana alam,
yaitu gempa di dasar laut yang dapat menimbulkan gelombang pasang yang
merusak, yang disebut Tsunami. Istilah Tsunami yang kini digunakan di seluruh
dunia, memang merupakan sebuah kata dalam bahasa Jepang, yang berarti
gelombang pasang yang datang secara mendadak. Salah satu Tsunami terdahsyat
yang tercatat dalam sejarah Jepang adalah Tsunami Meiji Sanriku yang terjadi
pada 1896. Tsunami ini telah menewaskan lebih dari 20.000 orang (website:
www.usgs.gov). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa letak geografi Jepang
erat hubungannya dengan fenomena alam. Fenomena alam tersebut juga menjadi
ancaman alam yang setiap saat mereka hadapi dan akan terus menghantui
masyarakat Jepang.
Menyadari kondisi alam yang seperti ini, sering terjadi gempa bumi, angin
topan, pergantian empat musim, Tsunami dan lain-lain, tentulah menjadikan
masyarakat Jepang lebih giat dan disiplin karena tidaklah mungkin untuk
masyarakat bersikap sebaliknya dengan konsekuensi ancaman alam. Masyarakat
Jepang secara alamiah memiliki karakter yang bersifat private seperti disiplin, giat
dan lain sebagainya karena bentukan alamnya, namun karakter yang secara
alamiah terbangun belumlah mencakup ranah moral publik. Sedangkan, pada
masa transisi (1854-1941) tepatnya sejak kaikoku hingga masa industrialisasi
Jepang, dimana negara Jepang berusaha mengejar ketertinggalannya dari bangsa
asing, masyarakatnya justru dianggap lebih malas, kurang tekun, terlambat, dan
lain sebagainya karena perbedaan sistem waktu yang digunakan oleh para
pendatang yakni sistem waktu industrial, sedangkan Jepang masih tebiasa dengan
sistem waktu agrikultur yang merupakan dampak dari keterbelakangan
pengetahuan hingga kebudayaan modern serta pengaruhnya dengan kondisi alam
sekitar. Selain itu, dimasa tersebut, karakter yang terbangun bersinggungan
langsung dengan ranah publik karena menjalin kontak langsung dengan negara
asing. Dapat dilihat pada kutipan yang diambil dari terjemahan bahasa Jepang dari

11
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Uittreksel Uit Het Dagboeg van W.JC. Ridder H.v. Kattendyke gedurende zijin
verblijf in Japan 1857, 1858, en 1859 (catatan harian van Kattendyke selama di
Jepang, 1857, 1858, 1859, ‘sGravehage, 1860), kutipan yang diambil dari edisi
terjemahan bahasa Jepang. “Orang Jepang benar-benar santai dan tidak menepati
janji” (Ridder H.v. Kattendyke dalam キッチンディーケ水田信利訳 『長崎海
軍 伝 承 所 の 日 々 』 ). Dilihat dari tahun kedatangan Kattendyke (1857) hanya
berselang tiga tahun sejak dibukanya negara Jepang untuk umum, dapat diketahui
bahwa sudah lebih dari ratusan tahun era renaissance abad 14-abad 17 (Jhon Hale,
2008), sehingga wajar bila Kattendyke beranggapan seperti kutipan diatas dengan
sumber diatas karena karakter yang dibangn sudah mencakup ranah publik.

2.2. Dibukanya ‘Gerbang Karakterisasi’ pada Restorasi Meiji


Pada masa pemerintahan Edo, Jepang menutup rapat negaranya dari negara
asing selama kurun waktu dua abad. Tetapi, dalam kurun waktu isolasinya terjadi
berbagai dinamika internal dari para intelektual yang mempertanyakan eksistensi
Edo Bakukufu hingga hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
Jepang pun memiliki pergolakan dengan negara asing yang membuat negara-
negara yang tengah mencari pasar dan gudang bahan baku demi tujuan
industrialisasi dan perdagangan geram dengan keputusan Jepang, karena
banyaknya konflik yang terjadi dari dalam dan dari luar negeri akhirnya Jepang
membuka diri melalui perjanjian Kanagawa pada 31 Maret 1854 oleh Komodor
Matthew Perry dari angkatan Laut Amerika Serikat (Taro Sakamoto, 1971).
Jepang yang sudah tertutup rapat-rapat bagi seluruh dunia selama lebih dari
dua abad, secara tiba-tiba saja membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang
menyegarkan (Kenneth B. Pyle, 1998:8). Pembukaan diri ini memiliki dampak
baik dan juga buruk. Seperti kedatangan orang-orang Barat yang mau tidak mau,
memaksa Jepang membuka pasar komoditas luar negeri, memaksa orang Jepang
mengakui bahwa negaranya terbelakang dalam hal ekonomi, industri dan militer.
Berlanjut pada periode Meiji (1868-1912) pemerintah Meiji bermaksud
untuk mengejar ketertinggalannya dari negara barat, maka dilakukan berbagai
upaya agar kedudukan Jepang dapat sejajar dengan negara-negara barat dengan

12
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
membawa Jepang pada modernisasi yang cepat mulai dari lembaga ekonomi,
politik, sosial maupun bidang militer, yang menjadikan Jepang mencapai status
negara terkemuka di Asia dalam kekuatan ekonomi dan politik. Selama paruh
pertama periode Meiji, dari tahun 1868 hingga tahun 1890, pemerintah Jepang
memutuskan untuk melakukan kunjungan-kunjungan ke luar negeri untuk mencari
tahu rahasia kekuatan negara-negara barat. Di tahun 1871-1873, separuh pejabat
pemerintahan berkunjunng ke Amerika Serikat dan negara di Eropa (Inggris,
Perancis, Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Rusia, Denmark, Swedia, Italia, dan
Austria) selama 18 bulan. Delegasi kunjungan perjalanan Jepang ke negara-negara
Eropa tersebut dipimpin oleh Iwakura Tomomi sehingga disebut dengan misi
Iwakura (Susi ONG, 2017:8). Iwakura Tomomi sendiri merupakan seorang
negarawan pada masa Bakumatsu (1853-1867) dan Meiji (1868-1912).

2.2.1. Dorongan Perubahan Melalui Misi Besar Jepang ‘Misi Iwakura’


Misi Iwakura adalah misi perjalanan diplomatik Jepang di Amerika
Serikat dan negara di Eropa (Inggris, Perancis, Jerman, Swiss, Belgia,
Belanda, Rusia, Denmark, Swedia, Italia, dan Austria) yang dilakukan pada
tahun 1871 oleh oligarki zaman Meiji. Dijalankan oleh duta besar luar biasa
Iwakura Tomomi dibantu oleh empat wakil duta besar, tiga di antaranya
Ookubo Toshimichi, Kido Takayoshi, dan Itou Hirobumi, serta menteri
dalam pemerintahan Jepang. Sejarawan Kume Kunitake sebagai sekretaris
pribadi Iwakura Tomomi. Para siswa perempuan juga termasuk dalam Misi
Iwakura, Nagai Shigeko (10), Ueda Teiko (16), Yoshimasu Ryōko (16),
Tsuda Ume (9) dan Yamakawa Sutematsu (12).

13
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Gambar 2.1. Kido Takayoshi, Yamaguchi Masuka, Iwakura Tomomi,
Ito Hirobumi dan Ookubo Toshimichi
Sumber : Website, www.page.sannet.ne.jp

Gambar 2.2. Nagai Shigeko, Ueda Teiko, Yoshimasu Ryōko, Tsuda


Ume dan Yamakawa Sutematsu
Sumber : Website, www.page.sannet.ne.jp

14
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Selain tokoh yang sudah disebutkan diatas, termasuk didalamnya
sejumlah administrator dan pemuka agama dengan total 48 orang, staff misi,
53 siswa dan asisten juga bergabung dalam perjalanan. Beberapa siswa
tinggal untuk menyelesaikan pendidikan mereka di negara-negara asing,
termasuk lima wanita muda yang tinggal di Amerika Serikat untuk belajar,
juga Tsuda Umeko 6 tahun, yang setelah kembali ke Jepang, mendirikan
Joshi Eigaku Juku (sekarang Universitas Tsuda) pada tahun 1900, Nagai
Shigeko, kemudian Baroness Uryū Shigeko, serta Yamakawa Sutematsu,
kemudian Putri Ōyama Sutematsu.
Kemudian ada juga Kaneko Kentaro yang tinggal sebagai siswa di
Amerika Serikat. Pada tahun 1890 ia diperkenalkan kepada Theodore
Roosevelt. Mereka menjadi teman dan hubungan mereka membuahkan hasil
di mediasi Roosevelt di akhir Perang Rusia-Jepang dan Perjanjian
Portsmouth (Baron Kaneko and the Russo-Japanese War, 2009, Part One,
Chapter Four). Selain para siswa yang ada di Barat untuk belajar, seorang
staff misi dan kementerian kehakiman Nakae Chōmin, tinggal di Prancis
untuk mempelajari sistem hukum Prancis dengan Emile Acollas republik
yang radikal. Kemudian dia menjadi jurnalis, pemikir dan penerjemah dan
memperkenalkan pemikir Prancis seperti Jean-Jacques Rousseau ke Jepang.
Misi ini ditujukan untuk mengetahui rahasia kekuatan negara-negara
Barat. Selama perjalanan Misi Iwakura ini, mereka mengunjungi sekolah-
sekolah, pabrik, pelabuhan, kantor pemerintahan serta bertemu dengan
pemimpin negara-negara tersebut. Selama dalam perjalanan misi, mereka
menyadari bahwa negara Jepang masih sangat tertinggal jauh bahkan
terbelakang dalam hal industri, ekonomi, serta kualitas sumber daya
manusia. Hal ini ditanggapi lebih lanjut oleh pemerintah dengan
memberlakukan dan menerapkan sistem wajib belajar guna meningkatkan
kualitas sumber daya manusia agar tidak tertinggal dengan negara Barat,
karena untuk memajukan industri dan militer hanya akan berhasil apabila
kualitas sumber daya manusia baik. Selain itu juga, pemerintah bekerjasama
dengan para cendekiawan (yang berpendidikan barat) untuk melakukan

15
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
‘kampanye nasional’ guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang sifatnya tidak hanya keilmuan namun juga berkaitan dengan perilaku
dan moral publik seperti yang diungkapkan oleh Makino Nobuaki, seorang
negarawan Jepang aktif dari periode Meiji melalui Perang Pasifik yang
berkomentar dalam memoarnya:

“Bersama dengan penghapusan sistem han (wilayah kekuasaan


yang dimiliki oleh daimyo), pengiriman Misi Iwakura ke
Amerika dan Eropa harus disebut sebagai peristiwa paling
penting yang membangun fondasi negara kita setelah
Restorasi”. (Laporan resmi Misi Iwakura disusun oleh Kume
diterbitkan pada tahun 1878, Tokumei Zenken Taishi Bei-O
Kairan Jikki (特命全権大使米歐回覧実記 ). Tersedia dalam
bahasa Inggris: Healey, Graham and Tsuzuki Chushichi, eds, A
True Account of the Ambassador Extraordinary &
Plenipotentiary's Journey of Observation Through the United
States of America and Europe).
.

2.2.2. Agama Sebagai Politik Kepentingan


2.2.2.1. Dominasi Buddha - Konfusianisme
Sebelum adanya agama Buddha di Jepang, masyarakat Jepang
masih menganut Ajaran Animisme dan Dinamisme. Pada abad ke-6
setelah ajaran agama Buddha masuk ke Jepang, kepercayaan dewa-dewi
Buddha menyatu dengan dewa-dewi lokal, kepercayaan lokal inilah yang
disebut dengan Shinto. Secara harfiah, Shinto berarti ‘jalan dewa’. Kata
Shinto sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti ‘jalan para dewa’,
‘pengajaran para dewa’, atau ‘agama para dewa’. Nama Shinto sendiri
baru digunakan di Jepang sebagai agama ketika agama Buddha dan
ajaran konfusius (Tiongkok) telah memasuki Jepang.
Agama Shinto sendiri telah berasimilasi dengan ajaran dan ritual
Buddha. Pada era pemerintahan Tokugawa (1600-1868), masyarakat
diwajibkan untuk memiliki surat bukti beragama Buddha dari salah satu
kuil-kuil setempat, sedang agama Kristen dilarang oleh penguasa karena
dianggap mewakili kekuatan asing yang berpotensi menjajah Jepang.

16
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Awal kedatangan para misionaris portugis ke Jepang adalah
untuk menyebarluaskan ajaran agama katolik. Tujuan para misionaris ini
terbilang cukup berhasil terutama di wilayah Jepang selatan. Shimabara
adalah wilayah kekuasaan klan Arima yang banyak penduduknya
menganut agama Kristen yang disebarkan oleh para misionari tersebut.
Pada tahun 1614, klan Arima kehilangan kekuasaan wilayah dan
diberikan kepada Matsukura Shigemasa (Murray, 1905:258). Namun
untuk meyakinkan kesetiaan Shigemasa kepada shogun, yang awalnya
bersikap lunak pada orang-orang katolik di Shimabara mulai melakukan
penindasan. Pertengahan tahun 1630-an, para petani di Semenanjung
Shimabara dan Kepulauan Amakusa memberontak melawan para tuan
tanah mereka. Pemberontakan ini terjadi di wilayah yang dikuasai
Matsukura Katsuie di Domain Shimabara, dan Terazawa Katataka di
Domain Katsu (Murray, 1905:258-259). Pemberontakan ini tidak hanya
berlatar belakang agama namun juga ketidakpuasan terhadap beban pajak
yang tinggi. Ketidakpuasan ini juga dialami oleh golongan pengrajin dan
pedagang. Pemberontakan ini meluas kemudian, para ronin yang
mengabdi untuk klan Amakusa, klan Shiki, klan Arima dan klan Konishi
juga ikut memberontak (Murray, 1905:258-259).
Bersamaan dengan terjadinya pemberontakan, istana Edo
melakukan perluasan dan membangun istana baru di wilayah Shimabara
(Naramoto, 1994:394). Pembiayaan pembangunan tersebut berasal dari
pajak-pajak yang harus dibayar oleh penduduk wilayah kekuasaannya.
Penduduk semakin marah setelah Shigemasa melakukan persekusi
terhadap penganut ajaran agama Katolik di Shimabara (Naramoto,
1994:394).
Kekristenan semakin dilarang karena dianggap berpotensi
menghasut rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah. Kemudian,
pemerintah memberi wewenang kepada para pendeta Buddha (biksu)
yang berafiliasi dengan masing-masing kuil untuk mengawasi warganya
untuk memastikan tidak ada rakyat yang diam-diam memeluk ajaran

17
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Katolik. serta kebijakan sakoku diberlakukan guna proteksi kekuasaan
pemerintahan dan pemburuan sewenang-wenang terhadap orang katolik
terus berlanjut hingga 1850-an.
Setelahnya, rakyat diwajibkan untuk menyatakan diri sebagai
umat Buddha. Hasilnya, para biksu tidak perlu lagi menyebarluaskan
ajaran agama Buddha karena tidak ada kekhawatiran umatnya untuk
berpindah agama. Selama kurun waktu 200 tahun lebih nilai-nilai ajaran
Buddha dan Konfusianisme telah membatin dan melekat pada
masyarakatnya, hal-hal yang diajarkan baik namun ajaran tersebut
bersifat private yang erat kaitannya dengan ketaatan dan kepatuhan
terhadap para dewa dan juga ajarannya banyak yang mengesampingkan
kemaslahatan bersama. Untuk itu, hal ini berdampak negatif terhadap
karakter yang terbentuk setelahnya, dimana biksu hanya bertugas
memimpin ritual (upacara) kematian, dan hidup foya-foya dengan uang
derma dari umat. Ini membuat masyarakat menjadi antipati (Susy ONG,
2017).

2.2.2.2. Separasi Buddha, Katolik, Shinto dan Kebebasannya


(Era Meiji)
Setelah era restorasi Meiji (1868), terjadi reformasi terhadap
agama, hal ini menjadi malapetaka untuk kelompok agama Buddha yang
dilindungi oleh penguasa sebelumnya. Pemerintahan era Meiji memberi
perintah untuk ‘memisahkan antara dewa-dewi Shinto dan Buddha’.
Terdapat beberapa motivasi untuk melakukan pemisahan ini, pertama
adalah untuk menggulingkan pemerintahan Tokugawa dan kembali ke
praktik kuno, pemerintahan imperial langsung. Kedua, menyatukan
antara agama dengan praktek pemerintahan untuk menjadikan Shinto
sebagai agama nasional. Saat dikeluarkannya perintah pemisahan dewa-
dewi Shinto dan Buddha, perintah ini ditambah dengan sentimen negatif
yang memberi dampak pengrusakan kuil dan patung Buddha besar-
besaran di Jepang. Kelompok Buddha semakin terhimpit ketika
pemerintah kala itu mengeluarkan aturan penyitaan tanah milik kuil

18
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Buddha yang menyebabkan kelompok Buddha kehilangan aset besar-
besaran. Agama Buddha sendiri di sadari memiliki banyak cacat yang
menunut koreksi karena membuat bingung kepercayaan pribumi
meskipun ide-ide penganut Buddha memperkaya konsep keilahian
Jepang yang sederhana. Hal ini dibuktikan dari buku yang diterbitkan
oleh Giulio Aleni seorang pastor Jesuit dari Venice tahun 1625 yang
berjudul ‘San Shun Lun Xue Ji’, terdapat percakapan antara dirinya
dengan intelektual tiongkok dimana Aleni mengkritik ajaran Buddha dan
Konfusianisme serta menekankan kebenaran ajaran Katolik.
Pasca dipisahkannya antara Buddha dan Shinto, larangan
penyebaran agama Kristen dicabut. Pencabutan larangan ini menjadi
angin segar kepada para misionari Kristen, utamanya Amerika untuk
kembali menyebarkan ajaran agama Kristen serta mendirikan sekolah-
sekolah dengan menawarkan pendidikan modern di Jepang. Para
misionaris ini telah mempelajari bahasa China untuk dapat memasuki
Jepang dengan mudah melalui Nagasaki.
Dimulai beberapa tahun setelah 1875, ide-ide budaya Barat
modern dan negara monolitik bersaing untuk mengontrol agama di
Jepang. Kekristenan berkembang menjadi suatu aspek dari keinginan
untuk memodernisasi Jepang. Ditengah-tengah perkembangan
penyebaran agama Kristen dan modernisasi, kelompok umat Kristen dan
tokoh penganjur modernisasi menuduh Buddha sebagai agama yang
fatalistik, pasrah terhadap status quo, tidak berminat memperjuangkan
kehidupan duniawi yang lebih, hanya memikirkan kehidupan setelah
mati. Menyadari banyaknya cacat, Buddha tidak hanya memikirkan
perihal rohaniyah, namun juga membicarakan perihal duniawi dan
semakin formal. Namun, umat Buddha menentang agama Kristen dengan
menggunakan filsafat naturalistik Barat. Filsafat Naturalistik sendiri
dipelopori oleh J.J Rosseau, yang berpendapat dalam bukunya  Émile, ou
De l’éducation bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai
pembawaan baik. Pembawaan baik ini akan rusak karena dipengaruhi

19
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
lingkungannya. Pendidikan yang diajarkan orang dewasa akan merusak
pembawaan baik tersebut. Aliran naturalistik sendiri menitikberatkan
pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris. Selain itu juga,
imam Bernadib menyebutkan bahwa Naturalisme itu merupakan orang
tua dari Realisme. Mengandung nilai estetis dan etis yang didapat dari
alam.
Dalam kondisi ini, para pemimpin Shinto yang memiliki
kekuatan bereaksi politik, terus berusaha untuk kembali mendapatkan
posisi istimewa sebagai agama nasional. Melalui hal ini, pemerintah
mengatur hak kebebasan beragama dalam konstitusi 1889 dimana, secara
teori menjamin kebebasan beragama, tetapi kebebasan ini tergantung
pada warga negara yang memenuhi kewajibannya kepada kaisar sebagai
subjek. Kondisi yang bebas ini menjadikan rakyat ‘beragama’ namun
tanpa disadari, terhadap ‘agama’ ini menjadikan rakyatnya lupa tentang
sesama. Dalam daftar adat istiadat buruk pada masa itu menurut Dohi
Masataka yang dikutip dalam Susy ONG (2017), terdapat penganut
agama Buddha, Kristen, dan Shinto yang rajin ke rumah ibadah, ketika
beribadah sampai menangis-nangis, meraung-raung memanggil Tuhan,
antusias menyumbang untuk keperluan ibadah, namun mereka seenaknya
menunggak pajak dan uang sekolah anak-anaknya, antusias mengikuti
kegiatan di tempat ibadah tapi enggan menyumbang untuk fakir miskin,
rela meninggalkan pekerjaan dan orang tua demi ziarah ke tempat yang
jauh, ada yang rela memutus hubungan dengan orang tua dan sanak
saudara demi masuk Kristen, berdoa meminta kesembuhan tetapi tidak
berobat ke dokter. Dibandingkan dengan beragama, justru tidak terdapat
kesan beragama di dalam kesehariannya. Membuang-buang waktu,
malas, pelit, lupa terhadap prioritas dan sebagainya. Sekali lagi sikap-
sikap yang ditunjukan tidaklah menunjukan cerminan kepentingan
bersama meskipun dikatakan ‘beragama’ yang secara jelas, agama
semestinya memiliki nilai-nilai kemaslahatan bersama dan tidak hanya
mengenai iman.

20
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
2.2.3. Diskritisasi Wanita Dalam Peranannya
Kemudian hal-hal yang menjadi kekeliruan, yang memberi kesan
minus terdapat pada peranan wanita. Dimulai pada periode Heian (794-
1185) di mana Jepang dilanda perang antar keluarga aristoktasi militer yang
berkepanjangan, kedudukan wanita dalam kehidupan sosial dan politik
mengalami pergeseran. Adanya pandangan bahwa secara fisik kaum wanita
tidak cukup kuat dalam peperangan adalah mengurangi peranan wanita,
sehingga konflik bersenjata menjadi salah satu penyebab mundurnya status
wanita dalam kehidupan sosial. Hak hidupnya dilanggar, hak pendidikan
anak perempuan tidak terpenuhi, hak untuk tidak mengalami kekerasan
justru meningkat (Saparinah Sadli, “Tujuan Pembangunan Milenium
(Milenium Development Goals/MDGs) Perspektif Gender”, Pidato
Penerima Hamengku Buwono IX 2004, 20 Desember 2004).
Periode ini juga adalah masa transisi ke budaya aristokrasi yang
feodalistik, dimana status laki-laki meningkat bersamaan dengan naiknya
kekuasaan golongan samurai. Sebaliknya status wanita merosot dan lambat
laun dikeluarkan dari struktur feodal dan menerima peran yang tidak
penting serta hanya sebagai pelengkap kaum pria (Edwin O. Reischauer,
270).
Pada masa pemerintahan Tokugawa, pemerintah saat itu melakukan
sistem pemerintahan hirarkial dimana, pemerintah pusat mengatur seluruh
aktivitas pemerintahan dengan memberlakukan Shi No Ko Sho. Pemerintah
Tokugawa juga tidak hanya membagi masyarakat dengan Shi No Ko Sho,
namun juga membagi masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Hal ini
didasari oleh bentukan ajaran agama Buddha utamanya sekte-Zen dan
ajaran Konfusianisme. Sekte-Zen adalah salah sekte di dalam agama
Buddha yang dikenalkan pertama kali oleh Eisai (1141-1215) seorang
pendeta Buddha. Sekte ini banyak dianut oleh para kalangan samurai.
Seorang ahli agama di Jepang yang bernama Suzuki mengatakan:

21
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
“Zen telah bersatu dengan semangat kaum samurai, karena Zen
telah berkembang dengan baik di Jepang sejak lahirnya kaum
samurai. Disamping itu, Zen mempunyai metode langsung
untuk mencapai keyakinan, dan adalah agama yang
mengutamakan kemauan baja, karena kemauan baja adalah
syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang samurai”
(I Ketut Surajaya, 1985:14).

Sederhana, langsung, menekankan pada diri sendiri, menolak atau


mengorbankan diri sendiri, dengan prinsip-prinsip inilah sekte-Zen menjadi
popular di kalangan para Samurai karena sejalan dengan dengan semangat
bertempur kaum samurai (Kitty Quintarina Aman, 1986:10). Sedangkan
Konfusianisme, adalah isme yang berisikan tentang ajaran-ajaran Konfusius
yang menitik beratkan pada semangat kesetiaan, bersifat patriotik, dan
nasionalistik. Namun ajaran ini memiliki sedikit perbedaan dengan dari
negara asalnya, Cina. Ciri khas ajaran Konfusius yang berkembang di
Jepang adalah loyalitas yang teramat tinggi terhadap atasan. Pandangan
ajaran Buddha mengenai wanita menjelaskan: “Wanita adalah mahluk yang
kejam dengan penampilan bentuk malaikat, yang menutupi jiwa yang kejam
di dalam lubuk hatinya” (Dore Ogrizek, 1957:313).
Pandangan ajaran agama Buddha mengenai wanita ini memberi
gambaran bahwasanya wanita secara bathiniyah adalah buruk, sedang
kecantikan lahiriyah adalah topeng yang menutupi keburukan. Hampir
serupa dengan dengan ajaran Buddha, ajaran Konfusius mengatakan: “laki-
laki dan perempuan tidak perlu duduk bersama-sama di dalam kelas sesudah
umur tujuh tahun” (Dore Ogrizek, 1957:312).
Karena pemerintahan yang bersifat feodal dan banyaknya penganut
ajaran Buddha dan Konfusianisme di Era ini, dengan demikian, peran dan
kedudukan wanita menjadi tersekat-sekat serta pada setiap strata berbeda.
Pembagian ini memengaruhi pekerjaan dan kedudukannya di dalam strata
sosial terutama di kelas bushi.
Sebelum abad ke-19, perempuan di Jepang dianggap dan dipandang
sebelah mata. Kaum perempuan hampir tidak memiliki hak apapun. Mereka

22
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
harus patuh pada kaum pria, tidak punya hak edukasi, tidak punya hak
politik, dan kerap kali menjadi objek seksual semata. “Tubuh wanita adalah
sebuah panggung drama” (Simone de Beauvoir. The Second Sex (1908-
1986)).
Fungsi sosial kaum wanita hanya dihargai sebagai kaum ibu yang
melahirkan anak, dan membesarkan anak para pengganti kepala keluarga.
Ajaran untuk kaum wanita di dalam buku ‘The Grater Learning for Women’
menekankan derajat kaum wanta lebih rendah daripada pria (Masu Okamura
1983:1).
Di Jepang, para wanita telah lama dinyatakan lebih rendah statusnya
dibanding dengan pria dan diharapkan untuk menunjukan perbedaan pria
dengan dirinya dalam tingkat yang setinggi-tingginya melalui penggunaan
bahasa yang sopan dan bentuk-bentuk hormat dalam bicara, membungkukan
badan lebih dalam daripada pria, berjalan di belakang suaminya dihadapan
umum, dan masih banyak cara lain sebagai bentuk kepatuhan terhadap pria
(Loveday, 1986:12). Hal ini berawal dari pemikiran danson-johi (Haruhiko,
1997:210) mengedepankan sikap menghormati kaum pria dan merendahkan
kaum wanita (Izuru, 1990:1632).
Hal ini berlanjut hingga era restorasi Meiji. Menurut Dohi Masataka,
ada daftar adat istiadat buruk masyarakat Jepang di masa itu, salah satunya
Jepang sangat meremehkan perempuan. Negara akan maju jika rakyat
pandai; rakyat pandai karena pendidikan yang baik; pendidikan yang baik
bergantung pada peran ibu. Napoleon, Washington, dan Mencius (filsuf
Tiongkok) menjadi tokoh besar karena peran ibu. Sedangkan di Jepang,
status sosial perempuan masih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Selain
itu juga, karena peran wanita yang masih rendah, mentalitas yang
dibentukpun, mau enaknya saja, bergantung pada orang lain, tidak mau
berusaha, kurang ulet. Misalnya banyak orang tua yang menjual putrinya
untuk menjadikannya sebagai seorang pelacur atau istri muda agar orang
tuanya bisa hidup tanpa bekerja (Susy ONG, 2017:18, 20 & 22). Kemudian
pada contoh lain, dilegalkannya pelacuran oleh pemerintah yang

23
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
manandakan bahwa wanita adalah the second sex yang menjadikan wanita
objek seksual.

2.2.4. Western Shock Sebagai Fenomena Perubahan Mentah


Selama proses transisi pemerintahan Tokugawa ke pemerintahan
Meiji., dalam penataannya terjadi berbagai macam kendala baik dari segi
sumber daya sosia, ekonomi, politik, pendidikan, militer dan lain
sebagainya. Kemudian satu demi satu masalah tersebut di coba diselesaikan
dengan mulai menata sumber daya manusia dan pendidikannya, karena
Jepang menyadari bahwa mereka sudah sangat jauh tertinggal dibandingkan
dengan negara-negara Barat. Namun demikian, perubahan cepat yang
terjadi, memberikan pergeseran-pergeseran yang sangat drastis pula dari
berbagai aspek baik itu nilai maupun moral.
Pada masa ini saat westernisasi terjadi, masyarakat Jepang terobsesi
dengan semua hal yang berbau Barat. Mulai dari ujung kaki hingga ujung
rambut. Semuanya diserap secara mentah hanya agar terkesan lebih beradab.
Alih-alih ingin meniru gaya barat, justru sebaliknya. Seorang pelukis asal
Perancis yang berama George Ferdinand Bigot (1860-1927) yang saat itu
sedang bermukim di Jepang, menyampaikan gambaran ‘culture shock’ atau
fenomena tidak normal tersebut melalui karikatur yang dilukiskannya,
seperti memperi kesan bahwa masyarakat Jepang ingin terlihat kebarat-
baratan namun semakin terlihat kampungan seperti mabuk-mabukan dan
bertelanjang dada di stasiun kereta hingga menjadi tontonan publik
(http://www.alamy.com/stock-photo-caricature-of-georges-ferdinand-bigot-
69858886.html).
Tidak berhenti sampai disitu, status budaya yang dimiliki Jepang
saat ini, seperti Sumo dan Kabuki pada saat maraknya westernisasi,
dianggap tidak beradab karena cerita di dalam Kabuki dianggap tidak
senonoh atau vulgar dan hanya dinikmati oleh rakyat biasa. Kemudian
Sumo dianggap tidak beradab karena pakaian yang digunakan hampir
telanjang.

24
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Meluasnya stigma ‘adab Barat’ menjadikan masyarakat seperti
merendahkan budaya mereka sendiri yang tanpa disadari, mereka sudah
menggeser nilai-nilai kebudayaan yang dibangun selama ini hanya untuk
terlihat lebih ‘beradab’ dan menganggap bahwa budaya Jepang dimasa ini
‘tidak beradab’. Kata selektif sudah terlewatkan sehingga melupakan
‘budaya barat yang bermanfaat boleh diterapkan’ dan ‘budaya Jepang yang
sudah tidak bermanfaat harus dibuang’.

25
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 3
KAMPANYE PEMERINTAH JEPANG DALAM MEMBENTUK
KARAKTER MASYARAKAT JEPANG

Pada bab sebelumya penulis telah menjelaskan mengenai latar belakang


pemerintah Jepang dalam melakukan kampanye nasionalnya. Dimulai dari kondisi
geografisnya, Restorasi Meiji yang menjadi pintu gerbang kampanye nasional,
kemudian beberapa waktu setelahnya, ketika Misi Iwakura dimulai, pemerintah
menyadari bahwa negara Jepang terdapat banyak kekurangan baik itu dari segi
pendidikan, teknologi, ekonomi, budaya dan militer. Perihal nilai wanita yang
masih rendah, agama yang dipolitisasi oleh rezim berkuasa sebelumnya.
Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai substansi dari latar
belakang diatas serta keterkaitannya dengan gerakan kampanye nasional yang
diterapkan pemerintah dalam rangka memajukan Negara Jepang.

3.1. Reformasi Budaya di dalam Restorasi


Budaya adalah kata yang cukup rumit. Kata budaya telah diperdebatkan
oleh para antropologis dalam waktu yang tidak singkat. Dalam tinjauan historis,
Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952) dalam jurnalnya yg
berjudul Culture: a critical review of concepts and definitions menemukan lebih
dari 150 definisi. Definisi yang paling berpengaruh dalam antropolgi awal adalah
yang dikemukakan oleh Edward B. Taylor (1877) yakni keseluruhan kompleks
yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kemampuan,
dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kemudian konsep budaya terus dikonsepkan lagi dan lagi.
Budaya didalam literatur antropologi telah larut menjadi aliran proses
budaya dengan tempat-tempat dan batas-batas yang tidak pasti. Tidak lagi tubuh
tetap tradisi, makna, atau elemen lain, budaya telah menjadi sesuatu yang terus-
menerus ‘dalam pembuatannya’ yang selalu berubah hasil dari proses sosial dan
perjuangan (Sökefeld, 1999: 429).

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang bab sebelumnya, poin-poin
besar budaya yang menjadi hambatan Jepang dalam memajukan negaranya
berkaitan satu dengan yang lainnya seperti pada diskritisasi peranan wanita,
disebabkan oleh ajaran Konfusianisme dan Buddha yang menganggap wanita
tidaklah lebih tinggi derajatnya daripada seorang pria. Kebudayaan dipetakan juga
kedalam tiga tahap yang berkesinambungan, yakni tahap mitis, ontologis, dan
tahap fungsional. Tahap mitis adalah sikap manusia yang merasa dibatasi oleh
kekuatan gaib sekitarnya. Tahap ini menggambarkan manusia dan perihal
agamanya. Kemudian pada tahap kedua, manusia yang sudah tidak merasa
terkepung lagi oleh kekuatan-kekuatan mitis alam sekitar. Dalam artian manusia
sudah lebih berani dan bebas serta menarik diri sebagai subjek dengan
mempertanyakan alam sekitarnya dan meneliti. Kemudian pada tahap akhir,
manusia yang mencari keterkaitan, relasi-relasi baru dengan lingkungannya,
dimana banyak hal dipandang pada fungsinya (Peursen, 1976:180). Pada contoh
diskritisasi peran wanita nampak jelas bahwa ajaran Konfusianisme dan Buddha
adalah tahapan mitis yang mengekang individu, kemudian bergerak menjadi,
wanita yang menjadi subjek hingga akhirnya memandang fungsi masing-masing.
Pada tahapan subjek dan fungsional inilah disadari Reformasi budaya dibutuhkan.
Dohi Masataka pada awal bukunya yang dikutip dalam Susy ONG (2017)
menuliskan slogan ‘heaven helps those who help themselve’ yang mana slogan ini
dipopulerkan oleh Samuel Smiles seorang penulis asal Skotlandia dalam buku
“Self Help” yang terbit di tahun 1859. Isi buku ini adalah tentang 300 riwayat
hidup orang di Eropa dan Amerika yang berhasil di bidang industri, dan
perdagangan berkat kerja keras dan hidup hemat. Buku ini berhasil diterjemahkan
dalam bahasa Jepang sekaligus menjadi bestseller pada tahun 1871. Pada zaman
ini populasi Jepang diperkirakan mencapai 30 juta jiwa dengan tingkat literasi
(melek huruf) sekitar 20%. Berarti terdapat sekitar 24 juta jiwa buta huruf. Namun
disaat yang sama, pemuda ‘milenial’ yang telah melek huruf, buku ini menjadi
pendorong semangat serta inspirasi baru yang memberi dampak perubahan pada
budaya masyarakat Jepang.

27
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Mulai adanya kesadaran yang mendalam mengenai keharusan untuk
bertransformasi agar dapat bersaing dengan negara-negara Barat, Jepang
selangkah demi selangkah dan dalam kurun waktu singkat dapat merubah
kebudayaan-kebudayaan yang menghambat laju perkembangan negara. Banyak
cara yang dilakukan pemerintah untuk mereformasi budaya, beberapa diantaranya
melalui pendidikan yang menjadi peran penting dalam self building. Kemudian
merekayasa figur-figur tradisional agar masyarakat memiliki visi yang serupa dan
sejalan sehingga masyarakat tidak kehilangan panutan setelah runtuhnya rezim
Tokugawa.

“Satu setengah abad yang lalu filsof Jerman Imanuel Kant sudah
menulis bahwa ciri khas kebudayaan adalah terdapat kemampuan
manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan
sekolah dimana manusia dapat belajar. Dalam kebudayaan manusia
tidak hanya bertanya bagaimana sifat-sifat sesuatu, melainkan pula
bagaimana sesuatu itu seharusnya bersifat” ( Peursen, 1976: 14 ).

“Peradaban suatu negara tidak boleh dinilai dari apa yang kelihatan
dari luar saja. Sekolah-sekolah, industry, angkatan darat dan
angkatan laut, hanya merupakan bentuk-bentuk fisik dari suatu
peradaban. Tidak sukar membuat barang-barang fisik itu karena
semuanya dapat di beli dengan uang. Tetapi, di balik semua itu
terdapat suatu komponen spiritual, yang tidak kelihatan oleh mata
atau di dengar dengan telinga, tidak mungkin dibeli atau dijual,
dipinjam atau dipinjamkan. Tetapi, pengaruhnya pada pembinaan
suatu bangsa adalah besar sekali. Tanpa unsur ini, semua sekolah,
industri, dan kemampuan kita dalam bidang angkatan bersenjata,
tidak akan mempunyai makna apapun. Apa yang dimaksudkan ini
memang unsur yang maha penting, yaitu jiwa peradaban itu sendiri,
…” (Fukuzawa Yukichi, 1985:69).

Artinya, dalam proses belajar Jepang, merupakan langkah tepat ketika


pemerintah dan masyarakatnya mengambil jarak terhadap lingkungan, kemudian
memaknai apa yang seharusnya, tidak sekedar memaparkan fakta namun juga
bagaimana masyarakatnya menyikapi dan memaknai lingkungannya. Sehingga
Jepang dapat bergerak selangkah lebih cepat dalam upaya mengejar
keterbelakangannya.

28
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
3.1.1. Fiksionalisasi Semangat Juang Jepang
Bushi adalah kata dalam Bahasa Jepang yang secara kasar
diterjemahkan sebagai Kesatria, dalam kultur Barat lebih ekspresif daripada
Horsemanship. Bushido secara harfiah berarti jalan kesatria cara-cara yang
para bangsawan lakukan, mencerminkan kehidupan mereka sehari-hari.
Mengenai asal usul Bushido, secara umum, bushido muncul dengan
munculnya kelas samurai, dikatakan bahwa itu selesai pada periode
Tokugawa. Awalnya Bushi adalah keterampilan bertempur oleh para
samurai. Kemudian berubah menjadi sebuah jalan hidup yang mengandung
etika-etika moral serta nilai-nilai. Konsep Bushido sesungguhnya bukanlah
sebuah konsep budaya tradisional Jepang karena konsep yang diajarkan
sangat kental hubungannya dengan konsep dan ajaran Buddha serta
Konfusianisme. Selain itu, Jika konsep Bushido adalah sebuah konsep yang
diajarkan pada kelas Bushi, maka ada konsep-konsep lain dari kelas yang
lain.
Bersamaan dengan kemajuan Jepang Pada tahun 1890, berbagai hal
telah dilakukan agar Jepang memulai tatanan barunya, mulai dari
pengesahan konstitusi, sistem parlemen, hingga industri, pemerintah dan
para intelektual Jepang beranggapan bahwa sudah waktunya untuk mereka
berhenti ‘meniru’ karena banyak hal yang ditiru semenjak peralihan rezim.
Bahkan karena terlalu banyak yang ditiru, menyebabkan Jepang seperti
tidak memiliki identitasnya. Untuk itu, diperlukan adanya ‘penciptaan’
budaya yang menggambarkan Jepang untuk menanamkan rasa nasionalisme
kepada masyarakat Jepang.
Salah satu bentuk ‘ciptaan’ ini adalah Bushido. Pastilah terlintas
pada benak pembaca bahwa konsep Bushido merupakan salah satu konsep
budaya tradisional jepang yang lahir sejak lama. Namun konsep ini baru
benar-benar dikenal sekitar tahun 1900 melalui sebuah buku yang berjudul
Bushido: The Soul of Japan. Buku ini diterbitkan di Amerika dan di tulis
oleh seorang pria berkebangsaan Jepang bernama Nitobe Inazo. Nitobe lahir

29
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
di Marioka, Provinsi Mutsu (sekarang bernama prefektur Iwate). Keluarga
Nitobe merupakan kelas Bushi, ayahnya adalah punggawa daimyo klan
Nanbu. Saat ia berumur 6 tahun, rezim pemerintahan berganti sehingga
kelas-kelas dalam masyarakat dihapuskan. Nitobe menempuh pendidikan di
Sapporo Agricultural College (sekarang Universitas Hokkaido). Ia menjadi
Kristen di bawah warisan kuat yang ditinggalkan oleh Dr. William S. Clark,
Wakil Kepala Sekolah pertama, yang telah mengajar di Sapporo selama
delapan bulan sebelum kelas Nitobe tiba di tahun kedua setelah pembukaan
perguruan tinggi, dengan demikian mereka tidak pernah secara pribadi.
Teman sekelas Nitobe yang masuk agama Kristen pada saat yang sama
termasuk Uchimura Kanzo. Nitobe dan teman-temannya dibaptis oleh
misionaris Episkopal Metodis Amerika, M.C. Harris. Keputusan Nitobe
untuk belajar pertanian adalah karena harapan yang diungkapkan oleh
Kaisar Meiji bahwa keluarga Nitobe akan terus memajukan bidang
pengembangan pertanian (ayah Nitobe mengembangkan bekas lahan limbah
di utara domain Nanbu dekat Towada masa kini, sekarang bagian dari
Prefektur Aomori, menjadi tanah pertanian produktif).
Pada tahun 1883, Nitobe memasuki Tokyo Imperial University untuk
studi lebih lanjut dalam sastra Inggris dan ekonomi. Kecewa dengan tingkat
penelitian di Tokyo, ia keluar dari universitas dan mencari peluang belajar
di Amerika Serikat. Pada tahun 1884, Nitobe melakukan perjalanan ke
Amerika Serikat di mana ia tinggal selama tiga tahun, dan belajar ekonomi
dan ilmu politik di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland.
Sementara di Baltimore ia menjadi anggota klub kaum Quaker (salah satu
denominasi Protestan). Melalui komunitas Quaker di Philadelphia dia
bertemu Mary Patterson Elkinton, yang akhirnya dia nikahi. Ia juga
memengaruhi pendirian sekolah di Tokyo. Di Johns Hopkins, ia
berpartisipasi dalam Seminar Sejarah dan Politik, setelah kepergiannya dari
Hopkins pada tahun 1887, seorang rekan membaca sebuah makalah yang
ditulis oleh Nitobe pada tahun 1888, berjudul "Orang Jepang di Amerika",
di mana ia mempelajari misi resmi pertama yang dikirim dari Jepang ke

30
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Amerika Serikat, dimulai pada tahun 1860. Dia kemudian kembali ke
Hopkins pada bulan Desember 1890, ketika ia mempresentasikan makalah
tentang "Perjalanan dan Belajar di Jerman". Juga pada tahun 1890, Johns
Hopkins memberikan Nitobe gelar sarjana kehormatan, sebagai pengakuan
atas prestasinya meskipun tidak mendapatkan gelar PhD dari Hopkins.
Sementara di Johns Hopkins, ia diberikan asisten profesor di
almamaternya, Sapporo Agricultural College, tetapi diperintahkan untuk
terlebih dahulu mendapatkan gelar doktor di bidang ekonomi pertanian di
Jerman. Dia menyelesaikan gelarnya setelah tiga tahun di Universitas Halle
dan kembali sebentar ke Amerika Serikat untuk menikahi Mary Elkinton di
Philadelphia sebelum dia mengambil posisi mengajar di Sapporo pada tahun
1891. Pada saat dia kembali ke Jepang, dia telah menerbitkan buku-buku
dalam bahasa Inggris dan di Jerman, dan telah menerima gelar doktoralnya
yang pertama dari lima.
Nitobe melanjutkan masa mengajarnya di Sapporo hingga tahun
1897 ketika ia pergi dari kampus. Dia menghabiskan tiga tahun menulis
pertama di Jepang dan kemudian di California. Salah satu buku yang
ditulisnya selama periode ini adalah Bushido: The Soul of Japan.

Gambar 3.1. Buku Bushido: The Soul of Japan


Sumber : Website, id.lib.harvard.edu

31
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Adapun hal-hal yang mendasari Nitobe mengenai penulisan buku ini
ada pada halaman pengantar buku tersebut.

“About ten years ago, while spending a few days under the
hospitable roof of the distinguished Belgian jurist, the
lamented M. de Laveleye, our conversation turned, during
one of our rambles, to the subject of religion. "Do you mean
to say," asked the venerable professor, "that you have no
religious instruction in your schools?" On my replying in the
negative he suddenly halted in astonishment, and in a voice
which I shall not easily forget, he repeated "No religion! How
do you impart moral education?" The question stunned me at
the time. I could give no ready answer, for the moral precepts
I learned in my childhood days, were not given in schools;
and not until I began to analyze the different elements that
formed my notions of right and wrong, did I find that it was
Bushido that breathed them into my nostrils.
The direct inception of this little book is due to the
frequent queries put by my wife as to the reasons why such
and such ideas and customs prevail in Japan.
In my attempts to give satisfactory replies to M. de
Laveleye and to my wife, I found that without understanding
Feudalism and Bushido, the moral ideas of present Japan are
a sealed volume.” (Nitobe Inazo, 1900:preface)

Artinya, Nitobe sendiri tidak mengetahui apa yang menjadi dasar


moral masyarakat Jepang karena tidak pernah diajarkan di sekolah secara
formal. Kemudian, jawaban yang ditemukannya adalah jalan hidup para
bushi, kelompok yang menempati kelas teratas dalam hierarki masyarakat
feodal di Jepang (1868). Menurutnya Bushi di Jepang memiliki panduan
moral yang sama dengan kesatria di Eropa (Chivalry) pada abad
pertengahan seperti yang penulis ungkapkan di bagian awal materi ini
sebelumnya. Selain itu juga, panduan moral yang dianut oleh Bushi
mengandung ajaran-ajaran Buddha dan Konfusianisme seperti yang telah
dijabarkan pada bab sebelumnya.

32
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
“Zen telah bersatu dengan semangat kaum samurai, karena Zen
telah berkembang dengan baik di Jepang sejak lahirnya kaum
samurai. Disamping itu, Zen mempunyai metode langsung
untuk mencapai keyakinan, dan adalah agama yang
mengutamakan kemauan baja, karena kemauan baja adalah
syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang samurai” (I
Ketut Surajaya, 1985:14).

“Sederhana, langsung, menekankan pada diri sendiri, menolak


atau mengorbankan diri sendiri, dengan prinsip-prinsip inilah
sekte-Zen menjadi popular di kalangan para Samurai karena
sejalan dengan dengan semangat bertempur kaum samurai”
(Kitty Quintarina Aman, 1986:10).

Citra bushi yang dibangun oleh Nitobe Inazo ini merupakan sebuah
fiksionalisasi yang dibuat dengan tujuan untuk mengubah pandangan
bangsa-bangsa Barat bahwa Jepang merupakan bangsa yang beradab dengan
konsep Bushido-nya. Hal ini di jelaskan pula pada jurnal milik Funazu Akio,
Observasi mengenai Bushido di Era Meiji seputar buku Bushido karya
Nitobe Inazo dalam: Gengo to Bunka, no.4, prodi Linguistik dan
Kebudayaan Internasional, Universitas Nagoya, Jepang.
Setelah sebelumnya buku ini menjadi booming di negara Barat, buku
ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang dan menuai banyak kritik karena
tidak jelas sumber yang digunakan oleh Nitobe. Meski demikian, buku hasil
fiksionalisasi ini berhasil membentuk Jepang pada masa percepatannya.
Lebih lagi, dampak dari fiksionalisasi ini adalah digunakannya materi di
dalam buku ini oleh Inggris guna mengangkat semangat patriotisme serdadu
Inggris (Hashimoto Yorimitsu. Populernya Bushido dan Jujutsu di Inggris
pada masa Perang Jepang-Rusia. Dalam: Handai Hikaku Bungaku (Studi
Sastra Komparatif Universitas Osaka), edisi Maret 2013, hal. 178-198).
Secara langsung maupun tidak langsung, bangsa-bangsa Barat
percaya akan citra patriotisme bangsa Jepang yang dibangun pada buku
tersebut. Jepang telah berhasil menjadi role model melalui buku tersebut.
Dengan berubahnya pandangan dunia terhadap Jepang melalui fiksionalisasi
ini, artinya Jepang telah berhasil dalam membentuk fondasi dasar

33
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
masyarakat yakni semangat hidup dan semangat patriotismenya dengan
asumsi, semangat tersebut berhasil membangkitkan semangat pemuda-
pemuda Barat. Langkah yang dilakukan oleh Nitobe inipun sejalan dengan
pandangan yang diutarakan oleh Fukuzawa Yukichi melalui bukunya.

“… Sejumlah orang harus mengambil prakarsa dan


memberikan teladan kepada rakyat untuk memperlihatkan
kepada mereka ke mana arah-tujuan harus dipancangkan. …
Para cendekiawan dalam ilmu-ilmu peradaban Baratlah yang
harus memenuhi tugas ini” ( Fukuzawa Yukichi, 1985:59).

3.1.2. Fiksionalisasi Melalui Dunia Pendidikan


Berbicara mengenai dunia pendidikan Jepang, tidaklah ada habisnya
jika dibandingkan dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia namun,
secara umum, Indonesia maupun Jepang memiliki beberapa kesamaan.
Diantaranya adalah menanamkan karakter kebangsaan negaranya melalui
pendidikan formal dan non formal dimana, Jepang sendiri, tidak hanya
pemerintah melainkan masyarakat ikut bertanggung jawab dalam
pembentukan karakternya, tetapi, ini tidak serta merta berjalan pada waktu
yang singkat. Untuk mencapai tujuan ini pemerintah sampai melakukan
fiksionalisasi tokoh.
Usaha-usaha pembentukan karakter yang bersifat publik dimulai
pasca kemenangan perang melawan Tiongkok (1894-1895) yang mana
Jepang mendapatkan 4 kali APBD dari rampasan perang tersebut.
Kemudian tanah jajahan yang berhasil ditaklukkan, dijadikan sebagai pasar
industri. Lalu keuntungan-keuntungan tersebut dijadikan modal untuk
membangun industri, dimulailah revolusi industri Jepang. Namun
pembangunan industri ini tidak semulus yang diharapkan karena fakta yang
terjadi dilapangan saat itu, industrialisasi ini telah memicu kesenjangan
sosial dan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat. Hal ini menjadi
semakin pelik ketika banyak kaum-kaum intelektual yang berpaham sosialis

34
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
memulai aksi protes terhadap kesenjangan sosial yang terjadi. Aksi-aksi
protes ini menjadi semakin marak hingga kaum-kaum intelektual sosialis
mendirikan Partai Sosialis Demokrat yang bahkan baru dua hari berdiri
sudah dicap sebagai partai terlarang karena menebarkan rasa ketidak
tentraman dan mengganggu ketertiban umum.
Kemudian selama setahun Jepang berperang dengan Rusia 1904-
1905, tercatat bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk perang
sekitar tujuh kali APBN Jepang. Untuk itu pemerintah Jepang menaikkan
pajak negaranya dan berhutang pada negara lain. Diakhir peperangan, dapat
dikatakan tidak ada negara yang kalah karena Jepang tidak mendapatkan
rampasan perang. Selain tidak mendapatkan rampasan perang, perjanjian
damai Jepang-Rusia dilakukan.
Setelah berperang dan kembali dengan tangan kosong ditambah
hutang kepada negeri lain, tentu saja terjadi kesenjangan sosial dan resesi
secara besar. Pajak ditinggikan agar pemerintah dapat membayar hutang-
hutang negara. Karena rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah,
terjadi demonstrasi besar-besaran di Tokyo. Demonstrasi ini mengakibatkan
kerusakan pada 350 gedung dan sekitar 70% kantor polisi. Insiden ini
dikenal dengan ‘日 比 谷 焼 打 事件 (Hibiya yakiuchi jiken)’. Masyarakat
sangat frustasi yang sudah seperti minyak, diberi sedikit percikan api oleh
golongan oposisi.
Pada posisi ini antara rakyat dan pemerintah memiliki pandangan
yang berbeda, menurut Jhon Rawls, hal ini dikonsepkan dengan istilah
Difference Principle, karena satu-satunya ketidaksetaraan material yang
diizinkan oleh Difference Principle adalah mereka yang menaikkan tingkat
yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat, secara material runtuh ke
bentuk kesetaraan yang ketat di bawah kondisi empiris di mana perbedaan
pendapatan tidak berpengaruh pada insentif kerja orang dan karenanya,
tidak ada kecenderungan untuk meningkatkan pertumbuhan. Poinnya adalah
tentang posisi absolut dari kelompok yang paling tidak diuntungkan
daripada posisi relatif mereka. Jika suatu sistem kesetaraan yang ketat

35
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
memaksimalkan posisi absolut dari yang paling tidak diuntungkan dalam
masyarakat, maka Prinsip Perbedaan menganjurkan kesetaraan yang ketat.
Jika dimungkinkan untuk meningkatkan posisi absolut dari yang paling
tidak diuntungkan lebih lanjut dengan memiliki beberapa ketimpangan
pendapatan dan kekayaan, maka Prinsip Perbedaan menetapkan
ketimpangan sampai pada titik di mana posisi absolut dari yang paling tidak
diuntungkan tidak lagi dapat dinaikkan. Sederhananya untuk tujuan
pemerintah, pemerintah memberikan beban yang seharusnya ditanggung
oleh pemerintah kepada rakyatnya sehingga memberikan kekhawatiran yang
berlebih terhadap rakyat sedangkan kondisi ekonomi saat itu belum
mencapai tingkat stabil. Dapat dikatakan manusiawi jika terjadi aksi protes
massa karena ruang gerak nafas rakyat disempitkan sedemikian sempit oleh
pemerintah.
Namun bila masyarakat sejatinya memiliki kebiasaan yang boros dan
malas untuk bekerja, maka situasi-situasi yang diciptakan oleh desakan-
desakan penurunan ekonomi pasti menimbulkan rasa frustasi masyarakat
karena tidak lagi dapat memenuhi keinginannya. Sehingga, massa yang
sudah dibutakan oleh keinginannya yang tidak kunjung terwujudkan karena
adanya desakan keadaan, dimanfaatkan oleh golongan oposisi untuk
dijadikan senjata.
Asumsi ini diperkuat oleh Inoue Tomoichi, seorang pejabat tinggi di
kementerian dalam negeri, dalam artikel di majalah yang terbit pada tahun
1912, mengeluhkan betapa malasnya orang Jepang; peternak ayam bekerja
asal-asalan, sehingga ayam di Jepang pertahun rata-rata hanya bertelur 40
butir; sedangkan ayam di Jerman pertahun rata-rata bertelur 70 butir
(Sheldon Garon, 1997:19).
Artinya, masyarakat Jepang di masa Meiji yang mendorong
perubahan sudah dan masih terlalu nyaman dengan kondisi mereka sehingga
tidak siap menghadapi perubahan kondisi yang memaksa mereka untuk
bergerak kearah yang baru. Seperti balon yang udaranya tidak terisi penuh,
karena tidak terisi penuh, maka balon tersebut dapat dibentuk menjadi

36
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sebuah bentuk yang baru. Namun jika balon tersebut diisi penuh oleh udara,
maka tidak akan dapat dibentuk bahkan meledak. Seperti itulah modernisasi
yang tidak disadari masyarakat kala itu.
Selain itu, karena ketidaksiapan ini, pandangan antara pemerintah
dan masyarakatnya menjadi tidak sejalan. Masyarakat yang menjadi lebih
mudah dikendalikan oleh oposan dengan memanfaatkan kondisi psikologis
masyarakat.

“Peradaban pemerintah Jepang tidak mungkin dipacu maju


hanya dengan memakai kekuasaan pemerintah. … peradaban
Jepang hanya akan maju setelah kita berhasil menyapu bersih
jiwa usang yang telah meresap ke dalam kalbu rakyat”
(Fukuzawa Yukichi, 1985:58-59)

Situasi pemerintah pasca perjanjian damai dengan Rusia memanglah


memberi dampak negatif, namun dikondisi inilah disadari bahwa
masyarakat terlalu nyaman dan tidak sejalan dengan rezim penguasa.
Dimana sebagai sebuah negara sudah seharusnya rakyat ikut bertanggung
jawab dan koperatif karena, pemerintah merupakan representasi dari
keinginan rakyat. Namun demikian, guna mencegah ketidakpuasan yang
semakin tinggi, serta mencegah oposan yang semakin kuat karena dukungan
rakyat yang tidak puas, kementrian dalam negeri, dan kementrian
pendidikan bekerja sama dengan tokoh masyarakat serta para pelaku bisnis
mendirikan sebuah asosiasi yang bernama Asosiasi Hotoku Nasional.
Anggota pendiri Hirata Tösuke, Ichiki Kitokurö, Okada Ryöhei,
Sawayanagi Masatarö, dan lainnya. Mereka sangat terlibat dalam
pengembangan prakarsa kebijakan sosial yang dipimpin oleh negara
sebelum perang, termasuk pembentukan Kampanye Peningkatan Lokal.
Kampanye Peningkatan Lokal (Chihö kairyö undo) adalah rencana
Kementerian Dalam Negeri untuk membawa perubahan cepat ke beberapa
aspek administrasi desa dan kehidupan desa dengan harapan mengubah
fokus isu politik dan sosial mengingat masih terdapat banyak permasalahan
pasca perang dengan Rusia.

37
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Secara harfiah, Hotoku berarti ‘balas budi’. Konsep balas budi ini
sejatinya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan.
Konsep ini adalah ajaran yang digunakan oleh seorang petani yang bernama
Ninomiya Sontoku (1787-1856). Ninomiya Sontoku adalah figur yang tidak
menggerutu kepada pemerintah, apa adanya, rajin menabung, serta suka
membantu orang lain. Ninomiya terkenal karena keahliannya dalam
mengambil komunitas miskin dan mengembalikan mereka ke ekonomi yang
sehat.
Proses yang ditekankan Ninomiya dimulai dengan kejujuran dalam
berurusan dengan orang lain, ketekunan (kerja keras, untung, dan hidup
hemat), manajemen keuangan yang sehat, dan kesediaan untuk menyerah
kepada orang lain atau mengorbankan kebutuhan sendiri demi kebaikan
yang lebih besar. Konsep berpikir ini, adalah dasar konsep dalam ajaran
Ninomiya.
Meskipun Ninomiya tidak meninggalkan karya filosofis tertulis,
idenya kemudian ditranskripsi oleh murid-muridnya: Tomita Takayoshi,
Fukuzumi Masae dan Saitō Takayuki. Ninomiya menggabungkan tiga
untaian ajaran Budha, Shinto dan Konfusianisme kemudian mengubahnya
menjadi prinsip-prinsip etika praktis yang matang dari pengalamannya. Dia
melihat pertanian sebagai bentuk kemanusiaan tertinggi karena itu adalah
penanaman sumber daya yang diberikan oleh Dewa.
Ajaran yang diajarkan Ninomiya lebih banyak berhubungan dengan
sikap dan disiplin diri daripada keadaan seseorang. cara untuk menjalani
kehidupan yang damai menurut Ninomiya adalah ‘membawa kayu dari
gunung hari ini untuk merebus beras besok, dan malam ini. Untuk membuat
tali jerami untuk memperbaiki pagar besok’. Ajaran Ninomiya
menempatkan tanggung jawab untuk sukses dengan kuat pada pundak
masing-masing petani. Ajaran Ninomiya benar-benar memposisikan
individu sebagai subjek utama. Meski begitu, solusi Hotoku terhadap
kemiskinan adalah pekerjaan yang lebih sulit, bukan perubahan
keseimbangan kekuasaan antara yang kaya dan yang miskin.

38
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dalam hal ini, bila rakyat hanya menuntut tanpa mau berkorban,
tanpa mau bekerja keras, dan berusaha secara pribadi, maka usaha yang
dilakukan oleh pemerintah hanya akan menjadi sebuah ide dan tindakan
sepihak. Untuk itu, berbasis dari konsep pemikiran Ninomiya, Asosiasi
Hotoku Nasional mengadakan seminar penyuluhan ke desa-desa di seluruh
Jepang dalam meningkatkan semangat berdikari serta ajaran konkret dalam
peningkatan produktivitas.
Selain pada bentuk penyuluhan, pemikiran ini dimasukan kedalam
buku teks pelajaran SD yang merupakan tempat pendidikan formal
‘pertama’ yang menjadi dasar para intelektual muda dalam menuntut ilmu.
Tidak berhenti sampai disitu, bentuk usaha asosiasi ini sampai menjadikan
Ninomiya sebagai figur nasional tepat setelah wafatnya Ninomiya karena
konsep dan pemikirannya dalam pembentukan karakter individu serta
pemikiran hidup hematnya. Sehingga, masyasrakat tidak hanya bergantung
pada pemerintah, melainkan koperatif dalam pembangunan sosial ekonomi.

Gambar 3.2. Patung Ninomiya Sontoku


Sumber : website, en.wikipedia.org

39
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Jepang yang rajin, tekun, tidak malas, cerdas, itu semua merupakan
salah satu hasil dari bentukan pemikiran yang dibangun oleh Ninomiya dan
di nasionalisasikan serta dikampanyekan kepada rakyat saat rakyat masih
banyak yang berkutat dengan kebiasaan malas dan bergantung pada
pemerintah. Momentum sudah berubah menjadi monumen.

3.1.3. Manifestasi Budaya Nasional Dalam ‘Local Improvement


Movement’ (1909)
Pada pembahasan sebelumnya penulis telah membahas mengenai
beberapa upaya yang menjadi fondasi dasar masyarakat Jepang saat ini.
Dalam dunia bela diri, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan Shin
( 心 ) Gi ( 技 ) Tai ( 体 ). Bilamana melihat dua upaya sebelumnya, dapat
disadari bahwa hal ini menyerupai konseptual bela diri yang mana, pada diri
seseorang haruslah mulai dibentuk dari hati dan pikiran yang kuat serta jiwa
yang bersih kemudian setelah fondasi dasar ini terbentuk, berlanjut pada
tahap Gi ( 技 ), dapat diartikan sebagai teknik, namun artian disini berarti
ilmu pengetahuan yang diasah. Terdapat nilai ketekunan didalamnya.
Karena untuk menguasai sebuah teknik dibutuhkan ketekunan. Setelah
kedua tahap tersebut terpenuhi, maka praktek-praktek yang di lakukan
dalam bersosial akan memberi dampak positif (Tai (体)). Pada pembahasan
ini penulis akan menjabarkan mengenai bentuk upaya pemerintah yang
lainnya sebagai perwujudan praktek-praktek sosial.
Selama masa perang dunia pertama (1914-1918), produksi industri
Jepang bekembang dengan pesatnya sehingga melahirkan banyak orang-
orang kaya dengan gaya hidup super mewah. Namun bersamaan dengan itu,
inflasi yang tinggi menyebabkan sektor pertanian menjadi miskin sehingga
memaksa para petani untuk bekerja sebagai buruh di sektor industrial,
namun langkah ini tidak memberi dampak signifikan karena jumlah upah
yang diterima pegawai tergerus inflasi. Dampaknya menimbulkan
kesenjangan sosial antara kaya dan miskin semakin memanas.

40
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Isu-isu konflik sosial seperti ini menjadi lebih sering terjadi sejak
masuknya paham sosialis. Ditambah lagi, Oktober 1917, informasi lahirnya
negara komunis pertama di dunia dengan cepat masuk ke Jepang dan
menginspirasi gerakan radikal. Ideologi sosialisme yang demikian ini,
membuat kesadaran hak pada rakyat menguat sehingga rakyat tidak segan
untuk melakukan protes demi kepentingan diri sendiri seperti pada kasus
‘Rice Riot’ yang merupakan akibat dari dampak inflasi yang menimbulkan
kegelisahan mendalam. Kenaikan tajam harga beras menyebabkan kesulitan
ekonomi yang ekstrem, khususnya di daerah pedesaan di mana beras
merupakan makanan pokok kehidupan petani, ketika membandingkan harga
rendah yang mereka terima karena peraturan pemerintah dengan harga pasar
yang tinggi, menimbulkan permusuhan yang luar biasa terhadap pedagang
beras dan pejabat pemerintah yang telah memungkinkan harga menjadi
lepas kendali. Kenaikan harga beras terjadi pada puncak spiral inflasi pasca
perang (Perang Dunia I) yang juga memengaruhi sebagian besar barang dan
sewa konsumen, dan dengan demikian penduduk kota juga memiliki ruang
lingkup yang cukup besar untuk keluhan. Intervensi Siberia semakin
memperburuk situasi, dengan pemerintah membeli stok beras yang ada
untuk mendukung pasukan di luar negeri, yang selanjutnya mendorong
harga beras lebih tinggi. Intervensi pemerintah dalam urusan ekonomi
(harga beras rendah, diatur) menyebabkan protes pedesaan menyebar ke
kota-kota.
Kerusuhan beras terbesar terjadi dalam sejarah Jepang modern dalam
hal ruang lingkup, ukuran dan kekerasan. Protes awal terjadi di kota nelayan
kecil Uozu, Prefektur Toyama, pada tanggal 23 Juli 1918. Dimulai dengan
petisi yang damai, kerusuhan itu dengan cepat meningkat menjadi
kerusuhan, pemogokan, penjarahan, pemboman yang membara di kantor-
kantor polisi dan kantor-kantor pemerintah serta bentrokan bersenjata. Pada
tahun 1918, ada 417 perselisihan terpisah yang melibatkan lebih dari 66.000
pekerja (Jhon Crump, 1996). Sekitar 25.000 orang ditangkap, di antaranya
8200 dihukum karena berbagai kejahatan, dengan hukuman mulai dari

41
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
denda kecil hingga hukuman mati (WJ MacPherson, 1995). Sebagai
bentuk pertanggung jawaban atas gagalnya pemeritah dalam menjaga
ketertiban umum, Perdana Menteri Terauchi dan kabinetnya mengundurkan
diri pada 29 September 1918.
Namun hikmah dari insiden ini, pemerintah menjadi menyadari
bahwa harus ada yang ‘mengarahkan’ rakyat agar menjunjung tinggi
‘budaya tradisional Jepang’ yang ‘mengutamakan kepentingan umum’.
Setelah berhasil membangun semangat Jepang melalui ‘Bushido’, kemudian
menerapkan dasar-dasar hidup melalui dunia pendidikan dengan Ninomiya
sebagai contoh hidup, untuk dapat meluruskan akal sehat, pemerintah
melanjutkan kampanye dengan tema local improvement movement yang
merupakan agenda nasional berkesinambungan hingga tahun 1970-an.
Tujuan utamanya adalah untuk meluruskan akal sehat mengenai perubahan
yang kualitatif sehingga dapat mendorong ‘hidup berbudaya’.
Maret 1919, agenda kampanye nasional untuk membina ketahanan
nasional dicanangkan.
1. Membina kesadaran akan tujuan nasional serta kesadaran berbangsa
dan bernegara.
2. Membina jiwa mandiri, rasa tanggung jawab sosial dan semangat
untuk berkorban.
3. Membina rakyat agar terus belajar, sehingga mampu mengikuti
kemajuan dunia.
4. Membina hubungan sosial yang harmonis dan saling menolong;
mencegah tindakan yang gegabah.
5. Membangun tradisi rajin bekerja dan hidup hemat, agar
meningkatkan kesehjateraan hidup.
(Susy ONG. 2017:94-95)
Berkaitan dengan pelurusan akal sehat, yang dimaksud adalah
pemahaman tentang ideologi sosialisme yang mana berdampak pada
maraknya aksi-aksi demonstrasi yang mementingkan diri sendiri sedangkan
pada ajaran yang dimuat, berbasis pada nilai-nilai Ninomiya, merelakan

42
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sesuatu (kebutuhan sendiri) demi kebaikan yang lebih besar. Ideologi
sosialisme jelas sudah bertolak belakang. Kemudian dalam buku yang
berjudul Fudo-Observasi terhadap Perilaku Manusia yang berisi artikel-
artikel seorang intelektual Jepang mengenai dampak lingkungan alam
terhadap manusia, Watsuji Tetsuro (1889-1960).

Gambar 3.3. Watsuji Testuro


Sumber : website, www.euskadiasia.com

Tiga karya utama Watsuji adalah dua jilid 1954-nya Sejarah


Pemikiran Etis Jepang, tiga jilidnya Rinrigaku (Etika), pertama kali
diterbitkan pada 1937, 1942, dan 1949, dan Fuga 1935-nya. Yang terakhir
dari ini mengembangkan pemikirannya yang paling khas. Di dalamnya,
Watsuji berpendapat untuk hubungan penting antara iklim dan faktor
lingkungan lainnya dan sifat budaya manusia, dan ia membedakan tiga jenis
budaya: pastoral, padang pasir, dan musim hujan. Menjelaskan bahwa
karakter setiap manusia pada setiap daerah berbeda bergantung pada iklim
daerah tersebut, yang berarti ikut ‘membenarkan’ bahwa ideologi sosialisme
yang lahir di Eropa tidaklah sesuai dengan Ideologi yang lahir di Jepang.
Sebagai contoh yang lainnya, Indonesia memiliki banyak provinsi, namun
pertanyaannya, apakah paham ideologi yang ada di Ibu Kota akan sama

43
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
dengan paham yang ada di Papua? Bila Ibu Kota cenderung Sosialis, apakah
Papua cocok dengan Sosialis yang cenderung mementingkan kepentingan
sendiri?
Bentuk usaha ini pun berhasil meyakinkan masyarakat Jepang bahwa
gerakan sosialisme adalah ideologi yang tidak sesuai dengan kultur Jepang.

3.1.4. Pedoman Etika Nasional


Materi-materi sebelumnya, telah membicarakan mengenai pemikiran
dan membahas beberapa slogan yang sangat ditekankan untuk dapat
merubah perspektif masyarakat lokal maupun dunia mengenai jiwa, budaya,
dan ideologi nasional Jepang. kemudian slogan tersebut dijabarkan dalam
bentuk konkret berupa panduan untuk semakin rajin bekerja dan hidup
hemat seperti ajaran Ninomiya, kemudian bertingkah laku sopan seperti
layaknya negara maju dalam buku pedoman etika untuk disosialisasikan
kepada masyarakat luas yang sifatnya sudah mencakup ranah moral publik
karena dari etika yang baik apabila dilihat dari kacamata publik akan
mencerminkan pribadi individu serta pribadi bangsanya, yang kemudian
kembali direvisi dan kembali diterbitkan tahun 1941.
Dalam buku tersebut dicantumkan etika (tata karma) dalam
kehidupan sehari-hari, lengkap dengan gambar ilustrasi seperti berikut :
1. Posisi yang benar ketika berdiri, duduk, berjalan (jangan seperti
kebingungan, jangan menginjak atau melangkahi pembatas jalan),
membungkuk memberi hormat, memberi hormat sambil duduk.
2. Tata cara ibadah di kuil (ketika ibadah sendiri dan ketika ibadah
berjamaah; ketentuan busana yang dikenakan pada saat ibadah), tata
cara ibadah di kuil Buddha.
3. Tata cara bersalaman, penggunaan kata-kata sapaan, sikap ketika
menerima barang dari orang lain, etiket ketika menerima sertifikat
dalam acara resmi.
4. Tata cara berpakaian ala Barat yang benar di setiap musim untuk
laki-laki dan perempuan (4 musim)

44
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
5. Tata cara memberi hormat ketika lewat di depan istana dan ketika
memberi hormat kepada foto kaisar, memasang bendera nasional (di
pintu gerbang rumah), tata cara meneriakkan kata ‘banzai’ (hidup!).
6. Tata cara memberi salam hormat kepada orang tua dan para tetangga.
7. Etika di sekolah: ucapkan salam kepada guru dan kakak kelas ketika
tiba di sekolah dan ketika pulang.
8. Etika dalam pergaulan: jangan sembarangan menyentuh barang milik
orang lain, barang yang kita pinjam harus dikembalikan secepatnya.
9. Etika: jangan merias wajah atau ganti pakaian di tempat umum, harus
berpakaian rapi ketika bepergian.
10. Etika di instansi umum: sebelum masuk ruangan harus mengetuk
pintu dan minta izin terlebih dulu, berdiri memberi hormat ketika ada
sesepuh yang baru masuk ke ruangan, tidak boleh duduk sebelum
dipersilakan duduk, tidak boleh berjalan di depan sesepuh.
11. Tata cara waktu makan: cara memegang sumpit dan mangkuk nasi
yang benar, cucui tangan sebelum makan.
12. Etika ketika bertamu ke rumah orang lain: dating pada hari dan jam
yang telah disepakati; hindari berkunjung ke rumah orang lain pada
pagi hari, malam hari dan jam makan, jangan berkunjung di hari
minggu atau hari raya; jangan berkunjung terlalu lama, jangan
menyentuh atau mengomentari perabot pemilik rumah.
13. Etika ketika menerima tamu: jangan memperlihatkan rasa tidak
senang atau bosan, jangan melipat tangan di depan dada atau
memasukkan tangan ke dalam saku baju, jangan memarahi anggota
keluarga di depan tamu.
14. Etika dalam menulis surat, seperti surat ucapan selamat, surat ucapan
belasungkawa; perhatikan warna amplop dan kertas surat.
15. Etika dalam komunikasi via telepon: bicara seperlunya saja; bila
berbicara dengan sesepuh, tunggu sampai lawan bicara kita
meletakkan telepon terlebih dahulu.

45
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
16. Etika ketika menghadiri acara perayaan pernikahan dan etiket
melayat.
17. Etika dalam pergaulan: saling menyapa ketika berpapasan dengan
tetangga; jangan membuat kegaduhan yang mengganggu ketenangan
tetangga, jangan menyebarkan gosip tentang tetangga; kalau ada
acara RT jangan datang terlambat.
18. Etika ketika berada di tempat umum (balai desa, perpustakaan, rumah
sakit, restoran, bioskop): jangan berbicara dengan suara keras, jangan
memanggil-manggil orang yang berada di jarak jauh, pura-pura tidak
melihat ketika ada orang lain berbuat keliru (jangan mengejek atau
menasehati), jangan mengintip atau menyimak pembicaraan orang-
orang yang tidak kita kenal, jangan berbisik, jangan bersenda gurau,
atau keluar ruangan ketika acara ceramah sedang berlangsung, jangan
masuk ke ruang bioskop atau teater ketika pertunjukan sedang
berlangsung.
19. Etika dalam berlalu lintas: patuhilah rambu-rambu lalu lintas, jangan
buang sampah dan meludah di jalan, jangna merusak tanaman di
pinggir jalan, jangan berlari, atau bersiul, atau berbicara dengan suara
keras di jalan, jangan berjalan sambil melipat tangan dan
memasukkan tangan ke dalam saku baju, jangan ngobrol atau basa-
basi terlalu lama di jalan, jangan berjalan sambil makan, beri hormat
kepada sesepuh (guru) jika berpapasan di jalan.
20. Etika berkendaraan umum: antre waktu membeli karcis, jangan saling
mendorong ketika naik atau turun, jangan menaruh barang bawaan di
tempat duduk atau lantai, jangan membawa barang yang berukuran
besar atau mengganggu penumpang lain, beri tempat duduk bagi
lansia dan penyandang cacat, minta izin dulu ke penumpang lain
sebelum membuka atau menutup jendela, jangan merokok atau
makan di dalam kendaraan umum.
21. Etika menghadiri rapat : penyelenggara mempersiapkan dengan baik
sehingga tidak mengecewakan warga yang hadir, setelah menerima

46
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
undangan harus segera memberi tahu pakah akan hadir, jika sudah
menyatakan akan hadir tapi mendadak ada urusan lain, maka harus
segera beri tahu, hadir 10 menit sebelum acara dimulai, jangan keluar
dari ruang rapat ketika rapat masih berlangsung, jika terpaksa keluar
ruangan maka usahakan tidak membuat gaduh, minta izin ke ketua
rapat sebelum bicara, bicara dengan singkat dan langsung pada inti
masalah supaya mudah dimengerti.
(Susy ONG, 2017:105-110)

3.2. Revolusi yang Bersifat Teknis dalam Upaya Peningkatan


Produktivitas sebagai Bentuk Manifestasi Kampanye Nasional
Pemerintah Jepang yang Tujuannya Membangun Karakter Bangsa
Jika membicarakan tentang Jepang, tentu akan terbesit Jepang dan dunia
kerjanya. Waktu kerja yang sangat padat dan budaya kerjanya sempat menjadikan
Jepang sebagai raksasa ekonomi Asia. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan
bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5 sampai 6 orang.
Mereka bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di
negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Pulang
cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan agak memalukan di Jepang, dan
menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk yang tidak dibutuhkan oleh
perusahaan (Imam Subarkah, 2013:68). Namun hal ini bukanlah budaya yang
sejak lahirnya demikian, melainkan adanya usaha mengkampanyekan peningkatan
produktivitas nasional karena selama Perang Dunia Kedua, semua negara Eropa
dihadapkan pada masalah rekonstruksi pasca perang termasuk pemulihan industri.
Usaha kampanye peningkatan produktivitas nasional ini merupakan salah
satu upaya dan hasil dari pembentukan karakter yang digaungkan sebelumnya
sehingga dapat mempercepat perputaran roda industrialisasi. Sifat-sifat alamiah
yang tadinya private telah berubah subjeknya menjadi sesuatu yang bersifat publik
sehingga memungkinkan untuk memikirkan kemajuan melalui aspek sosialnya.
Contohnya seperti sikap giat bekerja, giat bekerja merupakan sifat alamiah
masyarakat Jepang karena mengingat kondisi geografisnya, namun demikian

47
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
tujuannya bukan untuk kemaslahatan bersama melainkan untuk individunya saja,
dan pada bagian ini, sikap giat bekerja ditujukan untuk kemaslahatan bersama
sehingga ranah cakupannya sudah lebih luas dan menjadi seperti identitas
masyarakat Jepang. Artinya karakter yang terbangun menjadikan masyarakat
Jepang berpikiran seiring seirama dengna tujuan pemerintah Jepang untuk
memajukan Jepang serta membuat negara-negara lain menjadi memahami Jepang
bahwa Jepang adalah negara yang beradab dan berbudaya dari berbagai aspek.
Kemudian melanjutkan usaha kampanye peningkatan produktivitas yang
menyikapi perkembangan di Eropa dan berdasarkan keputusan kabinet, tahun
1955 kementerian Perindustrian dan Perdagangan Jepang mendirikan The Japan
Productivity Center. Pada bulan Mei 1955, mereka merilis tiga prinsip dasar
dengan harapan dapat mendorong ekspor, meningkatkan penerimaan negara, dan
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Jepang yakni:
1. Mempertahankan dan meningkatkan lapangan kerja.
2. Musyawarah dan kerja sama buruh dengan pengusaha.
3. Pembagian hasil yang adil.
Pada awal abad ke-20, ilmu manajemen di Amerika dengan cepat diserap
oleh Jepang kemudian disosialisasikan dan diaplikasikan ke dalam dunia industri
Jepang. kampanye perihal QC (Quality Control) dan Zero Defect di galakkan pada
perusahaan dan pabrik-pabrik di Jepang. Zero Defects adalah alat manajemen
yang ditujukan untuk mengurangi cacat melalui pencegahan. Hal ini diarahkan
untuk memotivasi orang untuk mencegah kesalahan dengan mengembangkan
keinginan yang konstan dan sadar untuk melakukan pekerjaan mereka dengan
benar pertama kali. Zero Defects melibatkan rekondisi pekerja untuk mengambil
minat pribadi dalam segala hal yang dilakukannya dengan meyakinkan bahwa
pekerjaannya sama pentingnya dengan tugas dokter atau dokter gigi.
Memasuki tahun 1970-an, produk industri Jepang dengan kualitas prima,
terutama produk elektronik, membanjiri negara maju seperti Eropa dan Amerika.
Kemudian berkembang ke pasar negara berkembang. Sedikit unik memang,
karena arah yang digunakan cukup berbeda, seperti menguasai pasar negara maju
terlebih dahulu kemudian menguasai pasar negara berkembang dan bisa dikatakan

48
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sangat berhasil. Kemudian tahun 1980-an, negara-negara besar asia lainnya ikut
memberi tantangan kepada Jepang seperti Korea dan Tiongkok. Menjawab
tantangan ini akhir era 1990-an, muncul istilah Monozukuri di dunia industri
Jepang yang secara harfiah berarti ‘membuat barang’ namun artian membuat
barang adalah barang yang berkualitas prima dan baik. Makna yang lebih luas
mencakup sintesis kecakapan teknologi, keterampilan dan semangat praktik
manufaktur Jepang. Semangat mencakup sikap yang tulus terhadap produksi
dengan kebanggaan, keterampilan, dan dedikasi serta pengejaran inovasi dan
kesempurnaan, sehingga industri manufakturing Jepang bangkit dan dapat
memenangi Korea juga Tiongkok.
Dengan ini kita tahu bahwa budaya kerja Jepang yang sangat berkualitas
ini tidak lahir secara kebetulan ataupun tidak mendarah daging sejak lama.
Melainkan lahir karena adanya desakan dari persaingan ekonomi dan dorongan
untuk harus memperbaiki perekonomian serta mensejahterakan Jepang, serta
adanya kesadaran bersama untuk memajukan Jepang baik dari pemerintah dan
masyarakatnya. Kesadaran bersama ini pun merupakan bentukan usaha kampanye
nasional yang ditujukan untuk merubah pandangan masyarakat sehingga
terbangunnya standarisasi moral publik di Jepang. Selain itu juga dapat asumsikan
bahwa moral masyarakat Jepang tercermin dari produk yang dihasilkan, dalam
artian bahwa moralnya pun berkualitas.

3.3. Manifestasi ‘Budaya’ Kerja


Dalam dunia perusahaan, manufakturing dan ekonomi, yang menjadi salah
satu penyebab mundurnya sebuah perusahaan adalah budaya kerja yang dimiliki
setiap orang dalam perusahaan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Budaya kerja yang baik tentu saja menyebabkan perusahaan cepat berkembang,
maju dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Kemudian perusahaan-
perusahaan tersebut menjadi salah satu yang berkontribusi terhadap kemajuan
negara. Sebaliknya, budaya kerja yang tidak baik akan membawa pada
kebankrutan dan yang lebih parah akan memberi efek berantai pada ekonomi
sebuah negara.

49
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dalam hal ini Jepang menjadi contoh terkait budaya kerja yang baik
melalui Monozukuri-nya, dalam membuat barang yang prima dan berkualitas
tentulah harus dimulai dari pribadi pembuatnya atau dapat juga disebut sebagai
Hitozukuri. Antara Monozukuri dan Hitozukuri tidaklah dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Monozukuri berarti membuat sesuatu, namun lebih
bermakna sikap dan semangat tak hanya membuat produk bermutu tinggi tapi
juga kemampuan konstan memperbaiki sistem pembuatan produk tersebut.
Hitozukuri bermakna peningkatan kualitas keterampilan karyawan secara
berkesinambungan.
Bila menggunakan pohon sebagai metafora, Hitozukuri merupakan akar
dari pohon, merupakan fondasi terkuat. Pembentukan Hitozukuri ini didukung
oleh inovasi dan produktivitas. Monozukuri merupakan batang pohon, yang
menunjukkan proses untuk berkembang. Dari sini akan tumbuh batang yang akan
menghasilkan buah, sebagai alat untuk implementasi di manufaktur, seperti 5S
(Seiri-Seiton-Seisho-Seiketsu-Seisuke), 3G (Gemba-Genji-Gembutsu), 4R
(Reduce-Reuse-Recycle-Recovery), 3M (Muda-Mura-Muri), 8 waste
(DOWNTIME) dan lain-lain. Daun-daun yang terus tumbuh menunjukkan Kaizen
yang harus terus menerus dilakukan, dan yang akan menghubungkan proses-
proses pada akar, batang dan buah adalah HORENSO (Houkoku-Renraku-
Soudan).
Artinya budaya kerja Jepang yang diketahui secara umum saat ini tidaklah
lepas dan sangat erat kaitannya dengan karakter masyarakat yang dibentuk
mengakar sehingga dapat menjadikan Jepang sebagai negara maju seperti saat ini.
Perihal Hitozukuri dan Monozukuri inipun tidak hanya berlaku pada pabrik dalam
‘pembuatan barang’ namun juga berlaku untuk berbagai aspek dalam kehidupan.
Perusahaan di Jepang mempunyai kontribusi yang besar bagi kemajuan
Jepang. Tentu saja perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang maju pula.
Majunya sebuah perusahaan tergantung manajemennya. Dalam manajemen
tersebut dikendalikan oleh sumber daya manusia yang mempunyai karakter salah
satunya ‘pekerja keras’. Jepang yang dikenal sebagai pekerja keras contohnya, ini
merupakan salah satu bentuk keberhasilan ‘Hitozukuri’, dan bentuk-bentuk

50
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Hitozukuri tersebut terdapat pada pembahasan sebelumnya yang mana merubah
karakter dasar masyarakatnya dari malas menjadi rajin, dari boros menjadi hemat
dan lain sebagainya. Dengan berhasilnya Hitozukuri tentu dalam sebuah usaha
‘pembuatan barang’ akan memberikan hasil yang memuaskan.
Bila, karakter masyarakat yang malas, boros, banyak menuntut, ingin
untung banyak tanpa usaha lebih ini tidak berubah, maka Jepang akan menjadi
negara yang jauh lebih maju dari pada saat ini. Narasi yang demikian itu jelaslah
sebuah narasi yang kontradiktif karena antara premis dan kesimpulan tidak
selaras. Tidaklah mungkin untuk suatu negara menjadi maju apabila hal-hal yang
menghambat tidak dibuang.
Selain itu juga, faktor yang membuat menjadikan Jepang maju dalam
industrinya terdapat pada kerjasama tim. Kerja tim merupakan fondasi dasar
dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan
bawahan. Fakta-fakta menarik yang dapat diamati dari sistem pengelolaan
organisasi Jepang antara lain bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka
sebagai anggota organisasi dan perkumpulan tertentu dan jika memperkenalkan
diri, orang Jepang lebih suka menyebutkan nama organisasinya. Orang Jepang
pun lebih suka mengorbankan ‘pendapat pribadi’ demi kepentingan bersama,
individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.
Ini juga adalah bentuk keberhasilan kampanye yang dilakukan oleh
pemerintah saat banyaknya terjadi demonstrasi, pemerintah mensosialisasikan
agar dapat berkorban demi kemaslahatan umum seperti yang terdapat pada
pembahasan materi Ninomiya Sontoku.

51
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 4
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Kampanye


Pemerintah Jepang dalam Membentuk Karakter Masyarakat Jepang Periode
Transisi Tokugawa-Meiji, dapat disimpulkan bahwa kampanye ini dilakukan
ataupun dilatar belakanngi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal-
hal yang urusannya publik. Dalam artian, tidak berarti bahwa masyarakat Jepang
itu malas, boros, dan lain sebagainya, karena bila dilihat dari penjelasan
sebelumnya, giat bekerja, tidak malas dan lain sebagainya merupakan karakter
alamiah masyarakat Jepang karena kondisi geografisnya yang mengharuskan
masyarakat Jepang untuk giat. Namun, tidak adanya tolak ukur moral publik
hingga kedatangan para bangsa asing ke Jepang yang memperlihatkan kenyataan
bahwa bangsa Jepang jauh tertinggal, dan untuk mengejar ketertinggalan tersebut
bangsa Jepang haruslah memperbaiki diri dalam arti peningkatan sumber daya
manusia dan dimulai dari karakter masing-masing individunya untuk
menanamkan kesadaran bahwa perilakunya akan di nilai di ruang publik karena
tujuannya haruslah untuk kemaslahatan bersama yang akan menjadi identitas
bangsa Jepang. Untuk itulah pemerintah jepang melakukan kampanye nasional
guna menanamkan kesadaran kepada masyarakatnya.
Adapun karakter masyarakat Jepang yang dibangun adalah peningkatan
mutu masing-masing individu masyarakat Jepang, dalam artian tidak lagi
mementingkan kepentingan pribadi namun kepentingan bersama sehingga antara
pemerintah dan masyarakatnya seiring seirama. Serta memberikan identitas bagi
bangsa Jepang. Contohnya dapat dilihat pada semangat juang bangsa jepang serta
jiwa patriotisme yang tinggi, kemudian terbinanya ‘hidup berbudaya’ karena tolak
ukurnya adalah publik. Bila “saya” melakukan “A” dan “A” dilakukan oleh
“semua orang” dan hasilnya positif maka “saya” bermoral.
Kemudian dengan ini kita tahu bahwa kemajuan negara Jepang ini tidak
lahir secara kebetulan ataupun tidak mendarah daging sejak lama. Melainkan
adanya usaha yang ditempuh untuk mencapai kemajuan negara Jepang, melalui

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


pembentukan karakter yang di kampanyekan oleh pemerintah baik dalam bentuk
slogan, pedoman etika, aturan pemerintah, pembentukan lembaga, fiksionalisasi
tokoh, dan lain sebagainya, untuk membentuk karakter serta membangkitkan
kesadaran bersama untuk memajukan Jepang baik dari pemerintah dan
masyarakatnya. Kesadaran bersama ini pun merupakan hasil dari usaha kampanye
nasional yang ditujukan untuk merubah pandangan masyarakat sehingga
terbangunnya standarisasi moral publik di Jepang. Selain itu juga dapat di
asumsikan bahwa moral masyarakat Jepang tercermin dari produk yang
dihasilkan, dalam artian, moralnya pun sama berkualitasnya dengan barang yang
dihasilkan sehingga majunya negara Jepang saat ini erat kaitannya dengan
karakter masyarakatnya.

53
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
DAFTAR PUSTAKA

Publikasi Cetak
Aman, Kitty Quintarina. (1986). Pendidikan Wanita di Jepang pada Zaman Meiji.
Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok.
Amstrong, Robert Cornell. (1912). Just Before the Dawn: The Life and Work of
Ninomiya Sontoku. Michigan: Macmillan Company.
Anoraga. (1992). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Babu, Venkatesha. (2016). Japan's Culture of Craftsmanship. Business Today.
Living Media India Limited.
Bellah, Robert N. (1957). Tokugawa Religion. New York: The Free Press.
Brown, W. Norman. (2018). Johns Hopkins Half-Century Directory, 1876-1926:
A Catalogue of the Trustees, Faculty, Holders of Honorary Degrees, and
Students, Graduates and Non-Graduates (Classic Reprint). Fb&c Limited.
Cangara, Hafied (Rev. Ed). (2010). Pengantar Ilmu Komunikasi. Depok: Rajawali
Pers.
Crump, Jhon. (1996). "The Anarchist Movement in Japan, 1906-1996". Anarchist
Communist Editions ACE Pamphlet. Pirate Press.
Frédéric, Louis. (2005). Japan Encyclopedia. Cambridge: Harvard University
Press.
Garon, Sheldon. (1997). Molding Japanese Mind. Princeton University Press.
 Gettleman, Marvin E (Ed.). (1986). The Johns Hopkins University Seminary of
History and Politics, (vol 2-3). Michigan: Garland.
Hale, Jhon (Ed). (2008). The Civilization of Europe in the Renaissance. New
York: Harper Perennial.
Halpin, James F. (1966). Zero Defect: A New Dimension in Quality Assurance.
New York City: McGraw-Hill.
Hans, Peter Liederbach. (2001). Martin Heidegger im Denken Watsuji Tetsuros,
München: Iudicium.
Haruhiko, Kindaichi. (1998). Nihongo no Tokushoku. Tokyo: Kodansha.

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Hideo, Kishimoto (ed). (1956). Japanese Religion in the Meiji Era. Trans. Jhon F.
Howes. Tokyo: Obunsha.
Holmes, C., & Ion, A. H. (1980). Bushidō and the Samurai: Images in British
Public Opinion, 1894-1914. Modern Asian Studies, Vol. 14(2), 309-329.
Ishiguro, Tadaatsu. (1987).  Ninomiya Sontoku: His life and “evening talks”.
English: Kenkyusha.
Izuru, Shinmura. (1990). Koojien. Tokyo: Iwanami Shoten.
Jansen, M. B., & Rozman, G (ed). (1988). Japan In Transition From Tokugawa
To Meiji. New Jersey: Princeton University Press.
Kroeber, A. L., Kluckhohn, C. K. M., Meyer, A. G., & Untereiner, W.
(1963). Culture: a critical review of concepts and definitions. By A.L.
Kroeber and C. Kluckhohn, with the assistance of Wayne Untereiner and
appendices by Alfred G. Meyer. Vintage Books: New York.
Loveday, Leo. (1986). Japanese Sociolinguistics. Kyoto: John Benjamins
publishing Company
M. Rogers, Everett & Storey, Douglas. (1987). Communication campaigns. Sage
Newbury Park.
MacPherson, WJ. (1995). The Economic Development of Japan 1868–1941.
Cambridge University Press.
Maraldo, John C. (2001). “Watsuji” in A Companion to the Philosophers (Robert
L. Arrington, ed). Oxford: Blackwell.
Mason, R.H.P. (1997). A History of Japan. North Clarendon: Tuttle Publishing.
Maxwell, Jhon C. (2001). The Right to Lead: A Study in Character and Courage.
Tennessee: Thomas Nelson Incorporated.
Murray, David. (1905). Japan. New York: G.P. Putnam's Sons.
Naramoto, Tatsuya. (1994). Nihon no kassen: monoshiri jiten. Tokyo: Shufu to
Seikatsusha
Notehelfer, F. G., Saveliev I. R., & Walle, W. F. V. (2004). An Extraordinary
Odyssey: The Iwakura Embassy. Monumenta Nipponica, Vol. 59(1), 83-
119.

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Oharazeki, Kazuhiro. (2013). Anti-prostitution Campaigns in Japan and the
American West, 1890–1920: A Transpacific Comparison. Pacific Historical
Review, Vol. 82(2), 175-214.
Okamoto, Shumpei. (1982). The Emperor and the Crowd: the Historical
Significance of the Hibiya Riot, dalam Tetsuo Najita, J. Victor
Koschmann: Conflict in Modern Japanese History: The Neglected
Tradition (eng), Princeton University Press. 
Okamura, Masu. (1983). Peranan Wanita Jepang. Trans. Emy Kuntjoro-Jakti.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
ONG, Susy. (2017). Seikatsu Kaizen:Reformasi Pola Hidup Jepang. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Orgizek, Dore. (1957). Japan: Woman and Children. London: Mc Graw Hill
Publishing Company.
Peursen, C. A., & Hartoko, D. (1976). Strategi Kebudayaan. Jogja: Penerbitan
Kanisius.
Pyle , Kenneth B. (1998). Generasi Baru Zaman Meiji. Jakarta: PT Gramedia.
Rotter, Andrew J. (2008). Hiroshima: the World’s Bomb, “Making of the Modern
World”. Oxford: OUP Oxford.
Ryan, Kevin., & Bohlin, Karen E. (2003). Building Character in School:
Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. New Jersey: Wiley
Publisher
Sakamoto, Taro. (1971). Jepang: dulu dan Sekarang. Jakarta: Yayasan Obor
Rakyat.
Sansom, G. B. (1965). The Western World and Japan: A Study in the Interaction
of European and Asiatic Cultures. London: The Cresset Press.
Sayidiman Suryohadiprojo. (1982). Manusia Dan Masyarakat Jepang Dalam
Perjuangan Hidup. Jakarta: UI Press.
Sinamo, Jansen H. (2005). 8 Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Dharma
Mahardika.
Smith, Kerry. (2001). A Time of Crisis: Japan, the Great Depression and Rular
Revitalization. Cambridge: Harvard University Press.

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Statistics Bureau, "Japan Statistical Yearbook 2010". Ministry of Internal Affairs
and Communications Japan. 2008-10-01.
Surajaya, I Ketut. (1985). Lahir dan Runtuhnya kelas Samurai Jepang. Jakarta:
Makalah, 19 September 1985.
Suzuki, Tadanobu. (1994). “Bridge across the Pacific : the life of Inazo Nitobe,
Friend of justice and peace”. Dalam Canadian Quaker Pamphlets. Argenta:
Argenta Friends Press. 
Tai, Eika. (2003). Rethinking Culture, National Culture, and Japanese Culture.
Japanese Language and Literature, Vol. 37(1), Special Issue: Sociocultural
Issues in Teaching Japanese: Critical Approaches, 1-26.
Takeuchi, Keiichi. (1987). How Japan Learned About The Outside World The
Views Of Other Country Incorporated In Japanese School Textbooks, 1868-
1986. Hitotsubashi Journal of Social Studies, Vol. 19(1). 1-13.
Venus, Antar. (2004). Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis
dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
Wirawan. (2007). Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian.
Jakarta: Salemba Empat.
Woodward, C. Vann. (1960). “masa penafsiran kembali”, American Historical
Review. Louisiana: LSU Press.
Young, M. B., & Tanaka, Yuki. (2009). Bombing Civilians: A Twentieth Century
History. New York: New Press.
Yukichi, Fukuzawa. (1985). Jepang di Antara Feodalisme dan Modernisme.
Trans. Arifin Bey. Jakarta: PT. Pantja Simpati.
Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta. Yayasan Obor
Indonesia
水田信利。 (1994)。 カッテンディーケ水田信利訳『長崎海軍伝習所の
日々』。 平凡社

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Publikasi Elektronik
Anonim. (26 Oktober 2014). Monozukuri Tidak Dapat Dipisahkan Dengan
Hitozukuri. Diambil dari
https://maulanusantara.wordpress.com/2014/10/23/monozukuri-tidak-dapat-
dipisahkan-dengan-hitozukuri/
Bates, D., Kotler, P., Roberto, E. L., & Fine, S. H. (1991). Social Marketing:
Strategies for Changing Public Behavior. Journal of Marketing, 55(1), 108.
doi: 10.2307/1252208
CNN Indonesia. (10 Februari 2017). Indonesia, Menuju Raja Ekonomi Global.
Diambil dari https://youtu.be/KDCksoMkksg
Ibrahim, Adzikra. (n.d). Pengertian Karakter Menurut Pendapat Para Ahli.
Diambil dari https://pengertiandefinisi.com/pengertian-karakter-menurut-
pendapat-para-ahli/
Internasional Monetary Fund. (September 2006). World Economic Outlook
Database: Country Comparisons. Diambil dari
https://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2006/02/data/
Japan Productivity Center. (2014). History. Diambil dari
https://www.jpc-net.jp/eng/about/history.html
Novitasari, Aprilia. (2013). Perkembangan Teknologi Jepang dari Masa Restorasi
Maiji Sampai Zaman Modern. Diambil dari
https://www.academia.edu/9197746/Restorasi_Meiji
Pratomo, Emanuel. (23 Agustus 2016, pukul 23:33). Efektifkah ‘Monozukuri’
melalui ‘Hitozukuri’?. Diambil dari
https://www.kompasiana.com/prattemm/57a2cfb0727e6105088b456a/efekti
fkah-monozukuri-melalui-hitozukuri?page=all
Tempo Media Group. (6 Januari 2018). Mengubah Jam Karet Menjadi Tepat
Waktu? Contoh Jepang yuk!. Diambil dari
https://gaya.tempo.co/read/1047877/mengubah-jam-karet-jadi-tepat-
waktu-contoh-jepang-yuk/full&view=ok
USGS. (n.d). Today in Earthquake History: June 15. Diambil dari
https://earthquake.usgs.gov/learn/today/index.php?month=6&day=15

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


Wikipedia. (6 November 2018, at 15:23). Iwakura Mission. Diambil dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Iwakura_Mission
Wynne, B. (1991). Knowledges in Context. Science, Technology, & Human
Values, 16(1), 111–121. https://doi.org/10.1177/016224399101600108
Yadi, Cahyadi. (20 September, 2011). Sistem Pemerintahan dan Politik di
Jepang. Di ambil dari
https://www.academia.edu/28406021/Sistem_Pemerintahan_dan_Politik_di
国民礼法研究会 編著. (昭和 16).「昭和の国民礼法 : 文部省制定」. 帝国書
籍協会, 特 202-468. doi: 10.11501/1447302.

船津 明生. (n.d). 「明治期の武士道についての一考察:新渡戸稲造『武士


道 』 を 中 心 に 」 . Diambil dari
http://www.lang.nagoya-u.ac.jp/nichigen/issue/pdf/4/4-02.pdf

UNIVERSITAS DARMA PERSADA


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. di ambil dari http://www.page.sannet.ne.jp/tsekine/sutematu.htm


Gambar 3.1. di ambil dari Hearn 92.40.10, Houghton Library, Harvard University
Gambar 3.2. di ambil dari
https://en.wikipedia.org/wiki/File:NinomiyaKinjiro_KakegawaSta_2.jpg
Gambar 3.3. di ambil dari http://www.euskadiasia.com/estudios_orientales.html

UNIVERSITAS DARMA PERSADA

Anda mungkin juga menyukai