Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“FRAKTUR”

Disusun oleh :

Dela Dwi Putri Arifina 20230310101109

Aisyah Nur Inayatil Karimah 202303101022

Amirul Anwar 202303101040

Naza Hilda Safitri 202303101041

Nailal Istiqomah 202303101057

Nabilah Salsia Hamzah 202303101068

Titin Krisna Wati 202303101100

Yulia Fitriani 202303101095

Yudha Dwi Janu Pribadi 202303101026

Rika Ayunniawati 202303101085

Yesi Aprilia 202303101118

Revalina Ayu Claudia 202303101020

M. Nuril Huda 202303101110

Rani Saniya 202303101128

D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

KAMPUS LUMAJANG

2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada allah SWT atas berkat rahmatnya penulis telah
berhasil menyusun makalah tentang fraktur Makalah ini di buat untuk menunjang proses
pembelajaran Keperawatan. Sesuai dengan kurikulum terbaru program D3 Keperawatan,
yaitu pembelajaran berbasis kompetensi. Maka makalah ini sudah mengarahkan mahasiswa
untuk belajar dengan kurikulum terbaru sehingga lebih memudahkan mahasiswa untuk
mempelajari makalah ini.

Makalah ini diharapkan dapat digunakan oleh mahasiswa D3 Keperawatan karena


kami telah berusaha melengkapi materi makalah sesuai dengan kebutuhan materi
pembelajaran yang disempurnakan. Demikian kami sangat mengharapkan kritik yang
sifatnya membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan
dalam keperawatan medikal bedal bedah II

           

                                                                                  Lumajang, 1 maret 2022

                                                                                  Penyusun


Daftar Isi

Kata Pengantar...........................................................................................................................1

Daftar Isi....................................................................................................................................2

Pengertian, Etiologi dan Tanda Gejala......................................................................................3

Klasifikasi..................................................................................................................................4

Patofisiologi, Komplikasi..........................................................................................................6

Pemeriksaan...............................................................................................................................8

Asuhan Keperawatan.................................................................................................................9

Penutup....................................................................................................................................21

Kesimpulan..............................................................................................................................21

Saran........................................................................................................................................21

Daftar Pustaka..........................................................................................................................21
A. Pengertian

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x)
dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau
ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).

Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur
terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138). Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang
femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok
(FKUI, 1995:543).

B. Etiologi 
Menurut Purwanto (2016) dan Wati (2018), etiologi dari fraktur yaitu :
1.     Trauma
Trauma langsung berhubungan dengan terjadinya benturan pada tulang secara
langsung dan mengakibatkan terjadinya fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung
terjadi di titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur yang berjauhan.
2.     Gerakan pintir mendadak
3.     Spontan terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga
4.     Keadaan patologis (osteoporosis, neoplasma)

C. Tanda dan Gejala/Manifestasi Klinis, Klasifikasi

Menurut Purwanto (2016) tanda dan gejala fraktur yaitu :

1.     Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema

2.     Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah

3.     Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur

4.     Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya


5.     Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

Klasifikasi fraktur secara umum menurut Wati (2018) :

1.     Simpleks (tertutup) Fragmen tulang tidak menembus kulit

2.     Compound(terbuka) Fragmen tulang menembus kulit

3.     Inkompleta (parsial) Kontinuitas tulang belum terputus seluruhnya

4.     Kompleta (total) Kontinuitas tulang sudah terputus seluruhnya

Klasifikasi berdasarkan posisi fragmen menurut Wati (2018) :

1.     Kominutiva (communited, remuk) Tulang pecah menjadi sejumlah potongan kecil-
kecil

2.     Impakta (impacted) Salah satu fragmen fraktur terdorong masuk kedalam fragmen
yang lain Angulata (angulated, bersudut) Kedua fragmen fraktur berada pada posisi yang
membentuk sudut terhadap yang lain

3.     Dislokata (displaced) Fragmen fraktur saling terpisah dan menimbulkan deformitas

4.     Nondislokata (nondisplaced) Kedua potongan tulang tetap mempertahankan


kelurusan

5.     Overriding Fragmen fraktur saling menumpuk sehingga keseluruhan panjang tulang
memendek

6.     Segmental Fraktur terjadi pada dua daerah yang berdekatan dengan segmen sentral
yang terpisah

7.     Avulsi (avulsed) Fragmen fraktur tertarik dari posisi normal karena kontraksi otot
atau resistensi ligament
Klasifikasi fraktur

Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka
dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas
pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :

a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal

b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang

c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf,
tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera ditangani
karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:

a. Fraktur tertutup

Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar
permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian
luar.

b. Fraktur terbuka

Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah
yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai
adanya pendarahan yang

banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak
semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan
pertolongan lebih cepat karena

terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.

c. Fraktur kompleksitas

Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah
tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:

a. Fraktur transversal

Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali
ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan
bidai gips.

b. Fraktur kuminutif

Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen
tulang.

c. Fraktur oblik

Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang.

d. Fraktur segmental

Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.

e. Fraktur impaksi

Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang yang
berada diantara vertebra.

f. Fraktur spiral

Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi.

D. Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :

Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja
bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah
berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu.
Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot
yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar,
seperti femur.
Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian
distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.
Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu,
periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga
terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan
terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon
peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi,
eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.

E. Komplikasi Fraktur

Komplikasi fraktur dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi lanjut.


Komplikasi lanjut biasanya terjadi pada pasien yang telah dilakukan pembedahan
(Smeltzer & Bare 2007).

1. Komplikasi awal atau komplikasi dini


Komplikasi awal terjadi segara setelah kejadian fraktur antara lain : syok
hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang dapat mengakibatkan
fungsi kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak di tangani segera.
2. komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah kejadian fraktur
dapat berupa :

a. Komplikasi pada sendi : kekakuan sendi yang menetap penyakit

regenerative pasca trauma.

b. Komplikasi pada tulang : peyembuhan fraktur yang tidak normal.

c. Komplikasi pada otot : atrofi otot, rupture tendon lanjut.

d. Komplikasi pada syaraf : takikardi nerve palsy yaitu saraf menebal karena

adanya fibrosis intra neural


F. Pemeriksaan

Pemeriksaan pasien yang dicurigai terdapat fraktur dimulai dari riwayat


penyakit, termasuk penyebab cedera, adanya cedera lain, cedera sebelumnya di regio
yang terkena, riwayat penyakit dahulu, dan alergi. Pemeriksaan awal termasuk menilai
status neurovaskuler, mengamati adanya robekan kulit, dan menilai adanya cedera
jaringan lunak. Palpasi pada daerah dengan lembut memungkinkan pemeriksa menunjuk
tempat fraktur dan menggunakan radiografi dengan lebih baik. Fraktur dapat terjadi pada
dua tempat, atau sendi yang berdekatan dapat mengalami cedera, sehingga penting untuk
melakukan palpasi seluruh tulang dan sendi diatas dan dibawah fraktur.

Pemahaman pola cedera yang berhubungan dengan penyebab umum cedera


juga dapat mengarahkan pemeriksaan. Misalnya, cedera inversi pada pergelangan kaki
dapat menyebabkan fraktur maleoli, metatarsal V proksimal, atau tulang tarsal navicular.
Apabila pasien mengalami cedera, sebaiknya dilakukan palpasi semua tulang yang
mempunyai kemungkinan fraktur.

Pemeriksaan sendi dapat dibagi menjadi 6 langkah berbeda:

a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Pemeriksaan gerakan (movement)
d. Pemeriksaan khusus
e. Pemeriksaan radiologi
f. Merencanakan pemeriksaan lebih lanjut
G. Asuhan Keperawatan

Pengkajian

1. Pengumpulan Data

a. Anamnesa

1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.

b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.

e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari
atau siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget's yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang

5) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan
akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar
sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.

c) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan
Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan
tidur serta penggunaan obat tidur.

d) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain

e) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap

f) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image)

g) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya i) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur
timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif. i) Pola
Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

b. pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran Umum Perlu menyebutkan:

a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada


keadaan klien

2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.

3. Tanda-tanda vital tidak nomal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

1. Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.

2. Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak
ada nyeri kepala.

3. Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

4. Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk.
Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

5. Mata Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)

6. Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.

7. Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.


8. Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.

9. Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

10. Paru

a) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.

b) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

c) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

d) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.

11. Jantung

a) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung.

b) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

c) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

12. Abdomen

a) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

c) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. d) Auskultasi Peristaltik usus
normal + 20 kali/menit. 13. Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada
pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

2) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

a. Look (ins peksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (1) Cicatriks (jaringan parut
baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (2) Cape au lait spot (birth
mark). (3) Fistulae. (4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal). (6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (7) Posisi jalan (gait,
waktu masuk ke kamar periksa)

b. Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat
adalah: 1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik 2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian. 3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat
letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau
konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. diperiksa
status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.

c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel,


kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

2. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah "pencitraan" menggunakan sinar


rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x- ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

1) Bayangan jaringan lunak.

2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.

3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin
perlu tehnik khususnya seperti:

- Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divis ualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

- Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang


tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma

- Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. 4)


Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.

3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. c.
Pemeriksaan lain-Jain I) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya
pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi. 3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.

5) Indium Imaging: pada pemeriksaan didapatkan adanya infeksi pada tulang.

6) MRI: menggambarkan kerusakan akibat fraktur.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.

2. Gangguan mobi litas fisik b/d kerus akan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)

3. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

Perencanaan/Intervensi

Diagnosa TUJUAN DAN KRITERIA SIKI


HASIL
(INTERVENSI)

D.0129 Setelah dilakukan PERAWATAN


INTEGRITAS KULIT
GANGGUAN tindakan selama 3x24
1.11353
INTEGRITAS
KULIT DAN
JARINGAN
Gangguan integritas jam diharapkan kulit TINDAKAN
kulit b/d fraktur elastis dan hidrasi Observasi
terbuka, pemasangan meningkat Kriteria a. Identifikasi
traksi (pen, kawat, penyebab
hasil : L.14125
sekrup) gangguan
integritas kulit
INTEGRITAS KULIT DAN
JARINGAN

a. Elastisitas Terapeutik
meningkat (5)
b. Hidrasi a. Ubah posisi tiap 2
meningkat (5) jam jika titah baring
c. Perfusi b. Lakukan pemijatan
jaringan
meningkat (5) pada area penonjolan
d. Kerusakan tulang
jaringan c. Bersihkan vagina
menurun (5)
dengan air hangat
e. Nyeri menurun
(5) terutama selama
f. Perdarahan periode diare
menurun (5)
d. Gunakan produk
g. Hematoma menurun
(5) berbahan petrolium
h. Pigmentasi atau minyak pada
abnormal
kulit kering
menurun (5)
i. Jaringan parut e. Gunakan produk
menurun (5) berbahan ringan atau
alami pada kulit
sensitif

f. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
keringKontrol
lingkungan
Edukasi

a. Anjurkan
menggunakan
pelembab
b. Anjurkan minum
air putih yang cukup
c. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
d. Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
e. Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
f. Anjurkan mandi dan
menggunakan tabir
surya SPF minimal
30 saat berada di
luar rumah dan
mandi menggunakan
sabun secukupnya

D.0054 Setelah dilakukan DUKUNGAN AMBULASI


GANGGUAN tindakan selama 3x24 1.06171
MOBILITAS FISIK jam diharapkan gangguan
TINDAKAN
berhubungan dengan mobilitas fisik menurun
gangguan dengan Kriteria hasil : Observasi

muskuloskeletal di a. Identifikasi adanya


L.05042
buktikan dengan nyeri atau keluhan
mengeluh sulit MOBILITAS FISIK
fisik lainnya
menggerakkan a. Nyeri menurun (5) b. Identifikasi toleransi
ekstermitas, kekuatan b. Kecemasan fisik melakukan
otot menurun, rentang menurun (5) ambulasi
gerak (ROM) menurun, c. Gerakan terbatas c. Monitor frekuensi
nyeri saat bergerak, menurun (5) jantung dan TD
enggan melakukan d. Kelemahan fisik sbelum memulai
pergerakan, merasa menurun (5) ambulasi
cemas saat bergerak, e. Pergerakan d. Monitor kondisi
gerakan terbatas, kaku ekstermitas umum selama
sendi, gerakan tidak meningkat (5) melakukan ambulasi
terkoordinasi dan fisik f. Kekuatan oton Terapeutik
lemah meningkat (5)
a. Fasilitasi aktivitas
g. Rentang gerak
ambulasi dengan alat
(ROM) meningkat
bantu (mis. Tongkat
(5)
atau ktuk)
h. Kaku sendi menurun
b. Fasilitasi melakukan
(5)
mobilitas fisik, jika
i. Gerakan tidak
perlu
terkoordinasi
c. Libatkan keluarga
menrun (5)
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan


prosedur ambulasi
b. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
c. Ajarkan ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis. Berjalan dari
tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari
tempat tidur ke
kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)

Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai


setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Rencana keperawatan yang dibuat
berdasarkan diagnosis yang tepat , diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang
diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien (Potter dan Perry,
2010).

Hari / No. DX Jam Implementasi Paraf


Tgl
Kamis D.00 08.00 Observasi
77
07/03/ a. Mengidentifikasi penyebab
2022 gangguan integritas kulit
Terapeutik

b. Mengubah posisi tiap 2 jam jika


titah baring
09.30 c. Menggunakan produk berbahan
ringan atau alami pada kulit
sensitif
d. Menghindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
keringKontrol lingkungan
Edukasi
a. Menganjurkan menggunakan
pelembab, minum air putih yang
cukup, meningkatkan asupan
10.00 nutrisi, meningkatkan asupan
buah dan sayur, menghindari
terpapar suhu ekstrem.

Kamis D.0054 07.00 Observasi


07/03/ a. Mengidentifikasi adanya nyeri
2022 atau keluhan fisik lainnya
b. Mengidentifikasi toleransi fisik
melakukan ambulasi
c. Memonitor frekuensi jantung dan
TD sbelum memulai ambulasi
d. Memonitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi
Terapeutik
08.00
a. Memfasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu (mis. Tongkat
atau ktuk)
b. Memfasilitasi melakukan
mobilitas fisik, jika perlu
c. Melibatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
09.00
a. Menjelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
b. Menganjurkan melakukan
ambulasi dini
c. Mengajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)

Evaluasi

Evaluasi merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat melakukan kontak
dengan klien. Setelah melaksanakan intervensi, kumpulkan data subyektif dan obyektif
dari klien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain. Selain itu, evaluasi juga dapat
meninjau ulang pengetahuan tentang status terbaru dari kondisi, terapi, sumber daya
pemulihan, dan hasil yang diharapkan. (Potter dan Perry, 2010).

Hari / Diagnosa Evaluasi Paraf


tgl Keperawatan
Kamis D.0129 S:-

03/03/ Gangguan O : elsatisitas meningkat (4), hidrasi


2022 integritas kulit
b/d fraktur meningkat (4), nyeri berkurang (3)
terbuka,
pemasangan
traksi (pen, A: Masalah teratasi sebagian
kawat, sekrup)
P: Intervensi di lanjutkan
Kamis D.0054 S: Pasien mengatakan bisa menggerakkan
03/03/ Gangguan ekstermitas secara perlahan, dan nyeri terasa
mobilitas fisik berkurang
2022
berhubungan
dengan O: Bengkak berkurang, kekuatan otot
gangguan
muskuloskeletal meningkat, rentang gerak meningkat, KU
membaik

A: Masalah teratasi sebagian

P: Intervensi di lanjutkan

Penutup

Keseimpulan

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yg terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.

Saran

a. Sebaiknya pasien dibantu keluarga dalam melakukan aktivitas pasca operasi


b. Sebaiknya pasien mengkonsumsi nutrisi tinggi protein untuk mempercepat
penyembuhan luka

Daftar Pusataka

Brunner dan suddarth. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. (2000). Buku Patofisiologi. EGC: Jakarta

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Edisi 1. Jakarta

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Edisi 1. Jakarta

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Edisi 1. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai