SKRIPSI
Pembimbing I Pembimbing II
Disahkan Oleh :
i
HALAMAN PERNYATAAN
Merupakan karya ilmiah yang saya susun di bawah bimbingan Yessy Harun, M.Pd.
selaku Pembimbing I dan Tia Martia, M.Pd. selaku pembimbing II, tidak
merupakan jiplakan skripsi atau karya orang lain. Sebagian atau seluruh isinya
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pernyataan ini saya buat dengan
sungguh-sungguh.
Penulis
ii
ABSTRAK
iii
概要
名前 :ムハマドイドリスラウフ
題名 :日本社会の性格形成における政府運動徳川明治移行期
本研究は、徳川明治移行期における日本政府の全国キャンペーン運動の背
景を明らかにし、図書館キャンペーンの質的研究方法を通して、政府キャ
ンペーンによって構築されたキャラクターと日本の現在の進歩との関係を
明らかにする。本研究の結果は、構築されたキャラクターと日本の進歩と
の間には、政府によってスローガンの形でキャンペーンされたキャラクタ
ーの形成を通して日本国家の進歩を達成するために取られた努力のために
かなり密接な関係がある。倫理的な指針、政府の規制、制度の確立、人物
の架空化など、性格を形成し、意識を高め、政府と国民の両方から日本を
前進させる。国内キャンペーン運動の背景については、日本の自国進出へ
の努力に過度の損失を与えると考えられていたのは、前政権(徳川政権)
の政策の影響と比較となるベンチマークの欠如であった。
キーワード :キャンペーン、性格、先進国、徳川政権
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
serta shalawat salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW berserta
keluarga dan para sahabatnya. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Sastra di Universitas Darma
Persada.
Dalam penyelesaian tugas ini, tentunya penulis melalui berbagai proses yang
tidak mudah, dengan berbagai keterbatasan ataupun kekurangan yang dimiliki
oleh penulis. Namun demikian, diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian. Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan karena dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dan dapat terlewati berkat banyaknya bantuan
yang penulis peroleh. Dengan segala kerendahan hati di kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
v
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sastra Jepang untuk kesabarannya dalam
memberikan pengajaran yang bermanfaat selama masa perkuliahan.
8. Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Perpustakaan Universitas Darma
Persada yang telah membantu dalam pengurusan akademik dan
peminjaman buku selama penyusunan skripsi ini.
9. Kedua Orang Tua serta keluarga penulis yang telah menjamin perihal
finansial saat penulis mengalami krisis moneter dan terus mendoakan
penulis sehingga mencapai titik ini.
10. Ariella Darmakusumah, S.T. yang sudah mau meminjami laptopnya
kepada penulis saat laptop pribadi rusak serta
11. Teman-teman Sahabat Kansas : Shinggo, Fajar, Lintang, Ibuun, Acid,
Jausha, Arif, Adit, Salomo, Oribee, Ifa yang telah mau menjadi teman
diskusi penulis meskipun terkadang melelahkan.
12. Teman-teman kelas H : Iren, Lulu, Desti, Edo, Pendi, Rizky, Idris, Toni,
Alm. Steven, Jo, Cahya yang telah memberi warna selama masa
perkuliahan dan memberi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN...............................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
概要 ..................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
2.2.1. Dorongan Perubahan Melalui Misi Besar Jepang ‘Misi Iwakura’. . .13
vii
2.2.2. Agama Sebagai Politik Kepentingan................................................16
BAB 4 KESIMPULAN......................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
2
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
masyarakat Jepang ini merupakan karakter masyarakat Jepang yang dibentuk
melalui kampanye-kampanye pemerintah yang bekerjasama dengan para
cendekiawan pada masanya. Baik berupa karya sastra, maupun kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
tentang kampanye pemerintah dalam membentuk karakter masyarakat Jepang.
3
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
2. Karakter masyarakat Jepang yang bagaimana yang terbentuk akibat
kampanye pemerintah tersebut?
3. Apa hubungan karakter masyarakat Jepang dengan kemajuan
Jepang?
4
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dr. Antar Venus, MA seorang dosen Fisip UPNVJ menerangkan,
kampanye adalah upaya yang ditujukan untuk menciptakan perubahan dan
dampak tertentu dalam kehidupan bermasyarakat yang dilakukan dalam kurun
waktu tertentu (Antar Venus, 2004).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa kampanye tidak
terbatas pada kegiatan organisasi politik tertentu untuk mendapatkan dukungan
massa dalam suatu pemilihan umum, melainkan upaya komunikasi persuasif yang
dilakukan guna menanamkan informasi, ide serta gagasan untuk menciptakan efek
tertentu secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.
2. Karakter
Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan teori mengenai karakter,
dimana secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah
tabiat; sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain; watak. Karakter atau watak adalah sifat batin yang
memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki
manusia (website: www.kbbi.web.id). Sejalan dengan Maxwell, karakter
merupakan pilihan yang dapat menentukan sebuah tingkat kesuksesan dari
seseorang. Dalam artian pikiran, perilaku, budi pekerti yang ada pada individu,
akan menjadi penentu tingkat kesuksesannya di dalam masyarakat dan dalam
hidup bersosial (Maxwell, 2001).
5
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
tentu saja akan paham mengenai kebaikan, menyenangi kebaikan, serta
mengerjakan sesuatu yang baik pula. Orang dengan perilaku yang memang sesuai
dengan kaidah moral disebut orang yang berkarakter mulia (Ryan & Bohlin,
2003).
3. Etos Kerja
Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos kerja berarti
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Sedangkan menurut Chong dan Tai (dalam Wirawan, 2007) etos kerja adalah
mengenai ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh
positif bekerja terhadap individu. Berbeda dengan Chong dan Tai yang
menekankan pada individu sebagai subjek, Sinamo (2005) menekankan,
kesadaran individulah yang menjadi subjek kemudian mengobjekan perilaku kerja
dan menyatakan bahwa “etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang
berakal pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai
komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral”. Paradigma berarti
konsep utama tentang kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari,
prinsip-prinsip yang mengatur, nilai-nilai yang menggerakan, sikap-sikap yang
dilahirkan, standar-standar yang hendak dicapai, termasuk karakter utama, pikiran
dasar, kode etik, kode moral, dan kode perilaku bagi para pemeluknya.
Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat
terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai
suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung
tinggi. Sebaliknya, sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang
bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah
(Anoraga, 1992).
6
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penulis dapat menyimpulkan, etos kerja
adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakal pada kesadaran Individu,
keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total pada paradigma kerja
yang integral yang bermakna semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau kelompok serta mengandung nilai-nilai dan kode etik
bagi suatu individu maupun kelompok.
7
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Bab 3, merupakan pembahasan tentang kampanye pemerintah Jepang dalam
membentuk karakter masyarakat Jepang dan hubungannya dengan kemajuan
negara Jepang.
Bab 4, kesimpulan.
8
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 2
ZAMAN MEIJI SEBAGAI PINTU GERBANG KAMPANYE
NASIONAL OLEH PEMERINTAH JEPANG
10
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
orang meninggal. Namun demikian, gunung berapi di Jepang tidak saja
mengakibatkan bahaya, tetapi juga memberi manfaat, di antaranya sumber air
kesehatan dan menjadi tempat rekreasi (website: www.Liputan 6.com).
Kondisi alam di Jepang lainnya adalah sering terjadinya bencana alam,
yaitu gempa di dasar laut yang dapat menimbulkan gelombang pasang yang
merusak, yang disebut Tsunami. Istilah Tsunami yang kini digunakan di seluruh
dunia, memang merupakan sebuah kata dalam bahasa Jepang, yang berarti
gelombang pasang yang datang secara mendadak. Salah satu Tsunami terdahsyat
yang tercatat dalam sejarah Jepang adalah Tsunami Meiji Sanriku yang terjadi
pada 1896. Tsunami ini telah menewaskan lebih dari 20.000 orang (website:
www.usgs.gov). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa letak geografi Jepang
erat hubungannya dengan fenomena alam. Fenomena alam tersebut juga menjadi
ancaman alam yang setiap saat mereka hadapi dan akan terus menghantui
masyarakat Jepang.
Menyadari kondisi alam yang seperti ini, sering terjadi gempa bumi, angin
topan, pergantian empat musim, Tsunami dan lain-lain, tentulah menjadikan
masyarakat Jepang lebih giat dan disiplin karena tidaklah mungkin untuk
masyarakat bersikap sebaliknya dengan konsekuensi ancaman alam. Masyarakat
Jepang secara alamiah memiliki karakter yang bersifat private seperti disiplin, giat
dan lain sebagainya karena bentukan alamnya, namun karakter yang secara
alamiah terbangun belumlah mencakup ranah moral publik. Sedangkan, pada
masa transisi (1854-1941) tepatnya sejak kaikoku hingga masa industrialisasi
Jepang, dimana negara Jepang berusaha mengejar ketertinggalannya dari bangsa
asing, masyarakatnya justru dianggap lebih malas, kurang tekun, terlambat, dan
lain sebagainya karena perbedaan sistem waktu yang digunakan oleh para
pendatang yakni sistem waktu industrial, sedangkan Jepang masih tebiasa dengan
sistem waktu agrikultur yang merupakan dampak dari keterbelakangan
pengetahuan hingga kebudayaan modern serta pengaruhnya dengan kondisi alam
sekitar. Selain itu, dimasa tersebut, karakter yang terbangun bersinggungan
langsung dengan ranah publik karena menjalin kontak langsung dengan negara
asing. Dapat dilihat pada kutipan yang diambil dari terjemahan bahasa Jepang dari
11
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Uittreksel Uit Het Dagboeg van W.JC. Ridder H.v. Kattendyke gedurende zijin
verblijf in Japan 1857, 1858, en 1859 (catatan harian van Kattendyke selama di
Jepang, 1857, 1858, 1859, ‘sGravehage, 1860), kutipan yang diambil dari edisi
terjemahan bahasa Jepang. “Orang Jepang benar-benar santai dan tidak menepati
janji” (Ridder H.v. Kattendyke dalam キッチンディーケ水田信利訳 『長崎海
軍 伝 承 所 の 日 々 』 ). Dilihat dari tahun kedatangan Kattendyke (1857) hanya
berselang tiga tahun sejak dibukanya negara Jepang untuk umum, dapat diketahui
bahwa sudah lebih dari ratusan tahun era renaissance abad 14-abad 17 (Jhon Hale,
2008), sehingga wajar bila Kattendyke beranggapan seperti kutipan diatas dengan
sumber diatas karena karakter yang dibangn sudah mencakup ranah publik.
12
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
membawa Jepang pada modernisasi yang cepat mulai dari lembaga ekonomi,
politik, sosial maupun bidang militer, yang menjadikan Jepang mencapai status
negara terkemuka di Asia dalam kekuatan ekonomi dan politik. Selama paruh
pertama periode Meiji, dari tahun 1868 hingga tahun 1890, pemerintah Jepang
memutuskan untuk melakukan kunjungan-kunjungan ke luar negeri untuk mencari
tahu rahasia kekuatan negara-negara barat. Di tahun 1871-1873, separuh pejabat
pemerintahan berkunjunng ke Amerika Serikat dan negara di Eropa (Inggris,
Perancis, Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Rusia, Denmark, Swedia, Italia, dan
Austria) selama 18 bulan. Delegasi kunjungan perjalanan Jepang ke negara-negara
Eropa tersebut dipimpin oleh Iwakura Tomomi sehingga disebut dengan misi
Iwakura (Susi ONG, 2017:8). Iwakura Tomomi sendiri merupakan seorang
negarawan pada masa Bakumatsu (1853-1867) dan Meiji (1868-1912).
13
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Gambar 2.1. Kido Takayoshi, Yamaguchi Masuka, Iwakura Tomomi,
Ito Hirobumi dan Ookubo Toshimichi
Sumber : Website, www.page.sannet.ne.jp
14
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Selain tokoh yang sudah disebutkan diatas, termasuk didalamnya
sejumlah administrator dan pemuka agama dengan total 48 orang, staff misi,
53 siswa dan asisten juga bergabung dalam perjalanan. Beberapa siswa
tinggal untuk menyelesaikan pendidikan mereka di negara-negara asing,
termasuk lima wanita muda yang tinggal di Amerika Serikat untuk belajar,
juga Tsuda Umeko 6 tahun, yang setelah kembali ke Jepang, mendirikan
Joshi Eigaku Juku (sekarang Universitas Tsuda) pada tahun 1900, Nagai
Shigeko, kemudian Baroness Uryū Shigeko, serta Yamakawa Sutematsu,
kemudian Putri Ōyama Sutematsu.
Kemudian ada juga Kaneko Kentaro yang tinggal sebagai siswa di
Amerika Serikat. Pada tahun 1890 ia diperkenalkan kepada Theodore
Roosevelt. Mereka menjadi teman dan hubungan mereka membuahkan hasil
di mediasi Roosevelt di akhir Perang Rusia-Jepang dan Perjanjian
Portsmouth (Baron Kaneko and the Russo-Japanese War, 2009, Part One,
Chapter Four). Selain para siswa yang ada di Barat untuk belajar, seorang
staff misi dan kementerian kehakiman Nakae Chōmin, tinggal di Prancis
untuk mempelajari sistem hukum Prancis dengan Emile Acollas republik
yang radikal. Kemudian dia menjadi jurnalis, pemikir dan penerjemah dan
memperkenalkan pemikir Prancis seperti Jean-Jacques Rousseau ke Jepang.
Misi ini ditujukan untuk mengetahui rahasia kekuatan negara-negara
Barat. Selama perjalanan Misi Iwakura ini, mereka mengunjungi sekolah-
sekolah, pabrik, pelabuhan, kantor pemerintahan serta bertemu dengan
pemimpin negara-negara tersebut. Selama dalam perjalanan misi, mereka
menyadari bahwa negara Jepang masih sangat tertinggal jauh bahkan
terbelakang dalam hal industri, ekonomi, serta kualitas sumber daya
manusia. Hal ini ditanggapi lebih lanjut oleh pemerintah dengan
memberlakukan dan menerapkan sistem wajib belajar guna meningkatkan
kualitas sumber daya manusia agar tidak tertinggal dengan negara Barat,
karena untuk memajukan industri dan militer hanya akan berhasil apabila
kualitas sumber daya manusia baik. Selain itu juga, pemerintah bekerjasama
dengan para cendekiawan (yang berpendidikan barat) untuk melakukan
15
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
‘kampanye nasional’ guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang sifatnya tidak hanya keilmuan namun juga berkaitan dengan perilaku
dan moral publik seperti yang diungkapkan oleh Makino Nobuaki, seorang
negarawan Jepang aktif dari periode Meiji melalui Perang Pasifik yang
berkomentar dalam memoarnya:
16
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Awal kedatangan para misionaris portugis ke Jepang adalah
untuk menyebarluaskan ajaran agama katolik. Tujuan para misionaris ini
terbilang cukup berhasil terutama di wilayah Jepang selatan. Shimabara
adalah wilayah kekuasaan klan Arima yang banyak penduduknya
menganut agama Kristen yang disebarkan oleh para misionari tersebut.
Pada tahun 1614, klan Arima kehilangan kekuasaan wilayah dan
diberikan kepada Matsukura Shigemasa (Murray, 1905:258). Namun
untuk meyakinkan kesetiaan Shigemasa kepada shogun, yang awalnya
bersikap lunak pada orang-orang katolik di Shimabara mulai melakukan
penindasan. Pertengahan tahun 1630-an, para petani di Semenanjung
Shimabara dan Kepulauan Amakusa memberontak melawan para tuan
tanah mereka. Pemberontakan ini terjadi di wilayah yang dikuasai
Matsukura Katsuie di Domain Shimabara, dan Terazawa Katataka di
Domain Katsu (Murray, 1905:258-259). Pemberontakan ini tidak hanya
berlatar belakang agama namun juga ketidakpuasan terhadap beban pajak
yang tinggi. Ketidakpuasan ini juga dialami oleh golongan pengrajin dan
pedagang. Pemberontakan ini meluas kemudian, para ronin yang
mengabdi untuk klan Amakusa, klan Shiki, klan Arima dan klan Konishi
juga ikut memberontak (Murray, 1905:258-259).
Bersamaan dengan terjadinya pemberontakan, istana Edo
melakukan perluasan dan membangun istana baru di wilayah Shimabara
(Naramoto, 1994:394). Pembiayaan pembangunan tersebut berasal dari
pajak-pajak yang harus dibayar oleh penduduk wilayah kekuasaannya.
Penduduk semakin marah setelah Shigemasa melakukan persekusi
terhadap penganut ajaran agama Katolik di Shimabara (Naramoto,
1994:394).
Kekristenan semakin dilarang karena dianggap berpotensi
menghasut rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah. Kemudian,
pemerintah memberi wewenang kepada para pendeta Buddha (biksu)
yang berafiliasi dengan masing-masing kuil untuk mengawasi warganya
untuk memastikan tidak ada rakyat yang diam-diam memeluk ajaran
17
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Katolik. serta kebijakan sakoku diberlakukan guna proteksi kekuasaan
pemerintahan dan pemburuan sewenang-wenang terhadap orang katolik
terus berlanjut hingga 1850-an.
Setelahnya, rakyat diwajibkan untuk menyatakan diri sebagai
umat Buddha. Hasilnya, para biksu tidak perlu lagi menyebarluaskan
ajaran agama Buddha karena tidak ada kekhawatiran umatnya untuk
berpindah agama. Selama kurun waktu 200 tahun lebih nilai-nilai ajaran
Buddha dan Konfusianisme telah membatin dan melekat pada
masyarakatnya, hal-hal yang diajarkan baik namun ajaran tersebut
bersifat private yang erat kaitannya dengan ketaatan dan kepatuhan
terhadap para dewa dan juga ajarannya banyak yang mengesampingkan
kemaslahatan bersama. Untuk itu, hal ini berdampak negatif terhadap
karakter yang terbentuk setelahnya, dimana biksu hanya bertugas
memimpin ritual (upacara) kematian, dan hidup foya-foya dengan uang
derma dari umat. Ini membuat masyarakat menjadi antipati (Susy ONG,
2017).
18
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Buddha yang menyebabkan kelompok Buddha kehilangan aset besar-
besaran. Agama Buddha sendiri di sadari memiliki banyak cacat yang
menunut koreksi karena membuat bingung kepercayaan pribumi
meskipun ide-ide penganut Buddha memperkaya konsep keilahian
Jepang yang sederhana. Hal ini dibuktikan dari buku yang diterbitkan
oleh Giulio Aleni seorang pastor Jesuit dari Venice tahun 1625 yang
berjudul ‘San Shun Lun Xue Ji’, terdapat percakapan antara dirinya
dengan intelektual tiongkok dimana Aleni mengkritik ajaran Buddha dan
Konfusianisme serta menekankan kebenaran ajaran Katolik.
Pasca dipisahkannya antara Buddha dan Shinto, larangan
penyebaran agama Kristen dicabut. Pencabutan larangan ini menjadi
angin segar kepada para misionari Kristen, utamanya Amerika untuk
kembali menyebarkan ajaran agama Kristen serta mendirikan sekolah-
sekolah dengan menawarkan pendidikan modern di Jepang. Para
misionaris ini telah mempelajari bahasa China untuk dapat memasuki
Jepang dengan mudah melalui Nagasaki.
Dimulai beberapa tahun setelah 1875, ide-ide budaya Barat
modern dan negara monolitik bersaing untuk mengontrol agama di
Jepang. Kekristenan berkembang menjadi suatu aspek dari keinginan
untuk memodernisasi Jepang. Ditengah-tengah perkembangan
penyebaran agama Kristen dan modernisasi, kelompok umat Kristen dan
tokoh penganjur modernisasi menuduh Buddha sebagai agama yang
fatalistik, pasrah terhadap status quo, tidak berminat memperjuangkan
kehidupan duniawi yang lebih, hanya memikirkan kehidupan setelah
mati. Menyadari banyaknya cacat, Buddha tidak hanya memikirkan
perihal rohaniyah, namun juga membicarakan perihal duniawi dan
semakin formal. Namun, umat Buddha menentang agama Kristen dengan
menggunakan filsafat naturalistik Barat. Filsafat Naturalistik sendiri
dipelopori oleh J.J Rosseau, yang berpendapat dalam bukunya Émile, ou
De l’éducation bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai
pembawaan baik. Pembawaan baik ini akan rusak karena dipengaruhi
19
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
lingkungannya. Pendidikan yang diajarkan orang dewasa akan merusak
pembawaan baik tersebut. Aliran naturalistik sendiri menitikberatkan
pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris. Selain itu juga,
imam Bernadib menyebutkan bahwa Naturalisme itu merupakan orang
tua dari Realisme. Mengandung nilai estetis dan etis yang didapat dari
alam.
Dalam kondisi ini, para pemimpin Shinto yang memiliki
kekuatan bereaksi politik, terus berusaha untuk kembali mendapatkan
posisi istimewa sebagai agama nasional. Melalui hal ini, pemerintah
mengatur hak kebebasan beragama dalam konstitusi 1889 dimana, secara
teori menjamin kebebasan beragama, tetapi kebebasan ini tergantung
pada warga negara yang memenuhi kewajibannya kepada kaisar sebagai
subjek. Kondisi yang bebas ini menjadikan rakyat ‘beragama’ namun
tanpa disadari, terhadap ‘agama’ ini menjadikan rakyatnya lupa tentang
sesama. Dalam daftar adat istiadat buruk pada masa itu menurut Dohi
Masataka yang dikutip dalam Susy ONG (2017), terdapat penganut
agama Buddha, Kristen, dan Shinto yang rajin ke rumah ibadah, ketika
beribadah sampai menangis-nangis, meraung-raung memanggil Tuhan,
antusias menyumbang untuk keperluan ibadah, namun mereka seenaknya
menunggak pajak dan uang sekolah anak-anaknya, antusias mengikuti
kegiatan di tempat ibadah tapi enggan menyumbang untuk fakir miskin,
rela meninggalkan pekerjaan dan orang tua demi ziarah ke tempat yang
jauh, ada yang rela memutus hubungan dengan orang tua dan sanak
saudara demi masuk Kristen, berdoa meminta kesembuhan tetapi tidak
berobat ke dokter. Dibandingkan dengan beragama, justru tidak terdapat
kesan beragama di dalam kesehariannya. Membuang-buang waktu,
malas, pelit, lupa terhadap prioritas dan sebagainya. Sekali lagi sikap-
sikap yang ditunjukan tidaklah menunjukan cerminan kepentingan
bersama meskipun dikatakan ‘beragama’ yang secara jelas, agama
semestinya memiliki nilai-nilai kemaslahatan bersama dan tidak hanya
mengenai iman.
20
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
2.2.3. Diskritisasi Wanita Dalam Peranannya
Kemudian hal-hal yang menjadi kekeliruan, yang memberi kesan
minus terdapat pada peranan wanita. Dimulai pada periode Heian (794-
1185) di mana Jepang dilanda perang antar keluarga aristoktasi militer yang
berkepanjangan, kedudukan wanita dalam kehidupan sosial dan politik
mengalami pergeseran. Adanya pandangan bahwa secara fisik kaum wanita
tidak cukup kuat dalam peperangan adalah mengurangi peranan wanita,
sehingga konflik bersenjata menjadi salah satu penyebab mundurnya status
wanita dalam kehidupan sosial. Hak hidupnya dilanggar, hak pendidikan
anak perempuan tidak terpenuhi, hak untuk tidak mengalami kekerasan
justru meningkat (Saparinah Sadli, “Tujuan Pembangunan Milenium
(Milenium Development Goals/MDGs) Perspektif Gender”, Pidato
Penerima Hamengku Buwono IX 2004, 20 Desember 2004).
Periode ini juga adalah masa transisi ke budaya aristokrasi yang
feodalistik, dimana status laki-laki meningkat bersamaan dengan naiknya
kekuasaan golongan samurai. Sebaliknya status wanita merosot dan lambat
laun dikeluarkan dari struktur feodal dan menerima peran yang tidak
penting serta hanya sebagai pelengkap kaum pria (Edwin O. Reischauer,
270).
Pada masa pemerintahan Tokugawa, pemerintah saat itu melakukan
sistem pemerintahan hirarkial dimana, pemerintah pusat mengatur seluruh
aktivitas pemerintahan dengan memberlakukan Shi No Ko Sho. Pemerintah
Tokugawa juga tidak hanya membagi masyarakat dengan Shi No Ko Sho,
namun juga membagi masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Hal ini
didasari oleh bentukan ajaran agama Buddha utamanya sekte-Zen dan
ajaran Konfusianisme. Sekte-Zen adalah salah sekte di dalam agama
Buddha yang dikenalkan pertama kali oleh Eisai (1141-1215) seorang
pendeta Buddha. Sekte ini banyak dianut oleh para kalangan samurai.
Seorang ahli agama di Jepang yang bernama Suzuki mengatakan:
21
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
“Zen telah bersatu dengan semangat kaum samurai, karena Zen
telah berkembang dengan baik di Jepang sejak lahirnya kaum
samurai. Disamping itu, Zen mempunyai metode langsung
untuk mencapai keyakinan, dan adalah agama yang
mengutamakan kemauan baja, karena kemauan baja adalah
syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang samurai”
(I Ketut Surajaya, 1985:14).
22
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
harus patuh pada kaum pria, tidak punya hak edukasi, tidak punya hak
politik, dan kerap kali menjadi objek seksual semata. “Tubuh wanita adalah
sebuah panggung drama” (Simone de Beauvoir. The Second Sex (1908-
1986)).
Fungsi sosial kaum wanita hanya dihargai sebagai kaum ibu yang
melahirkan anak, dan membesarkan anak para pengganti kepala keluarga.
Ajaran untuk kaum wanita di dalam buku ‘The Grater Learning for Women’
menekankan derajat kaum wanta lebih rendah daripada pria (Masu Okamura
1983:1).
Di Jepang, para wanita telah lama dinyatakan lebih rendah statusnya
dibanding dengan pria dan diharapkan untuk menunjukan perbedaan pria
dengan dirinya dalam tingkat yang setinggi-tingginya melalui penggunaan
bahasa yang sopan dan bentuk-bentuk hormat dalam bicara, membungkukan
badan lebih dalam daripada pria, berjalan di belakang suaminya dihadapan
umum, dan masih banyak cara lain sebagai bentuk kepatuhan terhadap pria
(Loveday, 1986:12). Hal ini berawal dari pemikiran danson-johi (Haruhiko,
1997:210) mengedepankan sikap menghormati kaum pria dan merendahkan
kaum wanita (Izuru, 1990:1632).
Hal ini berlanjut hingga era restorasi Meiji. Menurut Dohi Masataka,
ada daftar adat istiadat buruk masyarakat Jepang di masa itu, salah satunya
Jepang sangat meremehkan perempuan. Negara akan maju jika rakyat
pandai; rakyat pandai karena pendidikan yang baik; pendidikan yang baik
bergantung pada peran ibu. Napoleon, Washington, dan Mencius (filsuf
Tiongkok) menjadi tokoh besar karena peran ibu. Sedangkan di Jepang,
status sosial perempuan masih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Selain
itu juga, karena peran wanita yang masih rendah, mentalitas yang
dibentukpun, mau enaknya saja, bergantung pada orang lain, tidak mau
berusaha, kurang ulet. Misalnya banyak orang tua yang menjual putrinya
untuk menjadikannya sebagai seorang pelacur atau istri muda agar orang
tuanya bisa hidup tanpa bekerja (Susy ONG, 2017:18, 20 & 22). Kemudian
pada contoh lain, dilegalkannya pelacuran oleh pemerintah yang
23
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
manandakan bahwa wanita adalah the second sex yang menjadikan wanita
objek seksual.
24
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Meluasnya stigma ‘adab Barat’ menjadikan masyarakat seperti
merendahkan budaya mereka sendiri yang tanpa disadari, mereka sudah
menggeser nilai-nilai kebudayaan yang dibangun selama ini hanya untuk
terlihat lebih ‘beradab’ dan menganggap bahwa budaya Jepang dimasa ini
‘tidak beradab’. Kata selektif sudah terlewatkan sehingga melupakan
‘budaya barat yang bermanfaat boleh diterapkan’ dan ‘budaya Jepang yang
sudah tidak bermanfaat harus dibuang’.
25
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 3
KAMPANYE PEMERINTAH JEPANG DALAM MEMBENTUK
KARAKTER MASYARAKAT JEPANG
27
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Mulai adanya kesadaran yang mendalam mengenai keharusan untuk
bertransformasi agar dapat bersaing dengan negara-negara Barat, Jepang
selangkah demi selangkah dan dalam kurun waktu singkat dapat merubah
kebudayaan-kebudayaan yang menghambat laju perkembangan negara. Banyak
cara yang dilakukan pemerintah untuk mereformasi budaya, beberapa diantaranya
melalui pendidikan yang menjadi peran penting dalam self building. Kemudian
merekayasa figur-figur tradisional agar masyarakat memiliki visi yang serupa dan
sejalan sehingga masyarakat tidak kehilangan panutan setelah runtuhnya rezim
Tokugawa.
“Satu setengah abad yang lalu filsof Jerman Imanuel Kant sudah
menulis bahwa ciri khas kebudayaan adalah terdapat kemampuan
manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan
sekolah dimana manusia dapat belajar. Dalam kebudayaan manusia
tidak hanya bertanya bagaimana sifat-sifat sesuatu, melainkan pula
bagaimana sesuatu itu seharusnya bersifat” ( Peursen, 1976: 14 ).
“Peradaban suatu negara tidak boleh dinilai dari apa yang kelihatan
dari luar saja. Sekolah-sekolah, industry, angkatan darat dan
angkatan laut, hanya merupakan bentuk-bentuk fisik dari suatu
peradaban. Tidak sukar membuat barang-barang fisik itu karena
semuanya dapat di beli dengan uang. Tetapi, di balik semua itu
terdapat suatu komponen spiritual, yang tidak kelihatan oleh mata
atau di dengar dengan telinga, tidak mungkin dibeli atau dijual,
dipinjam atau dipinjamkan. Tetapi, pengaruhnya pada pembinaan
suatu bangsa adalah besar sekali. Tanpa unsur ini, semua sekolah,
industri, dan kemampuan kita dalam bidang angkatan bersenjata,
tidak akan mempunyai makna apapun. Apa yang dimaksudkan ini
memang unsur yang maha penting, yaitu jiwa peradaban itu sendiri,
…” (Fukuzawa Yukichi, 1985:69).
28
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
3.1.1. Fiksionalisasi Semangat Juang Jepang
Bushi adalah kata dalam Bahasa Jepang yang secara kasar
diterjemahkan sebagai Kesatria, dalam kultur Barat lebih ekspresif daripada
Horsemanship. Bushido secara harfiah berarti jalan kesatria cara-cara yang
para bangsawan lakukan, mencerminkan kehidupan mereka sehari-hari.
Mengenai asal usul Bushido, secara umum, bushido muncul dengan
munculnya kelas samurai, dikatakan bahwa itu selesai pada periode
Tokugawa. Awalnya Bushi adalah keterampilan bertempur oleh para
samurai. Kemudian berubah menjadi sebuah jalan hidup yang mengandung
etika-etika moral serta nilai-nilai. Konsep Bushido sesungguhnya bukanlah
sebuah konsep budaya tradisional Jepang karena konsep yang diajarkan
sangat kental hubungannya dengan konsep dan ajaran Buddha serta
Konfusianisme. Selain itu, Jika konsep Bushido adalah sebuah konsep yang
diajarkan pada kelas Bushi, maka ada konsep-konsep lain dari kelas yang
lain.
Bersamaan dengan kemajuan Jepang Pada tahun 1890, berbagai hal
telah dilakukan agar Jepang memulai tatanan barunya, mulai dari
pengesahan konstitusi, sistem parlemen, hingga industri, pemerintah dan
para intelektual Jepang beranggapan bahwa sudah waktunya untuk mereka
berhenti ‘meniru’ karena banyak hal yang ditiru semenjak peralihan rezim.
Bahkan karena terlalu banyak yang ditiru, menyebabkan Jepang seperti
tidak memiliki identitasnya. Untuk itu, diperlukan adanya ‘penciptaan’
budaya yang menggambarkan Jepang untuk menanamkan rasa nasionalisme
kepada masyarakat Jepang.
Salah satu bentuk ‘ciptaan’ ini adalah Bushido. Pastilah terlintas
pada benak pembaca bahwa konsep Bushido merupakan salah satu konsep
budaya tradisional jepang yang lahir sejak lama. Namun konsep ini baru
benar-benar dikenal sekitar tahun 1900 melalui sebuah buku yang berjudul
Bushido: The Soul of Japan. Buku ini diterbitkan di Amerika dan di tulis
oleh seorang pria berkebangsaan Jepang bernama Nitobe Inazo. Nitobe lahir
29
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
di Marioka, Provinsi Mutsu (sekarang bernama prefektur Iwate). Keluarga
Nitobe merupakan kelas Bushi, ayahnya adalah punggawa daimyo klan
Nanbu. Saat ia berumur 6 tahun, rezim pemerintahan berganti sehingga
kelas-kelas dalam masyarakat dihapuskan. Nitobe menempuh pendidikan di
Sapporo Agricultural College (sekarang Universitas Hokkaido). Ia menjadi
Kristen di bawah warisan kuat yang ditinggalkan oleh Dr. William S. Clark,
Wakil Kepala Sekolah pertama, yang telah mengajar di Sapporo selama
delapan bulan sebelum kelas Nitobe tiba di tahun kedua setelah pembukaan
perguruan tinggi, dengan demikian mereka tidak pernah secara pribadi.
Teman sekelas Nitobe yang masuk agama Kristen pada saat yang sama
termasuk Uchimura Kanzo. Nitobe dan teman-temannya dibaptis oleh
misionaris Episkopal Metodis Amerika, M.C. Harris. Keputusan Nitobe
untuk belajar pertanian adalah karena harapan yang diungkapkan oleh
Kaisar Meiji bahwa keluarga Nitobe akan terus memajukan bidang
pengembangan pertanian (ayah Nitobe mengembangkan bekas lahan limbah
di utara domain Nanbu dekat Towada masa kini, sekarang bagian dari
Prefektur Aomori, menjadi tanah pertanian produktif).
Pada tahun 1883, Nitobe memasuki Tokyo Imperial University untuk
studi lebih lanjut dalam sastra Inggris dan ekonomi. Kecewa dengan tingkat
penelitian di Tokyo, ia keluar dari universitas dan mencari peluang belajar
di Amerika Serikat. Pada tahun 1884, Nitobe melakukan perjalanan ke
Amerika Serikat di mana ia tinggal selama tiga tahun, dan belajar ekonomi
dan ilmu politik di Universitas Johns Hopkins di Baltimore, Maryland.
Sementara di Baltimore ia menjadi anggota klub kaum Quaker (salah satu
denominasi Protestan). Melalui komunitas Quaker di Philadelphia dia
bertemu Mary Patterson Elkinton, yang akhirnya dia nikahi. Ia juga
memengaruhi pendirian sekolah di Tokyo. Di Johns Hopkins, ia
berpartisipasi dalam Seminar Sejarah dan Politik, setelah kepergiannya dari
Hopkins pada tahun 1887, seorang rekan membaca sebuah makalah yang
ditulis oleh Nitobe pada tahun 1888, berjudul "Orang Jepang di Amerika",
di mana ia mempelajari misi resmi pertama yang dikirim dari Jepang ke
30
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Amerika Serikat, dimulai pada tahun 1860. Dia kemudian kembali ke
Hopkins pada bulan Desember 1890, ketika ia mempresentasikan makalah
tentang "Perjalanan dan Belajar di Jerman". Juga pada tahun 1890, Johns
Hopkins memberikan Nitobe gelar sarjana kehormatan, sebagai pengakuan
atas prestasinya meskipun tidak mendapatkan gelar PhD dari Hopkins.
Sementara di Johns Hopkins, ia diberikan asisten profesor di
almamaternya, Sapporo Agricultural College, tetapi diperintahkan untuk
terlebih dahulu mendapatkan gelar doktor di bidang ekonomi pertanian di
Jerman. Dia menyelesaikan gelarnya setelah tiga tahun di Universitas Halle
dan kembali sebentar ke Amerika Serikat untuk menikahi Mary Elkinton di
Philadelphia sebelum dia mengambil posisi mengajar di Sapporo pada tahun
1891. Pada saat dia kembali ke Jepang, dia telah menerbitkan buku-buku
dalam bahasa Inggris dan di Jerman, dan telah menerima gelar doktoralnya
yang pertama dari lima.
Nitobe melanjutkan masa mengajarnya di Sapporo hingga tahun
1897 ketika ia pergi dari kampus. Dia menghabiskan tiga tahun menulis
pertama di Jepang dan kemudian di California. Salah satu buku yang
ditulisnya selama periode ini adalah Bushido: The Soul of Japan.
31
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Adapun hal-hal yang mendasari Nitobe mengenai penulisan buku ini
ada pada halaman pengantar buku tersebut.
“About ten years ago, while spending a few days under the
hospitable roof of the distinguished Belgian jurist, the
lamented M. de Laveleye, our conversation turned, during
one of our rambles, to the subject of religion. "Do you mean
to say," asked the venerable professor, "that you have no
religious instruction in your schools?" On my replying in the
negative he suddenly halted in astonishment, and in a voice
which I shall not easily forget, he repeated "No religion! How
do you impart moral education?" The question stunned me at
the time. I could give no ready answer, for the moral precepts
I learned in my childhood days, were not given in schools;
and not until I began to analyze the different elements that
formed my notions of right and wrong, did I find that it was
Bushido that breathed them into my nostrils.
The direct inception of this little book is due to the
frequent queries put by my wife as to the reasons why such
and such ideas and customs prevail in Japan.
In my attempts to give satisfactory replies to M. de
Laveleye and to my wife, I found that without understanding
Feudalism and Bushido, the moral ideas of present Japan are
a sealed volume.” (Nitobe Inazo, 1900:preface)
32
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
“Zen telah bersatu dengan semangat kaum samurai, karena Zen
telah berkembang dengan baik di Jepang sejak lahirnya kaum
samurai. Disamping itu, Zen mempunyai metode langsung
untuk mencapai keyakinan, dan adalah agama yang
mengutamakan kemauan baja, karena kemauan baja adalah
syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang samurai” (I
Ketut Surajaya, 1985:14).
Citra bushi yang dibangun oleh Nitobe Inazo ini merupakan sebuah
fiksionalisasi yang dibuat dengan tujuan untuk mengubah pandangan
bangsa-bangsa Barat bahwa Jepang merupakan bangsa yang beradab dengan
konsep Bushido-nya. Hal ini di jelaskan pula pada jurnal milik Funazu Akio,
Observasi mengenai Bushido di Era Meiji seputar buku Bushido karya
Nitobe Inazo dalam: Gengo to Bunka, no.4, prodi Linguistik dan
Kebudayaan Internasional, Universitas Nagoya, Jepang.
Setelah sebelumnya buku ini menjadi booming di negara Barat, buku
ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang dan menuai banyak kritik karena
tidak jelas sumber yang digunakan oleh Nitobe. Meski demikian, buku hasil
fiksionalisasi ini berhasil membentuk Jepang pada masa percepatannya.
Lebih lagi, dampak dari fiksionalisasi ini adalah digunakannya materi di
dalam buku ini oleh Inggris guna mengangkat semangat patriotisme serdadu
Inggris (Hashimoto Yorimitsu. Populernya Bushido dan Jujutsu di Inggris
pada masa Perang Jepang-Rusia. Dalam: Handai Hikaku Bungaku (Studi
Sastra Komparatif Universitas Osaka), edisi Maret 2013, hal. 178-198).
Secara langsung maupun tidak langsung, bangsa-bangsa Barat
percaya akan citra patriotisme bangsa Jepang yang dibangun pada buku
tersebut. Jepang telah berhasil menjadi role model melalui buku tersebut.
Dengan berubahnya pandangan dunia terhadap Jepang melalui fiksionalisasi
ini, artinya Jepang telah berhasil dalam membentuk fondasi dasar
33
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
masyarakat yakni semangat hidup dan semangat patriotismenya dengan
asumsi, semangat tersebut berhasil membangkitkan semangat pemuda-
pemuda Barat. Langkah yang dilakukan oleh Nitobe inipun sejalan dengan
pandangan yang diutarakan oleh Fukuzawa Yukichi melalui bukunya.
34
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
memulai aksi protes terhadap kesenjangan sosial yang terjadi. Aksi-aksi
protes ini menjadi semakin marak hingga kaum-kaum intelektual sosialis
mendirikan Partai Sosialis Demokrat yang bahkan baru dua hari berdiri
sudah dicap sebagai partai terlarang karena menebarkan rasa ketidak
tentraman dan mengganggu ketertiban umum.
Kemudian selama setahun Jepang berperang dengan Rusia 1904-
1905, tercatat bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk perang
sekitar tujuh kali APBN Jepang. Untuk itu pemerintah Jepang menaikkan
pajak negaranya dan berhutang pada negara lain. Diakhir peperangan, dapat
dikatakan tidak ada negara yang kalah karena Jepang tidak mendapatkan
rampasan perang. Selain tidak mendapatkan rampasan perang, perjanjian
damai Jepang-Rusia dilakukan.
Setelah berperang dan kembali dengan tangan kosong ditambah
hutang kepada negeri lain, tentu saja terjadi kesenjangan sosial dan resesi
secara besar. Pajak ditinggikan agar pemerintah dapat membayar hutang-
hutang negara. Karena rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah,
terjadi demonstrasi besar-besaran di Tokyo. Demonstrasi ini mengakibatkan
kerusakan pada 350 gedung dan sekitar 70% kantor polisi. Insiden ini
dikenal dengan ‘日 比 谷 焼 打 事件 (Hibiya yakiuchi jiken)’. Masyarakat
sangat frustasi yang sudah seperti minyak, diberi sedikit percikan api oleh
golongan oposisi.
Pada posisi ini antara rakyat dan pemerintah memiliki pandangan
yang berbeda, menurut Jhon Rawls, hal ini dikonsepkan dengan istilah
Difference Principle, karena satu-satunya ketidaksetaraan material yang
diizinkan oleh Difference Principle adalah mereka yang menaikkan tingkat
yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat, secara material runtuh ke
bentuk kesetaraan yang ketat di bawah kondisi empiris di mana perbedaan
pendapatan tidak berpengaruh pada insentif kerja orang dan karenanya,
tidak ada kecenderungan untuk meningkatkan pertumbuhan. Poinnya adalah
tentang posisi absolut dari kelompok yang paling tidak diuntungkan
daripada posisi relatif mereka. Jika suatu sistem kesetaraan yang ketat
35
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
memaksimalkan posisi absolut dari yang paling tidak diuntungkan dalam
masyarakat, maka Prinsip Perbedaan menganjurkan kesetaraan yang ketat.
Jika dimungkinkan untuk meningkatkan posisi absolut dari yang paling
tidak diuntungkan lebih lanjut dengan memiliki beberapa ketimpangan
pendapatan dan kekayaan, maka Prinsip Perbedaan menetapkan
ketimpangan sampai pada titik di mana posisi absolut dari yang paling tidak
diuntungkan tidak lagi dapat dinaikkan. Sederhananya untuk tujuan
pemerintah, pemerintah memberikan beban yang seharusnya ditanggung
oleh pemerintah kepada rakyatnya sehingga memberikan kekhawatiran yang
berlebih terhadap rakyat sedangkan kondisi ekonomi saat itu belum
mencapai tingkat stabil. Dapat dikatakan manusiawi jika terjadi aksi protes
massa karena ruang gerak nafas rakyat disempitkan sedemikian sempit oleh
pemerintah.
Namun bila masyarakat sejatinya memiliki kebiasaan yang boros dan
malas untuk bekerja, maka situasi-situasi yang diciptakan oleh desakan-
desakan penurunan ekonomi pasti menimbulkan rasa frustasi masyarakat
karena tidak lagi dapat memenuhi keinginannya. Sehingga, massa yang
sudah dibutakan oleh keinginannya yang tidak kunjung terwujudkan karena
adanya desakan keadaan, dimanfaatkan oleh golongan oposisi untuk
dijadikan senjata.
Asumsi ini diperkuat oleh Inoue Tomoichi, seorang pejabat tinggi di
kementerian dalam negeri, dalam artikel di majalah yang terbit pada tahun
1912, mengeluhkan betapa malasnya orang Jepang; peternak ayam bekerja
asal-asalan, sehingga ayam di Jepang pertahun rata-rata hanya bertelur 40
butir; sedangkan ayam di Jerman pertahun rata-rata bertelur 70 butir
(Sheldon Garon, 1997:19).
Artinya, masyarakat Jepang di masa Meiji yang mendorong
perubahan sudah dan masih terlalu nyaman dengan kondisi mereka sehingga
tidak siap menghadapi perubahan kondisi yang memaksa mereka untuk
bergerak kearah yang baru. Seperti balon yang udaranya tidak terisi penuh,
karena tidak terisi penuh, maka balon tersebut dapat dibentuk menjadi
36
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sebuah bentuk yang baru. Namun jika balon tersebut diisi penuh oleh udara,
maka tidak akan dapat dibentuk bahkan meledak. Seperti itulah modernisasi
yang tidak disadari masyarakat kala itu.
Selain itu, karena ketidaksiapan ini, pandangan antara pemerintah
dan masyarakatnya menjadi tidak sejalan. Masyarakat yang menjadi lebih
mudah dikendalikan oleh oposan dengan memanfaatkan kondisi psikologis
masyarakat.
37
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Secara harfiah, Hotoku berarti ‘balas budi’. Konsep balas budi ini
sejatinya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan.
Konsep ini adalah ajaran yang digunakan oleh seorang petani yang bernama
Ninomiya Sontoku (1787-1856). Ninomiya Sontoku adalah figur yang tidak
menggerutu kepada pemerintah, apa adanya, rajin menabung, serta suka
membantu orang lain. Ninomiya terkenal karena keahliannya dalam
mengambil komunitas miskin dan mengembalikan mereka ke ekonomi yang
sehat.
Proses yang ditekankan Ninomiya dimulai dengan kejujuran dalam
berurusan dengan orang lain, ketekunan (kerja keras, untung, dan hidup
hemat), manajemen keuangan yang sehat, dan kesediaan untuk menyerah
kepada orang lain atau mengorbankan kebutuhan sendiri demi kebaikan
yang lebih besar. Konsep berpikir ini, adalah dasar konsep dalam ajaran
Ninomiya.
Meskipun Ninomiya tidak meninggalkan karya filosofis tertulis,
idenya kemudian ditranskripsi oleh murid-muridnya: Tomita Takayoshi,
Fukuzumi Masae dan Saitō Takayuki. Ninomiya menggabungkan tiga
untaian ajaran Budha, Shinto dan Konfusianisme kemudian mengubahnya
menjadi prinsip-prinsip etika praktis yang matang dari pengalamannya. Dia
melihat pertanian sebagai bentuk kemanusiaan tertinggi karena itu adalah
penanaman sumber daya yang diberikan oleh Dewa.
Ajaran yang diajarkan Ninomiya lebih banyak berhubungan dengan
sikap dan disiplin diri daripada keadaan seseorang. cara untuk menjalani
kehidupan yang damai menurut Ninomiya adalah ‘membawa kayu dari
gunung hari ini untuk merebus beras besok, dan malam ini. Untuk membuat
tali jerami untuk memperbaiki pagar besok’. Ajaran Ninomiya
menempatkan tanggung jawab untuk sukses dengan kuat pada pundak
masing-masing petani. Ajaran Ninomiya benar-benar memposisikan
individu sebagai subjek utama. Meski begitu, solusi Hotoku terhadap
kemiskinan adalah pekerjaan yang lebih sulit, bukan perubahan
keseimbangan kekuasaan antara yang kaya dan yang miskin.
38
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dalam hal ini, bila rakyat hanya menuntut tanpa mau berkorban,
tanpa mau bekerja keras, dan berusaha secara pribadi, maka usaha yang
dilakukan oleh pemerintah hanya akan menjadi sebuah ide dan tindakan
sepihak. Untuk itu, berbasis dari konsep pemikiran Ninomiya, Asosiasi
Hotoku Nasional mengadakan seminar penyuluhan ke desa-desa di seluruh
Jepang dalam meningkatkan semangat berdikari serta ajaran konkret dalam
peningkatan produktivitas.
Selain pada bentuk penyuluhan, pemikiran ini dimasukan kedalam
buku teks pelajaran SD yang merupakan tempat pendidikan formal
‘pertama’ yang menjadi dasar para intelektual muda dalam menuntut ilmu.
Tidak berhenti sampai disitu, bentuk usaha asosiasi ini sampai menjadikan
Ninomiya sebagai figur nasional tepat setelah wafatnya Ninomiya karena
konsep dan pemikirannya dalam pembentukan karakter individu serta
pemikiran hidup hematnya. Sehingga, masyasrakat tidak hanya bergantung
pada pemerintah, melainkan koperatif dalam pembangunan sosial ekonomi.
39
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Jepang yang rajin, tekun, tidak malas, cerdas, itu semua merupakan
salah satu hasil dari bentukan pemikiran yang dibangun oleh Ninomiya dan
di nasionalisasikan serta dikampanyekan kepada rakyat saat rakyat masih
banyak yang berkutat dengan kebiasaan malas dan bergantung pada
pemerintah. Momentum sudah berubah menjadi monumen.
40
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Isu-isu konflik sosial seperti ini menjadi lebih sering terjadi sejak
masuknya paham sosialis. Ditambah lagi, Oktober 1917, informasi lahirnya
negara komunis pertama di dunia dengan cepat masuk ke Jepang dan
menginspirasi gerakan radikal. Ideologi sosialisme yang demikian ini,
membuat kesadaran hak pada rakyat menguat sehingga rakyat tidak segan
untuk melakukan protes demi kepentingan diri sendiri seperti pada kasus
‘Rice Riot’ yang merupakan akibat dari dampak inflasi yang menimbulkan
kegelisahan mendalam. Kenaikan tajam harga beras menyebabkan kesulitan
ekonomi yang ekstrem, khususnya di daerah pedesaan di mana beras
merupakan makanan pokok kehidupan petani, ketika membandingkan harga
rendah yang mereka terima karena peraturan pemerintah dengan harga pasar
yang tinggi, menimbulkan permusuhan yang luar biasa terhadap pedagang
beras dan pejabat pemerintah yang telah memungkinkan harga menjadi
lepas kendali. Kenaikan harga beras terjadi pada puncak spiral inflasi pasca
perang (Perang Dunia I) yang juga memengaruhi sebagian besar barang dan
sewa konsumen, dan dengan demikian penduduk kota juga memiliki ruang
lingkup yang cukup besar untuk keluhan. Intervensi Siberia semakin
memperburuk situasi, dengan pemerintah membeli stok beras yang ada
untuk mendukung pasukan di luar negeri, yang selanjutnya mendorong
harga beras lebih tinggi. Intervensi pemerintah dalam urusan ekonomi
(harga beras rendah, diatur) menyebabkan protes pedesaan menyebar ke
kota-kota.
Kerusuhan beras terbesar terjadi dalam sejarah Jepang modern dalam
hal ruang lingkup, ukuran dan kekerasan. Protes awal terjadi di kota nelayan
kecil Uozu, Prefektur Toyama, pada tanggal 23 Juli 1918. Dimulai dengan
petisi yang damai, kerusuhan itu dengan cepat meningkat menjadi
kerusuhan, pemogokan, penjarahan, pemboman yang membara di kantor-
kantor polisi dan kantor-kantor pemerintah serta bentrokan bersenjata. Pada
tahun 1918, ada 417 perselisihan terpisah yang melibatkan lebih dari 66.000
pekerja (Jhon Crump, 1996). Sekitar 25.000 orang ditangkap, di antaranya
8200 dihukum karena berbagai kejahatan, dengan hukuman mulai dari
41
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
denda kecil hingga hukuman mati (WJ MacPherson, 1995). Sebagai
bentuk pertanggung jawaban atas gagalnya pemeritah dalam menjaga
ketertiban umum, Perdana Menteri Terauchi dan kabinetnya mengundurkan
diri pada 29 September 1918.
Namun hikmah dari insiden ini, pemerintah menjadi menyadari
bahwa harus ada yang ‘mengarahkan’ rakyat agar menjunjung tinggi
‘budaya tradisional Jepang’ yang ‘mengutamakan kepentingan umum’.
Setelah berhasil membangun semangat Jepang melalui ‘Bushido’, kemudian
menerapkan dasar-dasar hidup melalui dunia pendidikan dengan Ninomiya
sebagai contoh hidup, untuk dapat meluruskan akal sehat, pemerintah
melanjutkan kampanye dengan tema local improvement movement yang
merupakan agenda nasional berkesinambungan hingga tahun 1970-an.
Tujuan utamanya adalah untuk meluruskan akal sehat mengenai perubahan
yang kualitatif sehingga dapat mendorong ‘hidup berbudaya’.
Maret 1919, agenda kampanye nasional untuk membina ketahanan
nasional dicanangkan.
1. Membina kesadaran akan tujuan nasional serta kesadaran berbangsa
dan bernegara.
2. Membina jiwa mandiri, rasa tanggung jawab sosial dan semangat
untuk berkorban.
3. Membina rakyat agar terus belajar, sehingga mampu mengikuti
kemajuan dunia.
4. Membina hubungan sosial yang harmonis dan saling menolong;
mencegah tindakan yang gegabah.
5. Membangun tradisi rajin bekerja dan hidup hemat, agar
meningkatkan kesehjateraan hidup.
(Susy ONG. 2017:94-95)
Berkaitan dengan pelurusan akal sehat, yang dimaksud adalah
pemahaman tentang ideologi sosialisme yang mana berdampak pada
maraknya aksi-aksi demonstrasi yang mementingkan diri sendiri sedangkan
pada ajaran yang dimuat, berbasis pada nilai-nilai Ninomiya, merelakan
42
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sesuatu (kebutuhan sendiri) demi kebaikan yang lebih besar. Ideologi
sosialisme jelas sudah bertolak belakang. Kemudian dalam buku yang
berjudul Fudo-Observasi terhadap Perilaku Manusia yang berisi artikel-
artikel seorang intelektual Jepang mengenai dampak lingkungan alam
terhadap manusia, Watsuji Tetsuro (1889-1960).
43
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
dengan paham yang ada di Papua? Bila Ibu Kota cenderung Sosialis, apakah
Papua cocok dengan Sosialis yang cenderung mementingkan kepentingan
sendiri?
Bentuk usaha ini pun berhasil meyakinkan masyarakat Jepang bahwa
gerakan sosialisme adalah ideologi yang tidak sesuai dengan kultur Jepang.
44
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
5. Tata cara memberi hormat ketika lewat di depan istana dan ketika
memberi hormat kepada foto kaisar, memasang bendera nasional (di
pintu gerbang rumah), tata cara meneriakkan kata ‘banzai’ (hidup!).
6. Tata cara memberi salam hormat kepada orang tua dan para tetangga.
7. Etika di sekolah: ucapkan salam kepada guru dan kakak kelas ketika
tiba di sekolah dan ketika pulang.
8. Etika dalam pergaulan: jangan sembarangan menyentuh barang milik
orang lain, barang yang kita pinjam harus dikembalikan secepatnya.
9. Etika: jangan merias wajah atau ganti pakaian di tempat umum, harus
berpakaian rapi ketika bepergian.
10. Etika di instansi umum: sebelum masuk ruangan harus mengetuk
pintu dan minta izin terlebih dulu, berdiri memberi hormat ketika ada
sesepuh yang baru masuk ke ruangan, tidak boleh duduk sebelum
dipersilakan duduk, tidak boleh berjalan di depan sesepuh.
11. Tata cara waktu makan: cara memegang sumpit dan mangkuk nasi
yang benar, cucui tangan sebelum makan.
12. Etika ketika bertamu ke rumah orang lain: dating pada hari dan jam
yang telah disepakati; hindari berkunjung ke rumah orang lain pada
pagi hari, malam hari dan jam makan, jangan berkunjung di hari
minggu atau hari raya; jangan berkunjung terlalu lama, jangan
menyentuh atau mengomentari perabot pemilik rumah.
13. Etika ketika menerima tamu: jangan memperlihatkan rasa tidak
senang atau bosan, jangan melipat tangan di depan dada atau
memasukkan tangan ke dalam saku baju, jangan memarahi anggota
keluarga di depan tamu.
14. Etika dalam menulis surat, seperti surat ucapan selamat, surat ucapan
belasungkawa; perhatikan warna amplop dan kertas surat.
15. Etika dalam komunikasi via telepon: bicara seperlunya saja; bila
berbicara dengan sesepuh, tunggu sampai lawan bicara kita
meletakkan telepon terlebih dahulu.
45
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
16. Etika ketika menghadiri acara perayaan pernikahan dan etiket
melayat.
17. Etika dalam pergaulan: saling menyapa ketika berpapasan dengan
tetangga; jangan membuat kegaduhan yang mengganggu ketenangan
tetangga, jangan menyebarkan gosip tentang tetangga; kalau ada
acara RT jangan datang terlambat.
18. Etika ketika berada di tempat umum (balai desa, perpustakaan, rumah
sakit, restoran, bioskop): jangan berbicara dengan suara keras, jangan
memanggil-manggil orang yang berada di jarak jauh, pura-pura tidak
melihat ketika ada orang lain berbuat keliru (jangan mengejek atau
menasehati), jangan mengintip atau menyimak pembicaraan orang-
orang yang tidak kita kenal, jangan berbisik, jangan bersenda gurau,
atau keluar ruangan ketika acara ceramah sedang berlangsung, jangan
masuk ke ruang bioskop atau teater ketika pertunjukan sedang
berlangsung.
19. Etika dalam berlalu lintas: patuhilah rambu-rambu lalu lintas, jangan
buang sampah dan meludah di jalan, jangna merusak tanaman di
pinggir jalan, jangan berlari, atau bersiul, atau berbicara dengan suara
keras di jalan, jangan berjalan sambil melipat tangan dan
memasukkan tangan ke dalam saku baju, jangan ngobrol atau basa-
basi terlalu lama di jalan, jangan berjalan sambil makan, beri hormat
kepada sesepuh (guru) jika berpapasan di jalan.
20. Etika berkendaraan umum: antre waktu membeli karcis, jangan saling
mendorong ketika naik atau turun, jangan menaruh barang bawaan di
tempat duduk atau lantai, jangan membawa barang yang berukuran
besar atau mengganggu penumpang lain, beri tempat duduk bagi
lansia dan penyandang cacat, minta izin dulu ke penumpang lain
sebelum membuka atau menutup jendela, jangan merokok atau
makan di dalam kendaraan umum.
21. Etika menghadiri rapat : penyelenggara mempersiapkan dengan baik
sehingga tidak mengecewakan warga yang hadir, setelah menerima
46
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
undangan harus segera memberi tahu pakah akan hadir, jika sudah
menyatakan akan hadir tapi mendadak ada urusan lain, maka harus
segera beri tahu, hadir 10 menit sebelum acara dimulai, jangan keluar
dari ruang rapat ketika rapat masih berlangsung, jika terpaksa keluar
ruangan maka usahakan tidak membuat gaduh, minta izin ke ketua
rapat sebelum bicara, bicara dengan singkat dan langsung pada inti
masalah supaya mudah dimengerti.
(Susy ONG, 2017:105-110)
47
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
tujuannya bukan untuk kemaslahatan bersama melainkan untuk individunya saja,
dan pada bagian ini, sikap giat bekerja ditujukan untuk kemaslahatan bersama
sehingga ranah cakupannya sudah lebih luas dan menjadi seperti identitas
masyarakat Jepang. Artinya karakter yang terbangun menjadikan masyarakat
Jepang berpikiran seiring seirama dengna tujuan pemerintah Jepang untuk
memajukan Jepang serta membuat negara-negara lain menjadi memahami Jepang
bahwa Jepang adalah negara yang beradab dan berbudaya dari berbagai aspek.
Kemudian melanjutkan usaha kampanye peningkatan produktivitas yang
menyikapi perkembangan di Eropa dan berdasarkan keputusan kabinet, tahun
1955 kementerian Perindustrian dan Perdagangan Jepang mendirikan The Japan
Productivity Center. Pada bulan Mei 1955, mereka merilis tiga prinsip dasar
dengan harapan dapat mendorong ekspor, meningkatkan penerimaan negara, dan
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Jepang yakni:
1. Mempertahankan dan meningkatkan lapangan kerja.
2. Musyawarah dan kerja sama buruh dengan pengusaha.
3. Pembagian hasil yang adil.
Pada awal abad ke-20, ilmu manajemen di Amerika dengan cepat diserap
oleh Jepang kemudian disosialisasikan dan diaplikasikan ke dalam dunia industri
Jepang. kampanye perihal QC (Quality Control) dan Zero Defect di galakkan pada
perusahaan dan pabrik-pabrik di Jepang. Zero Defects adalah alat manajemen
yang ditujukan untuk mengurangi cacat melalui pencegahan. Hal ini diarahkan
untuk memotivasi orang untuk mencegah kesalahan dengan mengembangkan
keinginan yang konstan dan sadar untuk melakukan pekerjaan mereka dengan
benar pertama kali. Zero Defects melibatkan rekondisi pekerja untuk mengambil
minat pribadi dalam segala hal yang dilakukannya dengan meyakinkan bahwa
pekerjaannya sama pentingnya dengan tugas dokter atau dokter gigi.
Memasuki tahun 1970-an, produk industri Jepang dengan kualitas prima,
terutama produk elektronik, membanjiri negara maju seperti Eropa dan Amerika.
Kemudian berkembang ke pasar negara berkembang. Sedikit unik memang,
karena arah yang digunakan cukup berbeda, seperti menguasai pasar negara maju
terlebih dahulu kemudian menguasai pasar negara berkembang dan bisa dikatakan
48
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
sangat berhasil. Kemudian tahun 1980-an, negara-negara besar asia lainnya ikut
memberi tantangan kepada Jepang seperti Korea dan Tiongkok. Menjawab
tantangan ini akhir era 1990-an, muncul istilah Monozukuri di dunia industri
Jepang yang secara harfiah berarti ‘membuat barang’ namun artian membuat
barang adalah barang yang berkualitas prima dan baik. Makna yang lebih luas
mencakup sintesis kecakapan teknologi, keterampilan dan semangat praktik
manufaktur Jepang. Semangat mencakup sikap yang tulus terhadap produksi
dengan kebanggaan, keterampilan, dan dedikasi serta pengejaran inovasi dan
kesempurnaan, sehingga industri manufakturing Jepang bangkit dan dapat
memenangi Korea juga Tiongkok.
Dengan ini kita tahu bahwa budaya kerja Jepang yang sangat berkualitas
ini tidak lahir secara kebetulan ataupun tidak mendarah daging sejak lama.
Melainkan lahir karena adanya desakan dari persaingan ekonomi dan dorongan
untuk harus memperbaiki perekonomian serta mensejahterakan Jepang, serta
adanya kesadaran bersama untuk memajukan Jepang baik dari pemerintah dan
masyarakatnya. Kesadaran bersama ini pun merupakan bentukan usaha kampanye
nasional yang ditujukan untuk merubah pandangan masyarakat sehingga
terbangunnya standarisasi moral publik di Jepang. Selain itu juga dapat asumsikan
bahwa moral masyarakat Jepang tercermin dari produk yang dihasilkan, dalam
artian bahwa moralnya pun berkualitas.
49
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Dalam hal ini Jepang menjadi contoh terkait budaya kerja yang baik
melalui Monozukuri-nya, dalam membuat barang yang prima dan berkualitas
tentulah harus dimulai dari pribadi pembuatnya atau dapat juga disebut sebagai
Hitozukuri. Antara Monozukuri dan Hitozukuri tidaklah dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Monozukuri berarti membuat sesuatu, namun lebih
bermakna sikap dan semangat tak hanya membuat produk bermutu tinggi tapi
juga kemampuan konstan memperbaiki sistem pembuatan produk tersebut.
Hitozukuri bermakna peningkatan kualitas keterampilan karyawan secara
berkesinambungan.
Bila menggunakan pohon sebagai metafora, Hitozukuri merupakan akar
dari pohon, merupakan fondasi terkuat. Pembentukan Hitozukuri ini didukung
oleh inovasi dan produktivitas. Monozukuri merupakan batang pohon, yang
menunjukkan proses untuk berkembang. Dari sini akan tumbuh batang yang akan
menghasilkan buah, sebagai alat untuk implementasi di manufaktur, seperti 5S
(Seiri-Seiton-Seisho-Seiketsu-Seisuke), 3G (Gemba-Genji-Gembutsu), 4R
(Reduce-Reuse-Recycle-Recovery), 3M (Muda-Mura-Muri), 8 waste
(DOWNTIME) dan lain-lain. Daun-daun yang terus tumbuh menunjukkan Kaizen
yang harus terus menerus dilakukan, dan yang akan menghubungkan proses-
proses pada akar, batang dan buah adalah HORENSO (Houkoku-Renraku-
Soudan).
Artinya budaya kerja Jepang yang diketahui secara umum saat ini tidaklah
lepas dan sangat erat kaitannya dengan karakter masyarakat yang dibentuk
mengakar sehingga dapat menjadikan Jepang sebagai negara maju seperti saat ini.
Perihal Hitozukuri dan Monozukuri inipun tidak hanya berlaku pada pabrik dalam
‘pembuatan barang’ namun juga berlaku untuk berbagai aspek dalam kehidupan.
Perusahaan di Jepang mempunyai kontribusi yang besar bagi kemajuan
Jepang. Tentu saja perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang maju pula.
Majunya sebuah perusahaan tergantung manajemennya. Dalam manajemen
tersebut dikendalikan oleh sumber daya manusia yang mempunyai karakter salah
satunya ‘pekerja keras’. Jepang yang dikenal sebagai pekerja keras contohnya, ini
merupakan salah satu bentuk keberhasilan ‘Hitozukuri’, dan bentuk-bentuk
50
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Hitozukuri tersebut terdapat pada pembahasan sebelumnya yang mana merubah
karakter dasar masyarakatnya dari malas menjadi rajin, dari boros menjadi hemat
dan lain sebagainya. Dengan berhasilnya Hitozukuri tentu dalam sebuah usaha
‘pembuatan barang’ akan memberikan hasil yang memuaskan.
Bila, karakter masyarakat yang malas, boros, banyak menuntut, ingin
untung banyak tanpa usaha lebih ini tidak berubah, maka Jepang akan menjadi
negara yang jauh lebih maju dari pada saat ini. Narasi yang demikian itu jelaslah
sebuah narasi yang kontradiktif karena antara premis dan kesimpulan tidak
selaras. Tidaklah mungkin untuk suatu negara menjadi maju apabila hal-hal yang
menghambat tidak dibuang.
Selain itu juga, faktor yang membuat menjadikan Jepang maju dalam
industrinya terdapat pada kerjasama tim. Kerja tim merupakan fondasi dasar
dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan
bawahan. Fakta-fakta menarik yang dapat diamati dari sistem pengelolaan
organisasi Jepang antara lain bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka
sebagai anggota organisasi dan perkumpulan tertentu dan jika memperkenalkan
diri, orang Jepang lebih suka menyebutkan nama organisasinya. Orang Jepang
pun lebih suka mengorbankan ‘pendapat pribadi’ demi kepentingan bersama,
individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi.
Ini juga adalah bentuk keberhasilan kampanye yang dilakukan oleh
pemerintah saat banyaknya terjadi demonstrasi, pemerintah mensosialisasikan
agar dapat berkorban demi kemaslahatan umum seperti yang terdapat pada
pembahasan materi Ninomiya Sontoku.
51
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
BAB 4
KESIMPULAN
53
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
DAFTAR PUSTAKA
Publikasi Cetak
Aman, Kitty Quintarina. (1986). Pendidikan Wanita di Jepang pada Zaman Meiji.
Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok.
Amstrong, Robert Cornell. (1912). Just Before the Dawn: The Life and Work of
Ninomiya Sontoku. Michigan: Macmillan Company.
Anoraga. (1992). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Babu, Venkatesha. (2016). Japan's Culture of Craftsmanship. Business Today.
Living Media India Limited.
Bellah, Robert N. (1957). Tokugawa Religion. New York: The Free Press.
Brown, W. Norman. (2018). Johns Hopkins Half-Century Directory, 1876-1926:
A Catalogue of the Trustees, Faculty, Holders of Honorary Degrees, and
Students, Graduates and Non-Graduates (Classic Reprint). Fb&c Limited.
Cangara, Hafied (Rev. Ed). (2010). Pengantar Ilmu Komunikasi. Depok: Rajawali
Pers.
Crump, Jhon. (1996). "The Anarchist Movement in Japan, 1906-1996". Anarchist
Communist Editions ACE Pamphlet. Pirate Press.
Frédéric, Louis. (2005). Japan Encyclopedia. Cambridge: Harvard University
Press.
Garon, Sheldon. (1997). Molding Japanese Mind. Princeton University Press.
Gettleman, Marvin E (Ed.). (1986). The Johns Hopkins University Seminary of
History and Politics, (vol 2-3). Michigan: Garland.
Hale, Jhon (Ed). (2008). The Civilization of Europe in the Renaissance. New
York: Harper Perennial.
Halpin, James F. (1966). Zero Defect: A New Dimension in Quality Assurance.
New York City: McGraw-Hill.
Hans, Peter Liederbach. (2001). Martin Heidegger im Denken Watsuji Tetsuros,
München: Iudicium.
Haruhiko, Kindaichi. (1998). Nihongo no Tokushoku. Tokyo: Kodansha.