Anda di halaman 1dari 6

K.

H Yusuf Tauziri Tokoh dari Jawa Barat


Oleh :

Anggia Putri Salsabila - 2700002

Rifkanissa Azzahra - 2700011

A. Biografi

K.H. Yusuf Tauziri adalah seorang tokoh pejuang


kemerdekaan yang berasal dari Garut, Jawa Barat.
KH. Yusuf Tauziri yang memiliki nama kecil Damiri
ini terkenal nakal. Orang tuanya sudah beberapa kali
memasukan ke pesantren akan tetapi ia lebih suka
main bola dan pencak silat daripada menjadi seorang
santri. Namun, Damiri mulai muncul kesadaran untuk
terlibat dalam koridor perjuangan agama sepulang
menunaikan ibadah haji pada 1923. Ketika pulang
namanya berubah menjadi Yusuf Tauziri. Lalu beliau
pun lantas mendirikan Masjid serta Pondok Pesantren
Darussalam di Wanaraja, Garut. Beliau meninggal di
Garut pada tahun 1982, dan dimakamkan di
lingkungan Pesantren Darussalam Wanaraja.
 
B. Mengapa Memilih KH. Yusuf Tauziri ?

Karena beliau telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan salah satunya dengan
menghidupkan semangat jihad orang-orang muslim bersama dengan para kiai lainnya,
selain itu ia juga memiliki peran penting dalam penyebaran agama islam di Jawa Barat
salah satunya dengan mendirikan pesantren di daerah Cipari. Alasan lain mengapa kami
memilih beliau karena masih banyak warga Indonesia terutama para pelajar sendiri yang
belum mengetahui beliau dan juga bagaimana perjuangannya dalam membela
kemerdekaan NKRI sehingga dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah
wawasan para pelajar di Indonesia mengenai tokoh-tokoh daerah yang memperjuangkan
kemerdekaan.

C. Peranan dalam Memperjuangkan Kemerdekaan

K.H Yusuf Tauziri dikenal sebagai pembangun masjid dan juga pesantren Cipari
Darussalam di Garut pada 1929. Pesantren ini terletak di  Kampung Cipari Desa Sukarasa
Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut, pemukiman penduduk disana memusat di sekitar
komplek Pesantren Cipari Darussalam. Pada awalnya penyebaran islam ke Kampung
Cipari berlangsung pada permulaan abad ke-18 oleh Zaenal Abidin yang dipandang
sebagai peletak dasar komunalitas penduduk Cipari.

K.H Yusuf Tauziri mulai memimpin pesantren ini pada 1933 ketika K.H. Harmain sebagai
pendiri pesantren, wafat. Ketika dipimpin K.H. Yusuf Tauziri, masjid dibangun dan
diperluas seiring dengan perkembangan pesat yang dialami pesantren. Pada masa
pergerakan masjid ini digunakan sebagai tempat rapat organisasi Islam, hal ini menjadikan
masjid tersebut diberi nama Asy-Syuro, yang artinya tempat bermusyawarah.

Pada tahun 1940 K.H. Yusuf Tauziri mendirikan masjid dan madrasah di Wanaraja. Ia
menamakannya ”Darussalam". Dengan adanya masjid dan madrasah tersebut, Pesantren
Cipari lebih dikenal di lingkungan masyarakat dengan nama Pesantren Darussalam Cipari.
Pada saat itu, banyak pendatang yang mengunjungi pesantren darussalam cipari ini, tujuan
kedatangan mereka adalah mencari perlindungan disebabkan adanya ancaman terhadap
diri mereka. Para pengungsi menjadi korban dari situasi penjajahan yang mengancam
jiwanya.

Setelah Pesantren Cipari dikenal dengan nama Pesantren Darussalam, eksistensi pesantren
terganggu oleh anasir luar, khususnya kemunculan DI/TII dan gerakannya yang
menentang pemerintah RI. Tokoh penting gerakan DI/TII adalah S.M. Kartosuwirjo. S.M
Kartosuwirjo dan K.H Yusuf Tauziri telah lama saling mengenal sejak masa pra
kemerdekaan dimana hal itu bermula dari Kiai Yusuf yang mengenal Kartosoewirjo ketika
menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938.
Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.

Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa


Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan
Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.
Perbedaan paham KH Yusuf dan Kartosoewirjo bermula pada awal 1940, Kartosoewirjo
mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran yang memilih
jalan nonkooperatif.

Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya


dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota
menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.
Sementara Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan
belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa
dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin.
Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940. 

Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal
pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan
keponakannya sebagai pelajar. Pada praktiknya juga, lembaga tersebut memiliki banyak
fungsi, antara lain sebagai pesantren, tempat latihan kemiliteran bagi Hizbullah dan
Sabilillah, dan sarana propaganda pembentukan Negara Islam.7 Para pengajarnya berasal
dari sejumlah ulama terkemuka di Jawa Barat. seiring berjalannya waktu, S.M.
Kartosuwirjo juga berniat untuk mundur dari lingkar elit kekuasaan, dan berkonsentrasi
mengkonsolidasikan kekuatannya di Malangbong Garut. Di kota tersebut ia membidani
lahirnya Dewan Pertahanan Umat Islam (DPUI) di Garut dan Majelis Umat Islam
Indonesia (MUUI) di Tasikmalaya

Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada tanggal 21 Juli 1947,
kota-kota penting di Priangan Timur, seperti Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis dikuasai.
S.M. Kartosuwirjo mengobarkan Perang Suci menentang Belanda. Ia menentang apapun
kompromi dengan Belanda. Hasil Persetujuan Renville pada bulan Januari 1948
diingkarinya. Bahkan ia menolak menarik mundur kelompok-kelompok Hizbullah dan
Sabilillah ke belakang garis demarkasi. Secara langsung, ia terlibat dalam kontestasi antara
para pemimpin Republik dengan pemimpin Masyumi. Konsekuensi yang ditanggung
pihak Republik akibat Perundingan Renville sungguh berat. Divisi Siliwangi dan laskar
perjuangan harus hijrah ke Yogyakarta. Laskar Darussalam dipimpin E. Saepudin dan A.
Gofar SK (putra K.H. Abdul Kudus) turut pula hijrah. Daerah-daerah yang ditinggalkan
segera jatuh ke tangan Belanda Tidak ada lagi kekuatan Republik yang melawan tentara
Belanda.

Dalam suatu pertemuan di Cisayong Tasikmalaya pada tanggal 10 Februari 1948


ditegaskan bahwa organisasi-organisasi Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan
Sabilillah yang hendak hijrah harus menyerahkan senjata kepada Hizbullah. Sementara itu,
segala aktivitas Masyumi harus dibekukan. Keputusan tersebut hendak memunculkan
pendapat umum bahwa Masyumi dan organisasi-organisasi perjuangan sudah tidak ada.
Beberapa pemimpin Masyumi, seperti S.M. Kartosuwirjo, Sanusi Partawijaya, dan Toha
Arshad yang mengikuti permusyawaratan tersebut tidak kembali. Mereka mengadakan
pertemuan sendiri. Hasilnya adalah terbentuk organisasi yang bersendikan agama Islam,
yaitu Darul Islam dengan pasukannya yang dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Pada mulanya, pemerintah RI di Yogyakarta tidak segan-segan memberi bantuan
semampunya kepada DI, karena dianggap melanjutkan perjuangan Proklamasi 17 Agustus
1945. Namun, pada Akhirnya pemerintah mengambil tindakan tegas ketika pasukan DI
mulai melakukan aksi peracunan, penjebakan, dan perampasan.

Sejak Agresi Militer Belanda II, S.M. Kartosuwirjo mengklaim daerah Jawa Barat sebagai
wilayah de facto NII. Pada tanggal 17 Februari 1948 berlangsung pertempuran hebat
antara pasukan TII dengan Belanda di Gunung Cupu. Momen tersebut diabadikan menjadi
Hari Angkatan Perang DI/TII. Pada tanggal 7 Agustus 1949 S.M. Kartosuwirjo mem-
proklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau Negara Darul Islam (DI). Sejak
Konferensi di Cipeundeuy Majalengka, para pemimpin Islam sudah melakukan
penentangan terhadap ide S.M. Kartosuwirjo. Bagi mereka, ide pendirian Negara Islam
tidak lain bertujuan melenyapkan Republik Indonesia. Akibatnya, beberapa pasuan
kembali ke daerah asal melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Klaim teritorial S.M.
Kartosuwirjo menimbulkan bentrokan hebat dengan pasukan yang kembali. Ia menuduh
pasukan lain yang masuk telah melanggar kedaulatannya. Mau tidak mau mereka harus
mengakui kedaulatan NII. Bila tidak, mereka harus bersedia dilucuti bahkan diperangi.
Konflik sesama pejuang Republik semakin mengeras.

Maka, bentrokan fisik terjadi ketika Divisi Siliwangi, Laskar Darussalam, dan badan
badan perjuangan kembali ke Jawa Barat. Sudah jelas, bagi Kartosuwirjo, kedatangan
pasukan-pasukan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kewibawaan Negara Islam
Indonesia. Mereka menghadapi situasi sulit. Selain harus berperang dengan Belanda,
mereka berhadapan pula dengan gerombolan DI/TII. Terjadilah pertempuran segitiga
antara TNI, DI/TII, dan pasukan Belanda. Clash pertama yang melibatkan Divisi Siliwangi
dengan DI/TII terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di Antralina, Malangbong Garut.  

Hal ini membuat pihak Cipari harus berhadapan dengan dua musuh sekaligus. Di siang
hari mereka harus menghadapi operasi pasukan Belanda, dan di malam hari menahan
serangan pasukan DI. K.H. Yusuf Tauziri terus memompakan semangat perjuangan pada
laskar dan penduduk. Dua hari setelahnya (27 Januari 1949), S.M. Kartosuwirjo
menyampaikan ultimatum agar pihak Pesantren Darussalam secepatnya mengambil sikap,
apakah berada di pihak DI atau RI.Selain itu, Kartosuwijo melalui suratnya meminta agar
pasukan pengikut K.H. Yusuf diserahkan ke Negara Islam. Akan tetapi, permintaan itu
ditolaknya

Pada tanggal 30 Januari 1949, Tentara Siliwangi yang dipimpin Mayor Rivai tiba di
Pesantren Cipari. Dari kejadian itu, bagi S.M. Kartosuwirjo, menjadi jelaslah posisi
Darussalam berada. Ia begitu geram dengan mantan koleganya itu. Segera setelah tentara
Siliwangi meninggalkan Pesantren Darussalam, Pasukan DI/TII menyerang Kampung
Cipari. Tujuan dari penyerangan itu adalah menangkap K.H. Yusuf Tauziri. Rumah-rumah
penduduk digeledah. Sekitar 30 orang anggota laskar Darussalam ditangkap. Mereka harus
menyatakan kesetiaannya pada DI. Bila tidak, mereka akan dibunuh. Beberapa kali
penyerangan terjadi sepanjang tahun 1949-1958. Satu sumber menyebut terjadi 50 kali
(ada juga yang menyebut 52 kali) serangan Resimen Kalipaksi dan Sapujagat DI/TII
menyerang Cipari. Namun yang terbesar adalah serangan tanggal 17 April 1952 dan 5
Agustus 1952. 

Tumbuhnya konflik antara Darussalam dengan DI/TII bersumber dari perbedaan


perjuangan antara K.H. Yusuf Tauziri dengan S.M. Kartosuwirjo. Perbedaan tersebut, di
antaranya berkenaan dengan Kiai Yusuf yang lebih memilih untuk ”kerja sama” dengan
penjajah (metode kooperatif) sedangkan S.M. Kartosuwirjo yang lebih memilih untuk
bertindak non kooperatif dan bersikeras untuk mendirikan negara islam.

Dengan metode kooperatif, K.H. Yusuf Tauziri tahu benar bagaimana memanfaatkan
keahlian lawan untuk pada akhirnya menghancurkan lawan. Kooperasi dan non-kooperasi
menjadi taktik yang sering dipakai secara bergantian. Pada zaman revolusi, K.H Yusuf
Tuaziri mendirikan Tentara/laskar Darussalam yang kemudian bergabung dengan BKR
yang menjadi TKR. KH Yusuf Tauziri diajak Kartosuwiryo agar mengumumkan
proklamasi Negara Islam Indonesia/ Darul Islam (NII/ DI), akan tetapi beliau
menolaknya. 

K.H. Yusuf Tauziri pernah mengusulkan kepada penguasa Militer di Garut yakni Kolonel
De Jong agar pemuda Darussalam mendapat pelatihan kemiliteran. Tujuannya ialah agar
dapat membantu Belanda memerangi DI/TII. Belanda dapat memahaminya dan
permintaan tersebut dikabulkan. Maka latihan kemiliteran pun berlangsung hingga tahun
1949. Sebenarnya, para pemuda yang dianggap tidak memiliki keterampilan militer
tersebut adalah anggota laskar Darussalam dan anggota TNI. Dengan demikian,
pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh semakin bertambah. 

Selain perbedaan yang sudah disebutkan di atas, perbedaan antara K.H Yusuf Tauziri dan
S.M Kartosuwiryo terjadi lagi ketika disepakatinya perjanjian Renville pada 1948,
meskipun S.M Kartosuwirjo dan K.H Yusuf Tauziri keduanya menolak perjajian Renvillle
tersebut, akan tetapi terlihat dari cara melawan mereka yang jelas berbeda seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, S.M Kartosuwirjo tetap dalam pendiriannya mendirikan
negara islam dan K.H. Yusuf Tauzirie membagi laskar Darussalam menjadi dua pasukan.
Sebagian ikut hijrah (termasuk anaknya, Saep Darmawan) dan bergabung dengan
Batalyon Husinsyah. Di Yogyakarta, laskar Darussalam bergabung dengan Batalyon XI
Mayor Umar Wirahadikusumah. Sebagian lagi, tetap berada di ”kantung-kantung
perlawanan”. Dipimpin K.H. Yusuf Tauzirie, laskar Darussalam, Hizbullah dan Sabilillah
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Basis perlawanannya di Gunung Cupu Ciamis
dan tetap menghargai keputusan para pemimpin RI.

Pada bulan Agustus 1952, K.H. Yusuf Tauziri kembali ke Wanaraja, dan membangun
kembali rumah dan madrasah yang dibumihanguskan oleh pasukan Pangeran Papak.
Sementara itu, aktivitas Pesantren Darussalam dibimbing oleh kakaknya, yaitu K.H. Abdul
Kudus. Tahun 1966, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Kiai Mansur dan
sepupunya. K.H. Yusuf Tauziri aktif di Divisi III Siliwangi bagian perawatan rohani.

D. Kesimpulan

Pesantren Cipari menjadi wadah persemaian para nasionalis sejati. Ketika proklamasi
dikumandangkan, pihak pesantren segera berdiri di belakang tokoh-tokoh republik
menyatakan kesetiaannya. Demikian pula, ketika Belanda yang berkehendak untuk
kembali menjajah, K.H. Yusuf Tauziri masuk dalam barisan terdepan menyelamatkan
Republik yang masih amat muda ketika itu. 

Loyalitas K.H. Yusuf Tauziri dan Pesantren Cipari terhadap pemimpin bangsa diuji
kembali oleh hasil Perjanjian Renville yang merugikan RI. Betapa pun ia kecewa dengan
perundingan itu, namun ia berbesar hati untuk menerimanya. Sebagian dari para
pengikutnya diikut sertakan dalam politik ”hijrah“, termasuk putranya sendiri. Hal itu
pulalah yang meretakkan hubungannya dengan S.M. Kartosuwirjo. Ia dipaksa untuk
memilih apakah berdiri di pihak DI/TII atau RI. Ia memilih opsi yang kedua, dan berjuang
bersama TNI dan rakyat menumpas gerakan TII.

Pemikiran tokoh Pesantren Cipari yang terepresentasikan dalam diri K.H. Yusuf Tauziri
tentang kebangsaan amatlah jelas. Islam dan kebangsaan tidak perlu diper-tentangkan,
bahkan dapat dipertemukan. Salah satu warisan terpenting dari kehidupan K.H. Yusuf
Tauziri adalah sikap kemandiriannya. Ia teguh mempertahankan prinsip yang akan
dipertahankannya dalam keadaan apapun.

Para ulama Pesantren Cipari memegang peranan penting dalam upaya mempertahankan
integrasi bangsa. Kesetiaan terhadap Republik ditunjukkan ketika Kiai Yusuf lebih
memilih berjuang mempertahankan kemerdekaan daripada bergabung dengan DI/TII
pimpinan S.M. Kartosuwirjo bukan karena ia tidak mendukung islamisasi secara
menyeluruh di negara Indonesia, melainkan karena ia berpikir bahwa islam dan negara
bukanlah suatu hal yang patut dipertentangkan tetapi dipersatukan karena islam itu sendiri
bukan agama yang memaksa. Perilakunya tersebut menjadikan bangsa Indonesia
terdorong untuk setia terhadap NKRI dan mengutamakan kemerdekaan bangsa. 

E. Referensi

ali, f. (2015, april 17). KH. Yusuf Tauziri Garut. Retrieved from wordpress.com:
https://fahmialinh.wordpress.com/2015/04/17/kh-yusuf-tauziri-garut/

Imadudin, I. (2010). PERANAN KIAI DAN PESANTREN CIPARI GARUT. 1-18.

Sobirin, N. (2015, November 20). KH Yusuf Tauziri, Pendiri Laskar Darussalam Penentang
Kartosoewirjo. Retrieved from sindonews.com:
https://daerah.sindonews.com/berita/1062972/29/kh-yusuf-tauziri-pendiri-laskar-
darussalam-penentang-kartosoewirjo?showpage=all#:~:text=KH%20Yusuf
%20Tauziri%20merupakan%20pendiri,Wanaraja%2C%20Garut%20pada%20tahun
%201929

Anda mungkin juga menyukai