Anda di halaman 1dari 4

CERPEN

“CINTA PADA SEBUAH PAGI”

Disusun Oleh

NAMA : IIN YUSUF


KELAS : IX2 (SEMBILAN DUA)

MTs. AL-IRSYAD HUTAWA


2020-2021
Cinta pada Sebuah Pagi

Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya.
Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan
lukisan di studionya.

Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa
menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis
letak-letaknya.

Rambut lebat Asti dibiarkan memanjang menjuntai di punggungnya hingga nyaris ke pinggul.
Hidungnya yang tak mancung kerap mengundang godaan Arnando.
”Tak apa-apa hidungmu pesek. Lebih baik berhidung pesek tapi dengan dua bukit mancung dan
terurus di bawahnya,” kata Arnando sambil menyentuh lembut salah satu bukit yang menjulang di
dada Asti, pada sebuah pagi yang lain.

”Lebih baik daripada apa…?” sela Asti merajuk.

”Ya…, lebih baik daripada berhidung mancung dengan dua bukit pesek tak terurus di bawahnya.”

Arnando tergelak. Asti hanya tersenyum. Senyum tertahan. Adegan tersipu seperti inilah yang
sangat disukai Arnando. Karena itu, ia gemar menggoda Asti terutama pada setiap pagi yang jadi
milik mereka.

Kadang-kadang Arnando berpikir bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai pasangan yang
saling melengkapi. Tergelak dan tersipu. Keliaran seorang penyerang dan kelembutan sang
penenang. Keberingasan seorang pemburu dan kepasrahan korban buruan.

Asti adalah perempuan bersahaja. Selalu nrimo. Dalam banyak hal ia bahkan cenderung naif.
Yang pasti, ia sungguh rajin mengerjakan setiap pekerjaan yang tersedia di rumah. Tak ada
bagian rumah yang tak terjamah olehnya. Setiap hari. Sepanjang minggu. Sepanjang tahun.

Arnando membayangkan. Seperti itulah ibunya dulu selagi muda bekerja di rumah masa kecilnya
di Yogyakarta. Menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan tertata. Mengurus suami, ayah
Arnando, yang lumayan banyak urusan. Dan mendidik enam orang anak laki-laki yang sungguh
susah diatur. Tanpa pernah mengeluh. Satu kali pun.

Asti pun tak banyak menuntut. Menyangkut materi, permintaannya selalu sederhana. Minta daster
baru. Minta dicarikan sepatu tali yang lebih kuat. Ketika butuh tas, ia tak minta tas kulit mahal, tapi
tas dari plastik atau kulit imitasi, asal cukup kuat untuk bepergian. Benda sedikit berharga yang
pernah dimintanya adalah radio-tape untuk di kamar. Pernah ia minta dibelikan gelang emas 10
gram. Itu pun dimintanya dengan tersipu. Bukannya dipakai dan dipamerkan, Asti malah
menyembunyikan gelang itu di dalam laci lemarinya yang selalu terkunci.

Untuk banyak alasan, yang tentu saja disetujui Arnando, Asti memang tak pernah memamerkan
berlebihan barang-barang berharga pemberian Arnando. Ia menyimpan dengan rapi barang-
barang itu serapi menyimpan cintanya untuk satu-satunya lelaki yang pernah menjamah tubuhnya
itu.

Arnando adalah burung hantu yang setia hinggap di dahan yang sama di tiap malam. Lelaki
rumahan. Inilah pula yang disukai Asti. Arnando selalu tersedia baginya. Setiap saat.

Dengan Arnando yang selalu tersedia, Asti tak pernah merasa tertimbun dalam tumpukan
pekerjaan. Baginya, hari-hari di rumah adalah saat-saat menyenangkan. Ia tak merasa terpenjara.
Ia merasa seperti berdiam di sebuah istana.
Melukis adalah satu-satunya pekerjaan yang Arnando lakukan. Ia menghabiskan sebagian besar
hari-harinya di studio. Hidupnya seperti lalu lintas di antara studionya yang berantakan, ruang
makan, dan tempat tidur.

Uang memang kadang-kadang jadi persoalan. Arnando tak punya penghasilan rutin seperti orang
kantoran. Ia sendiri tak pernah mau mengurus keuangan. Ia tak terlalu peduli apakah uang mereka
sedang melimpah atau mereka sedang bangkrut. Untunglah, di rumah ia tak pernah mendapat
keluhan-keluhan berarti soal uang.

Untunglah pula, Arnando termasuk produktif. Berpameran setidaknya dua kali setiap setahun. Satu
pameran tunggal dan satu lagi bersama koleganya, satu atau beberapa pelukis lain. Dari
penjualan lukisan di setiap pameran itulah ia mendapatkan uang yang lumayan. Setidaknya, cukup
untuk hidup bersahaja sepanjang tahun.

Belakangan, ketika lukisannya mulai dilirik kolektor, kadang-kadang uang datang sendiri bersama
para pemburu lukisannya. Ketika namanya makin banyak disebut oleh para kurator dan peresensi
seni rupa, ia sendiri jadi makin tak yakin apakah yang diburu lukisannya atau guratan tegas
namanya, ”Arnando Mahoni”, di sudut kanan atau kiri bawah tiap lukisan itu.

Arnando merasa hidupnya lebih dari cukup. Memiliki sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta
adalah sebuah kemewahan. Terlebih-lebih, buat Asti, ternyata rumah mungil itu adalah sebuah
istana besar yang megah.

Bisa mengatur sendiri hidupnya, tanpa terikat oleh jam kerja atau jadwal-jadwal rutin lain, adalah
kemewahan lain milik Arnando. Ia merasa hidupnya sudah selesai dengan dua kemewahan yang
sudah digenggamnya itu.

Pagi ini, Arnando masih berkutat dengan lukisan yang tak juga usai itu. Lukisan 1 x 1 meter yang
kelihatannya akan dicengkeram warna biru muram.

”Nggak sarapan dulu?”

Tiba-tiba suara Asti menyereruput punggung telinganya. Dua bilah tangan putih melingkari
pinggang Arnando. Asti merapatkan badannya di punggung Arnando. Wangi-pagi-hari tubuh
berkeringat Asti yang khas membuat Arnando segera berbalik.

Asti dan Arnando saling merapat dalam balutan ”pakaian dinas pagi” masing-masing. Asti dalam
dasternya. Arnando dengan kaus oblong dan sarungnya. Keduanya seperti sepasang merpati
yang saling mencari pagutan di tengah puncak musim kawin.

Seperti pada pagi-pagi lainnya, setelah sebuah ciuman panjang yang tak terputus, mereka
beringsut dari studio menuju kamar di sebelahnya. Tanpa banyak bicara. Pada pagi yang masih
belia, Asti dan Arnando bercinta. Seperti pada hampir setiap pagi lainnya. Kecuali pada akhir
pekan atau liburan. Tentu saja.

Ketukan di pintu itulah yang akhirnya membangunkan Asti dan Arnando dari letih yang nyaris
melelapkan. Jumlah dan nada ketukan itu sudah memberi tahu keduanya siapa yang datang pagi
itu.

Asti dengan sigap membereskan tempat tidurnya. Lalu, menyelinap keluar kamar sambil
meninggalkan senyum penuh arti untuk Arnando. Semacam terima kasih yang tak terucap untuk
tiap kenikmatan yang baru saja mereka reguk. Sosoknya hilang ditelan daun pintu, melangkah
sedikit tergesa ke pintu depan.

Arnando mengenakan sarung sekenanya. Lalu, kembali ke studio di sisi kamar itu.

Sepi menyergap sesaat hingga pecah oleh suara kesibukan Asti di dapur. Rupanya, Asti sudah
melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Samar-samar, Arnando mendengar langkah yang sudah sangat dikenalnya. ”Mas, berkas-
berkasku tertinggal. Selalu saja begini kalo aku terburu-buru. Ini aku belikan sarapan
kesukaanmu….” Suara lembut Ratih terdengar persis di punggung Arnando.

”Makasih sayang.” Arnando mengambil kotak makanan dari tangan Ratih dan membiarkan
perempuan itu segera berbalik pergi setelah mencium bibirnya sekelebatan.

”Aku langsung buru-buru balik ke kantor lagi ya… Love you!” Suara Ratih dan tubuh rampingnya
berkelebat. Lalu menghilang.

”Love you too…”

Pagi sudah tak lagi belia ketika Arnando mendengar suara mesin cuci mulai dinyalakan Asti.
Sementara ia masih mematung, berdiri di depan sang calon lukisan biru muram yang tak juga usai.

Pagi masih belum beranjak, ketika suara mobil Ratih mulai terdengar. Lalu, melamat makin
menjauh. Arnando tahu persis, suara mobil istrinya itu akan kembali datang kala malam
bertandang kelak.

Anda mungkin juga menyukai