COVER
SEMINAR PERPAJAKAN
Penyusun:
Adhitya Putri Pratiwi
Aris Sanulika
Wahyu Nurul Hidayati
Seminar Perpajakan i
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
SEMINAR PERPAJAKAN
Penulis :
Adhitya Putri Pratiwi
Aris Sanulika
Wahyu Nurul Hidayati
ISBN : 978-623-7833-38-3
Editor :
Wiwit Irawati
Desain Sampul:
Putut Said Permana
Tata Letak:
Aden
Penerbit:
Unpam Press
Redaksi:
Jl. Surya Kencana No. 1
R. 212, Gd. A Universitas Pamulang Pamulang | Tangerang Selatan | Banten
Tlp/Fax: 021. 741 2566 – 7470 9855 Ext: 1073
Email: unpampress@unpam.ac.id
Seminar Perpajakan ii
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan / Adhitya Putri Pratiwi, Aris Sanulika, Wahyu Nurul Hidayati-1sted.
ISBN 978-623-7833-38-3
1. Seminar Perpajakan I. Adhitya Putri Pratiwi II. Aris Sanulika III. Wahyu Nurul Hidayati
M116-06072020-01
SEMINAR PERPAJAKAN
Seminar Perpajakan iv
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
KATA PENGANTAR
Pada saat ini dunia pendidikan di Indonesia semakin berkembang maju, hal ini dapat
terbukti dengan ditetapkannya kurikulum baru yang berlandaskan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI). Dimana KKNI itu sendiri merupakan kerangkan penjenjangan
kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam
suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai
sector pekerjaan. Untuk mendukung kurikulum berbasis KKNI diperlukan banyak referensi
sebagai bekal mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin
dan siap bertarung dalam dunia pekerjaan.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah untuk mendapatkan referensi yang
Seminar Perpajakan yang sesuai dengan kurikulum KKNI sangatlah sulit didapatkan.
Berdasarkan kenyataan tersebut dengan berlandaskan niat untuk membantu mahasiswa
mendapatkan referensi terkait materi Seminar Perpajakan maka kami menyusun Modul
Seminar Perpajakan.
Materi yang termuat dalam modul ini disesuaikan dengan kurikulum KKNI. Modul ini
juga dilengkapi dengan bahan evaluasi guna mengukur tingkat pemahaman mahasiswa
atas materi yang disajikan. Demikianlah semoga dengan tersusunnya modul ini dapat
memberikan manfaat yang luas khususnya untuk mahasiswa dan masyarakat pada
umumnya.
Tangerang Selatan, 27 Februari 2020
Tim penyusun,
Seminar Perpajakan v
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
DAFTAR ISI
C. LATIHAN SOAL.................................................................................................... 78
D. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 78
PERTEMUAN KE-10 ....................................................................................................... 78
ASPEK PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
(UMKM) ........................................................................................................................... 79
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN ................................................................................ 79
B. URAIAN MATERI ................................................................................................. 79
C. LATIHAN SOAL.................................................................................................... 88
D. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89
FASILITAS PERPAJAKAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING .................... 90
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN ................................................................................ 90
B. URAIAN MATERI ................................................................................................. 90
C. LATIHAN SOAL.................................................................................................. 103
D. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 103
PERTEMUAN KE-12 ..................................................................................................... 106
FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN ............. 106
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN .............................................................................. 106
B. URAIAN MATERI ............................................................................................... 106
C. LATIHAN SOAL.................................................................................................. 114
D. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 114
PERTEMUAN KE-13 ..................................................................................................... 115
FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ................................................................... 115
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN .............................................................................. 115
B. URAIAN MATERI ............................................................................................... 115
C. LATIHAN SOAL.................................................................................................. 123
D. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 124
PERTEMUAN KE-14 ..................................................................................................... 125
PERENCANAAN PAJAK (TAX PLANNING) .................................................................. 125
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN .............................................................................. 125
B. URAIAN MATERI ............................................................................................... 125
Seminar Perpajakan ix
Seminar Perpajakan Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-1
SEJARAH DAN PRINSIP PERPAJAKAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang sejarah dan prinsip-prinsip perpajakan serta menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Pajak menjadi salah suatu penyumbang terbesar pendapatan negara.Setiap
negara didunia ini mempunyai cara masing-masing serta aturan tersendiri dalam
mengatur pajak di negaranya baik pajak langsung maupun tidak langsung.
Begitupun di Indonesia pajak merupakan penyumbang APBN dan APBD untuk
diolah oleh negara menjalankan operasional negara, pembangunan dan perbaikan
infrastruktur, subsidi dan lain-lain. Sebelum kita mengenal peraturan pajak yang
sekarang alangkah baiknya kita mengetahui sejarah panjang kapan mulai
diberlakukan pajak di Indonesia dari masa ke masa.
1. Sejarah Perpajakan Di Dunia
Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara terbesar Indonesia.
Pendapatan sektor pajak mencapai 75% dari total pendapatan anggaran negara.
Pentingnya pajak untuk keberlanjutan Negara dan pemerintah, perlu untuk
merancang kebijakan pajak yang baik. Keberhasilan pembangunan sangat
ditentukan oleh tingkat penerimaan pajak. Atau, dengan kata lain, membangun
sistem pajak yang baik adalah prasyarat untuk keberhasilan pencapaian tujuan
pendapatan. Kebijakan fiskal adalah panduan yang akan menentukan arah dan
tujuan sistem perpajakan, apakah sesuai dengan cita-cita atau bahkan
menyimpang. Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia juga menghadapi
masalah yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang, yaitu sistem
administrasi perpajakan yang belum baik, tingkat kesadaran masyarakat masih
rendah, ditandai dengan sektor informal yang tinggi, dan tingkat korupsi yang
cukup tinggi.
Seminar Perpajakan 1
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 2
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Bangsa Romawi mencatat babak final sejarah pajak kuno. Fase Romawi
pertama ditandai oleh pajak untuk membiayai perang. Roman menemukan
klasifikasi tarif pajak. Pilar pengumpulan pajak adalah Publicani, yang secara
khusus ditujukan untuk koloni. Sejarah mencatat bahwa Augusto adalah ahli
strategi fiskal terbaik sepanjang masa. Dia mengambil kendali manajemen
pendapatan pajak, mendesentralisasi otoritas penagihan dan distribusi yang lebih
adil.
2. Sejarah Perpajakan di Indonesia
Menurut anda Sejak kapan sistem perpajakan di Indonesia dimulai?
Sejak zaman kolonial Belanda ataupun masa kerajaan zaman dahulu
penduduk Indonesia sudah mengenal adanya perpajakan sehingga masyarakat
Indonesia tidak asing lagi akan istilah pajak berikut ini sejarah panjang tiap-tiap
zaman dari masa ke masa tentang peradaban pajak di Indonesia
Masa kerajaan
Sebelum Indonesia dijajahbangsa lain seperti Eropa dan Jepang
masyarakat sudah mengenal istilah upeti. Upeti inilah yang menjadi dasar pajak di
Indonesia. Sehingga masyarakat sebenarnya tidak asing lagi dengan istilah pajak.
Upeti merupakan penarikan emas maupun barang berharga lainnya oleh pihak
kerajaan kepada masyarakat atas hasil pertanian, perdagangan dan kegiatan dan
penyelenggaraan kesenian.Upeti itu sifatnya memaksa sehingga tidak sedikit pula
dari mereka yang dipukul apabila tidak mau memberi upeti karena dianggap
memberontak dan membangkan kepada raja yang sedang berkuasa. Hasil dari
upeti digunakan untuk orasional kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur
serta penyelenggaraan keagamaan.
Era Penjajahan
Dalam catatan sejarah saat pemerintah Belanda masuk ke Indonesia untuk
menjajah. Pemerintah Belanda memungut pajak diantaranya pajak rumah pajak
usaha dan pajak kepala kepada pedagang Tionghoa dan beberapa pedagang
asing lainnya. Masuk pada era pendudukan Inggris Gubernur Jenderal Raffles juga
mengenalkan sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan istilah yang dimana
sistem ini menirukan perpajakan di Bengali India yaitu tentang pajak atas sewa
Seminar Perpajakan 3
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial inilah yang menjadi cikal bakal dari
pajak bumi dan bangunan (PBB). Pada saat ini rakyat dikenakan pajak landrent
stelsel yaitu pengenaan pajak langsung terhadap petani dalam hal ini petani
dikenakan tarif rata-rata penghasilan Petani dalam setahun. Petani dikenakan
pajak karena Raffles menganggap bahwa tanah yang dimiliki dan ditanami oleh
petani tersebut merupakan tanah milik para raja sedangkan Raja dirasa menyewa
tanah kepada pemerintah Inggris.
Kemudian terdapat juga aturan mengenai pajak penghasilan pada era
kolonial pada zaman Jepang tidak banyak yang diketahui waktu jaman itu karena
pemerintah Jepang lebih fokus untuk biaya perang jadi sulit membedakan mana
penghasilan dari pajak atau penghasilan dari rampasan kepada masyarakat.
Namun waktu itu masyarakat Indonesia dibebani dengan kewajiban kerja
Romusha serta membayar pungutan yang dianggap sebagai pajak. Walaupun
waktu itu tidak berlangsung lama kurang lebih tiga setengah tahun.
Masa kemerdekaan (1945-1950)
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undangan dasar 1945 tentang keuangan
yang diatur pada pasal 23 butir kedua menyatakan bahwa “segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang” dengan demikian pajak di
Indonesia diatur secara resmi oleh undang-undang 1945 Kemudian pada tanggal
19 Agustus 1945 dua hari setelah Indonesia merdeka kementerian keuangan
membentuk pejabat pajak dengan susunan organisasi yang disusun secara
tergesa-gesa. Peraturan perpajakan di Indonesia terus berkembang hingga saat
ini. Administrasi perpajakan yang pada saat ini dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak sebagai salah satu instansi pemerintah dan secara struktural
berada dibawah Kementerian Keuangan, memberikan kontribusi dalam melakukan
penerimaan pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sudah sangat besar sekali.
Namun begitu membekas diingatan masyarakat Indonesia hingga sekarang
masyarakat berparadigma bahwa pajak itu sifatnya memaksa dan hanya
memberikan kontribusi kepada orang-orang yang mempunyai kekuasaan di negara
Seminar Perpajakan 4
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
ini dan bukan memberikan manfaat untuk masyarakat kecil sehingga paradigma
yang sudah tertanam di dalam masyarakat saat ini susah untuk diubahnya.
Seminar Perpajakan 5
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 6
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 7
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 8
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah Makalah mengenai sejarah perpajakan di Indonesia dan
analisislah perkembangannya sampai saat ini
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Yustinus Prastowo. 2016. Sejarah Pajak dan Peradaban Pendasaran Filosofis bagi
Paradigma Baru Kebijakan Pajak, Jakarta: Center For Indonesia Taxation
Analysis
Seminar Perpajakan 9
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-2
TEORI PERPAJAKAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang teori perpajakan serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. DEFINISI PAJAK
Kutipan beberapa pengertian pajak yang dikemukakan para ahli lainnya
adalah sebagai berikut:
a. Dalam bukunya Essay in Taxation yang diterbitkan di Amerika, Prof. Edwin R. A.
Seligman menyatakan bahwa “Tax is compulsory contribution from the person,
to the government to depray the expenses incurred in the common interest of
all, without reference to special benefit conferred”. Dari pengertian pajak yang
dikemukakan diatas, kita dapat melihat adanya sebuah andil seseorang dalam
hal ini adalah wajib pajak kepada Negara tanpa adanya sebuah timbal balik bagi
yang membayarnya.
b. Dalam bukunya De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan), Mr. Dr.
NJ. Feldmann menyatakan bahwa “pajak adalah prestasi yang dipaksakan
sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang
ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata
diguankan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
c. Dalam bukunya De Economische Betekenis Belastingen (terjemahan), Prof. Dr.
MJH. Smeett menyatakan bahwa “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya,
tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual,
dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
d. Dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Dr.
Soeparman Soemahamidjaja menyatakan bahwa “pajak adalah iuran berupa
Seminar Perpajakan 10
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
2. FUNGSI PAJAK
Khususnya sebagai sumber pembiayaan dan pembangunan negara, pajak
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
diantaranya :
a. Fungsi Penerimaan (budgeter)
Pajak memiliki fungsi menyediakan sumber dana yang akan digunakan dalam
rangka pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi Mengatur (regulator)
Seminar Perpajakan 11
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
3. JENIS-JENIS PAJAK
Secara umum berdasarkan siapa yang mengelolanya, pajak yang berlaku di
Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat
atau Pusat dan pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah atau Pajak Daerah.
Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan adalah “pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun
Pajak”. Yang dimaksud dengan penghasilan menurut Pasal 4 Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam
Seminar Perpajakan 12
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 13
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 14
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Sumber : www.online-pajak.com
b. Sumbangan
Pemahaman mengenai sumbangan tidak boleh disamakan dengan
retribusi. Dalam retribusi, dapat ditunjuk seseorang yang menikmati timbal balik
Seminar Perpajakan 15
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 16
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 17
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 18
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah Makalah mengenai teori perpajakan serta implikasinya di
lapangan, lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Adriani. 2014. Teori Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Seminar Perpajakan 19
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 1985. Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Materai. Lembaran Negara RI Tahun 1985. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pohan, Chairil Anwar. 2014. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Rahayu, Siti Kurnia. 2010. Perpajakan Indonesia, konsep dan Aspek Formal,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rantung, Tatiana. 2009. Dampak Program Sunset Policy Terhadap Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak. Universitas Kristen Satya
Wacana.
Resmi, Siti. 2013. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 7. Jakarta: Salemba Empat.
Seminar Perpajakan 20
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-3
ASPEK PERPAJAKAN TERHADAP EKSPATRIAT DAN TENAGA KERJA INDONESIA
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang aspek perpajakan terhadap ekspatriat dan tenaga kerja Indonesia
serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas
makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Orang Asing dengan Status Subjek Pajak Luar Negeri
Ekspatriat dianggap sebagai subjek pajak luar negeri jika tidak bertempat
tinggal di Indonesia, berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan. Karyawan asing akan serta merta menjadi wajib pajak karena menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Sesuai dengan
Pasal 26 UU PPh “mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakannya melalui
pemotongan yang dilakukan oleh pemotong pajak yaitu pihak yang melakukan
pembayaran atas penghasilan tersebut (pemberi kerja)”. Pajak penghasilan yang
dipotong atas penghasilan yang diterima adalah sebesar 20% dari jumlah bruto.
Karyawan asing akan dikenakan tarif sesuai dengan P3B apabila memiliki Surat
Keterangan Domisili (SKD) dari negara mitra domisili.
Hal tersebut akan diilustrasikan dalam kasus sebagai berikut :
Mr James merupakan warga Negara asing dimana pada suatu waktu bekerja d iPT
Ogah Rugi sebuah perusahaan yang berkedudukan di Indonesia selama 5 bulan
dengan menerima gaji Rp 30.000.000/bulan. Karena Mr James berada di
Indonesia kurang dari 183 hari (5 buln) sehingga Mr James merupakan wajib pajak
luar negeri. Maka, atas penghasilan yang diterima oleh Mr James, akan dipotong
PPh Pasal 26 oleh PT Ogah Rugi sebesar Rp 6.000.000/bulan yang dihitung dari
20% x Rp 30.000.000,-/bulan. Karena Mr James merupakan subjek pajak luar
negeri, maka atas pajak tersebut, Mr James tidak memiliki kewajiban
Seminar Perpajakan 21
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 22
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 23
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
pajak non efektif merupakan wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran
maupun penyampaian SPT Masa dan/atau SPT Tahunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang nantinya dapat
diaktifkan kembali. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan untuk menjadi
wajib pajak non efektif (N/E) dengan cara datang langsung ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan membawa fotokopi paspor dan kontrak
kerja atau dokumen yang menyatakan bahwa wajib pajak berada di luar negeri
melewati timetest. Permohonan yang diajukan oleh wajib pajak tersebut akan
diselesaikan dalam jangka waktu 10 hari kerja setelah permohonan beserta
persyaratannya diterima secara lengkap. Apabila permohonan disetujui, wajib
pajak tersebut beserta data-datanya akan tetap tercantum dalam master file wajib
pajak walaupun statusnya adalah wajib pajak Non Efektif dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Walaupun wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan, atas
wajib pajak yang bersangkutan tidak akan dikenakan sanksi administrasi
b. Walaupun wajib pajak tersebut tidak menyampaikan SPT, atas wajib pajak yang
bersangkutan tidak turut diawasip embayaran masa/bulanannya dan tidak
diterbitkan STP atas sanksi administrasi
Jika wajib pajak yang statusnya Non Efektif suatu saat tidak lagi bekerja di
luar negeri dan kembali ke Indonesia maka dapat mengajukan permohonan untuk
diaktifkan kembali dan berubah status menjadi wajib pajak efektif.
4. Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Tidak Lebih dari 183 Hari
Jika Tenaga Kerja Indonesia memperoleh penghasilan dari luar negeri
namun masa kerjanya kurang dari 183 hari, maka TKI tersebut masih berstatus
sebagai wajib pajak dalam negeri. Lantas, TKI tersebut memiliki kewajiban
perpajakan yang sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Atas penghasilan
yang ia terima, ia akan dikenakan pajak berdasarkan prinsip world wide income,
dimana pajak akan dikenakan atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh
wajib pajak dalam negeri baik atas penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri
maupun luar negeri.
Seminar Perpajakan 24
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai aspek perpajakan terhadap ekspatriat, lalu
analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 25
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-4
PAJAK PENGHASILAN FINAL
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Pajak Penghasilan Final serta menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian Pajak Final
Pajak final atau PPh final merupakan pajak yang dikenakan langsung saat
wajib pajak (WP) menerima penghasilan. Pajak final biasanya langsung disetorkan
oleh WP. Karena sifat pungutannya yang seketika, PPh final tidak lagi
diperhitungkan dalam pelaporan SPT tahunan meskipun nantinya tetap harus
dilaporkan.
Lalu, mengapa pemerintah membedakan pajak penghasilan menjadi 2
jenis? Pemisahan PPh final dan nonfinal bukanlah sebuah keputusan yang dibuat
semata-mata untuk mempersulit wajib pajak, bahkan sebaliknya, pemerintah
(dalam hal ini Dirjen Pajak) berusaha memudahkan wajib pajak agar kewajibannya
bisa dipenuhi dengan lebih mudah lagi. Setidaknya ada dua pertimbangan yang
menjadi dasar penerapan pajak final, yaitu:
a. Penyederhanaan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha.
b. Memudahkan serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak.
Untuk lebih memahami dua jenis pajak ini, selanjutnya mari kita bahas
beberapa hal tentang PPh final dan non-final yang mungkin belum Anda tahu.
Perbedaan PPh Final dan Non Final
a. Berbeda Sistem Hitungnya
PPh final dihitung langsung sebagai satu kesatuan tanpa dikaitkan dengan
perhitungan penghasilan lainnya. Sedangkan PPh non-final dihitung dari
penghasilan bruto ditambah biaya lain seperti biaya perolehan, pemeliharaan,
Seminar Perpajakan 26
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
dan penagihan. Jadi, jika penghasilan yang didapat termasuk PPh final, maka
penghasilan tersebut tidak perlu dihitung lagi untuk mengetahui berapa pajak
terutang.
Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final
Lalu, apa saja jenis penghasilan yang termasuk PPh final? Berdasarkan
UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang termasuk pajak
final adalah:
1) Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan.
2) Penghasilan dari bunga obligasi.
3) Penghasilan dari hadiah undian.
4) Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
5) Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
6) Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan.
7) Penghasilan dari perusahaan pelayaran Indonesia.
8) Penghasilan dari wajib pajak luar negeri yang memiliki kantor perwakilan di
Indonesia.
b. Tarifnya Berbeda
Untuk PPh final, tarif yang dikenakan adalah tarif umum progresif yang
tercantum dalam pasal 17 UU PPh. Sedangkan tarif dan dasar pemungutan
PPh non-final diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri
(Permen).
c. Waktu Penyetoran Berbeda
Pada PPh final, jumlah pajak yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri
dapat dikreditkan pada SPT tahunan. Sedangkan pada PPh non-final kewajiban
baru bisa ditunaikan begitu kita menyetor dan melaporkan SPT tahunan.
Transaksi PPh non final dianggap lunas saat Anda selesai melakukan
perhitungan pajak akhir tahun.
Jika penjelasan di atas masih membuat Anda bingung, mari kita pelajari
contoh kasus di bawah ini untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh
tentang apa sebenarnya PPh final dan non-final itu?
Seminar Perpajakan 27
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Contoh Kasus
Pak Ahmad memiliki sebuah rumah yang disewakan untuk indekos.
Perbulannya, Pak Ahmad mendapatkan penghasilan senilai Rp 2 juta dari sewa
tersebut. Saat menerima uang, Pak Ahmad langsung memotong penghasilannya
sebesar 0,5% dan menyetorkannya melalui OnlinePajak.
Maka ketika masa pelaporan SPT Tahunan tiba, Pak Ahmad tidak perlu lagi
mencantumkan penghasilan dari sewa indekosnya untuk dihitung dengan
penghasilan lain karena pendapatan dari sewa tersebut termasuk PPh final. Pak
Ahmad hanya perlu melaporkan setoran PPh finalnya sebagai kelengkapan
administrasi.
Selain menyewakan kamar, Pak Ahmad juga bekerja sebagai tour guide
(pemandu perjalanan) sebuah perusahaan tour & travel. Dari pekerjaan tersebut,
beliau menerima gaji sejumlah Rp 6.000.000 per bulan. Saat mengisi laporan SPT
tahunan, Pak Ahmad masih harus mencantumkan penghasilannya sebagai tour
guide karena termasuk PPh pasal 21 untuk dihitung sebagai pembayaran pajak
tahunan. Hal ini karena, penghasilan yang didapat sebagai guide tergolong PPh
non-final.
Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang tergolong kedalam objek pajak
juga dibagi menjadi dua yaitu pertama, dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif
umum berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, serta yang
kedua, dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final. Penghasilan yang dikenakan
Pajak Penghasilan bersifat final, maka atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif tertentu, serta
dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh. Pajak Penghasilan yang dikenakan tersebut, baik yang dipotong pihak
lain maupun yang disetor sendiri, tidak tergolong ke dalam pembayaran di muka
atas Pajak Penghasilan terutang, tetapi langsung melunasi PPh terutang untuk
penghasilan tersebut. Oleh karena itu, atas penghasilan yang dikenakan pajak
bersifat final, Pajak Penghasilannya tidak akan dihitung lagi pada saat pengisian
SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan
lainnya, dengan kata lain Pajak Penghasilannya sudah selesai (final) pada saat
Seminar Perpajakan 28
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
transaksi terjadi. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga
bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai Pajak Penghasilan bersifat Final, lalu
analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 29
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-5
ASPEK PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP (BUT)
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Bentuk Usaha Tetap dan aspek perpajakannya serta menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat 5
dinyatakan bahwa “Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orangpribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
beradadi Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
sertabadan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesiauntuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia” yang dapat berupa:
1. tempat kedudukan manajemen
2. cabang perusahaan
3. kantor perwakilan
4. gedung kantor
5. pabrik
6. bengkel
7. gudang
8. ruang untuk promosi dan penjualan
9. pertambangan dan penggalian sumber alam
10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
Seminar Perpajakan 30
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia
16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet”
Semua subjek pajak luar negeri, orang pribadi ataupun badan, menjadi wajib
pajak karena mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia lewat bentuk
usaha tetap. Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan luar negeri diantaranya
sebagai berikut ini :
Seminar Perpajakan 31
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
huruf b mengatur tentang kewajiban pajak subjektif untuk wajib pajak badan
dimana “kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia”.
Seminar Perpajakan 32
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Kantor pusat yang ada di luar Negara Indonesia dan mendirikan BUT di
Indonesia menjual produk yang sama dengan yang di jual BUT-nya secara
langsung kepada konsumen yang ada di Indonesia tanpa perantara BUT-nya.
Penyediaan jasa maintenance yang sama dengan jasa BUT-nya oleh kantor
pusat kepada kliennya yang ada di Indonesia tanpa melalui perantara bentuk
usaha tetapnya yang ada di Indonesia.
c. Pendapatan lain yang menjadi Objek Pajak BUT sesuai UU PPh Pasal 26
adalah “Dividen; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang,royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan; Hadiah dan penghargaan; Pensiun dan pembayaran
berkala lainnya; Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; Keuntungan
karena pembebasan utang.”
Seminar Perpajakan 33
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 34
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai administrasi perpajakan, lalu analisislah
menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 35
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-6
ASPEK PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Transaksi Electronic Commerce (E-Commerce) dan aspek
perpajakannya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta
seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Meskipun pernah menghadapi gejolak ekonomi dalam krisis keuangan pada
Tahun 1997, namun saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki
pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Ekspor barang-barang seperti tekstil, mobil,
peralatan listrik, minyak, dan gas menjadi fokus utama perekonomian Indonesia.
Akhir-akhir ini pun, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia juga memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan negara. Diperkirakan, akan ada 50
juta pengguna internet baru di Indonesia setiap 5 tahunnya. Mengapa? Karena
Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna sosial media tertinggi di dunia.
Menurut laporan McKinsey, “sektor e-commerce Indonesia sudah
menghasilkan lebih dari 5 miliar dolar dari bisnis formal e-tailing dan lebih dari 3
miliar dolar dari perdagangan informal”. Bisnis e-tailing di Indonesia seperti yang kita
ketahui Tokopedia, Bukalapak, JD.id, Lazada, dan Shopee. Belum lagi perdagangan
informal melibatkan pembelian dan penjualan barang melalui cara tidak resmi
seperti penggunaan sosial media dan platform pengiriman pesan seperti WhatsApp
dan Facebook. Hal seperti ini di Indonesia biasa disebut sebagai online shop. Tidak
seperti di negara lain, perdagangan informal atau perdagangan sosial berkembang
pesat di Indonesia. Bahkan, menurut data terbaru, penjualan e-commerce di
Indonesia menyumbang total 40% perdagangan sosial. Salah satu hal yang memicu
e-commerce mengalami peningkatan yang begitu cepat di Indonesia salah satunya
peningkatan penggunaan smartphone dengan sangat cepat. Seperti kita ketahui
bahwa harga smartphone jauh lebih terjangkau dibandingkan komputer dan laptop
Seminar Perpajakan 36
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
yang membuatnya mudah diakses oleh sebagian besar orang Indonesia. Ada
sekitar 70% pengguna internet negara ini adalah pengguna smartphone. Laporan
McKinsey menyoroti bahwa hampir 75% pembeli online di Indonesia
menggunakan smartphone.
Di sisi lain, muda-mudi Indonesia yang sangat mengerti dunia digital juga
menjadi salah hal yang memicu begitu cepatnya e-commerce berkembang di
Indonesia. Data statistik menunjukkan bahwa anak muda Indonesia adalah
pengguna sosial media yang rajin dan negara ini memiliki jumlah pengguna
Facebook terbesar keempat di dunia dengan 122 juta orang dan memiliki salah satu
populasi terbesar pengguna Instagram. Indonesia juga merupakan negara terbesar
kelima dalam hal pengguna Twitter. Dengan begitu banyak pengguna sosial media,
tidak mengherankan terjadi perdagangan informal yang besar di negara ini.
1. Aspek Hukum E-Commerce
Sebagaimana kegiatan bisnis pada umumnya, bisnis online juga tidak lepas
dari pengawasan hukum. Sebenarnya banyak undang-undang yang terkait dengan
bisnis online, seperti:
a. Undang-Undang Perdagangan
Seminar Perpajakan 37
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 38
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Selain dilihat pada pasal 65, aspek perlindungan konsumen dalam hukum
perdagangan juga dapat dilihat dari adanya aturan terkait standarisasi dan label.
Ini akan sangat mendukung praktek perlindungan bagi konsumen. Standarisasi
sebuah produk akan membuat produk yang akan dijual kepada konsumen
memiliki kualitas yang telah distandarisasi serta diakui oleh pemerintah,
sehingga akan mengurangi resiko dalam hal keamanan dan keselamatan
konsumen. Terkait dengan label, hal ini juga merupakan salah satu aspek
perlindungan konsumen yang ada dalam Undang Undang Perdagangan, karena
dalam ketentuannya “semua barang / jasa yang masuk ke Indonesia harus
menggunakan label bahasa Indonesia”. Isu yang penting dari perdagangan e-
commerce dalam UU Perdagangan ini ini adalah bagaimana UU ini dapat
melindungi pelaku usaha mikro yang baru berkembang tanpa
mengenyampingkan perlindungan konsumen. Adanya amanat dari Pasal 65 UU
Seminar Perpajakan 39
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 40
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 41
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 42
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 43
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 44
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai aspek perpajakan atas transaksi e-
commerce, lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2014. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan. Lembaran Negara RI Tahun 2014. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 45
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-7
ASPEK PERPAJAKAN DALAM RANGKA MERGER DAN AKUISISI
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Merger dan Akuisisi serta aspek perpajakannya serta menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, peleburan yang lebih dikenal dengan istilah merger atau
penggabungan adalah ”perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih
karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya
status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 11 Undang Undang Perseroan Terbatas,
pengambilalihan usaha yang lebih dikenal dengan istilah akuisi adalah “perbuatan
hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas Perseroan tersebut”. Kedua kegiatan tersebut merupakan beberapa bentuk
strategi mengembangkan suatu perusahaan.
1. Prosedur Merger Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas
Dalam melakukan penggabungan usaha (merger), direksi dari setiap
perseroan harus menyusun sebuah rancangan yang dinamakan Rancangan
Penggabungan yang akan diajukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris. Didalam Pasal
123 ayat (2) Undang Undang Perseroan Terbatas diatur mengenai hal-hal yang
harus ada didalam rancangan penggabungan, diantaranya :
a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan
penggabungan;
Seminar Perpajakan 46
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 47
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan”
2) Pemberitahuan Kepada Direksi Perseroan
Berdasarkan Pasal 125 ayat (5) Undang Undang Perseroan Terbatas, dalam
hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, pihak yang akan mengambil alih
menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan kepada
Direksi Perseroan yang akan diambil alih
3) Penyusunan Rancangan Pengambilalihan
Menurut Pasal 125 ayat (6) Undang Undang Perseroan Terbatas, “Direksi
Perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan komisaris masing-
masing Perseroan menyusun rancangan pengambilalihan yang memuat
sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :
a) Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan diambilalih dan
perseroan yang akan mengambilalih.
b) Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambilalih
dan Direksi Perseroan yang akan diambilalih.
c) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2)
UUPT untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan
mengambilalih dan Perseroan yang akan diambilalih”
4) Pengumuman Ringkasan Rancangan
Berdasarkan Pasal 127 ayat (2), direksi Perseroan wajib mengumumkan
ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan
mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan
melakukan Pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS.
5) Pembuatan Akte Pengambilalihan dihadapan Notaris
Pasal 128 ayat (1) menyatakan bahwa rancangan Pengambilalihan yang
telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat
dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
Seminar Perpajakan 48
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 49
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
5. Merger dan Akuisisi dari Aspek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Berdasarkan Pasal 5 UU No20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
bahwa “pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah dan bangunan akan
terutang BPHTB sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak”.
Dengan demikian atas kegiatan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan yang melibatkan pengalihan hak atas tanah dan bangunan akan
terutang BPHTB.
Seminar Perpajakan 50
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 51
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Keterangan Tambahan:
a. Pemegang saham keduanya telah menyetujui untuk melakukan merger dengan
nilai buku dan mendukung penuh PT Taruna sebagai entitas yang masih berdiri
b. Posisi laporan laba rugi kedua entitas adalah PT Taruna menderita kerugian
senilai Rp 5.000.000.000 sedangkan PT Indolok mencatatkan laba sebesar Rp
1.500.000.000
c. PT Taruna Nusantara merupakan perusahaan yang bergerak pada industri
perkebunan, sedangkan PT Indolok bergerak di bidang pengadaan pupuk
organik, sehingga mereka meyakini bahwa usaha merger akan memperkuat
perusahaan
d. Utang pajak kedua perusahaan telah dilunasi
e. Utang piutang kedua perusahaan telah dihapuskan oleh auditor independen
f. Kedua perusahaan tersebut berstatus Pengusaha Kena pajak
Maka, permasalahan yang harus diselesaikan atas kasus merger diatas
adalah apakah proses merger diatas tergolong ke dalam merger dengan nilai buku
yang mendapat fasilitas perpajakan berdasarkan regulasi perpajakan? Dan
menjelaskan penerapan atas peraturan perpajakan yang berlaku.
Penyelesaian :
Berdasarkan Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan pasal 10 ayat (3), dijelaskan bahwa “nilai perolehan atau pengalihan
harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan
lain oleh Menteri Keuangan”.
Pengecualian yang dimaksud dalam pasal diatas kemudian diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta Dalam
Rangka Penggabungan, Peleburan atau Pemekaran Usaha, dimana dalam Pasal 1
dijelaskan bahwa “Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai
buku, dimana merger dapat berupa penggabungan usaha atau peleburan usaha.
Seminar Perpajakan 52
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 53
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
f. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya
merger atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang
menerima harta paling singkat 2 tahun setelah tanggal efektif merger atau
pemekaran usaha”.
Dalam kasus ini, seperti telah dijelaskan pada keterangan tambahan bahwa
berdasarkan hasil audit eksternal, PT Taruna sebagai perusahaan yang masih
“hidup” atau surviving company mengalami kerugian, sedangkan PT Indolok
mengalami keuntungan. Berdasarkan peraturan perpajakan yang telah dijelaskan
diatas mengenai ketentuan penggunaan nilai buku, maka kedua perusahaan
tersebut tidak dapat menggunakan nilai buku sebagai dasar dalam menetapkan
nilai perolehan atau pengalihan harta karena PT Taruna sebagai surviving
company adalah pihak yang menderita kerugian, walaupun syarat lainnya
terpenuhi seperti pelunasan utang pajak dan memiliki tujuan mensinergikan kedua
usaha. Maka, untuk mencari dasar penilaian perolehan atau pengalihan harta
adalah nilai pasar.
Namun, lain halnya jika ternyata seluruh persyaratan dalam menggunakan
nilai buku dipenuhi oleh kedua perusahaan, maka penggabungan usaha dapat
menggunakan nilai buku. Jika hal tersebut terjadi, maka langkah-langkah yang
harus dilakukan sesuai dengan PER 28/2008 adalah sebagai berikut:
a. PT Taruna selaku surviving company mengajukan permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak tempat PT Taruna berada, paling lama 31 Januari 2018.
b. Format permohonan sesuai dengan lampiran I PER 28/2008
c. Melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan
melakukan merger dengan disertai bukti pendukung, diantaranya
1) Fotokopi Merger Plan
2) Fotokopi Pengumuman Merger Plan yang telah dimuat di dua media
massa;
3) Fotokopi Laporan Keuangan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan
Wajib Pajak yang menerima harta, sebelum merger dan setelah merger,
yang diaudit oleh Akuntan Publik;
Seminar Perpajakan 54
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 55
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal
Pajak nantinya akan menerbitkan surat keputusan paling lama 1 bulan sejak
diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat, maka permohonan penggunaan nilai buku dalam rangka
penggabungan usaha dinyatakan diterima”.
Selanjutnya, aspek perpajakan terkait kasus diatas akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Aspek Perpajakan : Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Undang Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pasal 1A ayat (2) huruf d
menyatakan bahwa “yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena pajak adalah pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat
pihak yang melakukan pengalihan dan menerima pengalihan adalah Pengusaha
Kena Pajak”. Jika mengacu pada peraturan diatas, maka proses merger yang
dilakukan oleh PT Taruna dan PT Indolok dikecualikan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai karena kedua perusahaan tersebut merupakan Pengusaha
Kena Pajak (PKP) serta merger dilakukan antar Perseroan Terbatas (PT).
b. Aspek Perpajakan: Bea Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Seperti terlihat pada neraca, aset tetap berupa tanah dan bangunan milik PT
Indolok (transferor Company) diserahkan kepada PT Tarunan (surviving
company). Atas pengalihan tanah dan bangunan tersebut, muncullah kewajiban
perpajakan berupa BPHTB yang wajib dibayarkan oleh PT Taruna sebagai
pemilik baru atas tanah dan bangunan tersebut. Jika diasumsikan bahwa tanah
dan bangunan ini berlokasi di Jakarta, maka kita akan mengacu pada Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Dalam pasal 5 ayat (7) dan pasal
6 menyebutkan bahwa besarnya NPOPTKP adalah sebesar 80 juta rupiah
dengan tarif sebesar 5%. Maka, perhitungan besarnya BPHTB yang harus
dibayar oleh PT Taruna adalah :
5% x (Rp 30.000.000.000 – Rp 80.000.000) = Rp 1.496.000.000
Seminar Perpajakan 56
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai aspek perpajakan dalam rangka merger
dan akuisisi, lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas. Lembaran Negara RI Tahun 2007. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2000. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Lembaran Negara RI
Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 57
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 58
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-8
ASPEK PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan beserta aspek
perpajakannya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta
seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Ketika kita melaukan pembelian maupun penjualan tanah, tentu ada biaya
yang dikeluarkan, di antaranya pajak penjualan tanah.
1. Biaya yang Timbul Saat Proses Jual Beli Tanah
Dalam melakukan transaksi jual-beli tanah, biaya yang dikeluarkan dibagi
menjadi pajak dan honorarium. Jenis pajak yang akan dikenakan saat penjualan
dan pembelian tanah adalah Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB). Sementara, komponen biaya lain yang dikeluarkan penjual adalah
honorarium Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)..
2. Jenis Pajak dalam Transaksi Penjualan Tanah
Berikut ini penjelasan rinci mengenai sejumlah pajak yang terkait dengan
transaksi penjualan tanah:
a. Pajak Penghasilan
Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan pada penjual
berdasar pada Peraturan Pemerintah nomor 34 pasal 1 ayat (1) tahun 2016
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa “atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari (a) pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan, atau (b) perjanjian pengikatan jual beli atas tanah
dan/atau bangunan beserta perubahannya terutang Pajak Penghasilan bersifat
final”, sedangkan didalam Pasal 2 dinyatakan bahwa “penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang
Seminar Perpajakan 59
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
dietrima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antar pihak”.
Sedangkan terkait dengan tarif Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa :
1) besarnya Pajak Penghasilan sebesar 2,5% dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun
Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
2) 1% dari jumlah bruto dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun
Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
3) 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus
dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat
penugasan khusus dari kepala daerah
Nilai pengalihan yang dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak diatur
dalam Pasal 2 ayat (2), yang menyatakan bahwa nilai pengalihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
1) “nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal
pengalihan hak kepada pemerinth;
2) nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
peraturan lelang
3) nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang
dipengaruhi hubungan istimewa;
Seminar Perpajakan 60
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 61
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 62
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 63
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai aspek perpajakan atas transaksi jual beli
tanah dan/atau bangunan, lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2000. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Lembaran Negara RI
Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau
Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun 2016. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 64
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-9
ASPEK PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang aspek perpajakan atas penghasilan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas
makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Penghasilan kena pajak adalah standar minimal penghasilan wajib pajak yang
menjadi dasar menghitung pajak penghasilan. Hal ini diatur dalam pasal 6 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh yang berbunyi
“penghasilan yang diterima oleh PNS, TNI, dan Polri adalah penghasilan kena
pajak”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak yang dikenakan kepada PNS masuk
dalam jenis pajak PPh pasal 21. Hanya saja, pajak tersebut ditanggung oleh negara.
Jadi, potongan PPh yang ada dalam daftar gaji PNS tidak memengaruhi besarnya
uang gaji yang diterima PNS.
1. Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Negeri Sipil
Pajak Penghasilan pasal 21 menurut Mardiasmo (2016:197) adalah “Pajak
Penghasilan berupa Gaji, Upah, Honorarium, Tunjangan, dan Pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak
dalam negeri”. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia
menentukan bahwa orang yang harus membayar pajak disebut Wajib Pajak,
khususnya dalam Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan yang termasuk di
dalamnya ada 2 (dua) yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Mengacu pada 1 (satu) orang saja yaitu seperti
PNS, Pengacara, Dokter, Bidan, Pengusaha, Arsitek, Karyawan, POLRI, TNI,
Aktis, Aktor, Penyanyi, Atlet, Akuntan, Pilot, Notaris, Peneliti, Sutradara,
Penyanyi, Penerjemah, Fotografer, Penari, dan lain sebagainya.
Seminar Perpajakan 65
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
b. Wajib Pajak Badan adalah Lebih dari 1 orang atau sekumpulan orang yang
membuat kesatuan. Dan yang termasuk dalam Wajib pajak Badan yaitu PT
(Perseroan Terbatas), Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, Perseroan Komanditer, Yayasan, Organisasi Massa,
Persekutuan, Lembaga, Firma, Dana Pensiun, Organisasi Sosial Politik, dan
lain sebagainya.
Pada dasarnya cara penghitungan PPh pasal 21 untuk PNS, TNI, dan Polri
sama dengan cara menghitung PPh pasal 21 untuk karyawan yang bekerja di
perusahaan swasta. Tarif yang dikenakan sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU
PPh, yakni:
a. “5% untuk Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000
b. 15% untuk penghasilan diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000
c. 25% untuk penghasilan diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000
d. 30% untuk penghasilan diatas Rp 500.000.000”
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dihitung berdasarkan Penghasilan Kena
Pajak (PKP) yang didapat dari penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP). Sedangkan Penghasilan neto didapat dari penghasilan bruto
dikurangi biaya jabatan dan iuran pensiun. Bukti pemotongan PPh pasal 21 untuk
PNS ini dapat ditemukan dalam formulir 1721-A2. Tata cara pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI
dan pensiunannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
262/PMK.03/2010.
Seminar Perpajakan 66
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 67
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 68
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Rp
untuk Wajib Pajak
54.000.000,00
Rp
status WP Kawin
4.500.000,00
tambahan 3 orang
tanggungan
Rp
(3 x Rp 4.50.000,00)
13.500.000,00 +
Rp
72.000.000,00
Penghasilan Kena Rp
Pajak (PKP) 24.726.645,90
Rp
Pembulatan
24.726.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji
setahun
Rp Rp
5% x
24.726.000,00 = 1.236.300,00
PPh Pasal 21 atas gaji
sebulan
Rp Rp
: 12
1.236.300,00 = 103.025,00
Catatan:
a. PPh Pasal 21 yang terutang setiap bulan ditanggung pemrintah sebesar Rp
122.154,00
b. Jika Yudistira tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang setiap bulan adalah: 120% x Rp 122.154,00 = Rp146.584,00
c. Atas tambahan PPh 21 terutang yaitu sebesar Rp 24.430 (Rp 146.584,00 -
Rp 122.154,00) tidak Ditanggung Pemerintah sehingga Bendahara
Pemerintah wajib memotong dari gaji dan tunjangan Yudistira dan
menyetorkannya ke Kas Negara.
Seminar Perpajakan 70
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 71
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji, Uang Pensiun, dan Tunjangan Ke-13
(Ketiga belas) atau Rapel Gaji dan/atau Tunjangan
1) Hitunglah PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang disetahunkan atau dikalikan dengan 12 bulan atau banyaknya bulan
PNS bekerja ditambah dengan penghasilan berupa gaji uang pensiun dan
tunjangan ke-13 (ketiga belas).
2) Hitunglah PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang disetahunkan tanpa gaji dan tunjangan ke-13 (ketiga belas) atau uang
pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
3) selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b
adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan ke-13
(ketiga belas) atau uang pensiun dan tunjangan ke-13 (ketiga belas).
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 atas Gaji dan Tunjangan Ke-13 atau Uang
Pensiun dan Tunjangan Ke-13:
Apabila Yudistira sebagaimana contoh 1 pada bulan Juli 2017 menerima gaji dan
tunjangan ke-13, maka perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke-13
adalah sebagai berikut:
Gaji Pokok Rp 4.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 1.224.450,00
Tunjangan Anak Rp 809.780,00
Tunjangan Jabatan Rp 1.540.000,00
Tunjangan Beras Rp 980.000,00
Jumlah penghasilan bruto Rp 8.798.730,00
Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% X Rp 8.798.730,00 Rp 439.936,50
Iuran pensiun
4,75% X Rp 6.278.730,00 Rp 298.239,68
+
Rp 738.176,18
Penghasilan neto Rp8.060.553,83
Penghasilan neto
disetahunkan:
12 x Rp 8.060.553,83 Rp96.726.645,90
Gaji dan Tunjangan ke 13
Gaji Pokok Rp 4.244.500,00
Tunjangan Istri Rp 1.224.450,00
Seminar Perpajakan 72
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Catatan:
1) PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji dan tunjangan ke-13 yang ditanggung
pemerintah adalah sebesar Rp 417.750,00
2) Jika Yudistira belum memiliki NPWP maka besarnya PPh yang terutang
atas gaji dan tunjangan ke-13 adalah: 120% x Rp 417.750,00 = Rp
501.300,00
3) Atas tambahan PPh 21 terutang yaitu sebesar Rp 83.550,00 (Rp
501.300,00-Rp 417.750,00) tidak Ditanggung Pemerintah sehingga
Bendahara Pemerintah wajib memotong dari gaji dan tunjangan Aprinta dan
menyetorkannya ke Kas Negara.
4) Apabila terdapat pembayaran rapel atas kenaikan gaji atau pembayaran
atas kekurangan gaji dan tunjangan maka tata cara perhitungan atas rapel
tersebut disamakan dengan perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan
tunjangan ke-13.
Seminar Perpajakan 73
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
c. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, dan
Anggota POLRI yang menerima tambahan penghasilan yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari pembayaran
gaji.
Dalam hal Pegawai Negeri Sipil (PNS) memperoleh tambahan
penghasilan di luar gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bersifat tetap dan
teratur setiap bulan, baik karena ditugaskan pada Satuan Kerja lain atau adanya
tambahan tunjangan tertentu, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai
berikut:
1) Gaji pokok yang dibayarkan oleh Bendaharawan dihitung PPh Pasal 21nya
2) Tambahan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibayarkan oleh
Bendaharawan dihitung PPh Pasal 21nya dengan cara sebagai berikut:
a) Hitunglah PPh Pasal 21 atas seluruh penghasilan tetap dan teratur
yang diterima setiap bulan yang disetahunkan, termasuk gaji dan
tambahan penghasilan.
b) PPh Pasal 21 terutang atas tambahan penghasilan yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan yang diperoleh adalah sebesar selisih antara
PPh Pasal 21 pada huruf a dan pada angka 1).
Contoh Perhitungan :
Apabila Yudistira sebagaimana contoh 1, ditugaskan pada Kantor Inspeksi
Pemerintahan B (KIP B) sehingga KPP A tidak lagi membayar tunjangan
jabatan dan Yudistira menerima tunjangan jabatan di KIP B sebesar Rp
1.540.000,00 per bulan oleh Bendahara Pengeluaran KIP B, maka perhitungan
PPh Pasal 21 di KPP A dan KIP B adalah:
PPh Pasal 21 di KPP A:
Gaji Pokok Rp 4.244.500
Tunjangan Istri Rp 1.224.450
Tunjangan Anak Rp 809.780
Tunjangan Beras Rp 980.000
Jumlah penghasilan
Rp 7.258.730
bruto
Seminar Perpajakan 74
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% X Rp 7.258.730 Rp 362.937
Iuran pensiun
4,75% X Rp 6.278.730 Rp 298.240
+
Rp 661.176
Penghasilan neto Rp 6.597.554
Penghasilan neto
disetahunkan:
12 x Rp 6.597.554 Rp 79.170.646
PTKP (K/3)
untuk Wajib Pajak Rp54.000.000
tambahan 3 orang
tanggungan
(3 x Rp 4.50.000,00) Rp13.500.000
+
Rp 72.000.000
Penghasilan Kena
Rp 7.170.646
Pajak (PKP)
Pembulatan Rp 7.170.000
PPh Pasal 21 atas gaji
setahun
Rp
5% x = Rp 358.500
7.170.000
PPh Pasal 21 atas gaji
sebulan
Rp 358.500 : 12 = Rp 29.875
Seminar Perpajakan 75
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Jumlah penghasilan
Rp 7.258.730
bruto
Penghasilan dari KIP B
Tunjangan Jabatan Rp 1.540.000
Jumlah Penghasilan Rp 8.798.730
Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% X Rp 8.798.730 Rp 439.937
Iuran pensiun
4,75% X Rp 9.048.510 Rp 429.804
+
Rp 869.741
Penghasilan neto Rp 7.928.989
Penghasilan neto
disetahunkan:
12 x Rp 7.928.989 Rp 95.147.871
PTKP (K/3)
Rp 72.000.000
Penghasilan Kena
Rp 23.147.871
Pajak (PKP)
Pembulatan Rp 23.147.000
PPh Pasal 21 atas gaji
setahun
5% x Rp 23.147.000 = Rp 1.157.350
PPh Pasal 21 setahun yang terutang di KPP A
= Rp 358.500
PPh Pasal 21 terutang di KIP B setahun
= Rp 798.850
Seminar Perpajakan 76
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Rp 798.850 : 12
Catatan:
1) PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas gaji dan tunjangan di KPP A
adalah sebesar Rp 29.875,00
2) PPh Pasal 21 per bulan yang terutang atas tunjangan jabatan yang
dibayarkan di KIP B adalah sebesar Rp 66.571,00
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai aspek perpajakan atas penghasilan Pegawai
Negeri Sipil (PNS), lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 78
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-10
ASPEK PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN USAHA MIKRO KECIL DAN
MENENGAH (UMKM)
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta aspek perpajakannya serta
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah
tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Definisi dan Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Seminar Perpajakan 79
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 80
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Selain melihat pada kekayaan bersih dan hasil penjualan, Badan Pusat
Statistik menggunakan kuantitas tenaga kerja dalam mengklasifikasikan kriteria
UMKM, yaitu usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 5 sampai dengan
19 orang tergolong ke dalam Usaha Kecil sedangkan usaha yang memiliki jumlah
tenaga kerja sebanyak 20 sampai dengan 99 orang digolongkan kedalam Usaha
Menengah. Contoh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah Firma, CV,
PT dan Koperasi yang berbentuk badan usaha. Sedangkan dalam bentuk
Seminar Perpajakan 81
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 82
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
kelompok besar”, yakni Standard Regime dimana dalam standar ini UMKM tidak
dibedakan perlakuan perpajakannya. Negara-negara yang menerapkan Standard
Regime untuk UMKM umumnya adalah negara-negara maju yang memiliki
komunitas UMKM yang telah memiliki efisiensi administrasi tinggi dan memiliki
kemampuan pembukuan yang baik. Namun, beberapa negara maju yang
menerapkan Standard Regime tersebut umumnya menerapkannya dengan
penyederhanaan formulir perpajakan, tata cara pembayaran pajak ataupun dengan
pengurangan tarif pajak.
Sedangkan didalam model presumtive regime, UMKM akan dikenakan
Pajak Penghasilan atas dasar presumsi tertentu dari wajib pajak. Model ini biasa
digunakan di negara-negara yang memiliki wajib pajak yang sulit untuk dipajaki
(hard to tax) serta administrasi yang tidak memadai. Dalam model ini, pemerinta
perlu menggunakan sebuah presumsi atau perkiraan pendapatan untuk dikenai
pajak dikarenakan kurangnya transparansi keuangan dari wajib pajak bahkan
cenderung ditutup-tutupi.
Model perpajakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 10.1
Model Perpajakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Seminar Perpajakan 83
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 84
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 85
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Tuan Budi memiliki peredaran bruto atas pemberian jasa arsitek atas namanya
sendiri senilai Rp 2.000.000.000 serta peredaran bruto dari toko bangunan
miliknya senilai Rp 1.500.000.000 dalam 1 tahun pajak. Maka, penghitungan
peredaran bruto guna penerapan PP No 23 Tahun 2018 dihitung hanya atas
peredaran bruto yang berasal dari usaha toko bahan bangunan senilai Rp
1.500.000.000 saja. Sedangkan peredaran bruto yang berasal dari pemberian jasa
arsitek dikenakan Pajak Penghasilan bersifat umum yang diatur dalam Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
Contoh 2 :
Tuan Aryo merupakan seorang dokter yang memiliki usaha apotek. Pada tahun
Pajak 2019, Tuan Aryo memiliki peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000, yang
berasal dari pemberian jasa dokter sebesar Rp 2.500.000.000 dan peredaran bruto
yang berasal dari usaha apotik senilai Rp 3.500.000.000 dalam 1 tahun pajak.
Meskipun jika dijumlahkan peredaran Tuan Aryo melebihi Rp 4.800.000.000 dalam
satu tahun, tetapi peredaran bruto dalam PP No 23 Tahun 2008 hanya dihitung
berdasarkan jumlah peredaran bruto yang didapatkan dari usaha apotek saja.
Sedangkan penghasilan dari pemberian jasa dokter dikenakan tarif umum yang
diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
Contoh 3 :
Nyonya Astuti merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat usaha di
beberapa wilayah yang berbeda-beda. Berdasarkan pencatatan yang
dilakukannya, rincian peredaran usaha pada tahun 2019 diketahui sebagai berikut :
a. Pasar X sebesar Rp 500.000.000
b. Pasar Y sebesar Rp 1.200.000.000
c. Pasar z sebesar Rp 3.500.000.000
Atas peredaran usaha yang dimilikinya tersebut, maka pada tahun pajak 2019
Nyonya Astuti tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final karena total
peredaran bruto di semua usahanya melebihi Rp 4.800.000.000.
Seminar Perpajakan 86
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Contoh 4 :
Tuan Joko memiliki sebuah kedai kopi dan telah terdaftar sebagai wajib pajak
sejak tanggal 1 November 2018. Peredaran bruto yang diperolehnya adalah
sebagai berikut :
a. Tahun 2018 : Rp 50.000.000
b. Tahun 2019 : Rp 700.000.000
c. Tahun 2020 : Rp 850.000.000
d. Tahun 2021 : Rp 1.000.000.000
e. Tahun 2022 : Rp 1.300.000.000
f. Tahun 2023 : Rp 2.000.000.000
g. Tahun 2024 : Rp 2.400.000.000
Atas dasar peredaran bruto diatas, maka Tuan Joko akan dikenakan Pajak
Penghasilan bersifat final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2008 hanya dalam
jangka waktu 7 tahun, yaitu terhitung sejak usaha Tuan Joko terdaftar yaitu Tahun
2018 sampai dengan Tahun 2024 saja. Untuk tahun pajak 2025 dan seterusnya,
usaha Tuan Joko akan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif umum
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh 5 :
Nyonya Suwarno memiliki usaha salon kecantikan dengan peredaran bruto pada
tahun 2018 kurang dari Rp 4.800.000.000 dan pada Bulan Juli 2019 peredaran
bruto salon Nyonya Suwarno lebih dari Rp 4.800.000.000. Karena peredaran bruto
Nyonya Suwarno melebih 4,8 miliar pada pertengahan tahun pajak, maka pada
tahun pajak 2019 salon Nyonya Suwarno tetap dikenakan Pajak Penghasilan
bersifat final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2008. Tarif pada Pasal 17 ayat (1)
huruf a baru akan dikenakan pada awal tahun 2020 dan seterusnya.
Contoh 6 :
Tuan Rusdi memiliki usaha yang bergerak di bidang perdagangan buku tulis.
Usaha Tuan Rusdi telah memenuhi persyaratan untuk dikenakan Pajak
Penghasilan bersifat final sesuai dengan PP No 23 Tahun 2018. Pada bulan
Agustus 2019, Tuan Rusdi memperoleh peredaran bruto senilai Rp 60.000.000.
Seminar Perpajakan 87
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Jumlah tersebut terdiri dari penjualan yang dilakukan kepada Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta yang merupakan pemotong atau pemungut pajak sebesar Rp
25.000.000 dan Rp 35.000.000 merupakan penjualan buku tulis kepada pembeli
orang pribadi yang langsung datang ke toko. Maka, Pajak Penghasilan bersifat
final yang harus dibayar Tuan Rusdi pada Masa Agustus 2019, adalah sebagai
berikut :
a. Pajak Penghasilan berdasarkan PP No 23 Tahun 2018 yang dipotong oleh
DisHub DKI Jakarta : 0,5% x Rp 25.000.000 = Rp 125.000
b. Pajak Penghasilan berdasarkan PP No 23 Tahun 2018 yang disetor sendiri :
0,5% x Rp 30.000.000 = Rp 150.000.000
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah Makalah mengenai kontribusi UMKM dalam menyumbang
pendapatan negara melalui perpajakan, lalu analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
Seminar Perpajakan 88
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
D. DAFTAR PUSTAKA
Loeprick, J., 2009, Small Business Taxation. Reform to Encourage Formality and Firm
Growth, Investment Climate Departemen-World Bank Group.2Engelschak, M.
& Loeprick,J., Designing/Reforming Presumptive Tax Sysem, International
Finance Corporation-World Bank Group.
Pandji Anoraga. 2010. Ekonomi Islam Kajian Makro dan Mikro,. Yogyakarta: PT. Dwi
Chandra Wacana.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro Kecil dan Menengah. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2018. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Lembaran Negara RI Tahun
2018. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 89
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
PERTEMUAN KE-11
FASILITAS PERPAJAKAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Perusahaan Penanaman Modal Asing, aspek perpajakannya serta
fasilitas perpajakannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari
peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, “penanaman modal asing merupakan kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun
yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri". Pada Pasal 5 Undang-
Undang No 25 Tahun 2007 dijelaskan bahwa “penanaman modal asing wajib dalam
bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di
dalam wilayah Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang”.
Dalam pasal 5 ayat (3) juga menjelaskan bahwa “penanam modal dalam negeri dan
asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas
dilakukan dengan cara (a) mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan
terbatas, (b) membeli saham, dan (c) melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk usaha dari perusahaan
penanaman modal asing adalah Perseroan Terbatas sehingga status subjek pajak
Perusahaan Penanaman Modal Asing dipersamakan dengan wajib pajak badan
dalam negeri. Sehingga segala aspek perpajakan yang berlaku bagi wajib pajak
badan dalam negeri juga berlaku bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing baik
dari segi pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya.
Seminar Perpajakan 90
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 91
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 92
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
j. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis”
Seminar Perpajakan 93
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period)
obligasi
b) Diskonto dari obligasi dengan kupon adalah sebesar :
1) 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
2) 20% atau sesuai tarif P3B bagi wajib pajak luar negeri selain BUT
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal diatas harga perolehan
obligasi, tidak termasuk bunga berjalan
c) Diskonto obligasi tanpa bunga adalah sebesar :
1) 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
2) 20% atau sesuai tarif P3B bagi wajib pajak luar negeri selain BUT
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan
obligasi
d) Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang dietrima dan/atau diperoleh
wajib pajak reksadana yang terdaftar pada Bapepam dan lembaga
keuangan adalah sebesar :
1) 0% untuk Tahun 2009 sampai dengan tahun 2010
2) 5% untuk Tahun 2011 sampai dengan tahun 2013
3) 15% untuk Tahun 2014 dan seterusnya”
d. Berdasarkan PP No 15 Tahun 2009 yang mulai berlaku 1 Januari 2009 :
Penghasilan dari transaksi bunga simpanan koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi Orang Pribadi dengan tarif sebesar :
a) 0% untuk Penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000
per bulan
b) 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp 240.000 per bulan
e. Berdasarkan PP 132 Tahun 2000 jo. Kep-395/PJ/2001 jo. SE-19/PJ.43/2001 :
Penghasilan dari transaksi hadiah undian”. Contoh : Pada tanggal 18 Juni
2017, PT XWZ mengadakan undian dengan total hadiah Rp 50.000.000. atas
undian tersebut, PT XWZ harus melakukan pemotongan Pajak Penghasilan
sebesar Rp 12.500.000 atau 25% dari total hadiah dengan memberikan bukti
pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada
Seminar Perpajakan 94
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 95
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 96
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 97
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Sisa rugi fiskal tahun 2018 yang masih tersisa sampai dengan Tahun 2023
sebesar Rp 80.000.000 tidak boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun
2024, sedangkan rugi fiskal pada tahun Tahun 2020 hanya diperkenankan untuk
dikompensasikan pada tahun 2024 dan 2025 karena periode 5 tahun terhitung
sejak tahun 2021 dan berakhir pada tahun 2025.
Hal lain terkait kompensasi kerugian fiskal adalah apabila suatu wajib pajak
badan pernah diperiksa dan menempuh upaya hukum tertentu sampai dengan
terbit suatu produk hukum, maka hal tersebut akan berpengaruh pada nilai
kerugian fiskal dalam tahun pajak yang bersangkutan. Hal tersebut diatur pada
Pasal 6 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang menyebutkan
bahwa “wajib pajak dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal wajib pajak menerima putusan hukum tertentu atas tahun pajak
sebelumnya atau beberapa tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal
yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan,
dengan menyampaikan pernyataan tertulis”. Putusan hukum yang dimaksud
diantaranya Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali.
Contoh Kasus :
Dengan kasus yang sama seperti sebelumnya, PT Ayam Jago pernah diperiksa
dan produk pemeriksaannya telah terbit, serta pada suatu tahun PT Ayam Jago
pernah mengajukan keberatan dan putusan keberatan pun sudah terbit. Berikut
informasi tambahan mengenai laba rugi fiskal PT Ayam Jago setelah putusan :
a. Tahun 2019 : Laba Fiskal Rp 500.000.000, setelah dilakukan pemeriksaan laba
fiskal menjadi Rp 600.000.000
b. Tahun 2020 : Rugi Fiskal Rp 200.000.000, setelah dilakukan pemeriksaan rugi
fiskal menjadi Rp 120.000.000
c. Tahun 2021 : Laba Fiskal Rp 150.000.000, berdasarkan putusan keberatan
laba fiskal menjadi Rp 170.000.000
Seminar Perpajakan 98
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Seminar Perpajakan 99
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
pembiayaannya berasa dari laba setelah pajak wajib pajak pada satu tahun
pajak sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasan penanaman modal”,
dan/atau ;
g. Tambahan 2 tahun apabila “melakukan ekspor paling sedikit 30% dari nilai total
penjualan, untuk penanaman modal pada bidang-bidang usaha yang diatur
pada ayat (1) huruf a yang dilakukan di kawasan berikat”
Contoh perhitungan fasilitas tambahan jangka waktu atas kompensasi
kerugian fiskal bagi wajib pajak yang melakukan perluasan usaha yang sumber
pembiayaannya berasa dari laba setelah pajak :
a. Untuk tahun pajak 2017, PT Celcius memiliki laba setelah pajak sebesar Rp
100.000.000.000
b. Pada tanggal 1 Juni 2018, PT Celcius memperoleh izin Prinsip Perluasan
Penanaman Modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan rencana
penanaman modal Rp 200.000.000.000
c. Sumber pembiayaan perluasan penanaman modal tersebut berasal dari laba
setelah pajak pada tahun 2017 yaitu senilai Rp 100.000.000.000 dan sisanya
sebesar Rp 100.000.000.000 berasal dari pinjaman
d. PT Celcius mendapat keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan atas rencana perluasan penanaman modal tersebut
e. Pada tahun pajak 2019, PT Celcius mengalami kerugian fiskal sebesar Rp
5.000.000.000
f. Nilai buku fiskal PT Celcius per Tanggal 31 Desember 2019 menunjukkan
angka Rp 250.000.000.000 yang terdiri dari :
1) Nilai buku fiskal aktiva tetap sebelum dilakukan perluasan sebesar Rp
75.000.000.000
2) Nilai buku fiskal atas aktiva tetap perluasan sebesar Rp 175.000.000.000
g. Maka, besarnya kerugian fiskal yang mendapat fasilitas adalah :
Rp100.000.000.000
Rp5.000.000.000 x
Rp250.000.000.000
= Rp 2.000.000.000
h. Atas perhitungan tersebut, maka kerugian fiskal pada tahun pajak 2019 sebesar
Rp 2.000.000.000 dapat dikompensasikan selama 7 tahun, sedangkan untuk
kerugian fiskal sebebsar Rp 3.000.000.000 hanya daoat dikompensasikan
selama 5 tahun
i. Atas kerugian fiskal tahun 2020 dan tahun-tahun berikutnya tidak dapat lagi
dikompensasikan dengan menggunakan fasilitas karena tambahan jangka
waktu kompensasi kerugian hanya berlaku pada tahun saat dimulainya produksi
secara komersial yaitu tahun 201
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai fasilitas yang diberikan Pemerintah Indonesia
terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing dan analisislah menurut pendapat
saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2001. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
19/PJ.43/2001 Tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan
Penghargaan. Lembaran Negara RI Tahun 2001. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 1997. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
15/PJ.42/1997 Tentang Pengenaan Tambahan Pajak Penghasilan Atas
Saham Pendiri. Lembaran Negara RI Tahun 1997. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2001. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
33/PJ.4/1995 Tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usah
Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan
modal Ventura. Lembaran Negara RI Tahun 2001. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
6/PJ.03/2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun
2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
01/PJ.03/2009 Tentang Pajak Penghasilan Atas Deviden Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Lembaran Negara RI
Tahun 2009. Sekretariat Negara. Jakarta.
PERTEMUAN KE-12
FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah
tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Berdasarkan PMK Nomor 35/PMK.10/2018 Tentang Pemberian Fasilitas
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 35/PMK.10/2018, dijelaskan
bahwa “wajib pajak badan yang melakukan penanaman modal baru pada Industri
Pionir dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan Badan atas
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha utama yang
dilakukan sebesar 100% dari jumlah Pajak Penghasilan Badan yang terutang”.
Sedangkan Industri Pionir yang dimaksud berdasarkan PMK tersebut merupakan
“industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai
strategis bagi perekonomian nasional”
Jangka waktu pemberian fasilitas berdasarkan Pasal 2 ayat (3) adalah
sebagai berikut :
a. selama 5 tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana
penanaman modal paling sedikit Rp 500.000.000.000 dan paling banyak kurang
dari Rp 1.000.000.000.000
b. selama 7 tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana
penanaman modal paling sedikit Rp 1.000.000.000.000 dan paling banyak
kurang dari Rp 5.000.000.000.000
c. selama 10 tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana
penanaman modal paling sedikit Rp 5.000.000.000.000 dan paling banyak
kurang dari Rp 15.000.000.000.000
d. selama 20 tahun pajak untuk penanaman modal baru dengan nilai rencana
penanaman modal paling sedikit sebesar Rp 30.000.000.000
Jika jangka waktu sebagaimana disebutkan diatas telah habis, maka wajib
pajak diberikan pengurangan tarif Pajak Penghasilan Badan sebesar 50% dari
Pajak Penghasilan badan terutang untuk 2 tahun pajak berikutnya.
Kriteria wajib pajak yang berhak mendapatkan pengurangan tarif diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “untuk dapat memperoleh pengurangan
Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
pajak badan harus memenuhi kriteria (a) merupakan industri pionir, (b) merupakan
penanam modal baru, (c) mempunyai nilai rencana penanaman modal baru
minimal sebesar Rp 500.000.000.000, (d) memenuhi ketentuan besaran
perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Keuangan mengenai penentuan besarnya perbandingan antara utang dan
modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, (e) belum
diterbitkan keputusan mengenai pemberian atau pemberitahuan mengenai
penolakan pengurangan Pajak Penghasilan Badan oleh Menteri Keuangan, dan (f)
berstatus sebagai badan hukum Indonesia”
Kriteria wajib pajak badan yang berhak mendapat fasilitas tersebut diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) yang berisi “penurunan tarif Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada wajib pajak badan dalam
negeri berbentuk Perseroan Terbuka setelah memenuhi persyaratan (a) paling
sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, (b) saham sebagaimana dimaksud
pada huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak, (c) masing-masing pihak
sebagaimana dimaksud pada hurf b hanya boleh memiliki saham kurang dari 5%
dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, dan (d) ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dlaam
waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu 1 tahun pajak”.
Contoh A1 :
PT Dharma, Tbk memiliki modal dasar sebesar Rp 1.700.000.000, dengan
modal ditempatkan dan disetor penuh senilai Rp 1.500.000.000 dengan nilai
nominal per lembar saham Rp 1.000 sehingga total saham ditempatkan dan
disetor penuh adalah 1.500.000 lembar saham. PT Dharma, Tbk mencatatkan 40%
dari saham yang ditempatkan dan disetor penuh tersebut, yaitu sejumlah 600.000
lembar saham (1.500.000 lembar saham x 40%) untuk diperdagangkan di bursa
efek. 40% saham tersebut dimiliki oleh 300 pihak dengan presentase kepemilikan
paling tinggi sebesar 4,99%. Melihat kondisi tersebut, maka PT Dharma, Tbk
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), sehingga PT
Dharma, Tbk dapat memperoleh penurunan tarif.
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000”. berdasarkan ketentuan
tersebut, maka SE-02/PJ/2015 memberikan penegasan sebagai berikut :
a. fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara Self Assessment
pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan, sehingga wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu
menyampaikan permohonan untuk mendapat fasilitas tersebut”
b. bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri sehingga tidak
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan”
c. batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan”
d. peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan semua penghasilan yang
diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha,
setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai
dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
1) Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final
2) Penghasilan Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat
final, dan
3) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak
e. fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pilihan,
sehingga bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki akumulasi
peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas sampai dengan
Contoh Kasus 1 :
PT Rejeki memiliki total peredaran bruto dalam tahun pajak 2019 sebesar Rp
4.700.000.000 dengan rincian sebagai berikut :
a. Peredaran bruto yang berasal dari :
1) Dikenakan PPh bersifat final
Berdasarkan PP No 23 Tahun 2018 Rp 3.000.000.000
2) Jasa Konstruksi (dikenakan PPh
bersifat final) Rp 1.000.000.000
3) Dikenakan PPh dengan tarif umum Rp 700.000.000
Total Peredaran Bruto Rp 4.700.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang :
1) Dikenakan PP No 23 Th 2018 Rp 2.100.000.000
2) Jasa Konstruksi Rp 800.000.000
3) Dikenakan tarif umum Rp 500.000.000
Total Biaya (Rp 3.400.000.000)
c. Jumlah Penghasilan Neto Rp 1.300.000.000
d. Koreksi Fiskal :
1) Peredaran bruto dari penghasilan
final yang dikenakan PP 23 Th 2018 (Rp 3.000.000.000)
2) Peredaran bruto dari penghasilan
final jasa konstruksi (Rp 1.000.000.000)
Contoh Kasus 2 :
PT Gemilang memiliki total peredaran bruto dalam tahun pajak 2019 sebesar Rp
7.500.000.000 dengan rincian sebagai berikut :
a. Peredaran bruto yang berasal dari :
1) Dikenakan PPh bersifat final
Berdasarkan PP No 23 Tahun 2018 Rp 3.500.000.000
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas :
Rp 1.000.000.000 – Rp 640.000.000 = Rp 360.000.000
Contoh Kasus 3 :
PT Kencana memiliki total peredaran bruto dalam tahun pajak 2019 sebesar Rp
60.000.000.000 dengan rincian sebagai berikut :
a. Peredaran bruto yang berasal dari :
1) Dikenakan PPh tidak bersifat final Rp 50.000.000.000
2) Sewa Tanah (dikenakan PPh
bersifat final) Rp 6.500.000.000
3) Bukan Objek pajak Rp 3.500.000.000
Total Peredaran Bruto Rp 60.000.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang :
1) Dikenakan PPh tidak bersifat final Rp 45.000.000.000
2) Sewa Tanah Rp 5.000.000.000
3) Bukan objek pajak Rp 2.000.000.000
Total Biaya (Rp 52.000.000.000)
c. Jumlah Penghasilan Neto Rp 8.000.000.000
d. Koreksi Fiskal :
1) Peredaran bruto dari penghasilan
final atas sewa tanah (Rp 6.500.000.000)
2) Peredaran bruto dari penghasilan
yang bukan objek pajak (Rp 3.500.000.000)
3) Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan atas
sewa tanah Rp 5.000.000.000
4) Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai fasilitas yang diberikan Pemerintah Indonesia
terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing dan analisislah menurut pendaoat
saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2018. Peraturan Menteri Keuangan No. 35/OMK.10/2018
Tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Lembaran Negara RI Tahun 2018. Sekretariat Negara. Jakarta.
PERTEMUAN KE-13
FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang
dikenakan terhadap sebuah proses transaksi jual beli yang dilakukan oleh wajib
pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai, “PPN
dikenakan atas (a) penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha, (b) impor barang kena pajak, (c) penyerahan jasa kena
pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha, (d) pemanfaatan
barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean, (e) pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean, (f) ekspor barang kena pajak berwujud, (g) ekspor barang kena pajak
tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak dan (h) ekspor jasa kena pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak”.
Sedangkan menurut Pasal 4A ayat (1), “jenis barang yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai diantaranya (a) barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, (b) barang kebutuhan pokok
yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, (c) makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi
makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat maupun tidak, termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga dan katering, dan
(d) uang, emas batangan dan surat berharga”. Dan jenis jasa yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai menurut Pasal 4 ayat (3) Undang Undang Pajak
Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
a. “Jasa pelayanan kesehatan medis
b. Jasa pelayanan sosial
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko
d. Jasa keuangan
e. Jasa asuransi
f. Jasa keagamaan
g. Jasa pendidikan
h. Jasa kesenian dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri
k. Jasa tenaga kerja
l. Jasa perhotelan
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
n. Jasa penyediaan tempat parkir
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos, dan
q. Jasa boga atau katering”
Contoh 2 :
PT Sidomuncul merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki usaha
yang bergerak di bidang penjualan alat tulis kantor. Pada Bulan Oktober Tahun
2017, PT Sidomuncul melakukan transaksi sebagai berikut :
7 Oktober Melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen senilai Rp
1.000.000.000
10 Oktober Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, yakni Alat Tulis Kantor
kepada Pemerintah Kota DKI Jakarta senilai Rp 770.000.000, harga
tersebut sudah termasuk PPN
17 Oktober PT Sidomuncul melakukan pembangunan Gudang seluas 500 m2
dikawasan pergudangan milik sendiri dengan biaya sebesar Rp
750.000.000
25 Oktober membeli sebuah mobil box yang akan digunakan untuk mengantar
barang pesanan seharga Rp 1.100.000.000, harga tersebut sudah
termasuk PPN
Hitunglah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang selama bulan Oktober 2017
serta hitunglah total Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor ke kas negara !
Penyelesaian :
7 Oktober PPN = 10% x Rp 1.000.000.000 = Rp 100.000.000 (merupakan Pajak
Keluaran karena hasil dari penjualan)
16B undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang berbunyi “pajak terutang tidak
dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik
untuk sementara waktu maupun selamanya untuk (a) kegiatan di kawasan tertentu
atau tempat tertentu di dalam daerah paben, (b) penyerahan Barang Kena Pajak
tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu, (c) impor barang kena pajak
tertentu, (d) pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean, dan (e) pemanfaatan jasa kena pajak
tertentu dari luar daerah pabean didalam daerah pabean”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015, “barang kena
pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” adalah sebagai berikut :
a. mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam
keadaan terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung dalam
proses menghasilkan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, tidak termasuk suku cadang
b. barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan,
baik penangkapan maupun budidaya
c. jangkat dan kulit mentah yang tidak disamak
d. ternak yang kriteria dan/atau rinciannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan
e. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
atau perikanan
f. pakan ternak tidak termasuk pakan hewan kesayangan
g. pakan ikan
h. bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk
imbuhan pakan dan pelengkap pakan
i. bahan baku kerajinan perak dalam bentuk perak butiran dan/atau dalam bentuk
perak batangan
j. unit hunian Rumah Susun Sederhana Milik yang perolehannya dibiayai melalui
kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi dengan syarat luas untuk
setiap hunian paling sedikit 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2, pembangunannya
fotokopi surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; (c) asli surat kuasa khusus
dalam hal Pengusaha Kena Pajak menunjuk seorang kuasa untuk mengajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai; (d) penjelasan
tertulis secara rinci bahwa mesin dan peralatan pabrik yang diimpor/diterima akan
dipergunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan Barang Kena Pajak; dan
(e) surat pernyataan bermeterai bahwa mesin dan peralatan pabrik yang diimpor
atau diperoleh tidak akan dipindahtangankan atau diubah peruntukannya dalam
jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan”. Ayat (4) mengatur dokumen pendukung yang harus dilampirkan
dalam hal impor yaitu “invoice; Bill of Lading (B/L) atau airway bill (AWB); dokumen
kontrak pembelian; dan dokumen pembayaran atau dokumen pengakuan utang.”
Pasal 5 peraturan ini menyebutkan bahwa “Atas permohonan Surat
Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak
Pertambahan Nilai paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan Surat
Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai diterima lengkap. Surat Keterangan
Bebas Pajak Pertambahan Nilai diterbitkan atas Barang Kena Pajak tertentu yang
bersifat strategis yang disetujui untuk diberikan fasilitas dibebaskan Pajak
Pertambahan Nilai baik sebagian atau seluruhnya oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal terdapat penerimaan
pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat
strategis, Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai diterbitkan atas
bagian Pajak Pertambahan Nilai yang belum dipungut”.
Selain kepada Pengusaha Kena Pajak, fasilitas pembebasan pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai juga dapat diberikan kepada orang pribadi dengan
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 peraturan ini, yang berbunyi :
Ayat (1) “Pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis
diberikan kepada orang pribadi, dan kepada orang pribadi dimaksud
wajib membuat:
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai fasilitas Pajak Pertambahan Nilai dan
analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
PERTEMUAN KE-14
PERENCANAAN PAJAK (TAX PLANNING)
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Perencanaan Pajak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
Tax Planning atau perencanaan pajak adalah hal yang tidak dapat dipisahkan
dari Manajemen Perpajakan. Ketika mempelajari ilmu perpajakan, kita juga harus
mengetahui konsep dasar manajemen perpajakan, cara membuat strategi
perencanaan pajak dan bisnis. Mengelola bisnis agar tetap berjalan sesuai harapan
dengan tetap membayar pajak. Manajemen perpajakan adalh hal yang sangat
penting yang harus dilakukan oleh semua kelompok yang terlibat di dalam dunia
bisnis atau usaha. Dengan menerapkan strategi manajemen perpajakan yang baik,
kita dapat mengoptimalkan pendapatan perusahaan secara maksimal dengan
menyederhanakan pembayaran pajak. Dengan kata lain, membayar pajak sekecil
mungkin tetapi dengan upaya yang tentu saja tidak melanggar peraturan pajak
ataupun hukum yang berlaku. Berusaha mengoptimalkan keuntungan dan
membayar pajak secara efektif.
Manajemen perpajakan terdiri dari dua ilmu yang berbeda yaitu manajemen
dan perpajakan. Manajemen itu sendiri berarti suatu proses pengelolaan,
pengaturan dan pemberdayaan. Sedangkan perpajakan merupakan kewajiban yang
harus dibayar warga negara atas pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi
kewajiban perpajakan guna kepentingan umum / orang banyak, misalnya untuk
membuat jalan-jalan umum, untuk pembangunan fasilitas umum dan lain
sebagainya.
Manajemen perpajakan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
meminimalkan biaya suatu perusahaan dalam hal membayar pajak. Tidak dapat
dipungkiri bahwa semua orang sebenarnya tidak mau dan tidak suka membayar
pajak. Tidak ada yang ingin penghasilannya dikurangi untuk membayar pajak.
Namun karena kesadaran akan pentingnya kewajiban perpajakan, tidak mungkin
kita melakukan penghindaran terhadap pajak. Setiap kegiatan kita tidak akan lepas
dari pajak. Oleh karenanya, kita tetap harus membayar pajak sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Hanya saja, kita bias mengambil
langkah efisien dan langkah-langkah yang masuk akal untuk meminimalkan
pengeluaran pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
1. Mengenal Tax Planning
Menurut Chairil Anwar Pohan (2014:13), perencanaan pajak adalah usaha
yang mencakup perencanaan perpajakan agar pajak yang dibayar oleh
perusahaan benar-benar efisien”. Sedangkan menurut Arles P. Ompusunggu
(2011:5), “tax planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh wajib pajak untuk
menyusun aktivitas keuangan guna mendapat pengeluaran (beban) pajak yang
minimal”. Menurut Mohammad Zain dalam bukunya Manajemen Perpajakan
(2005:43), “perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak
atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam posisi paling minimal, sepanjang
hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi wajib pajak dalam meminimalkan
kewajiban perpajakan yang dibebankan kepada mereka, baik yang dilakukan
secara legal maupun ilegal menurut Chairi Anwar Pohan (2014:18) :
a. Tingkat Kerumitan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan
Undang-Undang dan peraturan perpajakan yang semakin kompleks, akan
meningkatkan biaya untuk mematuhinya semakin tinggi pula, sehingga
diperlukan biaya yang besar, misalnya untuk merekrut konsultan pajak guna
dapat meminimalisir pembayaran pajaknya.
b. Pajak Terutang Semakin Besar Jumlahnya
Jumlah hutang pajak yang akan semakin besar yang disebabkan karena
kesalahan perhitungan, kesalahan setor dan kesalahan pelaporan pajak adalah
suatu hal yang dapat dihindari.
Alasan lain perencanaan pajak diungkapkan oleh Simon James dan Nobes
antara lain “tarif pajak yang tinggi, kekuranggamblangan ketentuan baik dari segi
rumusan ketentuan secara eksplisit maupun semangat, maksud dan tujuan secara
implisit, sanksi yang terlalu kecil, kekurangwajaran atau kekurangmerataan, dan
distorsi dalam system perpajakan”.
Berdasarkan beberapa alasan diatas, Basri Musri menguraikan 5 faktor
pendorong utama wajib pajak melakukan perencanaan pajak, yaitu :
Yang Pertama, “Rate Of Tax dimana tarif pajak dipilih sebagai alat perencanaan
pajak, karena semakin tinggi tarif yang dikenakan semakin besar beban pajak yang
harus dibayar. Marginal rate of tax merupakan hal yang harus dihindari”
Yang Kedua, “Base Of Tax dimana wajib pajak yang menggunakan base of tax
akan dibebani pajak dari pendapatan tabungan, investasi, atau dari sumber
lainnya. Wajib pajak dapat memilih pajak yang paling menguntungkan dengan
pesat pada bulan desember dan mengakibatkan pajak atas laba akibat
meningkatnya penjualan juga mangalami peningkatan drastis dan pajak
tersebut harus dibayar paling lambat tanggal 25 April tahun berikutnya,
sehingga akan mengakibatkan membengkaknya angsuran PPh Pasal 25
pada tahun berikutnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menunda terjadinya
penghasilan dengan cara melakukan pendekatan secara personal kepada
konsumen agar dapat melakukan penjualan barangnya pada bulan Januari
tahun berikutnya, sehingga atas penjualan tersebut pajak atas laba akan
terutang pada tahun berikutnya
2) Mempercepat Pembebanan Biaya, berkebalikan dari pint nomor 1, biaya-
biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dipantau pada akhir tahun pajak
untuk memisahkan biaya-biaya mana saja yang pengakuannya dapat
dipercepat, misalnya biaya konsultan pajak, biaya notaris dan pembayaran
auditor eksternal. Langkah ini akan mampu mengurangi Pajak Penghasilan
yang harus dibayar pada tahun pajak yang bersangkutan. Konsekuensi
pembebanan biaya ini dapat mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak
seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2) harus dilakukan. Alternative
mempercepat pengakuan biaya ini akan sangat efektif apabila dilakukan
ketika perusahaan untung, karena PPh Badan dapat diturunkan sampai
dengan 30% dari biaya total yang dibebankan.
3) Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Telah Dibayar, Pajak Penghasilan
yang dapat dikreditkan guna mengurangi pembayaran Pajak Penghasilan
wajib pajak badan selain angsuran PPh Pasal 25 adalah pajak-pajak yang
telah dibayar sendiri, pajak yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain pada
tahun pajak yang bersangkutan. PPh yang dapat dikreditkan antara lain :
a) Atas impor atau pembelian solar dari Pertamina dan dipungut atau
dipotong PPh Pasal 22
b) Atas bunga yang berasal dari bukan bank dan penghasilan berupa royalti
yang dipotong PPh Pasal 23
c) Atas penghasilan yang dipotong di luar negeri akan membayar PPh Pasal
24
d) Atas poko pajak yang tercantum dalam STP PPh Pasal 25 baik telah
maupun belum dibayar
Dalam hal Pajak Penghasilan dipotong/dipungut oleh pihak lain,
perusahaan harus dengan aktif meminta bukti potong atas pajak yang
telah dipotong/dipungut tersebut untuk memperkuat keyakinan bahwa
Pajak Pengahasilan yang telah dipotong/dipungut memang benar-benar
sudah dibayarkan oleh pemotong/pemungut.
4) Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh
Pasal 25, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Badan tahun
sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan dan kenaikan laba tahun lalu
merupakan penyebab kenaikan pembayaran PPh Pasal 25, sebagaimana
diatur dalam Keputusan Direktur Jendral Pajak No. Kep-537/PJ/2000, “bila
suatu tahun pajak sudah berjalan 3 bulan atau lebih dan perusahaan dapat
menunjukkan bahwa PPh terutang yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari PPh terutang yang menjadi dasar
perhitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan
permohonan pengurangan secara tertulis kepada kepala KPP tempat
perusahaan terdaftar. Permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh
Pasal 25 harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan
terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau
diperoleh dan besarnya PPh 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun
pajak yang bersangkutan. Bila kepala KPP tidak memberikan keputusan
dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal surat permohonan
perusahaan diterima, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan
perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh sesuai dengan
perhitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan”.
5) Mengelola Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan secara
Fiskal, melakukan penginputan transaksi yang sesuai atas biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan, hal ini harus dilakukan untuk dapat
melakukan pemisahan dengan tepat atas biaya-biaya yang boleh
dikurangkan dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam
menghitung penghasilan bruto. Contoh :
a) Perusahaan mengeluarkan biaya promosi, biaya keamanan dan biaya
pemasaran namun dibukukan dengan nama sumbangan. Hal tersebut
menyebabkan biaya prosmosi, biaya keamanan dan biaya pemasaran
tersebut tidak dapat dibebankan karena sumbangan merupakan salah
satu jenis biaya yang ada dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh dimana
didalamnya tercantum jenis-jenis biaya yang tidak boleh dikurangkan
dalam menghitung penghasilan bruto
b) Perusahaan mencatat biaya perjalanan untuk tujuan dinas sebagai biaya
perjalanan direksi yang memberikan kesan bahwa biaya tersebut
dikeluarkan untuk liburan direksi dan tidak boleh dikurangkan dalam
menghitung penghasilan bruto
c) Perusahaan memberikan uang tips kepada oknum di institusi tertentu atau
dalam pengurusan dokumen namun dicatat kedalam akun biaya lain-lain
atau biaya entertainment yang tidak bisa didukung dengan bukti
entertaintment.
6) Merger antar Perusahaan yang Terus Menerus Rugi dengan
Perusahaan yang Laba, perusahaan yang memiliki lebih dari satu anak
usaha terkadang memiliki anak usaha yang terus menerus menderita
kerugian sedangkan anak usaha lainnya mendapatkan keuntungan selama
beberapa tahun, hal ini akan menyebabkan perusahaan harus membayar
PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba yang sebenarnya secara
grup usaha. Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-21/PJ.42/1999 ,
“bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, maka akumulasi kerugian
perusahaan yang merugi itu dapat dialihkan ke perusahaan gabungan
sepanjang sebelumnya telah dilakukan revaluasi aktiva tetap. Bila kedua
perusahaan tersebut digabungkan, maka secara konsolidasi perusahaan
melakukan pembayaran atas laba sebenarnya”
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai perencanaan pajak (tax planning) dan
analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Chairil Anwar Pohan. 2013. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan
Bisnis . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Arles Omposunggu. 2011. Cara Legal Siasati Pajak. Jakarta: Puspa Swara
PERTEMUAN KE-15
PENERAPAN KASUS TAX PLANNING TERHADAP PAJAK PENGHASILAN DAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang Penerapan Tax Planning Terhadap Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta
seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21
a. Memahami Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21
Perlu dipahami dengan jelas mengenai Objek dan bukan Objek pajak PPh Pasal
21, termasuk didalmnya objek final dan tarifnya sehingga tidak akan terjadi
kesalahan dalam pemotongan.
b. Memahami Saat Terutangnya Pajak
Objek PPh Pasal 21 terdiri dari “penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri”. Istilah “diterima”
mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” adalah accrual
basis. Kedua istilah ini terkait dengan waktu pengakuan biaya dan pembayaran.
c. Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
1) PPh 21 ditanggung karyawan
2) Tunjangan PPh 21
3) PPh 21 Ditanggung pemberi kerja
d. Menentukan Benefit in Cash atau Benefit in Kind untuk Penghasilan Pegawai
Strategi efisiensi PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan
kesejahteraan karyawan sangat bergantung pada kondisi perusahaan
a. Pemberian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan (benefit in kind) kepada
karyawan sebaiknya diberikan oleh perusahaan dengan penghasilan kena pajak
yang telah dikenakan tarif tertinggi (diatas 100 juta) dan pengenaan PPh
badannya tidak final, karena pengeluaran ini non objek pajak
b. Sedangkan bagi perusahaan yang masih menderita kerugian perlu melakukan
sebaliknya, dimana untuk mengefisiensi pembayaran PPh 21 disarankan untuk
meningkatkan pemberian kepada karyawan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan (benefit in kidn) karena pemberian natura atau kenikmatan pada
perusahaan yang masih rugi akan menurunkan PPh Pasal 21, sementara PPh
Badan tetap nihil. Perusahaan harus mempertimbangkan nilai penghasilan yang
diterima/diperoleh setiap pegawainya, bila memiliki laba diatas Rp 100.000.000.
Bila ada pegawai yang tercatat memperoleh penghasilan diatas Rp
500.000.000, maka setiap tambahan penghasilannya lebih baik diberikan dalam
bentuk natura, karena tarif pajak tertinggi untuk wp pribadi adalah 30%
sedangkan tarif tertinggi PPh Badan adalah 25%
c. Perlakuan Pemberian Uang Tips yang Dicatat ke dalam Biaya Entertaiment,
Penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 didasarkan pada asumsi bahwa
setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp 25 juta. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 5 Huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No.
Kep-545/PJ/2000 jo. Per-15/PJ/2006 “honorarium, uang saku, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri, diantaranya terdiri dari
pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, computer, dan system
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi , ekonomi dan social dipotong
PPh Pasal 21 berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh yaitu 5%”.
d. Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21, prosedur yang perlu
ditempuh untuk melakukan ekualisasi ini adalah :
1) Mengelompokkan akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21,
khususnya yang terkait dengan pegawai tetap
2) Pemberian kode khusus untuk setiap transaksi yang masih terkait dengan
objek PPh Pasal 21 dan akan dilaporkan
3) Memastikan penerbitan faktur pajak sudah sesuai ketentuan baik dari segi
waktu maupun validitasnya
4) Jika karakteristik penjualan produk merupakan potensi yang akan
menimbulkan piutang usaha yang akan dilunasi lebih dari satu bulan,
perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak keluaran pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan, sehingga pelunasan PPN Keluaran
dapat ditunda
5) Jika karakteristik penjualan produk merupakan potensi yang akan
menimbulkan piutang usaha yang akan dilunasi kurang dari satu bulan,
perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak keluaran pada saat menerbitkan
faktur komersial, sehingga proses ekualisasi antara omzet penjualan menurut
PPh Badan dengan penyerahan menurut SPT Masa PPN lebih mudah
dilakukan
6) Bagi penyerahan yang didasarkan pada metode presentase penyelesaian,
seperti jasa assistensi, audit atau konstruksi, perusahaan dapat menerbitkan
faktur pajak pada saat pembayaran termin diterima.
7) Memastikan faktur pajak yang cacat tetap disimpan secara baik , karena
perusahaan biasanya langsung mencetak nomor seri faktur pajak secara
berurutan pada saat dibuat, sehingga pada saat pemeriksa pajak melakukan
sampling test dalam bentuk pengurutan nomor seri faktur pajak keluaran,
penemuan nomor yang tidak urut dapat langsung di klarifikasi
b. Efisiensi Pajak Masukan
1) Memastikan faktur pajak standar yang diterima dari pemasok tidak cacat
2) Memintakan faktur pajak masukan dengan segera agar dapat dikreditkan
dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN
3) Melakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai PKP
agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan tanggung jawab
renteng dapat dihindari
4) PPN yang dipungut oleh pemasok disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku harus dituangkan dalam surat
perjanjian, bila tidak maka sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai strategi penerapan tax planning dan
analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
PERTEMUAN KE-16
HUBUNGAN ISTIMEWA DAN TRANSFER PRICING
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang hubungan istimewa serta praktek transfer pricing dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Praktek Transfer Pricing dalam Perusahaan Multinasional
Transfer Pricing awalnya adalah salah satu cara pengusaha mengelola
bisnis mereka untuk mengukur kinerja antar divisi dalam suatu perusahaan. Harga
Transfer digunakan untuk mengukur efektifitas departemen untuk melihat kinerja
perusahaan tersebut secara keseluruhan. Lambat laun makna tersebut kemudian
bergeser kearah negative dimana pergeseran laba akan mengakibatkan kerugian
di dunia perpajakan. Pergeseran laba ini digunakan oleh wajib pajak sebagai salah
satu cara untuk melakukan penghematan pajak dengan menggunakan kelemahan
peraturan disuatu Negara atau biasa dikenal dengan tax planning. Tax planning ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional yang bergerak atau mempunyai
anak perusahaan di berbagai Negara.
Untuk perusahaan multinasional, masalah transfer pricing adalah masalah
yang sangat penting. Transfer pricing menempati skala prioritas yang paling tinggi
untuk perusahaan multinasional, skema yang biasa dipraktikan oleh perusahaan
multinasional dalam praktek transfer pricing adalah mengalihkan keuntungan
mereka dari negara-negara dengan tarif pajak yang tinggi ke negara-negara
dengan tarif pajak yang rendah. Untuk menghindari transfer laba tersebut,
paadministrasi pajak di beberaa Negara menetapkan aturan penetapan harga
transfer yang sangat ketat seperti penerapan sanksi atau hukuman, pemeriksaan
pajak, penelitian dengan cermat terhadap elemen biaya, persyaratan dokumentasi
terhadap perusahaan yang melakukan transfer pricing.
Migas. Penjelasan dibawah ini menyadur isi dari Peraturan Direktur Jendral
Pajak Nomor PER-32/PJ/2011/
Pasal 3 peraturan ini menyebutkan bahwa “wajib pajak yang melakukan
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib
menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kecuali untuk wajib pajak
yang melakukan transaksi dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp
10.000.000.000 dalam 1 tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, yang
ditempuh dengan cara-cara berikut ini :
1) Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding;
2) Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat;
3) Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil
analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, dan;
4) Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau
laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku”
Di dalam aturan ini juga disebutkan pengertian “arm’s length principle yaitu
harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar”.
Aturan ini juga menyebutkan metode apa yang dapat digunakan untuk
menentukan harga transfer yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional yang melakukan transfer pricing, yaitu:
1) Metode perbandingan harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP)
Metode ini melakukan perbandingan harga transaksi antara pihak
yang memiliki hubungan istimewa dengan harga transaksi atas barang
sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Permasalahan yang sering muncul dalam menerapkan metode ini adalah
sulitnya mencari harga atas barang-barang yang sejenis tersebut.
Contoh penerapan:
menggunakan merk Upin Ltd. Dalam hal ini, Upin Ltd hanya melakukan
penjualan atas produk yang diproduksi oleh PT Tiki. Setelah dilakukan
anilisis, diketahui juga bahwa PT JNE juga menjual produk yang sama dan
mendapatkan laba operasi sebesar 10%. Untuk itu, harga transfer PT Tiki
kepada Upin Ltd berdasarkan metode ini ditentukan sebagai berikut :
Harga produksi Rp 50.000.000,-
Biaya Operasi Rp 15.000.000,-
Total Biaya Rp 65.000.000,-
Net Mark Up (10%) Rp 6.500.000,-
Harga Transfer Rp 71.500.000,-
pemeriksaan atau penelitian atas jumlah pajak yang disetor, baru akan timbul
kemungkinan bahwa pajak tersebut akan mengalami perubahan baik kenaikan
maupun penurunan. Tetapi jumlah pemeriksa pajak yang memiliki pemahaman
tentang transfer pricing di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak masih sangat
minim sehingga mengakibatkan terbatasnya pengawasan yang dapat dilakukan
terhadap perusahaan multinasional.
Dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, diharapkan potensi penerimaan
Negara yang hilang akibat praktik abuse of transfer pricing dapat diminimalisasi
walaupun tidak akan mungkin bisa hilang 100%.
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai kasus transfer pricing dan analisislah
menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 1993. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
04/PJ.7/1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing.
Lembaran Negara RI Tahun 1993. Sekretariat Negara. Jakarta.
Darussalam Dan Danny Septriadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Cross Border Transfer
Pricing Untuk Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darusalam Tax Center.
PERTEMUAN KE-17
PEMERIKSAAN PAJAK
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang pemeriksaan pajak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dari peserta seminar atas makalah tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Pengertian Pemeriksaan Pajak
Berikut adalah definisi pemeriksaan pajak menurut Pasal 1 angka 25
Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemeriksaan
adalah “serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola data, keterangan
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan”. Dasar hukum pemeriksaan pajak digambarkan
sebagai berikut :
Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak. Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret
dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian paling lama 1
(satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib
Pajak datang memenuhi Surat Panggilan”
Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP
disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga
yang telah dewasa dari Wajib Pajak. “Jangka waktu pengujian Pemeriksaan
Kantor, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan,
kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang
dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor tidak dapat diperpanjang”. Perpanjangan
jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam hal:
a) Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak lainnya;
b) terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak
ketiga;
c) ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
d) berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksan Pemeriksaan”.
Dalam hal dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan
Lapangan atau Pemeriksaan Kantor, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan harus
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pengujian secara
tertulis kepada Wajib Pajak. Apabila jangka waktu perpanjangan pengujian
Pemeriksaan Lapangan atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor
telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak
Jangka waktu pemeriksaan secara umum, dapat dijelaskan pada gambar
berikut ini :
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai kasus pemeriksaan pajak dan analisislah
menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara RI Tahun
2007. Sekretariat Negara. Jakarta.
PERTEMUAN KE-18
PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN : KEBERATAN DAN BANDING
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari pertemuan ini, mahasiswa mampu menyusun makalah
seminar tentang penyelesaian sengketa pajak melalui keberatan dan banding dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari peserta seminar atas makalah
tersebut.
B. URAIAN MATERI
1. Cara Pengenaan Utang Pajak
Beberapa pengenaan pajak menurut teori dalam pajak, Ilyas & Burton
(2008) terdapat tiga cara pengenaan pajak yang mungkin dapat dilakukan, yaitu
“dilakukan di depan atau Stelsel Fiksi, dilakukan di belakang atau Stelsel riel, dan
pengenaan secara Campuran”. Pengenaan di depan merupakan suatu cara
pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) yang tergantung
pada ketentuan bunyi undang-undang. Misalnya, tanpa memperhatikan kondisi
wajib pajak yang sebenarnya atas besarnya penghasilam pada tahun berjalan,
penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan
penghasilan pada tahun sebelumnya. Dengan anggapan demikian, maka fiskus
dapat dengan mudah dalam melakukan penetapan besarnya utang pajak tahun
yang akan datang. Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan suatu
cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu perhitungan (formula)
tertentu.
Berbeda dengan pengenaan pajak didepan, pengenaan pajak di belakang
merupakan suatu cara pengenaan pajak didasarkan pada keadaan penghasilan
wajib pajak yang sesungguhnya atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun
pajak. Pengenaan pajak baru akan dilakukan pada saat tahun pajak berakhir,
karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui
pada akhir tahun. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan di belakang
sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir. Sedangkan pengenaan cara
campuran merupakan cara pengenaan pajak yang merupakan campuran dari
Seminar Perpajakan 170
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
kedua cara pengenaan pajak fiksi dan riil. Fiskus mengenakan pajak berdasarkan
anggapan yang ditentukan dalam undang-undang pada awal tahun pajak, yang
selanjutnya dilakukan pengenaan pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya
(riil) pada saat tahun pajak berakhir. Cara Campuran ini diterapkan pada Undang-
undang Pajak Penghasilan.
3. Sengketa Pajak
Ketidaksamaan presepsi atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak
dengan fiskus terkait dengan penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau
adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak akan
menimbulkan sengketa pajak. Sengketa Pajak biasanya dimulai pada saat
diterbitkannya surat ketetapan pajak atau surat tindakan penagihan pajak. Surat
ketetapan pajak dimaksud adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Selain itu
sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang
dilakukan oleh pihak ketiga pelaku pemotongan atau pemungutan pajak.
Sengketa pajak menurut Pasal 1 angka 5 Undang Undang Nomor 14 Tahun
2002 Tentang Pengadilan Pajak, “sengketa pajak adalah sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”. Untuk
menyelesaikan Sengketa Pajak Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum yang
4. Keberatan Pajak
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007, "Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktorat
Jenderal Pajak atas suatu: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan; Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; Surat
Ketetapan Pajak Nihil; Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".
Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan
melalui tiga pilihan, yaitu pertama Penyampaian secara langsung, kedua melalui
Pos dengan bukti pengiriman surat; atau dengan Cara lain.Termasuk dalam
pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah penyampaian
surat keberatan melalui Kantor Penyuluhun dan Pengamatan Potensi Perpajakan
(KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)
dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau
d. diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan
Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga,
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur);
e. surat keberatan ditanda tangani Wajib Pajak, dan bila surat keberatan ditanda
tangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE– 24/PJ.43/2000,
“force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan manusia
seperti banjir, kebakaran, petir, gempa bumi, wabah, perang, perang saudara,
huru-hara, pemogokan, pembatasan oleh penguasa dari suatu pemerintahan,
pembatasan perdagangan oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah,
atau dikarenakan suatu keadaan atau kejadian alamiah yang tidak dapat diduga
sebelumnya”. Untuk membuktikan Wajib Pajak mengalami force majeur harus
mendapatkan rekomendasi (pengesahan) dari aparat yang berwenang setempat
minimal Camat atau Kepolisian setempat.
6. Keputusan Keberatan
Berdasarkan Pasal 25, “Direktorat Jenderal Pajak dalam waktu paling lama
12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah
terlampaui dan fiskus tidak menerbitkan surat keputusan keberatan, keberatan
yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib
menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib
Pajak.Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa
mengabulkan seluruhnya, atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya
jumlah pajak yang masih harus dibayar”.
Apabila Wajib Pajak masih belum menerima atau setuju dengan isi
keputusan keberatan dan masih tetap merasa keberatan juga, Wajib Pajak masih
dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding
kepada Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 27 Undang-undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007. Proses keberatan
disajikan dalam bentuk gambar yang disadur dari www.kabarpajak.com adalah
sebagai berikut :
7. Banding Pajak
Sesuai Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, "Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan". Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan
apabila telah melalui proses keberatan.Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan "Banding adalah
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku".
Mekanisme pengajuan banding menurut Mardiasmo (2008), Wajib Pajak
dapat mengajukan Banding, dengan Tata Cara Penyelesaian Banding:
b. Banding diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterima
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak megenai keberatan perpajakan yang
diajukan banding, atau 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya
Keputusan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai keberatan kepabeanan
dan cukai;
c. Jangka waktu tiga bulan tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Pemohon Banding;
d. Terhadap satu Keputusan diajukan satu Surat Banding;
e. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan yang disbanding;
f. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding;
g. Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah
dibayar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak terutang”.
Sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Pasal
37 dan 38, Pemohon Banding yang dapat mengajukan permohonan Banding
adalah:
a. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau
kuasa hukumnya;
b. Apabila dalam proses Banding, Pemohon Banding meninggal dunia, Banding
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau
pengampunya dalam hal Pemohon Banding pailit;
c. Apabila selama proses Banding Pemohon Banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi
dimaksud”;
d. “Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu.
Sumber : http://www.setpp.kemenkeu.go.id/
Sumber : http://www.setpp.kemenkeu.go.id/
C. LATIHAN SOAL
1. Susunlah sebuah makalah mengenai kasus penyelesaian sengketa pajak melalu
keberatan dan banding dan analisislah menurut pendapat saudara
2. Makalah yang telah disusun harus dipresentasikan dikelas
D. DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara RI Tahun
2007. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2000. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
24/PJ.43/2000 Tentang Penegasan Tentang Force Majeure. Lembaran
Negara RI Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta.
Ilyas Wirawan dan Richard Burton. 2010. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat
RANGKUMAN
Selain kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak, Negara juga perlu memiliki sumber
daya manusia yang mumpuni untuk menjalankan dana yang masuk dari uang rakyat
berupa pajak agar tujuan pemerintah mengoptimalkan pajak dapat berjalan sesuai dengan
harapan. Semakin baik sumber daya manusia yang dimiliki oleh Negara, maka akan
semakin baik pula pengelolaan dana yang bersumber dari pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Arles Omposunggu. 2011. Cara Legal Siasati Pajak. Jakarta: Puspa Swara
Anang Muay Kurniawan. 2010. Bahan Ajar Pajak Internasional. Program Diploma III
Keuangan Spesialis Pajak. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Chairil Anwar Pohan. 2013. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan
Bisnis . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Darussalam Dan Danny Septriadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Cross Border Transfer
Pricing Untuk Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darusalam Tax Center
Ilyas Wirawan dan Richard Burton. 2010. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat
Loeprick, J., 2009, Small Business Taxation. Reform to Encourage Formality and Firm
Growth, Investment Climate Departemen-World Bank Group.2Engelschak, M.
& Loeprick,J., Designing/Reforming Presumptive Tax Sysem, International
Finance Corporation-World Bank Group.
Pandji Anoraga. 2010. Ekonomi Islam Kajian Makro dan Mikro,. Yogyakarta: PT. Dwi
Chandra Wacana.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 1985. Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Materai. Lembaran Negara RI Tahun 1985. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. Lembaran Negara RI Tahun 2007. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2000. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Lembaran Negara RI
Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau
Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun 2016. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau
Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun 2016. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro Kecil dan Menengah. Lembaran Negara RI Tahun 2008. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2018. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Lembaran Negara RI Tahun
2018. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2009 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Bunga Simpanan Yang Dibayarkan Oleh Koperasi Kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi. Lembaran Negara RI Tahun 2009.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2001. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
19/PJ.43/2001 Tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan
Penghargaan. Lembaran Negara RI Tahun 2001. Sekretariat Negara. Jakarta.
Seminar Perpajakan 185
Universitas Pamulang Akuntansi S-1
Pemerintah Indonesia. 1997. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
15/PJ.42/1997 Tentang Pengenaan Tambahan Pajak Penghasilan Atas
Saham Pendiri. Lembaran Negara RI Tahun 1997. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa. Lembaran Negara RI Tahun 2009.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2001. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
33/PJ.4/1995 Tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usah
Modal Ventura dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan
modal Ventura. Lembaran Negara RI Tahun 2001. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
6/PJ.03/2008 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun
2008. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2009. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
01/PJ.03/2009 Tentang Pajak Penghasilan Atas Deviden Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. Lembaran Negara RI
Tahun 2009. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Lembaran
Negara RI Tahun 2011. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 1993. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
04/PJ.7/1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing.
Lembaran Negara RI Tahun 1993. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Lembaran Negara RI Tahun 2007.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2002. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan
Pajak. Lembaran Negara RI Tahun 2002. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2000. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
24/PJ.43/2000 Tentang Penegasan Tentang Force Majeure. Lembaran
Negara RI Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pohan, Chairil Anwar. 2014. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Rahayu, Siti Kurnia. 2010. Perpajakan Indonesia, konsep dan Aspek Formal, Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rantung, Tatiana. 2009. Dampak Program Sunset Policy Terhadap Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak. Universitas Kristen Satya Wacana.
Resmi, Siti. 2013. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 7. Jakarta: Salemba Empat.
Rochmat Soemitro. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Bandung:
Eresco.
Yustinus Prastowo. 2016. Sejarah Pajak dan Peradaban Pendasaran Filosofis bagi
Paradigma Baru Kebijakan Pajak, Jakarta: Center For Indonesia Taxation
Analysis
GLOSARIUM
1. Pajak : pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk
kepentingan pemerintah dan masyarakat umum.
2. Pajak Penghasilan (PPh) : pajak negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21 : pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi sebagai Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
4. Subjek Pajak : istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan untuk
perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan
perundangundangan perpajakan yang berlaku.
5. Biaya Jabatan : biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pegawai
tetap.
6. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : besarnya penghasilan yang menjadi
batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila
penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau
pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan
sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan
pemotongan PPh Pasal 21.
7. Penghasilan Kena Pajak (PhKP) : penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar
untuk menghitung pajak penghasilan.
8. Withholding Tax System : mekanisme pemungutan pajak penghasilan (PPh) di
tempat Negara sumber penghasilan kepada residen maupun non-residem.
9. Pajak Daerah : iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
17. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai
dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
18. Kredit Pajak : memperhitungkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau dipungut
di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun pajak.
19. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Restitusi) : pengembalian kelebihan
pembayaran pajak (restitusi) terjadi Apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak (WP)
tidak punya hutang pajak lain.
20. Transfer Pricing : kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer
suatu transaksi.
21. Hubungan Istimewa : istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan
politik, diplomatic, budaya, ekonomi, militer, dan sejarah yang sangat erat antara
Britania Raya dan Amerika Serikat.
22. Manajemen : adalah suatu proses pengelolaan, pengaturan dan pemberdayaan.
23. Perpajakan : adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh warga negara atas suatu
penghasilan yang didapat, guna memenuhi kewajiban perpajakan untuk kepentinagan
umum/orang banyak.
24. Manajemen perpajakan : adalah suatu upaya yang dilakukan untuk meminimalisir
pengeluaran suatu bisnis / perusahaan dalam hal pembayaran pajak. Tidak bisa
dipungkiri bahwa semua orang sebenarnya tidak mau dan tidak suka membayar pajak.
25. Perencanaan pajak : adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini
dilakukan pengumpulan dan penelitian tehadap peraturan perpajakan agar dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.
26. tax planning : adalah merekayasa agar beban pajak (tax buden) dapat ditekan
serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan
tujuan pembuat UU, maka perencanaan pajak di sini sama dengan tax avoidance
karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan
penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang
laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk d
nvestasikan kembali.
27. Tax Planer : seorang perencana pajak (Tax Planner) pun sudah memiliki strategi
tersendiri menyikapi hal positif tersebut entah itu strategi tax avoidance maupun tax
evation.
UAS
Referensi :
8. Peraturan Menteri Keuangan No 205 /PMK.010/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, atau Menimbang Pengambilalihan Usaha.
9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Seminar Perpajakan 1